PENDUGAAN POPULASI, PREFERENSI HABITAT
PENELURAN DAN POLA SEBARAN MALEO
(
Macrocephalon maleo
Sal Muller 1846)
BERDASARKAN KEBERADAAN SARANG
DI KAWASAN TAMAN NASIONAL LORE LINDU
KABUPATEN DONGGALA
PROPINSI SULAWESI TENGAH
LINIKO MEKHRADA LABAN
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN
Population, Habitat Preferential, and Dispersion Pattern of Maleo (Macrocephalon maleo Sal Muller 1846) due to Nesting Pit Existence
in Lore Lindu National Park, Donggala Central Sulawesi
By : Laban, Liniko Mekhrada Advisor : Kartono, Agus Priyono Ir. M. Si.
ABSTRACT
Maleo is one of the unique, rare and endemic megapode species in Sulawesi. This species is severely threatened by habitat fragmentation and over exploitation of it eggs. The most important component for their habitat is nesting ground, because maleo do not incubate their egg by themselves but bury it in the deep soil which has heat from the sun or geothermal activity.
This reaserch had been done in Lore Lindu National Park (LLNP) Central Sulawesi from April-June 2003. The nesting pit data was collected with line transect and point of abundance method. It was aim to (1) estimate the population and density of maleo by the existence of their nesting pit using nest count method, (2) determine maleos preferential habitat for their nesting ground using Neu indeks method, and (3) to find out the patern of their nesting pit dispersion using indeks of dispersion method.
Maleo at LLNP use heat from geothermal activity to hatch their egg.There were 6 different type of habitat use by maleo in LLNP to bury their egg, which are (1) secondary forest habitat (HS), (2) coppice habitat (SB), (3) clump and bush habitat (SP), (4) river banks habitat (SS), (5) bamboo plantation habitat (TB), and (6) cacao plantation habitat (TC). The result showed population in each habitat type were: 487,10 ± 62,38 ind. (HS), 471,14 ± 122,78 ind. (SB), 1379,25 ± 114,64 ind. (SP), 1425,70 ± 137,67 ind. (SS), 524,88 ± 57,98 ind. (TB), and 266,37 ± 107,91 ind. (TC). Density in each habitat type were: 252,38 ± 32,32 ind/ha (HS), 161,90 ± 42,19 ind/ha (SB), 188,68 ± 15,68 ind/ha (SP), 149,76 ± 14,46 ind/ha (SS), 237,50 ± 26,23 ind/ha (TB), 214,81 ± 87,03 ind/ha (TC). Maleo seems have preference to selected habitat type. If sorted according to an index value of habitat election the result were: HS ( w=1,34), TB ( w=1,28), TC ( w=1,17), SP ( w=1,04), SB ( w=0,94) and also SS ( w=0,82). Examination to index election of habitat require to be conducted using test of chi-square. Result of examination show value λ2 equal to 15,076 and λ20,05 equal to 11,071, it meant there are
election to selected habitat type for maleo to lay eggs. Pattern of dispersion was determined by the amount of sample unit found. The analysis result showed a clumped dispersion pattern at every type of habitat.
RINGKASAN
Liniko Mekhrada Laban. E03499033. Pendugaan Populasi, Preferensi Habitat
Peneluran dan Pola Sebaran Maleo (Macrocephalon maleo Sal Muller 1846)
Berdasarkan Keberadaan Sarang di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah. (Dibimbing oleh Ir. Agus Priyono Kartono, M. Si)
Populasi maleo sebagai salah satu burung yang unik, langka dan endemik
di Sulawesi terancam akibat kerusakan habitat serta eksploitasi terhadap daging
dan telur oleh masyarakat. Komponen habitat yang terpenting bagi maleo adalah
sarang (nesting pit) pada lokasi peneluran (nesting ground), mengingat maleo
tidak mengerami sendiri telurnya melainkan memendamnya di dalam tanah.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menduga kepadatan populasi maleo,
menentukan preferensi maleo terhadap tipe habitat pada lokasi peneluran dan
pola sebaran maleo berdasarkan keberadaan sarang.
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL)
Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah selama kurang lebih 3 bulan
yaitu dari bulan April hingga Juni 2003. Pendugaan populasi maleo didasarkan
atas inventarisasi terhadap lubang sarang pengeraman telur dengan
menggunakan kombinasi metode transek garis (line transect) dan titik
pengamatan (point of abundance). Penarikan contoh pada lokasi penelitian
dilakukan secara systematic sampling with random start, dengan pertimbangan
tidak adanya informasi pendahuluan tentang luas dari setiap tipe vegetasi hutan
di lokasi penelitian. Lokasi tempat bertelur maleo di TNLL beserta areal
pendukung terdapat di 6 tipe habitat dengan luasan yang berbeda, yaitu (1)
hutan sekunder, (2) sempadan sungai, (3) semak belukar, (4) tanaman bambu,
(5) tanaman coklat, (6) semak dan perdu.
Hasil analisis data terhadap jumlah sarang maleo menghasilkan dugaan
kepadatan populasi di (1) habitat hutan sekunder sebesar 252,38 ± 32,32
ekor/ha, (2) semak belukar 161,90 ± 42,19 ekor/ha, (3) semak dan perdu 188,68
± 15,68 ekor/ha, (4) sempadan sungai 149,76 ± 14,46 ekor/ha, (5) tanaman
bambu 237,50 ± 26,23 ekor/ha,dan (6) tanaman coklat 214,81 ± 87,03 ekor/ha.
Dugaan populasi total maleo di TNLL sebesar 4554,73 ± 8,55 ekor dengan
kepadatan 181,32 ± 0,34 ekor/ha. Hasil tersebut adalah dugaan populasi dan
kepadatan maleo pada kelompok kelas umur dewasa dengan perbandingan
Populasi dan perbandingan jenis kelamin pada kelas umur anak dan muda
sangat sulit diketahui dari jumlah dan keberadaan sarang.
Hasil pengujian terhadap 6 tipe habitat yang digunakan maleo sebagai
lokasi peneluran, menunjukkan bahwa burung maleo memiliki preferensi
terhadap tipe habitat tertentu. Menurut Bibby et al. (1998), jika nilai indeks
pemilihan habitat lebih dari 1 (w>1), maka tipe habitat yang bersangkutan
disukai, sebaliknya jika kurang dari 1 (w<1) maka tipe habitat akan dihindari. Bila
diurutkan menurut besarnya nilai indeks pemilihan habitat, tampak jelas bahwa
tipe habitat yang paling disukai oleh burung maleo di kawasan TNLL
berturut-turut adalah (1) habitat hutan sekunder (w=1,34), (2) tanaman bambu (w=1,28),
(3) tanaman coklat (w=1,17), (4) semak dan perdu (w=1,04), (5) semak belukar
(w=0,94), serta (6) sempadan sungai (w=0,82). Pengujian terhadap indeks
pemilihan habitat perlu dilakukan menggunakan uji chi-square (λ2hit) dengan
tujuan untuk mengetahui ada tidaknya pemilihan atas tipe habitat tertentu.
Kriteria uji yang digunakan adalah jika λ2hit≤λ 2
0,05, maka tidak terdapat pemilihan
habitat dan jika λ2hit > λ20,05, maka terdapat pemilihan habitat. Hasil pengujian
menunjukkan nilai λ2
hit sebesar 15,076 dan λ20,05 sebesar 11,071, maka terdapat
pemilihan terhadap tipe habitat tertentu bagi maleo untuk digunakan sebagai
lokasi peneluran.
Connell (1963) menyatakan bahwa pola sebaran merupakan karakteristik
yang penting dari komunitas ekologi. Pola ini merupakan salah satu sifat dasar
dari suatu kelompok organisme kehidupan. Pola sebaran ditentukan pada jumlah
unit contoh yang ditemukan pada masing-masing tipe habitat. Hasil analisis data
dengan menggunakan uji Chi-square dan uji statistik menghasilkan pola sebaran
PENDUGAAN POPULASI, PREFERENSI HABITAT
PENELURAN DAN POLA SEBARAN MALEO
(
Macrocephalon maleo
Sal Muller 1846)
BERDASARKAN KEBERADAAN SARANG
DI KAWASAN TAMAN NASIONAL LORE LINDU
KABUPATEN DONGGALA
PROPINSI SULAWESI TENGAH
LINIKO MEKHRADA LABAN
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN
Judul Penelitian : PENDUGAAN POPULASI, PREFERENSI HABITAT PENELURAN DAN POLA SEBARAN MALEO (Macrocephalon
maleo Sal Muller 1846) BERDASARKAN KEBERADAAN
SARANG DI KAWASAN TAMAN NASIONAL LORE LINDU KABUPATEN DONGGALA PROPINSI SULAWESI TENGAH.
Nama Mahasiswa : LINIKO MEKHRADA LABAN
NRP : E03499033
Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Disetujui
Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si.
Pembimbing
Diketahui
Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 30 Mei 1981
dari pasangan ayah Banjar Yulianto Laban dan ibu Gagarini
Rustiati. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara.
Pendidikan awal penulis dimulai pada tahun 1986 di Taman
Kanak-kanak Kuncung Baciro Yogyakarta. Penulis menyelesaikan
sekolah dasar di SD Katolik Kanisius Baciro Yogyakarta pada tahun 1993, lalu
melanjutkan ke sekolah menengah pertama di SMPN 6 Bogor, lulus pada tahun
1996. Tahun 1999 penulis menyelesaikan sekolah menengah atas di SMAN 5
Bogor dan diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI
Selama masa perkuliahan di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan,
penulis aktif dalam keanggotaan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya
Hutan (HIMAKOVA) dan Kelompok Pemerhati Goa (KPG) Hira. Praktek
Pengenalan dan Pengolahan Hutan (P3H) dijalani pada tahun 2002 dengan
lokasi Cagar Alam Leuweung Sancang, Taman Wisata Alam Gunung
Papandayan, KPH Ciamis dan BKPH Banjar Selatan. Pada tahun berikutnya
penulis mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) di HPH PT. International Timber
Corporation Indonesia (ITCI) Kartika Utama, Propinsi Kalimantan Timur.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
pada Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian berjudul
“Pendugaan Populasi, Preferensi Habitat Peneluran dan Pola Sebaran Maleo
(Macrocephalon maleo Sal Muller 1846) Berdasarkan Keberadaan Sarang di
Kawasan Taman Nasional Lore Lindu Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis sampaikan kepada Allah dalam Yesus Kristus yang
telah memberikan kesehatan dan ketabahan kepada saya dalam melakukan
penelitian serta penulisan skripsi berjudul “Pendugaan Populasi, Preferensi
Habitat Peneluran dan Pola Sebaran Maleo (Macrocephalon maleo Sal Muller
1846) Berdasarkan Keberadaan Sarang di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu
Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah”. Dengan selesainya skripsi ini,
penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Orang tua dan adik-adikku atas segala perhatian, doa, kesabaran dan
dukungan mereka yang senantiasa bersama penulis.
2. Ir. Agus Priyono Kartono, M. Si selaku pembimbing yang telah memberikan
pengertian dan motivasi bagi penulis.
3. Dra. Sri Rahayu, M. Si dan Ir. Trisna Priadi, M. Eng. Sc selaku penguji yang
telah memberikan masukan serta koreksi terhadap hasil penelitian ini.
4. Pimpinan IPB, jajaran pimpinan dan staf Fakultas Kehutanan yang telah
memberikan bekal ilmu selama penulis menempuh pendidikan.
5. Pihak Balai Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah yang telah
memberikan ijin dan bantuan yang tak ternilai sehingga penelitian ini dapat
berjalan sesuai dengan waktunya.
6. Lembaga Pecinta Alam Awam Green dan Yayasan Jambata atas seluruh
bantuan mental, moral dan material
7. Bapak Ali Kamisi beserta warga desa Pakuli dan Saluki atas kerjasama yang
telah terjalin dengan indah selama ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan yang setimpal atas
jasa dan budi baik mereka. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka harapan atas saran dan kritik yang konstruktif masih
dibutuhkan demi berkembangnya ilmu dan teknologi khususnya dalam bidang
konservasi sumberdaya hayati.
Bogor, Januari 2007
Penulis
KATA PENGANTAR
Salah satu alasan perlindungan kawasan konservasi seperti taman
nasional adalah keberadaan fenomena alam, atau hidupan liar (flora dan fauna)
yang dilindungi karena nilai kelangkaan atau eksistensinya yang terancam
punah. Hampir di setiap taman nasional terdapat satwa-satwa yang terancam
keberadaannya akibat faktor-faktor alam seperti perubahan iklim atau ekosistem
maupun faktor-faktor manusia, seperti perburuan, perladangan, penggembalaan
dan perambahan.
Burung maleo merupakan salah satu fauna endemik Sulawesi yang sangat
unik dan banyak menarik perhatian. Penyebarannya relatif terbatas pada
beberapa kawasan konservasi yang memiliki kesesuaian habitat bagi
kelangsungan hidup maleo. Dari beberapa penelitian yang telah lebih dahulu
dilakukan, diketahui bahwa satwa ini sekarang sedang mengalami penurunan
populasi akibat pengurangan dan fragmentasi habitat, serta eksploitasi terhadap
telurnya yang memiliki ukuran rata-rata 5 kali telur ayam.
Melalui penelitian berjudul “Pendugaan Populasi, Preferensi Habitat
Peneluran dan Pola Sebaran Maleo (Macrocephalon maleo Sal Muller 1846)
Berdasarkan Keberadaan Sarang di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu
Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah” ini diharapkan mampu
memberikan sumbangan bagi segala upaya untuk menjaga keberadaan burung
maleo sebagai sumber daya hayati yang dapat dimanfaatkan guna kesejahteraan
manusia
Bogor, Januari 2007
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI... i
DAFTAR TABEL... iii
DAFTAR GAMBAR... iv
DAFTAR LAMPIRAN... v
I. PENDAHULUAN... 1
1. 1. Latar Belakang... 1
1. 2. Tujuan Penelitian... 2
1. 3. Manfaat Penelitian... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA... 3
2. 1. Taksonomi... 3
2. 2. Morfologi... 3
2. 3. Populasi dan Penyebaran... 4
2. 4. Habitat... 4
2. 5. Perkembangbiakan... 7
2. 6. Perilaku... 7
2. 6. 1. Makan... 7
2. 6. 2. Reproduksi... 8
2. 6. 3. Respon Terhadap Gangguan... 10
2. 6. 4. Interaksi Sosial... 10
IIII. KONDISI UMUM TAMAN NASIONAL LORE LINDU... 12
3. 1. Sejarah Perkembangan Kawasan TNLL... 12
3. 2. Kondisi Fisik Kawasan... 12
3. 2. 1. Letak... 12
3. 2. 2. Topografi dan tanah... 12
3. 2. 3. Iklim... 13
3. 2. 4. Hidrologi... 13
3. 3. Kondisi Biotik... 13
3. 3. 1. Vegetasi... 13
3. 3. 2. Satwaliar... 14
3. 4. Masyarakat... 14
3. 5. Obyek wisata... 15
IV. METODOLOGI PENELITIAN... 16
4. 1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 16
4. 2. Alat Penelitian... 17
4. 3. Jenis Data yang Dikumpulkan... 17
4. 4. Metode Pengumpulan Data... 17
4. 4. 1. Data Primer... 17
4. 4. 2. Data Sekunder... 18
4. 5. Metode Pengolahan dan Analisis Data... 18
4. 5. 1. Kondisi Umum Habitat Peneluran Maleo... 18
4. 5. 1. Pendugaan Populasi Maleo... 18
4. 5. 2. Preferensi Habitat Peneluran Maleo... 21
Halaman
V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 24
5. 1. Kondisi Umum Habitat Peneluran Maleo... 24
5. 2. Pendugaan Populasi Maleo... 26
5. 3. Preferensi Habitat Peneluran Maleo... 28
5. 4. Pola Sebaran Spasial Sarang Maleo... 30
VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 32
6. 1. Kesimpulan... 32
6. 2. Saran... 32
DAFTAR PUSTAKA... 33
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Jumlah Unit Contoh Berdasarkan Luas Secara Proposional... 18
2 Luasan masing-masing tipe habitat dan unit contoh berdasarkan
luas secara proposional pada areal penelitian... 24
3 Dugaan populasi dan kepadatan maleo berdasarkan jumlah sarang pada masing-masing tipe habitat di kawasan TNLL... 27
4 Proporsi luas areal pengamatan, jumlah sarang yang ditemukan
dan indeks pemilihan habitat peneluran maleo... 28
5 Jumlah sarang teramati dan harapan sarang maleo... 29
6 Analisis pola sebaran horizontal sarang maleo pada
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Peta penyebaran lokasi peneluran maleo dalam
kawasan TNLL... 16
2. Inventarisasi lubang sarang maleo dengan kombinasi metode
transek garis dan titik pengamatan... 17
3. Kepadatan maleo pada masing-masing tipe habitat
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Rekapitulasi hasil pengamatan terhadap keberadaan
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Indonesia menduduki peringkat keempat negara-negara yang kaya akan
spesies burung setelah Columbia, Zaire dan Brasilia serta menduduki peringkat
pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies endemik. Di Indonesia dijumpai
1539 spesies burung yang merupakan 17% dari seluruh spesies burung di dunia,
dan 381 spesies di antaranya merupakan spesies burung endemik Indonesia
(Andrew 1994).
Kekayaan jenis burung yang tinggi tersebut disebabkan oleh keberadaan
hutan hujan tropis dan letak Indonesia pada dua wilayah penyebaran fauna
besar yaitu wilayah Australia dan wilayah Oriental. Sulawesi merupakan salah
satu pulau di Indonesia yang memiliki berbagai jenis hewan menarik,
membentang di daerah transisi biogeographic yang disebut Wallacea, diantara
daerah Oriental bagian barat dan daerah Australo-Papua di bagian timur (Whitten
et al. 1987). Dalam zona Wallacea, Sulawesi merupakan yang terkaya, paling
banyak jenis endemiknya dan dunia burung yang sangat berbeda dengan tempat
lain (Coates et al. 1997).
Maleo (Macrocephalon maleo Sal Muller 1846) merupakan salah satu jenis
burung endemik Sulawesi yang sangat unik dan banyak menarik perhatian.
Spesies ini telah dimasukkan ke dalam kategori satwa yang terancam punah
akibat semakin menurunnya populasi dan banyak hilangnya habitat peneluran
(Collar et al. 1994).
Burung maleo tergolong jenis satwaliar langka yang dilindungi di Indonesia.
Berdasarkan SK Mentan No. 421/Kpts/UM/8/1970 dan SK Mentan No.
90/Kpts/UM/2/1977. Jenis ini juga dilindungi berdasarkan UU RI No. 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, SK
Menhut No. 301/Kpts-II/1991 dan No. 882/Kpts-II/1992 serta PP No. 7 tahun
1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Penyebaran maleo di Sulawesi relatif luas, terutama di Sulawesi Utara dan
Sulawesi Tengah. Salah satu kawasan konservasi yang dikenal sebagai habitat
maleo adalah kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) di Kabupaten
Donggala Propinsi Sulawesi Tengah. Populasi maleo di TNLL terancam akibat
Komponen habitat yang terpenting bagi maleo adalah habitat penelurannya
karena maleo tidak mengerami sendiri telurnya melainkan memendamnya di
dalam tanah pada kedalaman tertentu. Keberadaan sarang maleo yang semakin
berkurang diduga sangat dipengaruhi oleh rusaknya kondisi dan banyak
hilangnya habitat peneluran yang sesuai untuk melakukan regenerasi. Penelitian
mengenai keberadaan dan jumlah sarang maleo pada setiap tipe habitat sangat
perlu dilakukan karena hasil yang diperoleh dapat digunakan untuk menduga
populasi, preferensi habitat dan pola sebaran maleo sebagai salah satu bahan
pertimbangan dalam upaya konservasi satwa tersebut.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian mengenai pendugaan populasi, preferensi habitat peneluran dan
sebaran spasial maleo berdasarkan keberadaan sarang di kawasan TNLL
Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah ini bertujuan untuk:
1. Menduga populasi maleo di kawasan TNLL
2. Menentukan preferensi maleo terhadap tipe habitat peneluran di TNLL
3. Menentukan pola sebaran spasial sarang maleo di TNLL
1.3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk membangun suatu pemahaman mengenai
status dan ekologi maleo. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
data dan informasi tentang populasi, habitat dan penyebaran maleo di kawasan
TNLL yang berguna dalam menentukan kebijakan pengelolaan untuk pelestarian
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Taksonomi
Burung maleo (Macrocephalon maleo Sal Muller 1846) oleh Grzimek
(1972) diklasifikasikan ke dalam: Klas Aves, Sub Klas Neonirthes, Ordo
Galliformes, Sub Ordo Galli, Famili Megapodidae, Sub Famili Crocoide, Genus
Macrocephalon, spesies Macrocephalon maleo Sal Muller 1846. Menurut Jones
et al. (1995), PPA (1994) dan del Hoyo et al. (1994), burung maleo dikenal
dengan nama daerah senkawor, sengkawur, songkel, maleosan (Minahasa),
saungke (Bintauna), tuanggoi (Bolaang Mongondow), tuangoho (Bolaang Itang),
bagoho (Suwawa), mumungo, panua (Gorontalo), molo (Sulawesi Tenggara).
Jenis ini dikenal pula dengan nama asing megapode maleo (Perancis),
hammerhuhn (Jerman), talegalo maleo (Spanyol), maleo fowl, gray’s brush
turkey (Inggris).
2.2. Morfologi
Jones et al. (1995) menyatakan bahwa maleo adalah hewan yang berjalan
seperti ayam, lebih banyak di darat (tidak terbang seperti kebanyakan burung
lain), bila sedang terbang gerakan sayapnya keras. Hal ini disebabkan bobot
tubuhnya yang cukup besar dibandingkan dengan lebar sayap, sehingga untuk
mencapai jarak relatif pendek harus hinggap dulu pada cabang-cabang pohon
yang satu ke cabang pohon lainnya.
Burung maleo termasuk spesies burrow nester, yaitu burung pembuat
lubang atau liang. Besarnya hampir sama dengan ayam betina piaraan, berbobot
1,6 kg, dengan panjang sayap jantan 292 mm dan betina 302 mm (PPA 1994)
Anak maleo yang baru menetas mempunyai berat 109-169 gram (Argelo 1991).
Dinyatakan juga umur burung maleo bisa mencapai 25-30 tahun dan mencapai
usia dewasa produktivitas setelah 4 tahun. Menurut Dekker (1990), di dalam
penangkaran, maleo dapat mencapai umur 20 tahun lebih.
Warna burung maleo dewasa, baik jantan maupun betina umumnya sama,
yaitu mengkilap di bagian sayap dan ekor. Pada bagian dada berwarna kuning
bercampur putih, bila dilihat dari dekat dada betina berwarna sawo matang. Pada
bagian kepalanya terdapat benjolan besar menyerupai helm (mahkota) berwarna
kelabu kehitam-hitaman. Mahkota pada jantan lebih besar dibandingkan dengan
Mata burung maleo berwarna merah cerah. Paruhnya besar, kokoh, dan
lancip, berwarna hitam dengan bagian ujungnya merah kekuning-kuningan.
Paruh yang besar berguna untuk membantu memecah makanannya yang keras
dan besar. Burung maleo mempunyai pengaturan suhu tubuh yang tetap
(homoithermal) dan kelengkapan bulu badan yang cukup tebal (Nurhayati 1986,
Santoso 1990).
Kaki burung maleo yang besar dan kuat dipergunakan untuk menggali
lubang guna keperluan bertelur. Panjang kaki burung ini mencapai ± 25 cm,
jari-jari cakar memiliki panjang sekitar 8-5 cm (Hendro 1974). Ukuran telurnya
kira-kira sama dengan 5 telur ayam kampung. Dalam keadaan segar telur maleo
berwarna merah jambu dan lama-kelamaan berubah menjadi kecoklat-coklatan
(Hendro 1974, Nurhayati 1986, Santoso 1990).
2.3. Populasi dan Penyebaran
Sampai saat ini diketahui burung maleo hanya hidup di pulau Sulawesi dan
menurut hasil penelitian paling banyak ditemukan di daerah Sulawesi Tengah
dan Sulawesi Utara (Santoso 1990). Pada tahun 1978 populasi maleo
diperkirakan 5.000-10.000 ekor, namun angka ini didasarkan pada produksi telur
tahunan yaitu 30 butir per burung (MacKinnon 1978). Produktivitas sekarang
diperkirakan 8-12 butir telur per burung (Dekker 1990). Sebagai perbandingan
pada tahun 1947 Uno (1949) dalam Gunawan (2000) mencatat perolehan telur
burung maleo sebanyak 9.705 butir di Cagar Alam Panua, Sulawesi Utara
dengan jumlah terbanyak diperoleh pada bulan April yakni 1.596 butir dan paling
sedikit pada bulan Juli yakni 82 butir.
2.4. Habitat
Burung maleo hidup secara liar terutama di dalam belukar mulai dari pantai
datar yang panas dan terbuka hingga ke hutan pegunungan yang lebat dengan
batas ketinggian yang belum jelas (Nurhayati 1986). Di hutan pantai, sebaran
maleo hampir seluruhnya terkonsentrasi di habitat tempat bertelur, selain itu juga
digunakan sebagai tempat melakukan aktivitas mencari makan dan istirahat
(Wiriosoepartho 1980).
Burung maleo umumnya bertelur di areal pantai yang tidak terlalu lebat
hutannya dan letaknya agak tinggi dari garis pantai, pada pasir yang tidak padat
dan bebas dari batu-batuan. Persyaratan lain yang penting adalah adanya
et al. (1995) lubang pengeraman terletak di tanah vulkanik dan pantai yang
terekspos matahari, tepi danau, tepi sungai dan bahkan jalan berdebu sepanjang
tepi pantai. Luas lubang sangat bervariasi dalam ukuran dan kedalaman
tergantung substrat dan temperatur tanah. Luas lubang dapat mencapai 300 cm2
dengan kedalaman tempat meletakkan telur lebih dari 100 cm. Masa inkubasi
60-80 hari pada kondisi temperatur tanah 320-390 C (del Hoyo et al. 1994).
Pemilihan tempat bertelur oleh burung maleo dilakukan dengan cara
berorientasi sambil mematuk-matukkan paruhnya ke permukaan tanah. Biasanya
tempat bertelur dipilih pada areal yang lebih banyak penyinaran matahari.
Demikian pula dengan keadaan tekstur tanah, karena hal ini erat hubungannya
dengan lamanya penggalian lubang dan keadaan posisi telur di dalam lubang
(Wiriosoepartho 1979).
Kedalaman lubang sarang pengeraman telur burung maleo ditentukan oleh
kuatnya pengaruh dari sumber panas. Apabila pengaruh dari sumber panas bumi
cukup kuat maka kedalaman lubang pengeraman tidak terlalu dalam antara
30-50 cm, tetapi bila panas bumi kurang maka lubang digali cukup dalam antara
80-100cm. Luas lubang sarang pengeraman telur dipengaruhi oleh kedalaman
lubang dan tekstur tanah, semakin dalam lubang yang digali semakin bertambah
luasnya (Jones et al. 1995).
Berdasarkan jarak antar sarang terdapat dua jenis sarang yaitu: (1) sarang
tunggal dan (2) sarang komunal (communal). Sarang tunggal adalah sarang yang
letaknya sendiri-sendiri, sedangkan sarang komunal adalah beberapa sarang
yang terletak bersama-sama dalam suatu lokasi yang merupakan areal
bersarang bagi maleo. Sarang komunal bukanlah sebuah sarang besar yang
dipakai bersama-sama oleh beberapa induk dalam waktu yang bersamaan. Di
dalam sarang komunal setiap induk tetap menggunakan sarangnya
sendiri-sendiri. Sarang komunal terbentuk akibat terbatasnya areal yang cocok (suitable)
untuk membuat sarang (del Hoyo et al. 1994)
Menurut Gunawan (2000), terdapat tujuh lokasi yang sering digunakan
maleo sebagai sarang pengeraman telur (nesting pit), yakni:
1. Sarang pengeraman di tempat terbuka, adalah sarang yang dibuat di tempat
yang langsung mendapat sinar matahari sepanjang siang, umumnya
ditemukan di habitat pantai dimana sumber panas pengeraman berasal dari
2. Sarang pengeraman di bawah naungan tajuk, adalah sarang yang dibuat di
bawah tajuk dengan fungsi sebagai pelindung sinar matahari dan hujan. Tipe
sarang ini umum dijumpai di habitat tempat bertelur yang bersumber panas
bumi (geothermal). Tajuk bambu atau rumpun rotan menjadi naungan yang
disukai maleo untuk bersarang.
3. Sarang pengeraman di bawah lindungan pohon tumbang, adalah sarang
yang dibuat di bawah batang pohon tumbang. Maleo cenderung memilih
pohon dengan diameter batang yang mampu melindungi sarang dari sinar
matahari, hujan dan longsor.
4. Sarang pengeraman di bawah naungan tebing atau batu, adalah sarang
yang dibuat di samping batu-batu yang miring, di celah-celah batu atau di
samping tebing.
5. Sarang pengeraman di dalam goa, adalah sarang yang dibuat di dalam
lubang-lubang goa di daerah karst sehingga sarang tersebut terlindung dari
sinar matahari dan hujan.
6. Sarang pengeraman diantara perakaran pohon, adalah sarang yang dibuat
dengan salah satu sisinya menempel pada sistem perakaran tumbuhan
sehingga pada sisi tersebut terhindar dari longsor.
7. Sarang pengeraman diantara banir pohon adalah sarang yang dibuat di
sela-sela banir atau sistem perakaran yang rumit sehingga sarang tersebut
terhindar dari satwa predator.
MacKinnon (1978) membagi tipe sarang pengeraman telur menjadi 3
berdasarkan naungan tajuk vegatasi yaitu: (1) sarang di tempat yang ternaungi
tajuk seluruhnya, (2) sarang di tempat yang ternaungi tajuk sebagian, dan (3)
sarang di tempat yang tidak ternaungi tajuk seluruhnya. Sedangkan Mallo (1998)
mengelompokkan sarang pengeraman telur maleo yang bersumber panas
geothermal ke dalam 4 tipe berdasarkan letaknya yaitu: (1) di tanah datar, (2) di
tanah miring, (3) di tepi sungai, dan (4) menempel pada dinding tebing.
Berdasarkan tipe sarang pengeraman, dapat diketahui bahwa burung
maleo membuat sarangnya sedemikian rupa sehingga dapat memberikan fungsi
pengeraman dan perlindungan yang efektif bagi telur serta kemudahan bagi anak
maleo yang baru menetas untuk dapat mencapai permukaan dengan selamat
2.5. Perkembangbiakan
Musim bertelur burung maleo di berbagai tempat bervariasi dari bulan ke
bulan (Jones et al. 1995). Masa dimana maleo lebih banyak bertelur diperkirakan
sebagai puncak musim bertelur. Jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor induk
maleo tidak diketahui secara pasti tetapi diduga burung maleo bertelur setiap
12-13 hari sekali atau sekitar 30 telur per tahun (MacKinnon 1978). Menurut Dekker
(1990) produksi telur burung maleo berkisar antara 8-12 butir per tahun.
Guilemard (1886) dalam Jones et al. (1995) memperkirakan jumlah telur per
induk berkisar antara 16-18 butir per tahun berdasarkan pemeriksaan ovari.
Di Sulawesi Utara pada bulan November sampai Januari produksi telur
lebih banyak 3 sampai 4 kali dari bulan-bulan yang lainnya. Peningkatan yang
nyata ini terjadi karena pada bulan-bulan tersebut pohon-pohon penghasil bahan
pakan maleo berbuah sehingga produksi telur meningkat tajam dibanding
bulan-bulan saat pohon belum berbuah (Nurhayati 1986).
Berat telur berkisar antara 178-267 gr dengan panjang 92,1-112,6 mm dan
diameter 57,6-65,5 mm (Dekker & Brom 1990). Masa pengeraman tergantung
pada temperatur tanah yaitu berkisar antara 62-85 hari (Dekker 1990). Apabila
tidak busuk, pecah, dimakan predator atau diambil manusia, maka telur maleo
akan menetas. Anak maleo yang baru menetas akan menggali pasir untuk keluar
dari lubang. Anak maleo memerlukan waktu 1-2 hari untuk memecah kulit telur
dan menggali lubang untuk keluar (MacKinnon 1978).
2.6. Perilaku 2.6.1. Makan
Menurut Jones et al. (1995), Megapodes mencari makan dengan cara
menggaruk dan mencakar serasah di permukaan tanah dan memakan makanan
yang kebetulan ditemukannya. Berbagai jenis makanan pernah dilaporkan, baik
bagian dari tanaman maupun hewan. Dua jenis makanan yang paling disebut
adalah invertebrata (meliputi berbagai jenis serangga, siput darat dan siput air
tawar) dan material tumbuhan (terutama buah dan biji).
Menurut Wiriosoepartho (1979), berdasarkan pembedahan temboloknya,
burung maleo selain makan buah-buahan dan biji-bijian, juga makan serangga
hutan, siput dan kepiting. Buah yang sering dimakan adalah buah pohon rao
(Dracontomelon mangiferum), Macaranga rhizinoides dan Ficus spp. Dalam
penangkaran di kebun binatang Ragunan, burung maleo diberi makan gabah,
Pada burung maleo, yang jantan memberikan makanan kepada yang
betina. Bagi jantan, kebutuhan nutrisi sangat nyata untuk memberi masukan
energi agar dapat melakukan pekerjaannya membuat, menjaga dan
mempertahankan tempat pengeraman telur. Lokasi tempat bertelur juga
mempengaruhi aktivitas mencari makan. Tempat bertelur dengan sumber panas
vulkanik (geothermal) beberapa diantaranya jauh dari tempat mencari makan
yang layak, oleh karena itu burung maleo hanya datang secara singkat ke lokasi
bertelur, segera setelah bertelur kembali kedaerah tempat mencari makan di
hutan terdekat (Jones et al. 1995)
Burung maleo aktif mencari makan mulai dari matahari terbit (± 05.00)
sampai dengan matahari terbenam. Hutan dataran rendah sangat penting bagi
burung maleo. Di komplek hutan dataran rendah di Cagar Alam Panua sering
terlihat banyak burung maleo mencari makan. Di tempat tersebut banyak
terdapat jenis-jenis pohon yang menghasilkan buah dan biji yang disukai oleh
maleo. Jenis-jenis pohon yang mendominasi lokasi tersebut antara lain Drypetes
sp, Terminalia coletica, Pterospermum javanicum dan Bridelia monaica. Pada
hutan dataran rendah ini jarang terlihat burung maleo langsung menempel di
pohon, tetapi lebih banyak memunguti buah dan biji yang telah jatuh di
permukaan tanah. Kebiasaan ini terlihat dengan sering dijumpainya maleo
berjalan di tanah sambil mematuk-matuk makanan yang jatuh (Wiriosoepartho
1980).
2.6.2. Reproduksi
Burung maleo tampaknya bersifat monogami dan memelihara ikatan
dengan pasangannya sepanjang tahun (del Hoyo et al. 1994). Dalam
penangkaran, kopulasi diawali dengan jantan mencakar-cakar tanah dengan
keras dan penuh semangat sambil melemparkan material pasir dan daun ke
udara kemudian diselingi dengan gerakan melingkar sambil tetap mencakar
tanah. Setelah beberapa saat maju kemudian kembali mundur sambil mencakar
lagi, lalu ujung sayap jantan dihadapkan ke betina, ekornya agak naik dan
dadanya menegak.
Betina membiarkan jantan ketika berjalan melewatinya tetapi kemudian ia
sendiri mulai mencakar tanah dengan semangat untuk beberapa saat dan diikuti
oleh jantan, selanjutnya jantan mendekati betina yang telah merendahkan perut
dan ekornya ke tanah, jantan menaiki betina dan terjadilah kopulasi yang hanya
mencakar-cakar tanah dan mengitari betina sampai terjadi kopulasi menghabiskan waktu
setidaknya 4 menit. Setelah kopulasi, jantan mengambilkan makanan dari tanah
dan memberikannya kepada betina pasangannya.
Pada habitat aslinya, bila akan bertelur burung maleo akan selalu datang
bersamaan, walaupun kadang-kadang betina hanya terlihat sendirian saja. Pada
musim bertelur, maleo aktif sekitar jam 05.00. Burung maleo mulai turun dari
tempat bertengger manuju tempat peneluran. Suara yang khas mengawali
kegiatan burung maleo pada hari tersebut, “auwurrr... auwerrr... auwerrr...“
sebagai tanda teritorinya. Setelah itu burung maleo mulai bergerak secara
berpasangan sambil bersuara tak henti-hentinya menuju tempat makan dan
minum. Dilanjutkan dengan pemilihan tempat bertelur yang biasanya dilakukan
oleh betina, sedangkan jantan hanya mengikuti dari belakang.
Bila tempat bertelur telah ditemukan, pasangan burung maleo akan
menggali lubang untuk bertelur.Pertama-tama betina melakukan penggalian
lubang dengan menggunakan kaki yang kuat, maka berhamburan pasir dan
kerikil dari lubang. Setelah betina lelah pekerjaan dilanjutkan oleh jantan. Betina
berganti tugas menjaga dan mengawasi keadaan sekelilingnya dari kemungkinan
adanya pemangsa yang berkeliaran. Penggalian ini dilakukan berulang-ulang
sampai kedalaman tertentu yang diangap sesuai untuk peletakkan telurnya.
Sesudah telur diletakkan, mereka menimbun kembali dengan pasir galiannya.
Setelah selesai menimbun dibuatlah sarang-sarang tipuan untuk mengelabui
pemangsa (Wiriosoepartho 1979).
Induk maleo membuat 3-4 lubang sarang palsu untuk mengelabui predator,
tetapi lubang ini sangat tidak efektif untuk mengelabui pencuri telur. Lubang
sarang palsu sangat berbeda dengan lubang sarang asli, lubang sarang palsu
dibuat dengan asal-asalan, seringkali hanya berupa cakaran-cakaran galian
tanpa ada penimbunan, sedangkan lubang sarang asli sangat jelas terdapat
timbunan yang rapi dan seringkali ada bekas-bekas jejak kaki atau kotoran.
Penggalian sarang berlangsung antara 1-2 jam, berbeda menurut lokasi
peneluran, tergantung pada tingkat kesulitan tanah digali, kedalaman sarang
yang diperlukan dan kondisi keamanan di sekitarnya. Pergantian penggalian
antara induk jantan dan betina dilakukan antara 15-20 menit, sambil menggali
sarang, kedua induk maleo secara teratur mengambil tanah dengan tonjolan di
2.6.3. Respon Terhadap Gangguan
Di habitat alamnya burung maleo selalu menyembunyikan diri di semak
belukar atau hutan apabila ada hal-hal yang dianggap membahayakan
keselamatannya. Pendengaran burung maleo kurang baik sehingga dapat
didekati bila memperhatikan arah angin dan posisi burung maleo (Santoso 1990).
Jika datang gangguan dari manusia atau hewan pemangsa, burung maleo
bersembunyi di bawah tegakan yang rapat atau bertengger di cabang
pepohonan yang paling tinggi. Pada waktu musim kemarau maleo lebih senang
bersembunyi di tempat yang teduh, begitu pula jika dalam keadaan hujan yang
lebat (Nurhayati 1986). Menurut Gunawan (1994), satwaliar yang menjadi
pemangsa (predator) burung maleo dan telurnya antara lain soa-soa
(Hydrosaurus amboinensis), biawak (Varanus sp), ular Phyton spp., babi hutan
(Sus spp.), burung elang dan anjing kampung (Canis familiaris) yang menjadi liar.
Apabila burung maleo terganggu sewaktu bertelur, mereka tidak akan
pernah kembali mengulang pekerjaan tersebut. Perasaan takut atau cemas
dengan kehadiran manusia atau pemangsa diekspresikan dengan gerakan yang
selalu curiga dan sesudah hinggap di cabang pohon selalu menggerak-gerakkan
ekornya ke atas dan ke bawah berulang-ulang (Wiriosoepartho 1979).
2.6.4. Interaksi Sosial
Burung maleo hidupnya selalu berpasangan dan kelihatannya seperti
pasangan setia dalam melakukan aktivitas hidupnya seperti makan, minum, tidur,
membuat sarang, dan berlindung. Jika bertengger di atas pohon kelihatannya
sangat mesra, cara bertenggernya sangat berdekatan seolah-olah berhimpitan.
Dengan posisi demikian dapat dijadikan sasaran yang menyenangkan bagi
pemburu (Nurhayati 1986).
Sifat burung maleo terhadap keturunannya adalah masa bodoh, karena
telurnya dibiarkan menetas sendiri dalam lingkungan alam tanpa dierami
(Nurhayati 1986). Setelah menetas anak burung maleo tersebut keluar
kepermukaan dari dalam timbunan pasir dengan menggali jalan sendiri,
menghadapi bahaya, dan langsung mencari makan untuk dirinya (Jones et al.
1995).
Menurut Gunawan (2000), selain untuk bertelur, habitat tempat bertelur
burung maleo juga merupakan arena untuk bersosialisasi dengan individu sejenis
yang lain, mereka berbaur satu sama lain sehingga tidak dapat lagi dibedakan
Antar individu tampaknya berkomunikasi dan melakukan interaksi dengan
individu dari pasangan lain. Sambil berjalan mondar-mandir antara jantan dan
betina mengeluarkan suara secara teratur dengan bunyi seperti mengerang yang
oleh Dekker (tanpa tahun) dalam Jones et al. (1995) digambarkan berbunyi
“mm-mm, mm-“mm-mm, mm-mm”. Ketika jantan dan betina terpisah karena terganggu,
jantan mengeluarkan suara khas seperti suara orang berkumur air di
tenggorokan yang berbunyi “kee-ourrrrrrrrrr” berulang-ulang. Suara ini
dimaksudkan untuk memberitahu pasangannya tentang posisinya.
Kadang-kadang tampak adanya pertengkaran dan usaha saling mengusir
antar individu dari pasangan lain dengan mengeluarkan bunyi “gak-gak-gak”
mirip suara bebek. Tingkah laku agresif terhadap pasangan lain di areal
peneluran terjadi ketika antara dua pasangan menggali sarang dengan jarak
berdekatan atau pasangan yang satu berusaha merebut sarang pasangan lain.
Tampaknya tingkah laku mengusir tersebut merupakan tingkah laku teritorial
dengan maksud menjaga teritori sarangnya dari gangguan pasangan lain. Teritori
yang dipertahankan sewaktu bertelur hanya mencakup areal dalam radius sekitar
III. KONDISI UMUM TAMAN NASIONAL LORE LINDU
3.1. Sejarah Perkembangan Kawasan TNLL
Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) resmi ditetapkan sebagai salah satu
taman nasional di Indonesia pada tanggal 23 Juni 1999 setelah mengalami
beberapa perubahan status kawasan dan pengelolaannya. Pada awalnya TNLL
merupakan penggabungan dari beberapa kawasan lindung meliputi: Suaka
Margasatwa Lore Kalamata (SK. Mentan No. 522/Kpts/Um/1973); Hutan Wisata
dan Hutan Lindung Danau Lindu (SK. Mentan No. 46/Kpts/Um/1978); dan Suaka
Margasatwa Lore Lindu (SK. Mentan No. 1012/Kpts/Um/1981). Dasar keputusan
penentapan kawasan tersebut sebagai TNLL adalah deklarasi penggabungan
kawasan lindung tersebut sebagai taman nasional pada waktu kongres taman
nasional sedunia di Denpasar Bali tahun 1982, melalui SK Mentan No.
736/Mentan/X/1982. Selanjutnya ditunjuk oleh Menteri Kehutanan melalui SK.
Menhut No.593/Kpts-II/1993 dengan luas 229.000 hektar.
Keputusan tersebut dijadikan dasar untuk melakukan tata batas definitif
dan dikukuhkan Menteri Kehutanan dan Perkebunan melalui SK. Menhutbun No.
464/Kpts-II/1999 tanggal 23 Juni 1999 dengan luas 217.991,18 hektar. Kawasan
TNLL memiliki nilai yang sangat tinggi, tidak hanya karena pesona alamnya yang
khas atau budaya masyarakat di sekitarnya yang unik, akan tetapi kawasan ini
juga memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi.
3.2. Kondisi Fisik Kawasan 3.2.1. Letak
Secara geografis TNLL terletak pada posisi koordinat 199°90’ - 120°16’ BT
dan 1°8’ - 1°3’ LS. Berdasarkan administratif pemerintahan terletak di dua
wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Donggala (Kecamatan Kulawi, Sigibiromaru,
Palolo) dan Kabupaten Poso (Kecamatan Lore Utara, Lore Selatan, Lore
Tengah) Propinsi Sulawesi Tengah. Di bagian utara TNLL dibatasi oleh dataran
Palolo, bagian timur oleh dataran Napu, bagian selatan dibatasi dataran Bada,
serta bagian barat oleh sungai Lariang dan hulu sungai Palu (lembah Kulawi).
3.2.2. Topografi dan Tanah
TNLL terletak pada ketinggian 200-2610 meter di atas permukaan laut,
puncak tertinggi adalah Gunung Tokosa/Rorekatimbu (2610 mdpl). Bentuk
curam. Lapisan tanah di daerah pegunungan umumnya berasal dari batuan
asam seperti gneisses, schists dan granit yang memiliki sifat peka terhadap
erosi. Formasi lakustrin banyak ditemukan pada danau di bagian timur kawasan
dangan bahan endapan dari campuran batuan sedimen, metamorfosa dan granit.
Bagian barat ditemukan formasi aluvium yang umumnya berbentuk kipas aluvial.
Sumber bahan aluvial ini berasal dari batuan metamorfosa dan granit. Jenis
tanah di TNLL bervariasi dari entisol, inseptisol, alfisol dan sebagian kecil ultisol.
3.2.3. Iklim
Menurut klasifikasi curah hujan Schmidt dan Fergusson, bagian utara
kawasan TNLL mempunyai tipe iklim C/D dengan curah hujan rata-rata tahunan
berkisar antara 855-1200 mm/tahun. Bagian timur bertipe iklim B dengan curah
hujan berkisar antara 344-1400 mm/tahun dan bagian barat bertipe iklim A
dengan curah hujan rata-rata tahunan 1200 mm/tahun. Secara keseluruhan
curah hujan di TNLL bervariasi dari 2000-3000 mm/tahun. Suhu berkisar antara
22°-34°C dengan kelembaban udara 98% dan kecepatan angin rata-rata 3,6
km/jam.
3.2.4. Hidrologi
TNLL mempunyai fungsi tangkapan air yang penting, didukung oleh dua
sungai besar yaitu sungai Gumbasa di bagian utara yang bergabung dengan
sungai Palu di bagian barat serta sungai Lariang di bagian timur dan selatan.
Fungsi hidrologis ini sangat besar manfaatnya bagi masyarakat sekitar kawasan
dan penduduk Sulawesi Tengah umumnya.
3.3. Kondisi Biotik 3.3.1. Vegetasi
TNLL memiliki tingkat keanekaragaman jenis vegetasi yang tinggi di pulau
Sulawesi. Diperkirakan 5000 spesies tumbuhan tinggi terdapat di dalamnya.
Flora di dalam TNLL umumnya diklasifikasikan ke dalam jenis-jenis vegetasi
utama berdasarkan ketinggian, meskipun bentuk lahan, topografi dan iklim juga
memegang peranan penting.
Pada ketinggian 500-1000 mdpl, hutan dataran rendah berkembang
dengan baik. Jenis-jenis yang dapat dijumpai antara lain: Mussaendopsis
beccariana, Dysoxylum sp., Ficus sp., Myristica spp., Caryota spp., Elmerilia
ovalis, Strychnos axillaris, Celtis sp., Pterospermum subpeltatum, Canangium
ketinggian 1000-1500 mdpl dijumpai jenis-jenis Castanopsis argentea,
Lithocarpus spp., Dacrydium falcifolia, Phyllocladus hypophyllus, Tristania sp.,
Calophyllum spp., Garcinia spp., serta berbagai jenis epifit, termasuk di
dalamnya puluhan spesies anggrek dan pakis yang tumbuh di dahan-dahan
pohon. Pada ketinggian di atas 1600 mdpl, kanopi pohon menjadi semakin
seragam dengan dominasi dari jenis Podocarpus neriifolia, Podocarpus
imbricatus dan Nepthenes sp. Jenis herba yang umum dijumpai antara lain
Orthosiphon aristatus, Curcuma longa, dan Pangium edule.
Tumbuhan yang khas di TNLL salah satunya adalah Eucalyptus deglupta,
dikenal dengan nama lokal leda. Pohon ini banyak ditemukan dan mudah
dikenali dengan ciri kulit batang yang licin, berpola mencolok, berwarna hijau
kemerahan serta mampu tumbuh hingga mencapai tinggi 60 m dengan lingkar
batang 150 cm.
3.3.2. Satwaliar
TNLL memiliki berbagai tipe ekosistem yang merupakan habitat bagi
berbagai jenis satwa langka dan dilindungi. Dari jenis mamalia langka dapat
dijumpai Anoa quarlesi, Anoa depressicornis, Babyrousa babyrusa, Sus
celebensis, Macaca tonkeana, Phalanger ursinus, Phalanger celebensis, Tarsius
spectrum dan Cervus timorensis. Kawasan ini juga terkenal akan
keanekaragaman jenis burungnya. Sekitar 224 jenis burung yang ditemukan, 97
diantaranya merupakan endemik di Sulawesi, seperti Tanygnatus sumatrana,
Loriculus exilis, Trichoglossus platurus, Cacatua sulphurea, Buceros rhinoceros,
Aceros cassidix, Anhinga rufa, Rallus plateni, Scolopax celebencis, Tyto
inexspectata, Geomalia heinrichi, Macrocephalon maleo dan Megapodius
freycynet. Selain itu, terdapat pula jenis reptil seperti Phyton reticulatus,
Ophiophagus hannah dan Elaphe erythrura. Jenis serangga antara lain Papilio
blumei, Graphium androcles dan Appies spp.
3.4. Masyarakat
Dari 117 desa di sekitar TNLL, 70 desa diantaranya secara fisik berbatasan
langsung dan 1 desa terletak di dalam kawasan taman nasional. Desa-desa
tersebut umumnya dihuni oleh keturunan para pendatang yang tiba sekitar 4000
tahun yang lalu, terdiri atas suku Bada, suku Behoa, suku Pekurehua (Napu) dan
suku Kaili yang terbagi 7 berdasarkan dialeknya yaitu: Kaili Ledo, Kaili Ija, Kaili
Semula masyarakat hidup dalam kelompok kecil yang sering berperang
dan melakukan perladangan berpindah. Pada akhir abad ke-17, sistem
menanam padi di sawah yang dialiri mulai dikenal, hingga saat ini kebanyakan
penduduk melaksanakan pola pertanian menetap pada lahan rata di
lembah-lembah. Pengenalan sistem bersawah yang sangat produktif diperkirakan telah
menyelamatkan habitat-habitat alam pegunungan dari perambahan untuk
perluasan pertanian ekstensif. Pada umumnya masyarakat sekitar kawasan
taman nasional memiliki ketergantungan terhadap hutan dan menganggap
wilayah mereka sebagai warisan leluhur yang harus dikelola secara arif dan
berkelanjutan seperti yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya.
3.5. Obyek Wisata
Kawasan TNLL memiliki beberapa jenis obyek wisata yang khas, antara
lain: pemandian air panas di Kadidia; situs megalit yang tersebar di lembah
Besoa; sejumlah air terjun dengan ketinggian antara 50-150 m di Kulawi,
Kamarora dan Wuasa; jalur pendakian menuju puncak Nokilalaki (2355 mdpl)
dan Tokosa/Rorekatimbu (2610 mdpl); pemanfaatan Sungai Lariang untuk arung
jeram; panorama danau Lindu dan Tambing; penangkaran kupu-kupu di
Kamarora; penetasan tradisional telur maleo di Saluki dan pengobatan tradisional
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lokasi peneluran maleo di kawasan TNLL
Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah. Pengambilan data lapangan
[image:30.612.124.474.193.668.2]dilaksanakan selama ± 3 bulan, dari bulan April hingga Juni 2003.
P P
4.2. Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Global
Positioning Systems (GPS), peta kawasan skala 1:50.000, kompas brunton,
teropong binokuler, pita meter, altimeter, tambang plastik, kamera foto, field
guide, dan tally sheet.
4.3. Jenis Data yang Dikumpulkan
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer
dan data sekunder:
1. Data Primer
Data ini diperoleh dari pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan.
Pada penelitian ini data primer yang dikumpulkan meliputi jumlah sarang
maleo yang terdapat di dalam kawasan TNLL.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data pendukung yang diperoleh dari berbagai
sumber terkait. Data ini mencakup data mengenai bio-ekologi maleo dan
kondisi umum habitat peneluran maleo.
4.4. Metode Pengumpulan Data 4.4.1. Data Primer
Pengumpulan data primer pada penelitian ini diawali dengan melakukan
orientasi lapangan guna mengetahui kondisi areal penelitian, mencocokan peta
kerja dengan kondisi lapangan serta menentukan titik awal pengamatan.
Pendugaan populasi, preferensi habitat dan sebaran spasial maleo didasarkan
atas inventarisasi terhadap sarang maleo dengan menggunakan kombinasi
metode transek garis dan titik pengamatan (point of abundance).
Keterangan: P = titik pengamatan, X = posisi lubang sarang maleo, R = radius pengamatan
Gambar 2. Inventarisasi Lubang Sarang maleo dengan Kombinasi Metode Transek Garis dan Titik Pengamatan
X
X X X
X
X
Jarak antar titik pengamatan 20 m. Penarikan contoh pada lokasi penelitian
dilakukan secara acak dengan alokasi luasan yang proporsional. Luas areal
TNLL 217.991,18 Ha, akan tetapi wilayah hutan yang digunakan maleo untuk
bertelur hanya 25,12 Ha dan terbagi ke dalam enam tipe habitat yakni hutan
sekunder, semak belukar, semak dan perdu, sempadan sungai, tanaman bambu,
dan tanaman coklat. Klasifikasi tipe habitat peneluran maleo berdasarkan atas
jenis vegetasi dominan yang ditemukan di areal penelitian.
Dengan mempertimbangkan kondisi lapangan, intensitas sampling yang
digunakan adalah 20%. Luas daerah yang teramati adalah 5,46 Ha. Unit contoh
berbentuk lingkaran dengan radius 10 m dan luas ± 0,03 Ha. Jumlah unit contoh
menurut luasan secara proporsional untuk setiap tipe habitat disajikan pada
[image:32.612.132.506.318.423.2]Tabel 2.
Tabel 1. Jumlah unit contoh berdasarkan luas secara proposional.
No Tipe Penutupan Lahan Luasan (Ha) Nh nh
1 Hutan Sekunder 1,93 64 14
2 Semak Belukar 2,91 97 21
3 Semak dan Perdu 7,31 244 53
4 Sempadan Sungai 9,52 317 69
5 Tanaman Bambu 2,21 74 16
6 Tanaman Coklat 1,24 41 9
TOTAL 25,12 837 182
Keterangan: Nh=jumlah unit contoh total; nh=jumlah unit contoh
4.4.2. Data Sekunder
Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur dari pustaka, jurnal dan
karya ilmiah lain yang dapat dipercaya serta wawancara dengan kelompok
masyarakat setempat dan pihak pengelola TNLL.
4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data 4.5.1.Kondisi Umum Habitat Peneluran Maleo
Lokasi dan tipe habitat peneluran maleo diketahui berdasarkan informasi
pihak TNLL. Data yang diperoleh bersifat deskriptif berdasarkan pengamatan
terhadap kondisi umum masing-masing tipe habitat.
4.5.2. Pendugaan Populasi Maleo
Pendugaan populasi maleo dihitung dengan menggunakan metode nest
count, yakni metode inventarisasi satwaliar yang dilakukan dengan cara
maleo, sarang dibuat secara berpasangan untuk meletakkan telur. Menurut del
Hoyo et al. (1994) burung maleo tampak bersifat monogami dan memelihara
ikatan dengan pasangannya sepanjang tahun. Data yang diperoleh melalui
pengamatan dihitung ukuran dan kepadatan populasinya. Pertama kali dihitung
kepadatan populasi di setiap unit contoh pada masing-masing tipe penutupan
lahan. Tahapan pendugaan populasi maleo dengan menggunakan metode nest
count adalah:
(a). Intensitas Sampling (f)
f = N n
keterangan:
n = total luas unit contoh yang diamati
N = Total luas areal penelitian
(b). Nilai dugaan kepadatan populasi maleo per luas unit contoh (yi)
i
y =
i i a x 2 keterangan:
yi = kepadatan populasi per unit contoh (individu/Ha)
xi = jumlah sarang aktif ditemukan dalam unit contoh ke-i
ai = luas unit contoh tipe penutupan lahan ke-i
Selanjutnya dihitung nilai dugaan populasi pada setiap tipe habitat
(a). Nilai dugaan titik/rata-rata contoh (y ) hi
hi
y = n
yhi
∑
keterangan:
h = tipe penutupan lahan ke-h
i = unit contoh ke-i
n = jumlah unit contoh
(b). Keragaman populasi contoh (S2yhi)
2 yhi S = 1 n n / ) y (
y hi 2
2 hi
− −
∑
∑
(c). Keragaman rata-rata contoh (S ) 2yh
2 yh
S = (1 f )
n S h h 2 yh −
fh =
keterangan:
Nh = jumlah unit contoh total stratum ke-h
nh = jumlah unit contoh stratum ke-h
(d). Nilai penduga selang pada selang kepercayaan 95%
2 y 1 n ; 2 /
h t . S h
y ± α −
keterangan: 1 n ; 2 /
tα − = Nilai t tabel pada selang kepercayaan 95%
(e). Koefisien variasi (CV)
CV = 100%
y S . t h 2 y 1 n ; 2 / h × − α
Setelah itu dihitung nilai dugaan populasi total seluruh kawasan:
(a). Nilai dugaan titik/rata-rata contoh ( Y
) ) Y ) =
∑
∑
h h h n n . y(b). Nilai dugaan populasi total ( Y) )
Y) = YN.
)
keterangan:
N = Total unit contoh penelitian
(c). Keragaman nilai dugaan (S2Y))
2 Y
S) = −
∑
2h h.S
W n
f 1
h
W = N Nh
f = N
n N−
(d). Keragaman rata-rata contoh ( 2
Yˆ
S )
2 Y
S) = (1 f)
n S2Yˆ
h −
(e). Nilai penduga selang pada selang kepercayaan 95%
2 Y 1 n ; 2
/ . S
t Y ) ) − α ±
(f). Koefisien variasi (CV)
CV = 100%
4.5.3. Preferensi Habitat Peneluran Maleo
Svardson (1949) dalam Bailey (1984) menyatakan bahwa seleksi habitat
merupakan spesialisasi. Bagi suatu spesies, memilih habitat tertentu berarti
membatasi diri pada habitat tersebut dan akan mencapai adaptasi terutama
kesesuaian dalam penggunaan sumberdaya yang ada.
Menurut Cody (1964) evolusi preferensi habitat ditentukan oleh struktur
morfologi, fungsi-fungsi tingkah laku, kemampuan memperoleh makanan dan
perlindungan. Faktor-faktor yang mendorong satwa untuk memilih suatu habitat
antara lain adalah ciri struktural dari lansekap, peluang mencari pakan dan
bersarang atau keberadaan spesies lain.
Dalam kaitannya dengan ketersedian daya dukung, satwaliar seringkali
memilih habitat yang preferensial (sesuai) bagi kelangsungan hidupnya dari
sekian banyak tipe habitat yang ada. Untuk menentukan habitat preferensial bagi
maleo untuk bersarang di TNLL digunakan metode Indeks Neu. Indeks ini
merupakan salah satu indeks yang paling umum digunakan karena memiliki
keuntungan berupa penghitungan selang kepercayaan untuk nilai indeks. Indeks
Neu memiliki persamaan sebagai berikut:
(a). Total sarang (N)
N =
∑
= m 1 i i n
keterangan :
ni = jumlah sarang pada habitat ke-i
(b). Proposi jumlah sarang pada habitat ke-i (ui)
i
u =
N ni
(c). Indeks pemilihan habitat ke-i (wi)
i
w =
i i
p u
(d). Indeks pemilihan habitat yang distandarkan (SDI)
Penentuan preferensi satwa terhadap tipe habitat diuji menggunakan
Chi-Square dengan persamaan sebagai berikut:
2
χ =
∑
=
− h
1
i i
2 i i
E ) E O (
keterangan:
Oi = Jumlah sarang pada habitat ke-i
Ei = Harapan jumlah sarang pada habitat ke-i
h = Jumlah tipe habitat
Kriteria uji yang digunakan adalah:
1. Jika χ2 ≤ 2 05 . 0
χ , maka tidak terdapat pemilihan habitat 2. Jika χ2 > χ02.05, maka terdapat pemilihan habitat
4.5.4. Pola Sebaran Spasial Sarang Maleo
Connell (1963) menyatakan bahwa pola sebaran spasial merupakan
karakteristik yang penting dari komunitas ekologi. Pola ini merupakan salah satu
sifat dasar dari suatu kelompok organisme kehidupan.
Alikodra (1990) mengemukakan bahwa penyebaran satwa liar dapat
dipengaruhi oleh ketersediaan pakan, fasilitas untuk berkembang biak,
pemangsaan, kondisi cuaca, sumber air, maupun adanya perusakan lingkungan.
Ludwig dan Reynolds (1988) menyatakan pola penyebaran satwa liar di
alam bebas dapat berbentuk acak (random), kelompok (clumped) dan seragam
(uniform), penentuan pola sebaran spasial horizontal suatu komunitas ekologi
dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan indeks penyebaran (ID),
yaitu:
ID = x s2
keterangan:
s2 = keragaman contoh
x = rata-rata contoh
Penentuan bentuk pola sebaran dengan kasus ukuran contoh kurang dari
30 (n<30) digunakan uji Chi-Square dengan persamaan sebagai berikut:
2
χ = ID.(n–1)
keterangan:
n = ukuran contoh/jumlah kontak
Kriteria uji yang digunakan adalah:
1. Jika χ2 ≤ χ20.975, maka pola sebaran seragam (uniform).
2. Jika χ20.975< 2
χ < χ20.025, maka pola sebaran acak (random).
3. Jika χ2 ≥ χ20.025, maka pola sebaran kelompok (clumped).
Pada kasus dengan ukuran contoh lebih dari atau sama dengan 30 (n ≥30)
digunakan uji statistik dengan persamaan sebagai berikut:
d = 2χ2 − 2(n−1)−1
keterangan: 2
χ = Chi-Square
n = ukuran contoh/jumlah kontak
Kriteria uji yang digunakan adalah:
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Kondisi Umum Habitat Peneluran Maleo
Areal yang termasuk ke dalam lokasi penelitian hanya kawasan TNLL yang
diduga terdapat sarang maleo. Luas areal TNLL adalah 217.991,18 Ha, akan
tetapi luas wilayah yang digunakan maleo untuk bertelur hanya 25,12 Ha dan
mencakup 6 tipe habitat yakni hutan sekunder, semak belukar, semak dan perdu,
tanaman bambu serta tanaman coklat. Dengan mempertimbangkan kondisi
lapangan, intensitas sampling yang digunakan adalah 21,74%. Luas daerah yang
teramati sebesar 5,46 Ha. Luasan masing-masing areal penelitian di setiap tipe
habitat dan unit contohnya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Luasan masing-masing tipe habitat dan unit contoh berdasarkan luas secara proposional pada areal penelitian
No Tipe Habitat Luasan (ha) Luas Unit Contoh
(ha)
1 Hutan Sekunder 1,93 0,42
2 Semak Belukar 2,91 0,63
3 Semak dan Perdu 7,31 1,59
4 Sempadan Sungai 9,52 2,07
5 Tanaman Bambu 2,21 0,48
6 Tanaman Coklat 1,24 0,27
TOTAL 25,12 5,46
Kawasan peneluran maleo di TNLL sebagian besar terletak dekat dengan
pemukiman penduduk dan telah mengalami degradasi akibat pola penggunaan
lahan yang kurang tepat dan usaha konversi hutan untuk penggunaan lain.
Kondisi topografi datar hingga landai dan tanah yang subur seringkali memicu
masyarakat untuk melakukan perluasan areal perkebunan, terutama coklat,
hingga melewati batas taman nasional. Aktivitas manusia di lokasi peneluran
merupakan gangguan yang memberikan pengaruh terhadap berkurangnya
kualitas dan jumlah lokasi peneluran yang sebelumnya dianggap sesuai bagi
maleo untuk membuat sarang.
Dari hasil pengamatan, maleo di TNLL menggunakan sumber panas bumi
(geothermal) untuk mengerami telurnya. Hal tersebut diindikasikan oleh adanya
mata air panas di dekat lokasi peneluran. Menurut Gunawan (2000) sifat
temperatur tanah sarang yang bersumber panas bumi adalah semakin dalam
panas. Temperatur tanah sarang tidak dipengaruhi oleh jarak horizontal dari
sarang ke mata air panas, karena sumber panas pengeraman bukan berasal dari
mata air panas tetapi dari panas di dalam perut bumi. Mata air panas merupakan
indikator bahwa di daerah tersebut terdapat sumber panas bumi.
Lokasi peneluran maleo di TNLL memiliki ketinggian antara 125 - 270 mdpl.
Pada lokasi peneluran dengan tipe habitat hutan sekunder dijumpai pohon-pohon
dari jenis Eucalyptus deglupta, Pometia pinnata, Fragrea truncata,
Dracontomelon mangiferum dan Canangium odoratum dengan tajuk yang
tertutup dan jarak antar tegakan yang relatif rapat, berkisar antara 6-12 m.
Kondisi tersebut mengakibatkan cahaya matahari tidak sampai ke lantai hutan. Di
habitat hutan sekunder lubang peneluran maleo ditemukan di sela-sela sistem
perakaran pohon dan dibawah tajuk yang tidak memungkinkan bagi sinar
matahari untuk menembus hingga ke permukaan tanah. Pada habitat semak
belukar, semak dan perdu, serta sempadan sungai, banyak dijumpai jenis rumput
Paspalum conjugatum dan vegetasi sekunder dari jenis yang bersifat intoleran
seperti Anthocephalus sp., Piper aduncum, Macangara sp., Ficus spp. dan
Imperata cylindrica. Meskipun memiliki kondisi vegetasi yang mirip namun tingkat
kerapatan vegetasi di ketiga habitat tersebut tampak sangat berbeda.
Berdasarkan pengamatan, ketiadaan tumbuhan bertajuk pada habitat
semak belukar mengakibatkan permukaan tanah tampak lebih kering karena
lebih mudah ditembus sinar matahari dibandingkan habitat semak dan perdu
serta sempadan sungai. Lubang peneluran maleo ditemukan di sela-sela semak
belukar yang masih terlindung dari sinar matahari sepanjang siang. Kondisi ini
berbeda dengan habitat semak dan perdu dimana lubang peneluran dibuat
terlindung di bawah tajuk perdu dan sistem perakaran vegetasi sekunder.
Beberapa lokasi peneluran maleo di TNLL dengan tipe habitat semak belukar
serta semak dan perdu merupakan areal bekas ladang penduduk yang telah
ditinggalkan.
Pada habitat sempadan sungai keberadaan sarang maleo terancam oleh
air pasang sungai. Air sungai yang meluap hingga lokasi peneluran pada waktu
pasang dapat menggenangi sarang dan mengganggu stabilitas suhu
pengeraman oleh panas bumi. Pada habitat ini hampir seluruh lubang berada di
bawah tajuk serta menempel pada tanah yang miring dan sistem perakaran yang
rumit. Menurut Mallo (1998) penggalian lubang pada tanah yang miring akan
habitat tanaman bambu, lantai hutan sebagian besar tertutup oleh serasah daun
bambu. Pada habitat ini lubang peneluran maleo dijumpai di antara akar-akar
dan batang pohon tumbang dibawah tajuk bambu yang rapat. Sarang maleo
pada habitat tanaman coklat berada di bawah tegakan coklat yang terlindung dari
sinar matahari langsung. Sebagai kawasan perkebunan, pemeliharaan yang
dilakukan oleh petani coklat pada habitat ini mengakibatkan permukaan tanah
lebih padat dan bebas dari vegetasi sekunder.
5.2. Pendugaan Populasi Maleo
Ukuran populasi merupakan suatu ukuran yang bisa memberikan informasi
mengenai nilai rata-rata, nilai minimum, nilai maksimum dari jumlah individu di
dalam suatu jenis populasi satwaliar tertentu (Caughley 1977). Menurut Jones et
al. (1995) jumlah telur maleo yang ditemukan dipengaruhi oleh musim bertelur. Di
habitat bersumber panas bumi (geothermal), musim bertelur tampaknya
berlangsung sepanjang tahun. Keragaman musim bertelur justru terjadi pada
habitat bersumber panas matahari, umumnya berlangsung selama musim
kemarau. Pada tahun 1947 Uno (1949) mencatat perolehan telur burung maleo
sebanyak 9.705 butir di Cagar Alam Panua, Sulawesi Utara dengan jumlah
terbanyak diperoleh pada bulan April bertepatan dengan musim kemarau
sebanyak 1.596 butir dan paling sedikit pada bulan Juli, awal musim penghujan,
sebanyak 82 butir.
Berdasarkan hasil analisis data terhadap jumlah sarang maleo di lokasi
peneluran pada 6 tipe habitat di dalam kawasan TNLL (Tabel 3), diperoleh
dugaan populasi total maleo sebesar 4554,73 ± 8,55 ekor dengan kepadatan
181,32 ± 0,34 ekor/ha. Hasil yang diperoleh adalah dugaan populasi dan
kepadatan maleo pada kelompok kelas umur dewasa dengan perbandingan
jumlah antara individu jantan dan betina sebesar 1 : 1 pada setiap sarang.
Populasi dan perbandingan jenis kelamin pada kelas umur anak dan muda
sangat sulit diketahui dari jumlah dan keberadaan sarang.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pihak balai TNLL, musim
bertelur maleo di TNLL mencapai puncaknya pada bulan Mei-Juli Yayasan
Jambata (2001) melakukan survey pada bulan April-Juni terhadap status maleo
di TNLL dan memperkirakan populasi maleo yang ada dalam kawasan TNLL
berkisar antara 1.065-2.355 pasang. Apabila dibandingkan dengan hasil
drastis. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain semakin sempitnya
areal peneluran maleo akibat perluasan daerah pertanian dan perkebunan
[image:41.612.125.511.175.313.2]masyarakat selama kurun waktu 2 tahun.
Tabel 3. Dugaan populasi dan kepadatan maleo pada masing-masing tipe habitat di kawasan TNLL
No Tipe
Habitat Luas (ha) Jumlah Sarang Populasi (ekor) Kepadatan (ekor/ha) Persentase Populasi (%) CV (%)
1 HS 1.93 53 487,10 ± 62,38 252,38 ± 32,32 10.69 12,81
2 SB 2.91 51 471,14 ± 122,78 161,90 ± 42,19 10.34 26,06
3 SP 7.31 150 1379,25 ± 114,64 188,68 ± 15,68 30.28 8,31
4 SS 9.52 155 1425,70 ± 137,67 149,76 ± 14,46 31.30 9,66
5 TB 2.21 57 524,88 ± 57,98 237,50 ± 26,23 11.52 11,05
6 TC 1.24 29 266,37 ± 107,91 214,81 ± 87,03 5.85 40,51
TOTAL 25.12 495 4554,73 ± 8,55 181,32 ± 0,34 100 0,19
Keterangan: HS=Hutan Sekunder, SB=Semak Belukar, SP=Semak dan Perdu, SS=Sempadan Sungai, TB=Tanaman Bambu, TC=Tanaman Coklat
Butchart et al. (1998) menggunakan 3 kriteria untuk menentukan ukuran
populasi maleo berdasarkan jumlah sarang yang ditemukan, yaitu 1) Besar, jika
jumlah sarang lebih dari 200 lubang, 2) Sedang, jika jumlah sarang berkisar
antara 75-200 lubang, 3) Kecil, jika jumlah sarang kurang dari 75 lubang. Apabila
kriteria tersebut diterapkan pada hasil penghitungan di lapangan maka tipe
habitat hutan sekunder, semak belukar, tanaman bambu dan tanaman coklat
memiliki ukuran populasi kecil, sedangkan habitat semak dan perdu serta
sempadan sungai memiliki ukuran populasi sedang.
252,38 161,90 188,68 149,76 237,50 214,81 0 50 100 150 200 250 300
Hutan Sekunder Semak Belukar Semak dan Perdu Sempadan Sungai Tanaman Bambu Tanaman Coklat
Tipe Habitat K epa da tan ( ek or /h a)
[image:41.612.125.504.494.660.2]Kepadatan maleo pada setiap tipe habitat sangat dipengaruhi oleh luasan
dan kondisi areal peneluran. Kepadatan populasi maleo tertinggi terdapat pada
lokasi peneluran dengan tipe habitat hutan sekunder sebesar 252,38 ± 32,32
ekor/ha dan terendah terdapat pada lokasi peneluran dengan tipe habitat
sempadan sungai sebesar 149,76 ± 14,46 ekor/ha. Dari hasil pengamatan di
lapangan, luas dan kondisi habitat hutan sekunder yang digunakan maleo
sebagai lokasi peneluran semakin terancam dengan adanya usaha masyarakat
memperluas areal perkebunan, keadaan ini diperburuk dengan mudahnya akses
menuju kawasan peneluran maleo yang secara langsung mengganggu usaha
maleo dalam membuat sarang untuk meletakkan telurnya. Tingginya kepadatan
sarang maleo di habitat hutan sekunder kemungkinan terjadi karena habitat
tersebut dianggap sesuai dan memenuhi syarat sebagai areal bersarang bagi
maleo untuk meletakkan telur, sementara luas areal yang tersedia terbatas.
5.3. Preferensi Habitat Peneluran Maleo
Berdasarkan hasil pengujian terhadap enam tipe habitat yang digunakan
maleo sebagai lokasi peneluran, ternyata burung maleo memiliki preferensi
terhadap tipe habitat tertentu. Dari Tabel 4, tampak bahwa masing-masing tipe
habitat memiliki nilai indeks pemilihan habitat yang berbeda. Menurut Bibby et al.
(1998) jika nilai indeks pemilihan habitat lebih dari 1 (w>1), maka tipe habitat
yang bersangkutan disukai, sebaliknya jika kurang dari 1 (w<1) maka tipe habitat
tersebut akan dihindari.
Tabel 4. Proporsi luas areal pengamatan, jumlah sarang yang ditemukan dan indeks pemilihan habitat peneluran maleo
No . Tipe Habitat Proporsi luas areal pengamatan
(pi)
Jml. Sarang
(ni)
Proporsi Jml Sarang Ditemukan
(ui)
Indeks Pemilihan