• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daun sirih dan daun sirih merah yang digunakan di dalam penelitian ini didapatkan dari daerah Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kedua tanaman tersebut telah dideterminasi dengan cara melihat ciri-ciri dari tanaman tersebut. Hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman yang diteliti adalah daun sirih dengan nama latin Piper betle L. yang ditunjukkan pada surat keterangan (Lampiran 1.) dan daun sirih merah dengan nama latin Piper crocatum Ruiz &

10

Pav. yang ditunjukkan pada surat keterangan (Lampiran 2.) sehingga tanaman yang digunakan dalam penelitian sudah tepat. Daun sirih yang telah terkumpul kemudian dipisahkan dengan pengotor yang terdapat di daun, dicuci dengan menggunakan air mengalir, dilakukan perajangan, dikeringkan, setelah kering dipisahkan dari bahan-bahan pengotor yang masih tersisa, serta dilakukan penyerbukan dan pengayakan.

Pada penelitian ini dilakukan penetapan kadar air pada serbuk simplisia daun sirih dan serbuk simplisia daun sirih merah dengan menggunakan metode destilasi toluena karena dalam penelitian ini menggunakan bahan yang telah dikeringkan dan mengandung minyak menguap (Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI, 2011). Persyaratan kadar air untuk serbuk

simplisia yang dapat diterima adalah ≤ Badan Pengawas Obat dan Makanan,

2014; Sulistyani, 2018). Kelebihan air pada serbuk simplisia dapat memudahkan pertumbuhan mikroba, jamur, dan mikroorganisme lainnya (Sulistyani, 2018).

Dalam penetapan kadar air untuk serbuk simplisia daun sirih volume air yang didapat adalah 0,4 ml dan berat serbuk yang ditimbang adalah 10,3271 gram sehingga kadar air serbuk simplisia daun sirih yang didapatkan pada penelitian ini yaitu 3,8733%, sehingga telah memenuhi persyaratan kadar air yang telah

ditetapkan yaitu ≤ , dan dalam penetapan kadar air untuk serbuk simplisia daun sirih merah volume air yang didapat adalah 0,5 ml dan berat serbuk yang ditimbang adalah 10,2294 gram sehingga kadar air serbuk simplisia daun sirih merah yang didapatkan pada penelitian ini yaitu 4,8879%, sehingga telah

memenuhi persyaratan kadar air yang telah ditetapkan yaitu ≤ .

(a) (b)

11

Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi. Maserasi merupakan suatu teknik ekstraksi dengan cara dingin yang menggunakan pelarut yang cocok dengan beberapa kali pengadukan yang dilakukan pada suhu kamar (Departemen Kesehatan RI, 2000). Prinsip metode maserasi adalah pelarut masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, sehingga zat aktif akan larut dalam cairan penyari yang kemudian zat aktif akan ke luar dari sel (Sulistyani, 2018). Hasil maserasi kemudian disaring dengan menggunakan corong Buchner yang dilapisi kertas saring Whatman No. 1 sambil di vakum untuk memisahkan filtrat cair dan serbuk. Filtrat cair kemudian diuapkan pada suhu 65oC untuk menghilangkan pelarut metanol yang diketahui memiliki titik didih 65oC yang terdapat di dalam ekstrak (Pubchem, 2018). Ekstrak yang didapatkan merupakan ekstrak kental dengan bobot tetap. Menurut Direkotrat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI (2011), bobot tetap diperoleh apabila perbedaan 2 kali penimbangan secara berturut-turut setelah dipijarkan selama 1 jam tidak melebihi 0,5 mg pada penimbangan dengan timbangan analitik. Bobot ekstrak kental daun sirih yang didapat adalah 12,5453 gram dan berat serbuk yang ditimbang adalah 60,9073 gram sehingga didapatkan % rendemen sebesar 20,5973%, serta bobot ekstrak kental daun sirih merah yang didapat adalah 25,5670 gram dan berat serbuk yang ditimbang adalah 134,5500 gram sehingga didapatkan % rendemen sebesar 19,0018%.

Bakteri yang digunakan dalam penelitian adalah Staphylococcus aureus yang telah diidentifikasi di Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta yang ditunjukkan pada surat keterangan (Lampiran 3.) sehingga bakteri yang digunakan dalam penelitian sudah tepat. Sebelum digunakan dalam penelitian, bakteri Staphylococcus aureus dibuat stok dan suspensi bakteri uji dengan cara kultur bakteri diambil dengan menggunakan jarum ose dan diose ke media Nutrient Agar dan Nutrient Broth kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 20. Stok bakteri diambil secukupnya dan diencerkan dengan Buffered Pepton Water (BPW) kemudian disetarakan kekeruhannya dengan larutan Mac Farland 0,5 menggunakan alat nephelometer jam (Clinical and Laboratory Standards Institute, 2017).

12

Pada penelitian ini digunakan uji difusi sumuran untuk melihat zona hambat dari ekstrak metanol daun sirih (EMDS) dan ekstrak metanol daun sirih merah (EMDSM) serta kombinasi kedua ekstrak tersebut dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Pertama-tama dilakukan uji aktivitas antibakteri dari masing-masing ekstrak dengan berbagai variasi konsentrasi (200 mg/ml, 150 mg/ml, 100 mg/ml, dan 50 mg/ml); dengan rata-rata diameter zona hambat ± SD yang dihasilkan dari konsentrasi tersebut untuk EMDS secara berturut-turut sebesar 6 mm ± 0; 4,3333 mm ± 0,2887; 1,8333 mm ± 0,2887; dan 0 mm ± 0; serta rata-rata diameter zona hambat ± SD yang dihasilkan dari konsentrasi tersebut untuk EMDSM secara berturut-turut sebesar 1,3333 mm ± 0,2887; 0,8333 mm ± 0,2887; 0 mm ± 0; dan 0 mm ± 0. Konsentrasi terkecil yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada penelitian ini yaitu 100 mg/ml untuk ekstrak metanol daun sirih dan 200 mg/ml untuk ekstrak metanol daun sirih merah.

Gambar 3. Uji difusi sumuran ekstrak metanol daun sirih dengan berbagai variasi konsentrasi

Gambar 4. Uji difusi sumuran ekstrak metanol daun sirih merah dengan berbagai variasi konsentrasi Keterangan: A = Kontrol negatif B = EMDS konsentrasi 200 mg/ml C = EMDS konsentrasi 150 mg/ml D = EMDS konsentrasi 100 mg/ml E = EMDS konsentrasi 50 mg/ml *EMDS = ekstrak metanol daun sirih

Keterangan: A = Kontrol negatif B = EMDSM konsentrasi 200 mg/ml C = EMDSM konsentrasi 150 mg/ml D = EMDSM konsentrasi 100 mg/ml E = EMDSM konsentrasi 50 mg/ml *EMDSM = ekstrak metanol daun sirih merah

13

Dalam penelitian ini EMDS konsentrasi 100 mg/ml memiliki zona hambat (1,8333 mm) yang lebih kecil jika dibandingkan dengan zona hambat EMDS konsentrasi 100 mg/ml pada penelitian Jayalakshmi, et al (2015) (24,75 mm) terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus. Hal ini dapat dikarenakan perbedaan tempat pengumpulan tanaman serta perbedaan teknik ekstraksi yang dilakukan (dalam penelitian ini menggunakan teknik maserasi, sedangkan dalam penelitian Jayalakshmi, et al (2015) menggunakan teknik sokhletasi).

Selanjutnya, dilakukan uji aktivitas antibakteri dengan menggunakan konsentrasi terkecil dari masing-masing ekstrak yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, berikut yang diujikan dalam pengujian efek kombinasi EMDS dengan EMDSM yaitu kontrol negatif (berisi DMSO 1%, aquadest, dan Buffered Peptone Water dengan perbandingan 1:1:1 (masing-masing 15 μl), konsentrasi EMDS tunggal 100 mg/ml (sebanyak 15 μl), konsentrasi EMDSM tunggal 200 mg/ml (sebanyak 15 μl), serta kombinasi kedua ekstrak dengan menggunakan masing-masing konsentrasi tersebut dengan perbandingan 1:1 (sebanyak 15 μl untuk EMDS : sebanyak 15 μl untuk EMDSM), 2:1 (sebanyak 30 μl untuk EMDS : sebanyak 15 μl untuk EMDSM), dan 1:2 (sebanyak 15 μl untuk EMDS : sebanyak 30 μl untuk EMDSM). Pengukuran dilakukan 24 jam setelah perlakuan dan diukur dalam satuan mm. Zona hambat yang terukur adalah zona di sekitar sumuran yang keruh namun masih lebih jernih dibandingkan dengan pertumbuhan di sekitarnya. Selain itu juga dibuat kontrol media serta kontrol pertumbuhan bakteri, dan dilakukan 3 kali replikasi.

(a) (b) Gambar 5. (a) Kontrol media; (b) Kontrol pertumbuhan bakteri

14

Kontrol pertumbuhan (gambar 5a) menunjukkan bahwa bakteri Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada media Nutrient Agar yang ditandai dengan media yang menjadi keruh secara keseluruhan, sedangkan kontrol media (gambar 5b) yang tampak bening menunjukkan bahwa media yang digunakan tidak terdapat kontaminan.

Gambar 6. Uji difusi sumuran kombinasi EMDS:EMDSM Keterangan:

A = Kontrol negatif; B = Ekstrak metanol daun sirih 100 mg/ml; C = Ekstrak metanol daun sirih merah 200 mg/ml; D = Kombinasi EMDS : EMDSM (1:1); E = Kombinasi EMDS : EMDSM (2:1); F = Kombinasi EMDS : EMDSM (1:2)

Hasil pengukuran diameter zona hambat uji efek kombinasi EMDS dengan EMDSM terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus tercantum di dalam Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengukuran diameter zona hambat (mm) dari perlakuan

Perlakuan Keterangan Mean (mm) ± SD

A Kontrol negatif 0 ± 0

B Ekstrak metanol daun sirih (EMDS) 100 mg/ml

2,8333 ± 0,2886

C Ekstrak metanol daun sirih merah (EMDSM) 200 mg/ml

1,1667 ± 0,2886

D Kombinasi EMDS : EMDSM (1:1) 2 ± 1

E Kombinasi EMDS : EMDSM (2:1) 2 ± 0,5

15

Data zona hambat yang telah didapatkan selanjutnya dianalisis hasil secara statistik (Lampiran 7.). Data diuji distribusi normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk dan didapatkan data tidak terdistribusi normal karena terdapat data dengan nilai p < 0,05 yaitu EMDS 100 mg/ml, EMDSM 200 mg/ml, dan kombinasi 1:2. Selanjutnya, dilakukan uji Levene untuk melihat homogenitas varian data. Hasil uji ini didapatkan nilai p = 0,159 (p > 0,05), sehingga dapat dikatakan data homogen. Data yang didapatkan dalam penelitian ini termasuk dalam data yang terdistribusi tidak normal dan data homogen. Oleh karena itu, dilanjutkan dengan uji non-parametrik yaitu uji Kruskal-Wallis. Dari uji Kruskal-Wallis didapatkan nilai p = 0,019 (p < 0,05) sehingga terdapat perbedaan bermakna pada data dalam penelitian ini, sehingga dilanjutkan ke uji Mann-Whitney untuk melihat letak perbedaannya yang disajikan pada tabel berikut:

Tabel 2. Hasil uji Mann-Whitney dengan taraf kepercayaan 95% Perlakuan yang dibandingkan Nilai p Makna Kontrol

negatif

EMDS 100 mg/ml 0,034 Berbeda bermakna EMDSM 200 mg/ml 0,034 Berbeda bermakna Kombinasi 1:1 0,037 Berbeda bermakna Kombinasi 1:2 0,034 Berbeda bermakna Kombinasi 2:1 0,037 Berbeda bermakna EMDS 100

mg/ml

EMDSM 200 mg/ml 0,043 Berbeda bermakna Kombinasi 1:1 0,246 Tidak berbeda bermakna Kombinasi 1:2 0.043 Berbeda bermakna Kombinasi 2:1 0,072 Tidak berbeda bermakna EMDSM 200

mg/ml

Kombinasi 1:1 0,246 Tidak berbeda bermakna Kombinasi 1:2 1,000 Tidak berbeda bermakna Kombinasi 2:1 0,072 Tidak berbeda bermakna Kombinasi

1:1

Kombinasi 1:2 0,246 Tidak berbeda bermakna Kombinasi 2:1 1,000 Tidak berbeda bermakna Kombinasi Kombinasi 1:2 0,072 Tidak berbeda bermakna

16 2:1

*EMDS = ekstrak metanol daun sirih

*EMDSM = ekstrak metanol daun sirih merah

Dari Uji Mann-Whitney yang didapatkan dalam penelitian ini dapat dilihat bahwa EMDS 100 mg/ml dengan kombinasi 1:1 dan 2:1, serta EMDSM dengan kombinasi 1:1. 2:1, dan 1:2 tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna sehingga dapat dikatakan efek yang dihasilkan yaitu efek indifferent; selain itu dapat dilihat juga bahwa EMDS 100 mg/ml dengan kombinasi 1:2 menunjukkan perbedaan yang bermakna sehingga dapat dikatakan efek yang dihasilkan yaitu efek antagonis. Dalam penelitian Hartini (2018) melaporkan bahwa kombinasi infusa daun sirih dengan infusa daun sirih merah menunjukkan adanya efek antagonis jika dibandingkan dengan masing-masing infusa tunggalnya serta efek antagonis yang muncul ini dikarenakan adanya interaksi antar senyawa yang terdapat dalam kedua infusa tersebut, sehingga efek indifferent ataupun efek antagonis yang dihasilkan dari kombinasi EMDS 100 mg/ml dengan kombinasi EMDSM 200 mg/ml dikarenakan adanya interaksi antar senyawa yang terdapat dalam kedua ekstrak tersebut. Dalam penelitian ini tidak dilakukan uji efek kombinasi EMDS dengan EMDSM dengan menggunakan metode checkerboard karena hasil diameter zona hambat dari kombinasi pada penelitian ini tidak menunjukkan pelebaran zona hambat pada pertumbuhan Staphylococcus aureus jika dibandingkan dengan masing-masing ekstrak tunggalnya.

Senyawa yang diduga sebagai antibakteri pada daun sirih dan daun sirih merah yaitu flavonoid, tanin, alkaloid, saponin, dan minyak atsiri (Shah et al, 2016; Shahab, 2016; dan Juliantina R dkk, 2009). Pada penelitian Syahidah, et al (2017) melaporkan bahwa pengujian ekstrak metanol daun sirih (EMDS) dengan metode KLT menunjukkan bahwa EMDS mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, dan minyak atsiri. Pada penelitian Hartini, dkk (2013) melaporkan bahwa pengujian ekstrak metanol daun sirih merah (EMDSM) dengan metode uji tabung menunjukkan bahwa EMDSM mengandung senyawa minyak atsiri dan tanin serta dengan metode uji KLT menunjukkan bahwa EMDSM mengandung senyawa alkaloid dan flavonoid.

17

Pada penelitian ini dilakukan analisa secara kualitatif untuk melihat kandungan senyawa flavonoid yang terkandung dalam EMDS 100 mg/ml, EMDSM 200 mg/ml, serta kombinasi kedua ekstrak tersebut dengan perbandingan 1:1, 2:1, dan 1:2. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan menggunakan metode kromatografi lapis tipis (KLT) dengan fase diam menggunakan silika gel 60 F254 dan fase gerak yang digunakan yaitu etil asetat:toluena (9:1) yang kemudian dideteksi dengan menggunakan sinar UV 254 nm dan 365 nm serta dideteksi dengan menggunakan pereaksi semprot FeCl3; senyawa yang berfluorosensi pada sinar UV 254 nm menunjukkan bahwa senyawa tersebut memiliki minimal dua ikatan rangkap terkonjugasi; senyawa yang yang berfluorosensi pada sinar UV 365 nm menunjukkan bahwa senyawa tersebut memiliki ikatan rangkap terkonjugasi yang lebih panjang; parameter yang diamati yaitu warna bercak dan harga Rf yang dibandingkan dengan senyawa pembanding (Susanti dkk, 2017; Reveny, 2011; Alen, Agresa, dan Yuliandra, 2017; DirJen BinFar dan AlKes RI, 2011).

(a) (b) (c)

Gambar 7. (a) Hasil uji KLT menggunakan sinar UV 254 nm; (b) Hasil uji KLT menggunakan sinar UV 365 nm; (c) Hasil uji KLT menggunakan pereaksi semprot FeCl3

Keterangan:

A = Baku flavonoid (kuersetin); B = Ekstrak metanol daun sirih 100 mg/ml; C = Ekstrak metanol daun sirih merah 200 mg/ml; D = Kombinasi EMDS :

18

EMDSM (1:1); E = Kombinasi EMDS : EMDSM (2:1); F = Kombinasi EMDS : EMDSM (1:2)

Tabel 3. Nilai Rf dan warna hasil uji KLT

Deteksi No Rf Kuersetin dan warna bercak Rf EMDS 100 mg/ml dan warna bercak Rf EMDSM 200 mg/ml dan warna bercak UV 254 nm 1 0,8 cm; coklat - 0,63 cm; ungu 2 - - 0,71 cm; ungu 3 - - 0,85 cm; kuning kehijauan 4 - - 0,94 cm; hijau tua UV 365 nm 1 0,8 cm; biru pudar - 0,48 cm; ungu muda 2 - - 0,6 cm; ungu tua 3 - - 0,85 cm; merah muda 4 - - 0,95 cm; ungu kehitaman FeCl3 1 0,8 cm; coklat 0,89 cm; biru tua 0,97 cm; hijau tua

Deteksi No

Rf Kombinasi 1:1 dan warna

bercak

Rf Kombinasi 2:1 dan warna bercak

Rf Kombinasi 1:2 dan warna bercak

UV 254 nm

1 0,62 cm; ungu 0,64 cm; ungu 0,61 cm; ungu 2 0,73 cm; ungu 0,71 cm; ungu 0,71 cm; ungu 3 0,85 cm; kuning kehijauan 0,87 cm; kuning kehijauan 0,84 cm; kuning kehijauan 4 0,93 cm; hijau

tua 0,93 cm; hijau tua 0,92 cm; hijau tua UV 365 nm 1 0,49 cm; ungu 0,49 cm; ungu 0,45 cm; ungu

19

muda muda muda

2 0,6 cm; ungu tua 0,61 cm; ungu tua 0,57 cm; ungu tua 3 0,86 cm; merah muda 0,87 cm; merah muda 0,85 cm; merah muda 4 0,95 cm; ungu kehitaman 0,97 cm; ungu kehitaman 0,94 cm; ungu kehitaman FeCl3 1 0,88 cm; biru tua

0,86 cm; biru tua 0,86 cm; biru tua

2 0,97 cm; hijau tua

0,95 cm; hijau tua 0,96 cm; hijau tua

Berdasarkan data uji KLT diatas, dapat dilihat bahwa di dalam kelima perlakuan tidak terdeteksi senyawa flavonoid kuersetin karena kelima sampel tidak menunjukkan warna bercak dan Rf yang identik dan tidak sama seperti baku kuersetin, namun dari warna yang dihasilkan berdasarkan hasil uji KLT pada deteksi sinar UV 254 nm menunjukkan adanya senyawa flavonoid (selain kuersetin) yang dilihat dari fluorosensi warna kuning (Skorek et al, 2016); selain itu, pada deteksi sinar UV 365 nm menunjukkan adanya klorofil ataupun senyawa lain yang tertutupi oleh klorofil yang dilihat dari warna kemerahan (Wagner, Bladt, and Zgainski, 1983); dan dengan pereaksi semprot FeCl3 menunjukkan adanya senyawa fenol yang ditunjukkan dari warna hijau tua (kehitaman) dan biru tua (kehitaman) (Susanti dkk, 2017).

Dalam penelitian ini juga dilakukan uji tabung dan organoleptis untuk melihat ada tidaknya senyawa-senyawa antibakteri seperti flavonoid, tanin, alkaloid, saponin, dan minyak atsiri dari kelima perlakuan (EMDS dengan konsentrasi 100 mg/ml, EMDSM dengan konsentrasi 200 mg/ml, serta kombinasi kedua ekstrak tersebut dengan perbandingan 1:1, 2:1, dan 1:2). Berdasarkan data uji tabung dan organoleptis (lampiran 6.) dapat dilihat bahwa pada EMDS dengan konsentrasi 100 mg/ml mengandung senyawa flavonoid yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna merah, senyawa tanin yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna hijau kehitaman, dan minyak atsiri yang ditandai dengan adanya bau khas; EMDSM dengan konsentrasi 200 mg/ml mengandung

20

senyawa flavonoid yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna merah, senyawa tanin yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna hijau kehitaman, senyawa alkaloid ditandai dengan adanya endapan berwarna kuning, senyawa saponin yang ditandai dengan adanya buih setinggi 2 cm, dan minyak atsiri yang ditandai dengan adanya bau khas; serta kombinasi kedua ekstrak tersebut dengan perbandingan 1:1, 2:1, dan 1:2 mengandung senyawa flavonoid yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna merah, senyawa tanin yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna hijau kehitaman, senyawa alkaloid yang ditandai dengan adanya endapan berwarna kuning, dan minyak atsiri yang ditandai dengan adanya bau khas.

Dokumen terkait