• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsep Budaya

Case Study Samin Community In Kudus Central Java

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsep Budaya

Sejumlah ilmuwan asing meyakini Indonesia sebagai awal peradaban dunia yang dimulai dari paparan Sunda dalam buku Eden in The East (Surga di Timur, Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara) karya Prof. Stephen Oppenheimer, dokter ahli genetik dari Universitas Oxford Inggris.

Menurut Stephen, nenek moyang embrio peradaban manusia modern (Mesir, Mediterania, dan Mesopotamia) dari Melayu (Sunda Land). Hasil risetnya selama sepuluh tahun dengan pendekatan dasar multidisiplin keilmuan yakni kedokteran, geologi, linguistik, antropologi, arkeologi, dan folklor. Begitu pula buku Atlantis, The Lost Found Continent Finally Found (Indonesia Ternyata Tempat Lahir Peradaban Dunia) karya Prof. Arysio Santos. Hal ini berdasarkan hasil diskusi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta 28 Oktober 2010. Bila hal itu valid, dapat diberi makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia kaya dengan karya budaya.

Budayawan menafsirkan bahwa adat mencakup pranata yang mengatur tingkah laku manusia hubungannya dengan sesama. Pranata dapat membentuk kelaziman, kebiasaan atau kesusilaan yang benar-benar hidup di tengah masyarakat atau pranata lain yang diturunkan pemuka adat atau penegak hukum. Adat adalah sifat patuh hubungannya dengan perilaku atau segala aturan dan hukum yang tidak tertulis, tak dibukukan, yang mencakup segala aspek kehidupan yang memuat larangan dan perintah yang tak boleh dilanggar. Jika terjadi pelanggaran diberi sanksi celaan atau dikucilkan dari tata cara adat masyarakatnya. Tradisi diterjemahkan pewarisan atau penerusan unsur-unsur, adat-istiadat, kaidah-kaidah, dan pewarisan harta kekayaan. Pada prinsipnya adat dan tradisi merupakan kesadaran kolektif masyarakat sifatnya luas meliputi kehidupan yang kompleks

sehingga keduanya sulit dipilah (Bastomi 1995, 10).

Aspek formal kebudayaan terletak dalam karya manusia ditransformasikan berupa fakta, data, kondisi, dan peristiwa alam yang dihadapi menjadi nilai tersembunyi dalam keyakinan dan pengetahuan. Martabat kebudayaan ditentukan oleh nilainya, karena tanpa nilai dimungkinkan terjadi penyelewengan dalam kebudayaan (Bakker 1984, 18).

Nilai yang lahir dari kebudayaan menurut Sutan Takdir Alisyahbana (1966) terdapat enam hal (1) konsep/teori/ilmu yang terumus dalam identitas tiap benda atau kejadian dalam kehidupan, (2) nilai ekonomi; kegunaan dari sesuatu, (3) nilai agama; dijelmakan dalam kehidupan suci, (4) nilai seni; ekspresi indah pada produk budaya, (5) nilai kekuasaan; organisasi sosial berhubungan dengan politik, dan (6) nilai solidaritas; poros horisontal lembaga sosial dan berbentuk cinta, kasih sayang, pertemanan, kegotongroyongan. Struktur kebudayaan meliputi (a) kesatuan kebudayaan bahwa subjek kebudayaan adalah kelompok, golongan, masyarakat, dan bangsa, sedangkan objek kebudayaan adalah lingkungan alam dan sosial yang menyatu dan menciptakan struktur kebudayaan, (b) kesatuan struktur yang bercorak dinamis, (c) harmoni dan integrasi kebudayaan, (d) integrasi struktural teoretis, (e) rekonstruksi struktur kebudayaan asli Indonesia, (f) peningkatan struktur asli oleh spesifikasi, (g) peningkatan struktur asli oleh diferensiasi, (h) sintesis struktural horisontal, dan (i) integrasi struktural vertikal.

Menurut Koentjaraningrat, penahapan budaya meliputi (a) internalisasi; penghayatan pribadi, perasaan, keinginan, nafsu, emosi, (b) sosialisasi; hubungan budaya dengan sistem sosial, (c) enkulturasi; penyesuaian, (d) kultur evolusi; perkembangan budaya dari sederhana ke kompleks, (e) difusi;

sebaran budaya. Difusi berwujud simbolik yakni pertemuan budaya yang tidak saling mengubah antar-budaya, (f) akulturasi;

kombinasi budaya. Akulturasi budaya ada lima kelompok yakni metode untuk observasi, mencatat, dan menggambarkan proses akulturasi, unsur budaya yang

mudah atau sulit diterima/diubah, unsur individu yang cepat/lamban menerima, ketegangan dan krisis sosial akibat akulturasi, (g) inovasi; pembaruan budaya dengan penemuan baru (discovery) dan penemuan yang diakui publik (invention), dan (h) asimilasi (Koentjaraningrat 1990, 227).

Kebudayaan berkembang akibat tiga asumsi, (1) bersifat superorganik, yakni mengandung ragam fakta sosial dan gambaran umum mengungkapkan pikiran dan perasaan seseorang, (2) sebagai konstruksi, penjelas perilaku, (3) bersifat abstrak, konstruk bukan entitas yang dapat diperhatikan secara menyeluruh (Poerwanto 2000, 46). Unsur kebudayaan terdiri tujuh hal bahasa dan sistem pengetahuan, organisasi sosial, peralatan hidup dan teknologi, mata pencaharian, religi, dan kesenian (Koentjaraningrat 1990, 203).

Pewarisan Kebudayaan

Manusia dan kebudayaan sebagai satu kesatuan yang tak terpisah. Manusia sebagai pendukung kebudayaan, meskipun manusia mati, kebudayaan diwariskan (Culture of Inherit) pada keturunannya secara vertikal dan horizontal pada generasi di luar kerabat.

Mewariskan budaya dengan tiga tahap (1) internalisasi, proses belajar kebudayaan yang berlangsung sejak proses kelahiran hingga kematian berupa pengembangan perasaan, hasrat, emosi, dan pembentukan kepribadian, (2) sosialisasi, pengembangan hubungan individu di lingkungannya, (3) pembudayaan (enculturation), mengkaji dengan penyesuaian sikap dan pemikiran dengan norma hidup budaya (Poerwanto 2000, 88).

Faktor terjadinya perubahan kebudayaan (a) penemuan baru (invention), biasanya berupa faktor teknologi-industri, misalnya penemuan alat pembajak lahan pertanian dengan mesin.

Penemuan merupakan proses sosial dengan dua tahapan, discovery dan invention. Penemuan unsur budaya baru berupa alat dan ide oleh individu atau kelompok) discovery menjadi invention bila

masyarakat mengakui, menerima, dan menerapkannya. Faktor pendorong penemuan baru berupa kesadaran kurangnya kebudayaan, meningkatkan mutu dan keahlian kebudayaan, dan daya rangsang masyarakat untuk maju (Koentjaraningrat 1990, 257) (b) difusi (proses penyebaran manusia berupa migrasi dan sebagainya.), (c) memadukan dua budaya (culture borrowing, culture contact) atau akulturasi, dalam pelaksanaannya memerlukan syarat antara lain adanya proses persenyawaan (affinity) yakni penemuan baru diterima tanpa terkejut (shock); adanya keseragaman (uniformitas, homogenitas) yakni nilai baru diolah dan dicerna; adanya fungsi (function) danseleksi (selection) sesuai kebutuhan jasmani dan rohani (Bakker 1984, 116). Hal yang perlu dicatat dalam proses akulturasi adalah kondisi budaya lama setelah menerima budaya baru, kondisi budaya baru yang bergabung dengan budaya lama, saluran/media yang dilalui oleh budaya lama ketika bergabung dengan budaya baru, reaksi masyarakat setelah menerima budaya baru, dan (d) asimilasi (pembauran) karena kebudayaan mengalami pergerakan hingga menemukan sosok baru. Perubahan kebudayaan dimungkinkan dari dalam dan luar lingkungan budaya (Poerwanto 2000, 46).

Pembawa Ajaran Samin

Awal gerakan Samin muncul karena perjuangan Ki Samin Surosentiko yang ‘turba’ karena perilaku kolonial pada warga yang merampas tanah dan hasil bumi. Awal kiprahnya di Desa Plosokediren, Blora meluas ke sebagian daerah di Blora, Pati, Purwodadi, dan Kudus, Jawa Tengah (Keempat bertetangga). Di Blora ada di Dukuh Klopoduwur Desa Banjarejo, Dukuh Sumber Desa Kradenan, Dukuh Tanduran Desa Kemantren, Dukuh Kedungtuban Desa Klaten, Dukuh Blimbingsawur Desa Sambong, Dukuh Jurangrejo Desa Bogorejo, dan Dukuh Randublatung Desa Plosokediren, di Pati di beberapa di desa di Kecamatan Sukolilo, di Purwodadi di

Dukuh Karangdosari, Desa Dumpil Krajan, Kecamatan Ngaringan.

Sejarah munculnya embrio komunitas Samin diawali pada masa pendudukan Belanda di Jawa, seorang anak Bupati Tulungagung Jawa Timur (Raden Mas Suryo Brotodiningrat Kusumaningrum) yakni Raden Surowijoyo, ingin bergabung dengan masyarakat, meninggalkan kadipaten (lelono/ayam alas) ke Desa Klopoduwur, Blora, untuk melawan Belanda karena kedzalimannya terhadap bangsa Indonesia. Gerakan yang dilakukan antara lain merampok warga Indonesia yang kaya dan mengikuti Belanda untuk dibagikan pada masyarakat miskin. Perjuangannya diteruskan oleh putranya, R.Kohar atau Samin Anom atau Ki Surosentiko. Perjuangan Ki Surosentiko agar tidak terdeteksi oleh masyarakat bahwa dirinya adalah trah ningrat, Ki Surosentiko menamakan dirinya ’Samin’

yang bermakna sami-sami tiyange (sesama manusia) atau jika sesama manusia berarti bersaudara dan akhirnya dijuluki Ki Samin yang membuka desa baru di Desa Plosodiren, Kecamatan Randublatung, Blora awalnya di tengah hutan.

Akibat perlawanannya, ia disiksa Belanda dengan cara ditumbuk (dideplok) di lesung, tetapi khalayak melihat dalam waktu yang sama bahwa Ki Samin berada di rumahnya, maknanya masih hidup pesan Ki Samin pada familinya, Yongnyah, ia akan menerima perlakuan kejam.

Dugaan terwujud, ia diasingkan Belanda di Digul, Irian Barat kemudian di Sawahlunto, Padang, Sumatra Barat dan wafat pada 1602 Saka/1676 M/1599 Jawa.

Dibuangnya Samin beserta kerabat dan pengikutnya yakni Karjani, Singotirto, Brawok, dan Engkrek.Tetapi semua kembali ke Jawa (Blora) kecuali Ki Samin Surosentiko yang berpesan kepada

Engkrek dan Brawok agar

mempertahankan agama Adam yang

diyakininya, sekaligus (akan) pulang, maksudnya pulang tidak secara fisik (raga), tapi secara nonfisik, untuk menjumpai Ki Surokidin (menantu Ki Samin Surosentiko) di Desa Tanduran, Blora. Ki Samin pun berwasiat, meskipun tertinggal di pengasingan, dirinya pun akan pulang ke Jawa dengan sesorah sesok aja samar, keno pangkling rupaku, aja pangling suaraku (masa mendatang jangan lupa aku, meski lupa wajah, tidak lupa suara).

Belanda berusaha membuat pertambangan batubara yang peralatan dan pekerjanya dari penjara Batavia, Makassar, Bali, Madura, yag sebagiannya dari Jawa (tatkala Jawa berupa hutan).

Masa ini pada tahun 1892-1938 M memanfaatkan angkutan kapal penumpang Belanda dan Eropa.

Perjalanannya tiga sampai lima hari.

Tawanan, kaki dan tangannya terantai besi (orang rantai). Penumpang menempati dek yang pengap pada lambung kapal, berdesakan. Rutenya ke pelabuhan Kecil Teluk Bayur di Padang. Tawanan yang melawan dicambuk atau dilempar ke laut.

Setibanya tawanan, dipekerjakan membuat pelabuhan besar bernama Emma Haven, pekerjaannya membuat jalur rel kereta api dari Teluk Bayur ke Sawahlunto, menambang batubara di Ombilin, Sawahlunto dalam posisi dirantai besi tangan dan kaki. Belanda beranggapan, tawanan ada yang sakti.

Rantai dilepas bila di terowongan tambang. Pekerja lainnya dikirim ke Sumatera untuk bekerja di kapal perang Belanda untuk melawan Aceh. Generasi orang rantai, kini ada di Tangsi Baru, Kelurahan Tanah Lapang dan di Air Dingin (Indriasari 2013, 28). Cerita tutur ini adakah berhubungan dengan Ki Samin?

Memerlukan pengkajian.

Ajaran Samin

Warga Samin adalah komunitas etnis Jawa memiliki karakter khas dan berbeda dengan warga non-Samin di lingkungan Samin. Kekhasan orang Samin (1) beragama Adam, negara mengategorikan penghayat kepercayaan,

(2) sebagian masih mempertahankan perlawanan Ki Samin era kolonial (a) tidak sekolah formal (sekolah sebagai aktivitas penjajah Belanda), (b) perkawinan tidak dicatatkan pada petugas di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

Dampaknya, tidak memiliki akta kawin, (3) mempertahankan prinsip hidup dengan

‘bahasa’ Samin, (a) etika hidup, berpantang drengki (memfitnah), srei (serakah), panasten (mudah tersinggung atau membenci sesama), dahwen (mendakwa tanpa bukti), kemeren/iri hati, ingin memiliki barang orang lain), nyiya Marang Sepada (menista alam).

Selain itu, dalam ajaran Samin, warga Samin harus meninggalkan lima pamali dalam berinteraksi berupa bedok;

menuduh, colong; mencuri, pethil;

mengambil barang (yang menyatu dengan alam, misalnya sayur-mayur di ladang, jumput; mengambil barang di pasar, dan nemu Wae Ora Kena; pantangan menemukan barang, (b) ajaran dasarnya dengan karakter:Kudu Weruh te-e dewe;

harus memahami barang miliknya, tak memanfaatkan hak orang lain, Lugu; bila berjanji, transaksi, atau kesediaan dengan pihak lain bila sanggup mengatakan ya, bila tidak sanggup/ragu menyatakan tidak.

Bila ragu menjawab ya atau tidak, dengan ujaran: cubimangkeh kinten-kinten pripun, kulo dereng saget janji kecuali saat menepati janji menghadiri tapi menghadapi kendala tak terduga, seperti sakit, Mligi;

taat aturan Samin, dipegang erat sebagai bukti ketaatan memegang ajaran. Hal yang dilarang berupa judi, pemicu menurunnya semangat kerja dan hubungan seks bebas karena bukan haknya, Rukun dengan istri, anak, orang tua, tetangga, dan siapa saja.

Mewujudkannya dilarang poligami (Rosyid 2008, 117).

Hanya saja, warga Samin lazimnya manusia, menaati atau melanggar prinsip Samin ditentukan kualitas dan kesadaran dirinya. Faktanya, warga Samin ada yang menaati prinsip ada yang melanggar prinsip dalam ajaran Samin.

Asal-Usul Kata Samin

Untuk mengetahui asal-usul Samin perlu memahami istilah kata Samin.Istilah Samin muncul, pertama, simplifikasi kata kebersamaan melawan Belanda, makna lainnya sami-sami amin maksudnya bila setuju dianggap sah, bentuk dukungan warga (Kardi 1996, 2).

Kedua, diilhami nama Samin Surosentiko (Raden Surowidjojo, nama ketika tua), Raden Surontiko atau Raden Suratmoko (nama kecil), putra Bupati Tulungagung.

Ketiga, bermakna Sesami wong (sesama manusia) bahwa persaudaraan atas dasar bersesama. Keempat, Suku di Jawa Tengah yakni Jawa, Karimun, Kangean, dan Samin (Sigar 1998, 1). Kelima, anggapan orang Jawa bagian pesisir yang kehidupannya di wilayah pinggir (Endraswara 2003, 17) Keenam, dalam cerita rakyat, Samin merupakan kata yang ada pra Ki Samin Surontiko hidup, ketika orang di Lembah Bengawan Solo dari Suku Kalang (eks Brahmana, pendeta, dan sarjana Majapahit) masa Brawijaya V mengasingkan (Sastroatmodjo 2003, 78).

Keenam, pernyataan lain, eksistensi Samin ada di Bengawan Solo merupakan upaya R. Surowidjojo meluaskan daerah pergerakan pada Belanda pada 1840 M (Winarno 2003, 56).

Kata Samin dipolitisasi publik menjadi nyamen identik menyalahi adat.

Hal ini diubah warga Samin karena bertendensi negatif dengan istilah sedulur Sikep.Pertimbangannya, Pertama, mendapat tekanan Belanda, dipimpin seorang petani, Ki Samin Surosentiko pujangga Pesisir Jawa setelah era Ronggowarsito membaur dengan petani membuat kekuatan melakukan perlawanan pada kolonial. Setelah jumlah pengikutnya banyak, tahun 1890 ajaran Samin dikembangkan di Klopoduwur Blora.

Tahun 1907 Ki Samin bersama delapan pengikutnya diasingkan di Rembang lalu diasingkan di Sawahlunto, Padang, Sumbar dan menimggalkan dalam tawanan tahun 1914 M (Dhewanty 2004, 124). Pengasingannya karena Samin dikelompokkan kaum pembangkang, anggapan meluas pada masyarakat non-Samin agar image negatif tidak terlekat

pada generasinya, dilakukan penggantian nama. Kedua, julukan dari perangkat desa di Blora wilayah selatan dan Bojonegoro tahun 1903-1905 M akibat melawan perangkat desa, tidak mau membayar pajak, dan menyendiri dengan warga lain (Faturrohman 2003, 20). Akibat perlawanannya maka timbul istilah nyamin. Ketiga, simbol nama bahwa manusia ahir/hidup berasal dari proses sikep (berdekapan) atau prosesi memasak nasi ala tradisional yang prosesnya nyikep untuk bekal pertahanan hidup. Keempat, kata sikep merupakan upaya menghindari sebutan samin akibat makna negatif, terutama wacana saminisme dijauhkan dari semangat melawannya petani.

Konteks sejarah, kata saminisme sebagai dampak policy politik kebudayaan yang meniadakan eksistensi warga lokal dan minoritas. Hal ini imbas respon Presiden Soekarno, Samin dianggap saudara.

Tahun 1947-an Soekarno pernah singgah di wilayah Pati, mengajak komunitas Samin bergabung dengan Republik Indonesia dan diterimanya (Norkhoiron 2002, 12).

Eksistensi Samin di Kudus

Tebaran ajaran Samin di Kudus ada ragam pandangan. Pertama, dari Dukuh Karangpace, Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora.

Tatkala Sosar (dari Desa Kutuk, Undaan), Radiwongso (Dukuh Kaliyoso, Undaan), dan Proyongaden (Desa Larekrejo, Undaan) tahun 1890 berinteraksi dengan Suronggono dan Surondiko/Surosentiko/

Suratmoko/Raden Kohar/Raden Aryo, cucu Raden Mas Adipati Brotodiningrat sang Wedono (Faturrohman 2003, 17).

Info tersebut penyebaran pasca Suparto tidak ada peninggalan berupa dokumen, benda sejarah dan lainnya untuk data.

Kedua, dari Desa Randublatung, Blora, dipimpin Surokidin berinteraksi dengan Sosar (warga Kutuk), Radiwongso (Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo, Undaan), dan Proyongaden (Desa Larekrejo) dan muncul interaksi di antara mereka. Ketiga, ajaran Samin di Desa Kutuk prakarsa Ki Samin Surowijoyo dari Randublatung, Blora,

menyebarkan kitab “Serat Jamus Kalimasada” berbahasa Jawa kuno berbentuk puisi tradisional (sekar macapat) dan prosa (gancaran) (Sastroatmodjo 2003, 19). Data tidak terdapat pembawa kitab. Keempat, upaya Raden Kohar (lahir di Desa Ploso, Blora, diasingkan Belanda di Digul, Irian Jaya, wafat 1914) mengembangkan pusat perjuangan (Winarno 2003, 57). Kelima, tahun 1916 gerakan Ki Samin gagal mengembangkan di Tuban sehingga ke Desa Kutuk (Faturrohman 2003, 19). Kata Kutuk mengilhami penulis menulis Samin sejak tahun 2008 hingga kini dengan ragam topik.

Tebaran Samin di Kudus

Munculnya Samin di Kudus karena (1) berdekatan dengan Kabupaten Pati, yang telah ada komunitas Samin wilayah Kecamatan Sukolilo yakni Baturejo, Galiran, Bombong, dan Ngawen hingga kini, (2) keberadaan desa di mana orang Samin ada kala itu terpencil dan kini mudah dijangkau karena aspalisasi jalan antardesa. Ketiga, fasilitas bidang keislaman kurang optimal di Desa ‘Samin’, dibanding wilayah Kudus lainnya masa itu.

Ajaran Samin berkembang ke wilayah Kudus direspon Sosar (warga Desa Kutuk), Radiwongso (warga Dukuh Kaliyoso), dan Proyongaden (warga Desa Larekrejo), ketiganya di wilayah Kecamatan Undaan, sedangkan di Dukuh Mijen, Desa Bulung Cangkring Kecamatan Jekulo. Catatan penulis tahun 2019, Samin di Desa Kutuk dengan tokoh Sukari (putra Suparto, pengikut Samin pertama di Desa Kutuk). Generasi Suparto (a) Sukari beristri Paijah, anaknya: Rubiah (awalnya Samin kawin dengan orang Samin.

Setelah bercerai, kawin dengan orang Buddha dari Boyolali menjadi Buddha), Sumini, dan Sumaji, (b) Sariyo beristri Rumisih, mamiliki anak Sarji, Salin, Tahan, Patonah, dan Tugi, (c) Kemadi beristri Utami, memiliki anak: Bambang, Tarmi, dan Jumadi, (d) Sunoto beristri Ngatini memiliki anak: Biati dan Supri, dan Ngabi (alm). Samin di Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo sesepuhnya Maskat (putra

tokoh Samin Dukuh Kaliyoso, mendiang Sumarsono), dan di Desa Larekrejo dengan sesepuh Sakam wafat (salin) tahun 2006 diteruskan Budi Santoso bin Sumarsono. Budi lahir 25 Desember 1964, lulus SD tahun 1970, Kejar Paket B tahun 2012.

Ragam pendapat sumber Samin di Kudus (1) dari Klopoduwur, Blora tahun 1890 tatkala Sosar, Radiwongso, dan Proyongaden berinteraksi dengan Suronggono dan Surondiko, cucu R.M.

Adipati Brotodiningrat (Faturrohman 2003, 17). Versi ini, menurut Budi Santoso (tokoh Samin Kudus) ada kekeliruan bahwa Sosar, Radiwongso, dan Proyongaden tidak berinteraksi dengan Suronggono, tapi dengan Surokidin (menantu Ki Surondiko/

Surosentiko/Raden Kohar). Urutan trah, Ki Surosentiko memiliki anak Yongnyah dan Surokemis. Yongnyah dikawin Ki Surokidin, memiliki anak bernama Panijan.

Surowijoyo memiliki anak Ki Surosentiko, Ki Surosentiko yang memiliki menantu Ki Surokidin, (2) dari Randublatung, Blora, dipimpin Surokidin berinteraksi dengan Sosar, Radiwongso, dan Proyongaden.

Keberadaan warga Samin di Kudus sebagai gerakan, didukung berbagai hal. Pertama, menurut Soerjanto merosotnya kewibawaan penguasa pribumi karena dominasi Belanda, sehingga merespon dengan gerakan berupa ritual, mistis, dan isolasi diri (Sastroatmodjo 2003, 51). Kedua, menolak membayar pajak karena kepentingan penjajah, bukan untuk pribumi.

Gerakannya disebut sirep, tanpa bersenjata karena tidak ingin pertumpahan nyawa, perseteruan fisik, dan prinsip sabar (Kardi 1996, 1). Ketiga, perlawanan ekspresif berupa gerombolan, merampok warga pribumi kaya yang mengikuti penjajah, menamakan diri tiyang sami amin tahun 1840, harta rampasan dibagikan pribumi miskin. Keempat, gerakan mempersiapkan diri dengan pertempuran fisik mengumpulkan pemuda dengan ilmu kanuragan, kekebalan, dan olahbudi untuk mengusir penjajah (Kardi 1996, 2). Kelima, faktor tergesernya status sosial pribumi akibat penerapan pajak dan

penyerahan hasil pertanian pada penjajah Belanda, sehingga muncul reaksi emosional melawan (Faturrohman 2003, 20). Keenam, tahun 1870 melawan Belanda karena mematok tanah warga untuk perluasan hutan jati, berdampak terkuranginya tanah warga Samin.

Keberadaan petani sering diakomodasi oleh penguasa untuk bergerak mengadakan perlawanan. Pada era partai komunis di Indonesia, PKI, petani dilibatkan dalam wadah Barisan Tani Indonesia (BTI) dengan provokasi pembagian dan kepemilikan tanah. Pada tanggal 2 Juli 1951 dibentuk Front Persatuan Tani dan 14 s.d 20 September 1953 diadakan kongres bersama, BTI yang semula gabungan dari tiga organisasi petani yakni Barisan Tani Indonesia (BTI), Rukun Tani Indonesia (RTI), dan Serikat Tani Indonesia (SAKTI). Dalam persiapan Pemilu 1955, anggota BTI tercatat 3.315.820 orang, berasal dari 42 cabang dan berkat dukungan petani dan buruh dalam Pemilu, PKI mendapat suara sebanyak 16,4 persen (Ensiklopedi Nasional Indonesia 2004, 173). Hal tersebut dalam laporan Jeanne S. Mintz disebutkan bahwa pemberontakan Samin merupakan pemberontakan reaksioner petani kolot dipicu kemiskinan dan frustasi elit, didukung pemimpin partai komunis yang tidak puas keputusan partai (gerakan komunisme relijius). Anggapan Mintz (gerakan petani kolot) dikritik Lance Castle dan Harry J.Benda dalam The Samin Movement bahwa gerakan petani mengedepankan ikatan solidaritas komunal akibat kebijakan kapitalis.

Simpulan Castle ditolak Victor King, pemberontakan petani karena ketidaksesuaian antara keputusan negara yang tidak pernah diantisipasi dampaknya hingga timbul deprivasi status, harga diri, perilaku, kepemilikan, dsb. Tjipto Mangunkusumo terinspirasi laporan J.E Jaspers tahun 1917 tentang gerakan petani dalam bukunya Het Saminisme, Rapport uitgebracht aan de Vereeniging Insulinde mendedahkan, saminisme mirip dengan sekte agama pembangkang di zaman Tsar Rusia prarevolusi Boltsewik

1914-1917 yang tidak memercayai Tuhan, malaikat, dan surga, lebih mempercayai yang fakta (Norkhoiron 2002:21). Menurut Hutomo, era politik bagi Samin telah berlalu, Saminisme tidak harus dipahami sebagai ideologi perlawanan kaum tani, tapi ajaran kebatinan (Hutomo 1996).

Budaya Nahdliyin yang Diakulturasi Samin

Untuk mewujudkan eksistensinya sebagai komunitas minoritas di lingkungan muslim yang mayoritas di Kudus, strategi yang dilakukan Samin adalah mengakulturasi atau mengadopsi budaya mayoritas menjadi bagian dari tradisi Samin. Akulturasinya dengan mewarisi kebudayaan secara internal dan eksternal.

Secara internal proses memberi pelajaran (norma-budaya) sejak lahir oleh orangtua dan tokoh Samin pada generasinya hingga mati dengan membentuk pribadi, hidup dalam satu lingkungan di desa, menikah dengan sesama Samin, dan mentradisikan ajaran pada anak sejak kecil melalui tauladan orangtua dan tokoh (botoh) Samin yang juga berperan sebagai guru kehidupan (Rosyid 2012:17). Adapun pewarisan secara eksternal dengan mengadopsi tradisi muslim NU di Kudus berupa (1) pola pemakaman (dikuburkan posisi kepala mayat di utara dan tubuh dimiringkan), diberi batu nisan, (2) kafan jenazah dengan kain mori/warna putih, (3) mengkhitan anak lelakinya saja, (4) slametan dalam hal pascamelahirkan, mengkhitankan anak lelaki, dan pascapemakaman pada hari yang sama, bila memanen padi dilakukan tradisi tingkepan, sepasaran (setelah perkawinan), tidak melakukan slametan tedak siten (anak akan berjalan), midodareni (menjelang perkawinan).

Hanya saja, warga Samin tidak slametan pascapemakaman yang disebut pitung dina (7 hari pascakematian), matang puluh dinan (40 hari pascakematian), nyatus (100 hari pascakematian), nyewu (1000 hari pascakematian), mendak (setahun setelah kematian), mendak sepisan (dua tahun setelah kematian), mendak pindo (tiga tahun setelah kematian).

Slametan berkaitan dengan prinsip ajaran Samin berupa ngedonke woh-wohan, ngilikke banyu, maksudnya bagi warga Samin yang hasil panennya ekstra baik diajarkan mendistribusikan rizkinya untuk lingkungannya (Samin dan non-Samin) dengan menyembelih hewan berkaki empat, seperti kambing. Bila panennya baik menyembelih hewan berkaki dua, seperti itik, ayam atau entok.

Sembelihan didistribusikan (weweh) juga

Sembelihan didistribusikan (weweh) juga