• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi geografis dan kejadian DBD Kabupaten Sumedang

Kabupaten Sumedang termasuk dalam Provinsi Jawa Barat yang mempunyai luas wilayah 1 522.20 km2 dengan jumlah penduduk 1 137 273 jiwa. Kabupaten Sumedang terletak antara 6044’–70083’ Lintang Selatan dan 107021’– 108021’ Bujur Timur, merupakan daerah beriklim tropis. Suhu udara antara 22.0 0C-30.0 0C, kelembaban 66%-96% dengan curah hujan tertinggi pada bulan Maret sebesar 400 mm3 dan terendah pada bulan September 2015 dengan curah hujan 0 mm3 (BPS 2016).

Kejadian DBD di Kabupaten Sumedang setiap tahunnya berfluktuasi, dengan incidence rate (IR) pada 2012 sebesar 48.84 per 100 000 penduduk, dan

case fatality rate (CFR) sebesar 0.54%. Pada 2013 terjadi kenaikan kasus, dengan IR sebesar 86.31 per 100 000 penduduk dan CFR 0.20%, dan selanjutnya pada 2014 IR menjadi 45.79 per 100 000 penduduk dan CFR 1.29%. Kecamatan dengan endemisitas DBD tinggi adalah Kecamatan Paseh, Kecamatan Sumedang Utara, Kecamatan Sumedang Selatan, Kecamatan Tanjungsari dan Kecamatan Jatinangor (Dinkes Sumedang 2015). Kesemua kecamatan tersebut menjadi lokasi penelitian.

Gambar 1. Lokasi penelitian di Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat

Kepadatan larva Ae. aegypti

Hasil pengukuran kepadatan larva Ae. aegypti (HI, CI dan BI) di 5 kecamatan endemis DBD Kabupaten Sumedang sebagaimana tersaji pada

Tabel 4. Hasil pengukuran tersebut terdiri atas TPA sebanyak 879 kontainer, non TPA sebanyak 189 kontainer dan TPA alamiah sebanyak 39 kontainer, sehingga total kontainer sebesar 1 107 kontainer.

Kepadatan tinggi dengan DF 6.3 terdapat di Kecamatan Paseh, sedangkan Kecamatan Sumedang Utara, Sumedang Selatan, Tanjungsari dan Jatinangor mempunyai kepadatan larva berkategori sedang. Kepadatan larva di 5 kecamatan endemis DBD Kabupaten Sumedang termasuk kategori sedang dengan nilai DF 4.7.

Kepadatan larva Ae. aegypti yang tinggi di Kecamatan Paseh disebabkan karena suplai air PDAM yang kurang lancar. Sehigga masyarakat banyak menampung air menggunakan kontainer berkapasitas besar (bak mandi). Kontainer tersebut jarang dikuras dan disikat, disamping itu kontainer bak mandi juga tidak berpenutup sehingga memudahkan nyamuk untuk meletakkan telurnya. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Purnama dan Baskoro (2012) di Denpasar Selatan. Kepadatan larva Ae. aegypti yang tinggi disebabkan banyaknya TPA yang dimiliki masyarakat dan tidak rutin menguras dan menyikat bak mandi dan kontainer lainnya. TPA yang tidak tertutup juga menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk yang potensial.

Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Sambuaga (2011) di Kelurahan Perkamil Kecamatan Tikala Kota Manado, menunjukkan bahwa daerah tersebut mempunyai kepadatan larva berkategori tinggi. Hal ini disebabkan kesadaran masyarakat yang kurang baik dalam berperan serta melaksanakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).

Tabel 4. Kepadatan larva Ae. aegypti di kecamatan endemis DBD Kabupaten Sumedang Jawa Barat November 2015-Pebruari 2016

Kecamatan Pengamatan

Keberadaan larva Aedes aegypti

Ʃ HI % CI % BI DF Ada % Tidak %

Paseh Rumah 17 50.0 17 50.0 34

50.0 25.6 64.7 6.3 Kontainer 22 25.6 64 74.4 86

Sumedang Utara Rumah 74 44.8 91 55.2 165

44.8 18.6 58.2 5.7 Kontainer 96 18.6 419 81.4 515

Sumedang Selatan Rumah 19 23.5 62 76.5 81

23.5 12.8 24.7 4.0 Kontainer 20 12.8 136 87.2 156 Tanjungsari Rumah 10 16.1 52 83.9 62 16.1 9.5 29.0 3.3 Kontainer 18 9.5 172 90.5 190 Jatinangor Rumah 5 8.6 53 91.4 58 8.6 3.1 8.6 2.3 Kontainer 5 3.1 155 96.9 160 Total Kecamatan Rumah 125 31.3 275 68.8 400 31.3 14.5 40.3 4.7 Kontainer 161 14.5 946 85.5 1 107

Demikian juga menurut Sari et al. (2012) pada penelitiannya di SD Kota Semarang yang mempunyai nilai HI (78.7%), CI (23.4%) dan BI (236) dengan DF bernilai 8 (kepadatan larva tinggi). Tingginya kepadatan larva tersebut disebabkan sekolah terletak di tengah-tengah pemukiman penduduk. Nyamuk

Aedes sp. betina mempunyai kemampuan terbang rata-rata dengan radius 40- 100 m, sehingga memungkinkan nyamuk Aedes sp. masuk ke pemukiman penduduk dan sekitar sekolah.

Sunaryo dan Pramestuti (2014) menyatakan bahwa parameter entomologi HI, CI dan BI mempunyai relevansi langsung dengan dinamika penularan penyakit. Hal ini juga didukung oleh Purnama dan Baskoro (2012) yang menyatakan bahwa rumah yang ditemukan larva Ae. aegypti mempunyai nilai OR=2.74 terhadap munculnya kejadian DBD. Hal ini menunjukkan bahwa rumah yang ditemukan larva Ae. aegypti berisiko 2.74 kali, dibandingkan terhadap rumah yang tidak ditemukan larva Ae. aegypti. Begitu juga dengan container index (CI) tinggi, memiliki risiko 1.42 kali terhadap munculnya kejadian DBD.

Kepadatan tinggi larva Ae. aegypti di Kecamatan Paseh merupakan indikator untuk segera diprioritaskan upaya pemutusan rantai penularan DBD di daerah tersebut. Upaya pengendalian kepadatan larva dapat dilakukan dengan cara melakukan abatisasi massal atau kegiatan PSN, yang dilakukan bersama-sama baik oleh pemerintah daerah, dinas kesehatan, kecamatan, kelurahan dan masyarakat. Sedangkan kepadatan sedang larva Ae. aegypti di kecamatan lainnya, agar masyarakat selalu dihimbau untuk tetap menerapkan kegiatan 3M Plus secara rutin.

Upaya pengendalian yang telah dilakukan pihak terkait baik puskesmas maupun dinas kesehatan tidak akan optimal bila kesadaran masyarakat untuk melakukan PSN melalui 3M Plus tidak dilakukan dengan rutin. Masyarakat menganggap bahwa penanggulangan DBD selama ini hanya dapat dilakukan dengan pengasapan atau fogging. Kesadaran untuk melakukan PSN masih belum berjalan dengan baik dan ditunjang dengan maraknya permintaan fogging.

Kepadatan pupa Ae. aegypti

Pengukuran kepadatan pupa pada TPA, non TPA dan TPA alamiah yang telah dilakukan diketahui nilai PI tertinggi terjadi di Kecamatan Paseh yang mencapai 15.1%, dibandingkan dengan 4 kecamatan lainnya. Rata-rata nilai PI di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang sebesar 5.1% (Tabel 5). Nilai PI yang tinggi di Kecamatan Paseh, dimungkinkan oleh suplai air PDAM yang kurang lancar, sehigga masyarakat banyak menampung air menggunakan kontainer berkapasitas besar (bak mandi). Kontainer tersebut jarang dikuras dan disikat, disamping itu kontainer bak mandi juga tidak berpenutup sehingga memudahkan nyamuk untuk meletakkan telurnya. Kepadatan pupa tersebut menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang, tidak melaksanakan kegiatan PSN melalui 3M Plus. Hal ini karena siklus hidup nyamuk pradewasa mulai dari telur, larva (instar1-4) hingga menjadi pupa memerlukan waktu lebih dari seminggu. Seharusnya pelaksanaan kegiatan menguras dan menyikat TPA seminggu sekali. Kebiasaan masyarakat yang jarang membersihkan kontainernya, memungkinkan larva berkembang menjadi pupa.

Tabel 5. Kepadatan pupa Ae. aegypti di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang Jawa Barat November 2015-Pebruari 2016

Kecamatan Macam kontainer Keberadaan pupa Aedes aegypti Ʃ PI %

Ada % Tidak % Paseh TPA 13 16.9 64 83.1 77 15.1 Non TPA 0 0 7 100 7 TPA alamiah 0 0 2 100 2 Jumlah 13 73 86 Sumedang Utara TPA 27 6.8 373 93.25 400 6.0 Non TPA 4 3.9 98 96 102 TPA alamiah 0 0 13 100 13 Jumlah 31 484 515 Sumedang Selatan TPA 3 2.1 137 97.9 140 1.9 Non TPA 0 0 14 100 14 TPA alamiah 0 0 2 100 2 Jumlah 3 153 156 Tanjungsari TPA 7 5.2 128 94.8 135 3.7 Non TPA 0 0 33 100 33 TPA alamiah 0 0 22 100 22 Jumlah 7 183 190 Jatinangor TPA 2 1.6 125 98.4 127 1.3 Non TPA 0 0 33 100 33 TPA alamiah 0 0 0 0 0 Jumlah 2 158 160 Total Kecamatan TPA 52 5.9 827 94.1 879 5.1 Non TPA 4 2.1 185 98 189 TPA alamiah 0 0 39 0 39 Jumlah 56 1 051 1 107

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Shinta dan Sukowati (2013) dengan nilai PI di Jakarta Selatan 29.24%, Jakarta Pusat 17%, Jakarta Barat 17.7% dan Jakarta Timur 18%. Hal ini terjadi karena daerah tersebut memiliki banyak jenis kontainer, serta kontainer jarang dibersihkan. Keadaan tersebut menyebabkan ketersediaan air yang ada di dalam kontainer cukup lama habis. Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Purnama dan Baskoro (2012) di Denpasar Selatan, dengan nilai PI=15.33% dan terdapat hubungan bermakna antara PI dengan kejadian DBD.

Pengukuran kepadatan vektor dengan menggunakan metode survei pupa dilakukan untuk memperkirakan banyaknya nyamuk dewasa yang akan muncul. Hal ini karena peluang hidup pupa lebih besar daripada larva untuk menjadi nyamuk dewasa (WHO 1999).

Karakteristik habitat larva Ae. aegypti

Jenis kontainer

Jumlah kontainer TPA dan non TPA yang diperoleh sebanyak 1 068 kontainer dengan mengandung larva Ae. aegypti. Sejumlah 161 kontainer terdiri atas 90.68% pada TPA dan 9.32% pada non TPA. Pada TPA dan non TPA

ditemukan larva Ae. aegypti, sedangkan pada TPA alamiah tidak ditemukan larva

TPA Non TPA

Gambar 2. Persentase jenis TPA dan non TPA yang mengandung larva

Ae. aegypti di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang Jawa Barat November 2015-Pebruari 2016

Berdasarkan keberadaan larva pada jenis penampungan air yang digunakan sebagai habitat perkembangbiakan nyamuk, jenis kontainer TPA yang paling banyak ditemukan larva yaitu bak mandi (49.32%) (Gambar 2). Hal ini karena bak mandi memiliki kapasitas penyimpanan jumlah air yang cukup besar yang jarang dikuras dan disikat. Kontainer tersebut selalu terisi air, disamping itu kontainer bak mandi juga tidak berpenutup. Penelitian yang sama dilakukan oleh Purnama dan Baskoro (2012) di Kecamatan Denpasar Selatan Provinsi Bali, bahwa TPA mengandung larva Ae. aegypti paling banyak ditemukan pada bak mandi (29.27%).

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pernyataan Hasyimi dan Soekirno (2004) yang telah melakukan penelitian di Kelurahan Tanjungpriok Kecamatan Tanjungpriok Jakarta. Kontainer tertinggi ditemukan larva Aedes adalah bak mandi (65.4%). Fock (1997) dalam Hasyimi dan Soekirno (2004) menyatakan bahwa bak mandi merupakan jenis kontainer yang banyak menyediakan kondisi yang menguntungkan larva Ae. aegypti menjadi dewasa. Kontainer tersebut termasuk TPA yang berukuran besar dan airnya sulit diganti.

Jenis kontainer non TPA yang banyak ditemukan larva yaitu penampungan dispenser (66.67%). Hal ini disebabkan karena masyarakat tidak menyadari bahwa penampungan dispenser dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk. Penelitian ini didukung oleh pernyataan Riandi et al.

(2011) di Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya. Masyarakat masih belum menyadari bahwa penampungan dispenser merupakan tempat yang sangat berpotensi untuk perkembangbiakan nyamuk. Kondisi penampungan dispenser tersebut dibiarkan begitu saja terisi air.

Hasil uji statistik memperlihatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kontainer terhadap keberadaan larva Ae. aegypti dengan nilai p=0.003 (Lampiran 1). Sedangkan Yudhastuti dan Vidiyani (2005)

menyatakan bahwa kontainer TPA merupakan kontainer yang banyak ditemukan larva Ae. aegypti dibandingkan dengan kontainer non TPA dan TPA alamiah. Berdasarkan hasil uji statistik terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kontainer dengan keberadaan larva Ae. aegypti di Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Kota Surabaya.

Bahan dasar kontainer

Bahan dasar kontainer TPA dan non TPA yang ditemukan mengandung larva pada wilayah endemis DBD yaitu terbuat dari semen, plastik, besi, tanah liat, keramik, alumunium, kaca dan karet. Bahan dasar kontainer yang paling banyak ditemukan larva pada TPA yaitu semen dan plastik masing-masing

sebesar 43.2%. Kontainer pada non TPA yang banyak ditemukan larva

Ae. aegypti adalah berbahan plastik (80%) (Gambar 3).

Bahan dasar kontainer yang terbuat dari semen banyak disenangi sebagai tempat perkembangbiakan larva Ae. aegypti. Hal ini dapat terjadi karena bahan tersebut mempunyai permukaan dinding yang kasar, sulit dibersihkan dan mudah ditumbuhi lumut. Penelitian ini sejalan yang dilakukan oleh Badrah dan Hidayah (2011), menunujukkan bahwa bahan dasar kontainer yang paling banyak ditemukan larva adalah terbuat dari bahan dasar semen (86.7%) di Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara Kalimantan Timur.

Bahan dasar plastik pada penelitian ini sebagian besar juga mempunyai permukaan yang kasar. Jenis bahan plastik yang digunakan juga jarang dibersihkan, sehingga terlihat kotor dan merubah warna dasar kontainer tersebut. Hasyimi et al. (2009) di Kota Bekasi, juga mendapatkan kontainer berbahan plastik merupakan tempat perkembangbiakan larva Ae. aegypti yang terbanyak (37%).

TPA Non TPA

Gambar 3. Persentase bahan dasar TPA dan non TPA yang mengandung larva Ae. aegypti di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang Jawa Barat November 2015-Pebruari 2016

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Hendri et al. (2010) di Pasar Wisata Pangandaran Ciamis Jawa Barat, bahwa dari 39 kontainer yang ditemukan larva, 87.18 % terbuat dari bahan plastik, kemudian 5.13% terbuat dari bahan semen dan 2.56% masing–masing terbuat dari bahan besi, kayu dan stereofom.

Permukaan dinding kontainer diklasifikasikan menjadi permukaan kasar dan permukaan licin. Pengelompokan dinding kontainer dengan permukaan kasar dan permukaan licin berdasarkan pengamatan peneliti dengan cara meraba permukaan dinding kontainer. Permukaan dinding kontainer yang terbuat dari plastik bisa dikategorikan menjadi permukaan kasar atau permukaan licin.

Hasil uji statistik memperlihatkan terdapat hubungan yang signifikan antara permukaan dinding kontainer terhadap keberadaan larva Ae. aegypti

dengan nilai p=0.000 (Lampiran 1). Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Badrah dan Hidayah (2011) di Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Hasil yang didapat yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara permukaan dinding kontainer terhadap keberadaan larva

Ae. aegypti (p=0.000). Warna kontainer

Warna kontainer TPA dan non TPA yang berada di wilayah endemis DBD sangat beragam. Kontainer TPA yang paling banyak ditemukan larva Ae. aegypti

adalah warna hitam (30.82%), selanjutnya adalah warna biru (24.66%). Warna kontainer pada non TPA terbanyak ditemukan larva adalah warna putih (46.67%) dan warna biru (26.67%) (Gambar 4).

Secara keseluruhan warna kontainer diklasifikasikan menjadi warna gelap dan warna terang. Warna hitam dan biru tua pada kontainer TPA dan non TPA merupakan jenis warna yang diklasifikasikan berwarna gelap, selain kedua warna tersebut, seluruh warna kontainer diklasifikasikan sebagai warna terang. Pada kontainer TPA, larva Ae. aegypti lebih dari 50% ditemukan pada kontainer berwarna gelap. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Hendri et al. (2010) di Pasar Wisata Pangandaran Ciamis Jawa Barat. Hasil penelitian didapatkan bahwa dari 39 kontainer mengandung larva yang ditemukan, 33.33% kontainer berwarna biru dan 23.08% kontainer berwarna hitam serta 10.26% berwarna putih.

Kontainer warna putih pada non TPA merupakan kontainer yang paling banyak ditemukan larva. Kontainer non TPA yang terutama ditemukan mengandung larva Ae. aegypti berupa dispenser yang umumnya berwarna putih. Hal ini karena kontainer tersebut tidak pernah diperhatikan, sehingga selalu tergenang air yang kotor dan berlumut.

Hasil uji statistik memperlihatkan ada hubungan yang signifikan antara warna kontainer terhadap keberadaan larva Ae. aegypti dengan nilai p=0.045 (Lampiran 1).

TPA Non TPA

Gambar 4. Persentase warna kontainer pada TPA dan non TPA yang mengandung larva Ae. aegypti di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang Jawa Barat November 2015-Pebruari 2016

Penutup kontainer

Karakteristik habitat selanjutnya yaitu terdapatnya penutup kontainer. Kontainer yang tidak menggunakan penutup lebih banyak ditemukan mengandung larva Ae. aegypti dari pada kontainer yang menggunakan penutup. Kontainer pada TPA yang tidak menggunakan penutup sebesar 89.04%, sedangkan pada non TPA 100% (Gambar 5).

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Hasyimi et al. (2009) bahwa

salah satu penyebab tampungan air menjadi tempat perindukan nyamuk

Ae. aegypti adalah tidak tertutupnya penampungan air tersebut. Hal ini dapat dilihat pada tempat penampungan air yang tidak tertutup di Kebayoran Baru dan Kebayoran Lama Jakarta Selatan sebesar 90% yang mengandung larva Aedes spp. Penelitian lainnya oleh Badrah dan Hidayah (2011) di Kelurahan Penajam Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara Kalimantan Timur. Hasil tersebut menunjukkan bahwa TPA yang tidak menggunakan penutup lebih banyak ditemukan mengandung larva yaitu 86 kontainer (41.5%) dan tertutup 1 kontainer (0.8%). Kontainer yang menggunakan penutup, bisa saja ditemukan mengandung larva. Hal ini terjadi karena besar kemungkinan saat penggunaan air sehari-hari, TPA ini dibiarkan terbuka selama beberapa lama, sehingga dimungkinkan

Ae. aegypti meletakkan telurnya.

Hasil uji statistik memperlihatkan terdapat hubungan yang signifikan antara kondisi penutup kontainer terhadap keberadaan larva Ae. aegypti dengan nilai p=0.048 (Lampiran 1). Badrah dan Hidayah (2011) juga menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kondisi penutup TPA dengan keberadaan larva Ae. aegypti (p=0.048).

TPA Non TPA

Gambar 5. Persentase kondisi penutup kontainer pada TPA dan non TPA yang mengandung larva Ae. aegypti di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang Jawa Barat November 2015-Pebruari 2016

Letak kontainer

Letak kontainer yang termasuk TPA yang paling banyak ditemukan larva

Ae. aegypti berada di dalam rumah sebesar 91.10%, sedangkan pada non TPA di dalam rumah sebesar 66.67% (Gambar 6). Hal ini terjadi karena banyaknya jumlah kontainer yang digunakan masyarakat untuk keperluan sehari-hari berada di dalam rumah. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang ada bahwa nyamuk

Ae. aegypti mempunyai kebiasaan hinggap dan istirahat di dalam rumah. Nyamuk tersebut akan melakukan peletakan telurnya di tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung (Depkes 2007).

Penelitian ini juga didukung oleh Irawati (2015) di Perumnas Siteba Padang, yang menyatakan bahwa vektor DBD lebih menyukai tempat perindukan di dalam rumah dibandingkan di luar rumah. Hal ini terjadi akibat banyaknya kontainer yang digunakan berada di dalam rumah, sehingga memberikan kemungkinan bagi nyamuk untuk meletakkan telurnya.

Hasil uji statistik memperlihatkan terdapat hubungan yang signifikan antara letak kontainer terhadap keberadaan larva Ae. aegypti dengan nilai p=0.000 (Lampiran 1). Penelitian ini didukung juga oleh Budiyanto (2012) di Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa kontainer yang berada di dalam rumah lebih besar keberadaan larva

Ae. aegypti yaitu sebesar 96.3%. Sedangkan kontainer yang berada di luar rumah lebih sedikit ditemukan larva Ae. aegypti sebesar 3.7%.

TPA Non TPA

Gambar 6. Persentase kontainer (TPA dan non TPA) yang terletak di dalam atau di luar rumah, yang mengandung larva Ae. aegypti di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang Jawa Barat November 2015-Pebruari 2016

Pencahayaan oleh matahari

TPA yang mengandung ditemukan larva Ae. aegypti dengan jumlah tertinggi pada kontainer yang tidak terkena cahaya matahari langsung sebanyak 126 kontainer (86.30%). Begitu juga pada non TPA yang digunakan terdapat di dalam rumah dengan nilai terbesar pada kontainer yang tidak terkena cahaya matahari langsung 11 kontainer (73.33%) (Gambar 7). Hal ini disebabkan karena posisi rumah yang berdekatan dan padat pemukiman. Keadaan tersebut akan menghalangi cahaya matahari untuk menerangi kontainer yang digunakan. Cahaya matahari yang tidak bisa menerangi kontainer, akan menyebabkan kondisi ruangan yang gelap dan lembab, sehingga memungkinkan nyamuk untuk beristirahat dan meletakkan telurnya.

Hasil uji statistik memperlihatkan terdapat hubungan yang signifikan antara pencahayaan kontainer terhadap keberadaan larva Ae. aegypti dengan nilai p=0.000 (Lampiran 1). Penelitian Sunarto (2015) di Kecamatan Magelang Kota Magelang, menunjukkan bahwa intensitas cahaya yang rendah di dalam rumah mempunyai OR=3.27. Hal ini berarti bahwa rumah yang mempunyai tingkat intensitas baik bagi kehidupan nyamuk Ae. aegypti (kurang dari 60 Lux), berisiko 3.27 kali lebih besar untuk terdapatnya larva Ae. aegypti di lingkungan rumah, bila dibandingkan rumah dengan tingkat intensitas cahaya lebih besar dari 60 Lux. Besar kemungkinan intensitas cahaya yang menerangi kontainer TPA dan non TPA masih dibawah 60 lux, sehingga memungkinkan nyamuk untuk meletakkan telur pada kontainer tersebut.

TPA Non TPA

Gambar 7. Persentase pencahayaan matahari pada TPA dan non TPA yang mengandung larva Ae. aegypti di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang Jawa Barat November 2015-Pebruari 2016

Volume air

Kontainer dengan berbagai volume air ditemukan mengandung larva

Ae. aegypti, namun volume air lebih besar dari 20 liter (58.9%) pada TPA lebih banyak ditemukan larva. Sebaliknya pada kontainer non TPA justru volume air kurang 1 liter (60%) yang mendominasi keberadaan larva (Gambar 8).

Keberadaan larva Ae. aegypti banyak ditemukan pada kontainer dengan volume air lebih besar dari 20 liter pada kontainer TPA. Hal ini disebabkan karena ukuran kontainer yang digunakan cukup besar, maka kapasitas untuk menampung air juga lebih banyak. Kontainer dengan volume air yang besar, sangat jarang dibersihkan karena air yang ada di dalamnya cukup lama habis sehingga sulit dikuras.

Kontainer pada non TPA banyak ditemukan mengandung larva Ae. aegypti

pada volume air kurang dari 1 liter. Hal ini disebabkan karena masyarakat tidak menyadari bahwa kontainer tersebut dapat menjadi tempat perindukan nyamuk. Kontainer yang ada dibiarkan begitu saja terisi air, tanpa dibersihkan. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Ramadhani dan Astuti (2013) di Kelurahan Paseban Jakarta Pusat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara proporsi jenis kontainer dengan daya tampung air rendah (kurang dari 2 liter) mengandung larva yang lebih banyak. Kontainer tersebut yaitu vas bunga, kaleng bekas dan botol bekas. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya perhatian dan kepedulian masyarakat untuk membersihkan kontainer tersebut, sehingga telur nyamuk dapat terus menempel dan berkembang menjadi larva.

TPA Non TPA

Gambar 8. Persentase volume air pada TPA dan non TPA yang mengandung larva Ae. aegypti di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang Jawa Barat November 2015-Pebruari 2016

Volume air yang digunakan diklasifikasikan menjadi volume air kurang dari 20 liter dan lebih besar dari 20 liter. Berdasarkan klasifikasi tersebut didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara volume air kontainer terhadap keberadaan larva Ae. aegypti dengan nilai p=0.000 (Lampiran 1). Hasil uji statistik diatas sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ayuningtyas (2013) di Kelurahan Bangetayu Wetan Kota Semarang, yang membagi volume air kontainer menjadi kurang dari 50 liter dan lebih besar dari 50 liter. Hasil yang didapatkan yaitu terdapat hubungan yang bermakna antara volume kontainer terhadap keberadaan larva Ae. aegypti (p=0.039).

Sumber air

Penggunaan air untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat adalah air tanah, air hujan dan air dari PDAM. Air tanah (45.21%) dan air PDAM (40.41%) merupakan sumber air pada TPA yang banyak ditemukan larva Ae. aegypti. Sumber air pada non TPA yang banyak ditemukan mengandung larva berada pada air tanah (66.67%) dan air hujan (26.67%) (Gambar 9). Hasil uji statistik memperlihatkan terdapat hubungan yang signifikan antara sumber air terhadap keberadaan larva Ae. aegypti dengan nilai p=0.047 (Lampiran 1).

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Ayuningtyas (2013) di Kelurahan Bangetayu Wetan Kota Semarang. Sumber air yang berasal dari air

sumur gali/artetis sebesar 49 rumah (89.1%) lebih banyak ditemukan mengandung larva Ae. aegypti daripada kontainer yang sumber airnya berasal dari air PDAM (10.9%).

TPA Non TPA

Gambar 9. Persentase sumber air pada TPA dan non TPA yang mengandung larva Ae. aegypti di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang Jawa Barat November 2015-Pebruari 2016

Keberadaan larva Ae. aegypti yang ditemukan pada berbagai sumber air, disebabkan karena larva tersebut mampu melakukan pertumbuhan dan perkembangan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sayono

et al. (2011), yang menyatakan bahwa larva Ae. aegypti terbukti dapat bertahan hidup pada air sumur gali, air got dan air PDAM. Empat jenis air yang diujikan adalah air sumur gali, air got, air limbah sabun mandi, dan air PDAM. Air tersebut

Dokumen terkait