• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Balai Kota Bekasi

Pemerintahan Kota Bekasi terpusat di gedung Balai Kota Bekasi yang terletak di Jalan Jendral Ahmad Yani No. 1, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Pemerintahan Kota Bekasi dipimpin oleh seorang Wali Kota yang membawahi 10 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang bertempat di gedung Balai Kota Bekasi, dimana setiap SKPD dipimpin oleh kepala bagiannya masing-masing. Sekretariat Daerah (SETDA); Hubungan Masyarakat (HUMAS); Dinas Tata Kota (DISTAKO); Dinas Perekonomian Rakyat (DISPERA); Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (KESBANGPOL); Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (DISPERINDAGKOP), Dinas Pembangunan dan Pemukiman (DISBANGKIM); Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH); Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (BP3AKB); dan Kantor Pemberdayaan Masyarakat (KAPERMAS) merupakan 10 SKPD yang terletak di gedung Balai Kota Bekasi. Tabel 3 menyajikan sebaran contoh berdasarkan SKPD yang terdaftar dalam Laporan Cuti Kepegawaian tahun 2014-2015.

Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

SKPD n % DISTAKO 3 10 DISPERA 6 20 KESBANGPOL 1 3 DISPERINDAGKOP 1 3 DISBANGKIM 3 10 BPLH 3 10 BP3AKB 3 10 KAPERMAS 1 3 SETDA 4 14 HUMAS 5 17 Total 30 100

Bulan Januari 2014, BP3AKB berhasil mendirikan sebuah ruangan yang diperuntukkan bagi ibu menyusui, yaitu Pojok ASI. Pojok ASI terletak tepat bersebelahan dengan ruang kerja BP3AKB. Awalnya, ruangan Pojok ASI merupakan sebuah jalan alternatif yang menghubungkan ruang kerja bagian belakang BP3AKB dengan lobi. Kemudian, jalan alternatif tersebut dimodifikasi menjadi sebuah ruangan yang diharapkan mampu meningkatkan praktik pemberian ASI di kalangan karyawan wanitanya serta merubah anggapan karyawan wanitanya bahwa ASI tidak mampu diberikan saat sedang bekerja. Pojok ASI ini dilengkapi dengan sofa, kursi, meja, kasur bayi ukuran kecil, ember, tempat cuci tangan, kulkas, tempat sampah, pendingin ruangan (AC), dan poster mengenai metode kontrasepsi agar pengguna Pojok ASI merasa nyaman. Sayangnya, masih banyak karyawan, baik pria dan wanita, yang tidak

memanfaatkan Pojok ASI ini dengan benar, seperti masih menggunakan Pojok ASI sebagai jalan alternatif dari lobi menuju ke BP3AKB.

Gambar 2 Pojok ASI di Balai Kota Bekasi Karakteristik Keluarga

Besar Keluarga

Keluarga contoh termasuk keluarga kecil dan sedang (Tabel 4). Tidak ada (0%) contoh dengan keluarga besar. Berdasarkan praktik pemberian ASI, 46.7% contoh memberikan ASI eksklusif, contoh lainnya (53.3%) tidak. Sejumlah 46.7% contoh yang memberikan ASI eksklusif, 16.7% diantaranya merupakan contoh berkeluarga kecil dan sisanya (30.0%) contoh berkeluarga sedang. Suhendar (2002) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa setelah dikontrol dengan variabel lingkungan sosial keluarga, ibu dengan besar keluarga kecil (≤ 4 orang) memiliki peluang 3.8 kali memberikan ASI eksklusif untuk anaknya. Semakin besar keluarga, yang biasanya diikuti dengan semakin banyak jumlah anak apalagi bila jarak kelahiran anak berdekatan, maka kesempatan untuk memberikan ASI eksklusif akan berkurang karena konsentrasi ibu terpecah untuk mengurus anak yang lainnya.

Pilkauskas (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa besar keluarga tidak selalu mencerminkan banyaknya jumlah anak, terkadang besar keluarga dipengaruhi adanya orang tua atau mertua dari sepasang suami istri tinggal didalam satu rumah yang sama. Bila dalam suatu keluarga ikut hidup orang tua atau mertua yang mendukung serta membantu proses pengasuhan anak, pekerjaan rumah lainnya, dan memberikan pendapatan tambahan, maka kegiatan mengasuh anak dapat menyenangkan. Adanya bantuan tersebut menjadikan ibu memiliki kesempatan lebih banyak untuk memberikan perhatian lebih kepada bayinya, sehingga bayi dapat menerima ASI eksklusif.

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga, pendapatan, dan pendidikan suami

Karakteristik Keluarga

Praktik Pemberian ASI

Total Eksklusif Tidak Eksklusif n % n % n % Besar keluarga a. Kecil (≤ 4 orang) b. Sedang (5-7 orang) c. Besar (> 7 orang) 5 9 0 16.7 30.0 0.0 6 10 0 20.0 33.3 0.0 11 19 0 36.7 63.3 0 Total 14 46.7 16 53.3 30 100 Pendapatan a. Rendah b. Cukup c. Tinggi d. Sangat tinggi 0 0 0 14 0 0 0 46.7 0 0 1 15 0 0 3.3 50.0 0 0 1 29 0 0 3.3 96.7 Total 14 46.7 16 53.3 30 100 Pendidikan suami a. SMA / sederajat b. Perguruan tinggi 0 14 0 46.7 1 15 3.3 50.0 1 29 3.3 96.7 Total 14 46.7 16 53.3 30 100 Pendapatan

Kategori pendapatan keluarga contoh diperoleh berdasarkan total pendapatan seluruh anggota keluarga contoh. Rata-rata pendapatan keluarga contoh sebesar Rp 7 500 000 dengan kisaran pendapatan Rp 4 000 000 - 12 000 000 per bulan. Tidak terdapat contoh dengan kategori pendapatan rendah dan cukup (Tabel 4). Hal tersebut diduga karena, baik contoh maupun suaminya memiliki pekerjaan dengan penghasilan tetap tiap bulannya, sehingga pendapatan keluarga mereka termasuk dalam kategori tinggi dan sangat tinggi. Hampir seluruh contoh memiliki kategori pendapatan sangat tinggi (96.7%). Mayoritas contoh dengan kategori pendapatan sangat tinggi tidak memberikan ASI eksklusif (50%). Hal ini serupa dengan penelitian Onah et al. (2014) menunjukkan bahwa dari 16.2% contoh dalam kategori status sosio ekonomi tinggi yang diukur berdasarkan total pendapatan keluarga, 52.3% diantaranya tidak memberikan ASI eksklusif.

Status sosiekonomi yang tinggi sejalan dengan rendahnya praktik pemberian ASI eksklusif. Penggunaan susu formula atau makanan bayi lainnya sebagai salah satu simbol yang menggambarkan status sosial sering dikaitkan dengan hal tersebut. Ibu dengan pendapatan keluarga yang lebih tinggi, namun belum tentu berpendidikan tinggi, cenderung menganggap bahwa susu formula dengan harga yang paling mahal merupakan makanan terbaik untuk anaknya. Ibu dengan status sosio ekonomi tinggi juga memiliki peluang besar melakukan perjalanan jauh (seperti keluar kota) untuk kepentingan bisnis/kerja dan jalan-jalan sehingga dapat menghambat praktik pemberian ASI eksklusif. Oleh karena itu, edukasi mengenai manajemen ASI perah perlu diberikan agar bayi tetap mendapat ASI saat ibu pergi (Onah et al. 2014).

Pendidikan Suami

Tingkat pendidikan suami dibedakan menjadi dua kategori, yaitu sekolah menengah atas (SMA)/sederajat dan perguruan tinggi (PT). Hal ini didasarkan atas kriteria inklusi penelitian, yaitu contoh dan suaminya memiliki tingkat pendidikan minimal SMA/sederajat. Tabel 4 menunjukkan hampir seluruh suami contoh (96.7%) berasal dari lulusan PT. Sisanya 3.3% contoh lainnya memiliki suami dengan tingkat pendidikan lulusan SMA/sederajat dan tidak memberikan ASI eksklusif. Sebagian besar contoh dengan tingkat pendidikan suami lulusan PT memperoleh dukungan suami dengan kategori sedang dan tinggi, masing-masing 45%.

Pendidikan suami merupakan faktor tidak langsung keberhasilan pemberian ASI eksklusif. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung sejalan dengan kemampuan suami memahami edukasi yang diberikan tentang ASI eksklusif serta bentuk nyata dukungan yang dapat diberikan untuk istri selama hamil dan setelah melahirkan. Artinya, tingkat pendidikan suami mampu secara aktif meningkatkan pengetahuan suami untuk mendukung praktik pemberian ASI secara eksklusif bila diiringi dengan program edukasi berkelanjutan (Bich et al. 2013).

Karakteristik Contoh Usia

Syarat usia yang ditetapkan untuk menjadi karyawan PNS Bekasi (minimal 18 tahun) dan kriteria inklusi penelitian yang menyebutkan bahwa contoh telah bekerja setidaknya 2 tahun di Balai Kota Bekasi diduga menjadi penyebab tidak terdapatnya contoh pada kategori usia remaja (< 20 tahun). Rata-rata usia contoh 31.67 ± 4.33 tahun. Contoh dengan usia termuda (25 tahun) merupakan karyawan yang berasal dari SETDA. Sedangkan contoh dengan usia tertua (40 tahun) berjumlah 2 orang yang berasal dari SETDA dan DISPERA. Sebagian besar (80%) usia contoh tergolong dewasa muda, sisanya (20%) dewasa madya. Sejumlah 33.3% contoh yang memberikan ASI eksklusif merupakan contoh dengan kategori usia dewasa muda (Tabel 5).

Usia merupakan faktor predisposisi (pemicu) keberhasilan pemberian ASI eksklusif Fikawati & Ahmad (2010). Pratiwi et al. (2014) menyebutkan bahwa pengetahuan merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam penelitiannya, karena contoh dengan usia muda memiliki pengetahuan yang rendah. Banyaknya masalah menyusui pada ibu usia remaha ditambah dengan pengetahuan yang rendah menyebabkan 60% ibu usia remaja tidak memberikan ASI eksklusif. BKKBN (2011b) menganjurkan usia 20 tahun sebagai usia minimal seorang wanita untuk menikah dan hamil, karena pada usia tersebut mental dan organ reproduksi wanita telah siap. Usia dewasa muda merupakan usia yang paling aman dan sehat bagi seorang wanita untuk berreproduksi. Sementara melahirkan saat usia dewasa madya, akan meningkat resiko persalinan sesar, karena sifat elastisitas rahim sudah berkurang. Akibatnya, ibu usia dewasa madya memiliki kemugkinan lebih besar tidak memberikan ASI eksklusif.

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan usia, pendidikan contoh, paritas, dan jenis persalinan

Karakteristik Contoh

Praktik Pemberian ASI

Total Eksklusif Tidak Eksklusif n % n % n % Usia a. Remaja b. Dewasa muda c. Dewasa madya 0 10 4 0 33.3 13.3 0 14 2 0 46.7 6.7 0 24 6 0 80 20 Total 14 46.7 16 53.3 30 100 Pendidikan contoh a. SMA / sederajat b. Perguruan tinggi 0 14 0 46.7 1 15 3.3 50.0 1 29 3.3 96.7 Total 14 46.7 16 53.3 30 100 Paritas a. Primipara b. Multipara c. Grandemultipara 4 10 0 13.3 33.3 0 9 7 0 30.0 23.3 0 13 17 0 43.3 56.7 0 Total 14 46.7 16 53.3 30 100 Jenis Persalinan a. Normal b. Operasi sesar 7 7 23.3 23.3 5 11 16.7 36.7 12 18 40 60 Total 14 46.7 16 53.3 30 100 Pendidikan

Berdasarkan kriteria inklusi contoh penelitian, maka tingkat pendidikan contoh hanya dibagi ke dalam 2 kategori, yaitu SMA/sederajat dan PT. Hampir seluruh contoh (96.7%) memiliki kategori tingkat pendidikan PT dengan rentang pendidikan paling rendah Diploma 3 (D3) dan paling tinggi Magister (S2). Sisanya (3.3%) memiliki tingkat pendidikan lulusan SMA/sederajat (Tabel 5). Seluruh contoh dengan tingkat pendidikan SMA/sederajat tidak memberikan ASI eksklusif (3.3%). Gelar pendidikan minimal Sarjana merupakan salah satu syarat untuk promosi jabatan atau kenaikan pangkat sebagai PNS, sehingga hal tersebut yang diduga menyebabkan seluruh contoh memiliki kategori tingkat pendidikan PT. Terdapat beberapa contoh yang mengambil pendidikan lagi ketika sudah bekerja sebagai PNS dengan tujuan agar dapat pangkat atau atas rekomendasi atasan.

Bila dikaitkan dengan karakteristik pendapatan keluarga contoh yang hampir seluruhnya berada dalam kategori sangat tinggi (Tabel 4), maka hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Syamsianah et al. (2010), bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin sedikit jumlah ibu yang memberikan ASI eksklusif. Faktor pendorong yang mempengaruhinya yaitu status bekerja, kondisi ekonomi, dan daya beli ibu. Ibu dengan tingkat pendidikan tinggi biasanya memanfaatkan atau mengaplikasikan pendidikannya untuk memperoleh pekerjaan yang layak sehingga ibu dapat berkontribusi terhadap pendapatan keluarga. Ketika pendapatan keluarga semakin baik, maka daya beli akan meningkat dan ibu cenderung mengutamakan pekerjaannya untuk

mempertahankan pendapatannya, sehingga susu formula dipilih sebagai makanan untuk bayinya.

Berbeda dengan hal tersebut, Onah et al. (2014) dalam hasil penelitiannya menunjukkan ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki akses terhadap informasi yang lebih luas. Luasnya akses teradap informasi tersebut akan memudahkan ibu untuk mencari dan memahami segala bentuk informasi yang berkaitan dengan ASI eksklusif. Sehingga, ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan menunda untuk memperkenalkan makanan pengganti ASI lainnya atau Breast Milk Subtitutes (BMS) daripada ibu dengan tingkat pendidikan lebih rendah.

Paritas

Paritas merupakan jumlah anak yang pernah dilahirkan hidup oleh seorang wanita selama masa reproduksinya (BKKBN 2011a). Paritas dalam penelitian ini dibagi kedalam 3 kategori, yaitu primipara, multipara, dan grandemultipara (Tabel 5). Bila wanita hanya pernah satu kali melahirkan bayi hidup disebut primipara. Multipara adalah wanita yang telah melahirkan dua sampai empat kali bayi. Sedangkan grandemultipara bila wanita melahirkan lima atau lebih bayi yang mampu hidup (Siswosudarmo 2008). Tidak terdapat (0%) contoh dengan paritas grandemultipara. Sebagian besar contoh multipara memberikan ASI eksklusif (33.3%), sebaliknya sebagian besar contoh primipara tidak memberikan ASI eksklusif (30.0%).

Persalinan kedua dan ketiga merupakan persalinan yang paling aman bagi ibu, namun persalinan keempat dan seterusnya dapat menurunkan kesehatan ibu. Paritas ibu terkait dengan pengalaman ibu dalam melahirkan serta menyusui. Ibu dengan paritas lebih dari satu (multipara atau grandemultipara) berpeluang memberikan ASI eksklusif sebesar 4.6 kali dibandingkan ibu dengan paritas 1 (primipara). Pengalaman menyusui berperan penting dalam meningkatkan pengetahuan mengenai tata laksana laktasi. Pengalaman ibu dalam hal ini dapat dilihat dari jumlah anak yang dilahirkan. ibu multipara atau grandemultipara memiliki pengalaman yang lebih banyak, sehingga memiliki pengetahuan mengenai tata laksana laktasi yang lebih banyak pula dan cenderung memberikan ASI eksklusif untuk anaknya (Van Gobel 2013).

Jenis Persalinan

Persalinan adalah proses untuk mendorong keluarnya janin dan plasenta dari saluran rahim oleh kontraksi otot-otot rahim (Farrer 2001). Jenis persalinan dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua berdasarkan cara persalinannya, yaitu normal dan operasi sesar (Newman & Newman 2009). Hasil penelitian pada Tabel 5 menunjukkan sebagian besar contoh melahirkan anaknya melalui operasi sesar (60%) dan hanya 23.3% diantaranya yang memberikan ASI eksklusif. Persentase contoh dari kelompok jenis persalinan normal yang memberikan ASI eksklusif (23.3%) lebih besar daripada contoh yang tidak memberikan ASI eksklusif (16.7%).

Masa pemulihan pada ibu dengan jenis persalinan operasi sesar merupakan salah satu penyebab kegagalan praktik pemberian ASI eksklusif (Perez-Escamilla 1996). Terpisahnya ibu dan bayi dalam waktu cukup lama setelah persalinan operasi sesar (lebih dari 1 jam) juga menyebabkan keterlambatan ibu menjalin

kontak secara langsung (skin-to-skin) dengan bayinya, sehingga bayi diberikan makanan prelacteal. Makanan prelacteal merupakan jenis makanan dan atau minuman yang diberikan pertama kali kepada bayi baru lahir sebelum ASI tersedia atau keluar (Prior et al. 2012). Bila segera setelah persalinan, ibu tidak memberikan ASI selama 1-2 hari, maka respon pengeluaran prolaktin akan sangat menurun, akibatnya produksi ASI menjadi terganggu. Situasi ini terjadi pada persalinan dengan operasi sesar. Pada kasus ini, pompa ASI dapat dicoba sebagai alternatif untuk memberikan rangsangan pengeluaran oksitosin dan prolaktin yang sama dengan isapan bayi (Manuaba et al. 2007).

Kegiatan Memerah ASI

Kegiatan memerah ASI merupakan salah satu solusi bagi seorang ibu bekerja untuk tetap memberikan ASI ketika sedang bekerja. Kegiatan ini dilakukan oleh seluruh contoh yang berhasil memberikan ASI eksklusif hingga 6 bulan (Tabel 6). Sebagian besar contoh yang tidak memberikan ASI eksklusif juga pernah memerah ASI (56.2%), sisanya 43.8% contoh tidak pernah melakukan kegiatan tersebut. Contoh menyatakan bahwa kegiatan memerah ASI ini awalnya dilakukan karena alasan pengaruh teman satu SKPD yang juga melakukan kegiatan ini, atau inisiatif sendiri. Sebanyak empat diantara sembilan orang yang tidak pernah memerah ASI berasal dari SKPD SETDA, tiga diantaranya berasal dari SKPD DISPERA, sisanya berasal dari DISTAKO dan KESBANGPOL.

Rata-rata contoh memerah ASI dengan frekuensi 2 kali/hari pada hari kerja dengan durasi 25 menit tiap sesi memerah. Hasil ini serupa dengan hasil penelitian Ismail et al. (2012), bahwa kegiatan memerah ASI contohnya dilakukan sebanyak 2 kali dengan kisaran 1-5 kali dan durasi kurang dari 1 jam untuk tiap sesi dengan kisaran 15-45 menit untuk tiap sesi memerah ASI. AIMI (2013) menganjurkan kegiatan memerah ASI ketika ibu dan bayinya terpisahnya selama 4 jam atau lebih. Kegiatan ini merupakan satu-satunya sarana paling efektif yang dapat dilakukan oleh ibu saat bekerja (estimasi waktu kerja 8 jam). Walaupun terpisah dari bayinya, ibu tetap dapat memproduksi ASI yang cukup hingga usia bayi 6 bulan.

Tabel 6 Tabulasi silang antara praktik pemberian ASI dengan kegiatan memerah ASI

Praktik Pemberian ASI

Kegiatan Memerah ASI

Total Ya Tidak n % n % n % Eksklusif Tidak Eksklusif 14 7 100 43.8 0 9 0 56.2 14 16 100 100 Lokasi Memerah ASI

Kunci utama keberhasilan wanita untuk memberikan ASI eksklusif salah satunya dengan menciptakan lingkungan yang mendukung laktasi, termasuk lingkungan kerja (Lawrence & Lawrence 2010). Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya lingkungan kerja ramah laktasi untuk mendukung program ASI

eksklusif, maka dari itu tidak hanya peraturan mengenai cuti bersalin saja, tapi peraturan mengenai penyediaan fasilitas yang memudahkan ibu menyusui juga telah tercantum dalam Undang dan Peraturan Pemerintah. Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Bab VII Pasal 128 Ayat 2 menyebutkan bahwa tempat kerja serta sarana umum wajib menyediakan fasilitas khusus (Ruang ASI) yang mendukung pemberian ASI eksklusif.

Tindakan pidana juga ditetapkan dalam Pasal 200 bagi setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian ASI eksklusif akan dipidana penjara paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp 100 000 000.00. Bila tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi (perusahaan) maka korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izi usaha dan atau pencabutan status badan hukum. Peraturan Pemerintah No 33 tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif Pasal 30 Ayat 2 dan 3 memperjelas bahwa penyediaan fasilitas Ruang ASI tersebut dapat disesuaikan dengan peraturan/kebijakan dan kemampuan perusahaan. Balai Kota Bekasi merupakan salah satu contoh kantor Pemerintah yang telah mendukung serta menjalani program lingkungan kerja ramah laktasi. Adanya Pojok ASI yang dapat dimanfaatkan oleh karyawan ataupun tamu wanita merupakan bukti bahwa Kota Bekasi mendukung program tersebut.

Gambar 3 Sebaran contoh berdasarkan lokasi memerah ASI

Gambar 3 menunjukkan lokasi memerah ASI dari 21 contoh yang melakukan kegiatan memerah ASI. Lokasi tersebut terdiri dari Pojok ASI dan bukan Pojok ASI, yaitu mushola atau ruang kerja. Sebagian besar contoh (52.4%) menggunakan Pojok ASI yang tersedia dan sisanya 47.6% contoh memerah ASI di lokasi lain selain Pojok ASI. Alasan dari 47.6% contoh tidak menggunakan Pojok ASI adalah letak Pojok ASI yang jauh dari ruang kerja contoh dan contoh tidak mengetahui tersedianya fasilitas Pojok ASI di Balai Kota Bekasi. Hal tersebut diduga karena belum adanya promosi mengenai Pojok ASI di Balai Kota Bekasi, jumlah Pojok ASI yang tersedia (1 Pojok ASI di lantai 5), serta umur Pojok ASI yang baru 1 tahun.

Pojok ASI 52.4% Bukan

Pojok ASI 47.6%

Durasi Pemberian ASI Eksklusif

Makanan pendamping ASI(MP-ASI) adalah makanan lain yang diberikan sebagai tambahan ASI. Tubuh bayi menggunakan energi dari makanan untuk tetap hidup, tumbuh, melawan infeksi, dan bergerak aktif. Bila bayi tidak mendapatkan makanan yang cukup, maka bayi tidak akan memiliki energi untuk tumbuh dan aktif. ASI eksklusif berarti memberikan ASI saja sampai bayi berusia 6 bulan, tanpa memberikan cairan atau padatan lainnya, tidak juga air putih (WHO 2012).

Hasil penelitian pada Tabel 7 menunjukkan bahwa durasi pemberian ASI Eksklusif tersebar mulai dari yang paling singkat yaitu 0 minggu (baru lahir) hingga > 24 minggu (26 minggu). Rata-rata durasi pemberian ASI eksklusif yang dilakukan oleh contoh adalah 16 minggu (4 bulan), dengan rentang 0-26 minggu. Artinya, rata-rata contoh telah menyapih (memberikan makanan lain selain ASI) sebelum usia 6 bulan, bahkan terdapat 6.7% contoh yang menyapih anaknya sejak lahir. Hasil ini serupa dengan temuan Biswas (2010) dalam penelitiannya, yaitu rata-rata durasi pemberian ASI eksklusif 4.33 bulan.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan durasi pemberian ASI eksklusif

Durasi Pemberian ASI eksklusif Total

n % 0 minggu 2 6.7 4 minggu 4 13.3 8 minggu 5 16.7 12 minggu 3 10.0 16 minggu 1 3.3 20 minggu 1 3.3 ≥ 24 minggu 14 46.7 Total 30 100

Makanan dan minuman selain ASI yang diberikan adalah susu formula, air putih, dan jus buah (pisang dan semangka). Berdasarkan hasil wawancara dan pengisian kuesinor pengetahuan tentang ASI, diketahui bahwa mayoritas contoh menganggap air putih boleh diberikan sebelum bayi berusia 6 bulan. Setelah diarahkan, barulah contoh memahami bahwa air putih pun tidak boleh diberikan sebelum bayi berusia 6 bulan.

ASI tidak keluar ketika melahirkan, ASI yang keluar sedikit sehingga bayi sepertinya masih lapar, dan anjuran dari orang tua merupakan beberapa alasan yang paling banyak dikemukakan oleh contoh. Saat usia bayi 0-6 bulan, kandungan zat gizi dalam ASI sudah mampu mencukupi seluruh kebutuhan zat gizi bayi, sedangkan saat bayi berusia 6-11 bulan ASI masih mampu mencukupi setengah dari total kebutuhan zat gizi bayi. ASI masih mampu mencukupi sepertiga kebutuhan zat gizi bayi saat berusia ≥ 12 bulan. Makanan pendamping ASI (MP-ASI) dapat memberikan manfaat positif juga negatif untuk bayi. Bila MP-ASI diberikan sebelum bayi berusia 6 bulan, maka MP-ASI akan memberikan dampak negatif, begitu juga sebaliknya. Hal ini dikarenakan sistem pencernaan bayi baru cukup siap dan matang untuk mencerna beragam makanan selain ASI pada usia 6 bulan, akibatnya bayi akan lebih rentan terhadap berbagai macam penyakit, terutama penyakit sistem pencernaan (WHO 2012).

Pengetahuan Tentang ASI

Total skor digunakan sebagai dasar untuk menetapkan kategori pengetahuan contoh tentang ASI yang terdapat pada Tabel 8. Total skor pengetahuan contoh dari 47 pertanyaan yang diberikan berkisar antara 26-45. Sebagian besar contoh memiliki pengetahuan tentang ASI dalam kategori cukup.

Berdasarkan Tabel 8 terlihat kecenderungan bahwa contoh yang memiliki pengetahuan dalam kategori tinggi (58.3%), lebih banyak yang memberikan ASI eksklusif daripada contoh dengan kategori pengetahuan rendah (0%) dan sedang (46.7%). Adanya contoh yang memiliki pengetahuan baik namun tidak memberikan ASI eksklusif diduga karena 4 dari 5 orang tersebut memiliki jenis persalinan operasi sesar, sehingga bayi mereka diberikan makanan prelakteal berupa susu formula oleh bidan / tenaga kesehatan lainnya. Seluruh contoh pada kategori pengetahuan rendah tidak memberikan ASI eksklusif.

Tabel 8 Tabulasi silang antara pengetahuan tentang ASI dengan praktik pemberian ASI

Pengetahuan Tentang ASI

Praktik Pemberian ASI

Total Eksklusif Tidak Eksklusif

n % n % n % Rendah Sedang Tinggi 0 7 7 0 46.7 58.3 3 8 5 100 53.3 41.7 3 15 12 100 100 100 Pengetahuan sering dianggap sebagai proses untuk mengetahui dan menghasilkan sesuatu yang didorong rasa ingin tahu yang bersumber dari kehendak dan kemauan manusia (Suhartono 2005). Pengetahuan ibu yang baik berkaitan dengan keberhasilan pemberian ASI eksklusif hingga 6 bulan, walaupun terdapat faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi (Gijsbers et al. 2008). Tidak hanya kurangnya pengetahuan tentang kandungan zat gizi ASI, namun kurangnya pengetahuan tentang seluruh aspek yang terkait ASI menjadi salah satu faktor penghambat keberlangsungan pemberian ASI (Susiloretni et al. 2014).

Pengetahuan contoh pada Tabel 8 diukur dengan kuesioner yang mampu menggambarkan pengetahuan memerah ASI dan permasalahan menyusui serta cara mengatasinya yang dikelompokkan ke dalam 10 domain pertanyaan. Baik contoh yang memberikan ASI eksklusif dan tidak, keduanya sama-sama memiliki persentase jawaban benar terkecil pada domain aspek praktik menyusui (Tabel 9). Contoh tidak memahami benar atau tidaknya pertanyaaan pada domai aspek praktik menyusui mengenai anjuran pemberian air putih setiap habis menyusui dan susu formula yang dapat diberikan sebelum bayi berusia 6 bulan.

Anjuran orang tua atau mertua, anggapan bahwa pemberian air putih dibarengi dengan menepuk punggung bayi secara pelan setelah menyusui dapat mencegah “gumoh”, serta beberapa contoh yang benar-benar tidak tahu karena tidak pernah mempraktekkan hal tersebut merupakan pernyataan contoh terkait benar atau tidaknya anjuran pemberian air putih tersebut. Selain itu, banyaknnya orang sekitar (teman/tetangga) yang memberikan susu formula untuk bayi mereka sebelum usia 6 bulan, pemberian bingkisan susu formula oleh bidan atau rumah sakit setelah rawat inap persalinan, dan anjuran tenaga kesehatan untuk

menggunakan susu formula bila ASI tidak keluar merupakan beberapa hal yang diduga menyebabkan contoh tidak mengetahui boleh atau tidaknya pemberian

Dokumen terkait