• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 KONDISI UMUM

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dampak Konflik

Kampung Batuputih merupakan kampung yang didominasi dengan mata pencaharian utama nelayan dan petani. Ekowisata berupa hutan pantai dan panorama air membuat penduduk Kampung Batuputih yang bermata pencaharian sebagai pemandu wisata semakin banyak. Sebaliknya Kampung Pinangunian merupakan kampung yang didominasi dengan mata pencaharian utama adalah petani dan pemburu, sehingga banyak aktivitas pembalakan liar dan perburuan liar. Hal tersebut membuat perbedaan persepsi masyarakat lokal di Kampung Batuputih dan Kampung Pinangunian mengenai konflik manusia dan yaki dalam pengambilan komoditas pertanian dan perkebunan para penduduk (Tabel 11).

Tabel 11 Perbedaan persepsi dampak konflik antara Kampung Batuputih dan Kampung Pinangunian

Perbedaan Batuputih Pinangunian Pembahasan Bentukan

Lahan

3 (rumah/rumah-kebun/kebun)

1(rumah) Perbedaan suku membuat perbedaan mata pencaharian & bentukan lahan

Jenis Komoditas 12 (kelapa, ubi, mangga, pisang, jagung, pepaya, nanas, nangka, coklat, cabe, rempah, telur) 9 (kelapa, ubi, pisang, jagung, tomat, sayur, merica, cengkeh, bawang)

Perbedaan letak geografis (pantai & dataran tinggi) membuat perbedaan komoditas sehingga kerentanan konflik berbeda Panen

Komoditas

5 (3bulan sekali, 6 bulan sekali, 1 tahun sekali, setiap bulan, setiap minggu) 8 (3 bulan sekali, 6 bulan sekali, 3 bulan sekali, setiap bulan, setiap minggu, 3 bulan sekali, 1 tahun sekali, 2 bulan sekali)

Perbedaan jenis komoditas membuat waktu panen berbeda sehingga intensitas konflik berbeda pula

Tujuan Penanaman

Tujuan penanaman untuk dijual & konsumsi sendiri sama jumlah . Tujuan penanaman lebih banyak untuk dijual

Perberdaan suku membua tujuan penanaman

berbedasehingga kerentanan konflik berbeda pula Terakhir

yaki datang

7 (kemarin, 1 minggu lalu, 1 bulan lalu, 3 bulan lalu, 1 tahun lalu, 2 tahun lalu, 3 tahun lalu)

3 (seminggu yang lalu, 3 tahun yang lalu, 10 tahun yang lalu)

Perbedaan suku membuat intensitas konflik berbeda

Cara Antisipasi 7 (mengangkat kayu, membiarkan, ketapel, suara, anjing, melemparkan kayu, melempar batu 3 (menggoyangkan kain, senapan angin, anjing)

Perbedaan suku membuat perbedaan perilaku yaki

Tabel 11 terlihat bahwa suku budaya akan mempengaruhi bentukan lahan, komoditas, dan mata pencaharian yang dapat memberikan perbedaan kerentanan kerusakan tanaman oleh satwa liar (Hill 2004). Hal ini didukung oleh pernyataan Sekhar (1998) yang menyatakan bahwa luas dan intensitas kerusakan dapat bervariasi tergantung pada pola tanam, kepadatan satwa liar, populasi, perilaku, dan ketersediaan makanan di habitat asli. Berdasarkan Tabel 11 juga terlihat Kampung Batuputih merupakan kampung yang lebih berdampak dibandingkan dengan Kampung Pinangunian. Oleh karena itu, bisa disimpulkan Kampung Batuputihputih lebih rawan konflik manusia dan yaki. Hasil wawancara dengan penduduk Kampung Batuputih menyebutkan juga, konflik manusia dan yaki di Kampung Batuputih telah berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih enam tahun. Pada tahun 2009-2010 merupakan puncak terjadi konflik. Pada tahun tersebut penduduk Kampung Batuputih mengalami kerugian yang besar dikarenakan hasil kebun seperti kelapa, singkong, dan mangga dirambah oleh yaki. Seiring dengan bertambahnya jumlah aktivitas pemburuan, penebangan liar, dan tidak adanya kontrol ekowisata juga menambah masalah gangguan oleh yaki terhadap perkebunan penduduk kampung di sekitar kawasan. Kondisi ini bila terjadi berlarut-larut dikhawatirkan akan menimbulkan pengaruh yang kurang baik terhadap perkembangan sosial ekonomi masyarakat di sekitar daerah konflik dan berdampak negatif bagi upaya pelestarian yaki sebagai salah satu satwa langka dan endemik di Sulawesi khususnya di Sulawesi Utara.

Model Probabilitas Kehadiran Konflik

Hasil uji VIF (Variance Inflantion Factor) dengan (0.7 >Pearson Correlation< 1) menunjukkan bahwa hanya 11 variabel lingkungan yang bisa dianalisis lebih lanjut karena terbebas adanya gambaran multikolinearitas antar variabel bebas (Lampiran 18). Persoalan multikolinearitas antar variabel bebas harus di tanggulangi sebelum analisis data dapat dilanjutkan. Multikolinearitas dapat ditanggulani dengan berbagai cara antara lain penggunaan informasi apriori, analisis komponen utama, analisis faktor, dan penambahan data serta prosedur mengeluarkan variabel bebas (eliminasi) yang berkolinera ganda. Prosedur multikolunearitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah prosedur eliminasi. Berdasarkan prosedur tersebut, maka ada tiga variabel yang harus dikeluarkan yaitu variabel ketinggian 0-400 mdpl (JTE1), ketinggian > 800 mdpl (JTE3), dan kemiringan lahan 0-8% (JTS1). Dengan demikian, hanya 11 variabel yang dapat dianalisis lebih lanjut untuk mendapatkan model probabilitas konflik manusia dan yaki berdasarkan persamaan logistik. Variabel tersebut adalah ketinggian 400-800 mdpl (JTE2), kemiringan lahan 8-15% (JTS2), kemiringan 15-25% (JTS3), kemiringan lahan 25-40% (JTS4), kemiringan lahan >40% (JTS5), semak (JTSM), kebun campuran (JTKC), bangunan (JTBG), hutan primer (JTHP), hutan sekunder (JTHS), dan tanah lapang (JTTL).

Hasil analisis regresi logistik juga menunjukan bahwa dari 11 variabel lingkungan, hanya dua variabel yang memberikan pengaruh terjadinya

32

 

     

1

P i

1 exp 0.066 (-0.001 (JTE2) 0.030 (JTHP) 1

konflik manusia dan yaki. Hasil analisis regresi logistik terhadap 11 variabel

pada taraf nyata α = 5% dengan metode Forward Stepwise yaitu sebagai berikut :

Dilihat dari hasil regresi logistik dengan metode Forward Stepwise

(LR), diketahui bahwa model probabilitas konflik manusia dan yaki dipengaruhi oleh variabel ketinggian 400-800 mdpl (JTE2) dan hutan primer (JTHP).

Model tersebut layak berdasarkan uji Hosmer dan Lemeshow karena mempunyai nilai lebih dari 5% yaitu 43.40%. Nilai Negelkerke R2 hasil perhitungan sebesar 62.90%. Hal itu menunjukkan bahwa 62.90% dari probabilitas konflik manusia dan yaki dapat dijelaskan oleh variabel dalam model dan 37.10% dijelaskan oleh variabel atau faktor lain di luar model. Berikut merupakan hasil koefisien, p-value, akurasi Hosmer-Lemeshow, dan

Nagelkerke (R²) dengan metode Forward Stepwise (LR) yang dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 T-test, Akurasi Hosmer-Lemeshow dan Nagelkerke (R²) dengan metode Forward Stepwise (LR)

Variabel β p-value (sig) Hosmer & Lemeshow Nagelkerke R2 JTE2 -0.001 0.000 43.4% 62.9% JTHP 0.030 0.013 Constants -0.066 0.941

Formula regresi logistik tersebut juga menghasilkan model validasi probabilitas konflik manusia dan yaki (Gambar 14). Berdasarkan ambang batas kategori mengacu pada Supranto (2000) hasil peta probabilitas konflik manusia dan yaki terbagi menjadi tiga area yaitu: probabilitas konflik tinggi seluas 2008.5 ha (17.06%), probabilitas konflik sedang 3621.7 ha (30.76%). dan probabilitas konflik rendah seluas 6143.9 ha (52.18%). Hasil validasi model terdapat omission error sebesar 33.33% dari tiga kejadian konflik manusia dan yaki yang terdapat di daerah yang tidak sesuai adanya konflik.

Omission error dapat disebabkan oleh adanya nilai Negelkerke R2 yang hanya sebesar 62.90%, sehingga 37.10% dijelaskan oleh variabel atau faktor lain di luar model.

Gambar 14 Model probabilitas konflik manusia dan yaki

Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Konflik

Karakteristik lanskap probabilitas konflik manusia danyaki dipengaruhi oleh dua variabel lingkungan, yaitu ketinggian 400-800 m dan hutan primer. Variabel ini berkaitan dengan tingginya intensitas aktivitas sehari-hari manusia dan yaki.

Ketinggian atau elevasi merupakan salah satu fitur fisik topografi atau bentuk lahan. Secara umum ketinggian tidak mempengaruhi yaki dalam setiap kegiatan hariannya. Hal ini dikarenakanpada setiap ketinggian terdapat grup yaki. Yaki dapat ditemukan di berbagai ketinggian sampai 2000 mdpl (Supriatna dan Wahyono 2000). O’brien dan Kinnaird (1997) juga menyatakan bahwa yaki dapat dijumpai disemua ketinggian di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara. Namun pada ketinggian 400-800 mdpl intensitas aktivitas sehari-hari yaki tergolong tinggi. Daerah ini didominasi oleh daerah pakan yaki seperti Dracontomelon dao, Canangan Odorata, Ficus sp., Terminalian catappa, Mucuna albertisii, Piper aduncum, Cocos nucifera, Arengan pinnata (66%) yang berupa hutan primer 1379.11 ha (11.71%), hutan sekunder 794.35 ha (6.75%), dan kebun campuran 543.33 ha (4.61%). Oleh karena itu, ketersediaan makanan yaki pada daerah ini berlimpah. Berdasarkan hasil wawancara semi-terstruktur dan ground-truth check (Lampiran 4) juga diketahui bahwa konflik manusia dan yaki sering terjadi di hutan primer, hutan sekunder, dan kebun campuran. Apabila terlihat dari rasio-odds dari hasil model regresi logistik terlihat bahwa setiap kenaikan satu satuan dari variabel elevasi 400-800 mdpl, maka peluang

34

untuk terjadi konflik manusia dan yaki adalah 0.957 kali daripada peluang tidak terjadinya konflik manusia dan yaki.

Secara umum, yaki dapat menggunakan semua jenis tutupan lahan untuk mencari makan. Namun yaki selalu menggunakan pohon-pohon besar dan tinggi yang umumnya berada di hutan primer untuk digunakan sebagai pohon tidur. Hal ini memungkinkan penutupan lahan yang mempunyai jarak berdekatan dengan hutan primer tanpa adanya hambatan fisik akan rentan dengan terjadinya konflik, karena energi yang diperlukan oleh yaki jika berdekatan dengan pohon tidur akan semakin kecil. Berdasarkan nilai rasio-odds dari hasil model regresi logistik juga terlihat bahwa setiap kenaikan satu satuan dari variabel penutupan lahan hutan primer, maka peluang untuk terjadi konflik manusia dan yaki adalah 1.030 kali daripada peluang tidak terjadinya konflik manusia dan yaki.

Berdasarkan model spasial probabilitas konflik manusia dan yaki, distribusi probabilitas konflik terbagi menjadi 3 yaitu:

a. Probabilitas konflik tinggi.

Probabilitas konflik tinggi berada di tamanwisata alam (TWA) Batuputih dan Batuangus. Kawasan konservasi berupa TWA tersebut dekat dengan Kampung Batuputih dan Kampung Kasuari. Hal ini disebabkan tingginya intensitas aktivitas manusia berupa ekowisata. Kehadiran manusia dalam kegiatan ekowisata dapat berpengaruh negatif pada perilaku monyet (Sari 2013). Adanya wisatawan yang masih memberikan makanan untuk yaki dapat membuat mengenal makanan baru yang dapat mengubah perilaku yaki.

b. Probabilitas konflik sedang.

Distribusi probabilitas konflik sedang tersebar pada CA Duasodara dan CA Tangkoko dengan kondisi hutan primer masih bagus dan pakan yaki berlimpah.

c. Probabilitas konflik rendah.

Distribusi probabilitas konflik rendah tersebar pada perbatasan Kampung Duasodara dan Kampung Pinangunian. Keberadaan berburu dan kegiatan pembalakan liar di Kampung Duasodara dan Pinangunian juga memaksa yaki pindah daerah jelajah ke arah Kampung Batuputih dengan kondisi hutan primernya masih bagus. Hal ini sesuai dengan hasil dampak konflik yang dilakukan pada Kampung Batuputih dan Kampung Pinangunian, bahwa diketahui Kampung Batuputih lebih rentan dibandingkan dengan Kampung Pinangunian bahkan kampung lainnya.

Rekomendasi Penanggulangan Konflik

Konflik manusia dan yaki yang semakin meningkat di CA Tangkoko-Batuangus/Duasodara membuat adanya perbedaan pandangan pada yaki,

pada satu sisi yaki merupakan satwa liar endemik yang berstatus genting, tetapi disisi lain berdasarkan pandangan masyarakat lokal yang hasil pertaniannya telah mengalami kerusakan menganggap yaki sebagai hama pertanian. Oleh karena itu, dibutuhkan rekomendasi dengan pemahaman tentang ekosistem yang dinamis sehingga dapatmenanggulangi konflik manusia dan yaki.

Berdasarkan model probabilitas konflik yang terbagi menjadi tiga kategori yaitu probabilitas konflik tinggi, probabilitas konflik sedang, dan probabilitas konflik rendah.Penyususan rekomendasi juga terbagi menjadi dua bagian berdasarkan kepentingannya, yaitu rekomendasi khusus dan rekomendasi umum.

Rekomendasi khusus

Rekomendasi khusus merupakan rekomendasi yang hanya dilakukan pada salah satu kategori model probabilitas konflik yaitu probabilitas konflik tinggi. Probabilitas konflik tinggi merupakan kemungkinan konflik paling tinggi yang disebabkan tingginya intensitas aktivitas manusia dan yaki. Beberapa rekomendasi khusus yang hanya pada probabilitas konflik tinggi yaitu:

a. Pemberian daerah penyangga (buffer).

Secara konseptual buffer zone atau wilayah penyangga berfungsi untuk menyangga wilayah utama, mencegah terjadinya kerusakan dan memberikan lapisan perlindungan tambahan. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dinyatakan bahwa daerah penyangga merupakan wilayah yang berada di luar kawasan suaka alam maupun kawasan pelestarian alam, baik sebagai kawasan hutan lain, tanah negara maupun tanah yang dibebani hak, yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Menurut Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam, Pasal 56 (2), kriteria penyangga adalah:

1. Berbatasan langsung dengan kawasan konservasi.

2. Secara ekologis masih memiliki pengaruh, baik dari dalam maupun dari dalam.

3. Mampu menangkal berbagai macam gangguan

36

Buffer dilakukan antara kampung dan perkebunan dengan kawasan konservasi. Dalam konteks konflik manusia dan yaki di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara, khusus pada probabilitas konflik tinggi diperlukan

buffer yang berfungsi sebagai penghalang (barrier). Yaki memakan hasil kebun masyarakat jika mereka masih punya akses menuju perkebunan penduduk. Oleh karena itu, dibutuhkan penghalang sebagai rintangan fisik untuk mencegah yaki agar tidak dapat masuk ke perkebunan penduduk atau pemukiman penduduk, sehingga dapat menurunkan interaksi manusia dan yaki (Gambar 15).

Beberapa contoh desain penghalang (barrier installation) untuk penanggulangan konflik manusia dan yaki yaitu:

1. Barriervegetasi

Barrier installation berupa vegetasi adalah penggunaan lahan yang berfungsi sebagai rintangan antara kawasan konservasi dengan perkebunan yang fungsinya untuk menahan yaki agar tidak melintas.

Barrier installation akan lebih efektif apabila berukuran cukup luas dikombinasikan dengan pembuatan barrier installation atau penolak lainnya. Barrier installation vegetasi bisa terdiri dari kombinasi beberapa layer berdasarkan pakan favorit yaki (Gambar 16). Pada layer pertama berisi vegetasi pakan favorit yaki. Layer pertama akan ditanam beberapa vegetasi buah-buah favorit, yang menjadi makanan yaki (Lampiran 1). Apabila ditanami vegetasi buah-buah favorit, diharapkan dalam jangka 5 tahun ke depan dapat berfungsi sebagai sumber pakan tambahan untuk yaki dan satwa lainnya. Hal ini juga dapat berfungsi untuk mengalihkan perhatian yaki terhadap perkebunan. Pada layer kedua, ditanam vegetasi yang bukan pakan favorit yaki atau tidak menghasilkan buah, melainkan yang sering ditemui adanya serangga. Hal ini sesuai dengan Lee (1999), menemukan bahwa kelompok yaki yang menempati habitat lebih tergangguakan mengkonsumsi lebih banyak serangga dibandingkan dengan di daerah-daerah yang kurang terganggu. Beberapa jenis serangga yang dimakan yaki antara laintawon, rayap, ulat dalam gulungan daun Pongamia sp., lebah, semut, dan belalang (Saroyo, 2002 dalam Saroyo, 2005). Oleh sebab itu, diharapkan ketika yaki berada pada layer kedua, yaki semakin tidak mendekati kampung/ perkebunan. Pada layer ketiga, akan ditanam vegetasi bukan pakan yaki. Layer ketiga ini dapat berupa tanah lapang terbuka atau ditanami rerumputan ataupun ilalang. Jika hanya tanah lapang atau dengan rerumputan pendek saja, ini membuat yaki malas untuk berjalan dengan keempat kakinya dengan jarak yang jauh dan secara psikiologis yaki akan juga merasa dirinya tidak aman. Berdasarkan Yuhwono et al.

(2007) barrier installation vegetasi yang dibuat untuk mengurangi konflik manusia dan orang utan, mempunyai lebar antara 20-30 m. Oleh sebab itu, pada desain barrier installation vegetasi yang dibuat untuk mengurangi konflik manusia dan yaki juga akan menggunakan 20 m pada setiap layer.

Gambar 16Deskripsibarrier vegetasi 2. Barrier parit pembatas

Berdasarkan (Yuwono et al. 2007) pembuatan rintangan lain yang dapat diterapkan untuk mengurangi konflik manusia dan primata yang cukup efektif adalah parit pembatas (Gambar 17).

Gambar 17 Deskripsi parit pembatas

Secara teknis dilakukan dengan menggali parit yang lebar dengan ukuran 3-5 meter dan lumayan dalam (3-5 meter), sehingga yaki tidak bisa menyeberang. Apabila di daerah yang dekat dengan sumber air maka air, dapat di aliri ke dalam parit tersebut. Yaki tidak bisa berenang sehingga takut pada kedalaman air. Walaupun demikian tetap dibutuhkan tenaga patroli yang dapat memastikan bahwa cara ini berjalan dengan efektif. Kekurangan dari parit pembatas ini adalah harus dibebaskan dari adanya pohon, dahan, dan kayu yang panjang, karena yaki bisa menggunakan kayu sebagai alat untuk dibentangkan keseberang parit dan yaki akan menyeberang dengan mudah melintasi kayu tersebut. Oleh sebab itu, di sekitar parit diusahakan tidak ada pohon. Harus tersedianya air sepanjang musim untuk parit yang dialiri air dan akan terjadi kendala pada saat musim kering, kecuali lokasi berdekatan dengan daerah aliran sungai (DAS). Perawatannya menyangkut perawatan parit, pengaliran air, dan pembersihan sekitar

Kawasan Konservasi Barrier Kampung/ Perkebunan Kawasan Konservasi Barrier Kampung/ Perkebunan 20 m 20 m 20 m

Pakan yaki sangat berlimpah

Pakan yaki kurang berlimpah

Pakan yaki tidak berlimpah

5m 5m

38

parit. Mungkin tidak mudah untuk menggali sebuah parit mengikuti batas yang ditetapkan secara ketat.

3. Barrier pembuatan jalan patroli

Jalan ini dibuat bersih dan rata sehingga memudahkan pengawas dalam melakukan kontrol. Jalan ini sebaiknya dapat dilewati sepeda motor atau mobil untuk patroli dan pastikan tidak ada akses bagi kendaraan pembalak liar (Gambar 18). Pembuatan jalan yang bersih juga memudahkan dalam melakukan kontrol terhadap gangguan lain, misalnya hama, melakukan proses penanaman dan kegiatan perkebunan lainnya.

Gambar 18 Deskripsi pembuatan jalan patrol

Berdasarkan contoh desain penghalang untuk penanggulangan konflik manusia dan yaki di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara, pemberian buffer dapat merupakan kombinasi dari ketiga desain penghalang sesuai dengan fitur fisik sekitar (ketinggian, kemiringan, penutupan lahan, jalan, dan hidrologi). Terdapat kriteria desain penghalang sesuai dengan fitur fisik yang terdapat di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara (Tabel 13). Tabel 13 Kriteria desain penghalang (barrier installation) di CA

Tangkoko-Duasodara/ Batuangus Kriteria

Vegetasi Parit Jalan Desain Penghalang Ketinggian 0-400 mdpl 400-800 mdpl >800 mdp Kemiringan 0-8 % (datar) 8-15 % (landai) 15-25 % (agak curam) 25-40 % (curam) >40 % (sangat curam) Penutupan Lahan Semak Belukar Kebun Campuran Bangunan Hutan Primer Hutan Sekunder Tanah Lapang Jalan Sungai Kawasan Konservasi Barrier Kampung/ Perkebunan 10 m

b. Pengontrolan ekowisata

Aktivitas ekowisata sebenarnya sangat positif karena dapat meningkatkan pendapatan masyarakat setempat dengan menjadi pemandu.

Walau demikian, disisi lain tingginya permintaan terhadap paket wisata menyebabkan kaidah ekowisata di TWA bergeser. Ekowisata dilakukan hingga ke dalam wilayah CA.Pemandu melakukan berbagai cara untuk memuaskan wisatawan yang memiliki dampak negatif jangka panjang terhadap yaki dengan berusaha sedekat mungkin dengan yaki dengan jarak kurang dari 5 m. Wisatawan juga seringkali memberikan makanan kepada yaki. Hal ini menyebabkan dalam jangka panjang perilaku yaki berubah. Perubahan perilaku ini dapat menyebabkan berbagai permasalahan antara lain yaki menjadi terbiasa dengan manusia dan berani masuk ke dalam perkebunan, perubahan preferensi pakan yaki dari pemakan buah menjadi pemakan segalanya (omnivora) seperti manusia, dan meningkatnya resiko

zoonosis. Westin (2007) mengemukakan juga pada monyet merah (Alouatta seniculus) yang tinggal di daerah yang sering dikunjungi wisatawan di Suriname memiliki perubahan perilaku.

Berdasarkan Sari (2013), kehadiran wisatawan lebih mempengaruhi pada gerakan harian yaki. Yaki cenderung meningkatkan pergerakan harian untuk menghindari wisatawan. Secara keseluruhan, efek kehadiran ekowisata di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara tidak benar-benar membahayakan. Walaupun demikian, jika tidak ada kontrol maka akan menjadi membahayakan. Efek ini dapat dikurangi dengan manajemen yang lebih baik di bidang pariwisata diantaranya adalah: 1. menghindari kelompok yaki terhabituasi untuk mengurangi dampak negatif terhadap perilaku yaki (Sari 2013); dan 2. pengontrolan jumlah optimum dari pengunjung menjadi lima orang, termasuk Pemandu (Kinnaird dan O'Brien 1996).

c. Patroli.

Cara terbaik penjagaan tanaman dari gangguan yaki, dengan berpatroli di daerah probabilitas konflik tinggi setiap pagi (dari subuh), siang, dan sore hari. Patroli bisa dilakukan dengan penghalauan secara langsung oleh petugas patroli yang dibentuk dan biaya operasionalnya atau dengan menggunakan suara-suara gaduh. Sistem pembuatan jalan yang baik sepanjang lingkar luar perkebunan sangat membantu mempermudah patroli serta penggunaan kendaraan bermotor dan suara berisik mesin mobil atau motor, serta suara klaksonnya bisa berfungsi sebagai sarana pengusir bagi yaki. Cara patroli dapat juga dibangun menara pengawas yang dilengkapi dengan alarm peringatan yang cukup keras dan dapat terdengar oleh yaki dalam jarak yang cukup jauh, sehingga tidak perlu dilakukan patroli keliling.

Rekomendasi Umum

Rekomendasi umum merupakan rekomendasi yang dapat ditujukan pada seluruh kawasan disemua kategori probabilitas konflik. Beberapa rekomendasi umum yaitu:

40

a. Pelestarian jumlah pakan alami

Berdasarkan (Sari 2013) menunjukkan bahwa makanan yang tersedia sepanjang tahun pengumpulan data. Produktivitas pangan yang cukup seragam sepanjang periode penelitian menunjukkan bahwa tidak ada periode alami kelangkaan makanan untuk yaki. Akan tetapi, agar menjaga produktifitas pakan yaki, diperlukan pelestarian secara sengaja spesies pakan-pakan alami yaki (Rao et al. 2002). Pada daerah konservasi dapat dilakukan dengan menanam berbagai macam tanaman buah dan jenis lainnya yang merupakan spesies lokal daerah itu. Adapun buah favorit menjadi makanan yaki pada dua Grup yaki dapat dilihat pada Lampiran 1. Pengayaan habitat diharapkan dapat mencegah yaki keluar dari lokasi konservasi dan mengganggu perkebunan. Pengayaan habitat memerlukan pengawasan dan perawatan yang berkelanjutan.

b. Peningkatan penegakan hukum

Yaki merupakan satwa yang dilindungi berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan SK Menteri Pertanian 29 Januari 1970 No.421/Kpts/um/8/1970, SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No.301/Kpts-II/1991. Oleh karena itu yaki harus memperoleh perlindungan baik habitat dan populasinya serta individu yaki, dimanapun mereka berada (baik di dalam ataupun di luar kawasan konservasi, termasuk di pemukiman dan perkebunan) dan menurut undang-undang tersebut setiap orang dilarang untuk melakukan hal-hal berikut terhadap yaki maupun satwa dilindungi lainnya, yaitu:

1. Menangkap, melukai, memelihara, mentransportasikan, dan memperdagangkan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. 2. Menyimpan, memiliki, merawat, mentransportasikan, dan

memperdagangkan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati. 3. Memindahkan satwa yang dilindungi dari satu tempat ke tempat

yang lain, baik didalam maupun diluar wilayah Indonesia.

4. Memperdagangkan, menyimpan atau memiliki kulit, seluruh tubuh, atau bagian-bagian tubuh lainya dari satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tubuh satwa yang dilindungi, atau memindahkan bagian-bagian tubuh atau barang-barang yang telah disebutkan dari satu tempat di Indonesia ke tempat lainnya, baik didalam maupun diluar wilayah Indonesia. Apabila terjadi pelanggaran larangan tersebut di atas terhadap yaki akibat adanya aktifitas suatu kegiatan proyek/perusahaan, maka berdasarkan UU No.5 tahun 1990 para pelakunya dapat dikenakan sanksi hukuman maksimum 5 tahun dan atau denda maksimum 100 juta rupiah.

c. Peningkatan kesadaran masyarakat.

Konflik antara manusia dan satwa liar terjadi akibat sejumlah interaksi negatif baik langsung maupun tidak langsung antara manusia dan satwa liar.

Dokumen terkait