PEMODELAN SPASIAL HABITAT
MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra
Desmarest, 1822)
YOHANA MARIA INDRAWATI
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
PEMODELAN SPASIAL HABITAT
MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra
Desmarest, 1822)
YOHANA MARIA INDRAWATI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
RINGKASAN
YOHANA MARIA INDRAWATI. Pemodelan Spasial Habitat Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822). Dibimbing oleh DONES RINALDI dan LILIK BUDI PRASETYO
Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) memiliki daerah persebaran yang terbatas hanya di wilayah Sulawesi bagian utara dan juga di pulau Bacan, Maluku sebagai jenis introduksi. Habitat yang tersisa di Sulawesi Utara terbatas pada kawasan konservasi diantaranya adalah Cagar Alam (CA) Tangkoko, CA Duasudara, Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih, dan TWA Batuangus di kabupaten Bitung Sulawesi Utara. Berkaitan dengan kondisi tersebut maka penelitian habitat monyet hitam sulawesi dengan penerapan Sistem Informasi Georgafis (SIG) perlu dikembangkan untuk mendapatkan data spasial model habitat yang sesuai.
Pengambilan data dilakukan di CA Tangkoko dan TWA Batuputih sedangkan untuk areal penelitian dalam analisis spasial pembuatan model dan peta kesesuaian habitat mencangkup CA Tangkoko, CA Duasudara, TWA Batuputih, dan TWA Batuangus. Pemodelan habitat monyet hitam sulawesi dilakukan dengan mengidentifikasi titik perjumpaan monyet hitam sulawesi secara spasial terhadap faktor-faktor habitat dan faktor faktor gangguan. Faktor habitat diidentifikasi melalui ketinggian, kemiringan lereng, NDVI (Normalization Difference Vegetation Index), dan jarak dari sungai. Faktor gangguan diidentifikasi melalui jarak dari jalan dan bangunan. Pembobotan untuk mendapatkan model dilakukan menggunakan metode Principal Component Analisys (PCA) dan pengkelasan dilakukan dengan metode tumpang tindih (overlay).
Model kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi adalah Y = (2,399xFkjalan) + (2,399xFksungai) + (2,399xFkNDVI) + (2,399xFktinggi) + (1,142 xFkbangunan) + (0,957xFklereng). Tumpang tindih model tersebut menghasilkan tiga kelas kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi yaitu kelas kesesuaian tinggi (5160,96 hektar), kelas kesesuaian sedang (2843,10 hektar), dan kelas kesesuaian rendah (204,39 hektar). Peta kesesuaian habitat dapat diterima dengan akurasi memprediksi habitat monyet hitam sulawesi dengan kesesuaian tinggi sebesar 76,67% dan kesesuaian sedang sebesar 20,00%.
CA Tangkoko memiliki habitat dengan kesesuaian tinggi tertinggi yaitu 79,34% sedangkan CA Duasudara memiliki habitat dengan kesesuaian tinggi terendah yaitu sebesar 39,83%. TWA Batuangus memiliki persentase habitat dengan kelas kesesuaian sedang dan rendah tertinggi yaitu 40,91% dan 10,48%. Berdasarkan persentase kelas kesesuaian habitat tersebut terlihat bahwa CA Tangkoko merupakan kawasan dengan habitat yang paling sesuai untuk monyet hitam sulawesi sedangkan CA Duasudara dan TWA Batuangus merupakan kawasan dengan habitat yang kurang sesuai untuk monyet hitam sulawesi.
Berdasarkan tingkat gangguan berupa degradasi habitat, Cagar Alam Duasudara memiliki tingkat gangguan terbesar sehingga kepadatan populasi monyet hitam sulawesi di kawasan tersebut lebih rendah dibandingkan kawasan lainnya. TWA Batuputih memiliki habitat dengan kesesuaian sedang yang letaknya berbatasan dengan pemukiman dan ladang penduduk padahal kawasan tersebut merupakan wilayah jelajah dua kelompok monyet hitam sulawesi yang
memiliki ukuran populasi yang besar dan terhabituasi dengan manusia. Kondisi tersebut memerlukan penanganan berupa pengamanan pada habitat dengan kesesuaian tinggi, pengaturan tata batas antara kawasan CA dan TWA, serta pembinaan habitat pada habitat dengan kesesuaian sedang dan rendah terutama pada perbatasan kawasan dengan pemukiman dan ladang penduduk.
SUMMARY
YOHANA MARIA INDRAWATI. Habitat Spatial Modelling of Black Crested Macaque (Macaca nigra Desmarest, 1822). Under supervision of DONES RINALDI and LILIK BUDI PRASETYO
Black crested macaques (Macaca nigra Desmarest, 1822) have small geographic distribution. They naturally only can be found on Northern peninsula of Sulawesi and introduced in Bacan island, Moluccas as introduction species. Their remaining habitat on Sulawesi are limited only in conservation areas such as Tangkoko Nature Reserve, Duasudara Nature Reserve, Batuputih Natural Tourism Park, and Batuangus Natural Tourism Park in Bitung district North Sulawesi. Related to that restricted habitat, study in habitat of black crested macaques using Geographic Information System (GIS) application is urgently needed to get suitable habitat model for black crested macaques.
Data observation for model simulation were conducted at Tangkoko Nature Reserve and Batuputih Natural Tourism Park. The model then extrapolated to Tangkoko Nature Reserve, Duasudara Nature Reserve, Batuputih Natural Tourism Park, and Batuangus Natural Tourism Park. Modelling of black crested macaque’s habitat was held by spatial identification of black crested macaque encounter points toward habitat and disturbance factors. Altitude, slope, NDVI (Normalization Difference Vegetation Index), and distance from river represent habitat factor. Distance from road, and distance from building represent disturbance factors. Weighting were conducted by using determined used Principle Component Analysis (PCA) and classifying were conducted by using overlay.
Habitat suitability model of black crested macaque was Y = (2.399xFkroad) + (2.399xFkriver) + (2.399xFkNDVI) + (2.399xFkaltitude) + (1.142 xFkbuilding) + (0.957xFkslope). Commulative score than was divided into 3 classes based on equal range, namely high suitability habitat (5160,96 hectares), medium suitability habitat (2843,10 hectares), and low suitability habitat (204,39 hectares). The habitat suitability map could be accepted by showing the validation about 76,67% for the high suitability habitat and 20,00% for the medium suitability habitat.
Tangkoko Nature Reserve has highest rate of high suitability habitat (79,34%) whereas Duasudara Nature Reserve has lowest rate of high suitability habitat (39,83%). Batuangus Natural Tourism Park has highest rate of medium and low suitability habitat at the amount of 40,91% and 10,48%. Basic on that rate of suitability habitat classes can be seen that Tangkoko Nature Reserve forms the best suitable habitat for black crested macaque whereas both Duasudara Nature Reserve and Batuangus Natural Tourism Park forms the worst suitable habitat for black crested macaque.
Duasudara Nature Reserve has highest disturbances level caused by habitat loss so that population density of black crested macaques at this area is lowest compared with other areas. On the other hand Batuputih Natural Tourism Park is the homerange of two groups of black crested macaques which have big size populations and have habituated with human. That area has medium suitability habitat that located at the border with settlement and farmland. Both situations cause a problem between villagers and black crested macaques. There
are several ways to exceed that condition such as preventing on high suitability habitat, regulating border arrangement between nature reserve and natural tourism park, and founding of medium and low suitability habitat especially on the border area near settlement and farmland.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pemodelan Spasial Habitat Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra, Desmarest 1822)” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2010
Yohana Maria Indrawati E34051720
Judul Skripsi : Pemodelan Spasial Habitat Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822)
Nama : Yohana Maria Indrawati
NIM : E34051720
Menyetujui:
Pembimbing I Pembimbing II
Ir. Dones Rinaldi, MSc.F Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc NIP. 19610518 198803 1 002 NIP. 19620316 198803 1 002
Mengetahui:
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Ketua
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP. 19580915 198403 1 003
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 23 Agustus 1987 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Wiku Suharyoto dan Ibu Suhartatik. Penulis menyelesaikan pendidikan formal di SD Katholik Santa Maria (1999), SMP Katholik Santo Yusuf (2002), dan SMA Negeri 1 Glagah (2005). Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis mulai belajar di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB pada tahun 2006.
Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis menjadi anggota beberapa organisasi kemahasiswaan, yaitu Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB (PMK-IPB), Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) sebagai anggota dari Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM)-HIMAKOVA, dan Uni Konservasi Fauna IPB (UKF-IPB) sebagai anggota departemen infokom (2006-2007) dan ketua divisi konservasi primata (2007-2008).
Penulis pernah melaksanakan praktek dan kegiatan lapangan antara lain: Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di TN Gunung Ciremai dan KPH Indramayu pada tahun 2007, Praktek Umum Konservasi Ek-Situ (PUKES) di PUSPIPTEK Serpong dan CV Megacitrindo pada tahun 2008 serta Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di TN Bukit Barisan Selatan pada tahun 2009. Penulis pernah melaksanakan Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengabdian Masyarakat (PKMM) “Pendidikan Konservasi Pengenalan Owa Jawa kepada Siswa SMA di Kota Bogor” pada tahun 2009.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi yang berjudul “Pemodelan Spasial Habitat Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra Desmarest 1822)” di bawah bimbingan Ir. Dones Rinaldi M.Sc.F dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat kesehatan dan waktu yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam proses penelitian dan penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada :
1. Bapak Ir. Dones Rinaldi, M.Sc.F yang telah memberikan bimbingan, saran serta mengusahakan pendanaan penelitian ini dan Bapak Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini
2. Bapak Wiku Suharyoto dan Ibu Suhartatik selaku orangtua serta Yonatan Erry Sadewa dan Tabita W Triutami selaku kakak dan adik atas doa dan kasih sayang serta dukungan moril dan materiil yang diberikan hingga skripsi ini selesai
3. Ir. Ahmad Hajib, MS dari Departemen Manajemen Hutan, Ir. Sucahyo Sadiyo, MS dari Departemen Hasil Hutan dan Ir. Oemijati Rachmatsjah, MS dari Departemen Silvikultur selaku dosen penguji pada ujian komprehensif 4. Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara yang
memberikan izin dan dukungan dalam kegiatan penelitian
5. Pengelola dan Staf Cagar Alam Tangkoko, dan Taman Wisata Alam Batu Putih yang telah membantu dalam kegiatan penelitian khususnya keluarga Jhonny Lengkey, Bapak Yunus, Bapak Tane dan Mas Adang
6. Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Sulawesi Utara dan Badan Planologi Kehutanan (Baplan) atas bantuan beruoa peta yang diberikan 7. Peneliti dan Asisten Peneliti Macaca Nigra Project atas fasilitas, kerjasama,
dan persahabatan yang diberikan
8. Bapak Untung (Kepala BKSDA Sulut) dan Ibu Jane Onibala (UNSRAT) atas saran dan bantuan yang telah diberikan
9. Mbak Arin, Mbak Nurhayati, Mbak Nina, Mas Ari Gunawan, dan Mas Hari atas bantuan yang diberikan selama di lapang.
10. Priska R. Herdiyanti, S.HUT, Rudiansyah, S.HUT dan K. Berliyana, S.HUT atas bantuan dalam analisis data
11. Keluarga besar KSHE 42 dan HIMAKOVA atas persahabatan dan kebersamaan yang diberikan
12. Keluarga besar UKM UKF IPB atas pengalaman yang tak terlupakan
13. Teman-teman di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial atas pertukaran ilmu, kerjasama, dan bantuan yang diberikan.
14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Pemodelan Spasial Habitat Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822)” merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Juli-September 2009 dan ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. Dones Rinaldi, MSc.F dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bantuan, arahan dan saran dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Balai Konservasi Sumberdaya Alam Sulawesi Utara atas ijin dan kerjasama yang diberikan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi spasial yang berguna bagi upaya konservasi monyet hitam sulawesi di Cagar Alam Tangkoko, Cagar Alam Duasudara, Taman Wisata Alam Batuputih, dan Taman Wisata Alam Batuangus.
Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna dan tidak tertutup kemungkinan masih terdapat ketidaksesuaian dalam penyajian isi materi, maupun tata bahasa sebagai akibat dari belum optimalnya usaha. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Maret 2010
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2 1.3 Manfaat ... 2II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1 Bioekologi Monyet Hitam Sulawesi ... 3
2.2 Habitat Satwaliar ... 6
2.3 Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 6
2.4 Penginderaan Jauh dalam Sistem Informasi Geografis ... 9
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 13
3.1 Keadaan Fisik Kawasan... 13
3.2 Potensi Biotik Kawasan ... 14
3.3 Aksesibilitas ... 15
3.4 Potensi Wisata dan Pengelolaan ... 15
IV. METODE PENELITIAN ... 16
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16
4.2 Alat dan Bahan ... 16
4.3 Metode Pengumpulan Data ... 16
4.4 Pengolahan Peta Tematik ... 18
4.5 Analisis Komponen Utama/ Principal Component Analysis (PCA) ... 20
4.6. Analisis Spasial ... 21
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24
5.1 Peta Tematik untuk Pembuatan Model Spasial ... 24
5.2 Pembuatan Model Kesesuaian Habitat Monyet Hitam Sulawesi ... 40
5.4 Implikasi Model Kesesuaian Habitat untuk Pengelolaan
Kawasan Taman Wisata Alam dan Cagar Alam ... 48
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 52
6.1 Kesimpulan ... 52
6.2 Saran ... 52
DAFTAR PUSTAKA ... 54
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Spesifikasi kanal landsat TM (Lillesand dan Kiefer, 1990) ... 11
2. Kelas ketinggian di lokasi penelitian ... 25
3. Luas tiap kelas kemiringan lereng ... 27
4. Luas tiap kelas nilai NDVI ... 30
5. Jari-jari wilayah jelajah monyet hitam sulawesi ... 32
6. Kepadatan populasi monyet hitam sulawesi di lokasi penelitian ... 34
7. Keragaman total komponen utama ... 41
8. Vektor ciri variabel PCA ... 41
9. Nilai bobot tiap variabel ... 42
10. Skor tiap variabel ... 43
11. Penentuan selang IKH ... 44
12. Luas tiap kelas kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi ... 44
13. Validasi tiap kelas kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi ... 48
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Morfologi monyet hitam sulawesi... 4
2. Peta lokasi penelitian ... 17
3. Proses pembuatan peta ketinggian dan peta kemiringan lereng ... 19
4. Pembuatan peta NDVI ... 19
5. Proses pembuatan peta buffer ... 20
6. Bagan alir penelitian ... 23
7. Kondisi vegetasi di puncak gunung... 24
8. Penggunaan habitat dengan kemiringan lereng datar dan landai. ... 25
9. Peta ketinggian ... 26
10. Peta kemiringan lereng ... 28
11. Pakan dan pohon tidur monyet hitam sulawesi ... 29
12. Peta NDVI... 31
13. Peta jarak dari sungai ... 33
14. Aktifitas masyarakat dan dampaknya. ... 35
15. Fasilitas wisata dan dampak wisata terhadap monyet hitam sulawesi ... 37
16. Peta jarak dari jalan ... 38
17. Peta jarak dari bangunan ... 39
18. Grafik sebaran nilai piksel hasil overlay ... 43
19. Peta kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi ... 45
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Analisis spasial titik pohon pakan dan perjumpaan monyet hitam
sulawesi... 56 2. Titik pohon tidur dan perjumpaan monyet hitam sulawesi untuk
validasi ... 59 3. Peta penggunaan lahan di lokasi penelitian tahun 2006 ... 60
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pulau Sulawesi adalah pulau dengan tingkat endemisitas jenis flora dan fauna yang tinggi. Hal tersebut dapat dilihat pada marga Macaca. Dari 20 jenis marga Macaca yang ada di dunia, 8 jenis diantaranya merupakan jenis endemik Sulawesi. Delapan jenis monyet di Sulawesi tersebut adalah monyet hitam dare (Macaca Maura), dihe (Macaca nigrescens), dige (Macaca heckii), boti (Macaca tonkeana), hada (Macaca ochraeata), endoke (Macaca brunescens), fonti (Macaca togeanus), dan monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) (Nowak, 1999). Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) memiliki daerah persebaran yang terbatas hanya di wilayah Sulawesi bagian utara dan juga di pulau Bacan, Maluku sebagai jenis introduksi.
Monyet hitam sulawesi dalam Red List IUCN 2008 telah ditingkatkan statusnya menjadi Critically Endangered dan masuk ke dalam Appendix II CITES. Status monyet hitam sulawesi tersebut diperoleh karena tren populasi yang cenderung mengalami penurunan yang disebabkan oleh tingginya tingkat degradasi hutan sebagai habitat alaminya untuk perkebunan dan pemukiman, perburuan untuk konsumsi dan perdagangan satwa (Supriatna dan Andayani, 2008). Habitat yang tersisa saat ini terbatas pada kawasan konservasi yang terdapat di Sulawesi Utara antara lain adalah adalah Cagar Alam (CA) Tangkoko, Cagar Alam (CA) Duasudara, Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih, dan Taman Wisata Alam (TWA) Batuangus di Kabupaten Bitung Sulawesi Utara.
Monyet hitam sulawesi di kawasan konservasi tersebut telah banyak diteliti populasi dan perilakunya selama lebih dari 20 tahun. Penelitian yang telah dilakukan lebih banyak berkaitan dengan perilaku dan populasi dari monyet hitam sulawesi. Beberapa penelitian yang telah dilakukan, yaitu Perilaku, Pakan, dan Pergerakan Monyet Hitam Sulawesi (Kinnaird dan O’Brien, 1997); Perilaku Sosial Jantan dan Hirarki Dominan Monyet Hitam Sulawesi (Reed et.al., 1997); Kepadatan Populasi Monyet Hitam Sulawesi di Pulau Bacan dan Sulawesi Terkait dengan Efek Gangguan Habitat serta Perburuan (Rosenbaum et.al., 1998); dan
Dominansi Monyet Hitam Sulawesi (Saroyo, 2005). Penelitian tentang habitat monyet hitam sulawesi perlu juga mendapat perhatian karena habitat dari monyet hitam sulawesi yang saat ini semakin terbatas.
Penerapan Sistem Informasi Georgafis (SIG), Penginderaan jauh, dan Global Positioning System (GPS) dalam penelitian yang berkaitan dengan habitat monyet hitam sulawesi perlu dikembangkan. Gabungan ketiga teknologi tersebut dapat digunakan untuk mendapatkan data spasial model habitat yang sesuai untuk monyet hitam sulawesi berdasarkan faktor pendukung kehidupan dan faktor gangguan yang berpengaruh bagi monyet hitam sulawesi. Dengan mengetahui model habitat dan peta kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi, pengelola kawasan dapat mengambil langkah lanjutan untuk menjaga habitat monyet hitam sulawesi sebagai salah satu kekayaan fauna yang ada di kawasan tersebut.
1.2 Tujuan
Penelitian pemodelan spasial habitat monyet hitam sulawesi ini bertujuan untuk membuat model spasial dan peta kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi.
1.3 Manfaat
Hasil penelitian pemodelan spasial habitat monyet hitam sulawesi ini berupa data spasial habitat monyet hitam sulawesi yang digambarkan dalam bentuk peta sehingga dapat dimanfaatkan sebagai data acuan bagi penelitian monyet hitam sulawesi dan sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan bagi BKSDA Sulawesi Utara dalam pengelolaan kawasan cagar alam dan taman wisata alam yang merupakan habitat alami dari monyet hitam sulawesi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bioekologi Monyet Hitam Sulawesi 2.1.1 Taksonomi
Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) adalah satu dari 8 jenis monyet endemik Sulawesi. IUCN Red List for Threatened Spesies 2008 mengklasifikasikan monyet hitam sulawesi sebagai berikut:
kerajaan : Animalia filum : Cordata kelas : Mamalia ordo : Primata keluarga : Cercopithecidae marga : Macaca
jenis : Macaca nigra Desmarest, 1822
nama Inggris : celebes crested macaque, celebes black macaque nama lokal : yaki, monyet hitam sulawesi.
Monyet hitam sulawesi seringkali salah dikategorikan sebagai kera walaupun jenis ini termasuk dalam kelompok monyet karena keberadaan ekor yang hampir tidak nampak.
2.1.2 Morfologi
Rambut monyet ini berwarna hitam, ekor yang sangat pendek (25 mm), rambut di puncak kepala yang panjang membentuk jambul tegak, pertulangan pipi yang menonjol dan panjang (Rowe, 1996). Monyet ini juga memiliki bantalan pantat (ischial callosities) dengan kulit pantat berwarna merah muda. Monyet hitam sulawesi merupakan satwa dengan sexsual dimorphism sehingga ukuran dari jantan bisa mencapai dua kali ukuran betina. Betina memiliki panjang tubuh 445-550 mm sedangkan jantan panjang tubuhnya 520-570 mm. Selain perbedaan dari ukuran tubuh, monyet jantan memiliki gigi taring yang lebih panjang daripada betina (Cawthon, 2006). Morfologi monyet hitam sulawesi disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Morfologi monyet hitam sulawesi. (a) Jantan; (b) betina; (c) bayi.
2.1.3 Perilaku Sosial
Monyet hitam sulawesi merupakan primata dengan struktur sosial multimale-multifemale dengan perbandingan nisbah kelamin (sex ratio) 1 : 3,4 (Rowe, 1996). Mengutu (grooming) adalah perilaku sosial yang bersifat mendekatkan sedangkan untuk perebutan wilayah, pakan dan betina dilakukan dengan perkelahian yang seringkali memakan korban karena gigitan dari gigi taring jantan yang berukuran besar. Komunikasi antar individu dilakukan dengan bersuara dan beberapa mimik muka dan postur tubuh (Cawthon, 2006).
2.1.4 Aktivitas Harian
Menurut O’Brien dan Kinnaird (1997) terdapat lima kelas aktivitas harian yang dilakukan oleh monyet hitam sulawesi, yaitu
1. Moving : pergerakan, termasuk berjalan, berlari, memanjat dan melompat
2. Feeding : mendekatkan, memetik, menggerakkan, mengunyah atau menempatkan makanan di mulut
3. Foraging : bergerak perlahan dengan perhatian tertuju pada sumber pakan potensial atau menggerakkan substrat untuk mencari pakan
4. Resting : tubuh tidak bergerak, biasanya duduk atau berbaring, tidak terlibat dalam aktivitas sosial termasuk mengutu
5. Social : mengutu, bermain, noncopulatory mounting, kopulasi, dan berkelahi.
Pergerakan dari monyet hitam sulawesi adalah menggunakan keempat anggota geraknya atau quadropedal, aktif di pagi sampai sore hari (diurnal), dan lebih banyak melakukan aktivitasnya di atas tanah (terrestrial) (Rowe, 1996). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh O’Brien dan Kinnaird di Cagar Alam Tangkoko dan Duasudara, monyet hitam sulawesi menghabiskan lebih dari 60% waktu hariannya untuk beraktivitas secara terrestrial baik untuk istirahat dan pergerakan yang menempuh jarak yang jauh (O’Brien dan Kinnaird, 1997).
Wilayah jelajah (homerange) dari monyet hitam sulawesi adalah 114-320 hektar dengan jelajah harian mencapai 6000 meter (Rowe, 1996). Namun luasan wilayah jelajah dan jelajah harian tersebut dapat berubah tergantung pada akses dari monyet tersebut terhadap hutan primer. Saat monyet hitam sulawesi mendapatkan akses terhadap hutan primer maka mereka menghabiskan sedikit waktu untuk bergerak karena mereka mendapatkan kelimpahan yang tinggi dari buah-buahan di wilayah tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa saat musim berbuah, jelajah harian monyet hitam sulawesi tidak terlalu jauh (Kinnaird dan O'Brien, 2000 dalam Cawthon, 2006).
2.1.5 Perilaku Seksual
Betina menampakkan perilaku seksual yaitu pembengkakan (swellings) pada bantalan pantat (ischial callosities) dari pink menjadi merah. Dewasa kelamin pada betina adalah 49 bulan dengan siklus estrus 36 hari dan interval kelahiran 18 bulan (Rowe, 1996). Betina akan mengutu pada jantan lebih sering daripada jantan yang mengutu pada betina saat mereka berada pada masa birahi (Reed et al., 1997 dalam Cawthon, 2006). Pada jantan, perilaku seksual ditunjukkan dengan sistem hirarki yang ditentukan dengan perkelahian. Jantan dominan akan mendapatkan sumberdaya dan perhatian dari betina lebih besar daripada jantan tidak dominan (Cawthon, 2006).
2.1.6 Pakan
Monyet hitam sulawesi termasuk ke dalam frugivora atau pemakan buah-buahan. Menurut O’Brien dan Kinnaird (1997), pakan monyet ini terdiri lebih dari
145 jenis buah-buahan (66% dari total komsumsi), tumbuhan hijau (2,5%), invertebrata (31,5%), dan kadang-kadang memangsa satwa vertebrata yang lebih kecil. Beberapa jenis serangga yang dimakan monyet ini meliputi tawon, rayap, ulat dalam gulungan daun Pongamia sp., lebah, semut, dan belalang.
2.1.7 Habitat dan Penyebaran
Habitat monyet hitam sulawesi adalah hutan hujan tropis dengan ketinggian sedang. Jenis monyet ini hanya terdapat secara alami di Sulawesi bagian utara dan dua pulau yang berdekatan yaitu Pulau Manadotua dan Pulau Talise. Beberapa kawasan konservasi yang merupakan habitat dari monyet hitam sulawesi adalah Cagar Alam (CA) Tangkoko, CA Duasudara, CA Gunung Ambang, CA Gunung Manembonembo dan juga Taman Nasional Bunaken (Supriatna dan Andayani, 2008). Monyet hitam sulawesi juga telah diintroduksi ke Pulau Bacan Maluku pada tahun 1867. Di CA Tangkoko dan CA Duasudara, monyet ini dapat ditemukan di berbagai tipe habitat seperti hutan primer, hutan sekunder dan bekas terbakar, semak belukar, dan kebun warga (O'Brien dan Kinnaird, 1997).
2.2 Habitat Satwaliar
Habitat adalah kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwaliar. Habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung yang terdapat pada komponen fisik dan biotik. Komponen fisik terdiri dari air, udara, iklim, topografi, tanah, dan ruang sedangkan komponen biotik adalah vegetasi, mikro dan makrofauna, dan manusia. Kuantitas dan kualitas habitat sangat menentukan prospek kelestarian satwaliar. (Alikodra, 2002).
2.3 Sistem Informasi Geografis (SIG) 2.3.1 Definisi
Sistem Informasi Geografis memiliki beberapa definisi antara lain adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, menganalisis dan memanipulasi objek-objek dan fenomena dimana
lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting untuk dianalisis (Aronoff, 1989 dalam Prahasta, 2001).
Sistem infromasi geografis merupakan sekumpulan yang terorganisir dari perangkat keras computer (computer hardware), perangkat lunak (software), data geografi (geographic data), dan personil (personnel) yang dirancang secara efisien untuk merekam (capture), menyimpan (store), memperbaharui (update), memanipulasi (manipulate), menganalisis (analize), dan menyajikan (display) semua bentuk informasi bereferensi geografis (ESRI, 1995 dalam Jaya, 2002).
2.3.2 Subsistem dan Komponen SIG
Sistem Informasi Geografi dapat diuraikan menjadi beberapa subsitem, yaitu:
1. Data input
Data yang akan di-entry ke dalam sistem. Bentuk data tersebut antara lain adalah table, laporan, pengukuran lapang, peta, citra satelit, foto udara dan data digital lain.
2. Data output
Hasil dari pengolahan data dapat berupa peta, tabel, laporan dan informasi digital.
3. Data manajemen
Mengorganisasikan baik data atribut maupun data spasial ke dalam sebuah basis data sehingga mudah untuk di-update atau di-edit.
4. Data manipulasi dan analisis
Melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. ( Prahasta, 2001).
Data geografis pada SIG memiliki dua komponen, yaitu data spasial dan data atribut. Chang (2004) menyebutkan bahwa data spasial menerangkan lokasi atau bentuk di permukaan bumi berdasarkan sistem koordinat geografis yang dapat ditampilkan dalam model data vektor dan data raster. Model data vektor menggunakan titik (point) dan koordinat untuk membentuk fitur spasial berupa titik, garis, dan area sedangkan model data raster menggunakan grid dan sel grid (grid cells) untuk menampilkan variasi dari fitur spasial (Chang, 2004). Data
atribut menjelaskan karakteristik dari fitur spasial pada model data vektor dan model data raster.
Gistut (1994) dalam Prahasta (2001) menyebutkan bahwa SIG memiliki komponen yang terdiri dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), data dan informasi geografi, dan manajemen data. Perangkat keras untuk SIG antara lain adalah komputer, mouse, digitizer, printer, plotter, dan scanner. Perangkat lunak terdiri dari word processing, spread data, database presentation dan aplikasi-aplikasi SIG lainnya.
2.3.3 Fungsi Analisis SIG
Menurut Prahasta (2001) terdapat dua fungsi analisis yaitu fungsi analisis spasial dan fungsi analisis atribut. Fungsi analisis atribut terdiri dari operasi dasar sistem pengelolaan basis data (DBMS) dan perluasannya. Sedangkan fungsi analisis spasial adalah:
1. Klasifikasi
Mengklasifikasikan kembali suatu data spasial/ atribut menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu.
2. Network (jaringan)
Merujuk data spasial titik-titik (point) atau garis-garis (lines) sebagai suatu jaringan yang tidak terpisahkan.
3. Overlay
Menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang manjadi masukkannya.
4. Buffering
Menghasilkan data spasial baru yang berbentuk polygon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukkannya. 5. 3D Analysis
Sub-sub fungsi yang berhubungan dengan presentasi data spasial dalam ruang 3 dimensi yang banyak menggunakan fungsi interpolasi.
6. Digital Image Processing
Pengolahan citra digital yang dimilliki oleh perangkat SIG berbasis raster.
2.3.4 Aplikasi SIG
Pemakaian SIG dalam penelitian habitat satwaliar antara lain:
1. Pemodelan Kesesuaian Habitat Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) di Resort Ipuh-Seblat Taman Nasional Kerinci Seblat oleh Rudiansyah. Pemodelan kesesuaian harimau sumatera berdasarkan tinjauan dan penilaian dari layer yaitu ketersediaan mangsa (Encounter Rate/ER harimau hasil camera trap), jarak ke sungai (buffer jarak sungai), topografi (peta kontur), dan kerapatan tajuk (menggunakan LAI). Pembobotan menggunakan PCA terhadap titik sebaran harimau. Hasilnya adalah terdapat tiga daerah kesesuaian yaitu rendah, sedang, dan tinggi dengan hasil pada kesesuaian tinggi 95,85% dengan validasi 95,64% sehingga model dapat diterima untuk kesesuaian habitat tinggi. Saran yang perlu diperhatikan adalah perhitungan LAI sebaiknya dilakukan dengan analisis citra Landsat dan pengukuran langsung di lapangan.
2. Pemetaan Kesesuaian Habitat Banteng (Bos javanicus d’alton, 1832) di Taman Nasional Ujung Kulon oleh Andita Husna Destriana. Penelitian untuk mengetahui kondisi kualitas habitat banteng dengan menggunakan aplikasi SIG dengan menggunakan tujuh layer untuk indikator kesesuaian habitat yaitu data jenis dan jumlah pakan yang dianalisis terhadap NDVI, jenis tutupan lahan, kelas ketinggian, kelas lereng, jarak dengan sumber air, dan jarak dengan jalan. Hasil analisis data: tipe vegetasi merupakan faktor paling penting dan faktor kemiringan lereng merupakan faktor paling tidak berpengaruh terhadap habitat banteng. Nilai habitat dengan kesesuaian tinggi adalah 58,02% dengan validasi 100%. Saran yang perlu diperhatikan adalah mengetahui tingkat kepercayaan model yang akan disusun.
3. Pemodelan Spasial Habitat Katak Pohon Jawa (Rhacophorus javanus Boettger, 1893) di Taman Nasional Gede Pangrango, Jawa Barat oleh Muhammad Irfansyah lubis. Penelitian untuk membuat peta kesesuaian habitat katak pohon jawa dengan menggunakan layer kerapatan tajuk, kelerengan, ketinggian, jarak dari sungai dan sebaran temperatur.
Analisis menggunakan metode scoring, pembobotan, dan overlay dengan model kesesuaian habitat tinggi memiliki luas 9% dengan validasi 93, 75% sehingga model kesesuaian habitat katak pohon jawa tersebut dapat diterima. Saran yang perlu diperhatikan adalah penambahan variabel untuk mendapatkan model habitat yang lebih baik dan lebih luas. Perlu lebih banyak titik untuk validasi.
2.4 Penginderaan Jauh dalam Sistem Informasi Geografis
Penginderaan jauh (Remote Sensing) merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan kiefer, 1990). Lo (1996) menyebutkan bahwa penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpukan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik dengan tujuan utamanya adalah mengumpulkan data sumber daya alam dan lingkungan. Data untuk pengideraan jauh dapat diperoleh dari foto udara, Radar (Radio Detection and Ranging), Lidar (Laser Imaging Radar), satelit, dan satelit radar (Soenarmo, 2003).
Satelit penginderaan jauh yang sering digunakan untuk melihat penutupan lahan adalah satelit Landsat yang saat ini telah mencapai satelit Landsat 7. Satelit yang mulai dioperasikan tahun 1972 ini mempunyai beberapa instrumen pencitraan (imaging instrument) atau sensor, yaitu Return Beam Vidicon (RBV), Multispectral Scanner (MSS), Thematic Mapper (TM), Enhanced Thematic Mapper (ETM), Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) dan High Resolution Multispectral Stereo Imager (HRMSI) (Purwadhi, 2001). Konfigurasi satelit Landsat adalah tinggi orbit 705 km, inklinasi 98°, jenis orbit sunsynchronous dan semirecurrent, saat melewati ekuator sekitar pukul 09.39 dan lebar cangkupannya 185 km (Soenarmo, 2003).
Sensor Thematic mapper (TM) merupakan sensor dengan resolusi spektral yang lebih baik dan ketelitian radiometrik yang lebih tinggi dibandingkan RBV dan MSS sehingga cocok digunakan untuk menduga cakupan lahan dan penggunaannya. Sensor Landsat TM (Thematic Mapper) memiliki resolusi spasial 30 x 30 meter. Sensor ETM merupakan pengembangan dari sensor TM dengan
penambahan saluran pankromatik yang didesain mempunyai resolusi spasial 15 x 15 meter selain itu juga didesain untuk dapat merekam citra multispectral dengan enam saluran menggunakan panjang gelombang tampak, inframerah dekat, dan inframerah pendek dengan resolusi 30 meter (Purwadhi, 2001). Sensor ETM+ dibawa oleh satelit Landsat 7 yang didesain sama seperti sensor ETM dan dilengkapi dengan dua sistem model kalibrasi untuk gangguan radiasi matahari.
Tabel 1 Spesifikasi kanal landsat TM (Lillesand dan Kiefer, 1990)
Band Panjang
Gelombang
Nama Gelombang Elektromagnetik
Fungsi Aplikasi
1 0,45 - 0,52 Biru Penetrasi tubuh air dan untuk mendukung analisis sifat khas penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi
2 0,52 - 0,60 Hijau Mengindera puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak diantara saluran spektral serapan klorofil yang gunanya mendeteksi bentuk pertumbuhan tanaman
3 0,63 - 0,69 Merah Peka terhadap absorp klorofil sehingga memperkuat kontras antara vegetasi dengan bukan vegetasi
4 0,76 - 0,90 Inframerah dekat Membedakan tipe vegetasi, pertumbuhan dan jumlah biomassa, juga untuk memudahkan deliniasi tubuh air dan memperkuat kontras antara tanaman, tanah, lahan, dan air
5 1,55 - 1,75 Inframerah tengah Penunjuk kandungan kelembaban vegetasi dan kelembaban tanah
6 2,08 - 2,35 Inframerah termal Mendeteksi gejala alam yang berhubungan dengan panas
7 10,45 - 12,50 Inframerah tengah Membedakan tipe mineral dan gormasi batuan dan juga sensitif untuk kandungan kelembaban vegetasi
Citra satelit dan foto udara merupakan hasil dari penginderaan jauh yang dapat diintegrasikan kedalam SIG dengan beberapa cara. Barus dan Wiradisastra (1996) dalam Prahasata (2001) menyatakan bahwa cara pengintegrasian tersebut dapat ditempuh sebagai berikut :
1. Foto udara discan, diolah dan data yang dihasilkan berupa raster atau vektor tergantung pengguna SIG itu sendiri.
2. Digitasi peta rupa bumi dengan digitizer untuk menghasilkan data vektor.
3. Citra satelit diolah menggunakan perangkat lunak pengolah citra dan datanya dikonversikan kedalam format SIG, baik berupa data vektor maupun data raster.
4. Citra satelit yang sudah bergeoreferensi langsung digunakan oleh perangkat lunak SIG.
5. Citra satelit cetakan hasil olahan perangkat lunak pengolah citra, didigit dan akan menghasilkan data vektor.
Penggunaan citra satelit Landsat dalam bidang penelitian sumberdaya alam telah umum digunakan seperti :
1. Penelitian untuk mengetahui kondisi vegetasi seperti analisis hubungan NDVI dan temperatur terhadap tutupan lahan dengan data Landsat-ETM, mendeteksi perubahan tutupan lahan
2. Penelitian untuk mengetahui potensi sumberdaya kelautan, seperti pemetaan kondisi terumbu karang, dan aplikasi data Landsat untuk budidaya ikan.
BAB III
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1 Keadaan Fisik Kawasan
3.1.1 Dasar Hukum, Letak dan Luas
Cagar Alam (CA) Tangkoko ditetapkan pada tahun 1919 berdasarkan Keputusan No. GB 21/2/1919 stbl. 90 dengan luas 4446 hektar dan diperluas dengan penambahan dari CA Duasudara (4299 hektar) pada tahun 1978 berdasarkan Sk. Mentan No. 700/kpts/Um/11/78. Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih dan TWA Batuangus ditetapkan pada tanggal 24 Desember 1981 melalui SK. Mentan No. 1049 /Kpts/Um/12/18. Luas TWA Batuputih adalah 615 hektar dan TWA Batuangus memiliki luas 635 hektar (Tasirin, 2009).
Secara geografis keempat kawasan tersebut terletak di ujung paling utara dari semenanjung utara pulau Sulawesi. CA Tangkoko mencakup kawasan Gunung Tangkoko-Batuangus dan sekitarnya. CA Duasudara mencakup Gunung Duasudara dan sekitarnya. TWA Batuputih terletak diantara CA Tangkoko dan Kelurahan Batuputih. TWA Batuangus terletak diantara CA Tangkoko dan Desa Pinangunian. Secara astronomi kawasan tersebut terletak pada 125°3’ - 125°15’ BT dan 1°30’ - 1°34’ LU dan secara administratif terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung.
3.1.2 Topografi
Secara umum keempat kawasan konservasi tersebut mempunyai topografi dari landai sampai bergunung, mulai dari hutan pantai, hutan dataran rendah, hutan pegunungan dan hutan lumut. Kawasan ini mempunvai ketinggian dari 0 meter dpl sampai 1351 meter dpl yaitu puncak Gunung Duasudara. Dua puncak gunung lainnya yaitu Tangkoko (1109 m dpl) dan Batuangus (450 m dpl).
3.1.3 lklim dan Geologi
Iklim berdasarkan Schmidt dan Ferguson mempunyai curah hujan 2.500 - 3.000 mm/tahun, temperatur rata-rata 20°C - 25°C dan termasuk ke dalam iklim tipe B. Secara geologi kawasan ini dibentuk dari kegiatan vulkanik gunung berapi
yang meletus pada tahun 1839 sehingga tanahnya didominasi oleh tipe regosol dengan proporsi tanah abu granular di bagian permukaan tanah yang tinggi.
3.2 Potensi Biotik Kawasan 3.2.1 Flora
Tipe vegetasi dominan adalah hutan hujan dataran rendah dengan jenis pohon dominan adalah Dracontomelum dao, Palaquium obvatum, P. obtusifolium, Canagium odorata, Ficus variegatus, Homalium celebicum, Tetrameles nudiflora, Planchonia valida, Gostampinus valetonii, jenis palem Livingstona rotundiflora. Amorphophallus campanulatus, Leea rubra, L. indica, dan rotan Calamus sp.
Hutan hujan pegunungan yang terdapat di kawasan ini didominasi oleh vegetasi pohon beringin (Ficus spp), aras (Duabanga moluccana), nantu (Palaquim obtusifolium), sedangkan pada hutan lumut dapat ditemui bunga edelweis (Anaphalis javanicum) dan kantong semar (Nephentes gynamphoru). Tipe vegetasi hutan pantai didominasi oleh Calophyllum soulatri dan Barringtonia asiatica. Hutan sekunder didominasi oleh Casuarina equisetifolia dan juga terdapat padang alang-alang Imperata cylindrica.
3.2.2 Fauna
Di kawasan konservasi ini terdapat 26 jenis mamalia (10 jenis endemik Sulawesi), 180 jenis burung (59 diantaranya endemik Sulawesi dan 5 endemik Sulut), dan 15 jenis reptil dan amfibi (Tasirin, 2009). Jenis mamalia yang terdapat di kawasan ini diantaranya adalah monyet hitam sulawesi (Macaca nigra), tangkasi (Tarsius spectrum), kuskus beruang (Phalanger ursinus), kuskus sulawesi (Stigocuscus celebensis), dan musang sulawesi (Macrogalidia musschenbroeckii). Jenis burung yang terdapat di kawasan ini diantaranya adalah maleo (Macrocephalon maleo), rangkong (Rhyticeros cassidix,), Megapodius freycinet, Meropogon forsteni, Coracias temminckii, dan Eurostopodus diabolicus. Satwa reptil yang terdapat di sana antara lain beberapa jenis ular berbisa seperti viper (Trimeresurus wagleri), kobra (Naja naja), king kobra (Ophiophagus Hannah), dan ular tidak berbisa yaitu ular sanca (Python reticulatus).
3.3 Aksesibilitas
Keempat kawasan konservasi tersebut berjarak kurang lebih 60 km dari kota Manado dan 20 km dari Kodya Bitung. Dengan kendaraan roda empat dari Manado dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 120 menit sedang dan kota Bitung dapat ditempuh dalam waktu 70 menit. Dengan menggunakan kendaraan laut jenis perahu motor 2 x 40 PK, dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 90 menit dari pantai Bitung ke pantai Batuputih.
3.4 Potensi Wisata AIam dan Pengelolaan
Cagar Alam (CA) adalah bentuk pengelolaan kawasan konservasi dengan nilai konservasi tertinggi sedangkan Taman Wisata Alam (TWA) adalah bentuk pengelolaan kawasan konservasi yang memungkinkan pemanfaatan kawasan untuk tujuan terbatas termasuk pariwisata. Potensi wisata yang ada di kawasan ini adalah terumbu karang, wildlife trakking, mountain climbing, night trakking, bird watching, hot water sea swimming, dan wildlife adventure.
CA Tangkoko, CA Duasudara, TWA Batuputih dan TWA Batuangus dikelola oleh Seksi Konservasi Wilayah I Bitung Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara (BKSDA Sulut). Pengelolaan CA tersebut ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6187/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Konservasi Sumber Daya Alam.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan data untuk membuat pemodelan habitat monyet hitam sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) dilakukan di Cagar Alam (CA) Tangkoko, dan Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih. Areal penelitian untuk analisis spasial model kesesuaian habitat kawasan mencakup CA Tangkoko, CA Duasudara, TWA Batuputih, dan TWA Batuangus di Kabupaten Bitung, Sulawesi Utara. Pengolahan dan analisis data penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-September 2009 untuk pengambilan data di lapangan. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
4.2 Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan untuk pengambilan data monyet hitam sulawesi di lokasi penelitian adalah Global Positioning System (GPS) Garmin VISTA HCX, kamera digital, alat tulis, buku lapang, dan penunjuk waktu. Untuk kegiatan pengolahan dan analisis data, peralatan yang dibutuhkan yaitu Personal Computer (PC), laptop, perangkat lunak ERDAS Imagine 9.1, perangkat lunak Arc GIS 9.3, peta batas kawasan CA Tangkoko, CA Duasudara, TWA Batuputih, dan TWA Batuangus, peta kontur, peta jaringan jalan dan peta jaringan sungai, citra Landsat TM serta pengolah data statistik SPSS 1.5.
4.3 Metode Pengumpulan Data
Data yang diperlukan adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder yang diperlukan adalah data bio-ekologi monyet hitam sulawesi, dan kondisi umum lokasi penelitian yang diperoleh dari studi literatur, observasi lapang dan wawancara dengan pengelola kawasan, peneliti, pengunjung dan masyarakat.
17 Gambar 2 Peta lokasi penelitian.
Data primer yang diperlukan adalah peta batas kawasan penelitian, dan peta kontur yang diperoleh dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Sulawesi Utara dan Badan Planologi Kehutanan (Baplan). Peta jaringan jalan, peta jaringan sungai, dan peta administratif yang diperoleh dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB. Citra landsat 7 ETM+ path 111 row 059 tahun 2006 diperoleh dari BIOTROP Training and Information Centre (BTIC) untuk menentukan Nilai NDVI (Normalization Difference Vegetation Index) pada habitat monyet hitam sulawesi.
Titik keberadaan kelompok monyet hitam sulawesi diperoleh dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Metode yang digunakan untuk mengetahui titik keberadaan dan persebaran monyet hitam sulawesi adalah metode perjumpaan langsung (direct encounter) dengan mengikuti jalur transek yang telah ada di lokasi penelitian. Kelompok monyet hitam sulawesi yang dapat diidentifikasi kemudian diikuti pergerakan hariannya untuk mendapatkan data letak pohon tidur, pohon pakan, dan pengamatan terhadap perilaku tiap kelompok pada setiap tipe habitat.
4.4 Pengolahan Peta Tematik 4.4.1 Parameter yang Digunakan
Pemodelan habitat Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) merupakan proses peninjauan dan penilaian kebutuhan hidup (life requisites) monyet hitam sulawesi terhadap faktor-faktor habitat dan faktor- faktor gangguan. Faktor-faktor habitat yang digunakan adalah aksesibilitas yang diwakilkan oleh kemiringan lereng dan ketinggian, ketersediaan air yang diwakilkan oleh jarak dari sungai, dan ketersediaan cover yang diwakilkan oleh nilai NDVI (Normalization Difference Vegetation Index). Faktor gangguan berasal dari aktivitas manusia yang diidentifikasi melalui jarak dari jalan dan bangunan.
4.4.2 Pembuatan Peta Ketinggian dan Peta Kemiringan Lereng
Peta ketinggian dihasilkan dari peta kontur yang dianalisis menggunakan Arc GIS 9.3 sehingga diperoleh TIN (Triangulated Irregular Network). TIN adalah model data vektor berbasiskan topologi yang digunakan untuk mempresentasikan data permukaan bumi atau distribusi tidak merata dari titik-titik
elevasi. Peta kemiringan lereng dihasilkan dari TIN yang dianalisis untuk mendapatkan slope. Proses pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lereng disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Proses pembuatan peta ketinggian dan peta kemiringan lereng.
4.4.3 Pembuatan Peta NDVI (Normalization Difference Vegetation Index)
Peta NDVI (Normalization Difference Vegetation Index) dibuat dari citra landsat yang telah dikoreksi geometris. NDVI adalah nilai tengah dari spektral yang didapat dari gelombang elektromagnetik merah (red) dan inframerah dekat. Perhitungan NDVI dilakukan pada model maker ERDAS menurut rumus:
Proses pembuatan peta NDVI disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Pembuatan peta NDVI. Peta Ketinggian
Peta Kemiringan Lereng
Surface Analyst (slope) Peta Kontur
TIN (Triangulated Irregular Network) 3D Analyst (create TIN from feature)
Citra Landsat (Band 1,2,3,4,5,7)
Pemotongan Citra (subset image)
Koreksi Geometris
model maker
4.4.4 Pembuatan Peta Buffer
Peta buffer yang dibuat adalah peta jarak dari sungai, peta jarak dari jalan, dan peta jarak dari bangunan. Untuk membuat peta buffer diperlukan data mengenai ekologi monyet hitam sulawesi untuk menentukan jarak buffer. Peta jarak dari jalan dibuat dari peta jaringan jalan, peta jarak dari sungai dibuat dari peta jaringan sungai, sedangkan peta jarak dari bangunan dibuat dari titik bangunan pada lokasi penelitian. Proses pembuatan peta buffer disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Proses pembuatan peta buffer.
4.5 Analisis Komponen Utama/ Principal Component Analysis (PCA)
PCA adalah analisis statistika peubah ganda yang digunakan untuk menyusutkan banyaknya peubah yang tidak tertata untuk tujuan analisis dan penarikan kesimpulan. Prosedur PCA pada dasarnya adalah bertujuan untuk menyederhanakan variabel yang diamati dengan cara menyusutkan (mereduksi) dimensinya. Hal ini dilakukan dengan cara menghilangkan korelasi diantara variabel bebas melalui transformasi variabel bebas asal ke variabel baru yang tidak berkorelasi sama sekali atau yang biasa disebut dengan principal component. Dari hasil tersebut selanjutnya dapat ditentukan bobot dari masing-masing faktor yang mempengaruhi kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi. Analisis PCA dilakukan dengan bantuan perangkat lunak SPSS 1.5.
Peta jaringan jalan / jaringan sungai / titik bangunan
Spatial analyst
Distance (Straight line)
Reclassify
Hasil dari PCA digunakan untuk menentukan bobot masing-masing faktor habitat dan untuk analisis spasial sehingga menghasilkan persamaan sebagai berikut:
Y = aFk1 + bFk2 + cFk3 + dFk4 + eFk5 + fFk6
Keterangan: Y = Model habitat monyet hitam sulawesi di lokasi penelitian a-e = Nilai bobot setiap variabel
Fk1 = Faktor ketinggian
Fk2 = Faktor kemiringan lereng Fk3 = Faktor NDVI
Fk4 = Faktor jarak dari sungai Fk5 = Faktor jarak dari jalan Fk6 = Faktor jarak dari bangunan
4.6 Analisis Spasial
Titik sebaran monyet hitam sulawesi dianalisis dengan faktor-faktor spasial yang meliputi ketinggian, kemiringan lereng, kerapatan tajuk, jarak dari sungai, jarak dari jalan dan jarak dari bangunan untuk mendapatkan bobot. Analisis spasial dilakukan dengan metode tumpang susun (overlay), pengkelasan (class), pembobotan (weighting), dan pengharkatan (skoring).
Pemberian bobot didasarkan atas nilai kepentingan atau kesesuaian bagi habitat owa Jawa. Nilai tertinggi menunjukkan faktor habitat yang paling berpengaruh, nilai di bawahnya menunjukkan faktor habitat yang berpengaruh, dan nilai terendah menunjukkan faktor habitat yang kurang berpengaruh. Klasifikasi kelas kesesuaian terdiri dari tiga kelas yaitu: 1 (rendah), 2 (sedang) dan 3 (tinggi). Model Matematika yang digunakan adalah:
1. Nilai skor klasifikasi kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi SKOR = ΣWi * Fki
Keterangan:
Wi = bobot untuk setiap parameter Fki = faktor kelas dalam parameter
SKOR = nilai dalam penetapan klasifikasi kesesuaian habitat
2. Nilai selang skor klasifikasi kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi ditentukan berdasarkan sebaran nilai piksel yang dihasilkan analisis spasial.
3. Nilai kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi
KHn = Smin + SELANG dan/atau KH = KHn-1 + SELANG Keterangan:
Smin = nilai skor terendah
SELANG = nilai dalam penetapan selang klasifikasi kesesuaian habitat KHn-1 = nilai Kesesuaian Habitat sebelumnya
KHn-1 = nilai Kesesuaian Habitat ke-n
4. Nilai validasi klasifikasi kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi
Keterangan:
n = jumlah titik pertemuan monyet hitam sulawesi yang ada pada satu klasifikasi kesesuaian
N = jumlah total titik pertemuan monyet hitam sulawesi hasil survei
23 Citra Landsat
Peta rupa bumi Peta jalan Peta kontur
Peta jarak dari jalan Peta jarak dari
sungai
Peta ketinggian
Peta kemiringan
lereng Peta NDVI Peta jarak dari bangunan
Analisis Spasial (Zonal Statistic as a table)
Analisis Statistik (PCA)
Bobot
Overlay
aFk1+bFk2+cFk3+dFk4+eFk5+fFk6
validasi
Akurasi model Model diterima
ya tidak
Peta kesesuaian habitat Macaca nigra Titik sebaran Macaca nigra Nilai NDVI Titik sebaran Macaca nigra Titik sebaran bangunan
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Peta Tematik untuk Pembuatan Model Spasial 5.1.1 Peta Ketinggian
Ketinggian di lokasi penelitian berkisar antara 0-1351 meter dpl dengan tiga puncak gunung yaitu gunung Tangkoko, gunung Batuangus, dan gunung Duasudara. Menurut Witten et al. (1987) dalam Saroyo (2005), vegetasi diatas ketinggian 800 meter dpl di lokasi penelitian sudah termasuk ke dalam vegetasi pegunungan. Pegunungan memiliki keanekaragaman jenis vegetasi yang kurang dibandingkan dengan dataran rendah. Kondisi vegetasi diatas ketinggian 800 meter disajikan pada gambar 7.
Gambar 7 Kondisi vegetasi di puncak gunung. (a) Vegetasi yang ditumbuhi lumut; (b) vegetasi di puncak gunung Tangkoko.
Monyet hitam sulawesi dapat ditemukan di berbagai ketinggian sampai 2000 meter dpl (Supriatna dan Wahyono, 2000). O’brien dan Kinnaird (1997) juga menyebutkan bahwa monyet hitam sulawesi dapat dijumpai di semua ketinggian di Cagar Alam Tangkoko. Faktor ketinggian rupanya tidak begitu berpengaruh terhadap kelangsungan hidup monyet hitam sulawesi. Bila dilihat dari posisi titik perjumpaan monyet hitam sulawesi yang didapatkan selama penelitian untuk membangun model dan validasi, terdapat 76 titik yang berada pada ketinggian dibawah 400 meter dpl, 2 titik berada pada ketinggian 400-900 meter dpl dan hanya 1 titik yang berada di atas ketinggian 900 meter dpl.
(b) (a)
Pada peta ketinggian untuk model spasial kesesuaian habitat, ketinggian diklasifikasikan menjadi 3 kelas yaitu 0-400 meter dpl, 400-800 meter dpl, dan >800 meter dpl. Kelas ketinggian dan luas wilayah masing-masing kelas ketinggian pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2. Peta ketinggian pada lokasi penelitian disajikan pada Gambar 9.
Tabel 2 Kelas ketinggian di lokasi penelitian
No. Kelas Ketinggian (mdpl) Luas (ha)
1. 0-400 5336,46
2. 400-800 3754,62
3. >800 781,65
5.1.2 Peta Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng berpengaruh pada aksesibilitas monyet hitam sulawesi karena mereka lebih banyak melakukan aktivitasnya di atas tanah (terrestrial) (Rowe, 1996). O’Brien dan Kinnaird (1997) juga menyebutkan bahwa monyet hitam sulawesi menghabiskan lebih dari 60% waktu hariannya untuk beraktivitas secara terrestrial baik untuk istirahat dan pergerakan yang menempuh jarak yang jauh. Aktivitas monyet hitam sulawesi di atas tajuk (arboreal) dilakukan sebagian besar untuk makan dan istirahat pada malam hari. Pada pengamatan secara visual terhadap 4 kelompok moyet hitam sulawesi dalam pergerakan hariannya, mereka lebih sering terlihat beristirahat di tempat yang memiliki kemiringan lereng datar dan landai yang dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Penggunaan habitat dengan kemiringan lereng datar dan landai. (a) Aktifitas Istirahat; (b) perilaku sosial menelisik pada saat istirahat.
26 Gambar 9 Peta ketinggian.
Kemiringan lereng diklasifikasikan kedalam 5 kelas, yaitu datar dengan tingkat kemiringan 0-8%, landai dengan tingkat kemiringan 8-15%, agak curam dengan tingkat kemiringan 15-25%, curam dengan tingkat kemiringan 25-40% dan sangat curam dengan tingkat kemiringan 40-100%. Pembagian kelas kemiringan lereng tersebut berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung dan SK Menteri Pertanian No.683/Kpts/Um/II/1981 tentang Tata Cara Penetapan Hutan Produksi (Dewi, 2005). Kelas kemiringan yang dianggap paling tidak sesuai bagi monyet hitam sulawesi adalah kelas kemiringan diatas 40% karena menghambat aksesibilitas dari monyet hitam sulawesi. Kelerengan yang semakin landai dianggap merupakan habitat yang sesuai untuk shelter dan cover dari monyet hitam sulawesi.
Pada lokasi penelitian terdapat semua kelas kemiringan lereng dengan luasan terbesar pada kelas kemiringan lereng curam (2663,91 hektar) dan luasan terkecil pada kelas kemiringan lereng landai (1044,90 hektar). Kelas kemiringan agak curam dan sangat curam memiliki luasan yang cukup besar yaitu 2362,95 hektar dan 2464,11 hektar. Untuk kelas kemiringan lereng datar memiliki luas 1337,49 hektar. Luas tiap kelas kemiringan lereng di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 3. Peta kemiringan lereng di lokasi penelitian disajikan pada gambar 10.
Tabel 3 Luas tiap kelas kemiringan lereng
No. Kelas Kemiringan Tingkat Kemiringan (%) Kemiringan (°) Luas (ha)
1. Datar 0 - 8 0,00 – 3,60 1337,49 2. Landai 8 - 15 3,60 – 6,75 1044,90 3. Agak Curam 15 - 25 6,75 – 11,25 2362,95 4. Curam 25 - 40 11,25 – 18,00 2663,91 5. Sangat Curam >40 > 18,00 2464,11 5.1.3 Peta NDVI
Monyet hitam sulawesi menggunakan 59% waktunya untuk mencari makan. Lebih dari 60% pakan monyet hitam sulawesi berasal dari tumbuhan yaitu berupa buah-buahan, biji-bijian, daun, dan 31,5% pakannya adalah invertebrata. Monyet hitam sulawesi mengkonsumsi kurang lebih 145 jenis buah-buahan seperti
28 Gambar 10 Peta kemiringan lereng.
Vegetasi terutama pohon besar dan tinggi juga digunakan oleh monyet hitam sulawesi sebagai tempat beristirahat di malam hari atau sebagai pohon tidur. Penggunaan pohon sebagai sumber pakan dan tempat istirahat disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11 Pakan dan pohon tidur monyet hitam sulawesi. (a) Ficus spp.; (b) Leu (Dracontomelon mangiferum); (c) pohon tidur (Ficus variegata); (d) aktifitas monyet di atas tajuk.
Beberapa tipe vegetasi yang terdapat di lokasi penelitian yaitu semak belukar, padang alang-alang, kebun campuran, hutan sekunder, dan hutan primer. Pada saat penelitian, monyet hitam sulawesi dijumpai menggunakan semua tipe habitat untuk mencari makan dan makan. Namun untuk istirahat malam, monyet hitam sulawesi selalu menggunakan hutan yang memiliki pohon dengan ukuran besar dan tinggi. Dengan demikian, kuantitas vegetasi berupa tutupan hutan di lokasi penelitian memiliki pengaruh yang besar bagi keberlangsungan hidup monyet hitam sulawesi.
Kuantitas vegetasi diukur dengan menganalisis nilai NDVI (Normalization Difference Vegetation Index). NDVI merupakan salah satu metode perhitungan indeks vegetasi yang umum digunakan karena memiliki korelasi yang kuat dengan karakteristik vegetasi. Nilai NDVI yang semakin tinggi menunjukkan
(a) (b)
adanya aktifitas fotosintesis yang semakin besar dan kerapatan vegetasi yang semakin tinggi (Lillesand dan Kiefer, 1990). NDVI dianalisis dengan menggunakan nilai piksel pada band infra merah dekat (Near Infra Red) dan band merah (red) yang pada citra lansat TM diiperoleh dari band 4 (band inframerah dekat) dan band 3 (band merah).
Nilai NDVI di lokasi penelitian dibagi ke dalam lima kelas, yaitu 0 0,1; 0,1 0,2; 0,2 0,3; 0,3 0,4; dan lebih dari 0,4. Kelas NDVI dengan nilai lebih dari 0,4 memiliki luasan terbesar, yaitu 3618,99 hektar dan kelas NDVI dengan nilai 0,1 0,2 memiliki luasan terkecil, yaitu 650,88 hektar. Kelas NDVI 0 0,1 memiliki luas terbesar ketiga yaitu 1873,26 hektar yang diduga disebabkan karena pada citra Landsat ETM+ di sekitar puncak gunung Tangkoko dan gunung Duasudara tertutup awan. Luas tiap kelas nilai NDVI disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Luas tiap kelas nilai NDVI
No. Nilai NDVI Luas (ha)
1. 0,0 – 0,1 1873,26
2. 0,1 – 0,2 650,88
3. 0,2 – 0,3 939,42
4. 0,3 – 0,4 2788,56
5. > 0,4 3618,99
Berdasarkan identifikasi titik pohon pakan monyet hitam sulawesi terhadap kelas NDVI, terdapat 33 titik pohon pakan yang berada pada kelas NDVI dengan nilai lebih dari 0,4; 11 titik pohon pakan pada kelas NDVI dengan nilai 0,3 0,4; 3 titik pada kelas NDVI 0,2 0,3; dan 3 titik pohon pakan pada kelas NDVI dengan nilai kurang dari 0,1. Terdapat 16 jenis pohon pakan yang dapat diidentifikasi jenisnya, antara lain maombi (Arthocarpus dadah), leu (Dracontomelon mangiferum), kenanga (Cananga odorata), mengkudu (Morinda sp), Ficus microcarpa, Ficus variegata, dan Vitex quinata. Kelompok Rambo 2 yang memiliki wilayah jelajah sampai ke perkampungan juga memakan kelapa (Cocus nucifera), mangga (Mangifera indica), dan palawija. Sedangkan untuk identifikasi titik pohon tidur terhadap kelas NDVI, terdapat 24 titik yang berada pada kelas NDVI dengan nilai lebih dari 0,4 dari 30 titik pohon tidur. Peta NDVI di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 12.
31 Gambar 12 Peta NDVI.
5.1.4 Peta Jarak dari Sungai
Monyet hitam sulawesi memenuhi kebutuhan terhadap air melalui beberapa sumber yaitu buah-buahan yang dimakan, tampungan air hujan pada banir pohon, dan sungai. Pada musim kemarau, beberapa sungai di lokasi penelitian mengalami kekeringan. Sungai yang tidak mengering umumnya memiliki aliran air yang lambat dan permukaan air yang dangkal. Pada saat penelitian dijumpai penggunaan sungai oleh satu kelompok monyet hitam sulawesi. Sungai digunakan oleh monyet hitam sulawesi untuk minum, mendinginkan tubuh dan bermain.
Pengklasifikasian jarak dari sungai ditentukan berdasarkan jari-jari wilayah jelajah monyet hitam sulawesi yang dianggap berbentuk lingkaran. Wilayah jelajah dari monyet hitam sulawesi menurut Rowe (1996) adalah 114 - 320 hektar dan menurut penelitian O’Brien dan Kinnaird di Cagar Alam Tangkoko terhadap tiga kelompok monyet hitam sulawesi selama 18 bulan mendapatkan hasil wilayah jelajah dari kelompok Malonda adalah 218 hektar, kelompok Rambo 406 hektar dan kelompok Dua 156 hektar (O’Brien dan Kinnaird, 1997). Nilai jari-jari masing-masing wilayah jelajah monyet hitam sulawesi disajikan pada Tabel 15.
Tabel 5 Jari-jari wilayah jelajah monyet hitam sulawesi
No. Wilayah Jelajah (m²) Sumber Jari-Jari (meter)
1. 114 Rowe (1996) 602,54
2. 320 Rowe (1996) 1009,51
3. 156 O’Brien dan Kinnaird (1997) 704,85
4. 218 O’Brien dan Kinnaird (1997) 833,23
5. 406 O’Brien dan Kinnaird (1997) 1137,10
Rata-Rata 859,13
Rata-rata jari-jari wilayah jelajah monyet hitam sulawesi adalah 859,13 meter sehingga selang tiap kelas kesesuaian untuk buffer ditetapkan sebesar 850 meter. Jarak dari sungai diklasifikasikan menjadi 5 kelas, yaitu 0-850 meter, 850-1700 meter, 850-1700-2550 meter, 2550-3400 meter dan lebih dari 3400 meter. Jarak kurang dari sampai dengan 850 meter dari sungai dianggap sebagai habitat yang sesuai untuk monyet hitam sulawesi. Peta jarak dari sungai di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 13.
33 Gambar 13 Peta jarak dari sungai.