• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi Model Kesesuaian Habitat untuk Pengelolaan Kawasan Taman Wisata Alam dan Cagar Alam

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4 Implikasi Model Kesesuaian Habitat untuk Pengelolaan Kawasan Taman Wisata Alam dan Cagar Alam

Lokasi penelitian pemodelan kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi ini merupakan gabungan dari empat kawasan konservasi yang saling menyatu, yaitu CA Tangkoko, CA Duasudara, TWA Batuputih dan TWA Batuangus. Awalnya kawasan tersebut diperuntukan sebagai cagar alam yaitu CA Tangkoko berdasarkan GB. NO. 6 Stbl 1919 dan CA Duasudara berdasarkan SK. Mentan No. 700/kpts/Um/11/78. Kemudian berdasarkan SK. Mentan No. 1049 /Kpts/Um/12/18 tgl 24-12-1981, pada kawasan cagar alam tersebut dibentuk kawasan taman wisata alam, yaitu TWA Batuputih dan TWA Batuangus. Empat kawasan konservasi tersebut berada dibawah pengawasan Seksi Konservasi Wilayah I Balai Konservasi Sumberdaya Alam Sulawesi Utara.

Perbedaan status kawasan tersebut berpengaruh pada fungsi dan pengelolaan kawasan. Taman wisata alam yang merupakan kawasan pelestarian alam memiliki fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Pada taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam. Sedangkan cagar alam merupakan kawasan suaka alam yang diperuntukkan sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam kawasan cagar alam hanya terbatas pada kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan yang menunjang budidaya.

Model kesesuaian habitat dan peta kesesuaian habitat yang dihasilkan dari penelitian kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada tiap kawasan konservasi. Masing-masing kawasan konservasi tersebut berdasarkan peta kesesuaian habitat memiliki kondisi habitat yang berbeda-beda. Kondisi habitat tersebut dapat diketahui melalui presentase kelas kesesuaian habitat pada tiap kawasan. CA Tangkoko memiliki habitat dengan kesesuaian tinggi dengan persentase tertinggi yaitu 79,34% sedangkan CA Duasudara memiliki habitat dengan kesesuaian tinggi terendah yaitu sebesar 39,83%. Habitat dengan kesesuaian tinggi pada kawasan TWA Batuputih yaitu sebesar 64,77% dan pada TWA Batuangus sebesar 48,61%. TWA Batuangus memiliki persentase habitat dengan kelas kesesuaian sedang dan rendah tertinggi yaitu 40,91% dan 10,48%. Berdasarkan persentase kelas kesesuaian habitat pada tiap kawasan tersebut terlihat bahwa CA Tangkoko merupakan kawasan dengan kesesuaian habitat yang paling sesuai untuk monyet hitam sulawesi sedangkan TWA Batuangus dan CA Duasudara merupakan habitat yang kurang sesuai untuk monyet hitam sulawesi. Persentase kelas kesesuaian habitat pada tiap kawasan disajikan pada Gambar 20.

Gambar 20 Kelas kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi pada tiap kawasan.

CA Duasudara memiliki kawasan yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam ketiga kelas kesesuaian habitat (32,02%) namun berdasarkan studi literatur diketahui bahwa kepadatan populasi monyet hitam sulawesi di kawasan Duasudara lebih rendah dari Tangkoko dan Batuangus (Rosenbaum et al., 1998).

0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00% 60.00% 70.00% 80.00% TWA Batu Putih TWA Batu Angus CA Tangkoko CA Dua Saudara P e r se n tas e

Persentase Kelas Kesesuaian Habitat pada Tiap Kawasan

tdk ada data Rendah Sedang Tinggi

Selain itu, berdasarkan data penggunaan lahan Bapedas Tondano Sulawesi Utara tahun 2006 (Lampiran 3), tutupan hutan primer dan sekunder di kawasan CA Duasudara sebesar 46,54%, kawasan CA Tangkoko sebesar 94,02%, TWA Batuangus sebesar 52,79%, dan TWA Batuputih sebesar 83,29%. Pada kawasan CA Duasudara terdapat penggunaan lahan berupa pertanian lahan kering dengan persentase sebesar 20,42% dan permukiman dengan persentase sebesar 0,28%. Penggunaan lahan berupa pertanian lahan kering juga terdapat di TWA Batuangus dengan persentase yang lebih kecil yaitu sebesar 5,41%, pada CA Tangkoko penggunaan lahan untuk pertanian lahan kering hanya sebesar 0,85%, dan pada TWA Batuputih tidak ada penggunaan lahan untuk pertanian lahan kering. Dari kondisi habitat yang terfragmentasi dan kepadatan populasi monyet hitam sulawesi tersebut terlihat CA Duasudara memiliki tekanan yang paling besar diantara kawasan lainnya.

Tekanan yang terjadi di CA Duasudara diduga disebabkan karena CA Duasudara berbatasan dengan 16 kelurahan sedangkan CA Tangkoko, TWA Batuputih, dan TWA Batuangus berbatasan dengan dua kelurahan sehingga akses masyarakat terhadap CA Duasudara lebih mudah. Akses yang mudah tersebut diduga menyebabkan tekanan terhadap monyet hitam sulawesi menjadi semakin tinggi karena adanya perburuan dan perubahan habitat untuk lahan pertanian.

Perubahan tutupan lahan dari hutan menjadi lahan pertanian kemungkinan menyebabkan perubahan terhadap komposisi pakan monyet hitam sulawesi yang memiliki tingkat adaptasi cukup tinggi terhadap perubahan habitat sehingga satwa tersebut akan mencari alternatif pakan baru bila pakan alaminya berkurang. Keadaan tersebut dapat menimbulkan konflik antara monyet hitam sulawesi dengan masyarakat karena memanfaatkan sumberdaya pertanian yang sama. Rosenbaum et al. (1998) menduga bahwa tekanan perburuan dan perubahan habitat yang terjadi di kawasan tersebut akan menyebabkan kepunahan populasi monyet hitam sulawesi dalam kurun waktu 25-50 tahun apabila tidak ada tindakan penanggulangan yang dilakukan oleh semua pihak yang berkepentingan.

Bila CA Duasudara memiliki kepadatan monyet hitam sulawesi yang rendah karena degradasi habitat yang terjadi di kawasan tersebut maka kondisi yang berbeda terjadi di kawasan TWA Batuputih. TWA Batuputih memiliki

habitat dengan kesesuaian tinggi sebesar 71,30%, habitat dengan kesesuaian sedang 27,68%, dan habitat dengan kesesuaian rendah sebesar 1,03%. Habitat dengan kesesuaian sedang dan rendah pada TWA Batuputih terletak di perbatasan kawasan dengan perkampungan penduduk padahal TWA Batuputih juga merupakan wilayah jelajah dua kelompok monyet hitam sulawesi, yaitu Rambo 1 dan Rambo 2 yang memiliki ukuran populasi yang besar dan telah terhabituasi dengan manusia. Pada penelitian Saroyo (2005) disebutkan bahwa populasi Rambo 1 dan Rambo 2 masing-masing adalah 51 ekor, pada penelitian Newman et al. (2010) yang dilakukan tahun 2006 sampai 2007 menyebutkan populasi Rambo 1 sebesar 75 ekor dan Rambo 2 sebesar 65 ekor dan pada saat penelitian ini dilakukan populasi Rambo 1 mencapai 72 ekor dan Rambo 2 mencapai 64 ekor.

Kedua kelompok monyet hitam sulawesi ini dapat mencapai ukuran populasi yang besar walaupun dengan kondisi habitat yang rentan terhadap gangguan karena dekat dengan pemukiman penduduk kelurahan Batuputih diduga disebabkan karena kedua kelompok tersebut sudah terhabituasi dengan aktifitas manusia baik terhadap kegiatan wisata maupun pembukaan lahan di kawasan tersebut. Selain itu tingkat pengamanan dari polisi hutan BKSDA dan kelompok masyarakat di kawasan taman wisata alam lebih intensif dibandingkan dengan kawasan cagar alam karena akses kedalam kawasan taman wisata alam lebih mudah. Keberadaan monyet hitam sulawesi dengan ukuran populasi yang besar dan telah terhabituasi dengan manusia tersebut telah menimbulkan konflik dengan masyarakat di sekitar taman wisata alam yang menganggapnya sebagai hama.

BAB VI

Dokumen terkait