• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen Lanskap Untuk Penanggulangan Konflik Dengan Monyet Hitam Sulawesi (Macaca Nigra) Di Sulawesi Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Manajemen Lanskap Untuk Penanggulangan Konflik Dengan Monyet Hitam Sulawesi (Macaca Nigra) Di Sulawesi Utara"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

MANAJEMEN LANSKAP UNTUK PENANGGULANGAN

KONFLIK DENGAN MONYET HITAM SULAWESI

(Macaca nigra)

DI SULAWESI UTARA

BALQIS NAILUFAR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)
(4)
(5)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian “Manajemen Lanskap untuk Penanggulangan Konflik Dengan Monyet Hitam Sulawesi

(Macaca nigra) di Sulawesi Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015

Balqis Nailufar

(6)

RINGKASAN

BALQIS NAILUFAR. Manajemen Lanskap untuk Penanggulangan Konflik Dengan Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Sulawesi Utara. Dibimbing oleh SYARTINILIA dan DYAH PERWITASARI.

Ancaman utama bagi kelangsungan hidup monyet hitam sulawesi (Macaca nigraDesmarest, 1822) atau masyarakat lokal menyebutnya dengan yaki di Sulawesi Utara disebabkan adanya kerusakan habitat akibat penebangan liar. Selain itu terdapatnya perburuan liar juga menjadi ancaman lain untuk kelangsungan hidup yaki. Kerusakan habitat dan perburuan liar ini, meningkatkan masalah konflik dengan masyarakat lokal. Konflik manusia dan yaki terutama pada perambahan hasil pertanian oleh yaki. Tujuan penelitian ini adalah: 1) menganalisis dampak konflik manusia dan yaki di cagar alam (CA) Tangkoko-Batuangus/ Duasodara; 2) membangun model probabilitas konflik manusia dan yaki di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara; 3) menganalisis penyebab terjadinya konflik manusia dan yaki di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara; dan 4) menyusun rencana manajemen konflik penanggulangan manusia dan yaki di CA Batuangus/ Duasodara. Penelitian ini dilakukan di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara, di Kabupaten Bitung, Sulawesi Utara.

Penelitian ini menggabungkan sistem informasi geografis (SIG) dan data penginderaan jauh dengan analisis regresi logistik. Analisis berdasarkan perbandingan variabel lingkungan dari titik presence dan pseudo-absence konflik dimana titik presence didapat dari wawancara semi-terstruktur dan ground-truth.

Hasil analisis menunjukan bahwa dari 14 variabel lingkungan hanya 2 variabel yang mempengaruhi adanya konflik manusia dan yaki. Model probabilitas konflik manusia dan yaki ini dipengaruhi oleh variabel ketinggian 400-800 mdpl (JTE2) dan hutan primer (JTHP). Berdasarkan hasil model terlihat bahwa luas wilayah studi yang dibangun adalah 11 774.10 ha. Area yang sesuai terjadinya konflik seluas 2 008.50 ha (17.06%), kurang sesuai seluas 3 621.80 ha (30.76%), dan area yang tidak sesuai seluas 6 143.90 ha (52.18%). Penanggulangan konflik manusia dan yaki berdasarkan hasil model antara lain: pemberian batas alami, patroli, kontrol kegiatan ekowisata, pengkayaan jumlah pakan yaki, peningkatan penegakan hukum, dan peningkatan kesadaran masyarakat.

(7)

SUMMARY

BALQIS NAILUFAR. Landscape Management Response to Conflict with Sulawesi Crested Black Macaques (Macaca nigra) in North Sulawesi. Supervised by SYARTINILIA and DYAH PERWITASARI.

The main threat to the survival of Sulawesi Crested Black Macaques (SCBM) (Macaca nigraDesmarest, 1822) or the people call with yaki, in North Sulawesi is habitat destruction caused by illegal logging. Illegal hunting also became another threat for survival of this species. This threat has increasing the human – SCBM conflict such as crop-raiding. This study aimed to 1) analyze the impact of the conflict between humans and yaki in Tangkoko-Batuangus/ Duasodara Nature Reserve; 2) building a probability model of conflict between humans and yaki in Tangkoko-Batuangus/ Duasodara Nature Reserve; 3) analyze the causes of the conflict between humans and yaki in Tangkoko-Batuangus/ Duasodara Nature Reserve; and 4) prevention of conflict management plan between the human and yaki in Tangkoko-Batuangus/ Duasodara Nature Reserve. This study was conducted in Tangkoko-Batuangus/ Duasodara Nature Reserve, Bitung district,North Sulawesi.

Main methodology was combination of primary data interviews and ground-truth check with GIS/remote sensing data using binary logistic regression. Analyses were based on the comparison features (14 environmental variables) at the presence and pseudo-absence sites of the human and yaki conflict, where the point of presence obtained from semi-structured interviews and ground-truth.

The result, from 14 environmental variables, only 2 variables were detected as important variable for a conflict probability model were predominantly influenced by elevation 400-800 mdpl (DE2) and natural forest (DNF). The results showed he area of study was built for the model was 11 774.10 ha, the high, medium, and low probability conflict areas were covering 2 008.50 ha (17.05%), 3 621.70 ha (30.76%), and 6 143.90 ha (52.18%), respectively. The results of this study will be used for management response to human and yaki conflict in North Sulawesi such as giving a natural boundaries, control ecotourism activities, patrols, increase the amount of feed, increased enforcement, and increased public awareness.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

MANAJEMEN LANSKAP UNTUK PENANGGULANGAN

KONFLIK DENGAN MONYET HITAM SULAWESI

(Macaca nigra)

DI SULAWESI UTARA

BALQIS NAILUFAR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015 Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada

(10)
(11)

JudulProposal :Manajemen Lanskap untuk Penanggulangan Konflik Dengan Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra)di Sulawesi Utara.

Nama : Balqis Nailufar.

NIM :A451120081.

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Syartinilia SP, MSi Ketua

Dr. Ir. R.R. Dyah Perwitasari, M.Sc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap

Dr. Ir.Nizar Nasrullah, M.Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir.Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(12)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga karya ilmiah berjudul

“Manajemen Lanskap untuk Penanggulangan Konflik Dengan Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra)di Sulawesi Utara dapat diselesaikan. Karya ilmiah ini dipilih karena terdorong oleh keinginan penulis untuk dapat memberikan kontribusi kepada penanggulangan konflik interaksi antara manusia dan macaca.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Syartinilia SP, MSi dan Dr. Ir. R.R. Dyah Perwitasari, M.Sc, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dalam pembuatan karya ilmiah ini. Di samping itu, penulis menyampaikan terimakasih juga kepada Dr. Ir. Entang Iskandar M.Si dan Dr. Ir. Andi Gunawan M.Sc selaku dosen penguji atas kritik dan saran dan Dr. Ir.Nizar Nasrullah, M.Agr selaku Ketua Program Arsitektur Lanskap atas semangat dan dukungannya. Penulis mengucapkan terimakasih juga kepada keluarga, rekan-rekan Pascasarjana Arsitektur Lanskap 2012 (Ray, Aini, Rizki, Pram, Hani, Loly, CT, dan Sapu), macaca nigra project (MNP) (Bu Antje, Mas Gholib, Bang Meldi, Mba Susi, Novita, Mas Mentang, Kak Maria, Kak Jojo, Mba Yandi, Andre, Mas Ono, Mas iwan, Mas Ju, Bang Epen, Jamie, dan Mas Ugiek), rekan-rekan Arsitektur Lanskap Angkatan 43 (Ika, Cici, Muteb, dan Dicky), rekan-rekan zemi LFC (Bryan, Mas Anggi, Nindy, Gigih, dan Mas Mono), Kampung Batuputih, Pinangunian, Tya, Fitri, Lulun, Donny Alamsyah, Nita, Fedi Nuril, Pak Micky, Mas Ichan, Goffur, Firman, dan Jefri yang telah memberikan dorongan yang tulus baik moril maupun materil. Penelitian ini juga sudah terpublikasi dalam procedia of environmental science (Elsevier).

Penulis menyadari dengan semua keterbatasan yang dimiliki penulis yang masih rendah, sehingga pembuatan karya ilmiah ini masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat,

Bogor, September 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Macaca nigra Desmarest 1822 4

Konflik Manusia dan Macaca sp. 6

Prinsip Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa Liar 7

SIG dan Regresi logistik Biner 8

3 METODE 10

Lokasi dan Waktu Penelitian 10

Metode 10

Pangkalan Data Spasial 12

Analisis Dampak Konflik 17

Analisis Model Probabilitas Konflik 19

Analisis Penyebab Konflik 21

4 KONDISI UMUM 23

Profil Kawasan 23

Batas Wilayah Lokasi Penelitian 24

Kondisi Macaca nigra 25

Kondisi Masyarakat 26

Profil Kampung Batuputih 26

Profil Kampung Pinangunian 27

Aktivitas Masyarakat 27

Aktivitas Ekowisata 27

Aktivitas Perburuan Liar 28

Aktivitas Perusakan Habitat 29

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 30

Dampak Konflik 30

Model Probabilitas Kehadiran Konflik 31

Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Konflik 33

(14)

DAFTAR ISI (lanjutan)

6 SIMPULAN DAN SARAN 42

Simpulan 42

Saran 42

DAFTAR PUSTAKA 43

LAMPIRAN 46

RIWAYAT HIDUP 75

DAFTAR TABEL

1. Jenis data, sumber, dan kegunaannya 11

2. Kelas ketinggian 13

3. Luas tiap kelas kemiringan 13

4. Luas penutupan lahan 15

5. Kelas penutupan lahan dan deskripsinya 15

6. Variabel lingkungan 17

7. Kerangka wawancara semi terstruktur 18

8. Jari-jari wilayah jelajah yaki 25

9. Ukuran populasi yaki 26

10.Gambaran umum etnis dan pekerjaan 26

11.Perbedaan persepsi dampak konflik antara Kampung Batuputih dan

Kampung Pinangunian 30

12.T-test, Akurasi Hosmer-Lemeshow dan Nagelkerke (R²) dengan metode

Forward Stepwise (LR) 32

13.Kriteria desain penghalang (barrier installation) di CA

Tangkoko-Duasodara/ Batuangus 38

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pikir penelitian 3

2. Lokasi penelitian 10

3. Bagan alur studi 12

4. Bagan alur pembuatan peta ketinggian dan peta kemiringan 12

5. Peta ketinggian 13

6. Peta kemiringan 14

7. Bagan alur pembuatan peta tutupan lahan 14

8. Peta penutupan lahan 15

9. Kondisi penutupan lahan (a) hutan primer (b) hutan sekunder (c) semak (d) pemukiman (e) kebun campuran, dan (f) lahan kosong 16 10. Bentukan lahan lokasi wawancara (a) rumah, (b) rumah-kebun, dan (c)

kebun 19

11. Peta presence dan pseudo-absence 20

12. Peta kampung sekitar kawasan konservasi 24

13. Peta batas lokasi penelitian 25

(15)

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)

15. Peta usulan buffer pada probabilitas konflik tinggi 35

16. Deskripsi barrier vegetasi 37

17. Deskripsi parit pembatas 37

18. Deskripsi pembuatan jalan patrol 38

DAFTAR LAMPIRAN

1. 20 Pohon pakan teratas yaki 47

2. Nilai akurasi umum dan akurasi kappa 48

3. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke ketinggian 0-400 mdpl

(JTE1) dengan resolusi 30 x 30 m 49

4. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke ketinggian 400-800 mdpl

(JTE2) dengan resolusi 30 x 30 m 50

5. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke ketinggian >800 mdpl (JTE3)

dengan resolusi 30 x 30 m 51

6. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke kemiringan 0-8 % (JTS1)

dengan resolusi 30 x 30 m 52

7. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke kemiringan 8-15 % (JTS2)

dengan resolusi 30 x 30 m 53

8. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke kemiringan 25-40 % (JTS4)

dengan resolusi 30 x 30 m 54

9. Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke kemiringan 25-40 % (JTS4)

dengan resolusi 30 x 30 m 55

10.Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke kemiringan 40-155 % (JTS5)

dengan resolusi 30 x 30 m 56

11.Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover semak belukar

(JTSB) dengan resolusi 30 x 30 m 57

12.Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover kebun campuran

(JTKC) dengan resolusi 30 x 30 m 58

13.Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover bangunan (JTBG)

dengan resolusi 30 x 30 m 59

14.Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover hutan primer

(JTHP) dengan resolusi 30 x 30 m 60

15.Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover hutan sekunder

(JTHS) dengan resolusi 30 x 30 m 61

16.Peta jarak terdekat (euclidean distance) ke landcover tanah lapang

(JTTL) dengan resolusi 30 x 30 m 62

17.Titik-titik presence dan pseudo-absence 63

18.Korelasi antar variabel lingkungan (VIF)-Test 65

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sulawesi merupakan salah satu dari lima pulau utama di Indonesia, yang memiliki luas 189.2 km2. Pulau ini merupakan habitat bagi 127

mamalia asli, 61% diantaranya endemik. Hal tersebut dapat dilihat pada genus macaca.Genus macaca yang ada di dunia terdapat 20 spesies, 8 spesies diantaranya merupakan endemik Sulawesi, salah satunya yaitu Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra). Monyet hitam sulawesi (M. nigra) atau masyarakat lokal menyebutnya dengan yaki, memiliki daerah persebaran yang terbatas hanya di wilayah Sulawesi bagian utara dan juga di Pulau Bacan, serta Maluku sebagai jenis introduksi. Yaki dilindungi oleh pemerintah RI, dengan SK Menteri Pertanian 29 Januari 1970 No.421/Kpts/um/8/1970, SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No.301/Kpts-II/1991 dan Undang-undang No.5 1990. Daftar yang dikeluarkan IUCN pada tahun 2008, yaki justru digolongkan sebagai satwa dengan status genting (endangered) dan dicantumkan dalam Apendiks II CITES.

(18)

2

Perumusan Masalah

Penelitian mengenai “Manajemen Lanskap Untuk Penangggulangan Konflik dengan yaki di Sulawesi Utara diawali dari pemikiran bahwa saat ini jumlah konflik yang terjadi antara manusia dan satwa liar, salah satunya dari jenis yaki semakin banyak. Yaki sebagai satwa liar yang tergolong mudah terhabituasi akan sangat rentan dengan terjadinya konflik. Dewasa ini, terjadi perbedaan pandangan pada yaki, pada satu sisi yaki merupakan satwa liar endemik yang berstatus genting, tetapi disisi lain beradasarkan pandangan masyarakat lokal yang hasil pertaniannya telah mengalami kerusakan menganggap yaki sebagai hama pertanian. Timbulnya konflik karena kerusakan lingkungan dan ekosistem menjadi tidak seimbang. Hal ini menjadikan terjadinya konflik, yang mengindikasikan bahwa lingkungan di tempat terjadi konflik merupakan lingkungan yang telah mengalami kerusakan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kajian dalam penanggulangan konflik yang terjadi antara satwa liar dan manusia.

Berdasarkan pemikiran tersebut, aspek utama yang menjadi titik ukur dalam kajian ini adalah mengetahui lanskap tempat timbulnya konflik berdasarkan dampak dan persepsi masyarakat lokal. Lanskap tersebut dikembangkan dan digunakan untuk membangun model probabilitas konflik manusia dan yaki. Berdasarkan model probabilitas konflik, maka akan diketahui variabel yang mempengaruhi terjadinya konflik. Melalui penentuan variabel yang mempengaruhi terjadinya konflik, akan dapat disusunrekomendasi pengelolaan lanskap dalam penanggulangan konflik manusia dan yaki.

Rumusan masalah terkait dasar pemikiran, sebagai berikut: 1. Bagaimanakah dampak konflik manusia dan yaki?

2. Bagaimana model probabilitas konflik manusia dan yaki?

3. Apakah variabel yang berpengaruh dalam penyebab terjadinya konflik manusia dan yaki, serta bagaimana karakteristik konflik manusia dan yaki?

4. Bagaimana penanggulangan lanskap dalam menekan terjadinya konflikmanusia dan yaki?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah manajemen lanskap untuk penanggulangan terjadinya konflik manusia dan yaki di Sulawesi Utara. Sementara tujuan khusus penelitian, diantaranya yaitu:

1. Menganalisis dampak konflik manusia dan yaki di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara.

2. Membangun model probabilitas konflik manusia dan yaki di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara.

3. Menganalisis penyebab terjadinya konflik manusia dan yaki dan menganalisis karakter lanskap tempat konflik manusia dan yaki di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara.

(19)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat lokal dalam mengatasi konflik dengan yaki. Penelitian ini juga dapat menjadi masukan bagi balai konservasi sumber daya alam (BKSDA) Sulawesi Utara dalam menyusun rencana pengelolaan wilayah yang sangat dibutuhkan untuk mengembangkan rencana jangka panjang strategi konservasi habitat alami dari yaki.

Ruang Lingkup

Batasan penelitian meliputi lingkup kajian dan lingkup area wilayah kajian. Lingkup kajian penelitian ini dibatasi pada penyusunan rencana manajemen lanskap untuk penanggulangan konflik manusia dan yaki. Hal ini membuat penelitian ini dibatasi hanya pada menganalisis karakteristik dampak konflik, membuat model probabilitas, dan menganalisis penyebab terjadinya konflik Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

Model Probabilitas Konflik

MANAJEMEN LANSKAP PENANGGULANGAN KONFLIK Variabel Bebas Variabel Terikat

KONFLIK

Lingkungan absence presence Monyet hitam Sulawesi

atau Yaki Endemik Pulau

Sulawesi Utara

endangered

CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara

(20)

4

2

TINJAUAN PUSTAKA

Macaca nigra Desmarest 1822

Pulau Sulawesi merupakan habitat bagi 127 mamalia asli, 61% diantaranya endemik (Whitten el al. 2002). Yaki adalah satu monyet endemik Sulawesi (Nowak 1999). Masyarakat sering menyebut monyet hitam Sulawesi dengan nama yaki. Sering kali yaki salah dikategorikan sebagai kera walaupun jenis ini termasuk dalam kelompok monyet karena keberadaan ekor yang hampir tidak nampak. Berdasarkan Corbet dan Hill (1992) dan Collinge (1993) mengklasifikasikan yaki sebagai berikut:

Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mammalia Ordo : Primata

Famili : Cercophitecidae Genus : Macaca

Spesies : Macaca nigra.

Yaki merupakan primata dengan struktur sosial banyak jantan – banyak betina dengan perbandingan nisbah kelamin (sex ratio) 1:3.4 (Rowe 1996). Komunikasi antar individu dilakukan dengan bersuara dan beberapa mimik muka dan postur tubuh (Cawthon 2006). Menurut O’Brien dan Kinnaird (1997), terdapat lima kelas aktivitas harian yang dilakukan oleh yaki, yaitu:

1. moving: pergerakan, termasuk berjalan, berlari, memanjat, dan melompat;

2. feeding: mendekatkan, memetik, menggerakkan, mengunyah, atau menempatkan makanan di mulut;

3. foraging: bergerak perlahan dengan perhatian tertuju pada sumber pakan potensial atau menggerakkan substrat untuk mencari pakan;

4. resting: tubuh tidak bergerak, biasanya duduk atau berbaring, tidak terlibat dalam aktivitas sosial termasuk mengutu; dan

5. social: menyidisik, bermain, noncopulatory mounting, kopulasi, dan berkelahi.

Pergerakan dari yaki adalah menggunakan keempat anggota geraknya atau kuadrupedal, aktif di pagi sampai sore hari (diurnal), dan lebih banyak melakukan aktivitasnya di atas tanah (terestrial) (Rowe 1996). Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh O’Brien dan Kinnaird (1997) di CA Tangkoko dan Duasodara, yaki menghabiskan lebih dari 60% waktu hariannya untuk beraktivitas secara terrestrial baik untuk istirahat dan pergerakan yang menempuh jarak yang jauh.

(21)

mendapatkan sumberdaya dan akses terhadap betina lebih besar daripada jantan tidak dominan (Cawthon 2006).

Yaki termasuk ke dalam frugivora atau pemakan buah-buahan.

Menurut O’Brien dan Kinnaird (1997), pakan yaki terdiri lebih dari 145 jenis buah-buahan (66% dari total komsumsi), invertebrata (31.5%), tumbuhan hijau (2.5%), dan kadang-kadang vertebrata yang lebih kecil. Beberapa jenis serangga yang dimakan yaki meliputi rayap, tawon, ulat dalam gulungan daun Pongamia sp., lebah, semut, dan belalang. Adapun buah favorit yang menjadi makanan yaki pada dua Grup yaki dapat dilihat pada Lampiran 1.

Secara umum genus macaca merupakan genus dengan persebaran yang paling luas saat ini. Genus macaca mempunyai kemampuan adaptasi terhadap iklim serta habitat yang paling baik dibandingkan dengan ordo primata yang lain (Bercovitch dan Huffman 1999). Di dunia terdapat 20 spesies dari genus macaca dan delapan spesies diantaranya merupakan endemik Sulawesi, salah satunya adalah yaki (Nowak 1999). Habitat yaki adalah hutan hujan tropis dengan ketinggian sedang. Yaki tersebar di semenanjung utara Pulau Sulawesi di sebelah timur Sungai Onggak Dumoga dan Gunung Padang yang berbatasan dengan persebaran M. nigrescens (Saroyo 2005). Akan tetapi, pada Sulawesi Utara sendiri yaki dapat dijumpai di CA Dua Sodara, Manembo-nembo, Kotamubagu dan Modayak. Saat ini, habitat yaki yang tersisa di Sulawesi Utara terbatas pada kawasan konservasi diantaranya adalah CA Tangkoko, CA Duasodara, TWA Batuputih, dan TWA Batuangus di Kabupaten Bitung Sulawesi Utara, dimana pada CA Tangkoko dan TWA Batuputih merupakan potensial habitat yaki yang tinggi (Indrawati, 2009). Akan tetapi, pada CA Duasodara dan TWA Batuangus merupakan potensial habitat rendah. Yaki juga telah diintroduksi ke Pulau Bacan di Maluku Utara yang populasinya lebih banyak dibandingkan dengan populasi aslinya (Supriatna dan Wahyono 2000). Kerapatan yaki di CA Gunung Sibela di Pulau Bacan mencapai 170.3 individu/km2, sedangkan di hutan yang sudah terganggu mencapai 133.4 individu/km2 (Saroyo 2005). Berikutnya populasi rata-rata yaki di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara pada tahun 2012 adalah 45 individu/ km2

(Palacious et al. 2012). Pada CA Tangkoko dan CA Duasodara, yaki dapat ditemukan di berbagai tipe habitat seperti hutan primer, hutan sekunder dan bekas terbakar, semak belukar, dan kebun warga (O'Brien dan Kinnaird, 1997).

(22)

6

Konflik Manusia dan Macaca sp.

Berdasarkan IUCN (international union for conservation of nature) (2010), salah satu tantangan dalam konservasi satwa liar terletak pada peningkatan interaksi antara manusia dengan satwa liar, yang pada akhirnya menimbulkan konflik. Meningkatnya populasi manusia dan meluasnya pembangunan hingga merambah wilayah hutan menyebabkan konflik menjadi semakin sering terjadi. Konflik umumnya semakin luas pada kawasan sebaran alami satwa liar terutama dari jenis mamalia yaitu monyet. Hal ini karena kebanyakan populasi monyet hidup diluar kawasan lindung dan berdampingan dengan kawasan manusia. Pada yaki kehadiran manusia dapat menimbulkan dampak negatif terhadap perilaku yaki (Sari 2010). IUCN pada tahun 2008 juga menyebutkan yaki digolongkan sebagai satwa dengan status genting (endangered) dan dicantumkan dalam Apendiks II CITES. Status yaki diperoleh karena tren populasi yang cenderung mengalami penurunan (Supriatna dan Andayani 2008).

Secara alami perilaku satwa liar lainnya tidak meresahkan masyarakat apabila mereka hidup pada habiat aslinya dan relatif tidak berdampingan dengan kehidupan masyarakat (Gilingham et al. 2003). Namun, keadaan perilaku ini akan mengalami perubahan ketika kehidupannya pindah pada kawasan lain (Naughton 1998), atau berdampingan dengan kehidupan masyarakat (Fuentes dan Wolfe 2002). Oleh sebab itu, masyarakat perlu memperkuat pemahaman yang komprehensif mengenai situasi konflik yang ada dan yang berpotensiakan muncul. Selanjutnya, masyarakat juga perlu melihat pengaruh baik untuk saat ini maupun pada masa mendatang. Pengintegrasian data kuantitatif dan kualitatif dari berbagai aspek perilaku dan ekologi manusia dan monyet dibutuhkan, ditambah dengan pemahaman yang baik mengenai persepsi masyarakat lokal terhadap situasi yang ada. Pengetahuan tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan strategi pengelolaan yang efektif dan sesuai dengan kondisi lokal untuk mencegah atau mengurangi konflik antara manusia dan monyet, tentunya dengan tetap menghargai tujuan konservasi dan kondisi sosio-kultural-ekonomi.

(23)

Prinsip Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa Liar

Konflik antara manusia dan satwa liar terjadi akibat sejumlah interaksi negatif baik langsung maupun tidak langsung antara manusia dan satwa liar. Pada kondisi tertentu konflik tersebut dapat merugikan semua pihak yang berkonflik. Konflik yang terjadi cenderung menimbulkan sikap negatif manusia terhadap satwa liar, yaitu berkurangnya apresiasi manusia terhadap satwa liar serta mengakibatkan efek-efek detrimental yaitu efek yang menyebabkan keburukan terhadap upaya konservasi. Kerugian yang umum terjadi akibat konflik diantaranya seperti rusaknya tanaman pertanian dan atau perkebunan serta pemangsaan hewan ternak oleh satwa liar, atau bahkan menimbulkan korban jiwa manusia. Kerugian yang umum terjadi akibat konflik diantaranya kerusakan tanaman pertanian dan atau perkebunan serta pemangsaan hewan ternak oleh satwa liar, atau bahkan menimbulkan korban jiwa manusia. Satwa yang keluar dari habitatnya dan membahayakan kehidupan manusia, harus digiring atau ditangkap dalam keadaan hidup untuk dikembalikan kehabitatnya. Apabila tidak memungkinkan untuk dilepaskan kembali kehabitatnya satwa dikirim ke Lembaga Konservasi untuk dipelihara (Pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa). Dalam penanggulangan konflik manusia-satwa liar dibutuhkan proses dan upaya. Upaya dilakukan dengan mengedepankan kepentingan dan keselamatan manusia tanpa mengorbankan kepentingan dan keselamatan satwa liar. Berdasarkan Permenkehut No: P.48/Menhut-II/2008, dalam pelaksanaan penanggulangan konflik antara manusia dengan satwa liar, perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1.Manusia dan satwa liar sama-sama penting.

Konflik manusia dan satwa liar menempatkan kedua pihak pada situasi dirugikan. Dalam memilih opsi-opsi solusi konflik yang akan diterapkan, pertimbangan langkah untuk mengurangi resiko kerugian yang diderita oleh manusia, secara bersamaan harus didasari pertimbangan terbaik untuk kelestarian satwa liar yang terlibat konflik.

2.Site specific.

Variasi karakteristik habitat, kondisi populasi, dan faktor lain seperti jenis komoditas, membuat intensitas dan solusi penanganan konflik bervariasi di masing-masing wilayah, menuntut penanganan yang berorientasikan kepada berbagai faktor yang berperan dalam sebuah konflik. Oleh sebab itu, sangat mungkin terjadinya pilihan kombinasi solusi yang beragam pula di masing-masing wilayah konflik. Solusi yang efektif disuatu lokasi, belum tentu dapat diterapkan pada situasi konflik di daerah lain, demikian pula sebaliknya.

3.Tidak ada solusi tunggal.

(24)

8

4.Skala lanskap.

Satwa liar tertentu, termasuk gajah dan harimau, memiliki daerah jelajah yang sangat luas. Upaya penanggulangan konflik yang komprehensif harus berdasarkan penilaian yang menyeluruh dari keseluruhan daerah jelajahnya (home range based mitigation).

5.Tanggung jawab multi pihak.

Selain sebagai sebuah isu konservasi, konflik juga mempengaruhi dan memiliki dampak sosial dan ekonomi di daerah. Sehingga penanggulangan konflik antara manusia dan satwa liar ini harus melibatkan berbagai pihak yang terkait termasuk dunia usaha dan para pengguna lahan skala luas untuk berbagi tanggungjawab.

SIG dan Regresi logistik Biner

Berdasarkan Aronoff (1991), SIG merupakan perangkat lunak komputer yang mampu memetakan dan menganalisa data geografis. SIG juga dikenal sebagai sistem komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi geografis. SIG juga merupakan sebuah sistem komputerisasi yang memungkinkan kita untuk mempelajari fenomena geografis melalui representasi komputer. Untuk tujuan ini, SIG akan memungkinkan kita untuk melakukan tiga tahapan dasar kerja, diantaranya: 1. Data entry: tahap awal yaitu data tentang fenomena dipelajari,

dimasukkan ke dalam SIG, dan merepresentasikan yang akan dibuat. 2. Analisis data: tahap menengah yang di representasi dapat dimanipulasi

dan dipelajari untuk mendapatkan wawasan baru.

3. Data presentasi: tahap akhir yaitu hasil analisis disajikan (dalam peta atau sebaliknya).

SIG merupakan alat yang digunakan untuk menganalisis karakteristik lanskap tempat konflik secara spasial. Sistem informasi geografis merupakan seperangkat sistem komputer yang berfungsi untuk mengumpulkan, menyimpan, memanggil, menganilisis, dan menampilkan data geografis (Chang 2002). Sistem ini dipadukan dengan analisis secara statistika berupa regresi logistik biner untuk mengetahui variabel atau faktor-faktor yang memperngaruhi terjadinya konflik.

Berdasarkan Mutaqin (2008), metode Regresi Logistik merupakan metode untuk mengkaji hubungan antara satu atau lebih peubah bebas dengan peubah respon. Perbedaan mendasar dengan model regresi linear yaitu pada peubah responnya. Peubah respon pada regresi logisik merupakan peubah biner atau dichotomous.Peubah bebas dapat berupa peubah kategorik maupun interval. Akan tetapi untuk regresi linear, peubah responnya minimal berskala interval. Perbedaaan lainnya tercemin pada pemilihan model parametrik dan asumsi-asumsi yang mendasari kedua model. Walaupun demikian, prinsip-prinsip pendugaan parameter yang digunakan dalam analisis model regresi logistik sama dengan analisis model regresi linear (Hosmer et al.1997).

Jika data hasil pengamatan memiliki P peubah bebas yang ditunjukkan

(25)

dua kemungkinan nilai yaitu 0 dan 1, dimana y=1 menyatakan respon memiliki kriteria yang ditentukan (presence) dan sebaliknya y=0 menyatakan respon tidak memiliki kriteria (absent), maka peubah respon Y akan mengikuti sebaran Bernouli dengan fungsi peluang:

y y

y Y

P(  ) (1)1

Jika kejadian peubah respon Y berjumlah n, peluang setiap kejadian sama dan setiap kejadian saling bebas dengan yang lainnya maka peubah respon Y akan mengikuti sebaran binomial.

Peluang bersyarat untuk peubah respon Y (yang memiliki kriteria ditentukan) jika x diketahui, ditunjukkan oleh P (Y=1/x)= π(x). Maka model regresi logistik dapat dituliskan sebagai berikut:

) ( ) ( 1 )

( g x

x g e e x   

Beberapa penelitian yang menggunakan regresi logistik sebagai metode analisis data antara lain:

a. Penelitian elang jawa di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango oleh Syartinilia dan Tsuyuki (2008). Penelitian ini menggunakan sarang butung elang jawa sebagai variable terikat/ respon (P), sedangkan variabel bebas/ penjelas (Xji) antara lain

kemiringan, ketinggian tempat, NDVI, Aspek (Sun Index), jarak ke jalan, jarak ke sungai dan jarak ke permukiman.

(26)

10

3

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di CA Tangkoko–Batuangus/ Duasodara, di Kabupaten Bitung, Sulawesi Utara (Gambar 2). Data digunakan untuk membuat pemodelan probabilitas adanya konflik yaki dengan manusia dilakukan di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara. Penelitian ini berlangsung pada bulan Oktober 2013 dan diakhiri sampai bulan Agustus 2015.

Gambar 2Lokasi penelitian

Metode

(27)

Tabel 1 Jenis data, sumber, dan kegunaannya

No Jenis Data Unit Sumber Cara Analisis

Kegunaan

1. Aspek Fisik

A Citra Landsat 8 ETM+ path 111 row 059 Tahun 2014

Raster Landsat (resolusi 30x30 m2)

BIOTROP Training and Information Centre (BTIC) ERDAS dan SIG

1) Penutupan Lahan 2) Jarak terdekat ke Terbangun, Semak, Hutan primer dan sekunder, Kebun Campuran, dan Tanah Lapang B ASTER DEMTahun

2014

Raster (resolusi 30x30 m2)

(http://srtm.c si.cgiar.org/)

SIG 1) Elevasi 2) Kemiringan

Lahan C Batas Konservasi

SULUT

Vektor BKSDA Sulut

SIG Peta

Administratif

D RBI Vektor BIOTROP

Training and Information Centre (BTIC

SIG Peta

Administratif, Infrastruktur, Badan Air, Landuse 2. Aspek Sosial

A Demografi Dokumen Kelurahan Kampung Batu Putih

Deskripsi 1) Jumlah Penduduk 2) Umur dan

Jenis Kelamin 3) Pekerjaan 4) Penyebaran

Penduduk B Budaya Dokumen Survei dan

wawancara

Deskripsi 1) Etnik 2) Adat Istiadat 3) Kepercayaan 4) Sampling

(28)

12

Gambar 3 Bagan alur studi

Pangkalan Data Spasial

Penyusunan data spasial adalah kegiatan pembuatan peta tematik yang berupa peta ketinggian, peta kemiringan lahan, peta penutupan lahan, data

presence dan pseudo-absence, serta peta variabel lingkungan. Peta tematik dibuat menggunakan perangkat lunak ArcGIS versi 9.3 dan ERDAS Imagine versi 9.1.Peta tersebut dilengkapi dengan informasi deskripsi (attribute) yang menerangkan peta tersebut.

a. Peta ketinggian dan kemiringan lahan

Peta ketinggian dan kemiringan lahan dihasilkan dari peta DEM (Digital Elevation Model) yang diperoleh dari ASTER GDEM melalui situs http://asterweb.jpl.nasa.gov/gdem.asp. Bagan alir perolehan peta ketinggian dan peta kemiringan lahan terdapat pada Gambar 4.

Gambar 4 Bagan alur pembuatan peta ketinggian dan peta kemiringan Macaca nigra

Konflik

Analisis Biofisik

SIG &RS Data base

Variabel Tidak Terikat Penutupan

Lahan

Variabel Lingkungan

Kemiringan Ketinggian

UJI VIF Analisis Sosial

Variabel Terikat

Wawancara Semi-Struktur &Ground-truth

Presence & Pseudo-absences Dampak Konflik

Random sample Hawths tools

Uji Kelayakan Model & Validasi Penerapan Regresi Logistik

Model Probabilitas Konflik

Manajemen Penanggulangan Konflik Analisi Penyebab konflik

Peta DEM

Pemotongan sesuai area studi

Proyeksi ke UTM

Peta Ketinggian Peta Kemiringan

(29)

Peta DEM merupakan data ketinggian suatu tempat. Pembuatan peta ketinggian pada klasifikasi ketinggian berbentuk data kontinu disesuaikan dengan distribusi data yang terbagi menjadi 3 kelas (Gambar 5 dan Tabel 2).

Gambar 5 Peta ketinggian Tabel 2 Kelas ketinggian

No Kelas Ketinggian (mdpl) Luas (ha)

1. 0-400 6896.63

2. 400-800 4114.73

3. >800 762.72

Pada pembuatan peta kemiringan lahan, klasifikasi kemiringan lahan terbagi menjadi 5 kelas kemiringan dari tingkatan kemiringan datar sampai sangat curam (Tabel 3 dan Gambar 6).Penetapan klasifikasi berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung dan SK Menteri Pertanian No.683/Kpts/Um/II/1981 tentang Tata Cara Penetapan Hutan Produksi. Tabel 3 Luas tiap kelas kemiringan

No. Kelas Kemiringan

Tingkat Kemiringan (%)

Kemiringan (°)

Luas (ha)

1. Datar 0–8 0.00–6.56 1344.89

(30)
[image:30.595.81.492.70.703.2]

14

Gambar 6 Peta kemiringan b. Peta penutupan lahan

Pada tahap inventarisasi dilakukan berbagai kegiatan antara lain persiapan data, pengumpulan data spasial dan non-spasial, serta survei lapang. Data satelit citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra Landsat 8 ETM+ path 111 row 059tahun 2014 yang telah dilakukan Gap fillinguntuk meminimalisir adanya tutupan lahan berupa awan. Bagan alir pembuatan peta penutupan lahan terdapat pada Gambar 7.

Gambar 7 Bagan alur pembuatan peta tutupan lahan

Kelas penutupan lahan dibagi ke dalam 7 kelas (Tabel 4). Peta penutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 8. Deskripsi kelas penutupan lahan yang terdapat di kawasan penelitian terbagi menjadi tujuh penutupan lahan (Tabel 5). Analisis dilakukan menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine versi 9.1, dengan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification) dengan batasan parameter maximum likelihood. Klasifikasi terbimbing dilakukan berdasarkan informasi yang didapatkan dari survei

Ya

Tidak Landsat 8 ETM+

Koreksi Geometrik

Klasifikasi terbimbing

Validasi (hasil ground truth check)

[image:30.595.111.490.78.373.2]
(31)

pada lokasi penelitian (ground truth check). Informasi tersebut digunakan sebagai training area untuk klasifikasi terbimbing dan validasi (Gambar 9).Training area diperlukan dalam setiap kelas yang akan dibuat. Training area juga harus bisa melihat secara jelas perbedaan yang tampak pada citra.

Training area tidak hanya digunakan untuk proses klasifikasi, tetapi juga digunakan untuk proses validasi hasil klasifikasi. Perbandingan bobot

training area sebagai sampel untuk proses klasifikasi dan validasi adalah 75%:25% dari total training area yang dibuat. Validasi penutupan lahan menggunakan akurasi Kappa dan akurasi keseluruhan (Lampiran 2).

Tabel 4 Luas penutupan lahan

Penutupan Lahan Luas (ha) Persentase (%)

Awan 1094.99 9.3

Hutan Primer 4332.86 36.8

Hutan Sekunder 2566.75 21.8

Semak 1730.79 14.7

Kebun Campuran 1707.24 14.5

Tanah Lapang 259.03 2.2

[image:31.595.101.521.245.686.2]

Bangunan 82.42 0.7

Gambar 8 Peta penutupan lahan Tabel 5 Kelas penutupan lahan dan deskripsinya

No Kelas Penutupan Lahan Deskripsi

1 Semak Seluruh kawasan yang terdiri dari campuran antara vegetasi tinggi dan vegetasi rendah yang tumbuh secara liar dan belum termanfaatkan.

(32)
[image:32.595.99.494.99.766.2]

16

Tabel 5 Kelas penutupan lahan dan deskripsinya (Lanjutan) No Kelas Penutupan Lahan Deskripsi

3 Terbangun Seluruh bangunan, baik didalamnya fasilitas wisata maupun kawasan pemukiman penduduk, serta jalan yang ada di lokasi studi.

4 Hutan Primer Seluruh hamparan baik kering maupun basah yang didominasi oleh pohon.

5 Hutan Sekunder Seluruh hamparan kering yang didominasi oleh vegetasi rendah. 6 Tanah Lapang Seluruh hamparan kosong baik yang ditumbuhi rumput seperti lapangan, maupun tidak ditumbuhi vegetasi seperti lava dan berbatuan.

7 Awan Seluruh kawasan yang tertutup awan.

Gambar 9 Kondisi penutupan lahan(a) hutan primer (b) hutan sekunder (c) semak (d) pemukiman (e) kebun campuran, dan (f) lahan kosong

(a)

(c)

(b)

(d)

(33)

c. Peta variabel lingkungan

[image:33.595.105.510.206.608.2]

Variabel Lingkungan merupakan variabel yang digunakan untuk menentukan karakteristik lanskap yang mempengaruhi terjadinya konflik (Hill 2000). Sebanyak 14 variabel lingkungan yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan kepada kebutuhan dan aktifitas harian manusia dan yaki(Tabel 6).

Tabel 6 Variabel lingkungan No Variabel

Lingkungan

Singkatan Preferensi Sumber

Slope 1. Jarak Terdekat ke

Ketinggian 0-400 mdpl

JTE1

Moving,Feeding,For aging, Resting, Social(Perebutan Wilayah antar Grup) dan AktifitasManusia Ekstraksi dari ASTER DEM yang dibuat menjadi peta Jarak terdekat 2. Jarak Terdekat ke

Ketinggian 400-800 mdpl

JTE2

3. Jarak Terdekat ke Ketinggian> 800 mdpl

JTE3

Penutupan Lahan 4. Jarak Terdekat ke Semak

Belukar JTSB Moving, Feeding, Foraging, Resting, Social dan Aktifitas Manusia

Ekstraksi dari peta penutupan lahan

yang dibuat menjadi peta jarak terdekat 5. Jarak Terdekat ke Kebun

Campuran

JTKC

6. Jarak Terdekat ke Terbangun

JTBG

7. Jarak Terdekat ke Hutan Primer

JTHP

8. Jarak Terdekat ke Hutan Sekunder

JTHS

9 Jarak Terdekat ke Tanah Lapang

JTTL

Kemiringan 10. Jarak Terdekat ke

Kemiringan Lahan 0-8%

JTS1 Moving, Resting, Social dan Aktifitas Manusia Ekstraksi dari ASTER DEM yang dibuat menjadi peta Jarak terdekat 11. Jarak Terdekat ke

Kemiringan Lahan 8-15%

JTS2

12. Jarak Terdekat ke

Kemiringan Lahan 15-25%

JTS3

13. Jarak Terdekat ke

Kemiringan Lahan 25-40%

JTS4

14. Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan >40%

JTS5

Variabel tersebut selanjutnya dibuat peta jarak (euclidean distance) (Lampiran 3-16) menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3. Euclidiaen distance difungsikan untuk memberikan informasi tentang jarak setiap sel dalam raster ke sumber terdekat (ESRI 2007).

Analisis Dampak Konflik

(34)

18

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama ground-truth check antara lain: (1) mencatat setiap lokasi geografis perjumpaan terjadinya konflik dengan menggunakan GPS; (2) mencatat kondisi umum lokasi penelitian (analisis vegetasi, keberadaan satwa lain atau predator, sumber air, topografi, dan ketinggian); (3) mencatat perilaku perusakan yang dilakukan oleh yaki. Akan tetapi pengamatan lain melalui metode wawancara yang dilakukan dengan pengumpulan kuisioner yang berbentuk multi-respon yang dimulai dengan beberapa pertanyaan khusus dan selanjutnya sudut pandang masing-masing individu sejalan dengan penggalian lebih lanjut oleh peneliti. Kerangka wawancara diadaptasi dari Gillingham et al. (2003) (Tabel 7). Wawancara dilakukan dalam Bahasa Indonesia dengan bantuan seorang penerjemah lokal.

Tabel 7 Kerangka wawancara semi terstruktur

Jumlah responden, tanggal, lokasi (nama desa), jenis kelamin, dan waktu pelaksanaan wawancara pertama kali ditanyakan, kemudian direkam dan dicatat. Selanjutnya, dilanjutkan pertanyaan berikut:

1. Berapa umur Anda? 2. Apa etnik Anda? 3. Apa agama Anda?

4. Sudah berapa lama Anda tinggal di desa ini? 5. Apa posisi Anda dalam rumah tangga? 6. Berapa jauh rumah dari kebun Anda?

7. Jenis tanaman apa yang tumbuh di kebun Anda?

8. Apakah Anda menjual hasil panen kebun Anda, atau hanya untuk konsumsi rumah tangga?

9. Apa yang membatasi hasi kebun Anda?

a. Responden menjawab “ya” untuk pertanyaan ini kemudian diminta: “manakah dari jenis masalah membatasi hasil panen di kebun Anda?”. Responden diminta untuk merangking masalah dalam urutan kepentingan.

b. Jika responden mengatakan satwa liar sebagai salah satu masalah, mereka diminta

menjawab pertanyaan “hewan yang merusak kebun adalah?” kemudian responden

diminta untuk merangking empat spesies satwa liar yang menyebabkan kerusakan yang paling parah dalam perusakan kebun.

c. Responden melaporkan primata sebagai penyebab kerusakan hasil kebun,

kemudian responden kembali ditanya “Kapan terakhir kali primata menyebabkan kerusakan pada hasil kebun?” dan “spesies primata manakah yang sering Anda lihat sebagai perusak kebun Anda?”

10. Metode yang Anda gunakan untuk melindungi kebun Anda?

11. Apakah Anda pernah melihat/ mendengar seseorang menembak/ menjebak untuk menjaga hasil kebun?

Responden yang menjawab “ya” kemudian ditanya kembali “apakah orang ini

membunuh hewan atau melukai hewan itu?” Sumber: Hill (2000) dengan modifikasi

(35)

dan lahan tersebut pernah didatangi oleh yaki. Berdasarkan Hill (2000), jarak antar pertanian, batas-batas hutan dan jumlah peternakan setiap rumah tangga mempengaruhi kerentanan terhadap konflik. Sehingga pembagian bentukan lahan respondendibedakan berdasarkan tiga jenis (Gambar 10). Bentukan lahan tersebut yaitu:

a. Kebun.

Lahan yang ditanami oleh tanaman kelapa, singkong, palawija, buah yang ditujukan untuk diambil produktivitasnya baik untuk konsumsi sendiri maupun dijual.

b. Rumah.

Lahan yang digunakan untuk tempat tinggal. Umumnya terdapat pekarangan disekitarnya dan kandang .

c. Kebun–Rumah.

Lahan yang digunakan untuk kebun yang ditanami oleh tanaman kelapa, singkong, palawija, buah dan di dalamnya juga terdapat rumah untuk tempat tinggal.

Gambar 10 Bentukan lahan lokasi wawancara (a) rumah, (b) rumah-kebun, dan (c) kebun

Analisis Model Probabilitas Konflik

a. Analisis Penyusunan Model

Analisis dilakukan berdasarkan pada perbandingan variabel lingkungan yang terdapat pada lokasi perjumpaan dengan terjadinya konflik dan lokasi yang diduga tidak ditemukannya konflik berdasarkan hasil wawancara semi-terstruktur dan ground-truth check (32 titik) kemudian ditambah dengan data random sampleplug-in Hawths Tools pada software

Arc GIS 9.3 dengan grid 30x30 m2 (27 titik). Analisis statistik yang dilakukan untuk membangun model menggunakan regresi logistik biner (Binary Logistic Regression). Total data yang digunakan yaitu 60 titik (Gambar 11). Sebanyak 70% (42 titik) yang digunakan untuk pembuatan model, kemudian 30% (18 titik) digunakan untuk validasi. Data presence (21 titik) adalah lokasi yaki datang dan menimbulkan konflik. Data pseudo-absence (21 titik) adalah lokasi yaki datang tetapi tidak menimbulkan konflik (Lampiran 17). Data presence dan pseudo-absence ditumpang tindih dengan euclidean distance variabel lingkungan untuk mengetahui variabel yang mempengaruhi penyebab adanya konflik manusia dan yaki.

Autokolinearitas antar variabel bebas dapat diketahui denganmelakukan uji Variance Inflation Factor (VIF). Prosedur penanggulangan yang ditempuh untuk mengatasi masalah autokolinearitas

(36)

20

[image:36.595.109.486.123.615.2]

adalah dengan mengelimiinasi peubah-peubah lingkungan yang memiliki hubungan linear sempurna atau yang mengalami multikolinearitas. Pengembangan model regresi logistik dimulai dengan memasukkan peubah-peubah lingkungan yang tersisa setelah dilakukan eliminasi berdasarkan uji VIF. Semua analisis statistik dilakukan dengan menggunakan program SPSS 16. Peta distribusi konflik dibuat dengan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGis 9.3 dan RAMAS GIS. ArcGIs menggabungkan semua informasi yang ada (peubah-peubah lingkungan yang signifikan) ke dalam sebuah peta distribusi konflik dengan fungsi regresi logistik.

Gambar 11 Peta presence dan pseudo-absence

Rumus yang digunakan untuk menggambarkan fungsi regresi logistik (LR Logistic Regression) sebagai berikut:

                 

k j ji jx i P 1 0 exp 1 1  

Keterangan: (Pi) Peluang titik observasi ke-i probabilitas konflik tinggi; (β0)

Intersep; (k) Jumlah variabel penduga (=n); (βj) Koefisien

regresi logistik biner dari variabel penduga ke-j; (xji) Variabel

penduga ke-j.

(37)

gori JumlahKate

P P

val

JarakInter  ( max min)

Berdasarkan persamaan tersebut, ambang batas yang digunakan untuk masing-masing kategori adalah sebagai berikut:

1. nilai P antara 0.003 sampai < 0.334 untuk kategori “probabilitas konflik

rendah”;

2. nilai P antara > 0.334 sampai 0.665 untuk kategori “probabilitas konflik

tinggi” dan;

3. nilai P antara > 0.665 sampai 0.996 untuk kategori “probabilitas konflik

sedang”.

b. Uji Kelayakan Model

Uji kelayakan model menilai bagaimana sebuah model dapat menggambarkan variabel terikat.Penilaian kelayakan model berkaitan dengan penelusuran seberapa dekat nilai prediksi dari sebuah model terhadap nilai pengamatan. Untuk melakukan uji kelayakan model, maka digunakan uji Hosmer-Lemeshow (>0.05 model dinyatakan layak). Uji ini cocok untuk model yang terdiri dari beberapa variabel bebas baik yang bernilai kontinu atau kategorik (Hosmer et al. 1997).

Koefisien determinasi (R2) ditentukan dengan menggunakan model

Nagelkerke R2 yang analog dengan R2 pada metode kuadrat terkecil untuk

fungsi regresi linear berganda (Piorecky dan Prescott, 2006).Nagelkerke R2 menunjukkan seberapa penting variabel bebas dalam memprediksi variabel terikat.

c. Validasi Model

Validasi model dilakukan di lokasi yang hampir sama dengan lokasi pengambilan cara untuk membangun model. Teknis pelaksanannya adalah 30% digunakan untuk keperluan validasi model. Lokasi dilaksanakan di CA Tangkoko–Batuangus/ Duasodara .

Terdapat dua kesalahan (error) yang dijumpai dalam tahap validasi model yaitu omission error dan commission error. Omission error adalah model memprediksi lokasi tidak sesuai untuk terjadinya konflik, akan tetapi pada lokasi sebenarnya dijumpai terjadi konflik. Commission error adalah model memprediksi lokasi sesuai untuk terjadinya konflik, akan tetapi tidak ada laporan yang menyatakanterdapat konflik di lokasi tersebut (Syartinilia dan Tsuyuki 2008).

Analisis Penyebab Konflik

Hasil dari model probabilitas konflik akan diketahui faktor utama yang berpengaruh terhadap konflik. Faktor tersebut memiliki nilai signifikansi < 0.1 (taraf kesalahan = 10%) sehingga berpengaruh signifikan terhadap terjadinya konflik.

Rekomendasi manajemen penanggulangan konflik manusia dan yaki

(38)

22

(39)

4 KONDISI UMUM

Profil Kawasan

CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara merupakan kawasan suaka alam dengan luas wilayah 8 867 ha yang ditujukan untuk perlindungan

hidrolorologis bagi wilayah Bitung Utara dan terletak 125°3’ - 125°15’ BT

dan 1°30’ - 1°34’ LU. CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara mencakup kawasan TWA Batuputih, TWA Batuangus, serta CA Tangkoko dan CA Duasodara yang bersampingan. Secara geografis keempat kawasan konservasi tersebut terletak di ujung paling utara dari semenanjung utara pulau Sulawesi. Batas CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara adalah Gunung Tangkoko, Gunung Batuangus, dan Gunung Duasodara dibagian utara, barat dan selatan serta pesisir pantai dibagian timur (Hakim 2010).

CA Tangkoko–Batuangus/ Duasodara merupakan kawasan konservasi yang terkenal kekayaan alamnya serta keaneragaman tumbuhan dan satwa endemik. Serta dikenal pula sebagai salah satu kawasan hutan dengan panorama yang indah dan menarik. Pada awal abad ke-20, Pemerintah Kolonial Belanda yang berkuasa atas Kepulauan Nusantara saat itu mulai menerbitan status kepemilikan lahan dan bukti-bukti administrasinya, termasuk pula penetapan dan penataan kawasan-kawasan hutan di seluruh Indonesia. Kawasan Gunung Duasodara telah ditunjuk sebagai cagar alam pada tanggal 13 November 1978 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 700/Kpts/Um/7/78 dengan luas ± 4 299 Ha. kemudianpada tanggal 20 Desember1981 sebagian kawasan CA Tangkoko berdasarkan SK Menteri Pertanian No 1049/Kpts/UM/12/1981 ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman wisata alam yaitu TWA Batuputih dengan luas 615 ha dan TWA Batuangus seluas 635 Ha, sehingga luas CA Tangkoko menjadi 3 196 ha. Penetapan TWA Batuputih dan Batuangus karena dinilai memiliki potensi wisata alam yang besar berupa panorama pantai dan perairan, maka kawasan ini dipandang perlu untuk dibina secara khusus bagi kepentingan rekreasi, pariwisata alam, pendidikan, dan kebudayaan. Terdapat berbagai jenis tumbuhan pantai, dataran rendah, dan berbagai jenis satwa di TWA Batuputih.Lokasi TWA Batuputih berbatasan langsung dengan kampung Batuputih dan CA Tangkoko.Sama halnya dengan TWA Batuputih, TWA Batuputih juga merupakan salah satu wilayah CA Tangkoko. Namun pada TWA Batuangus ditemui dataran tandus yang merupakan bekas letusan lahar gunung berapi yang warnanya hitam pekat layaknya batu yang terbakar (angus/ gosong), sehingga menyulitkan bagi pertumbuhan.

(40)

24

[image:40.595.109.487.116.721.2]

langsung dengan kawasan konservasi berbentuk CA. Kampung-kampung sekitar kawasan ini, seperti pada umumnya masyarakat Sulawesi Utara memiliki budaya pesta yang cukup tinggi.Dalam pelaksanaanya, mereka membutuhkan persediaan kayu yang banyak untuk digunakan sebagai tenda atau kayu bakar. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut masyarakat seringkali mengambil kayu bakar dalam kawasan. Kayu dalam kawasan juga sering digunakan sebagai pembuatan perahu.Masyarakat juga memiliki kebiasaan mengkonsumsi daging satwa liar, seperti misalnya yaki. Kebutuhan daging satwa ini meningkat pada saat pelaksanaan pesta dan sayangnya bukan hanya untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, daging satwa liar ini juga diperdagangkan sehingga memicu tingginya tingkat perburuan.

Gambar 12 Peta kampung sekitar kawasan konservasi

Batas Wilayah Lokasi Penelitian

(41)

Tabel 8 Jari-jari wilayah jelajah yaki

No. Wilayah Jelajah Sumber Jari-Jari (meter)

1. 114 m2 Rowe (1996) 602.54

2. 320 m2 Rowe (1996) 1009.51

3. 156 m2 O’Brien dan Kinnaird (1997) 704.85

4. 218 m2 O’Brien dan Kinnaird (1997) 833.23

5. 406 m2 O’Brien dan Kinnaird (1997) 1137.10

Rata-Rata 859.13

Berdasarkan tabel 8 rata-rata jari-jari wilayah jelajah yaki adalah 859.13 m, sehingga lokasi penelitian juga bertambah dengan pertambahan

buffer terluar sebesar 850 m kearah darat (Gambar 13). Total lokasi penelitian adalah kawasan konservasi ditambah dengan penambahan buffer

[image:41.595.128.507.275.542.2]

yaitu 11 774.089 ha.

Gambar 13 Peta batas lokasi penelitian

Kondisi Macaca nigra

(42)

26

Tabel 9 Ukuran populasi yaki No Nama Kelompok

Jumlah Individu (ekor) Dewasa Muda

Anak Bayi Total

♂ ♀ ♂ ♀

1 I 8 24 5 5 26 4 72

2 II 4 20 4 2 22 10 64

3 Pantai Batu 7 19 1 7 19 8 61

Setiap kelompok yakiyang diamati memiliki karakteristik yang berbeda-beda.Kelompok Rambo I yang memiliki jumlah kelompok paling besar dibandingkan kelompok lainnya.Kelompok ini daerah jelajahnya secara umum adalah daerah perbatasan antar hutan yang masih jarang dilalui oleh manusia dengan hutan yang sudah sering dimanfaatkan oleh manusia.

Berdasarkan informasi dari petugas serta peneliti, pada awalnya jumlah kelompok Rambo I ini mencapai 100 ekor, tetapi karena adanya persaingan dalam kelompok ini, maka beberapa ekormelepasakan diri ada yang membentuk kelompok sendiri maupun bergabung dengan Rambo II. Rambo II dalam jelajah hariannya sering dijumpai pada hutan dataran rendah sekunder yang telah banyak dimanfaatkan oleh manusia, kebun campuran, semak, dan perkampungan. Dibandingkan Rambo I, kelompok ini lebih terhabituasi dengan manusia bahkan kadang tidak lagi takut dengan kehadiran manusia. Kelompok terakhir yang diamati dikenal dengan kelompok Pantai Batu merupakan kelompok yang tidak terhabituasi dengan manusia dan menempati daerah yang sangat jarang dilalui oleh manusia.

Kondisi Masyarakat

Kondisi masyarakat yang berbeda akan memberikan pengaruh besar terhadap permasalahan kawasan yang berbeda pula. Kampung Batuputih dan Kampung Kasuari didominasi oleh Suku Sangir dengan manyoritas mata pencahariannya adalah nelayan, petani, dan pemandu. Kampung Pinangunian dan Kampung Duasodara umumnya didominasi Suku Minasaha yang mayoritas bermata pencaharian petani dan pemburu (Tabel 10).

Tabel 10 Gambaran umum etnis dan pekerjaan

No Nama Kampung Etnis Pekerjaan

1 Batuputih Sangir dan Shiau Nelayan, petani, danpemandu 2 Duasodara Minahasa Petani, dan pemburu

3 Pinangapian Minahasa Petani dan pemburu 4 Kasuari Sangir Nelayan dan Pemandu

Profil Kampung Batuputih

(43)

berbatasan dengan Kampung Likupang, sebelah timur perkebunan Kampung Duasodara, sebelah selatan berbatasan dengan TWA Batuputih dan CA Tangkoko, dan Sebelah barat berbatasan dengan Selat Likupang. Kampung ini terletak sangat dekat dengan TWA Batuputih dan CA Tangkoko. Jalan yang ditempuh dari Kota Bitung menuju Kampung Pinangunian cukup baik dan aman. Mata pencaharian utama yaitu nelayan, petani dan pemandu. Tanaman perkebunan yang ditanam umumnya kelapa, mangga, dan singkong. Sebagian masyarakat ada yang bekerja sebagai buruh kapal atau bangunan, wiraswasta, pegawai negeri, tukang, sopir, dan pemuka agama. Berdasarkan hasil wawancara, hasil komoditas sebagian dijual dan sebagian untuk konsumsi pribadi. Masyarakat umumnya membawa hasil pertanian di pasar besar (Pasar Girian) yang terletak di Kota Bitung.

Profil Kampung Pinangunian

Kampung Pinangunian memiliki luas 1 637 ha, dengan jumlah kepala keluarga 189.Jumlah penduduk 702 jiwa (laki-laki 353 jiwa dan perempuan 349 jiwa) (Dwiyahreni et al. 2001).

Batas kampung sebelah utara dengan kawasan CA Tangkoko, sebelah timur perkebunan Kampung Makawidey dan Tandurusa, sebelah selatan dengan Kampung Winenet dan Kekenturan, dan Sebelah barat dengan CA Tangkoko-Duasodara (Dwiyahreni et al. 2001). Kampung ini terletak sangat dekat dengan CA Duasodara. Jalan yang ditempuh dari Kota Bitung menuju Kampung Pinangunian tidak begitu baik dan cukup berbahaya. Berdasarkan Laatung (2006) menyatakan mata pencaharian utama adalah bertani dan berkebun (134 orang). Luas perkebunan yaitu 357.25 ha. Tanaman perkebunan yang ditanam umumnya kelapa. Sebagian masyarakat ada yang bekerja sebagai buruh kapal atau bangunan, wiraswasta, pegawai negeri, tukang, dan pemburu. Hasil pertanian dan perkebunan dipasarkan di Kampung Pinangunian sendiri atau di pasar terdekat yang terletak di Kampung Winenet. Tidak sedikit masyarakat yang membawa hasil pertanian di pasar besar (Pasar Girian) yang terletak di Kota Bitung.

Aktivitas Masyarakat Aktivitas Ekowisata

(44)

28

kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan menunjang budidaya, budaya, dan ekowisata.

Kampung Batuputih merupakan perkampungan yang paling dekat dengan TWA yaitu TWABatuputih. Aktivitas ekowisata mancanegara pada Kampung Batuputih mencapai puncaknya pada setiap bulan Juli-September. Terdapat organisasi masyarakat yaitu kelompok pemandu ekowisata Tangkoko. Kelompok ini bersama-sama dengan jagawana di Resort BKSDA Tangkoko-Batuangus/ Duasudara menyelenggarakan aktivitas ekowisata. Aktivitas ekowisata di Kampung Batuputih dimulai sejak tahun 1980-an. Dengan keterlibatan beberapa anggota masyarakat lokal ini sebenarnya berdampak positif, masyarakat mulai merasakan manfaat langsung keberadaan kawasan konservasi di daerah tersebut. Dengan kerjasama seperti ini, masyarakat mulai menyadari pentingnya pelestarian yaki sebagai salah satu satwa khas di TWA dan CA. Selain itu, kelompok pemandu ini juga berperan sebagai mediator penyebaran pesan-pesan konservasi kepada anggota masyarakat lain dan mereka selalu dilibatkan dalam kegiatan kegiatan patroli dan pengontrolan api jika terjadi kebakaran di kawasan konservasi. Tarif pemandu relatif mahal yakni antara Rp85 000 per orang, termasuk biaya karcis masuk dengan lama perjalanan rata-rata 3 jam. Apabila bersama bersama pemandu, biaya karcis bertambah menjadi Rp200 000 per orang., tergantung dari paket ekowisata yang diinginkan.

Tingginya permintaan terhadap paket wisata di TWA Batuputih menyebabkan kaidah ekowisata yang bertanggungjawab bergeser. Ekowisata dilakukan hingga ke dalam wilayah CA karena batas antara CA dan TWA sampai sekarang tidak jelas. Hal inilah yang dalam jangka panjang dapat mengancam kelestarian yaki. Perilaku satwa yang terhabituasi dengan manusia menimbulkan sifat liar satwa jadi berkurang dan hal inilah yang mulai tampak pada kelompok Rambo II. Perubahan perilaku ini dapat menyebabkan berbagai permasalahan antara lain meningkatnya resiko zoonosis, perubahan preferensi pakan satwa dari pemakan buah menjadi pemakan segalanya (omnivora) seperti manusia.

Aktivitas Perburuan Liar

Perburuan yaki sebagai makanan dan hewan peliharaan merupakan penyebab penurunan populasi satwa ini (Rosenbaum et al., 1998). Hal ini sesuai dengan penelitian pasar yang dilakukan oleh Lee (1999) yang menyebutkan bahwa yakiselama tahun 1994-1997 di pasar penjualan daging jumlah penjulannnya sebesar 38.10 % dalam kategori hewan dilindungi yang diperjual belikan dan hampir semuanya diperoleh dari kawasan yang dilindungi.

(45)

Lokasi CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara yang dekat dengan akses dan adanya transek-transek penelitian menyebabkan mudahnya perburuan terhadap yaki.

Berdasarkan pengamatan, di CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara dipasang dalam jumlah yang banyak pada suatu areal hutan. Lokasi pemasangan sangat ditemukan yaitu di lokasi yang cukup sulit didatangi, terjal dan di luar jalur yang telah dibuat oleh petugas cagar alam. Dudeso

satu dengan yang lain dipasang dengan jarak ± 100 m. Dalam areal dengan luas 500 m x 500 m ditemukan sebanyak 35 dudeso. Selain diburu karena dagingnya, masyarakat memburu yaki karena dianggap hama pertanian. Akibat rusaknya habitat yang berpengaruh pada berkurangnya sumber pakan di hutan, yaki terutama kelompok Rambo II sering mengambil hasil kebun masyarakat seperti kelapa, singkong, dan mangga. Hal ini membuat masyarakat lokal yang memiliki kebun kesal dan memasang jebakan bahkan membunuh yaki.

Berdasarkan hasil wawancara, upaya pencegahan agar kelompok yaki tidak mengambil hasil panen masyarakat sering dilakukan. Biasanya dilakukan dengan ketapel, memukul kayu, atau dengan petasan oleh polhut BKSDA dan tim pemandu wisata yang membuat satwa ini takut. Namun hal ini dirasa kurang efektif karena hanya akan menimbulkan efek sementara.

Aktivitas Perusakan Habitat

Masalah Perusakan habitat seperti penebangan, pembuatan shelter di dalam kawasan maupun pembakaran dengan sengaja merupakan masalah yang terus dihadapi oleh CA Tangkoko-Batuangus/ Duasodara. Penebangan secara liar biasanya dilakukan di daerah pantai dan dilakukan dengan mengangkut kayu hasil tebangan dengan perahu. Modus seperti ini sudah sering terjadi namun tindakan pencegahan susah dilakukan oleh BKSDA Sulawesi Utara karena tidak adanya sarana seperti perahu boat untuk melakukan patroli. Kebakaran juga merupakan kejadian yang sering terjadi, selama waktu penelitian terjadi empat kali kebakaran pada areal hutan pasca terbakar. Kebakaran biasanya disengaja oleh oknum tertentu agar mempermudah pakan bagi ternak ataupaun oknum lain yang sengaja untuk mengecoh petugas BKSDA. Penanganan kebakaran dilakukan secara manual oleh petugas pemadam kebakaran. Alat yang digunakan sangat sederhana yakni daun kelapa, dan fire shooter. Minimnya alat dalam memadamkan kebakaran menyebabkan kebakaran cepat meluas.

(46)

30

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dampak Konflik

Kampung Batuputih merupakan kampung yang didominasi dengan mata pencaharian utama nelayan dan petani. Ekowisata berupa hutan pantai dan panorama air membuat penduduk Kampung Batuputih yang bermata pencaharian sebagai pemandu wisata semakin banyak. Sebaliknya Kampung Pinangunian merupakan kampung yang didominasi dengan mata pencaharian utama adalah petani dan pemburu, sehingga banyak aktivitas pembalakan liar dan perburuan liar. Hal tersebut membuat perbedaan persepsi masyarakat lokal di Kampung Batuputih dan Kampung Pinangunian mengenai konflik manusia dan yaki dalam pengambilan komoditas pertanian dan perkebunan para penduduk (Tabel 11).

Tabel 11 Perbedaan persepsi dampak konflik antara Kampung Batuputih dan Kampung Pinangunian

Perbedaan Batuputih Pinangunian Pembahasan Bentukan

Lahan

3 (rumah/rumah-kebun/kebun)

1(rumah) Perbedaan suku membuat perbedaan mata pencaharian & bentukan lahan

Jenis Komoditas

12 (kelapa, ubi, mangga, pisang, jagung, pepaya, nanas, nangka, coklat, cabe, rempah, telur)

9 (kelapa, ubi, pisang, jagung, tomat, sayur, merica, cengkeh, bawang)

Perbedaan letak geografis (pantai & dataran tinggi) membuat perbedaan komoditas sehingga kerentanan konflik berbeda

Panen Komoditas

5 (3bulan sekali, 6 bulan sekali, 1 tahun sekali, setiap bulan, setiap minggu)

8 (3 bulan sekali, 6 bulan sekali, 3 bulan sekali, setiap bulan, setiap minggu, 3 bulan sekali, 1 tahun sekali, 2 bulan sekali)

Perbedaan jenis komoditas membuat waktu panen berbeda sehingga intensitas konflik berbeda pula

Tujuan Penanaman

Tujuan penanaman untuk dijual & konsumsi sendiri sama jumlah .

Tujuan

penanaman lebih banyak untuk dijual

Perberdaan suku membua tujuan penanaman

berbedasehingga kerentanan konflik berbeda pula Terakhir

yaki datang

7 (kemarin, 1 minggu lalu, 1 bulan lalu, 3 bulan lalu, 1 tahun lalu, 2 tahun lalu, 3 tahun lalu)

3 (seminggu yang lalu, 3 tahun yang lalu, 10 tahun yang lalu)

Perbedaan suku membuat intensitas konflik berbeda

Cara Antisipasi 7 (mengangkat kayu, membiarkan, ketapel, suara, anjing, melemparkan kayu, melempar batu 3 (menggoyangkan kain, senapan angin, anjing)

[image:46.595.104.472.341.755.2]
(47)

Tabel 11 terlihat bahwa suku budaya akan mempengaruhi bentukan lahan, komoditas, dan mata pencaharian yang dapat memberikan perbedaan kerentanan kerusakan tanaman oleh satwa liar (Hill 2004). Hal ini didukung oleh pernyataan Sekhar (1998) yang menyatakan bahwa luas dan intensitas kerusakan dapat bervariasi tergantung pada pola tanam, kepadatan satwa liar, populasi, perilaku, dan ketersediaan makanan di habitat asli. Berdasarkan Tabel 11 juga terlihat Kampung Batuputih merupakan kampung yang lebih berdampak dibandingkan dengan Kampung Pinangunian. Oleh karena itu, bisa disimpulkan Kampung Batuputihputih lebih rawan konflik manusia dan yaki. Hasil wawancara dengan penduduk Kampung Batuputih menyebutkan juga, konflik manusia dan yaki di Kampung Batuputih telah berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih enam tahun. Pada tahun 2009-2010 merupakan puncak terjadi konflik. Pada tahun tersebut penduduk Kampung Batuputih mengalami kerugian yang besar dikarenakan hasil kebun seperti kelapa, singkong, dan mangga dirambah oleh yaki. Seiring dengan bertambahnya jumlah aktivitas pemburuan, penebangan liar, dan tidak adanya kontrol ekowisata juga menambah masalah gangguan oleh yaki terhadap perkebunan penduduk kampung di sekitar kawasan. Kondisi ini bila terjadi berlarut-larut dikhawatirkan akan menimbulkan pengaruh yang kurang baik terhadap perkembangan sosial ekonomi masyarakat di sekitar daerah konflik dan berdampak negatif bagi upaya pelestarian yaki sebagai salah satu satwa langka dan endemik di Sulawesi khususnya di Sulawesi Utara.

Model Probabilitas Kehadiran Konflik

Hasil uji VIF (Variance Inflantion Factor) dengan (0.7 >Pearson Correlation< 1) menunjukkan bahwa hanya 11 variabel lingkungan yang bisa dianalisis lebih lanjut karena terbebas adanya gambaran multikolinearitas antar variabel bebas (Lampiran 18). Persoalan multikolinearita

Gambar

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
Gambar 2Lokasi penelitian
Tabel 1 Jenis data, sumber, dan kegunaannya
Gambar 4 Bagan alur pembuatan peta ketinggian dan peta kemiringan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Metode penelitian yang digunakan adalah studi literatur yang terkait dengan proses pencucian bijih timah menggunakan shaking table serta melakukan pengumpulan data

Sesudah dilakukannya pengujian simulasi sistem penyala mesin otomatis pada boat berbasis barcode , maka hasil dari pengujian tersebut akan dianalisis sesuai parameter

Proses pendataan Booking dan member truk pada Ekspedisi Jepara Indah Express masih menggunakan proses manual, dimana hal ini menimbulkan beberapa masalah

Berdasarkan kenyataan yang di temui di lapangan tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang permasalahan ini terutama

Dalam penelitian ini ada tiga hal penting yang diteliti yaitu mengenai latar belakang terjadinya merarik pocol, pelaksanaan adat merarik pocol dan pandangan

Sumber: Data Program KIA Puskesmas Banguntapan III Tahun 2009-2014 Dari grafik di atas dapat dipetik informasi bahwa terjadi kenaikan kasus kematian ibu pada tahun 2014.. Dari

Dari pembahasan Kesimpulan diatas dapat di ambil kesimpulan bahwa blibli merupakan salah satu e-commerse terbesar di indonesia dan dapat di percaya karena merupakan anak

Berdasarkan uraian pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa mahasiswa bercadar di beberapa perguruan tinggi umum surabaya tidak memiliki kecenderungan untuk