• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1. Kondisi Umum Habitat Peneluran Maleo

Areal yang termasuk ke dalam lokasi penelitian hanya kawasan TNLL yang diduga terdapat sarang maleo. Luas areal TNLL adalah 217.991,18 Ha, akan tetapi luas wilayah yang digunakan maleo untuk bertelur hanya 25,12 Ha dan mencakup 6 tipe habitat yakni hutan sekunder, semak belukar, semak dan perdu, tanaman bambu serta tanaman coklat. Dengan mempertimbangkan kondisi lapangan, intensitas sampling yang digunakan adalah 21,74%. Luas daerah yang teramati sebesar 5,46 Ha. Luasan masing-masing areal penelitian di setiap tipe habitat dan unit contohnya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Luasan masing-masing tipe habitat dan unit contoh berdasarkan luas secara proposional pada areal penelitian

No Tipe Habitat Luasan (ha) Luas Unit Contoh

(ha)

1 Hutan Sekunder 1,93 0,42

2 Semak Belukar 2,91 0,63

3 Semak dan Perdu 7,31 1,59

4 Sempadan Sungai 9,52 2,07

5 Tanaman Bambu 2,21 0,48

6 Tanaman Coklat 1,24 0,27

TOTAL 25,12 5,46

Kawasan peneluran maleo di TNLL sebagian besar terletak dekat dengan pemukiman penduduk dan telah mengalami degradasi akibat pola penggunaan lahan yang kurang tepat dan usaha konversi hutan untuk penggunaan lain. Kondisi topografi datar hingga landai dan tanah yang subur seringkali memicu masyarakat untuk melakukan perluasan areal perkebunan, terutama coklat, hingga melewati batas taman nasional. Aktivitas manusia di lokasi peneluran merupakan gangguan yang memberikan pengaruh terhadap berkurangnya kualitas dan jumlah lokasi peneluran yang sebelumnya dianggap sesuai bagi maleo untuk membuat sarang.

Dari hasil pengamatan, maleo di TNLL menggunakan sumber panas bumi (geothermal) untuk mengerami telurnya. Hal tersebut diindikasikan oleh adanya mata air panas di dekat lokasi peneluran. Menurut Gunawan (2000) sifat temperatur tanah sarang yang bersumber panas bumi adalah semakin dalam sarang semakin meningkat temperaturnya karena semakin mendekati sumber

panas. Temperatur tanah sarang tidak dipengaruhi oleh jarak horizontal dari sarang ke mata air panas, karena sumber panas pengeraman bukan berasal dari mata air panas tetapi dari panas di dalam perut bumi. Mata air panas merupakan indikator bahwa di daerah tersebut terdapat sumber panas bumi.

Lokasi peneluran maleo di TNLL memiliki ketinggian antara 125 - 270 mdpl. Pada lokasi peneluran dengan tipe habitat hutan sekunder dijumpai pohon-pohon

dari jenis Eucalyptus deglupta, Pometia pinnata, Fragrea truncata,

Dracontomelon mangiferum dan Canangium odoratum dengan tajuk yang

tertutup dan jarak antar tegakan yang relatif rapat, berkisar antara 6-12 m. Kondisi tersebut mengakibatkan cahaya matahari tidak sampai ke lantai hutan. Di habitat hutan sekunder lubang peneluran maleo ditemukan di sela-sela sistem perakaran pohon dan dibawah tajuk yang tidak memungkinkan bagi sinar matahari untuk menembus hingga ke permukaan tanah. Pada habitat semak belukar, semak dan perdu, serta sempadan sungai, banyak dijumpai jenis rumput

Paspalum conjugatum dan vegetasi sekunder dari jenis yang bersifat intoleran seperti Anthocephalus sp., Piper aduncum, Macangara sp., Ficus spp. dan

Imperata cylindrica. Meskipun memiliki kondisi vegetasi yang mirip namun tingkat kerapatan vegetasi di ketiga habitat tersebut tampak sangat berbeda.

Berdasarkan pengamatan, ketiadaan tumbuhan bertajuk pada habitat semak belukar mengakibatkan permukaan tanah tampak lebih kering karena lebih mudah ditembus sinar matahari dibandingkan habitat semak dan perdu serta sempadan sungai. Lubang peneluran maleo ditemukan di sela-sela semak belukar yang masih terlindung dari sinar matahari sepanjang siang. Kondisi ini berbeda dengan habitat semak dan perdu dimana lubang peneluran dibuat terlindung di bawah tajuk perdu dan sistem perakaran vegetasi sekunder. Beberapa lokasi peneluran maleo di TNLL dengan tipe habitat semak belukar serta semak dan perdu merupakan areal bekas ladang penduduk yang telah ditinggalkan.

Pada habitat sempadan sungai keberadaan sarang maleo terancam oleh air pasang sungai. Air sungai yang meluap hingga lokasi peneluran pada waktu pasang dapat menggenangi sarang dan mengganggu stabilitas suhu pengeraman oleh panas bumi. Pada habitat ini hampir seluruh lubang berada di bawah tajuk serta menempel pada tanah yang miring dan sistem perakaran yang rumit. Menurut Mallo (1998) penggalian lubang pada tanah yang miring akan menghindarkan lubang dari penggenang oleh air pada waktu musim hujan. Di

habitat tanaman bambu, lantai hutan sebagian besar tertutup oleh serasah daun bambu. Pada habitat ini lubang peneluran maleo dijumpai di antara akar-akar dan batang pohon tumbang dibawah tajuk bambu yang rapat. Sarang maleo pada habitat tanaman coklat berada di bawah tegakan coklat yang terlindung dari sinar matahari langsung. Sebagai kawasan perkebunan, pemeliharaan yang dilakukan oleh petani coklat pada habitat ini mengakibatkan permukaan tanah lebih padat dan bebas dari vegetasi sekunder.

5.2. Pendugaan Populasi Maleo

Ukuran populasi merupakan suatu ukuran yang bisa memberikan informasi mengenai nilai rata-rata, nilai minimum, nilai maksimum dari jumlah individu di dalam suatu jenis populasi satwaliar tertentu (Caughley 1977). Menurut Jones et al. (1995) jumlah telur maleo yang ditemukan dipengaruhi oleh musim bertelur. Di

habitat bersumber panas bumi (geothermal), musim bertelur tampaknya

berlangsung sepanjang tahun. Keragaman musim bertelur justru terjadi pada habitat bersumber panas matahari, umumnya berlangsung selama musim kemarau. Pada tahun 1947 Uno (1949) mencatat perolehan telur burung maleo sebanyak 9.705 butir di Cagar Alam Panua, Sulawesi Utara dengan jumlah terbanyak diperoleh pada bulan April bertepatan dengan musim kemarau sebanyak 1.596 butir dan paling sedikit pada bulan Juli, awal musim penghujan, sebanyak 82 butir.

Berdasarkan hasil analisis data terhadap jumlah sarang maleo di lokasi peneluran pada 6 tipe habitat di dalam kawasan TNLL (Tabel 3), diperoleh dugaan populasi total maleo sebesar 4554,73 ± 8,55 ekor dengan kepadatan

181,32 ± 0,34 ekor/ha. Hasil yang diperoleh adalah dugaan populasi dan

kepadatan maleo pada kelompok kelas umur dewasa dengan perbandingan jumlah antara individu jantan dan betina sebesar 1 : 1 pada setiap sarang. Populasi dan perbandingan jenis kelamin pada kelas umur anak dan muda sangat sulit diketahui dari jumlah dan keberadaan sarang.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pihak balai TNLL, musim bertelur maleo di TNLL mencapai puncaknya pada bulan Mei-Juli Yayasan Jambata (2001) melakukan survey pada bulan April-Juni terhadap status maleo di TNLL dan memperkirakan populasi maleo yang ada dalam kawasan TNLL berkisar antara 1.065-2.355 pasang. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian ini ada kecenderungan penurunan populasi walaupun tidak terlalu

drastis. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain semakin sempitnya areal peneluran maleo akibat perluasan daerah pertanian dan perkebunan masyarakat selama kurun waktu 2 tahun.

Tabel 3. Dugaan populasi dan kepadatan maleo pada masing-masing tipe habitat di kawasan TNLL No Tipe Habitat Luas (ha) Jumlah Sarang Populasi (ekor) Kepadatan (ekor/ha) Persentase Populasi (%) CV (%) 1 HS 1.93 53 487,10 ± 62,38 252,38 ± 32,32 10.69 12,81 2 SB 2.91 51 471,14 ± 122,78 161,90 ± 42,19 10.34 26,06 3 SP 7.31 150 1379,25 ± 114,64 188,68 ± 15,68 30.28 8,31 4 SS 9.52 155 1425,70 ± 137,67 149,76 ± 14,46 31.30 9,66 5 TB 2.21 57 524,88 ± 57,98 237,50 ± 26,23 11.52 11,05 6 TC 1.24 29 266,37 ± 107,91 214,81 ± 87,03 5.85 40,51 TOTAL 25.12 495 4554,73 ± 8,55 181,32 ± 0,34 100 0,19

Keterangan: HS=Hutan Sekunder, SB=Semak Belukar, SP=Semak dan Perdu, SS=Sempadan Sungai, TB=Tanaman Bambu, TC=Tanaman Coklat

Butchart et al. (1998) menggunakan 3 kriteria untuk menentukan ukuran populasi maleo berdasarkan jumlah sarang yang ditemukan, yaitu 1) Besar, jika jumlah sarang lebih dari 200 lubang, 2) Sedang, jika jumlah sarang berkisar antara 75-200 lubang, 3) Kecil, jika jumlah sarang kurang dari 75 lubang. Apabila kriteria tersebut diterapkan pada hasil penghitungan di lapangan maka tipe habitat hutan sekunder, semak belukar, tanaman bambu dan tanaman coklat memiliki ukuran populasi kecil, sedangkan habitat semak dan perdu serta sempadan sungai memiliki ukuran populasi sedang.

252,38 161,90 188,68 149,76 237,50 214,81 0 50 100 150 200 250 300

Hutan Sekunder Semak Belukar Semak dan Perdu Sempadan Sungai Tanaman Bambu Tanaman Coklat Tipe Habitat K epa da tan ( ek or /h a)

Kepadatan maleo pada setiap tipe habitat sangat dipengaruhi oleh luasan dan kondisi areal peneluran. Kepadatan populasi maleo tertinggi terdapat pada lokasi peneluran dengan tipe habitat hutan sekunder sebesar 252,38 ± 32,32 ekor/ha dan terendah terdapat pada lokasi peneluran dengan tipe habitat sempadan sungai sebesar 149,76 ± 14,46 ekor/ha. Dari hasil pengamatan di lapangan, luas dan kondisi habitat hutan sekunder yang digunakan maleo sebagai lokasi peneluran semakin terancam dengan adanya usaha masyarakat memperluas areal perkebunan, keadaan ini diperburuk dengan mudahnya akses menuju kawasan peneluran maleo yang secara langsung mengganggu usaha maleo dalam membuat sarang untuk meletakkan telurnya. Tingginya kepadatan sarang maleo di habitat hutan sekunder kemungkinan terjadi karena habitat tersebut dianggap sesuai dan memenuhi syarat sebagai areal bersarang bagi maleo untuk meletakkan telur, sementara luas areal yang tersedia terbatas.

5.3. Preferensi Habitat Peneluran Maleo

Berdasarkan hasil pengujian terhadap enam tipe habitat yang digunakan maleo sebagai lokasi peneluran, ternyata burung maleo memiliki preferensi terhadap tipe habitat tertentu. Dari Tabel 4, tampak bahwa masing-masing tipe habitat memiliki nilai indeks pemilihan habitat yang berbeda. Menurut Bibby et al. (1998) jika nilai indeks pemilihan habitat lebih dari 1 (w>1), maka tipe habitat yang bersangkutan disukai, sebaliknya jika kurang dari 1 (w<1) maka tipe habitat tersebut akan dihindari.

Tabel 4. Proporsi luas areal pengamatan, jumlah sarang yang ditemukan dan indeks pemilihan habitat peneluran maleo

No . Tipe Habitat Proporsi luas areal pengamatan (pi) Jml. Sarang (ni) Proporsi Jml Sarang Ditemukan (ui) Indeks Pemilihan Habitat (wi) Indeks Pemilihan Habitat yang Distandarkan (Bi) Harapan Jumlah Sarang (N.pi) 1 HS 0,08 53 0,11 1,34 0,20 39,6 2 SB 0,11 51 0,10 0,94 0,14 54,45 3 SP 0,29 150 0,30 1,04 0,16 143,55 4 SS 0,38 155 0,31 0,82 0,12 188,1 5 TB 0,09 57 0,12 1,28 0,19 44,55 6 TC 0,05 29 0,06 1,17 0,18 24,75 Total 1 495 1 6,60 1 495

Keterangan: HS=Hutan Sekunder, SB=Semak Belukar, SP=Semak dan Perdu, SS=Sempadan Sungai, TB=Tanaman Bambu, TC=Tanaman Coklat.

Bila diurutkan menurut besarnya nilai indeks pemilihan habitat, tipe habitat yang paling disukai oleh burung maleo di kawasan TNLL berturut-turut adalah

tipe habitat hutan sekunder, tanaman bambu, tanaman coklat, semak dan perdu, semak belukar serta sempadan sungai.

Pengujian terhadap indeks pemilihan habitat perlu dilakukan menggunakan uji chi-square (λ2

hit) dengan tujuan untuk mengetahui kebenaran akan ada

tidaknya pemilihan atas tipe habitat tertentu. Kriteria uji yang digunakan adalah jika λ2

hit ≤λ2

0,05, maka tidak terdapat pemilihan habitat dan jika λ2 hit > λ2

0,05, maka terdapat pemilihan habitat. Berdasarkan Tabel 5, hasil pengujian menunjukkan nilai λ2

hit sebesar 15,076 dan λ2

0,05 sebesar 11,071, maka terdapat pemilihan

terhadap tipe habitat tertentu bagi maleo untuk digunakan sebagai lokasi peneluran. Dari hasil yang tersebut, diketahui bahwa burung maleo melakukan seleksi terhadap tipe habitat yang akan digunakan sebagai tempat bertelur. Seleksi tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan kondisi yang optimal bagi telur agar dapat menetas dan aman dari predator.

Tabel 5. Jumlah sarang teramati dan harapan sarang maleo

No Tipe Habitat Jumlah Sarang (ni = Oi) Proporsi luas areal pengamatan (pi) Harapan Jumlah Sarang (∑ni.pi =Ei) Oi – Ei (Oi – Ei)2 Ei 1 HS 53 0,08 39,6 13,4 4,534 2 SB 51 0,11 54,45 -3,45 0,219 3 SP 150 0,29 143,55 6,45 0,290 4 SS 155 0,38 188,1 -33,1 5,825 5 TB 57 0,09 44,55 12,45 3,479 6 TC 29 0,05 24,75 4,25 0,730 Total 495 1 495 15,076

Keterangan: HS=Hutan Sekunder, SB=Semak Belukar, SP=Semak dan Perdu, SS=Sempadan Sungai, TB=Tanaman Bambu, TC=Tanaman Coklat.

Berdasarkan pengamatan, rendahnya nilai indeks pada tipe habitat semak dan perdu serta semak belukar disebabkan karena sebagian besar permukaan tanahnya tertutup oleh tumbuhan bawah. Gunawan (2000) menyatakan bahwa penutupan permukaan tanah oleh tumbuhan bawah atau vegetasi sekunder lainnya di tempat bertelur dengan sumber panas geothermal akan menyulitkan maleo dalam menggali sarang dan mengurangi areal sarang. Ancaman dari luapan air sungai pada saat pasang kemungkinan memberikan andil terhadap kurangnya preferensi maleo pada habitat sempadan sungai untuk digunakan sebagai lokasi peneluran. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan oleh petani pada habitat tanaman bambu dan tanaman coklat mengakibatkan permukaan

tanah relatif bebas dari vegetasi sekunder, sehingga memudahkan maleo dalam menggali sarang.

Di luar habitat tempat bertelurnya, maleo lebih banyak menggunakan vegetasi sebagai tempat mengintai, berlindung, beristirahat dan melakukan pergerakan, mengingat burung maleo tidak memiliki kemampuan terbang yang baik. Disamping itu, burung maleo datang ke lokasi peneluran terutama untuk bertelur, bukan untuk mencari makan atau minum, walaupun tidak menutup kemungkinan apabila di sekitar tempat bertelur dijumpai makanan dan air, maleo akan makan dan minum sebelum atau sesudah bertelur. Jika keadaan aman dan arealnya terbuka luas, lokasi peneluran juga dipergunakan sebagai arena melakukan aktivitas sosial bersama individu lainnya.

5.4. Pola Sebaran Maleo

Pola sebaran maleo ditentukan pada jumlah unit contoh yang ditemukan pada masing-masing tipe habitat. Pada Tabel 6 tampak hasil analisis data dengan menggunakan uji Chi-square dan uji statistik, pola sebaran maleo pada tiap tipe habitat berbentuk kelompok. Hal ini berarti untuk jumlah contoh kurang dari 30 (n<30), λ2

hit lebih dari dan atau sama dengan λ2

0,025, untuk jumlah contoh lebih dari dan atau sama dengan 30 (n≥30) dengan uji statistik diperoleh dhit lebih dari 1,96 (d>1,96). Secara keseluruhan, pola sebaran maleo di Taman Nasional Lore Lindu berbentuk kelompok.

Tabel 6. Pola sebaran sarang maleo berdasarkan tipe habitat di kawasan Taman Nasional Lore Lindu.

No Tipe Habitat Jumlah contoh (n) Populasi ID (s2 / x) Chi-square [ID(n-1)] dhit Nilai Tabel Pola Sebaran ragam (s2) rata-rata (x) λ2 0,975 λ2 0,025 1 HS 14 19,19 7,57 2,53 32,94 5,01 24,74 Kelompok 2 SB 21 52,23 4,86 10,75 215,06 9,59 34,17 Kelompok 3 SP 53 19,96 5,66 3,53 183,36 9,00 Kelompok 4 SS 69 22,05 4,49 4,91 333,70 14,22 Kelompok 5 TB 16 14,92 7,13 2,09 31,40 6,26 27,49 Kelompok 6 TC 9 80,78 6,44 12,53 100,28 2,18 17,54 Kelompok

Keterangan: HS=Hutan Sekunder, SB=Semak Belukar, SP=Semak dan Perdu, SS=Sempadan Sungai, TB=Tanaman Bambu, TC=Tanaman Coklat.

Hutchinson (1953) menyatakan bahwa faktor penyebab terjadinya pola sebaran adalah :

a. Faktor vektorial (vectorial factors) yaitu akibat dari keadaan lingkungan eksternal seperti intensitas cahaya, aliran air dan jenis tanah.

b. Faktor reproduktif (reproductive factors) yaitu diakibatkan oleh cara reproduksi dari suatu organisme seperti kloning dan regenerasi keturunan.

c. Faktor sosial (social factors) yaitu perilaku sifat pembawaan sejak lahir seperti perilaku teritori.

d. Faktor koaktif (coactive factors) yaitu disebabkan oleh interaksi inter dan intra spesies seperti persaingan.

e. Faktor stokastik (stochastic factors) yaitu hasil variasi acak dari faktor-faktor sebelumnya.

Pola penyebaran berbentuk kelompok pada habitat bersarang maleo antara lain disebabkan oleh faktor reproduktif dan vektorial. Maleo melakukan seleksi terhadap habitat yang akan digunakan sebagai lokasi bersarang, mengingat maleo di TNLL tidak mengerami telurnya sendiri tetapi menguburnya di dalam lubang yang dilalui aktivitas geothermal sebagai sumber panas untuk penetasan telurnya, sementara itu lokasi di TNLL yang sesuai bagi maleo untuk bersarangnya penyebarannya tidak merata. Selain itu, menurut Santoso (1990) pendengaran burung maleo kurang baik sehingga dapat didekati bila memperhatikan arah angin dan posisi burung maleo, perilaku berkelompok pada saat bersarang diduga untuk meningkatkan respon terhadap gangguan yang tejadi saat bersarang. Maleo tidak pernah mengawasi atau mempedulikan keadaan telurnya, setelah melakukan aktivitas bersarang mereka meninggalkan lokasi peneluran secara berpasangan. Menurut Jones et al. (1995), tempat bertelur burung maleo bukan merupakan teritorinya dalam mencari makan (feeding territory). Maleo mencari makan di hutan tropis dataran rendah. Diduga pola penyebaran maleo di TNLL berbentuk acak, mengingat ketersediaan pakan bagi maleo di TNLL masih cukup melimpah.

Dokumen terkait