• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Kepadatan Dan Karakteristik Habitat Larva Aedes Aegypti Di Kabupaten Sumedang Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Kepadatan Dan Karakteristik Habitat Larva Aedes Aegypti Di Kabupaten Sumedang Jawa Barat"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

JAWA BARAT

KURSIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Kepadatan dan Karakteristik Habitat Larva Aedes aegypti di Kabupaten Sumedang Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2017

Kursianto

(4)

di Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA dan UMI CAHYANINGSIH.

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dengan vektor utamanya adalah Aedes aegypti.

Penyakit DBD masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dengan angka kesakitan dan kematian cukup tinggi dan berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Penularan DBD dapat terjadi salah satunya karena adanya kepadatan vektor Aedes aegypti yang mempunyai tempat perindukan pada tempat-tempat penampungan air atau kontainer yang cocok bagi berkembangbiaknya. Tempat perindukan Ae. aegypti di setiap wilayah mempunyaibeberapa perbedaan karakteristik yang menjadikannya sebagai habitat yang potensial. Tujuan penelitian ini adalah mengukur kepadatan larva Ae. aegypti, menganalisis karakteristik habitat potensial larva Ae. aegypti dan menganalisis Maya Index

(MI) di wilayah endemis DBD di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat.

Jenis penelitian ini observasional deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional study. Sampel yang diambil sebanyak 400 rumah dari 22 334 populasi rumah di kecamatan endemis DBD dengan kasus tinggi.

Metode yang digunakan untuk koleksi larva Aedes spp. di setiap rumah adalah single larva metode dan diidentifikasi jenisnya. Kepadatan larva dan pupa dinyatakan dalam house indexs (HI) container index (CI), breteau index (BI), dan

pupae index (PI). Pengamatan karakteristik habitat dilakukan dengan mengamati kontainer yang menjadi habitat larva Aedes spp. yang terdiri atas jenis, bahan, warna, dan letak kontainer, serta kondisi penutup, pencahayaan matahari, volume, sumber dan pH air. Analisis MI digunakan indikator breeding risk index

(BRI) dan hygiene risk index (HRI).

Hasil penelitian menunjukan nilai HI sebesar 31.3%, CI sebesar 14.5%, BI sebesar 40.3, dan PI sebesar 5.1%. Berdasarkan nilai HI, CI dan BI maka didapatkan nilai density figure (DF) 4.7 dan termasuk dalam kategori kepadatan sedang. Terdapat hubungan bermakna antara jenis, bahan, warna, dan letak kontainer, serta kondisi penutup, pencahayaan matahari, volume dan sumber air terhadap keberadaan larva Ae. aegypti. Hasil analisis multivariat menunjukkan karakteristik habitat yang berisiko terhadap keberadaan larva Ae. aegypti yaitu volume air kontainer lebih dari 20 liter (OR=2.54) dan letak kontainer di dalam rumah (OR=2.98). Analisis maya index mayoritas didapatkan hasil dengan kategori sedang sebesar 89.75%.

(5)

CAHYANINGSIH.

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a contagious disease caused by the dengue virus and the main vector is Aedes aegypti. DHF disease is still a public health problem in Indonesia with a high morbidity and mortality and potentially causes extraordinary incident (KLB). DHF transmission can occur because of the density of Ae. aegypti vector which has the breeding sites at water storages or container inside and around houses. The existence of Ae. aegypti breeding sites in each house has different characteristics which make its as potential habitat. The purpose of this research was to measure the density of Ae. aegypti larvae, analyze the characteristics of potential habitat of Ae. aegypti larvae and analyze Maya Index (MI) in DHF endemic regions in Sumedang Regency, West Java Province. The type of research was observational analytic descriptive study with cross sectional approach. The sample size was 400 houses from 22 334 houses population in DHF endemic sub-districts with high case.

The method used to collect Aedes spp. larvae in every house was single larvae method to identify its species. The density of larvae and pupae was expressed in house index (HI), container index (CI), breteau index (BI) and pupae index (PI). The observation of habitat characteristics was carried out by observing the containers as the habitat of Aedes spp. larvae consisting of type, material, color and location of the container, condition of the cover, solar lighting, volume, resource, and pH of water. The analysis of MI used the indicators of breeding risk index (BRI) and hygiene risk index (HRI).

The result showed that the values of HI was 31.3%, CI was 14.5%, BI was 40.3% and PI was 5.1%. Based on the values of HI, CI and BI, obtained the value of density figure (DF) was 4.7 and the category of medium density. There was a significant relationship between type, material, color and location of the container, condition of the cover, solar lighting, volume, and resource of water to the presence of Ae. aegypti larvae. The result of multivariate analysis indicated that the habitat characteristics which had risk on the presence of Ae. aegypti larvae were water volume more than 20 liters (OR=2.54) and location of the container inside the house (OR=2.98). Based on the analysis of maya index, the majority larvae were in the medium category of 89.75%.

Keywords:Aedes aegypti, DHF, density of larvae, container, habitat characteristic

Palembang.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(7)

JAWA BARAT

KURSIANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Sains

pada

Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

Puji dan syukur atas segala nikmat yang telah diberikan Allah SWT, karena karya ilmiah ini berhasil penulis selesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak November 2015 ini adalah Kajian Kepadatan dan Karakteristik Habitat Larva Aedesaegypti di Kabupaten Sumedang Jawa Barat.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr Drh Susi Soviana, MSi dan Ibu Prof Dr Drh Hj Umi Cahyaningsih, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan serta saran kepada penulis. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Drh Upik Kesumawati Hadi, MS PhD selaku Ketua Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) dan Ibu Drh Risa Tiuria, MS PhD yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi dalam ujian tesis serta para staf pengajar dan pegawai laboratorium PEK yang telah memberikan bimbingan selama masa penyelesaian studi. Penulis ucapkan terima kasih kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang beserta jajarannya yang telah memberikan izin penelitian di wilayah kerjanya.

Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Imam dan Bapak Nova, Ibu Jatri dan teman-teman sekantor dan angkatan PEK IPB 2014 yang telah memberikan dukungannya kepada penulis. Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada orang tua dan seluruh keluarga di Samarinda, Bapak/Ibu mertua dan adik ipar di Sumedang, istri tercinta Dini Surgayanti serta anak-anak Fikrul dan Meshaal, dengan segala perhatian dan pengorbanannya selalu membantu penulis untuk menyelesaikan karya tulis ini.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan, namun penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Bogor, Januari 2017

(11)

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA

Aedes spp. Sebagai Vektor DBD 3

Karakteristik Habitat Pradewasa Aedes spp. 4

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat penelitian 9

Pengukuran Sampel 9

Pengukuran kepadatan larva dan pupa Ae. aegypti 10

Pengukuran Maya Index 11

Pengukuran Karakteristik Habitat 11

Pengambilan Data Sekunder 12

Analisis Data 12

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kepadatan Larva Ae. aegypti 15

Kepadatan Pupa Ae. aegypti 16

Karakteristik Habitat Larva Ae. aegypti 17

Maya Index 28

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 30

Saran 30

DAFTAR PUSTAKA

(12)

1 Pengukuran jumlah sampel 10

2 Density figure (DF) 12

3 Matriks 3x3 komponen BRI, HRI pada MI 13

4 Kepadatan larva Ae. aegypti 15

5 Kepadatan pupa Ae. aegypti 17

6 Analisis regresi logistik karakteristik habitat terhadap keberadaan

larva Ae. aegypti 28

DAFTAR GAMBAR

1 Peta Kabupaten Sumedang 14

2 Persentasi jenis TPA dan non TPA 18

3 Persentasi bahan dasar pada TPA dan non TPA 19

4 Persentasi warna kontainer pada TPA dan non TPA 21

5 Persentasi kondisi penutup kontainer pada TPA dan non TPA 22

6 Persentasi letak kontainer pada TPA dan non TPA 23

7 Persentasi pencahayaan matahari pada TPA dan non TPA 24

8 Persentasi volume air pada TPA dan non TPA 25

9 Persentasi sumber air pada TPA dan non TPA 26

10 Persentasi pH air pada TPA dan non TPA 27

11 Persentasi kategori BRI, HRI dan MI 29

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hubungan karakteristik habitat dengan keberadaan larva Ae. aegypti 35

2 Karakteristik larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus 36

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit yang ditularkan melalui vektor hingga kini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dengan angka kesakitan dan kematian cukup tinggi dan berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Menurut peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 374/MENKES/PER/ II/2010, vektor didefinisikan sebagai arthropoda yang dapat menularkan, memindahkan dan/atau menjadi sumber penular penyakit terhadap manusia. Penyakit tular vektor di Indonesia antara lain malaria, demam berdarah dengue

(DBD), chikungunya, japanese B encephalitis (radang otak), filariasis limfatik (kaki gajah), pes (sampar) dan demam semak (scrub typhus) (Kemenkes 2010).

Kabupaten Sumedang yang termasuk dalam wilayah Provinsi Jawa Barat, juga telah melaporkan adanya kejadian DBD. Penyebaran kasus DBD setiap

tahunnya berfluktuasi. Wilayah dengan endemisitas DBD tinggi terjadi di Kecamatan Paseh, Kecamatan Sumedang Utara, Kecamatan Sumedang Selatan,

Kecamatan Tanjungsari dan Kecamatan Jatinangor (Dinkes Sumedang 2015). Risiko penularan DBD dapat terjadi salah satunya karena adanya kepadatan vektor Aedes aegypti. Nyamuk tersebut mempunyai tempat perindukan pada wadah penampungan air atau kontainer yang cocok bagi berkembangbiaknya vektor (Purnama dan Baskoro 2012). Keberadaan tempat perindukan nyamuk disetiap wilayah, mempunyai beberapa perbedaan karakteristik habitat yang potensial bagi perkembangbiakan nyamuk. Maya Index (MI) sebagai salah satu pendekatan kuantitatif dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu area berisiko tinggi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes. (Miller et al. (1992) dalam Danis et al. 2002).

Dalam upaya menurunkan angka kejadian DBD, diperlukan strategi pengendalian vektor yang efektif dan efisien. Salah satu upaya pengendalian tersebut yaitu memutus rantai penularan penyakit. Pemutusan rantai penularan yang sangat dikenal adalah upaya 3M Plus yaitu menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, menutup rapat-rapat tempat-tempat penampungan air dan memanfaatkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan. Selain itu ditambahkan dengan cara lain seperti menaburkan bubuk larvasida, memasang kawat kasa, menggunakan kelambu dan cara-cara spesifik lainnya di masing-masing daerah (Kemenkes 2013).

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kepadatan larva Ae. aegypti

yaitu keberadaan tempat penampungan air (TPA), non TPA dan TPA alamiah. Keberadaan tempat perindukan nyamuk banyak tersedia di lingkungan pemukiman. Berdasarkan hal tersebut untuk menganalisis kaitan antara angka larva dengan kasus DBD yang terus berulang, maka penulis melakukan penelitian ini yang berjudul Kajian Kepadatan dan Karakteristik Habitat Larva Ae. aegypti

(14)

Perumusan masalah

Tingginya kasus DBD di Kabupaten Sumedang, diikuti dengan

ketidaktersediaan data mengenai sebaran dan tempat perindukan larva

Ae. aegypti yang potensial.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kepadatan larva Ae. aegypti, menganalisis karakteristik habitat potensial larva Ae. aegypti dan menganalisis

maya index di wilayah endemis DBD di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat.

Manfaat Penelitian

(15)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Aedes spp. sebagai vektor DBD

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk (Depkes 2007).

Indonesia pertama kali dilaporkan tersebar penyakit dengue pada tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya, sehingga tahun 2010 penyakit dengue telah tersebar di 33 provinsi, 440 kabupaten/kota. Kasus DBD terbanyak dilaporkan di daerah-daerah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, seperti di Pulau Jawa, Bali dan Sumatera (Kemenkes 2015).

Angka kasus DBD di Indonesia tahun 2010, incidence rate (IR) telah mencapai 65.62 per 100 000 penduduk dengan case fatality rate (CFR) sebesar 0.87%. Pada 2010 kasus DBD lebih tinggi (156 086 kasus) dibanding pada 2011-2013, meskipun pada 2011 kasus DBD turun menjadi 62 725 kasus, namun pada 2012 meningkat kembali menjadi 90 245 kasus. Pada 2013 kembali naik dibandingkan pada 2012 menjadi 112 511 kasus, sedangkan pada 2014 terjadi penurunan kasus menjadi 100 347 dibandingkan pada 2013 (Kemenkes 2015).

Di Indonesia jumlah kasus DBD cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya angka demam berdarah di berbagai kota di Indonesia disebabkan oleh sulitnya pengendalian penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti

(Depkes 2007).

Informasi bioekologi vektor penular penyakit sangat penting di dalam pemahaman epidemiologi penyakit. Informasi tersebut dapat dijadikan landasan dan strategi operasional pengendaliannya (Hadi 2006). Pemahaman tersebut meliputi tiga organisme penting, yaitu virus dengue, nyamuk Aedes dan inang manusia (Depkes 2007).

DBD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, family

Flaviviridae, genus flavivirus yang terdiri atas empat serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 (Perez et al. 1998). Serotipe virus DEN–3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat (Gubler 1998). Keempat serotipe virus ini telah ditemukan di berbagai wilayah Indonesia. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa DEN-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan serotipe yang paling luas distribusinya disusul oleh DEN-2, DEN-1 dan DEN-4 (Kemenkes 2013).

Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor utama DBD, sedangkan Ae. albopictus merupakan vektor sekunder. Nyamuk tersebut banyak ditemukan di sekitar tempat tinggal manusia (WHO 2012), kecuali di daerah dengan ketinggian lebih dari 1 000 meter diatas permukaan air laut (Hadi 2016).

(16)

Aktivitas menggigit atau mengisap darah pada nyamuk Ae. aegypti terjadi pada siang hari (diurnal) dengan dua puncak gigitan yaitu pukul 08.00-09.00 pagi dan 16.00-17.00 sore. Nyamuk betina lebih suka mengisap darah pada tempat yang terlindung seperti di dalam dan sekitar rumah (Hadi dan Koesharto 2006). Menurut Fadilla et al. (2015) puncak waktu mengisap darah nyamuk Ae. aegypti

dan Ae. albopictus di Kelurahan Bantarjati Kota Bogor antara pukul 10.00-11.00 WIB. Syahribulan et al. (2012) juga menyatakan bahwa waktu aktivitas mengisap darah Ae. aegypti di desa Pa’lanassang Kelurahan Barombong Makassar Sulawesi Selatan, puncak tertinggi ditemukan pada pukul 09.00-10.00 WITA dan 17.00-18.00 WITA.

Nyamuk Aedes dapat tertular virus DBD saat mengisap darah penderita yang sedang demam selama 2-7 hari, ketika virus sedang dalam sirkulasi darah (viremia). Virus dengue di dalam tubuh nyamuk berkembang secara propagative

(bertambah tanpa mengalami perubahan fisik). Virus yang masuk ke dalam tubuh nyamuk membutuhkan waktu 8-10 hari untuk menjadi nyamuk infektif bagi manusia dan masa tersebut dikenal sebagai masa inkubasi ekstrinsik (WHO 2009). Nyamuk ini dapat menularkan patogen ke inang vertebrata (manusia dan hewan) dan menimbulkan penyakit.

Penularan virus dengue dapat terjadi dengan transmisi vertikal (transovarial) yaitu dari nyamuk betina infektif ke generasi berikutnya (Hadi 2016). Beberapa penelitian telah membuktikan keberadaan virus dengue pada nyamuk satu ke nyamuk generasi selanjutnya. Seran dan Prasetyowati (2012) menyatakan bahwa virus DEN-2 mampu ditransmisikan lewat telur dengan

transovarial infection rate (TIR) 52% pada generasi F2 dengan umur rata-rata 2 hari. Penelitian lain yang dilakukan oleh Mosesa et al. (2016) di Kelurahan Kombos Barat Kecamatan Singkil Kota Manado, dengan menggunakan metode imunositokimia pada Ae. aegypti yang berasal dari telur Aedes dari kelurahan yang terdapat kasus DBD, dinyatakan adanya keberadaan virus dengue pada

Ae. aegypti.

Manusia merupakan sumber penularan dan sebagai penderita DBD. Berdasarkan golongan umur maka penderita DBD lebih banyak ditemukan pada golongan umur kurang dari 15 tahun, tetapi saat ini juga sudah meluas kepada orang dewasa (Depkes 2007). Berdasarkan penelitian oleh Djati et al. (2010), bahwa faktor inang yang berhubungan dengan kejadian DBD adalah umur. Bila dibandingkan dengan kelompok umur lebih besar 45 tahun, umur di bawah (kurang dari) 12 tahun berisiko 16.15 kali terkena DBD. Penelitian tersebut dilakukan di Kabupaten Gunungkidul sebagai salah satu kabupaten endemis DBD di Provinsi DIY.

Karakteristik habitat pradewasa Aedes spp.

Ae. aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu telur-larva-pupa-nyamuk. Stadium telur, larva dan pupa hidup di dalam air. Faktor-faktor seperti suhu, makanan, spesies dan faktor lainnya berpengaruh terhadap pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa (Hadi dan Koesharto 2006).

(17)

2006). Stadium larva Ae. aegypti mengalami 4 kali instar dan segera berubah menjadi pupa pada hari ke 5-6 pada suhu kamar. Kondisi suhu dan nutrisi yang diperoleh larva, mempengaruhi performans nyamuk dewasa yang dihasilkan. Stadium pupa merupakan fase tidak makan dan sangat bergantung hasil penyimpanan energi saat fase larva. Perkembangan stadium pupa untuk dapat berkembang menjadi nyamuk dewasa berlangsung selama 2-3 hari pada suhu kamar. Total siklus hidup Ae. aegypti dapat diselesaikan dalam waktu 8-11 hari pada suhu kamar (Hadi dan Koesharto 2006).

Aedes spp. pada stadium pradewasa mempunyai habitat di tempat penampungan air atau wadah yang berada di permukiman dengan air yang relatif jernih. Ae. aegypti banyak ditemukan berkembangbiak di tempat-tempat penampungan air buatan, seperti bak mandi, ember, vas bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas dan sejenisnya di dalam rumah. Ae. albopictus

lebih banyak ditemukan di penampungan air alami di luar rumah. Tempat penampungan tersebut seperti ketiak daun, lubang pohon, potongan bambu dan sejenisnya. Keberadaan kontainer terutama terdapat di wilayah pinggiran kota dan pedesaan, namun juga dapat ditemukan di tempat penampungan buatan di dalam dan di luar rumah (WHO 2003).

Ketersediaan tempat perindukan nyamuk pada suatu wilayah dapat menjadi masalah dan tantangan yang harus dihadapi. Tempat perindukan tersebut mempunyai beberapa perbedaan karakteristik sebagai habitat perkembangbiakan larva Aedes spp. dan mempunyai risiko sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk. Beberapa karakteristik tersebut yaitu jenis kontainer, letak, penutup, bahan dasar, warna, volume air, sumber air, pH air, suhu, kelembaban dan kondisi lingkungan setempat (Depkes 2007).

Penelitian oleh Hasyimi et al. (2009) menyebutkan bahwa di daerah endemis DBD Jakarta Selatan, Bekasi dan Tangerang, pada saat musim penghujan, larva Ae. aegypti paling banyak ditemukan (94%). Persentase paling banyak sebagai tempat perkembangbiakan Aedes spp. adalah tempat penampungan air (TPA) yang berukuran besar (bak mandi), akibat tidak pernah atau jarang diganti airnya. Zubaidah et al. (2014) di Kelurahan Surgi Mufti Banjarmasin Kalimantan Selatan, menambahkan bahwa kontainer di dalam rumah banyak ditemukan larva Aedes spp., sedangkan kontainer di luar rumah hanya ditemukan 3.92%. TPA tersebut adalah bak mandi (46.94%) yang berada di dalam rumah. Penelitian Harington et al. (2008) di Thailand, yang menunjukkan bahwa kontainer berukuran lebih besar cenderung mengandung plankton sebagai sumber pakan larva Aedes spp.

Disamping itu, keberadaan larva lebih banyak ditemukan pada kontainer yang tidak berpenutup, karena memudahkan bagi nyamuk untuk meletakkan telurnya, sebagaimana penelitian oleh Widjaya (2012) bahwa penggunaan penutup yang baik dan pembersihan kontainer secara berkala dapat mencegah berkembangbiaknya larva.

(18)

Cikarawang Kabupaten Bogor Jawa Barat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa di daerah tersebut lebih banyak ditemukan larva Ae. aegypti pada wadah air dengan bahan dasar semen sebesar 20%.

Faktor selanjutnya yaitu warna kontainer yang digunakan sebagai tempat penampungan air. Budiyanto (2012) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara warna gelap pada kontainer (hitam dan biru tua) dengan keberadaan larva (p=0.02) pada sekolah dasar di Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan. Hal ini sesuai dengan perilaku nyamuk yang menyukai meletakkan telurnya pada kontainer yang berwarna gelap.

Keberadaan larva pada tempat perindukan juga dipengaruhi oleh volume air kontainer. Ae. aegypti meletakkan telurnya pada batas air atau sedikit di atas batas air pada dinding kontainer. Nyamuk tersebut tidak akan meletakkan telurnya bila di dalam kontainer tidak terdapat air (Depkes RI 2007). Ayuningtyas (2013) di Kelurahan Bangetayu Wetan Kota Semarang, menyampaikan bahwa kontainer dengan volume lebih besar dari 50 liter ditemukan keberadaan larva Ae. aegypti

lebih tinggi (48.7%) dibandingkan dengan volume air kurang dari 50 liter (18.8%).

Disamping volume air yang besar, keberadaan larva juga dipengaruhi oleh sumber air yang digunakan. Hingga saat ini diketahui bahwa Ae. aegypti lebih menyukai untuk meletakkan telur pada wadah yang berisi air bersih. Sumber air bersih yang digunakan masyarakat untuk keperluan sehari-hari diperoleh dari PDAM maupun non PDAM (air sumur, air hujan, air sungai).

Hasil penelitian Adifian et al. (2013), menunjukkan bahwa kemampuan berkembang larva Ae. aegypti pada air hujan 13.12% dan air sumur gali 16.54%. Keberhasilan larva Ae. aegypti menjadi pupa pada air hujan 16.66%, dan pada air sumur gali sebesar 33.32%. Sayono et al. (2011) menambahkan bahwa daya tahan hidup larva di berbagai sumber air, bergantung pada senyawa-senyawa kimiawi (pH, Ca (OCL2) dan keberadaan plankton sebagai sumber makanan.

Berdasarkan pengukuran pH air, habitat larva Ae. aegypti dapat bertahan

Kondisi suhu air dan kelembapan sangat berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan larva Ae. aegypti. Arifin et al. (2013) di Kelurahan Kassi-Kassi Kota Makasssar Sulawesi Selatan menyatakan bahwa suhu air kurang atau sama dengan 30 0C ditemukan keberadaan larva Ae. aegypti lebih tinggi (60.4%),

dibandingkan dengan suhu lebih dari 30 0C (22.22%). Begitu juga pada kelembapan 60-80% ditemukan keberadaan larva Ae. aegypti lebih tinggi (62.1%) daripada kelembapan kurang dari 60% yaitu sebesar 23.1%.

Keberadaan larva Ae. aegypti juga dipengaruhi oleh pencahayaan matahari.Menurut Sunarto (2015), bahwa intensitas cahaya yang rendah di dalam rumah mendukung nilai kehidupan nyamuk dan keberadaan larva Ae. aegypti

(kurang dari 60 Lux). Anwar dan Rahmat (2015) di Bandara Temindung Samarinda, menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pencahayaan dengan

(19)

keberadaan larva Ae. aegypti lebih tinggi (47.2%), sebaliknya pencahayaan yang tinggi ditemukan keberadaan larva Ae. aegypti lebih sedikit yaitu sebesar 9.5%.

Faktor lain yang mendukung terjadinya kepadatan larva adalah ketinggian tempat perindukan nyamuk. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh

Wahyuningsih et al. (2004) di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, bahwa larva

Ae. aegypti yang ditemukan di dataran rendah 4 kali lebih banyak dibanding di dataran tinggi.

Maya Index (MI)

Dalam kaitannya dengan ketersediaan kontainer yang masih dipakai maupun tidak terpakai yang dapat menjadi habitat potensial larva Aedes spp. di lingkungan permukiman, dikenal pengukuran Maya Index (MI). Penggunaan MI dalam penelitian ini mempunyai berbagai manfaat. MI dapat digunakan untuk mengidentifikasi lingkungan yang berisiko tinggi sebagai tempat perkembangbiakan Ae. aegypti. Berdasarkan kategori MI dapat dilakukan prioritas penyusunan program pengendalian larva.

Tempat perkembangbiakan nyamuk dibedakan menjadi controllable containers (habitat yang dapat dikendalikan oleh manusia) dan disposable containers (habitat yang berasal dari wadah atau kontainer yang sudah tidak terpakai lagi yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan larva dan cenderung kurang diperhatikan oleh masyarakat).

MI terdiri atas dua indikator yaitu ketersediaan kontainer yang berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk (breeding risk index/BRI) dan status kebersihan lingkungan (hygiene risk index/ HRI) (Miller et al. 1992 dalam Purnama dan Baskoro 2012). Indikator keberadaan tempat perkembangbiakan potensial (BRI) ditunjukkan oleh banyaknya controllable containers (baik mengandung larva maupun tidak), sementara indikator kebersihan lingkungan (HRI) diwakili oleh banyaknya disposable containers di lingkungan sekitar rumah. Kontainer tersebut dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk bila terisi air ketika musim hujan.

Kontainer yang banyak ditemukan di rumah menjadi faktor utama tempat perkembangbiakan larva Ae. aegypti. Beberapa penelitian tentang risiko tempat perkembangbiakan nyamuk telah dilakukan di berbagai wilayah. Dhewantara dan Dinata (2015) melaporkan bahwa Kota Banjar Jawa Barat, memiliki MI kategori sedang (MI 97%). Hal ini menunjukkan bahwa 97% rumah penduduk berisiko sedang sebagai tempat perkembangbiakan larva Aedes spp. Maka upaya pengendalian vektor perlu difokuskan dengan melakukan pemeriksaan larva pada

controllable containers. Sedangkan untuk mengurangi disposable containers

diterapkan prinsip 3R (reuse, reduce, recycle). Apabila dikaitkan dengan di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta,

mempunyai MI kategori sedang pada kelompok kontrol (tidak ditemukan kasus DBD) sebesar 88.6% dan kelompok kasus 77.1%. Pada penelitian tersebut, tidak ada rumah responden yang memiliki MI rendah. Sehingga dapat dikatakan bahwa MI risiko tinggi pada kelompok kasus lebih tinggi (22.9%), sedangkan pada kelompok kontrol hanya 11.4% (Djati et al. 2012).

(20)
(21)

3

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif analitik dan menurut waktu penelitiannya merupakan penelitian cross sectional. Penelitian ini

dilaksanakan mulai bulan November 2015 sampai dengan Pebruari 2016 di Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Wilayah endemis DBD yang dijadikan

tempat penelitian yaitu Desa Legok Kaler (Kecamatan Paseh), Kelurahan Situ, Desa Jatihurip dan Kelurahan Kota Kaler (Kecamatan Sumedang Utara), Kelurahan Kota Kulon dan Kelurahan Cipameungpeuk (Kecamatan Sumedang Selatan), Desa Tanjungsari dan Desa Cinanjung (Kecamatan Tanjungsari), Desa Mekargalih dan Desa Cikeruh (Kecamatan Jatinangor).

Pengukuran sampel (Sampling)

Populasi dalam penelitian ini sebanyak 22 334 rumah, yaitu semua rumah yang berada di wilayah endemis DBD dengan kasus tinggi di Kabupaten Sumedang, terdiri atas 5 kecamatan dengan 10 desa/kelurahan (Kecamatan Paseh: Desa Legok Kaler 1 899 rumah), (Kecamatan Sumedang Utara: Kelurahan Situ 3 789 rumah, Desa Jatihurip 2 289 rumah dan Kelurahan Kota Kaler 3 151 rumah), (Kecamatan Sumedang Selatan: Kelurahan Kota Kulon 3 039 rumah, Kelurahan Cipameungpeuk 1 520 rumah), (Kecamatan Tanjungsari: Desa Tanjungsari 1 256 rumah dan Desa Cinanjung 2 160 rumah), (Kecamatan Jatinangor: Desa Mekargalih 1 158 rumah dan Desa Cikeruh 2 073 rumah).

Unit sampling adalah rumah-rumah penduduk dari populasi sebanyak 400 rumah diambil secara purposive sampling (Sugiyono 2011), yaitu rumah-rumah yang dijadikan sampel berdasarkan rumah yang pernah ada penderita DBD dan sekitar rumah dengan jarak maksimal 100 meter dari rumah penderita tersebut.

Adapun rumus perhitungan sampel menurut Slovin dalam Umar (2005) dengan tingkat kepercayaan 95% adalah sebagai berikut:

n = N

1+N(e)2

n = 22 334

1+22 334(0.05)2

= 399.98 dibulatkan 400 rumah

(22)

Tabel 1. Pengukuran jumlah sampel dari setiap desa/kelurahan di wilayah endemis

Pengukuran kepadatan larva dan pupa Ae. aegypti

Pengukuran kepadatan larva dan pupa berupa angka House Index (HI),

Container Index (CI), Breteau Index (BI) dan Pupae Index (PI). Nilai HI merupakan indikator yang paling banyak digunakan untuk melihat tingkat infestasi nyamuk. Nilai CI menggambarkan banyaknya kontainer yang mengandung dibandingkan dengan jumlah seluruh kontainer yang diperiksa. Nilai CI dapat digunakan sebagai alat pembanding dalam evaluasi program pengendalian vektor namun tidak terlalu berperan dari sisi epidemiologis. Nilai BI dianggap sebagai indeks yang paling baik karena membandingkan antara kontainer yang mengandung larva dengan jumlah bangunan yang diperiksa dan mempunyai nilai signifikan epidemiologis yang lebih besar. PI merupakan metode survei pupa yang dilakukan untuk memperkirakan banyaknya nyamuk dewasa yang akan muncul (WHO 2009).

Pengukuran tersebut dilakukan pada rumah yang dijadikan sampel, kemudian dilakukan pengamatan pada semua kontainer. Semua kontainer yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan Ae. aegypti, diamati dengan mata telanjang keberadaan larva dan pupa. TPA yang berukuran besar (bak mandi, tempayan, drum) jika pengamatan awal tidak ditemukan larva dan pupa ditunggu kira-kira ½-1 menit. Tempat-tempat perkembangbiakan Ae. aegypti berupa wadah yang kecil (vas bunga, pot tanaman air, botol) yang berair keruh, airnya dipindahkan ke tempat lain. Pemeriksaan pada kontainer yang tempatnya agak gelap atau berair keruh, digunakan senter (Depkes 1992).

(23)

kunci identifikasi larva Aedes sp. (Rueda 2004). Hasil pengamatan larva dicatat ke dalam formulir larva berdasarkan nomor botol larva, kemudian dilakukan analisis perhitungan angka HI, CI, BI dan PI (Kemenkes RI 2013).

Pengukuran Maya Index (MI)

MI digunakan untuk memperkirakan risiko perkembangbiakan larva. MI diperoleh dengan mengacu pada dua indikator yaitu indikator risiko perkembangbiakan larva (BRI) dan risiko kebersihan lingkungan (HRI), dan masing-masing dikategorikan ke dalam tiga tingkatan risiko, yaitu tinggi, sedang dan rendah (Miller et al. (1992) dalam Danis et al. 2002).

Indikator BRI didapatkan dengan menghitung jumlah Controllable containers (CC) yaitu kontainer yang dapat dikontrol atau dikendalikan oleh manusia agar vektor tidak dapat berkembangbiak, seperti ember, pot bunga, talang air, drum minyak, sumur, bak mandi, tempat minum burung, tower, bak air.

Indikator HRI didapatkan dengan menghitung jumlah Disposable Container (DC) yaitu benda-benda tempat penampungan (sudah tidak terpakai) yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk, seperti botol bekas, kaleng bekas, ban bekas, ember bekas, lubang pada bambu, pohon berlubang, tempurung kelapa, genangan air, toples bekas (Miller et al. (1992) dalam Danis

et al. 2002).

Semua kontainer yang disurvei dicatat sebagai controllable containers,

disposable containers dan tempat yang selalu terkontrol (undercontrol containers). Kontainer yang telah dikelompokkan sebagai CC dan DC, kemudian dihitung dan dimasukkan dalam rumus BRI dan HRI untuk mendapatkan nilai MI.

Pengukuran karakteristik habitat larva Ae. aegypti

Pengukuran karakteristik habitat larva Ae. aegypti dilakukan dengan pengamatan terhadap faktor-faktor berikut (Kemenkes RI 2013):

1. Jenis kontainer yang terbagi atas TPA (drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc dan ember). Non TPA (tempat minum burung, vas bunga, tempat pembuangan air kulkas/dispenser, ban, kaleng, botol, plastik). Tempat penampungan air alamiah (lubang pohon, lubang batu, tempurung kelapa dan potongan bambu).

2. Bahan dasar kontainer (karet, semen, plastik, besi, porselen, tanah liat, alumunium, kaca)

3. Warna kontainer (putih, orange, hitam, biru, abu-abu, kuning, merah, hijau, ungu).

4. Volume air pada setiap kontainer dilakukan dengan memperkirakan jumlah air pada saat pemeriksaan dengan mengamati ukuran wadah.

5. Letak kontainer (di dalam atau di luar rumah).

6. Pencahayaan kontainer (langsung atau tidak langsung terkena cahaya matahari).

7. Penutup kontainer (menggunakan penutup atau tidak).

(24)

9. PH air, dilakukan menggunakan kertas lakmus dengan parameter pH 0-14. Kertas lakmus dicelupkan dalam air kemudian dilihat warnanya dengan membandingkan dengan standar yang ada dalam kertas lakmus tersebut dan dicatat berapa pH yang ada pada setiap kontainer.

Pengambilan data sekunder

Data kasus DBD didapatkan berdasarkan laporan tahunan atau profil dari Kementerian Kesehatan, Dinkes Provinsi Jawa Barat, Dinkes Kabupaten Sumedang dan Puskesmas terkait. Data kasus diambil dari mulai tahun 2012-2014.

.

Analisis Data

Pengukuran kepadatan larva dan pupa Ae. aegypti

Kepadatan larva dan pupa Ae. aegypti dinyatakan dalam HI, BI, CI dan PI dengan rumus sebagai berikut:

Tabel 2. Density figure (DF) dinyatakan dengan skala 1-9

(25)

Angka HI, CI dan BI yang telah diperoleh kemudian digabungkan dan dibandingkan dengan Density figure (DF), seperti tersaji pada tabel 2.

Pengukuran karakteristik habitat larva Ae. aegypti

Analisis univariat menggunakan distribusi frekuensi dan analisis bivariat karakteristik habitat dengan keberadaan larva Ae. aegypti menggunakan uji chi square, dengan bantuan perangkat komputer melalui program SPSS versi 16.

Analisis multivariat menampilkan hasil odds ratio (OR). Uji yang digunakan yaitu binary logistic regression. Semua peubah dimasukkan dalam analisis menggunakan metode enter, selanjutnya digunakan metode forward conditions dengan memasukkan peubah yang signifikan dalam analisis (Riwidikdo 2009).

Pengukuran MI

Pengukuran MI didasarkan pada BRI yaitu dengan menghitung jumlah CC, dan HRI yaitu dengan menghitung jumlah DC, seperti pada rumus di bawah ini:

1. BRI= Jumlah CC yang ditemukan di rumah tangga Rata-rata CC yang mengandung larva

2. HRI= Jumlah DC yang ditemukan di rumah tangga Rata-rata DC yang mengandung larva

Miller et al. (1992) dalam Dhewantara dan Dinata (2015), menyatakan bahwa tingkat risiko HRI dan BRI dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu tinggi, sedang dan rendah berdasarkan distribusi tertil bawah (menentukan batas bawah x<µ-1SD), tengah (µ-1SD ≤x< µ+1SD) dan atas (x<µ+1SD). Nilai BRI dan HRI setiap rumah disusun dalam matriks 3x3 untuk menentukan kategori MI rendah, sedang dan tinggi (Tabel 3).

Tabel 3. Matriks 3x3 komponen BRI, HRI pada MI

BRI

1 2 3

(rendah) (sedang) (tinggi)

1 BRI1/HRI1 BRI2/HRI1 BRI3/HRI1

(rendah) (rendah) (rendah) (sedang)

HRI 2 BRI1/HRI2 BRI2/HRI2 BRI3/HRI2

(sedang) (rendah) (sedang) (tinggi)

3 BRI1/HRI3 BRI2/HRI3 BRI3/HRI3

(tinggi) (sedang) (tinggi) (tinggi)

(26)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi geografis dan kejadian DBD Kabupaten Sumedang

Kabupaten Sumedang termasuk dalam Provinsi Jawa Barat yang mempunyai luas wilayah 1 522.20 km2 dengan jumlah penduduk 1 137 273 jiwa. Kabupaten Sumedang terletak antara 6044’–70083’ Lintang Selatan dan 107021’– 108021’ Bujur Timur, merupakan daerah beriklim tropis. Suhu udara antara 22.0 0C-30.0 0C, kelembaban 66%-96% dengan curah hujan tertinggi pada bulan Maret sebesar 400 mm3 dan terendah pada bulan September 2015 dengan curah hujan 0 mm3 (BPS 2016).

Kejadian DBD di Kabupaten Sumedang setiap tahunnya berfluktuasi, dengan incidence rate (IR) pada 2012 sebesar 48.84 per 100 000 penduduk, dan

case fatality rate (CFR) sebesar 0.54%. Pada 2013 terjadi kenaikan kasus, dengan IR sebesar 86.31 per 100 000 penduduk dan CFR 0.20%, dan selanjutnya pada 2014 IR menjadi 45.79 per 100 000 penduduk dan CFR 1.29%. Kecamatan dengan endemisitas DBD tinggi adalah Kecamatan Paseh, Kecamatan Sumedang Utara, Kecamatan Sumedang Selatan, Kecamatan Tanjungsari dan Kecamatan Jatinangor (Dinkes Sumedang 2015). Kesemua kecamatan tersebut menjadi lokasi penelitian.

(27)

Kepadatan larva Ae. aegypti

Hasil pengukuran kepadatan larva Ae. aegypti (HI, CI dan BI) di 5 kecamatan endemis DBD Kabupaten Sumedang sebagaimana tersaji pada

Tabel 4. Hasil pengukuran tersebut terdiri atas TPA sebanyak 879 kontainer, non TPA sebanyak 189 kontainer dan TPA alamiah sebanyak 39 kontainer, sehingga total kontainer sebesar 1 107 kontainer.

Kepadatan tinggi dengan DF 6.3 terdapat di Kecamatan Paseh, sedangkan Kecamatan Sumedang Utara, Sumedang Selatan, Tanjungsari dan Jatinangor mempunyai kepadatan larva berkategori sedang. Kepadatan larva di 5 kecamatan endemis DBD Kabupaten Sumedang termasuk kategori sedang dengan nilai DF 4.7.

Kepadatan larva Ae. aegypti yang tinggi di Kecamatan Paseh disebabkan karena suplai air PDAM yang kurang lancar. Sehigga masyarakat banyak menampung air menggunakan kontainer berkapasitas besar (bak mandi). Kontainer tersebut jarang dikuras dan disikat, disamping itu kontainer bak mandi juga tidak berpenutup sehingga memudahkan nyamuk untuk meletakkan telurnya. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Purnama dan Baskoro (2012) di Denpasar Selatan. Kepadatan larva Ae. aegypti yang tinggi disebabkan banyaknya TPA yang dimiliki masyarakat dan tidak rutin menguras dan menyikat bak mandi dan kontainer lainnya. TPA yang tidak tertutup juga menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk yang potensial.

Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Sambuaga (2011) di Kelurahan Perkamil Kecamatan Tikala Kota Manado, menunjukkan bahwa daerah tersebut mempunyai kepadatan larva berkategori tinggi. Hal ini disebabkan kesadaran masyarakat yang kurang baik dalam berperan serta melaksanakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).

Tabel 4. Kepadatan larva Ae. aegypti di kecamatan endemis DBD Kabupaten Sumedang Jawa Barat November 2015-Pebruari 2016

(28)

Demikian juga menurut Sari et al. (2012) pada penelitiannya di SD Kota Semarang yang mempunyai nilai HI (78.7%), CI (23.4%) dan BI (236) dengan DF bernilai 8 (kepadatan larva tinggi). Tingginya kepadatan larva tersebut disebabkan sekolah terletak di tengah-tengah pemukiman penduduk. Nyamuk

Aedes sp. betina mempunyai kemampuan terbang rata-rata dengan radius 40- 100 m, sehingga memungkinkan nyamuk Aedes sp. masuk ke pemukiman penduduk dan sekitar sekolah.

Sunaryo dan Pramestuti (2014) menyatakan bahwa parameter entomologi HI, CI dan BI mempunyai relevansi langsung dengan dinamika penularan penyakit. Hal ini juga didukung oleh Purnama dan Baskoro (2012) yang menyatakan bahwa rumah yang ditemukan larva Ae. aegypti mempunyai nilai OR=2.74 terhadap munculnya kejadian DBD. Hal ini menunjukkan bahwa rumah yang ditemukan larva Ae. aegypti berisiko 2.74 kali, dibandingkan terhadap rumah yang tidak ditemukan larva Ae. aegypti. Begitu juga dengan container index (CI) tinggi, memiliki risiko 1.42 kali terhadap munculnya kejadian DBD.

Kepadatan tinggi larva Ae. aegypti di Kecamatan Paseh merupakan indikator untuk segera diprioritaskan upaya pemutusan rantai penularan DBD di daerah tersebut. Upaya pengendalian kepadatan larva dapat dilakukan dengan cara melakukan abatisasi massal atau kegiatan PSN, yang dilakukan bersama-sama baik oleh pemerintah daerah, dinas kesehatan, kecamatan, kelurahan dan masyarakat. Sedangkan kepadatan sedang larva Ae. aegypti di kecamatan lainnya, agar masyarakat selalu dihimbau untuk tetap menerapkan kegiatan 3M Plus secara rutin.

Upaya pengendalian yang telah dilakukan pihak terkait baik puskesmas maupun dinas kesehatan tidak akan optimal bila kesadaran masyarakat untuk melakukan PSN melalui 3M Plus tidak dilakukan dengan rutin. Masyarakat menganggap bahwa penanggulangan DBD selama ini hanya dapat dilakukan dengan pengasapan atau fogging. Kesadaran untuk melakukan PSN masih belum berjalan dengan baik dan ditunjang dengan maraknya permintaan fogging.

Kepadatan pupa Ae. aegypti

(29)

Tabel 5. Kepadatan pupa Ae. aegypti di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang Jawa Barat November 2015-Pebruari 2016

Kecamatan Macam kontainer Keberadaan pupa Aedes aegypti Ʃ PI %

Ada % Tidak % banyak jenis kontainer, serta kontainer jarang dibersihkan. Keadaan tersebut menyebabkan ketersediaan air yang ada di dalam kontainer cukup lama habis. Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Purnama dan Baskoro (2012) di Denpasar Selatan, dengan nilai PI=15.33% dan terdapat hubungan bermakna antara PI dengan kejadian DBD.

Pengukuran kepadatan vektor dengan menggunakan metode survei pupa dilakukan untuk memperkirakan banyaknya nyamuk dewasa yang akan muncul. Hal ini karena peluang hidup pupa lebih besar daripada larva untuk menjadi nyamuk dewasa (WHO 1999).

Karakteristik habitat larva Ae. aegypti

Jenis kontainer

Jumlah kontainer TPA dan non TPA yang diperoleh sebanyak 1 068 kontainer dengan mengandung larva Ae. aegypti. Sejumlah 161 kontainer terdiri atas 90.68% pada TPA dan 9.32% pada non TPA. Pada TPA dan non TPA

ditemukan larva Ae. aegypti, sedangkan pada TPA alamiah tidak ditemukan larva

(30)

TPA Non TPA

Gambar 2. Persentase jenis TPA dan non TPA yang mengandung larva

Ae. aegypti di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang Jawa Barat November 2015-Pebruari 2016

Berdasarkan keberadaan larva pada jenis penampungan air yang digunakan sebagai habitat perkembangbiakan nyamuk, jenis kontainer TPA yang paling banyak ditemukan larva yaitu bak mandi (49.32%) (Gambar 2). Hal ini karena bak mandi memiliki kapasitas penyimpanan jumlah air yang cukup besar yang jarang dikuras dan disikat. Kontainer tersebut selalu terisi air, disamping itu kontainer bak mandi juga tidak berpenutup. Penelitian yang sama dilakukan oleh Purnama dan Baskoro (2012) di Kecamatan Denpasar Selatan Provinsi Bali, bahwa TPA mengandung larva Ae. aegypti paling banyak ditemukan pada bak mandi (29.27%).

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pernyataan Hasyimi dan Soekirno (2004) yang telah melakukan penelitian di Kelurahan Tanjungpriok Kecamatan Tanjungpriok Jakarta. Kontainer tertinggi ditemukan larva Aedes adalah bak mandi (65.4%). Fock (1997) dalam Hasyimi dan Soekirno (2004) menyatakan bahwa bak mandi merupakan jenis kontainer yang banyak menyediakan kondisi yang menguntungkan larva Ae. aegypti menjadi dewasa. Kontainer tersebut termasuk TPA yang berukuran besar dan airnya sulit diganti.

Jenis kontainer non TPA yang banyak ditemukan larva yaitu penampungan dispenser (66.67%). Hal ini disebabkan karena masyarakat tidak menyadari bahwa penampungan dispenser dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk. Penelitian ini didukung oleh pernyataan Riandi et al.

(2011) di Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya. Masyarakat masih belum menyadari bahwa penampungan dispenser merupakan tempat yang sangat berpotensi untuk perkembangbiakan nyamuk. Kondisi penampungan dispenser tersebut dibiarkan begitu saja terisi air.

(31)

menyatakan bahwa kontainer TPA merupakan kontainer yang banyak ditemukan larva Ae. aegypti dibandingkan dengan kontainer non TPA dan TPA alamiah. Berdasarkan hasil uji statistik terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kontainer dengan keberadaan larva Ae. aegypti di Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Kota Surabaya.

Bahan dasar kontainer

Bahan dasar kontainer TPA dan non TPA yang ditemukan mengandung larva pada wilayah endemis DBD yaitu terbuat dari semen, plastik, besi, tanah liat, keramik, alumunium, kaca dan karet. Bahan dasar kontainer yang paling banyak ditemukan larva pada TPA yaitu semen dan plastik masing-masing

sebesar 43.2%. Kontainer pada non TPA yang banyak ditemukan larva

Ae. aegypti adalah berbahan plastik (80%) (Gambar 3).

Bahan dasar kontainer yang terbuat dari semen banyak disenangi sebagai tempat perkembangbiakan larva Ae. aegypti. Hal ini dapat terjadi karena bahan tersebut mempunyai permukaan dinding yang kasar, sulit dibersihkan dan mudah ditumbuhi lumut. Penelitian ini sejalan yang dilakukan oleh Badrah dan Hidayah (2011), menunujukkan bahwa bahan dasar kontainer yang paling banyak ditemukan larva adalah terbuat dari bahan dasar semen (86.7%) di Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara Kalimantan Timur.

Bahan dasar plastik pada penelitian ini sebagian besar juga mempunyai permukaan yang kasar. Jenis bahan plastik yang digunakan juga jarang dibersihkan, sehingga terlihat kotor dan merubah warna dasar kontainer tersebut. Hasyimi et al. (2009) di Kota Bekasi, juga mendapatkan kontainer berbahan plastik merupakan tempat perkembangbiakan larva Ae. aegypti yang terbanyak (37%).

TPA Non TPA

(32)

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Hendri et al. (2010) di Pasar Wisata Pangandaran Ciamis Jawa Barat, bahwa dari 39 kontainer yang ditemukan larva, 87.18 % terbuat dari bahan plastik, kemudian 5.13% terbuat dari bahan semen dan 2.56% masing–masing terbuat dari bahan besi, kayu dan stereofom.

Permukaan dinding kontainer diklasifikasikan menjadi permukaan kasar dan permukaan licin. Pengelompokan dinding kontainer dengan permukaan kasar dan permukaan licin berdasarkan pengamatan peneliti dengan cara meraba permukaan dinding kontainer. Permukaan dinding kontainer yang terbuat dari plastik bisa dikategorikan menjadi permukaan kasar atau permukaan licin.

Hasil uji statistik memperlihatkan terdapat hubungan yang signifikan antara permukaan dinding kontainer terhadap keberadaan larva Ae. aegypti

dengan nilai p=0.000 (Lampiran 1). Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Badrah dan Hidayah (2011) di Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Hasil yang didapat yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara permukaan dinding kontainer terhadap keberadaan larva

Ae. aegypti (p=0.000).

Warna kontainer

Warna kontainer TPA dan non TPA yang berada di wilayah endemis DBD sangat beragam. Kontainer TPA yang paling banyak ditemukan larva Ae. aegypti

adalah warna hitam (30.82%), selanjutnya adalah warna biru (24.66%). Warna kontainer pada non TPA terbanyak ditemukan larva adalah warna putih (46.67%) dan warna biru (26.67%) (Gambar 4).

Secara keseluruhan warna kontainer diklasifikasikan menjadi warna gelap dan warna terang. Warna hitam dan biru tua pada kontainer TPA dan non TPA merupakan jenis warna yang diklasifikasikan berwarna gelap, selain kedua warna tersebut, seluruh warna kontainer diklasifikasikan sebagai warna terang. Pada kontainer TPA, larva Ae. aegypti lebih dari 50% ditemukan pada kontainer berwarna gelap. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Hendri et al. (2010) di Pasar Wisata Pangandaran Ciamis Jawa Barat. Hasil penelitian didapatkan bahwa dari 39 kontainer mengandung larva yang ditemukan, 33.33% kontainer berwarna biru dan 23.08% kontainer berwarna hitam serta 10.26% berwarna putih.

Kontainer warna putih pada non TPA merupakan kontainer yang paling banyak ditemukan larva. Kontainer non TPA yang terutama ditemukan mengandung larva Ae. aegypti berupa dispenser yang umumnya berwarna putih. Hal ini karena kontainer tersebut tidak pernah diperhatikan, sehingga selalu tergenang air yang kotor dan berlumut.

(33)

TPA Non TPA

Gambar 4. Persentase warna kontainer pada TPA dan non TPA yang mengandung larva Ae. aegypti di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang Jawa Barat November 2015-Pebruari 2016

Penutup kontainer

Karakteristik habitat selanjutnya yaitu terdapatnya penutup kontainer. Kontainer yang tidak menggunakan penutup lebih banyak ditemukan mengandung larva Ae. aegypti dari pada kontainer yang menggunakan penutup. Kontainer pada TPA yang tidak menggunakan penutup sebesar 89.04%, sedangkan pada non TPA 100% (Gambar 5).

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Hasyimi et al. (2009) bahwa

salah satu penyebab tampungan air menjadi tempat perindukan nyamuk

Ae. aegypti adalah tidak tertutupnya penampungan air tersebut. Hal ini dapat dilihat pada tempat penampungan air yang tidak tertutup di Kebayoran Baru dan Kebayoran Lama Jakarta Selatan sebesar 90% yang mengandung larva Aedes spp. Penelitian lainnya oleh Badrah dan Hidayah (2011) di Kelurahan Penajam Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara Kalimantan Timur. Hasil tersebut menunjukkan bahwa TPA yang tidak menggunakan penutup lebih banyak ditemukan mengandung larva yaitu 86 kontainer (41.5%) dan tertutup 1 kontainer (0.8%). Kontainer yang menggunakan penutup, bisa saja ditemukan mengandung larva. Hal ini terjadi karena besar kemungkinan saat penggunaan air sehari-hari, TPA ini dibiarkan terbuka selama beberapa lama, sehingga dimungkinkan

Ae. aegypti meletakkan telurnya.

(34)

TPA Non TPA

Gambar 5. Persentase kondisi penutup kontainer pada TPA dan non TPA yang mengandung larva Ae. aegypti di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang Jawa Barat November 2015-Pebruari 2016

Letak kontainer

Letak kontainer yang termasuk TPA yang paling banyak ditemukan larva

Ae. aegypti berada di dalam rumah sebesar 91.10%, sedangkan pada non TPA di dalam rumah sebesar 66.67% (Gambar 6). Hal ini terjadi karena banyaknya jumlah kontainer yang digunakan masyarakat untuk keperluan sehari-hari berada di dalam rumah. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang ada bahwa nyamuk

Ae. aegypti mempunyai kebiasaan hinggap dan istirahat di dalam rumah. Nyamuk tersebut akan melakukan peletakan telurnya di tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung (Depkes 2007).

Penelitian ini juga didukung oleh Irawati (2015) di Perumnas Siteba Padang, yang menyatakan bahwa vektor DBD lebih menyukai tempat perindukan di dalam rumah dibandingkan di luar rumah. Hal ini terjadi akibat banyaknya kontainer yang digunakan berada di dalam rumah, sehingga memberikan kemungkinan bagi nyamuk untuk meletakkan telurnya.

Hasil uji statistik memperlihatkan terdapat hubungan yang signifikan antara letak kontainer terhadap keberadaan larva Ae. aegypti dengan nilai p=0.000 (Lampiran 1). Penelitian ini didukung juga oleh Budiyanto (2012) di Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa kontainer yang berada di dalam rumah lebih besar keberadaan larva

(35)

TPA Non TPA

Gambar 6. Persentase kontainer (TPA dan non TPA) yang terletak di dalam atau di luar rumah, yang mengandung larva Ae. aegypti di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang Jawa Barat November 2015-Pebruari 2016

Pencahayaan oleh matahari

TPA yang mengandung ditemukan larva Ae. aegypti dengan jumlah tertinggi pada kontainer yang tidak terkena cahaya matahari langsung sebanyak 126 kontainer (86.30%). Begitu juga pada non TPA yang digunakan terdapat di dalam rumah dengan nilai terbesar pada kontainer yang tidak terkena cahaya matahari langsung 11 kontainer (73.33%) (Gambar 7). Hal ini disebabkan karena posisi rumah yang berdekatan dan padat pemukiman. Keadaan tersebut akan menghalangi cahaya matahari untuk menerangi kontainer yang digunakan. Cahaya matahari yang tidak bisa menerangi kontainer, akan menyebabkan kondisi ruangan yang gelap dan lembab, sehingga memungkinkan nyamuk untuk beristirahat dan meletakkan telurnya.

(36)

TPA Non TPA

Gambar 7. Persentase pencahayaan matahari pada TPA dan non TPA yang mengandung larva Ae. aegypti di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang Jawa Barat November 2015-Pebruari 2016

Volume air

Kontainer dengan berbagai volume air ditemukan mengandung larva

Ae. aegypti, namun volume air lebih besar dari 20 liter (58.9%) pada TPA lebih banyak ditemukan larva. Sebaliknya pada kontainer non TPA justru volume air kurang 1 liter (60%) yang mendominasi keberadaan larva (Gambar 8).

Keberadaan larva Ae. aegypti banyak ditemukan pada kontainer dengan volume air lebih besar dari 20 liter pada kontainer TPA. Hal ini disebabkan karena ukuran kontainer yang digunakan cukup besar, maka kapasitas untuk menampung air juga lebih banyak. Kontainer dengan volume air yang besar, sangat jarang dibersihkan karena air yang ada di dalamnya cukup lama habis sehingga sulit dikuras.

Kontainer pada non TPA banyak ditemukan mengandung larva Ae. aegypti

(37)

TPA Non TPA

Gambar 8. Persentase volume air pada TPA dan non TPA yang mengandung larva Ae. aegypti di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang Jawa Barat November 2015-Pebruari 2016

Volume air yang digunakan diklasifikasikan menjadi volume air kurang dari 20 liter dan lebih besar dari 20 liter. Berdasarkan klasifikasi tersebut didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara volume air kontainer terhadap keberadaan larva Ae. aegypti dengan nilai p=0.000 (Lampiran 1). Hasil uji statistik diatas sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ayuningtyas (2013) di Kelurahan Bangetayu Wetan Kota Semarang, yang membagi volume air kontainer menjadi kurang dari 50 liter dan lebih besar dari 50 liter. Hasil yang didapatkan yaitu terdapat hubungan yang bermakna antara volume kontainer terhadap keberadaan larva Ae. aegypti (p=0.039).

Sumber air

Penggunaan air untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat adalah air tanah, air hujan dan air dari PDAM. Air tanah (45.21%) dan air PDAM (40.41%) merupakan sumber air pada TPA yang banyak ditemukan larva Ae. aegypti. Sumber air pada non TPA yang banyak ditemukan mengandung larva berada pada air tanah (66.67%) dan air hujan (26.67%) (Gambar 9). Hasil uji statistik memperlihatkan terdapat hubungan yang signifikan antara sumber air terhadap keberadaan larva Ae. aegypti dengan nilai p=0.047 (Lampiran 1).

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Ayuningtyas (2013) di Kelurahan Bangetayu Wetan Kota Semarang. Sumber air yang berasal dari air

(38)

TPA Non TPA

Gambar 9. Persentase sumber air pada TPA dan non TPA yang mengandung larva Ae. aegypti di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang Jawa Barat November 2015-Pebruari 2016

Keberadaan larva Ae. aegypti yang ditemukan pada berbagai sumber air, disebabkan karena larva tersebut mampu melakukan pertumbuhan dan perkembangan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sayono

et al. (2011), yang menyatakan bahwa larva Ae. aegypti terbukti dapat bertahan hidup pada air sumur gali, air got dan air PDAM. Empat jenis air yang diujikan adalah air sumur gali, air got, air limbah sabun mandi, dan air PDAM. Air tersebut diambil di Desa Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang, masing-masing sebanyak enam liter. Air sumur gali diambil sedalam satu meter dari enam sumur gali dengan kedalaman antara 5–15 meter, masing-masing satu liter. Air got diambil dengan gayung dan tanpa disaring. Air limbah sabun mandi diambil langsung tanpa disaring dari air saluran kamar mandi pada saat digunakan untuk mandi. Air PDAM diambil dari kran saluran air.

Sayono et al. (2011) menambahkan bahwa berdasarkan uji statistik yang dilakukan, terdapat hubungan yang signifikan antara sumber air kontainer terhadap kematian larva Ae. aegypti (p=0.000). Kematian larva Ae. aegypti

tertinggi (100%) pada air limbah sabun mandi, air sumur gali (98%) dan air PDAM (97.33%), sedangkan kematian terendah pada air got (2%). Hal ini disebabkan karena air sabun bersifat basa (pH 12.8), air PDAM terdapat kandungan (Ca(OCL2) yang bersifat desinfektan. Faktor lain yang berpengaruh

(39)

pH air

Hasil pengukuran pH air pada TPA dengan kontainer mengandung larva tertinggi pada pH 7 sebanyak 134 (91.78%), begitu juga pada non TPA sebanyak 15 kontainer (100%) (Gambar 10). Keberadaan larva pada lokasi penelitian berkisar pada pH air 6 dan 7. Hal ini disebabkan air yang digunakan masyarakat memang hanya untuk keperluan sehar-hari. Air dengan pH 6 dan 7 merupakan pH yang netral yang memenuhi syarat untuk dikonsumsi.

Keberadaan larva Ae. aegypti lebih banyak ditemukan pada air dengan pH 7. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayat et al. (1997) di Kota Semarang. Hasil yang didapat adalah pada pH 5.0 (26%), pH 5.5 (40%), pH 6.0 (53%), pH 6.5 (61%), pH 7.0 (63%), pH 7.5 (49%), pH 8.0 (35%), pH 8.5 (36%) dan pH 9.0 (34%). Berdasarkan hasil tersebut Hidayat et al. (1997) menyatakan bahwa pada pH air 7 (netral), nyamuk yang diperoleh paling banyak dibanding pada pH asam atau basa. Semakin rendah pH air kontainer, penurunan perolehan nyamuk lebih nyata dibanding peningkatan nilai pH. Secara umum perkembangan pradewasa nyamuk dipengaruhi air kontainer yang erat kaitannya dengan pembentukan enzim sitokrom oksidase di dalam tubuh larva. Fungsi dari Enzim sitokrom oksidase adalah untuk digunakan dalam proses metabolisme. Air dengan keadaan asam (pH rendah) kadar oksigen yang terlarut lebih tinggi daripada keadaan basa (pH tinggi).

Pertumbuhan mikroba dalam suasana asam akan semakin pesat sehingga kebutuhan oksigen juga meningkat, akibatnya kadar oksigen yang terlarut akan berkurang. Keadaan seperti itulah yang diduga dapat mempengaruhi pembentukan enzim sitokrom oksidase sehingga berpengaruh pula terhadap pertumbuhan dan perkembangan larva Ae. aegypti.

TPA Non TPA

(40)

Pengaruh karakteristik habitat terhadap keberadaan larva Ae. aegypti

Hasil uji multivariat diketahui bahwa variabel volume air dan letak kontainer berkorelasi signifikan terhadap keberadaan larva Ae. aegypti, sehingga didapatkan persamaan regresinya: P=-2.99+0.93X1 +1.09X2 (Tabel 6).

Tabel 6. Nilai Odds Ratio (OR) karakteristik habitat terhadap keberadaan larva

Ae. aegypti di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang Jawa Barat November 2015-Pebruari 2016

Kontainer yang mempunyai volume air lebih besar dari 20 liter berpeluang 2.54 kali lebih tinggi mengandung larva Ae. aegypti dibandingkan terhadap kontainer yang mempunyai volume air kurang dari 20 liter. Demikian juga letak kontainer di dalam rumah berpeluang 2.96 kali dibandingkan terhadap kontainer yang berada di luar rumah.

Maya Index (MI)

Berdasarkan indikator MI di wilayah endemis DBD, didapatkan nilai BRI kategori sedang sebesar 93.5% (Gambar 11). Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak 93.5% rumah penduduk mempunyai risiko sedang sebagai tempat perkembangbiakan larva. Habitat vektor tersebut berupa controlable containers. Kontainer tersebut berada di dalam rumah yang sesungguhnya mudah untuk dikendalikan. Kontainer seperti bak mandi, ember, bak wc, dan penampungan air dispenser merupakan tempat yang biasa digunakan di setiap rumah dan banyak ditemukan larva Ae. aegypti. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis-jenis kontainer tersebut sangat potensial dan cocok sebagai tempat perkembangbiakan larva

Ae. aegypti.

Berdasarkan Indikator HRI juga didapatkan kategori sedang sebesar 95.25% (Gambar 11). HRI dengan kategori sedang menandakan bahwa lingkungan di sekitar rumah banyak menyediakan disposable containers. Keberadaan kontainer tersebut selain dapat berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk juga menandakan kebersihan lingkungan yang kurang baik.

(41)

BRI HRI MI

Gambar 11. Persentase kategori BRI, HRI dan MI di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang November 2015-Pebruari 2016

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Dhewantara dan Dinata (2015) di Kota Banjar Jawa Barat, dengan MI kategori sedang sebesar 97%. Hal ini menunjukkan bahwa daerah tersebut memiliki tingkat risiko sedang sebagai tempat perkembangbiakan vektor yang dapat berpotensi terjadinya penularan infeksi virus dengue.

Potensi risiko penularan virus dengue kemungkinan besar dapat juga terjadi di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang, mengingat masih ada perilaku masyarakat yang masih kurang baik untuk membersihkan kontainernya.

(42)

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang mempunyai kepadatan larva

Ae. aegypti kategori sedang. Kepadatan pupa di Kecamatan Paseh lebih tinggi dari empat kecamatan lainnya. Terdapat hubungan bermakna antara jenis, bahan, warna, dan letak kontainer, serta kondisi penutup, pencahayaan matahari, volume dan sumber air terhadap keberadaan larva Ae. aegypti. Karakteristik habitat yang berisiko terhadap keberadaan larva Ae. aegypti yaitu volume air lebih besar dari 20 liter dan letak kontainer di dalam rumah. Berdasarkan maya index, sebagian besar rumah penduduk memiliki tingkat risiko sedang sebagai tempat perkembangbiakan vektor.

Saran

Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang, agar segera melakukan pengendalian vektor mengingat kepadatan larva Ae. aegypti di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang cukup tinggi. Upaya berupa penyuluhan dan pemeriksaan larva secara berkala terutama pada tempat-tempat penampung air di dalam rumah dan tempat penampungan dispenser yang sering terlupakan.

Kepada masyarakat khususnya di wilayah endemis DBD agar memaksimalkan kegiatan 3M Plus. Penggunaan larvasida atau pemberian ikan pemakan larva dan atau penggunaan penutup kontainer yang besar dan susah dibersihkan seperti bak mandi sangat diperlukan. Pemanfaatan kembali wadah bekas yang tak terpakai menjadi barang yang mempunyai nilai jual di pasaran.

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto S. 2006. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta (ID): Rineka Cipta.

Arifin A, Ibrahim E, La ane R. 2013. Hubungan faktor lingkungan fisik dengan keberadaan larva Aedes aegypti di wilayah endemis DBD di Kelurahan Kassi-Kassi Kota Makasssar. [Internet]. [diunduh 2017 Januari 19]; tersedia pada: http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/5544/JURNAL.pdf?s equence=1.

Ayuningtyas ED. 2013. Perbedaan Keberadaan Jentik Aedes aegypti Berdasarkan Karakteristik Kontainer di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue, Studi Kasus di Kelurahan Bangetayu Wetan, Kota Semarang [Skripsi]. Semarang (ID): Universitas Negeri Semarang.

Adifian, Ishak H, Ane RL. 2013. Kemampuan adaptasi nyamuk Aedes aegypti dan

Aedes albopictus dalam berkembangbiak berdasarkan jenis air. [Internet]. [diunduh 2016 Desember 30]; tersedia pada: http://repository.unhas.ac.id/ bitstream/handle/123456789/5532/Jurnal.pdf.

Anwar A, Rahmat A. 2015. Hubungan kondisi lingkungan fisik dan tindakan PSN masyarakat dengan container index jentik Ae. aegypti di wilayah buffer

Bandara Temindung Samarinda. Higiene. 1(2):116-123.

Badrah S, Hidayah N. 2011. Hubungan antara tempat perindukan nyamuk

Ae. aegypti dengan kasus DBD di Kelurahan Penajam Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara. J. Trop Pharm Chem. 1(2):153-160.

Budiyanto A. 2012. Karakteristik kontainer terhadap keberadaan jentik Aedes aegypti di sekolah dasar. J. Bang Man. 6(1):63-71.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumedang. 2016. Kabupaten Sumedang Dalam Angka. Sumedang (ID): BPS Kabupaten Sumedang.

[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia.1992. Petunjuk Teknis Pengamatan Penyakit Demam Berdarah Dengue. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman.

Danis-Lozano R, Rodriguez MH, Hernandez-Avila M. 2002. Gender-related family head schooling and Aedes aegypti larval breeding risk in southern Mexico. Salud Publica Mex. 44(3):237–242.

[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Petunjuk Pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) oleh Juru Pemantau Jentik (jumantik). Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Djati AP, Rahayujati B, Raharto S. 2012. Faktor risiko demam berdarah dengue di

Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul Provinsi DIY Tahun 2010. Prosiding Seminar Nasional Kesehatan Jurusan Kesehatan Masyarakat FKIK UNSOED. Purwokerto 31 Maret 2012.

Gambar

Tabel 1. Pengukuran jumlah sampel dari setiap desa/kelurahan di wilayah endemis DBD Kabupaten Sumedang Jawa Barat
Tabel 2.  Density figure (DF) dinyatakan dengan skala 1-9
Tabel 3. Matriks 3x3 komponen BRI, HRI pada MI
Gambar 1.  Lokasi penelitian di Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat
+7

Referensi

Dokumen terkait

selesai rangkaian kegiatan yang diserahkan kepada DPM dan PUKET III STT NF. f) Kegiatan yang diundur/ dipindah waktunya/digagalkan, ketua LFK harus memberikan

Berdasarkan hasil survei pemantauan harga hingga minggu keempat Januari, tingkat inflasi di bulan ini sebesar 0,48% m - m.. Secara tahunan, tingkat inflasi di Januari

Uraian di atas menunjukkan bahwa IPTEK sangat diperlukan, oleh karena itu sistem pendidikan keterampilan yang merupakan penerapan ilmu serta pengembangan pendidikan keilmuan

Sebagian besar pertumbuhan fisik dan perkembangan selesai selama tahap ini, namun kekhawatiran citra tubuh dapat terus menjadi sumber keraguan, terutama di kalangan laki-laki

Berdasarkan uraian tersebut peneliti dapat menyimpulkan bahwa keterampilan menulis merupakan keterampilan yang harus dikuasai oleh setiap orang karena keterampilan

Dengan demikian pengkodifikasian hukum untuk menuju ke arah unifikasi hukum perdata nasional dalam rangka pembaharuan dan pembentukan kodifikasi hukum perdata

Hasil ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara keberadaan genangan air dengan kejadian leptospirosis dan responden yang di sekitar rumahnya terdapat genangan air

Tujuan yang diharapkan dari dilakukannya penelitian ini yaitu dapat mengetahui permasalahan usability apa saja yang terdapat di dalam aplikasi UBER, dan melakukan