• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Aktivitas Antioksidan

Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH. Metode penangkapan radikal DPPH telah digunakan sebagai alat penting untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan BAL (Chen et al. 2014). Metode ini secara luas digunakan untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan karena kesederhanaan dan sensitivitasnya lebih baik dibandingkan dengan metode lain. Prinsipnya adalah interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen dari DPPH akan menetralkan karakter radikal bebas dari DPPH. Jika semua elektron pada DPPH menjadi berpasangan maka warna larutan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang (Zhang et al. 2011). Hasil pengujian aktivitas antioksidan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Aktivitas antioksidan L. plantarum SK(5) dengan metode DPPH Hasil analisis antioksidan menggunakan DPPH menunjukkan bahwa ekstrak media kultur L. plantarum SK(5) memiliki aktivitas antioksidan yang meningkat

seiring dengan peningkatan konsentrasi (Gambar 6). Ekstrak media kultur

L. plantarum SK(5) dengan konsetrasi 350 ppm menunjukkan persentase penangkapan radikal DPPH tertinggi, yaitu 34,1% (Lampiran 17). Hasil tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol, yaitu vitamin C yang memiliki persentase penangkapan sebesar 96,72% pada konsentrasi 20 ppm.

16

Penghambatan Enzim Alfa-glukosidase

Aktivitas daya hambat terhadap enzim alfa-glukosidase dipelajari dengan mengetahui kemampuan sampel untuk menghambat reaksi hidrolisis glukosa pada substrat p-nitrofenil-α-D-glukopiranosida (p-NPG). Setelah mengalami hidrolisis

substrat akan terhidrolisis menjadi α-D-glukosa dan p-nitrofenol yang berwarna kuning. Warna kuning yang dihasilkan oleh p-nitrofenol menjadi indikator kemampuan inhibitor untuk menghambat reaksi yang terjadi. Semakin besar kemampuan inhibitor untuk menghambat maka produk yang dihasilkan semakin sedikit atau warna larutan setelah inkubasi lebih cerah dibandingkan dengan larutan tanpa inhibitor (Sugiwati 2005). Hasil pengujian inhibisi alfa-glukosidase dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Penghambatan alfa-glukosidase L. plantarum SK(5)

Hasil analisis penghambatan enzim alfa-glukosidase menunjukkan bahwa ekstrak media kultur L. plantarum SK(5) memiliki aktivitas inhibisi alfa-glukosidase yang meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi. Ekstrak kasar dengan konsetrasi 60000 ppm menunjukkan penghambatan tertinggi sebesar -17,28% (Lampiran 18). Hasil ini sangat jauh lebih rendah dibandingkan kontrol positif glucobay yang meiliki penghambatan sebesar 98,28% pada konsentrasi 10 ppm.

Berat Badan Hewan Uji

Berat badan tikus uji diamati setiap kali dilakukan pegujian kadar gula darah. Penimbangan dilakukan tiap 2 hari sekali selama 14 hari perlakuan. Hasil pengukuran berat badan hewan uji dapat dilihat pada Gambar 8. Tubuh tikus kontrol normal meningkat selama periode percobaan, namun kelompok diabetes menunjukkan penurunan berat badan pada hari terakhir dari percobaan. Persentase perubahan berat badan selama 14 hari percobaan dapat dilihat pada Gambar 9. Berat badan tikus normal (E) meningkat sebanyak 5,32%, sedangkan berat badan kelompok tikus diabetes menurun sebanyak 5,46% (acarbose) (A), 1,56% (PBS) (B), 9,08% (L. plantarum SK(5) 30 mg/Kg bb) (C), dan 17,8% (L. plantarum

17

Gambar 8 Hasil pengukuran berat badan hewan uji selama 14 hari perlakuan. (A): acarbose (kontrol positif), (B): PBS (kontrol negatif), (C): L. plantarum

SK(5) 30 mg/Kg bb, (D): L. plantarum SK(5) 15 mg/Kg bb, (E): tikus normal tanpa induksi diabetes

Gambar 9 Persentase perubahan berat badan selama perlakuan 14 hari. (A):

acarbose (kontrol positif), (B): PBS (kontrol negatif), (C):

L. plantarum SK(5) 30 mg/Kg bb, (D): L. plantarum SK(5) 15 mg/Kg bb, (E): tikus normal tanpa induksi diabetes

Kadar Glukosa Darah

Diabetes mellitus ditandai dengan tingkat abnormal glukosa darah (hiperglikemia) (Alsayadi et al. 2014). Kadar glukosa darah pada penelitian ini dilakukan tiap 2 hari selama 14 hari perlakuan. Hasil pengukuran kadar glukosa darah dapat dilihat pada Gambar 10, adanya penurunan selama intervensi obat dan BAL dapat dilihat pada Gambar 11, dan persentase penurunan dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 10 menunjukkan bahwa semua tikus yang diinduksi STZ mengalami hiperglikemia yang ditandai dengan kadar glukosa darah >200 mg/dL berdasarkan Damsceno et al. (2014). Kadar glukosa darah berfluktuasi, namun semua perlakuan mengalami penurunan hingga hari ke-14 perlakuan (Gambar 10). Tikus yang diinduksi STZ mengalami diabetes dengan ditunjukkan oleh kadar glukosa darah yang berbeda nyata dengan tikus normal (Gambar 11). Selama 14 hari perlakuan, diperoleh adanya penurunan kadar glukosa darah dibandingkan dengan awal perlakuan. Gambar 11 menunjukkan bahwa dengan adanya perlakuan yang diberikan menghasilkan kadar glukosa darah yang tidak berbeda nyata dengan tikus normal pada hari ke-14 perlakuan.

18

Gambar 10 Hasil pengukuran kadar glukosa darah hewan uji selama 14 hari perlakuan. (A): acarbose (kontrol positif), (B): PBS (kontrol negatif), (C): L. plantarum SK(5) 30 mg/Kg bb, (D): L. plantarum SK(5) 15 mg/Kg bb, (E): tikus normal tanpa induksi diabetes

Gambar 11 Hasil pengukuran kadar glukosa darah hewan uji selama 14 hari perlakuan. (A): acarbose (kontrol positif), (B): PBS (kontrol negatif), (C): L. plantarum SK(5) 30 mg/Kg bb, (D): L. plantarum SK(5) 15 mg/Kg bb, (E): tikus normal tanpa induksi diabetes. Angka-angka pada batang yang sama yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)

Gambar 12 menunjukkan bahwa penurunan kadar glukosa darah tertinggi pada tikus diabetes adalah yang diberi L. plantarum SK(5) 30 mg/Kg bb (C) dengan penurunan sebesar 86,22%. kemudian kontrol positif yang diberi acarbose 1 mg/Kg bb (A) dengan penurunan sebesar 79,32%, dan selanjutnya tikus diabetes yang diberi L. plantarum SK(5) 15 mg/Kg bb (D) dengan penurunan sebesar 74,66%. Tikus diabetes yang tidak diberikan intervensi obat dan BAL (B) juga mengalami penurunan kadar glukosa darah, yaitu dengan penurunan sebesar 69,56%. Tikus normal tanpa induksi diabetes (E) juga mengalami penurunan kadar glukosa darah, yaitu sebesar 13,5%.

19

Gambar 12 Persentase perubahan kadar glukosa darah hewan uji setalah 14 hari perlakuan. (A): acarbose (kontrol positif), (B): PBS (kontrol negatif), (C): L. plantarum SK(5) 30 mg/Kg bb, (D): L. plantarum SK(5) 15 mg/Kg bb, E: tikus normal tanpa induksi diabetes

Profil Biokimia Darah

Analisis biokimia dilakukan untuk mengidentifikasi gangguan pada profil biokimiawi serum darah yang dapat dikorelasikan dengan profil histopatologi hati dan ginjal. Gangguan fungsi hati dapat diindikasikan dari glutamat oksaloasetat transaminase (SGOT) dan glutamat piruvat transaminase (SGPT). Gangguan fungsi ginjal dapat diindikasi dari kandungan blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin (Panjaitan et al. 2007). Hasil pengujian biokimia darah tikus dapat dilihat pada Tabel 2. Kadar SGOT, SGPT, BUN, dan kreatinin meningkat pada kelompok tikus diabetes dibandingkan dengan kelompok tikus normal.

Tabel 2 Profil biokimia darah

Perlakuan SGOT (U/L) SGPT (U/L) BUN (mg/dL) Kreatinin (mg/dL)

A 242,50±20,51a 155,50±30,41a 42,50±0,71a 0,32±0,01ab

B 115,00±4,24b 51,00±2,83b 44,00±11,31a 0,37±0,01c

C 145,50±47,38b 44,50±0,71b 43,50±10,61a 0,32±0,00b

D 124,50±13,44b 59,50±10,61b 49,00±21,21a 0,40±0,02d

E 88,00±8,49b 37,50±2,12b 34,00±9,90a 0,29±0,00a

Keterangan: (A): acarbose (kontrol positif), (B): PBS (kontrol negatif), (C): L. plantarum SK(5) 30 mg/Kg bb, (D): L. plantarum SK(5) 15 mg/Kg bb, (E): tikus normal tanpa induksi diabetes. Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)

Kadar SGOT semua perlakuan tidak berbeda nyata dengan tikus normal, kecuali pada pemberian acarbose (Tabel 2). Semua perlakuan masih di dalam batas yang ditetapkan Petterino dan Storino (2006) (SGOT dan SGPT pada tikus jantan galur Sprague-Dawley maksimum sebesar 201,89 U/L dan 218,1 U/L), namun untuk perlakuan dengan acarbose memiliki kadar SGOT yang lebih tinggi dari batas (242,50 U/L). Kadar BUN berkisar antara 42,50-49,00 mg/dL (Tabel 2). Kadar ini masuk kategori normal jika dibandingkan antara perlakuan diabetes dengan tikus non-diabetes karena kadar BUN perlakuan tidak berbeda nyata dari kadar BUN tikus normal (34,00 mg/dL). Kadar kreatinin tikus penelitian berkisar antara 0,29-0,40 mg/dL. Semua kadar kreatinin tikus perlakuan berbeda nyata dengan tikus normal, kecuai pada perlakuan acarbose, namun masih termasuk

20

dalam kategori normal sesuai dengan batas menurut Derelanko (2008), yaitu 0,3-0,8 mg/dl (Derelanko 2008).

Profil Imunohistokimia Pankreas

Imunohistokimia merupakan suatu teknik pewarnaan jaringan yang mampu mendeteksi komponen aktif (antigen) dalam jaringan, yang bertujuan untuk diagnosa dan penelitian. Konsep dasar dari imunohistokimia sangat sederhana dan merupakan gabungan dari tiga disiplin ilmu, yaitu imunologi yang berkaitan dengan prinsip ikatan antara antigen dan antibodi, histologi yang berhubungan dengan penggunaan sediaan dengan ketebalan mikro yang diamati dengan mikroskop cahaya, dan ilmu kimia yang berhubungan dengan reaksi kimia yang terjadi saat pewarnaan (Ramos-Vara 2005). Hasil pewarnaan imunohistokimia pankreas dapat dilihat pada Gambar 13.

A B

C D

E

Gambar 13 Pulau Langerhans dan sel beta pankreas. (A): acarbose (kontrol positif), (B): PBS (kontrol negatif), (C): L. plantarum SK(5) 30 mg/Kg bb, (D): L. plantarum SK(5) 15 mg/Kg bb, E: tikus normal tanpa induksi diabetes

Terlihat adanya kerusakan sel beta pankreas pada tikus diabetes (Gambar 13A, B, C, D) dibandingkan dengan tikus normal (Gambar 13E). Gambar 13 menunjukkan bahwa pada kelompok tikus normal maupun tikus diabetes memiliki sel beta pankreas yang menunjukkan adanya produksi insulin. Hal ini ditunjukkan dengan warna cokelat yang dihasilkan pada pulau Langerhans. Gambar tersebut berfungsi untuk penentuan jumlah sel beta pankreas. Jumlah sel beta pankreas dapat dilihat pada Gambar 14.

Sel beta pankreas

Pulau Langerhans

21

Rata-rata jumlah sel beta pada tikus normal adalah 202,25±22,06, sedangkan jumlah rerata sel pada tikus diabetes lebih rendah dari jumlah sel tikus normal (Gambar 14). Hasil tersebut menunjukkan bahwa jumlah sel tiku normal berbeda nyata dengan jumlah rerata sel tikus diabetes, kecuali pada pemberian

L. plantarum SK(5) 30 mg/Kg bb. Rerata jumlah sel tikus diabetes tertinggi adalah pada perlakuan pemberian L. plantarum SK(5) 30 mg/Kg bb dengan rerata jumlah sel sebanyak 152,25±36,65 (tidak berbeda nyata dengan jumlah sel pada perlakuan tikus diabetes lainnya), kemudian kelompok kontrol negatif (B) dengan rerata jumlah sel sebanyak 132,75±17,06 (berbeda nyata dengan tikus normal), lalu pemberian L. plantarum SK(5) 15 mg/Kg bb dengan rerata jumlah sel sebanyak 102,58±15,09 (berbeda nyata dengan tikus normal), dan terakhir kelompok kontrol positif (A) dengan rerata jumlah sel sebanyak 95,83±19,78 (berbeda nyata dengan tikus normal).

Gambar 14 Rata-rata jumlah sel beta pankreas hewan uji. (A): acarbose (kontrol positif), (B): PBS (kontrol negatif), (C): L. plantarum SK(5) 30 mg/Kg bb, (D): L. plantarum SK(5) 15 mg/Kg bb, (E): tikus normal tanpa induksi diabetes. Angka-angka pada batang yang sama yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)

Pembahasan

Peningkatan pemahaman tentang hubungan mikrobiota usus terkait dengan diabetes tipe 2 dan obesitas dalam beberapa tahun terakhir telah memberikan target potensial baru untuk mengurangi risiko diabetes tipe 2 (Zhang dan Zhang 2013). Beberapa peneliti dalam beberapa tahun terakhir telah melaporkan bahwa probiotik (BAL) memiliki potensi yang berkaitan dengan penurunan efek diabetes (Yadav et al. 2007; Stancu et al. 2008; Yun et al. 2009; Honda et al. 2012; Panwar et al. 2014). Zhang dan Zhang (2013) melaporkan bahwa terdapat beberapa mekanisme efek antidiabetes dari probiotik, diantaranya adalah beberapa strain probiotik memiliki efek antioksidan yang mengurangi peradangan kronis.

Konsekuensi dari reaksi berantai radikal bebas dapat mengakibatkan kerusakan serius pada organisme hidup. Produksi radikal bebas dan beberapa penyakit memiliki hubungan yang erat (Lin dan Chang 2000). Oleh karena itu, kemampuan probiotik dalam menangkap radikal bebas (DPPH) diteliti. Hasil

22

menunjukkan bahwa kemampuan probiotik L. plantarum SK(5) dalam menangkap radikal bebas (DPPH) (Gambar 6) mengindikasikan adanya efek antioksidan (34,1% pada konsentrasi 350 ppm).

Aktivitas antioksidan yang dihasilkan L. plantarum SK(5) jauh lebih rendah dibandingkan dengan vitamin C yang memiliki aktivitas antioksidan sebesar 96,72% pada konsentrasi 20 ppm. Nilai 34,1% penangkapan radikal bebas DPPH menunjukkan adanya efek antioksidan yang cukup baik. Subhashini et al. (2013) melaporkan bahwa penangkapan radikal bebas DPPH oleh Bifidobacterium spp. yang diisolasi dari produk susu sebesar 33,07% termasuk dalam kategori efek antioksidan yang cukup baik (moderately good).Metabolit yang diduga berperan dalam aktivitas antioksidan yang dihasilkan oleh L. plantarum SK(5) adalah L-3-(4-hydroxyphenyl) lactic acid (HPLA) dan L-indole-3-lactic acid (ILA). Hasil identifikasi Suzuki et al. (2013) mengenai metabolit dari ekstrak supernatan bebas sel L. plantarum yang memiliki aktivitas antioksidan terhadap DPPH dengan menggunakan HPLC menunjukkan bahwa terdapat L-3-(4-hydroxyphenyl) lactic acid (HPLA) dan L-indole-3-lactic acid (ILA).

Hasil ekstrak supernatan L. plantarum SK(5) pada penelitian ini memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pengujian aktivitas antioksidan yang dilakukan Chen et al. (2014) pada cell freeextract dari

L. rhamnosus GG yang diperoleh dari koleksi Valio Ltd., Finlandia (16.44%);

L. rhamnosus Z7 (17.99%) dan B. bifidum F-35 (3,62%) yang diisolasi dari

human faeces, L. casei BDII yang diperoleh dari koleksi Technology Center of Bright Dairy and Food Co., Ltd., Shanghai, China (17,70%), L. bulgaricus L24 yang diisolasi dari yoghurt (7.20%), dan yang dilakukan oleh Zhang et al. (2011) pada Lactobacillus casei subsp. casei dan Lactobacillus delbrueckii subsp.

bulgaricus yang diisolasi dari yoghurt tradisional cina (masing-masing <23.99%). Hasil pada penelitian Chen et al. (2014) dan Zhang et al. (2011) menunjukkan bahwa ekstrak intact cell memilki hasil aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak cell free sehingga untuk selanjutnya dapat dilakukan pengujian aktivitas ekstrak L. plantarum SK(5) dengan persentase penangkapan radikal DPPH yang lebih tinggi dengan menggunakan intact cell.

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa asosiasi penanda stres oksidatif diabetes dan reactive oxygen species (ROS) memainkan peran penting dalam regulasi resistensi insulin (Furukawa et al. 2004; Houstis et al. 2006; Urakawa et al. 2003). Diet tinggi lemak meningkatkan oksidasi asam lemak dalam jaringan hati dan adiposa (Gomes et al. 2014). Hal tersebut juga menginduksi terjadinya resistensi insulin dan menyebabkan hiperglikemia (Panwar et al. 2013). Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa Lactobacilli memiliki kemampuan antioksidan (Yadav et al. 2007, Zhang et al. 2011, Shori 2013, Chen et al. 2014) sehingga antioksidan dapat memainkan peran penting dalam kemampuan antidiabetes dari BAL.

Beberapa studi dalam beberapa tahun terakhir telah menunjukkan bahwa BAL memiliki aktivitas penghambatan alfa-glukosidase (Ramchandran dan Shah 2008). Aktivitas penghambatan terhadap alfa-glukosidase dari ekstrak supernatan L. plantarum SK(5) sangat jauh lebih rendah (-17,28% pada konsentrasi 60000 ppm) jika dibandingkan dengan kontrol, yaitu glucobay (98,28% pada konsentrasi 10 ppm) (Gambar 7).

23

Hasil negatif (-) pada ekstrak BAL belum tentu menunjukkan tidak adanya aktivitas inhibisi alfa-glukosidase. Hal ini dapat dilihat dari semakin tinggi konsentrasi, maka semakin besar % inhibisi. Penggunaan konsentrasi uji diduga masih kurang untuk melihat aktivitas inhibisi alfa-glukosidase dari L. plantarum

SK(5). Hasil pengujian Panwar et al. (2014) pada beberapa ekstrak sel

Lactobacillus yang diisolasi dari infant faeces dapat menghambat enzim alfa-glukosidase dengan persentase inhibisi antara 20%-70% pada konsentrasi 250 mg/mL hingga 500 mg/mL, namun pada konsentrasi yang lebih rendah, yaitu 200 mg/mL, diperoleh persentase inhibisi dengan nilai negatif. Hasil yang sama juga diperoleh dari pengujian Bajpai et al. (2016) pada ekstrak kultur L. sakei 1I1 yang diisolasi dari ikan air tawar Zacco koreanus. Ekstrak kultur diperoleh dengan ekstraksi menggunakan pelarut etanol. Ekstrak etanol dari L. sakei 1I1 pada konsentrasi 1, 5, 25, 50 dan 100 mg/ml menunjukkan adanya penghambatan alfa-glukosidase masing-masing sebesar 9,34%, 12,53%, 21,54%, 36,32% dan 60,69%. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi yang digunakan mempengaruhi inhibisi yang dihasilkan.

Hasil Chen et al. (2014) pada beberapa BAL berbeda menghasilkan persentase inhibisi alfa-glukosidase yang berbeda. Ekstrak cell free L. rhamnosus GG yang diperoleh dari koleksi Valio Ltd., Finlandia (11.40%); L. rhamnosus Z7 (14.17%) dan B. bifidum F-35 (21.82%) yang diisolasi dari human faeces, L. casei

BDII yang diperoleh dari koleksi Technology Center of Bright Dairy and Food Co., Ltd., Shanghai, China (1.08%), L. bulgaricus L24 yang diisolasi dari yoghurt (9.94%). Hal ini menunjukkan bahwa strain berbeda memiliki kemampuan inhibisi alfa-glukosidase yang berbeda.

Pemberian BAL adalah sebuah potensi baru dan intervensi gaya hidup untuk mengendalikan hiperglikemia di masa depan sebagai tambahan untuk pengendalian diabetes. Penelitian Panwar et al. (2014) menyajikan bukti definitif bahwa strain tertentu dari Lactobacillus menghasilkan potensi penghambatan yang signifikan terhadap berbagai alfa-glukosidase. Peran fisiologis Lactobacilli

dalam memodulasi enzim alfa-glukosidase masih belum jelas. Pemurnian lebih lanjut dan identifikasi bioaktif diperlukan untuk mengungkapkan potensi BAL yang sebenarnya. Aktivitas penghambatan bergantung pada konsentrasi ekstrak dan juga adanya sel dari BAL (Panwar et al. 2014). Panwar et al. (2014) dan Bajpai et al. (2016) melaporkan bahwa isi sitoplasma atau produk metabolisme bakteri mungkin bertanggung jawab untuk aktivitas ini.

Enzim alfa-glukosidase atau dengan nama lain alfa-D-glukosida glukohidrolase merupakan enzim yang berperan dalam sel usus halus mamalia. Enzim tersebut merupakan enzim kunci pada proses akhir pemecahan karbohidrat. Enzim alfa-glukosidase mengkatalisis hidrolisis terminal residu glukosa non pereduksi yang berikatan alfa-1,4 pada berbagai substrat dan dihasilkan alfa-D-glukosa. Alfa-glukosidase menghidrolisis ikatan alfa-glikosidik pada oligosakarida dan alfa-D-glikosida (Gao et al. 2007).

Fungsi alfa-glukosidase dalam sistem pencernaan di usus ialah sebagai katalis tahap terakhir dalam proses pemecahan karbohidrat. Kerja enzim alfa-glukosidase dalam proses penyerapan makanan di usus pada kondisi diabetes harus dihambat. Pemecahan karbohidrat menjadi glukosa mengakibatkan kadar glukosa dalam darah penderita diabetes akan semakin tinggi sehingga kerja enzim ini dalam usus harus dihambat, baik dengan menggunakan obat alami maupun

24

obat komersil. Dihambatnya kerja enzim alfa-glukosidase dapat mengembalikan kadar glukosa dalam darah pada batas normal. Penghambatan enzim alfa-glukosidase dapat menggunakan glucobay® (acarbose), miglitol, dan voglibosa yang diketahui mampu mengurangi hiperglikemia setelah makan melalui penghambatan kerja enzim pencerna karbohidrat dan menunda absorpsi glukosa (Panwar et al. 2014).

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan hiperglikemia yang diakibatkan oleh resistensi insulin atau defisiensi insulin yang disebabkan oleh kegagalan sel beta-pankreas (Damasceno et al. 2014). Induksi diabetes eksperimental pada tikus menggunakan bahan kimia secara selektif menghancurkan sel-sel beta pankreas merupakan cara yang mudah digunakan. Zat yang umum digunakan untuk menginduksi diabetes pada tikus adalah aloksan dan streptozotocin. Streptozotocin (STZ, 2-deoksi-2-(3-(metil-3-nitrosoureido)-D-glukopiranosa) disintesis oleh Streptomycetes achromogenes dan digunakan untuk menginduksi baik diabetes mellitus yang insulin-dependent maupun yang non-insulin-dependent (IDDM dan NIDDM) (Szkudelski 2001).

Diabetes akibat induksi STZ ditandai dengan penurunan berat badan. Penurunan ini disebabkan kehilangan atau degenerasi protein struktural. Protein struktural merupakan faktor utama berat badan. Laporan sebelumnya menunjukkan bahwa sintesis protein menurun di semua jaringan karena penurunan produksi ATP dan defisiensi absolut atau relatif insulin (Alsayadi et al.

2014). Hal ini mendukung adanya penurunan berat badan dari tikus diabetes pada penelitian ini (Gambar 8 dan 9). Salah satu gejala diabetes adalah penderita kehilangan bobot tubuh, walaupun nafsu makan sangat baik. Hal ini merupakan akibat adanya deplesi sel lemak dan protein untuk memenuhi kebutuhan energi karena tidak dapat dipenuhi dari metabolisme glukosa (Widowati et al. 2006).

Peningkatan kadar gula darah yang disebabkan oleh induksi STZ bergantung pada strain hewan, dosis, cara pemberian obat, dan periode kehidupan saat STZ diberikan pada tikus. Diabetes dikatakan tipe berat jika dihasilkan gula darah superior >200 mg/dL atau 300mg/dL) dan dikatakan tipe diabetes ringan jika glikemia antara 120-200 mg/dL atau 300mg/dL) setelah penginduksian STZ. Untuk induksi diabetes parah, STZ diberikan dengan dosis 40-50mg/Kg berat badan secara intravena atau intraperitonial selama masa dewasa. Setelah sekitar tiga hari, hewan-hewan ini akan memiliki kadar gula darah >300 mg/dL (Damasceno et al. 2014). Hal tersebut menunjukkan bahwa semua kelompok perlakuan mengalami diabetes setelah 3 hari induksi STZ (Gambar 10). Tikus kelompok A, C, dan D mengalami diabetes tipe berat dengan kadar glukosa darah berkisar antara 368,33-383,67 mg/dL, sedangkan kelompok tikus B mengalami diabetes tipe ringan dengan kadar glukosa darah sebesar 280,33 mg/dL (Gambar 10), tetapi secara statistik hasil tersebut tidak berbeda nyata antar perlakuan tikus diabetes (Gambar 11).

Perlakuan selama 14 hari dengan berbagai intervensi memberikan pengaruh adanya penurunan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah semua tikus diabetes setelah 14 hari perlakuan tidak berbeda nyata dengan kadar glukosa darah tikus normal (Gambar 11). Penurunan kadar glukosa darah dengan diberikannya

L. plantarum SK(5) menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara uji in vitro dan

in vivo. Pemberian L. plantarum SK(5) 30 mg/Kg bb dapat menurunkan glukosa darah sebesar 86,22% dan pemberian L. plantarum SK(5) 15 mg/Kg bb dapat

25

menurunkan glukosa darah sebesar 74,66% selama 14 hari pemberian (Gambar 12). Hasil ini lebih baik dibandingkan dengan penelitian Stancu et al. (2008) menggunakan dosis 30 mg/Kg bb. Penelitian tersebut melaporkan bahwa selama 6 minggu pemberian kultur kering L. plantarum (DANISCO) pada hiperlipidemik hamster menghasilkan penurunan sebesar 28,46%. Perbedaan penurunan kadar glukosa darah dapat disebabkan karena perbedaan strain. Hal ini ditunjukkan pada penelitian Honda et al. (2012) menggunakan L. bulgaricus selama 6 minggu tidak menghasilkan penurunan kadar glukosa darah (>200 mg/dL) dan kadar glukosa darah melebihi kontrol negatif, sedangkan L. rhamnosus GG menghasilkan penurunan kadar glukosa darah yang signifikan (<200 mg/dL).

Penurunan kadar glukosa darah karena pemberian liofilisasi L. plantarum

SK(5) tersebut dapat disebabkan oleh adanya aktivitas antioksidan. Hal ini didukung oleh Zhang dan Zhang (2013) bahwa BAL mampu mengurangi stres oksidatif pankreas yang menyebabkan peradangan kronis dan apoptosis sel beta pankreas sehingga dapat mengurangi efek diabetes tipe 2. Hasil rerata jumlah sel beta pankreas pada pemberian L. plantarum SK(5) 30 mg/Kg bb adalah 152,25 (Gambar 14). Jumlah ini paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya pada tikus diabetes dan tidak berbeda nyata dengan jumlah sel beta pada tikus normal. Hasil tersebut dapat menunjukkan bahwa terdapat regenerasi sel akibat kontribusi dari aktivitas antioksidan yang dihasilkan dan berkorelasi dengan penurunan kadar gula darah. Pemberian L. plantarum SK(5) 15 mg/Kg bb juga diduga dapat meregenerasi sel beta pankreas dengan rerata jumlah sel beta pankreas sebanyak 102,58 (lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian acarbose), namun dosis tersebut kurang efektif dibandingkan L. plantarum SK(5) 30 mg/Kg bb.

Mekanisme antioksidan dari probiotik dapat terjadi melalui pengikatan ROS, pengkelatan ion logam, penghambatan enzim, dan mengurangi serta menghambat aktivitas autooksidasi askorbat. Mekanisme lain juga bisa menjadi dasar efek antioksidan dari pemberian probiotik, yaitu tikus stres yang diberikan probiotik memiliki kadar enzim GSH (antioksdan enzim) yang stabil (Amaretti et al. 2013). Pemberian probiotik pada tikus mampu menginduksi transkripsi gen yang terlibat dalam biosintesis glutathione (GSH) di mukosa usus (Lutgendorff et al. 2009) dan meningkatkan sintesis glutathione dalam sel pankreas (Lutgendorff

et al. 2008).

Widowati et al. (2006) melaporkan bahwa peningkatan jumlah sel beta pankreas berkaitan dengan mekanisme penurunan kadar glukosa darah karena adanya peningkatan jumlah insulin yang dihasilkan. Abunasef et al. (2014) melaporkan bahwa perbaikan sel beta dapat dilakukan melalui proliferasi. Hasil yang diperoleh pada pewarnaan imunohistokimia penelitian ini berkorelasi dengan penurunan kadar glukosa darah.

Penurunan kadar glukosa darah juga diduga dapat disebabkan Lactobacillus plantarum SK(5) mampu menghambat enzim alfa-glukosidase. Chen et al. (2014) menyebutkan bahwa kemampuan bakteri asam laktat dalam menghambat enzim alfa-glukosidase berkontribusi dalam penurunan kadar glukosa darah dan dapat menjadi antidiabetes yang potensial.

Mekanisme lainnya adalah terdapat peran dari short chain fatty acid (SCFA) (propionat dan butirat) yang dihasilkan oleh BAL sebagai probiotik (Tilg dan Moschen 2014). Bifidobacteria dan Lactobacilli menurut Bhatia et al. (2012)

26

dapat melakukan metabolisme dan menghasilkan SCFA yang mempengaruhi metabolisme host. Aktivasi G-protein coupled reseptor 41 bergantung pada keberadaan SCFA yang menginduksi ekspresi peptida YY, sebuah hormon usus

Dokumen terkait