• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian yang dilaksanakan di kebun percobaan desa Kayu Manis ini berada pada ketinggian 250 meter di atas permukaan laut (mdpl). Penelitian dilakukan mulai bulan September 2007 hingga Januari 2008 dengan suhu harian berkisar antara 21.1-32.8˚C dan kelembaban antara 77-81%. Curah hujan pada bulan pengamatan berkisar antara 205.9 mm/bulan (terendah di bulan September) hingga 476 mm/bulan (tertinggi di bulan Desember).

Tanaman philodendron yang digunakan merupakan hasil dari planlet yang sudah diaklimatisasi selama lebih kurang 2 bulan. Pada awal pertumbuhan (3 MSI), tanaman sudah mulai menunjukkan adanya keragaman antar dosis iradiasi, sedangkan kondisi tanaman dalam dosis yang sama masih dapat dikatakan seragam (Gambar 1).

Pengamatan sampai dengan umur 4 MSI, belum ditemukan adanya tanaman yang mati, tetapi pada P. xanadu (V2) mulai menunjukkan gejala klorosis daun yang ditandai dengan menguningnya daun (Gambar 1b). Tanaman baru menunjukkan adanya kematian pada 8 MSI, khususnya pada P. xanadu (V2) dan semakin bertambah jumlahnya dengan bertambahnya umur tanaman.

(a) (b) Gambar 1. Perbandingan Salah Satu Dosis Iradiasi Sinar Gamma terhadap

Tanaman Kontrol pada 4 MSI (Minggu Setelah Iradiasi),

(a) P. bipinnatifidum cv. crocodile teeth (V1), (b) P. xanadu (V2) Mulai dari awal hingga akhir pengamatan, serangan hama lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan serangan penyakit. Hama yang menyerang pertanaman diantaranya yaitu keong (siput bercangkang) yang menyerang daun, kutu putih dan trips. Hama keong memakan daun philodendron dan meninggalkan bekas seperti gigitan ulat, sehingga membuat penampilan daun menjadi tidak

menarik (Gambar 2). Pengendalian yang dilakukan yaitu pengendalian secara manual dengan memunguti hama keong tersebut. Hama lain yang menyerang tanaman yaitu kutu putih dan trips yang ditemukan di daerah ketiak daun, tetapi hama ini tidak sampai menghambat pertumbuhan tanaman karena langsung dikendalikan dengan menyemprotkan pestisida organik.

(a) (b)

Gambar 2.Salah Satu Hama dan Gejala Serangan; (a) Hama Keong yang Menyerang Pertanaman, (b) Tanaman yang Terserang Hama Keong. Gulma yang banyak tumbuh pada media tanam umumnya dari golongan gulma berdaun lebar, diantaranya yaitu Phyllanthus niruri. Selain gulma berdaun lebar juga ditemukan gulma dari golongan teki yaitu Cyperus sp. dan gulma dari golongan rumput-rumputan yaitu Imperata cylindrica atau yang dikenal dengan alang-alang. Pengendalian gulma tersebut dilakukan secara mekanis yaitu dengan penyiangan atau pencabutan gulma yang tumbuh secara teratur, sehingga gulma tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman philodendron.

Pengamatan Peubah Utama

Hasil uji F pada Tabel 1 menunjukkan bahwa semua peubah menghasilkan perbedaan yang nyata pada interaksi antara spesies philodendron dengan perlakuan dosis iradiasi. Pada spesies philodendron terdapat perbedaan yang nyata hampir di semua peubah yang diamati, kecuali pada peubah tinggi tanaman 16 MSI (Minggu Setelah Iradiasi). Pada perlakuan dosis iradiasi sinar gamma juga menunjukkan adanya perbedaan yang nyata hampir di semua peubah yang diamati, kecuali pada peubah jumlah daun pada 2 MSI. Hal ini diduga karena kedua spesies memberikan respon yang berbeda terhadap perlakuan iradiasi.

Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Uji F Peubah Kuantitatif Karakter Philodendron

Peubah Spesies Dosis Iradiasi Spesies*Dosis Tinggi Tanaman 2 MSI ** * * 4 MSI ** ** * 6 MSI ** * ** 8 MSI ** ** ** 10 MSI ** ** ** 12 MSI ** ** ** 14 MSI ** ** ** 16 MSI tn ** ** 18 MSI ** ** ** Panjang Daun 2 MSI ** ** ** 4 MSI ** ** ** 6 MSI ** ** ** 8 MSI ** * ** 10 MSI ** * ** 12 MSI ** ** ** 14 MSI ** ** ** 16 MSI ** ** ** 18 MSI ** ** ** Lebar Daun 2 MSI ** ** ** 4 MSI ** ** ** 6 MSI ** * ** 8 MSI ** ** ** 10 MSI ** ** ** 12 MSI ** ** ** 14 MSI ** ** ** 16 MSI ** ** ** 18 MSI ** ** ** Jumlah Daun 2 MSI ** tn ** 4 MSI ** * ** 6 MSI ** * ** 8 MSI ** ** ** 10 MSI ** ** ** 12 MSI ** ** ** 14 MSI ** ** ** 16 MSI ** ** ** 18 MSI ** ** **

Minggu Setelah Iradiasi (MSI), data merupakan hasil transformasi √(x + 0.5).

Pengaruh dosis yang nyata menunjukkan bahwa respon tanaman berbeda menurut tingkat dosis yang diberikan. Tanaman yang diberikan dosis tinggi akan menunjukkan respon yang berbeda dengan tanaman yang diberikan dosis rendah. Semakin tinggi dosis yang diberikan semakin besar menunjukkan perbedaan dengan kontrol.

Persentase Tanaman Hidup

Pada pengamatan persentase tanaman yang mati selama satu bulan

pertama setelah iradiasi, tidak ditemukan adanya tanaman yang mati pada kedua spesies yang diamati, dengan kata lain semua tanaman 100% hidup. Tanaman baru menunjukkan gejala kematian pada 8 MSI yaitu pada P. xanadu (V2), sedangkan pada P. bipinnatifidum cv crocodile teeth (V1) baru menunjukkan adanya kematian pada 14 MSI.

Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa perlakuan iradiasi sinar gamma pada P. xanadu (V2) dengan dosis 20 Gy dan 40 Gy dapat mengurangi kemampuan

tanaman untuk hidup. Persentase tanaman hidup pada P. xanadu (V2) ini dengan perlakuan dosis 20 Gy dan 40 Gy hanya mencapai 22.22% . Hal ini diduga disebabkan oleh radiosensitivitas dari P. xanadu (V2) yang cukup tinggi.

Broerjes dan Van Harten (1988) mengemukakan bahwa radiosensitivitas bervariasi antar spesies tanaman. Perbedaan dalam radiosensitivitas antar spesies bahkan di antara kultivar ataupun galur-galur pemuliaan secara langsung berkaitan dengan genetiknya. Menurut Sparrow et al. (1961) serta Grosch dan Hopwood (1979) radiosensitivitas suatu spesies tanaman tergantung pada isi inti sel (semakin banyak kandungan DNA, semakin sensitif tanaman), jumlah kromosom (semakin sedikit jumlah kromosom, semakin sensitif tanaman), tingkat ploidi (semakin tinggi tingkat ploidi, semakin rendah sensitivitasnya). Selain faktor genetik (internal) tersebut, kondisi iklim dan lingkungan yang berbeda pada sebelum dan sesudah perlakuan juga ikut berpengaruh. Van Harten (1998) menyatakan bahwa faktor eksternal yang berpengaruh terhadap radiosensitivitas antara lain oksigen, kandungan air, kondisi dan lama penyimpanan setelah perlakuan iradiasi serta temperatur.

(a)

(b)

Gambar 3. Grafik Perbandingan Persentase Tanaman Hidup Kedua Spesies Philodendron terhadap Perlakuan Dosis Iradiasi Sinar Gamma pada 18 MSI (a dan b).

Dari grafik di atas, pada 18 MSI P. bipinnatifidum cv crocodile teeth (V1) memiliki persentase hidup yang paling tinggi dibandingkan dengan P. xanadu (V2). Hal ini berarti bahwa P. bipinnatifidum cv crocodile teeth (V1) memiliki radiosensitivitas (tingkat kepekaan) yang paling rendah terhadap iradiasi sinar gamma jika dibandingkan dengan P. xanadu (V2).

Menurut Broertjes dan Van Harten (1988), dosis yang diberikan tergantung dari radiosensitivitas dari masing-masing spesies secara umum dan bagian tanaman yang digunakan serta fase pertumbuhan tanaman pada khususnya. Bagian tanaman yang masih harus menghasilkan tunas dan akar baru (stek belum berakar, potongan daun segar, dan sebagainya) lebih sensitif daripada bagian tanaman yang sudah berakar dan bertunas. Menurut Soedjono (2003) dosis

iradiasi yang diberikan untuk mendapatkan mutan tergantung jenis tanaman, fase pertumbuhan, ukuran, kekerasan dan bahan yang akan dimutasi.

Hasil penelitian wulandari (2001) pada tanaman krisan menunjukkan bahwa dosis iradiasi sinar gamma berpengaruh nyata terhadap persentase tanaman hidup dibandingkan kontrol. Dosis 20 Gy dan 30 Gy berbeda nyata dengan kontrol, namun tidak berbeda pengaruh antar kedua perlakuan, dengan persentase tanaman hidup terendah didapat pada perlakuan dosis 40 Gy. Demikian juga dengan hasil penelitian Hapsari (2004) pada tanaman melati, terdapat kombinasi yang sangat nyata antara dosis iradiasi sinar gamma dan spesies melati terhadap persentase tanaman hidup. Perlakuan iradiasi sinar gamma dengan dosis 50 Gy dan 55 Gy mengurangi kemampuan tanaman untuk hidup pada semua spesies melati yang digunakan.

Tinggi Tanaman

Kedua spesies philodendron berpengaruh nyata terhadap peubah tinggi tanaman (Tabel 2). Dari awal pengamatan sampai dengan 14 MSI, P. xanadu memiliki rataan tinggi tanaman yang lebih tinggi daripada P. bipinnatifidum cv. crocodile teeth, tetapi pada 18 MSI P. bipinnatifidum cv. crocodile teeth memiliki rataan tinggi tanaman yang lebih tinggi daripada P. xanadu.

Tabel 2. Rata-Rata Tinggi Tanaman pada Kedua Spesies Philodendron yang Diuji

Spesies Tinggi Tanaman (Cm)

2 MSI 4 MSI 6 MSI 8 MSI 10 MSI 12 MSI 14 MSI 18 MSI V1 1.58b 1.64b 1.69b \1.72b 1.74b 1.79b 1.84b 1.90a

V2 2.06a 2.13a 2.16a 2.18a 2.13a 2.09a 2.04a 1.71b

Ket : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%. Data merupakan hasil transformasi √(x + 0.5).

Dari Tabel 3 terlihat bahwa perlakuan dosis iradiasi sinar gamma menunjukkan adanya perbedaan yang nyata terhadap rata-rata tinggi tanaman. Dari awal pengamatan sampai dengan 10 MSI, dosis iradiasi 60 Gy memiliki rataan tinggi tanaman tertinggi, namun setelah 10 MSI tinggi tanaman mengalami penurunan. Pada 12 MSI tanaman tertinggi berada pada dosis iradiasi 10 Gy, tetapi setelah 16 MSI rataan tinggi tanaman tertinggi terdapat pada kontrol dan tidak berbeda nyata dengan dosis iradiasi 10 Gy. Seluruh nilai rata-rata tinggi

tanaman sepuluh perlakuan iradiasi sinar gamma berada di bawah nilai rata-rata kontrol. Dengan kata lain, pertumbuhan tinggi tanaman philodendron yang diradiasi lebih lambat dari pertumbuhan tinggi tanaman kontrol. Semakin tinggi dosis iradiasi maka tinggi tanaman semakin berkurang kecuali pada dosis 10 Gy yang justru menginduksi pertambahan tinggi tanaman (Gambar 4).

Tabel 3. Pengaruh Dosis Iradiasi terhadap Peubah Tinggi Tanaman.

Dosis Tinggi Tanaman (cm)

(Gray) 2MSI 4 MSI 6 MSI 8 MSI 10 MSI 12 MSI 14 MSI 16 MSI 18 MSI 0 1.89ab 1.93ab 1.96abc 1.97abc 1. 96ab 2.05ab 2.32a 2.50a 2.62a 10 1.83abc 1.93ab 1.98ab 2.01ab 2.02ab 2.11a 2.23ab 2.46a 2.55a 20 1.81abc 1.89abcd 1.94abcd 1.98abc 1.99ab 2.00abc 1.95c 1.46d 1.56bc 30 1.81abc 1.89abcd 1.93abcd 1.96abc 1.94ab 1.95abc 1.79cd 1.74bcd 1.71bc 40 1.83abc 1.88abcd 1.92abcd 1.95abc 1.91ab 1.79c 1.67d 1.60cd 1.42c 50 1.78bc 1.84bcd 1.89bcd 1.91bc 1.91ab 1.87bc 1.80cd 1.74bcd 1.68bc 60 1.92a 1.99a 2.02a 2.05a 2.06a 2.08ab 2.04bc 1.74bcd 1.53bc 70 1.73c 1.79d 1.84d 1.87cd 1.89b 1.93abc 1.95c 1.89bc 1.79bc 80 1.74c 1.81cd 1.85cd 1.78d 1.70c 1.59d 1.59d 1.60cd 1.52bc 90 1.85abc 1.89abcd 1.94abcd 1.97abc 1.98ab 2.02ab 2.04bc 2.04b 1.77bc 100 1.87ab 1.92abc 1.96abcd 1.99abc 1.99ab 2.01ab 2.03bd 1.98b 1.86b Ket : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%. Data merupakan hasil transformasi √(x + 0.5)

(a)

(b)

Iradiasi Sinar Gamma pada Dua Spesies Philodendron, (a) P.

bipinnatifidum cv crocodile teeth (V1), (b) P. xanadu (V2).

Hasil Penelitian Aryani (1990) dan Sukartini (1992) mengemukakan bahwa menurunnya tinggi tanaman dengan meningkatnya dosis iradiasi pada subang gladiol disebabkan karena terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan sel-sel maristem pucuk akibat energi radiasi yang tinggi. Namun selain penghambatan tinggi tanaman, iradiasi sinar gamma pada dosis tertentu mampu merangsang pertumbuhan tinggi tanaman. Perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 10 Gy pada tanaman gladiol secara nyata merangsang pertumbuhan tinggi tanaman.

Terhambatnya pertumbuhan tinggi tanaman philodendron diduga karena adanya penghambatan aktivitas hormon pertumbuhan tanaman. Perlakuan Iradiasi dapat mempengaruhi aktivitas hormon tumbuh tanaman, antara lain hormon auksin (Levitt, 1980). Penghambatan pertumbuhan suatu tanaman tidak selalu berarti negatif karena dapat menimbulkan keragaman baru bagi tanaman tersebut dalam hal ukuran tanaman, yaitu didapatnya ukuran tanaman yang lebih kecil (kerdil). Grosch dan Hopwood (1979) juga menyatakan bahwa iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan pengkerdilan tanaman karena dapat menghambat aktivitas pembelahan dan perpanjangan sel-sel meristem, termasuk sel-sel meristem pucuk tanaman.

Ukuran Daun

Kedua spesies philodendron menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap peubah ukuran daun, baik itu panjang daun maupun lebar daun. Dari awal (2 MSI) sampai dengan akhir pengamatan (18 MSI), P. bipinnatifidum cv. crocodile teeth (V1) memiliki rata-rata daun terpanjang dan daun terlebar.

Tabel 4. Rata-rata Panjang Daun pada Kedua spesies Philodendron yang Diuji.

Spesies Panjang Daun (Cm)

2 MSI 4 MSI 6MSI 8 MSI 10 MSI 12 MSI 14 MSI 16 MSI 18 MSI

V1 2.74a 2.77a 2.79a 2.79a 2.80a 2.80a 2.83a 2.88a 2.89a V2 1.67b 1.69b 1.72b 1.74b 1.74b 1.71b 1.66b 1.56b 1.47b Ket : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%. Data merupakan hasil transformasi √(x + 0.5).

Tabel 5. Rata-rata Lebar Daun pada Kedua Spesies Philodendron yang Diuji.

spesies Lebar Daun (Cm)

2 MSI 4 MSI 6 MSI 8 MSI 10 MSI 12 MSI 14 MSI 16 MSI 18 MSI V1 1.54a 1.56a 1.57a 1.57a 1.58a 1.59a 1.60a 1.62a 1.63a V2 1.46b 1.49b 1.49b 1.49b 1.49b 1.45b 1.41b 1.32b 1.24b Ket : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%. Data merupakan hasil transformasi √(x + 0.5).

Tabel 6. Pengaruh Dosis Iradiasi Terhadap Peubah Panjang Daun.

Dosis Panjang Daun (Cm)

(Gray) 2MSI 4 MSI 6 MSI 8 MSI 10 MSI 12 MSI 14 MSI 16 MSI 18 MSI 0 1.95c 1.99c 2.02c 2.09c 2.22ab 2.33a 2.60a 2.79a 2.90a 10 2.25ab 2.29ab 2.30ab 2.32a 2.34a 2.37a 2.56a 2.85a 3.02a 20 2.16b 2.19ab 2.22ab 2.22abc 2.23ab 2.22a 2.12cde 1.83d 1.82c 30 2.23ab 2.26ab 2.28ab 2.28ab 2.28a 2.26a 2.00e 1.98cd 1.97bc 40 2.24ab 2.24ab 2.26ab 2.28ab 2.26a 2.17ab 2.06de 2.01bcd 1.89bc 50 2.28ab 2.30ab 2.33a 2.34a 2.33a 2.28a 2.22cde 2.17bc 2.12bc 60 2.29a 2.32a 2.34a 2.35a 2.35a 2.35a 2.32bcd 2.11bcd 2.03bc 70 2.18ab 2.20ab 2.22ab 2.24ab 2.23ab 2.23a 2.23cde 2.17bc 2.10bc 80 2.15b 2.17b 2.19b 2.15bc 2.08b 2.02b 2.03e 2.00bcd 1.94bc 90 2.18ab 2.22ab 2.22ab 2.24ab 2.23ab 2.24a 2.21cde 2.20bc 2.01bc 100 2.27ab 2.31a 2.33a 2.35a 2.34a 2.35a 2.35abc 2.30b 2.20b Ket : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%. Data merupakan hasil transformasi √(x + 0.5).

Tabel 7. Pengaruh Dosis Iradiasi Sinar Gamma Terhadap Peubah Lebar Daun

Dosi

s Lebar Daun (Cm)

(Gray

) 2MSI 4 MSI 6 MSI 8 MSI 10MSI 12 MSI 14 MSI 16 MSI 18 MSI 0 1.38c 1.42b 1.44c 1.48bc 1.53a 1.56a 1.71a 1.79a 1.87a 10 1.53ab 1.56a 1.56ab 1.58a 1.58a 1.60a 1.71a 1.81a 1.85a 20 1.46b 1.50a 1.50bc 1.50abc 1.51a 1.51ab 1.47bcd 1.22e 1.23c 30 1.50ab 1.52a 1.53ab 1.54abc 1.54a 1.54ab 1.38cd 1.36bcde 1.37bc 40 1.49ab 1.51a 1.52ab 1.51abc 1.50a 1.42bc 1.35d 1.31de 1.23c 50 1.53ab a 1.56 1.57ab 1.57a 1.56a 1.52ab 1.47bcd 1.42bcd 1.39bc 60 1.56a a 1.57 1.58a 1.57a 1.58a 1.57a 1.54bc 1.39bcde 1.32bc 70 1.49ab a 1.51 1.53ab 1.53abc 1.53a 1.52ab 1.50bcd 1.47bcd 1.41bc

80 1.48b a 1.50 1.50bc 1.47c 1.40b 1.34c 1.35d 1.35cde 1.29bc 90

1.53a

b 1.54a

1.55a

b 1.56ab 1.56a 1.55a 1.55b 1.54b 1.39bc 100 1.53ab 1.56a 1.57ab 1.57a 1.57a 1.57a 1.56b 1.52bc 1.46b Ket : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada klom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

menurut uji DMRT pada taraf 5%. Data merupakan hasil transformasi √(x + 0.5).

(a)

(b)

Gambar 5. Perbandingan Ukuran Daun Tanaman Kontrol Terhadap 10 Perlakuan Dosis Iradiasi Sinar Gamma, (a) P. bipinnatividum cv. crocodile teeth (V1) dan (b) P. xanadu (V2).

Pada Tabel 6 terlihat bahwa mulai dari awal (2 MSI) sampai dengan 10 MSI rata-rata panjang daun terpanjang terdapat pada dosis iradiasi 60 Gy. Pada 12 MSI semua perlakuan dosis iradiasi tidak berbeda nyata terhadap peubah panjang daun, kecuali pada dosis iradiasi 40 Gy dan 80 Gy. Setelah 14 MSI, faktor dosis menunjukkan bahwa panjang daun antar sepuluh perlakuan dosis iradiasi memiliki

rata-rata yang berbeda nyata dengan kontrol, kecuali pada dosis 10 Gy. Pada Tabel 7 juga terlihat bahwa pada 14 MSI lebar daun antar sepuluh perlakuan dosis iradiasi memiliki rata-rata yang berbeda nyata terhadap kontrol, kecuali pada dosis 10 Gy. Seluruh nilai rata-rata panjang dan lebar daun pada perlakuan dosis kecuali dosis 10 Gy berada di bawah nilai rata-rata kontrol, sedangkan pada dosis 10 Gy ukuran daun tidak berbeda nyata dengan kontrol. Dengan kata lain, dosis 10 Gy tidak mempengaruhi ukuran daun, sedangkan di atas dosis 10 Gy pertumbuhan ukuran daun yang diiradiasi lebih lambat dari pada kontrol (Gambar 5).

Jumlah Daun

Kedua spesies philodendron menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap jumlah daun. Dari awal (2 MSI) sampai dengan akhir pengamatan (18 MSI), P.

bipinnatifidum cv. crocodile teeth (V1) memiliki rata-rata jumlah daun terbanyak

dibandingkan P. xanadu (V2). Hal ini menunjukkan bahwa P. bipinnatifidum cv. crocodile teeth memiliki kemampuan membentuk daun yan lebih baik daripada P.

xanadu.

Tabel 8. Rata-rata Jumlah Daun pada Kedua Spesies Philodendron yang Diuji.

Spesies Jumlah Daun

2 MSI 4 MSI 6 MSI 8 MSI 10 MSI 12 MSI 14 MSI 6 MSI 1 18 MSI V1 2.63a 2.63a 2.59a

2.53 a 2.49a 2.49 a 2.35 a 2.34a 2.37a V2 2.48b 2.40b 2.35b 2.29 b 2.22b 2.22 b 2.07 b 1.90b 1.77b

Ket : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%. Data merupakan hasil transformasi √x + 0.5.

Tabei 9. Pengaruh Dosis Iradiasi Sinar Gamma Terhadap Peubah Jumlah Daun

Dosis Jumlah Daun

(Gray) 4 MSI 6 MSI 8 MSI 10 MSI 12 MSI 14 MSI 16 MSI 18 MSI 0 2.55abcd 2.61a 2.67a 2.83a 2.83a 3.11a 3.31a 3.35a 10 2.60abc 2.56ab 2.59ab 2.71a 2.71a 3.33a 3.51a 3.70a 20 2.48abcd 2.39b 2.36cd 2.30bc 2.30bc 2.17bc 1.74bc 1.92b 30 2.50abcd 2.43ab 2.36cd 2.25bc 2.25bc 1.60d 1.54c 1.55b 40 2.43bcd 2.40b 2.31cd 2.19bc 2.19bc 1.83cd 1.75bc 1.60b 50 2.63ab 2.53ab 2.42bcd 2.30bc 2.30bc 1.99bc 1.84bc 1.75b 60 2.55abcd 2.54ab 2.45abcd 2.35bc 2.35bc 2.10bc 1.92bc 1.76b 70 2.40cd 2.36b 2.26d 2.14c 2.14c 2.00bc 1.86bc 1.75b 80 2.37d 2.38b 2.28d 2.18bc 2.18bc 1.93bcd 1.90bc 1.78b

90 2.47abcd 2.37b 2.30cd 2.27bc 2.27bc 2.11bc 1.98b 1.80b 100 2.69a 2.62a 2.54abc 2.39b 2.39b 2.23b 2.07b 1.95b Ket : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%. Data merupakan hasil transformasi √(x + 0.5).

Pada 10 MSI, dosis iradiasi 10 Gy tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata terhadap kontrol, namun berbeda nyata dengan perlakuan dosis iradiasi yang lebih tinggi dimana nilai rata-rata jumlah daun berada di bawah kontrol. Setelah 14 MSI jumlah daun terbanyak terdapat pada dosis iradiasi 10 Gy. Dengan kata lain dosis 10 Gy tidak menghambat pertumbuhan jumlah daun, sedangkan perlakuan dosis di atas 10 Gy dapat menghambat pertumbuhan jumlah daun (Tabel 9).

Hasil penelitian Sukartini (1992) menunjukkan bahwa jumlah daun yang tumbuh pada tanaman subang gladiol menurun sesuai dengan meningkatnya dosis iradiasi yang diberikan. Penghambatan pertumbuhan ini dikarenakan adanya kerusakan di dalam sel/jaringan yang disebabkan oleh energi radiasi yang tinggi. Demikian juga pada penelitian Hapsari (2004) perlakuan dosis iradiasi sinar gamma yang semakin tinggi secara nyata dapat menghambat pertumbuhan jumlah daun pada tanaman melati. Namun penelitian Wulandari (2001) pada tanaman krisan menunjukkan bahwa dosis iradiasi sinar gamma tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun yang dihasilkan. Dosis iradiasi 20 Gy cenderung menurunkan jumlah daun krisan tetapi pada dosis 10 Gy, jumlah daunnya lebih banyak dibandingkan kontrol.

Keragaan Daun

Iradiasi sinar gamma meningkatkan keragaan daun tanaman philodendron.

Setiap spesies philodendron memberikan tanggap yang berbeda-beda terhadap dosis iradiasi sinar gamma yang diberikan. Pada P. bipinnatifidum cv. crocodile teeth yang diberi perlakuan dosis 10 Gy menyebabkan terjadinya malformasi bentuk daun dan semburat putih pada daun (Gambar 7a) pada 8 MSI sebanyak 4 tanaman (44.4%). Warna daunnya juga mulai menunjukkan adanya perbedaan dengan kontrol (Green) menjadi hijau tua (Dark Green). Semburat putih yang terjadi pada 8 MSI tersebut lama kelamaan mulai berkurang dan pada akhir

pengamatan (18 MSI) kembali tumbuh menjadi normal. Hal ini yang disebut dengan peristiwa diplontic selection (Gambar 6).

Pada situasi diplontic selection, jika sel-sel mutan kalah bersaing dengan sel-sel normal di sekelilingnya, maka pada perkembangan selanjutnya jaringan tanaman akan kembali tumbuh normal. Begitu juga sebaliknya, jika sel-sel mutan yang justru dapat ‘mengalahkan’ sel-sel normal, maka pertumbuhan selanjutnya tanaman akan tumbuh menjadi mutan, sampai pada generasi berikutnya (Aisyah, 2006 ; IAEA, 1977).

Kembalinya karakter mutan menjadi karakter tanaman tetua setelah perlakuan mutagenik, menjadi masalah utama dalam pemuliaan mutasi pada organ somatik. Hal ini terjadi akibat banyaknya sel maristematik pada jaringan yang diradiasi sehingga membuat sel-sel berkompetisi. Pada saat sejumlah mutan telah didapatkan, maka seleksi harus dilakukan pada generasi yang tepat, dimana mutan-mutan yang dihasilkan dari generasi tersebut sudah stabil dan tidak mengalami perubahan lagi akibat fenomena diplontic selection (Aisyah, 2006).

Pada P. xanadu dosis 10 Gy juga menyebabkan terjadinya malformasi bentuk daun, daun menjadi tebal, tegak dan roset (menggumpal) serta mengeriting pada 8 MSI (Gambar 7b) sebanyak 5 tanaman (55.5%). Sampai akhir pengamatan tanaman tetap mengalami malformasi, roset dan mengeriting. Hal ini disebabkan karena sel mutan tetap terekspresi sampai dengan akhir pengamatan, sehinga tanaman ini potensial untuk diteliti lebih lanjut untuk melihat apakah sel mutan tersebut tetap terekspresi sampai generasi berikutnya.

(a) (b)

Gambar 6. Fenomena Diplontic Selection pada P. bipinnatifidum cv. crocodile teeth pada Dosis 10 Gy. (a) Gambar Tanaman Kontol (V1D0) dan Dosis 10 Gy (V1D1) pada 12 MSI, (b) Gambar Tanaman Dosis 10 Gy (V1D1) pada 18 MSI.

Gambar 7. Keragaman Daun Dua Spesies Philodendron pada Dosis 10 Gy (a) P. bipinnatifidum cv crocodile teeth (V1) dan (b) P. xanadu (V2)

Malformasi bentuk daun yang terjadi disebabkan oleh penginduksian sinar gamma yang merusak atau mengganggu siklus perkembangan sel sehingga perkembangan sel pada tanaman menjadi tidak seimbang dan menyebabkan kelainan-kelainan pada bentuk daun (Grosch dan Hopwood, 1979). Nybom (1970) dan Grosch dan Hopwood (1979) juga mengemukakan bahwa tanaman yang diiradiasi kebanyakan memunculkan keanehan pada daun (leaf anomalies) yang meliputi pengkerdilan, penebalan, perubahan bentuk dan struktur, pengkerutan, pelekukan abnormal, pengeritingan tepi daun, penyatuan daun dan terjadi mosaik daun (perubahan warna daun).

Perlakuan dosis di atas 10 Gy pada P. bipinnatifidum cv crocodile teeth menyebabkan terjadinya perubahan warna daun menjadi kemerahan. Semakin tinggi dosis yang diberikan, semakin merah merata warna daunnya dan semakin berbeda dengan kontrol. Bentuk daunnya juga berbeda dengan kontrol, daunnya menjadi tidak bergerigi dan ukuran daunnya juga menjadi lebih kecil (Gambar 5). Pada dosis 40 Gy sampai dengan 100 Gy semua tanaman mengalami perubahan warna dengan frekuensi mutan yaitu 100% (Tabel 10).

Perlakuan dosis di atas 10 Gy pada P. xanadu juga menyebabkan terjadinya perubahan warna dan bentuk daun. Warna daun menjadi kekuningan dan bentuk daun menjadi bulat hati dan lebih kecil dari kontrol (Gambar 5). Semakin tinggi dosis yang diberikan semakin kuning merata warna daun dan semakin berbeda dengan kontrol. Jumlah frekuensi mutan yang timbul pada P.

xanadu lebih rendah jika dibandingkan dengan P. bipinnatifidum cv. crocodile

tanaman hidup P. xanadu lebih kecil jika dibandingkan P. bipinnatifidum cv. crocodile teeth. Frekuensi mutan tertinggi pada P. xanadu hanya mencapai 77.78% yaitu pada dosis 70 Gy. Jika dilihat dari pengamatan langsung, banyaknya tanaman yang mati pada P. xanadu yang diradiasi ini disebabkan oleh terhambatnya pertumbuhan akar tanaman akibat mutasi sehingga akar tanaman tidak berkembang sempurna dan penyerapan unsur harapun menjadi terhambat. Tabel 10. Frekuensi Mutan dan Warna Daun Dua Spesies Philodendron pada Beberapa Perlakuan Dosis Iradiasi Sinar Gamma

Dosis P. bipinnatifidum cv. crocodile teeth P. xanadu Gra y (Gy) Frekuens i

Mutan Warna Daun (RHCC) Frekuensi Mutan Warna Daun (RHCC) 0 0 RHS 137C (Green) 0 RHS 137A (Dark Green) 10 44.40%

RHS 137A (Dark

Green) 55.50% RHS 137A (Dark Green)

20 55.50% RHS 137C (Green) 22.20% RHS 153C (Brown Green) 30 77.70% RHS 31D (Orange Red) 66.67% RHS 153C (Brown Green) 40 100% RHS 31D (Orange Red) 44.40% RHS 12A (Yellow) 50 100% RHS 31D (Orange Red) 55.50% RHS 12A (Yellow) 60 100% RHS 39A (Red Pink) 33.30% RHS 153C (Brown Green) 70 100% RHS 37A (Orange Red) 77.78% RHS 153C (Brown Green) 80 100% RHS 37A (Orange Red) 33.30% RHS 15D (Light Yellow) 90 100% RHS 37A (Orange Red) 66.67% RHS 15D (Light Yellow) 100 100% RHS 37A (Orange Red) 66.67% RHS 20A (Light Yellow)

Sampai dengan akhir pengamatan, perubahan warna daun pada dosis di atas 10 Gy masih tetap bisa diamati. Pada P. bipinnatifidum cv. crocodile teeth daun tetap berwarna kemerahan, dimana semakin tinggi dosis yang diberikan warna semakin menyebar merata. Pada dosis 60 dan 70 Gy warna merah hanya menyebar dibagian pinggir daun, sementara bagian tengah daun tetap hijau. Hal ini memberikan keunikan tersendiri terhadap keragaan dari tanaman P.

bipnnatifidum cv. crocodile teeth, sehingga potensial untuk diteliti lebih lanjut

untuk melihat apakah perubahan tersebut stabil pada generasi berikutnya (Gambar 8). Pada perlakuan dosis 80, 90 dan 100 Gy pada P. bipinnatifidum cv. crocodile teeth menyebabkan terjadinya penyebaran warna merah yang merata pada daun. Warna merah ini tetap bisa teramati sampai dengan akhir pengamatan (18 MSI)

karena sel mutan tetap terekspresi sampai dengan akhir pengamatan. Hal ini juga memberikan keunikan tersendiri bagi keragaan tanaman P. bipinnatifidum cv. crocodile teeth, sehingga potensial untuk diteliti lebih lanjut untuk melihat kestabilan dari perubahan warna daun tersebut (Gambar 9).

Pengamatan pada P. xanadu di atas dosis 10 Gy yang menyebabkan terjadinya perubahan warna daun menjadi kekuningan juga dapat diamati sampai akhir pengamatan (18 MSI). Hal ini disebabkan karena pada kompetisi antara sel normal dan sel mutan, sel normal kalah bersaing dengan sel mutan sehingga

Dokumen terkait