• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas Fisika Kimia Perairan Teluk Lampung Suhu

Hasil pengamatan suhu perairan lokasi penelitian menunjukkan kisaran nilai antara 30,2–32,7 0C (Gambar 7). Kisaran suhu ini masih menggambarkan kondisi perairan di berbagai tempat seperti Perairan Jelamun Karimun Jawa (30,2–31,5

0

C) (Ariyati et al. 2005), Perairan Cisadane (30,06-31,21 0C), (Hadikusumah 2005), Perairan Raja Ampat (28,3-31,8 0C), (DKP-KRA 2006). Secara umum hasil pengamatan ini merupakan kondisi yang umum ada di wilayah perairan Indonesia (tropis). Walaupun kisaran ini diperkirakan kurang mencerminkan kondisi suhu yang minimum karena umumnya penelitian tersebut melakukan pengukuran pada waktu yang sama yaitu pada siang hari. Pada daerah tropis, suhu perairan berkisar 26-30 °C pada kedalaman 50-100 m (Ilahude 1999). Nontji

(2005) mengatakan perairan Indonesia memiliki suhu permukaan laut berkisar 28 °C sampai dengan 31 °C. Sehingga hasil pengamatan di Teluk Lampung merupakan kisaran suhu yang masih normal dan biasa di perairan Teluk Lampung. Pada stasiun 1 dan 4 terdapat suhu terukur sampai 32,3 0C dan 32,7 0C. Hal ini merupakan pengaruh kondisi lokal perairan karena stasiun ini mempunyai kedalaman yang relatif rendah di bandingkan dengan stasiun yang lain dan letaknya dekat dengan muara sungai.

Kisaran suhu yang masih dapat ditoleransi oleh biota karang berkisar antara 26–34 °C (Suharsono 1999). Beberapa penelitian di wilayah terumbu karang ditemukan dengan kondisi baik seperti di Perairan Pulau Bintan pada suhu kisaran 29,7-30,7 0C dengan tutupan karang mencapai kisaran 61,73-66,58% (Partini 2009), Perairan Kabupaten Tanah Bumbu pada suhu kisaran 26-33 0C dengan tutupan karang berkisar 57,7-75,7% (Asmawi dan Hamdani 2009) dan perairan Pulau Mandike pada kisaran suhu 29-30 0C dengan tutupan karang berkisar 61,73-66,58% (Lalang 2013). Secara keseluruhan hasil pengukuran suhu di Teluk Lampung dalam penelitian ini masih dikategorikan pada kondisi yang masih mendukung pertumbuhan terumbu karang.

Salinitas

Hasil pengukuran salinitas di perairan berkisar antara 31-32‰ (Gambar 7). Kisaran salinitas ini merupakan kondisi yang umum dijumpai di perairan Indonesia seperti di perairan Pulau Mandike (30-32‰) (Lalang 2013), di perairan Bahari Lombok (31,5-33,2‰) (Muhlis 2011) dan di Perairan Teluk Lampung (30-31‰) (Pratiwi 2010). Secara umum hasil pengamatan ini merupakan kondisi yang umum ada di wilayah perairan Indonesia (tropis). Kisaran salinitas bagi pertumbuhan karang di Indonesia berkisar 29-33‰ (Coles dan Jokiel 1992). Salinitas air relatif lebih rendah umumnya berada di sekitar pantai dan diduga karena pengaruh masukan air sungai. Fluktuasi salinitas permukaan terutama di perairan pantai berkaitan erat dengan keberadaan sungai dan hujan lebat.

Gambar 7. Nilai hasil pengamatan suhu (0C) dan salinitas (‰) pada setiap stasiun pengamatan.

Beberapa penelitian ditemukan kondisi terumbu karang yang baik pada kisaran salinitas 30-32‰ pada perairan Pulau Mendike, dimana tutupan karangnya mencapai kisaran 61,73-66,58% (Lalang 2013). Selanjutnya, Panggabean (2007) mengatakan pada salinitas 33-33,5‰ di perairan P. Pamegaran terumbu karang dapat hidup dengan baik dengan tutupan berkisar

62,35% dan pada salinitas 32-34‰ di perairan P. Kuburan Cina terumbu karang juga hidup dengan baik dengan persentase tutupan 64,19%. Nilai pengukuran salinitas di Teluk Lampung masih dalam kisaran normal dan sangat mendukung pertumbuhan karang.

Derajat Keasaman (pH)

Hasil pengukuran di lapangan memperlihatkan bahwa nilai pH pada perairan Teluk Lampung adalah antara 7,89-8,22 (Gambar 8). Beberapa nilai kisaran pH di perairan Indonesia telah diamati seperti perairan Pulau Biawak mempunyai kisaran pH antara 7,88-8,09 (Irawan 2012), perairan Teluk Semangka dengan kisaran pH antara 7,43-8,46 (Firmansyah 2002) dan perairan Teluk Lampung yang mempunyai kisaran pH antara 7,54-8,26 (Susana et al. 2001). Secara umum hasil pengamatan ini merupakan kondisi yang umum ada di wilayah perairan Indonesia (tropis). Kisaran pH perairan di Indonesia berkisar 6,0-8,5 (Romimohtarto 2001), sehingga hasil pengamatan di Teluk Lampung menunjukkan pH yang masih normal.

Gambar 8. Nilai hasil pengamatan pH pada setiap stasiun pengamatan. Beberapa penelitian menunjukkan terumbu karang dapat hidup dalam kondisi baik pada kisaran pH : 7,3 – 8,22 di perairan Teluk Kupang dengan tutupan karang mencapai kisaran 70,33% (Widodo 2010), dan 7,49-8,05 di Perairan Lombok dengan tutupan karang hidup 55% (Muhlis 2009). Jadi, secara keseluruhan hasil pengukuran pH di Teluk Lampung dalam penelitian ini masih dikategorikan pada kondisi yang masih mendukung pertumbuhan terumbu karang.

Kecerahan

Kecerahan berhubungan erat dengan kekeruhan karena kecerahan air sangat tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan menggambarkan kemampuan cahaya menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Hasil pengukuran kecerahan di lokasi penelitian berkisar 2,6-8,8 m (Gambar 9). Intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom air semakin berkurang dengan bertambahnya kedalam perairan. Dengan kata lain, cahaya akan mengalami penghilangan (extinction) atau pengurangan (attenuation) yang semakin besar dengan bertambahnya kedalaman. Hasil pengukuran secara umum masih dalam batas wajar. Nilai kecerahan yang paling rendah terdapat pada stasiun 1 yang

terletak di muara sungai Hurun dan sungai BBPBL. Hal ini diduga mengakibatkan adanya bahan tersuspensi yang terbawa dari daratan sehingga menyebabkan nilai kecerahan menjadi berkurang. Selain itu aktivitas pelayaran juga mempengaruhi nilai kecerahan pada daerah tersebut.

Gambar 9. Nilai hasil pengamatan kecerahan (m) pada setiap stasiun pengamatan. Beberapa penelitian mengatakan terumbu karang dapat hidup dengan baik pada kisaran kecerahan 3-12 m di perairan P. Tuapejat dengan tutupan karang hidup 54,30-60%, kisaran kecerahan 3-12,1 di perairan P. Simakakang dengan tutupan karang hidup 59,47% dan pada kisaran kecerahan 3-12 m pada perairan P. Pitotogat dengan tutupan karang hidup mencapai 68,87% (Zulfikar 2009), serta kisaran kecerahan 3,6-8,10 m di di perairan Timur Kepulauan Riau dengan tutupan karang berkisar 54,28-62,38% (Adriman et al. 2012). Jadi, secara keseluruhan hasil pengukuran kecerahan di Teluk Lampung dalam penelitian ini masih dikategorikan pada kondisi yang masih mendukung pertumbuhan terumbu karang.

Kekeruhan

Kekeruhan merupakan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan non organik yang tersuspensi (lumpur, pasir halus) dan terlarut (lempung) maupun plankton dan mikroorganisme lain (Effendi 2003). Nilai kekeruhan berbanding terbalik dengan nilai kecerahan. Jika kekeruhan tinggi maka akan menyebabkan nilai kecerahan menjadi rendah. Hasil pengukuran kekeruhan pada saat penelitian berkisar 0,6-1,3 NTU (Gambar 10). Secara umum hasil pengukuran ini masih dalam batas normal. Santoso (2005) mengatakan bahwa perairan Teluk Lampung berkisar 0,11-4,25 NTU. Peningkatan kekeruhan akan mengurangi penetrasi cahaya yang masuk ke perairan. Terbatasnya cahaya yang masuk ke kolom air akan mengurangi kemampuan fotosintesis simbion karang zooxanthellae dan menurunkan metababolisme hewan karang sehingga akan memperlambat laju kalsifikasi. Selain itu kekeruhan juga akan membentuk karakter morfologi karang yang didominasi oleh bentuk massive (Sorokin 1993).

Beberapa penelitian di wilayah terumbu karang mengatakan terumbu karang dapat hidup dengan baik pada kisaran kekeruhan tersebut seperti 0,7-0,9 NTU di Pantai Timur Kab. Bintan dengan tutupan karang 61,73-66,58% (Partini

2009), 0-2 NTU di Perairan Pulau Abang Batam dengan tutupan karang hidup 51,3-67,48% (Pratomo 2012), 0,45-5,0 NTU di perairan P. Pancang dengan tutupan karang hidup 52,8% (Boli 1994). Berdasarkan hal tersebut secara keseluruhan hasil pengukuran kekeruhan di Teluk Lampung dalam penelitian ini masih dikategorikan pada kondisi yang baik dan masih mendukung pertumbuhan terumbu karang.

Total Padatan Tersuspensi (TSS)

Hasil pengukuran TSS sangat di pengaruhi oleh kondisi perairan pada saat pengukuran seperti pergerakan arus dan gelombang yang menyebabkan turbulensi. Hasil pengukuran pada saat penelitian menunjukkan nilai TSS di daerah penelitian berkisar 0,098-0,210 mg/l (Gambar 10). Pada kisaran TSS tersebut umumnya masih tergolong pada kisaran yang baik untuk kehidupan organisme laut khususnya terumbu karang. Menurut Sulastri dan Bajoeri (1995), kandungan zat padat tersuspensi >25 mg/l dapat menurunkan produksi biota perairan termasuk terumbu karang.

Beberapa penelitian yang di wilayah terumbu karang menunjukkan bahwa terumbu karang hidup dalam kondisi baik pada kisaran 6-7 mg/l di di Pantai Timur Kab. Bintan dengan tutupan karang hidup berkisar 59,36-62,89% (Partini 2009) dan kisaran 0-1,0 mg/l di perairan Pulau Abang Batam dengan tutupan karang berkisar 51,3-67,48% (Pratomo 2012). Jadi, disimpulkan bahwa kandungan TSS pada wilayah penelitian masih dalam batas normal dan mendukung pertumbuhan karang.

Gambar 10. Nilai hasil pengamatan kekeruhan (NTU) dan TSS (mg/l) pada setiap stasiun pengamatan

Kecepatan Arus

Arus di Teluk Lampung terdiri dari arus pasut yang dibangkitkan oleh pasut, dan arus non pasut yang utamanya dibangkitkan oleh angin. Pada saat penelitian, angin bertiup dari timur ke barat (angin timur). Arus pada musim timur antara bulan April hingga Oktober kecepatan arus di perairan Teluk Lampung antara 1 cm/dtk hingga 36 cm/dtk (DKP-Lampung 2013). Tipe pasut di Teluk Lampung adalah tipe semi diurnal campuran, yaitu terjadi dua kali pasang dan dua

kali surut setiap harinya. Pada saat akan pasang dan akan surut merupakan waktu menghasilkan kontribusi terbesar terhadap kecepatan arus di Teluk Lampung.

Hasil pengukuran kecepatan arus pada saat penelitian adalah berkisar 5,3-19,6 cm/dtk (Gambar 11). Kecepatan arus di mulut teluk lebih tinggi dibandingkan dengan di bagian dalam teluk. Pengukuran kecepatan arus pada setiap stasiun secara umum dilakukan pada waktu perairan akan surut, sehingga diestimasi bahwa tingkat pengaruh arus pasut terhadap kecepatan arus perairan berada pada tingkat tertinggi. Arus di Teluk Lampung utamanya dibangkitkan oleh pergerakan massa air Samudera Hindia dan Laut Jawa. Massa air laut pasang Samudera Hindia dan Laut Jawa, masuk ke dalam teluk dari arah selatan ke arah utara dengan volume massa air yang cukup besar. Pulau-pulau yang berada di selatan menyebabkan terjadinya pembelokan arah massa air, sebagian kecil berbelok ke barat daya (sisi kiri teluk) dan sebagian besar ke timur laut (sisi kanan teluk) dengan arah akhir barat daya. Pembelokan gerakan massa air pasang sisi kanan membentur sisi kanan teluk, dan selanjutnya, terjadi pembelokan dengan arah timur-barat. Pada waktu air laut surut massa air akan keluar dari teluk (Helfinalis 2000).

Gambar 11. Nilai hasil pengamatan kecepatan arus (cm/dtk) pada setiap stasiun pengamatan

Beberapa penelitian di wilayah terumbu karang mengatakan terumbu karang dapat hidup dengan baik seperti pada kisaran kecepatan arus 3,1-29,5 cm/dtk di Pantai Timur Kab. Bintan yang mempunyai tutupan karang hidup antara 59,36-62,89% (Partini 2009), kecepatan arus 17-22 cm/dtk di perairan Timur Kepulauan Riau dengan tutupan karang berkisar 54,28-62,38% (Adriman et al. 2012), dan kecepatan arus 7,0-11 cm/dtk di P. Mandike dengan tutupan karangnya mencapai kisaran 61,73-66,58% (Lalang 2013). Jadi, dapat disimpulkan bahwa kecepatan arus pada daerah penelitian masih normal dan mendukung pertumbuhan terumbu karang.

Nitrat

Nitrat sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini yang dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai nitrat di daerah penelitian berkisar antara 0,007-0,342 mg/l (Gambar 12). Pengukuran kadar nitrat di perairan telah banyak

dilakukan di perairan Indonesia yang menunjukkan hasil yang hampir sama dengan hasil pengukuran di daerah penelitian Teluk Lampung diantaranya di perairan Timur Kepulauan Riau yang mempunyai kadar nitrat 0,069-0,351 mg/l (Adriman et al. 2012), perairan Pulau Karimunjawa 0,126-0,252 mg/l (Ariyati et al. 2005) dan perairan Pulau Lancang dengan kisaran nitrat 0,001-0,141 mg/l (Boli 1994).

Pada kisaran nitrat tersebut umumnya masih tergolong pada kisaran yang baik untuk kehidupan organisme laut khususnya terumbu karang. Beberapa penelitian di wilayah terumbu karang telah membuktikan terumbu karang dapat hidup dengan baik pada kisaran nitrat tersebut seperti 0,069-0,351 mg/l di perairan Timur Kepulauan Riau yang mempunyai tutupan karang berkisar 54,28-62,38% (Adriman et al. 2012), 0,001-0,141 mg/l di perairan Pulau Lancang dengan tutupan karang berkisar 54,2%, dan 0,002-0,120 mg/l di perairan Pulau Pari dengan tutupan karang 52,8% (Boli 1994).

Ortofosfat

Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan aquatik, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis untuk membentuk ortofosfat terlebih dahulu, sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan posfat di daerah penelitian berkisar 0,042-0,057 mg/l (Gambar 12). Hasil pengukuran ini secara menunjukkan kondisi yang hampir sama dengan beberapa pengukuran di perairan Indonesia seperti penelitian yang dilakukan di perairan Dumai dengan kandungan fosfat berkisar 0,06 mg/l (Heriyanto 2011), perairan Muria 0,03-0,05 mg/l (Hendro dan Zulfiyandi 2000), perairan Teluk Lampung 0,008-0,075 mg/l (DKP Lampung 2013).

Pada kisaran kandungan fosfat tersebut masih tergolong pada kisaran yang baik untuk kehidupan organisme laut khususnya terumbu karang. Beberapa penelitian di wilayah terumbu karang Indonesia telah membuktikan bahwa terumbu karang dapat hidup dengan baik pada kisaran seperti di perairan Pulau Abang Batam dengan nilai fosfat <0,015-4,38 mg/l dan tutupan karang berkisar 51,3-67,48% (Pratomo 2012), perairan P. Kuburan Cina mempunyai kandungan fosfat 0,42 mg/l dengan tutupan karang hidup 64,19%, perairan P. Pamegaran 0,32 mg/l dengan tutupan karang hidup mencapai 62,35% (Panggabean 2007).

Gambar 12. Nilai hasil pengamatan nitrat (mg/l) dan fosfat (mg/l) pada setiap stasiun pengamatan

Sedimentasi

Ukuran Butir Sedimen

Hewan karang membutuhkan substrat yang keras dan kompak untuk menempel. Terutama larva planula dalam pembentukan koloni baru dari karang, yang mencari substrat keras. Substrat keras ini dapat berupa benda padat yang ada di dasar laut, seperti batu, cangkang moluska, potongan-potongan kayu, ataupun besi yang terbenam, namun setiap jenis karang tertentu juga memiliki daya tahan yang berbeda pada benda-benda tersebut. Karang mati yang tenggelam di dasar laut juga dapat ditumbuhi berbagai jenis hewan karang.

Dalam ekosistem terumbu karang terutama di daerah tropis dan subtropis sedimen yang dominan adalah endapan kalsium karbonat (CaCO3). Sedimen tersebut berasal dari proses biogenik berupa pecahan halus terumbu karang, moluska, serta coralline algae. Kondisi seperti ini ditandai dengan perairan yang hangat dan cukup jernih seperti yang dibutuhkan oleh terumbu karang untuk tumbuh dan berkembang. Pasir karbonat dan lumpur anorganik dapat juga eksis di daerah ini, sebagai hasil presipitasi secara langsung kalsium karbonat dari air laut yang hangat. Di daerah lintang tinggi karbonat anorganik tidak terbentuk akan tetapi karbonat biogenik masih dapat terbentuk (Bearman 1999). Dominasi pasir karbonat terjadi apabila terrigenous sedimen sebagai masukan dari darat sedikit. Pada area terumbu karang yang dekat dengan muara sungai besar dimana suplai terrigenous sedimen cukup besar maka sedimen yang lebih halus juga dapat eksis dengan jumlah yang cukup banyak.

Hasil analisis ukuran butir diperoleh sebaran fraksi sedimen di perairan Teluk Lampung adalah sebagai berikut pasir kasar dengan kisaran 0-15,50%; pasir sedang dengan kisaran 0-58,95%; pasir halus dengan kisaran 18,80-49,72%; lumpur kasar dengan kisaran 1,31-25,44%; lumpur halus dengan kisaran 0,63-19,82%; liat 0-38,26%. Sebaran persentase fraksi sedimen serta jenis sedimen pada masing masing stasiun dapat dilihat pada Tabel 6.

Hasil pengamatan menunjukkan secara umum di semua stasiun memiliki fraksi sedimen yang bervariasi mulai dari pasir sangat kasar hingga lumpur halus, akan tetapi komposisinya tidak merata. Komposisi fraksi lumpur pada setiap stasiunnya dapat di jadikan sebagai indikasi terjadinya masukan sedimen dari darat ke laut. Fraksi lumpur pada Stasiun 1 (1,92%), Stasiun 2 (4,20%), Stasiun 3 (42,94%), Stasiun 4 (2,18%), Stasiun 5 (2,63%), Stasiun 6 (45,26%), Stasiun 7 (4,32%), Stasiun 8 (3,71%), Stasiun 9 (2,45%), dan Stasiun 10 (4,72%), dan Pada Stasiun 3 dan 6 komposisi lumpur paling tinggi, hal ini di sebabkan karena kedua stasiun ini terletak di muara sungai yang merupakan pemasok sedimen-sedimen dari daratan, sedangkan komposisi lumpur paling rendah di Stasiun 1, hal ini selain dikarenakan karena tidak terdapat sungai di sekitar stasiun tersebut, juga karena arus yang tenang di Stasiun 1 (5,3 cm/det) sehingga tidak ada sedimen yang masuk ataupun keluar yang terbawa (tidak terjadi mixing).

Tabel 6. Sebaran persentase fraksi sedimen serta jenis sedimen pada masing masing stasiun

St Fraksi (%) Jenis Tekstur

Pasir Lanau Lempung

Kasar Sedang Halus Kasar Halus

1 2 20.13 15.50 58.95 50.16 19.00 30.15 1.15 2.52 0.77 1.68 0.00 0.00 Pasir Pasir 3 4 5 6 7 0.00 11.25 9.56 0.00 8.72 0.00 44.20 55.70 0.00 37.24 18.80 42.37 32.10 20.26 49.72 24.19 1.31 1.58 25.44 2.59 18.75 0.87 1.05 19.82 1.73 38.26 0.00 0.00 34.49 0.00 Lempung Berlanau Pasir Pasir Lempung Berlanau Pasir 8 9 10 9.46 13.72 10.17 42.18 36.78 40.85 44.48 47.05 44.26 1.98 1.82 2.75 1.73 0.63 1.97 0.00 0.00 0.00 Pasir Pasir Pasir

Jenis tekstur sedimen di daerah penelitian dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu pasir, lempung berlanau. Pada Stasiun 1, 2, 4, 5, 7, 8, 9 dan 10 memiliki jenis tekstur yang sama yaitu pasir, sedangkan pada Stasiun 3 dan 6 memiliki jenis tekstur lempung berlanau. Hansen dan Christiansen (1995) menyatakan bahwa komposisi partikel tersuspensi yang tertangkap di sediment trap jika didominasi lanau dan lempung menunjukkan area tersebut lebih dipengaruhi oleh pergerakan arus. Hal ini sesuai dengan asumsi yang dijelaskan oleh Mclaren (1981) bahwa kecenderungan butiran sedimen yang terdeposit pada suatu tempat dapat digunakan untuk mengidentifikasi asal sumber sedimen dan pengendapan yang mungkin terjadi. Sedimen dalam bentuk butir halus merupakan bentuk terbanyak yang ditransportasikan dibandingkan dengan butiran sedimen kasar. Laju Sedimentasi

Laju sedimentasi adalah suatu proses pengendapan sedimen yang disebabkan oleh sifat mekanis materi tersuspensi di air atau proses pembentukan dan akumulasi sedimen pada lapisan permukaan dasar perairan. Laju sedimentasi rata-rata di lokasi penelitian berkisar antara 3,0937-44,292 mg/cm2/hari. Laju sedimentasi yang paling tinggi terjadi pada Stasiun 1, yaitu sebesar 44,292 mg/cm2/hari. Nilai tersebut menurut kategori Pastorok dan Bilyard (1985), memiliki dampak sedang hingga berat terhadap terumbu karang. Di Stasiun 7 laju sedimentasi paling rendah dibanding stasiun lainnya, yaitu sebesar 3,09 mg/cm2/hari. Hal ini berarti laju sedimentasi memiliki dampak yang ringan sampai sedang terhadap terumbu karang. Laju sedimentasi pada setiap stasiun pengamatan dilihat pada Tabel 7.

Pada umumnya sedimen lumpur ditemukan di muara sungai adalah sedimen kohesif dengan diameter butiran sangat kecil. Triatmodjo (1999) menjelaskan bahwa sifat sedimen kohesif ini lebih tergantung pada gaya-gaya permukaan dari pada gaya berat. Adanya sedimen kohesif tersebut menggambarkan kondisi gelombang di pantai tersebut relatif lebih tenang sehingga tidak mampu mendispersi sedimen tersebut ke perairan dalam di laut lepas.

Tabel 7. Laju sedimentasi pada setiap stasiun pengamatan Stasiun Laju

Sedimentasi (mg/cm2/hari)

Tingkat Dampak Kategori Pastorok & Bilyard 1985 1 2 44.29 4.33

Sedang hingga berat Ringan hingga sedang

10-50 0-10 3 4 5 6 7 14.67 8.62 7.46 21.18 3.09

Sedang hingga berat Ringan hingga sedang Ringan hingga sedang Sedang hingga berat Ringan hingga sedang

10-50 0-10 0-10 10-50 0-10 8 9 3.24 4.77

Ringan hingga sedang Ringan hingga sedang

0-10 0-10

10 3.22 Ringan hingga sedang 0-10

Menurut Tomascik et al. (1997) laju sedimentasi yang disebabkan oleh materi tersuspensi dipengaruhi struktur fisiknya seperti volume, bentuk partikel yang terkait dengan arah singking, kepadatan dan porositas. Sedimentasi juga dipengaruhi oleh sifat fisik air laut seperti densitas dan kondisi hidrologi area seperti kecepatan arus, shear stress, posisi vertikal SPM (suspended particulate matter) pada kolom air, kecepatan partikel yang mengendap serta turbulent mixing. Sementara pengaruh langsung sedimentasi terhadap karang termasuk smothering, pengeluaran energi yang berlebih untuk aksi silia melepaskan partikel sedimen di permukaan karang, abrasi mukus dan menghalangi rekrutmen. Menurut Hubbard (1997) bahwa sedimentasi juga dapat menghalang-halangi penempelan larva karang pada substrat dasar. Sebagaimana diketahui bahwa larva karang membutuhkan substrat yang keras untuk menempel, dengan adanya penutupan substrat oleh sedimen, larva tersebut tidak mendapatkan kestabilan dalam penempelan sehingga tahap perkembangan selanjutnya tidak dapat tercapai. Hal ini bisa dilihat bahwa di Stasiun 1, 3, dan 6 merupakan daerah yang kondisi karangnya rusak

Analisis Unsur Pembentuk Sedimen (Al, Ca, Fe)

Analisis kandungan Aluminium (Al), Kalsium (Ca), dan Besi (Fe) menunjukkan bahwa pada Stasiun 9 sedimen paling banyak mengandung Kalsium yaitu 220889.8 mg per kilogram sedimen dilanjutkan kandungan Al (1225.2 mg/kg), dan Fe (742.4 mg/kg) (Tabel 8). Hal ini menjelaskan bahwa sedimen di Stasiun 9 merupakan tipe sedimen biogenous, dimana sedimen tersebut bersumber dari sisa-sisa organisme yang hidup seperti cangkang, pecahan karang dan rangka biota serta bahan-bahan organik yang mengalami dekomposisi.

Kandungan Aluminium tertinggi ditemukan pada Stasiun 3 (17732,4 mg/kg), dilanjutkan Stasiun 1 (13250,6 mg/l), Stasiun 6 (11080,8 mg/kg) dan Stasiun 9 (1225,2 mg/kg). Kandungan aluminium pada sedimen menjelaskan bahwa sedimen pada daerah tersebut merupakan unsur yang berasal dari erosi pantai dan material hasil erosi daerah daratan. Material ini dapat sampai ke dasar laut melalui proses mekanik, yaitu tertransport oleh arus sungai dan atau arus laut

serta partikel yang terbawa oleh arus sungai dari daratan dan akan terendapkan jika energi penggeraknya telah melemah. Kandungan Al terendah terdapat di Stasiun 9 yang terletak jauh dari pangkal teluk dan muara sungai sehingga tidak ada masukan sedimen dari daratan yang terbawa oleh arus sungai.

Tabel 8. Kandungan Aluminium (Al), Besi (Fe), dan Kalsium (Ca)

No Stasiun Parameter

Aluminium (Al) Besi (Fe) Kalsium (Ca)

mg/kg mg/kg mg/kg

1 1 13250.6 2150 188395.84

2 3 17732.4 2060.8 106653.76

3 6 11080.8 2290.4 112385.4

4 9 1225.2 742.4 220889.8

Kandungan Besi (Fe) di daerah penelitian ditemukan paling rendah diantara ketiga unsur yang dianalisis. Hal ini menunjukkan sedimen yang terbentuk karena adanya proses pengendapan atau mineralisasi elemen-elemen kimia terlarut dalam laut cukup rendah di daerah tersebut. Hasil analisis menunjukkan kandungan Fe tertinggi ditemukan di Stasiun 6 (2290,4 mg/kg), dilanjukkan Stasiun 1 (2150 mg/kg), Stasiun 3 (2060,8 mg/kg) dan Stasiun 9 (742,4 mg/kg).

Terumbu Karang Tutupan Terumbu Karang

Hasil penelitian menunjukkan persentase tutupan karang pada Stasiun 1 (8,75%), Stasiun 2 (36,06%), Stasiun 3 (22,12%), Stasiun 4 (33,46%), Stasiun 5 (39,35%), Stasiun 6 (21,12%), Stasiun 7 (35,72%), Stasiun 8 (45,74%), Stasiun 9 (60,85%) dan Stasiun 10 (35,47%). Berdasarkan Gomez dan Yap (1988) persentase Stasiun 1, 3, dan 6 tersebut termasuk dalam kategori buruk, sedangkan Stasiun 2, 4, 5, 7, 8 dan 10 termasuk dalam kategori sedang. Terumbu karang dengan kategori baik hanya terdapat pada Stasiun 9. Persentase tutupan karang secara lengkap disajikan dalam Gambar 13.

Terumbu karang yang rusak (Stasiun 1, 3,dan 6), diduga di akibatkan oleh pengaruh aktivitas sedimentasi. Hal ini bisa dilihat dari letak ketiga stasiun tersebut yang berada berdekatan dengan muara sungai. Sedimentasi yang dibawa sungai dari daratan akan menyebabkan kekeruhan dan mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam kolom perairan. Selain itu sedimen tersebut akan mengendap dan menutupi polip karang sehingga dapat menyebabkan kematian pada karang.

Pada Stasiun 2 ditemukan 7 genus dengan tutupan karang di dominasi oleh Acropora. Dalam Suharsono (2010) disebutkan Acropora biasanya tumbuh pada perairan jernih dan lokasi dimana terjadi pecahan ombak. Bentuk koloni umumnya bercabang dan tergolong jenis karang yang cepat tumbuh, namun sangat rentan terhadap sedimentasi. Jenis karang Acropora juga terlihat

mendominasi pada Stasiun 5, 8, 9, dan 10. Dimana pada stasiun tersebut tingkat laju sedimentasinya rendah.

Keterangan :

Hard coral Abiotik Other fauna Dead coral Algae

Pada Stasiun 1, 3,dan 6 tersebut tutupan karang didominasi oleh jenis Porites dan Pectinia dengan bentuk pertumbuhan massive. Karang ini berbentuk bongkahan dan permukaan karang halus atau terdapat tonjolan kecil atau besar

Dokumen terkait