• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Pengamatan Kejadian Penyakit

Pengamatan kejadian penyakit dilakukan pada tiga lokasi berbeda di daerah Bogor, yaitu di daerah Leuwikopo, Cikabayan, dan Bantar Jaya. Gejala mosaik ditemukan pada setiap lahan budidaya yang diamati, dengan persentase kejadian penyakit antara 51.11% sampai 63.33% (Tabel 2).

Tabel 2 Hasil pengamatan kejadian penyakit mosaik di daerah Bogor, JawaBarat Lokasi pertanaman oyong Umur Tanaman (MST*) Jumlah tanaman bergejala (n) Populasi tanaman yang diamati (N) Kejadian penyakit (%) Leuwikopo 8 53 94 56.38 Cikabayan 6 38 60 63.33 Bantar Jaya 4 184 360 51.11

*) MST: minggu setelah tanam

Gejala yang ditunjukkan dari hasil pengamatan di lapangan beragam. Tipe gejala yang ditemukan pada tanaman oyong di Cikabayan berupa ukuran daun mengecil, terdapat bercak klorosis pada permukaan daun dan pertulangan daun mengalami klorosis (Gambar 1a). Gejala isolat di Leuwikopo berupa daun mengeras dan kaku, pertulangan daun mengalami klorosis (vein clearing), serta terlihat mosaik hijau terang-gelap (Gambar 1b), sedangkan gejala isolat Bantar Jaya gejala berupa mosaik hijau-kuning, daun menggulung dan mengerut, pertulangan daun mengalami klorosis, dan terdapat lepuhan (Gambar 1c).

Gambar 1 Gejala mosaik yang ditemukan pada tiga lokasi pertanaman oyong. a: Cikabayan (bercak klorosis), b: Leuwikopo (mosaik hijau gelap-terang), dan c: Bantar Jaya (mosaik hijau-kuning dan vein clearing).

7 Sumber Inokulum Virus

Hasil deteksi terhadap tiga sumber inokulum menunjukkan bahwa isolat asal Leuwikopo dan Bantar Jaya terdeteksi positif mengandung SqMV, namun hanya isolat Leuwikopo yang menunjukkan hasil negatif terhadap keberadaan virus lain. Sehingga isolat asal Leuwikopo dijadikan sebagai sumber inokulum untuk pengujian kisaran inang (Tabel 3).

Tabel 3 Hasil deteksi virus terhadap isolat tanaman oyong dari tiga lokasi berbeda.

Asal inokulum Deteksi serologi

SqMVa CMVa Potyvirusb

Leuwikopo + - -

Cikabayan - + -

Bantar Jaya + + -

a

deteksi dilakukan dengan metode DIBA dan RT-PCR, bdeteksi dengan metode RT-PCR

Inokulasi SqMV secara mekanis pada tanaman oyong sehat kultivar Pagoda menunjukkan semua tanaman oyong bergejala antara 7 sampai 14 hari setelah inokulasi jika tanaman dipelihara di lapangan. Masa inkubasi SqMV pada tanaman oyong yang dipelihara dirumah kaca berlangsung lebih singkat yaitu berkisar 5 sampai 10 hari setelah inokulasi.

Gejala yang muncul pada tanaman oyong yang terinfeksi SqMV diawali dengan ukuran daun tanaman yang lebih kecil dari ukuran normal, munculnya bercak klorosis pada daun muda (Gambar 2a), gejala lanjut berupa pemucatan tulang daun (vein clearing), malformasi, dan mosaik hijau-kuning pada daun (Gambar 2b). Gejala kemudian berkembang menjadi mosaik hijau gelap-terang, melepuh dan disertai malformasi daun (Gambar 2c).

Gambar 2 Gejala fenotip tanaman oyong yang terinfeksi virus SqMV hasil penularan secara mekanis. a: bercak klorosis, b: mosaik hijau-kuning dan vein clearing, c: moasik hijau gelap-terang dan lepuhan, d: tanaman sehat.

d c

b a

Kisaran Inang

Hasil penularan SqMV isolat oyong menunjukkan sepuluh spesies tanaman uji dari empat famili tanaman berbeda yaitu Cucurbitaceae, Solanaceae, Chenopodiaceae, dan Amaranthaceae dapat diinfeksi dan dijadikan tanaman inang SqMV (Tabel 4).

Tabel 4 Hasil penularan mekanis SqMV isolat oyong pada 16 spesies tanaman uji Tanaman uji Masa inkubasi (hari) Kejadian penyakit n/N (%) Tipe gejala Ket Cucurbitaceae C. sativus cv Daria 9 10/10 (100) Ms + C. melo cv Renjana 9 10/10 (100) Vc + C. pepo cv Giant - 0/10 (0) Tg - S. edule 8 10/10 (100) Ms + M. charantia cv Cigar* 10 6/6 (100) Ms + Solanaceae C.annuum cv Oktav - 0/10 (0) Tg - L. esculentum - 0/10 (0) Tg - N. tabacum 49 10/10 (100) Vb + N. clevelandii - 0/10 (0) Tg - P. floridana 8 3/10 (30) Ms + D. stramonium 12 5/10 (50) Ms + Leguminosae V. sinensis cv Wulung - 0/10 (0) Tg - P. vulgaris cv Ladju - 0/10 (0) Tg - Chenopodiaceae C. amaranticolor 14 10/10 (100) Kl + C. quinoa 14 10/10 (100) Kl + Amaranthaceae G. globosa 12 10/10 (100) Ms +

Ket: n : Jumlah tanaman bergejala VB : Vein Banding

N : Total tanaman yang diinokulasi VC : Vein Clearing

MS : Mosaik Sistemik (+) : positif terinfeksi SqMV (DIBA) LL : Klorosis lokal (-) : negatif terinfeksi SqMV (DIBA) TG : Tanpa Gejala (*) : 4 tanaman mati karena damping off

Hasil uji kisaran inang menunjukkan bahwa masa inkubasi SqMV rata-rata berlangsung selama 14 hari, paling singkat terjadi pada tanaman labu siam dan ciplukan, gejala muncul selama 8 hari setelah inokulasi dan yang terpanjang pada tanaman tembakau yaitu selama 49 hari setelah inokulasi. Untuk tanaman dari famili Cucurbitaceae rata-rata masa inkubasi selama 9 hari.

Tanaman Cucurbitaceae yang dapat diinfeksi SqMV yaitu timun, melon, labu siam, dan pare (Gambar 3). Pada timun gejala berupa mosaik hijau gelap-terang dan ukuran daun menjadi lebih kecil (Gambar 3b-c). Pada melon gejala berupa daun melekuk, mengerut disertai dengan pemucatan pada tulang daun (vein clearing) (Gambar 3e), kemudian gejala berkembang menjadi mosaik hijau gelap-terang (Gambar 3f). Gejala pada paria berupa bercak klorosis (Gambar 3h),

9 kemudian menjadi mosaik hijau gelap-terang (Gambar 3i). Gejala pada tanaman labu siam berupa klorosis pada daun yang diinokulasi (Gambar 3k) dilanjutkan dengan mosaik hijau gelap-terang disertai dengan daun yang mengerut dan lebih kaku dibandingkan dengan daun sehat (Gambar 3l). Gejala pada tanaman Cucurbitaceae jelas terlihat ketika tanaman masih dalam fase vegetatif awal, namun saat tanaman memasuki fase generatif gejala menjadi tidak jelas.

Tanaman Solanaceae yang dapat diinfeksi SqMV diantaranya tembakau, kecubung, dan ciplukan (Gambar 4). Gejala pada kecubung berupa daun menggulung dan lebih kaku dibandingkan dengan tanaman sehat (Gambar 4b), kemudian berkembang menjadi mosaik hijau gelap-terang (Gambar 4c). Pada tembakau, daun lebih lanset dan tebal dibandingkan pada daun sehat (Gambar 4e), tulang daun menjadi lebih tebal, daun mengerut, dan keriting (Gambar 4f). Pada ciplukan gejala berupa mosaik hijau-kuning (Gambar 4h), daun menggulung, memuntir, dan mengering (Gambar 4i).

Semua tanaman Chenopodiaceae (C. amaranticolor dan C. quinoa) dapat diinfeksi SqMV secara lokal (Gambar 5). Gejala pada C. amaranticolor berupa klorosis lokal pada daun yang diinokulasi (Gambar 5b), berkembang menjadi lesio lokal nekrotik (LLN) dengan tepi lesio merah keunguan (Gambar 5c). Pada

C. quinoa gejala awal berupa klorosis lokal pada daun yang diinokulasi (Gambar 5e), kemudian berkembang menjadi LLN (Gambar 5f).

Bunga kenop (Amaranthaceae) dapat diinfeksi SqMV (Gambar 6). Gejala berupa tepian daun melekuk dan bergelombang (Gambar 6b), kemudian berkembang menjadi mosaik hijau gelap-terang (Gambar 6c).

Tanaman yang tidak bergejala setelah diinokulasi SqMV diantaranya labu kuning dengan warna daging buah kuning dan kulit buah orange (Gambar 7a-b), kacang panjang (Gambar 7c-d), buncis (Gambar 7e-f), tomat (Gambar 7g-h), cabai (Gambar 7i-j), dan tembakau cleveland (Gambar 7k-l). Pada tanaman yang tidak bergejala ini, SqMV tidak terdeteksi secara serologi dengan DIBA.

Gambar 3 Gejala hasil penularan mekanis pada (a-c) timun, (d-f) melon, (g-i) pare dan (j-l) labu siam. a,d,g,j: tanaman sehat; b: mosaik hijau gelap terang berat, c: mosaik hijau gelap-terang ringan, e: vein clearing, f: mosaik hijau gelap-terang ringan, h: bercak klorosis sistemik dan

vein clearing, i: mosaik hijau gelap-terang berat, k: bercak klorosis sistemik, l: mosaik hijau-kuning.

a c d e g h f b i j k l

11

Gambar 4 Gejala hasil penularan mekanis pada (a-c) kecubung, (d-f) tembakau, (g-i) ciplukan. a,d,g: tanaman sehat, b: daun menggulung dan kaku, c: mosaik hijau gelap-terang, e: daun lebih lanset dan kaku, f: vein banding dan klorosis sistemik, h: mosaik hijau-kuning, i: mosaik hijau-kuning dan mengering.

a c d e g h f b i

Gambar 5 Gejala hasil penularan mekanis pada (b-c) C. amaranticolor, (e-f) C. quinoa. a,d: tanaman sehat, b: klorosis lokal ringan kuning, c: lesio lokal nekrotik (LLN) berat dengan halo merah keunguan, e: klorosis lokal ringan, f: lesio lokal nekrotik (LLN) berat.

Gambar 6 Gejala hasil penularan mekanis pada G. globosa. a: tanaman sehat, b: daun menggulung dan bergelombang, c: mosaik hijau gelap-terang dan keriting. a f d e b c a b c

13

Gambar 7 Tanaman yang tidak menunjukkan gejala setelah diinokulasi SqMV (a,b) labu kuning, (c,d) kacang panjang, (e,f) buncis, (g,h) tomat, (i,j) cabai, (k,l) tembakau cleveland. (a,c,e,g,i,k) kontrol, (b,d,f,h,j,l) daun tanaman yang diinokulasi.

c d e f g b a h i j k l

Pembahasan

Hasil penularan mekanis mengonfirmasi bahwa SqMV selain terbawa benih dan ditularkan melalui serangga vektor di alam, juga dapat ditularkan secara mekanis pada bagian kotiledon maupun daun pertama yang muncul pada fase vegetatif tanaman inang. Inokulasi virus secara mekanis tidak mampu menularkan virus tanaman yang hanya dapat tersebar melalui pembuluh angkut, karena inokulasi mekanis hanya mampu mengintroduksi virus ke sel epidermis tanaman (Walkey 1991). Keberhasilan penularan virus secara mekanis dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya konsentrasi virus yang terkandung di dalam sap, sumber inokulum yang digunakan, media dan cara penyimpanan sumber inokulum, ketahanan virus didalam sap maupun faktor lingkungan, seperti cahaya maupun suhu (Hull 2002).

Tanaman melon, timun, pare, labu siam, ciplukan, tembakau, kecubung, dan bunga kenop dapat terinfeksi sistemik, sedangkan pada tanaman C. amaranticolor

dan C. quinoa muncul infeksi lokal berupa klorosis. Gejala sistemik muncul dan terlihat pada daun dibagian pucuk, bukan pada daun yang diinokulasi. Virus ditransfer bersamaan dengan nutrisi yang diangkut tanaman melalui jaringan pembuluh angkut pada tanaman (floem) menuju ke bagian akar. Virus yang berada pada akar tanaman kembali diangkut (xilem) dan menginfeksi daun baru pada tanaman. Siklus berlangsung berulang kali hingga keseluruhan bagian tanaman terinfeksi dan menimbulkan gejala sistemik (long distance movement), sedangkan gejala lokal muncul terbatas pada bagian tanaman yang terinfeksi virus (situs infeksi). Gejala lokal yang banyak dijumpai biasanya berupa nekrosis sebagai akibat dari terganggunya proses pembentukan klorofil, maupun karena kematian sel tanaman. Reaksi ini sering disebut sebagai reaksi hipersensitif tanaman sebagai bentuk ketahanan tanaman terhadap infeksi virus (Agrios 2005).

Tingkat ketahanan kultivar tanaman terhadap virus tumbuhan ditentukan oleh genotipe tanaman. Beberapa tanaman inang memiliki mekanisme pertahanan tersendiri untuk mencegah infeksi virus yang terdiri atas mekanisme aktif seperti kemampuan mendeteksi partikel asing dan mendegradasi sel yang telah terinfeksi virus agar tidak semakin meluas, serta mekanisme pasif seperti menghentikan pembentukan beberapa faktor yang dapat mendukung perkembangan maupun penyebaran virus dalam sel tanaman inang. Reaksi pertahanan tanaman terhadap virus terlihat dengan munculnya gejala pada tanaman (Gergerich dan Dolja 2006).

Tipe gejala yang ditunjukkan pada tanaman yang terinfeksi SqMV sangat beragam. Menurut Walkey (1991), variasi tipe gejala dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya tanaman inang dan strain virus. Sumber inokulum yang terinfeksi lebih dari satu virus juga dapat mempengaruhi respon tanaman inang. Virus juga dapat mempengaruhi baik jumlah maupun bentuk sel dan organel tanaman sehingga menimbulkan tipe gejala yang berbeda pada tiap jenis tanaman yang diinfeksi (Hull 2002). Gejala juga disebutkan muncul sebagai respon tanaman terhadap keberadaan virus akibat digunakannya hasil metabolisme dan nutrisi tanaman untuk sintesis virus, sehingga tanaman yang terinfeksi virus mengalami kekurangan beberapa metabolit yang dibutuhkan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan seperti asam amino, energi (ATP), nukleotida, dan enzim. Gejala penyakit juga dapat disebabkan oleh penumpukan bagian partikel virus seperti protein selubung, genom virus, dan komponen lainnya yang menimbulkan reaksi patologis pada tanaman inang (Agrios 2005).

15 Menurut Nameth et al. (1986) secara alami hampir semua tanaman dari famili Cucurbitaceae dapat menjadi inang SqMV. Selain Cucurbitaceae,

experimentally SqMV dapat menginfeksi Amaranthaceae, Chenopodiaceae, Hydrophyllaceae, Leguminosae, dan Umbelliferae (Freitag 1956).

Hasil uji kisaran inang menunjukkan tanaman melon, timun, pare, labu siam, tembakau, kecubung, dan ciplukan dapat menjadi inang SqMV, namun dalam penelitian ini tanaman labu kuning kultivar Giant (berdaging dan berkulit oranye) tidak dapat diinfeksi SqMV. Lestari (2011), melaporkan tanaman labu kuning kultivar Golden Mama menunjukkan gejala mosaik berat jika terinfeksi SqMV isolat labu kuning, sedangkan oyong kultivar Jaka menunjukkan gejala mosaik ringan bahkan tidak bergejala. Perbedaan hasil ini mungkin disebabkan karena perbedaan isolat SqMV, ketahanan tanaman, dan kultivar yang digunakan. Tanaman tomat, cabai, tembakau cleveland, kacang panjang, dan buncis pada penelitian ini tidak dapat diinfeksi SqMV. Hal ini sesuai dengan laporan VIDE (1996).

Menurut Hull (2002), kisaran inang dapat digunakan untuk mempelajari strain suatu virus. Perbedaan strain virus mempengaruhi jenis tanaman yang dapat diinfeksi dan dijadikan sebagai inang. Menurut Nelson dan Knuthsen (1973), terdapat dua kelompok besar SqMV dengan enam biotipe yang berbeda yang diklasifikasikan berdasarkan karakteristik gejala dan kisaran inangnya. Berdasarkan reaksi serologi SqMV terdiri dari dua grup, yaitu I dan II. Beberapa anggota grup I menginfeksi semangka (Citrullus vulgaris; watermelon), menyebabkan gejala berat pada melon (cantaloupe) dan gejala ringan pada labu kuning (Cucurbita pepo; pumpkin) dengan gejala awal berupa ringspot pada daun. SqMV grup II tidak menginfeksi semangka, menyebabkan gejala ringan pada melon (cantaloupe) dan gejala berat pada labu kuning (pumpkin) yang diawali dengan gejala distorsi berat pada daun. Tanaman kisaran inang yang dapat diinfeksi SqMV isolat oyong tidak menunjukkan gejala awal berupa mosaik cincin (ring-mosaic), melainkan klorosis dan distorsi daun. SqMV di Maroko isolat Chenopodium album dapat menginfeksi sistemik C. quinoa, C. pepo dan

Pisum sativum tergolong dalam serotipe I (Lockhart 1982). SqMV isolat oyong menunjukkan gejala yang berbeda berupa LLN pada C. quinoa dan C.

amaranticolor, vein clearing dan distorsi daun pada melon dan tidak dapat menginfeksi C. pepo var Giant. Perbedaan ini menyebabkan SqMV isolat oyong belum diketahui serotipenya, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

Kisaran inang yang diperoleh juga dapat mempengaruhi cara budidaya tanaman. Setelah mengetahui kisaran inang suatu virus tanaman maka diketahui tempat bertahan virus di lapangan selain pada inang utamanya. SqMV dapat menginfeksi sistemik tanaman timun, melon, pare, labu siam, tembakau, kecubung, ciplukan, dan bunga kenop. Oleh karena itu dianjurkan untuk tidak menanam jenis tanaman tersebut dalam suatu areal lahan budidaya pada waktu yang bersamaan.

SIMPULAN

SqMV isolat oyong dapat ditularkan secara mekanis dan menginfeksi sistemik pada timun, pare, melon, labu siam, tembakau, kecubung, ciplukan, dan bunga kenop, serta hanya menginfeksi lokal pada C. amaranticolor dan C. quinoa. Tanaman labu kuning, tomat, cabai, tembakau cleveland, kacang panjang, dan buncis tidak dapat diinfeksi SqMV

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait kajian molekuler untuk mengetahui identitas dan kekerabatan SqMV isolat oyong.

17

DAFTAR PUSTAKA

Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. New York (US): Academic Press. Babadoost M. 1999. Mosaic diseases of cucurbits [internet]. Urbana Champaign

(US): University of Illionis. [diunduh 2013 Januari 10]. Tersedia pada http://web.aces.uiuc.edu/vista/pdf_ pubs/926.pdf.

Campbell RN. 1985. Squash mosaic comovirus. [internet]. [diunduh 2013 November 21]. Tersedia pada http://image.fs.uidaho.edu/vide/descr753.htm Coutts B. 2006. Virus disease of cucurbit crops. Farmnote 166: 1-3.

Dashora N, Chauhan LS, Kumar N. 2013. Luffa acutangula L. Roxb. var. Amara (Roxb.) A consensus review. International Journal of Pharma and Bio Sciences 4(2):835 – 846.

Edi S, Bobihoe J. 2010. Budidaya Tanaman Sayuran. Jambi (ID): Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi.

Envirologix. 1998. Squash mosaic virus background [internet]. [diunduh 2013 November 15]. Tersedia pada http://www.envirologix.com/artman/publish /article_291.shtml.

Freitag. 1956. Beetle transmision, host range, and properties of Squash mosaic virus. Phytopathology 46(2):73-81

Gergerich RC, Dolja VV. 2006. Introduction to plant virus, the invisible foe [internet]. The Plant Health Instructor. DOI: 10.1094/PHI-I-2006-0414-01. Han SS, Yoshida K, Karasev AV, Iwanami T. 2002. Nucleotide sequence of a

Japanese isolate of Squash mosaic virus. Archives of Virology 147: 437-443.

Haudenshield JS, Palukaitis P. 1998. Diversity among isolates of squash mosaic virus. Journal of General Virology 79(1):2331-2341.

Hull R. 2002. Matthews’ Plant Virology. Ed ke-4. San Diego (US): Elsevier Academic Press.

Izadpanah K. 1987. Squash mosaic virus as the cause of melon vein banding mosaic in Iran. Phytopathology 120(3): 276-282.

Kadwati. 2013. Deteksi virus-virus utama bawang merah (Allium cepa L.) dan bawang putih (A. sativum L.) dari daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Lestari, SM. 2011. Keberadaan beberapa virus dan efisiensi tular benih Squash mosaic comovirus pada Cucurbitaceae [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Lockhart BEL. 1982. Squash mosaic virus in Morocco. Plant Disease 66:1191-1193.

Mahmood T, Hein GL, French RC. 1997. Development of serological procedures for rapid and reliable detection of Wheat streak mosaic virus in a single wheat curl mite. Plant Disease 81:250-253.

Mondal B, Khatua DC, Hansda S, Ray SK. 2014. Sclerotinia rot of ridge gourd and pointed gourd in Lateritic Zone of West Bengal, India. Scholars Academic Journal Biosciences 2(4):251-254.

Nameth ST, Dudds JA, Paulus AO, Laemmlen FF. 1986. Cucurbit viruses of California. Plant Disease 70(1): 8-12.

Nelson MR, Knuhtsen HK. 1973. Squash mosaic virus variability: review and serological comparisons of six biotypes. Phytopathology 63: 920-926.

Nordam D. 1973. Identification of Plant Viruses: Methods and Experiments. Wegeningen (NL): Centre for Agricultural Publishing and Documentations. Oboh IO, Aluyor EO. 2009. Luffa cylindrica – an emerging cash crop. African

Journal of Agricultural Research 4(8):684-688.

Purba ERD. 2011. Pengaruh infeksi Squash mosaic comovirus terhadap perkembangan penyakit mosaik pada lima varietas mentimun (Cucumis sativus L.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rezania F. 2005. Tingkat ketahanan sembilan galur Cucumis melo L. terhadap

Squash mosaic comovirus [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [RI] Menteri Pertanian. 2011. Peraturan Menteri Pertanian Nomor

93/Permentan/OT.140/12/2011 tentang Jenis Organisme Penggangu Tumbuhan Karantina. Jakarta (ID): RI.

Soladoye MO, Adebisi AA. 2004. Luffa acutangula L. Roxb. Plant Resources of Tropical Africa [Internet]. [diunduh 2013 Nov 11]. Tersedia pada: http://www.prota4u.org/search.asp.

Stephen JM. 2012. Gourd, Luffa - Luffa cylindrica L. Roem., Luffa aegyptica

Mill., and Luffa acutangula L. Roxb. Gainesville (US): IFAS University of Florida.

VIDE. 1996. Squash mosaic comovirus [internet]. [diunduh 2013 Nov 15]. Tersedia pada http://pvo.bio-mirror.cn/descr753.htm.

Walkey David GA. 1991. Applied Plant Virology. Ed ke-2. London (GB): Chapman and Hall.

19

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Djoko Suratno dan Ibu Latifa yang dilahirkan pada tanggal 17 Juni 1992 di Kotabumi, Lampung Utara.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 1 Sawah Lama (2004), sekolah menengah pertama di SMP Negeri 2 Bandar lampung (2007), dan sekolah menengah atas di SMA Negeri 9 Bandar Lampung (2010), serta diterima di Institut Pertanian Bogor pada Departemen Proteksi Tanaman pada tanggal 28 Juni 2010 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi pengurus pada divisi Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (PSDM) di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian IPB periode 2011-2012, peserta magang di Laboratorium Nematologi Tumbuhan pada tahun 2012, aktif pada Organisasi mahasiswa daerah Lampung (KEMALA) dan mengikuti berbagai kegiatan kepanitiaan di fakultas dan Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA). Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum pada matakuliah Dasar-dasar Proteksi Tanaman tahun (2012), Pengendalian Hayati dan pengelolaan Habitat serta Biologi Cendawan tahun (2013), dan Ilmu Penyakit Tumbuhan Dasar tahun (2014).

Dokumen terkait