Vol. 23 No.2, November 2020 P-ISSN 1410 – 3974 E-ISSN 2580 – 8907
BERKALA ARKEOLOGI
BALAI ARKEOLOGI SUMATERA UTARA
PUSAT PENELITIAN ARKEOLOGI NASIONAL KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANBAS VOL. 23 NO. 2 Hal 73—128 Medan,
November 2020 P-ISSN 1410 – 3974 E-ISSN 2580 – 8907 FOLKLOR PENINGGALAN-PENINGGALAN PUTRI HIJAU DI DESA SEBERAYA, KARO
THE FOLKLORE OF PUTRI HIJAU’S RELICTS IN SEBERAYA VILLAGE, KARO Elwyn Bastian Sinaga dan Hariati Sembiring
EKSISTENSI LELUHUR DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT NIAS ANCESTOR EXISTENCE IN THE LIFE OF NIAS SOCIETY
Ketut Wiradnyana
AKULTURASI BUDAYA: Studi Kasus Komunitas Samin di Kudus Jawa Tengah CULTURE ACULTURATION: Case Study Samin Community in Kudus Central Java Moh Rosyid
BENTUK DAN STRUKTUR BANGUNAN PADA MASA KLASIK DI SUMATRA DAN JAWA BERDASARKAN TEMUAN GENTING
CLASSIC PERIOD BUILDINGS FORM AND STRUCTURE IN SUMATRA AND JAVA BASED ON THE ROOF TILES FINDINGS
Repelita Wahyu Oetomo
IDENTIFIKASI TINGGALAN ARKEOLOGIS DI SITUS KAPAL TENGGELAM SENGGILING IDENTIFICATION OF ARCHAEOLOGICAL REMAINS IN SENGGILING SHIPWRECK SITE Stanov Purnawibowo
Vol. 23 No. 2, November 2020 P-ISSN 1410 – 3974 E-ISSN 2580 – 8907
BERKALA ARKEOLOGI
Sangkhakala terdiri dari dua kata yaitu Sangkha dan Kala. Sangkha adalah sebutan dalam Bahasa Sansekerta untuk jenis kerang atau siput laut. Sangkha dalam mitologi Hindhu digunakan sebagai atribut dewa dalam sekte Siwa dan Wisnu. Sedangkan Kala berarti waktu, ketika atau masa. Jadi Sangkhakala merupakan alat dari kerang laut yang mengeluarkan suara sebagai tanda bahwa waktu telah tiba untuk memulai suatu tugas atau pekerjaan. Berkenaan dengan itu, BERKALA ARKEOLOGI SANGKHAKALA merupakan istilah yang dikiaskan sebagai terompet ilmuwan arkeologi dalam menyebarluaskan arti dan makna ilmu arkeologi sehingga dapat dinikmati oleh kalangan ilmuwan khususnya dan masyarakat luas umumnya. Selain itu juga merupakan wadah informasi bidang arkeologi yang ditujukan untuk memajukan arkeologi maupun kajian ilmu lain yang terkait.
Muatannya adalah hasil penelitian, tinjauan arkeologi dan ilmu terkait. Dalam kaitannya dengan penyebarluasan informasi dimaksud, redaksi menerima sumbangan artikel dalam Bahasa Indonesia maupun asing yang dianggap berguna bagi perkembangan ilmu arkeologi.
Berkala Arkeologi ini diterbitkan dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Mei dan November.
Dewan Redaksi
Penanggung Jawab : Dr. Ketut Wiradnyana, M.Si. (Kepala Balai Arkeologi Sumatera Utara) Ketua Redaksi : Andri Restiyadi, M.A. (Arkeologi Sejarah)
Anggota Redaksi : Nenggih Susilowati, S.S., M.I.Kom. (Arkeologi Prasejarah) Drs. Bambang Budi Utomo (Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia) Drs. Yance, M.Si. (Universitas Sumatera Utara)
Dyah Hidayati, S.S (Balai Arkeologi Sumatera Utara) Redaksi Pelaksana : Churmatin Nasoichah, S.Hum (Arkeologi Prasejarah)
Lolita Refani Lumban-Tobing, S.Hum (Arkeologi Sejarah)
Mitra Bestari : Prof. DR. M. Dien Majid, M.Ag. (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah)
Prof. (Ris.). Dr. Truman Simanjuntak (Centre for Prehistoric and Audtronesia Studies) Prof. Dr. Bungaran Antonius Simanjuntak (Universitas Negeri Medan)
Dr. Titi Surti Nastiti (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) Manajer Jurnal : Lolita Refani Lumban-Tobing, S.Hum (Arkeologi Sejarah
Johan Manurung, S.Ds.
Penata Letak : Johan Manurung, S.Ds.
Kesekretariatan : Ali Ma’ruf, S.E.
Mochammad Fauzi Hendrawan, S.Ark
Alamat Redaksi/Penerbit:
Balai Arkeologi Sumatera Utara
Jl. Seroja Raya Gg. Arkeologi, Tanjung Selamat, Medan Tungtungan, Medan 20134 Telp. (061) 8224363, 8224365
E-mail:[email protected] www.sangkhakala.kemdikbud.go.id Laman:
© Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2020
KATA PENGANTAR
Elwyn Bastian Sinaga dan Hariati Sembiring 73—82 FOLKLOR PENINGGALAN-PENINGGALAN PUTRI HIJAU
DI DESA SEBERAYA, KARO
THE FOLKLORE OF PUTRI HIJAU’S RELICTS IN SEBERAYA VILLAGE, KARO
Ketut Wiradnyana 83—92
EKSISTENSI LELUHUR DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT NIAS ANCESTOR EXISTENCE IN THE LIFE OF NIAS SOCIETY
Moh Rosyid 93—106
AKULTURASI BUDAYA: Studi Kasus Komunitas Samin di Kudus Jawa Tengah
CULTUREACULTURATION: Case Study Samin Community in Kudus Central Java
Repelita Wahyu Oetomo 107—118
BENTUK DAN STRUKTUR BANGUNAN PADA MASA KLASIK DI SUMATRA DAN JAWA BERDASARKAN TEMUAN GENTING CLASSIC PERIOD BUILDINGS FORM AND STRUCTURE
IN SUMATRA AND JAVA BASED ON THE ROOF TILES FINDINGS
Stanov Purnawibowo 119—128
IDENTIFIKASI TINGGALAN ARKEOLOGIS DI SITUS KAPAL TENGGELAM SENGGILING
IDENTIFICATION OF ARCHAEOLOGICAL REMAINS IN SENGGILING SHIPWRECK SITE
Vol. 23 No. 2, November 2020 P-ISSN 1410 – 3974
E-ISSN 2580 – 8907
BERKALA ARKEOLOGI
DAFTAR ISI
BERKALA ARKEOLOGI
P-ISSN 1410 – 3974 Terbit : November 2020 E-ISSN 2580 – 8907
Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh digandakan tanpa ijin dan biaya
DDC 398.59812
Elwyn Bastian Sinaga danHariati Sembiring (Universitas Sumatera Utara)
FOLKLOR PENINGGALAN-PENINGGALAN PUTRI HIJAU DI DESA SEBERAYA, KARO
Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November, Vol 23 No. 2, Hal.73—82
Gua Putri Hijau di Seberaya, kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo adalah tempat kelahiran Putri Hijau.
Putri Hijau memiliki dua orang saudara, yaitu Nini Naga dan Nini Meriam. Peninggalan Putri Hijau yang ada di Desa Seberaya sebagai bukti sejarah yang diyakini masyarakat mengandung nilai sejarah. Nilai tersebut sangat berhubungan dengan kehidupan masayarakat Seberaya. Penelitian ini bertujuan mengetahui dan mendeskrpsikan peningalan-peningalan Putri Hijau yang masih ada saat ini di sana serta mengetahui pandangan masyarakat Seberaya terhadap peingalan-peniggalan tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Metode ini diguakan untuk melukiskan keadaan objek peninggalan berdasarkan fakta-fakta yang ada. Data penelitian ini diperoleh dari hasil observasi dan wawancara kepada tiga informan. Observasi dilakukan dengan mengunjungi lokasi keberadaan objek. Wawancara dilakukan kepada informan-informan yang mengetahui cerita Putri Hijau.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui ada tiga peninggalan yang masih ada, yakni Permandian Putri Hijau, Gua Putri Hijau, dan tempat Permainan Putri Hijau.
(Elwyn Bastian Sinaga danHariati Sembiring)
Kata Kunci: Putri Hijau; Gua Putri. Hijau; jabi-jabi
DDC 398.5981 Ketut Wiradnyana
(Balai Arkeologi Sumatera Utara) EKSISTENSI LELUHUR DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT NIAS
Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November, Vol 23 No. 2, Hal. 83—92
Masyarakat Nias menganut pola kekerabatan patrilineal, yang dalam berbagai aspek kebudayaannya sangat terkait dengan konsepsi pemujaan leluhur. Konsepsi yang sudah dikenal ini berkaitan dengan berbagai kehidupan. Berkenaan dengan itu maka upaya memahami kebudayaan Nias melalui pemahaman tentang eksistensi leluhur dalam kehidupan masyarakat.
Bahasan ini berkaitan dengan eksistensi leluhur yang terkait juga dengan aspek ekonomi dan sosial. Adapun pendekatannya bersifat kualitatif dengan mendeskripsikan hasil-hasil penelitian arkeologis dan etnografis. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa
eksistensi leluhur sangat terkait dengan patrilineal dan kekuasaan.
(Ketut Wiradnyana)
Kata Kunci: leluhur; folklor; kehidupan sosial; religi;
identitas
DDC 305.697 Moh Rosyid
(Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus) AKULTURASI BUDAYA: Studi Kasus Komunitas Samin di Kudus Jawa Tengah
Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November, Vol 23 No. 2, Hal. 93—106
Tujuan penulisan artikel ini untuk mendeskripsikan bentuk akulturasi budaya yang dilakukan komunitas Samin di Kudus, Jawa Tengah terhadap tradisi muslim Nahdliyinyakni tradisi yang merespon kearifan lokal dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.Data diperoleh dengan wawancara, kajian literatur, dan observasi.
Terkumpulnya data dianalisis dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Budaya yang direspon Samin berupa slametan daur kehidupan dan khitan anak lelaki.
Akulturasi tercipta simbiosis mutualisme karena Nahdliyin juga responsif terhadap tradisi lokal Jawa.
Kekhasan yang masih dipertahankan komunitas Samin adalah memakai celana tokong, ikat kepala, berwarna serba hitam bagi lelaki, dan bagi perempuan memakai jarit. Bila menghadiri perkawinan dan melayat kematian.
Bila di rumah atau di sawah memakai pakaian lazimnya warga lain. Ada pula budaya nahdliyin yang tidak direspon Samin karena menghindari keserupaan tradisi, seperti berpeci. Adapun bersarung menjadi tradisi Samin yang hanya digunakan ketika lelaki menikah. Prinsip dasar nahdliyin dalam tradisi adalah tawasuth (moderat), tawazun (keseimbangan antara akidah dengan realita), al I’tidal (tegak lurus, tak mudah terprovokasi), at tasamuh (toleran). Hanya saja, imbas urbanisasi warga Samin, budaya kota menjadi tradisinya pula seperti rambut disemir. Senior Samin pun tidak berdaya menghadapinya. Bila hal ini tidak dikendalikan maka budaya kota mengubah kekhasan Samin.
(Moh Rosyid)
Kata kunci: akulturasi; tradisi; responsif
DDC 398.59812
Repelita Wahyu Oetomo
(Balai Arkeologi Sumatera Utara) BENTUK DAN STRUKTUR BANGUNAN
PADA MASA KLASIK DI SUMATRA DAN JAWA BERDASARKAN TEMUAN GENTING
Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November, Vol 23 No. 2, Hal. 107—118
Selama ini terdapat anggapan bahwa pemakaian atap genting di nusantara dikenalkan oleh Belanda pada sekitar abad ke- 20, namun bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa penggunaan genting telah dikenal jauh sebelumnya. Hal ini diketahui dari beberapa temuan genting di bekas kerajaan Samudera- Pasai, Padang Lawas, Muaro Jambi dan di bekas ibukota kerajaan Majapahit. Tidak banyak informasi yang didapat untuk melihat seberapa jauh penggunanan genting sebagai atap di Sumatera dan Jawa pada masa-masa klasik, serta bangunan-bangunan seperti apa yang menggunakan atap genting pada saat itu, mengingat jumlahnya temuannya sangat terbatas. Beberapa fragmen genting berhasil ditemukan dalam penelitian arkeologis yang dilakukan, selanjutnya temuan tersebut, dianalisis serta dibandingkan dengan temuan-temuan di tempat serta dibandingkan dengan beberapa temuan bangunan pada masa belakangan. Tujuannya adalah untuk mengetahui fungsi, tata cara penggunaan serta bagaimana kemungkinan struktrur bangunan pendukungnya.
Penggunaan genteng pada masa lalu masih sangat terbatas, mengingat ketersediaan bahan-bahan organis untuk atap masih banyak tersedia. Penggunaan genting pada masa lalu terbatas hanya untuk bangunan- bangunan penting karena genting masih dianggap sebagai komoditas yang cukup mahal. Belakangan penggunaan genteng di nusantara semakin umum karena penggunaan atap genteng dianggap lebih efisien, rapi, awet dan lebih murah karena bahan-bahan organis semakin sulit didapat
(Repelita Wahyu Oetomo)
Keywords: genting; masa klasik; struktur bangunan
DDC 930.102
Stanov Purnawibowo
(Balai Arkeologi Sumatera Utara) IDENTIFIKASI TINGGALAN ARKEOLOGIS DI SITUS KAPAL TENGGELAM SENGGILING
Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, Novemmber, Vol 23 No. 2, Hal. 119—128
Situs Kapal tenggelam Senggiling merupakan salah satu potensi tiggalan arkeologi bawah air yang berada di Pesisir Utara Pulau Bintan. Tujuan penelitian ini adalah melakukan identifikasi terhadap data artefaktual di situs tersebut. Metode perolehan data dilakukan dengan cara observasi dengan teknik survei dan ekskavasi bawah air.
Analisis dilakukan pada aspek bentuk, keruangan, dan waktu untuk mengetahui ragam jenis bentuk, tempat pembuatan, dan masa pembuatannya. Hasil penelitian menunjukan ragam jenis artefak dari situs tersebut berupa kapal kayu dengan teknologi pembuatan abad ke-19 dari Eropa. Barang muatannya berupa batuan beku persegi, barang porselen, figurin earthenware, botol kaca, lempengan logam, pasak kayu kapal, lantai tanah liat, sendok porselen, dan botol obat berbahan stoneware. Identifikasi barang muatan kapalnya berasal dari Eropa dan Cina abad ke-18 hingga ke-19.
(Stanov Purnawibowo)
Kata kunci: artefak; bawah air; kapal tenggelam Senggiling
BERKALA ARKEOLOGI
P-ISSN 1410 - 3974 Publish : November 2020
E-ISSN 2580 – 8907
The keywords listed are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge
DDC 398.59812
Elwyn Bastian Sinaga danHariati Sembiring (Universitas Sumatera Utara)
THE FOLKLORE OF PUTRI HIJAU’S RELICTS IN SEBERAYA VILLAGE, KARO
Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, Mei Vol 23 No.2, Page 73—82
Putri Hijau Cave in Seberaya, Tiga Panah sub-district, Karo District is the birthplace of Putri Hijau. Putri Hijau has two siblings, namely Nini Naga and Nini Cannon. The legacy of the Putri Hijau or Green Princess in Seberaya Village as historical evidence is believed by the community, contain historical value. This value is related to the life of the people of Seberaya. This study aims to identify and describe the remnants of the Green Princess that still exist today in the Village of Seberaya, Karo District and to know the views of the Seberaya people towards these remnants. The method used in this research is descriptive qualitative method. This method is used to describe the state of the inheritance object based on the available facts. The research data was obtained from observations and interviews with three informants. Observation is done by visiting the location of the object. Interviews were conducted with informants who knew the Putri Hijau story. Based on the research results, there are three relics that still exist, namely the Green Princess Bath, Green Princess Cave, and the Green Princess Playing Site.
(Elwyn Bastian Sinaga danHariati Sembiring)
Keywords: Putri Hijau; Putri Hijau’s cave; jabi-jabi
DDC 398.5981 Ketut Wiradnyana
(Balai Arkeologi Sumatera Utara)
ANCESTOR EXISTENCE IN THE LIFE OF NIAS SOCIETY Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November, Vol 23 No. 2, Page 83-92
The Nias community adheres to patrilineal kinship patterns system, which in various aspects of their culture are related to male bloodlines. The patrilineal concept is closely related to the idea of worshiping ancestors.
Ancestor worship is one of belief in Megalithic culture and in many communities this belief affecting various aspects of cultural community life. In this regard, Nias culture can be recognized through understanding the existence of ancestors in Nias people's lives. This study also describing the relation of ancestor existence to economic and social aspects in Nias culture. Descriptive-qualitative approach is used to examining archeological and ethnographic data. The conclusion of this study indicates
that the existence of ancestors is closely related to patrilineal and power.
(Ketut Wiradnyana)
Keywords: ancestors; folklore; social structures;
religion; identity
DDC 305.697 Moh Rosyid
(Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus) CULTURE ACULTURATION: Case Study Samin Community in Kudus Central Java
Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November, Vol 23 No. 2, Page 93—106
The purpose of writing this article is to describe the form of cultural acculturation carried out by the Samin community in Kudus, Central Java against the Muslim tradition of Nahdliyin is traditions to response local wisdom and don’t contradicting by syariah. Data obtained by interview, literature review, and observation.
Data collection was analyzed using a qualitative descriptive approach. The culture that Samin responded to took the form of a life cycle slogan and circumcision of a boy. Acculturation creates a symbiotic mutualism because people Nahdlatul Ulama is also responsive to local Javanese traditions. The specificity that is still maintained by the Samin community is wearing tokong pants, headbands, all in black for men, and for women wearing a jarit. When attending a marriage and dying.
When at home or in the fields, wear other people's usual clothes. There is also a nahdliyin culture that Samin does not respond to because it avoids the similarity of tradition, such as a cap. As for sarong, it is a Samin tradition that is only used when a man marries. The basic principles of nahdliyin in tradition are tawasuth (moderate), tawazun (balance between faith and reality), al i’tidal (upright, not easily provoked), at tasamuh (tolerant). It's just that, the impact of urbanization Samin residents, the culture of the city is also a tradition like polished hair. Senior Samin was powerless to deal with it. If this is not controlled, the culture of the city changes the uniqueness of Samin.
(Moh Rosyid) Keywords: acculturation; responses; tradition
DDC 398.59812
Repelita Wahyu Oetomo
(Balai Arkeologi Sumatera Utara)
CLASSIC PERIOD BUILDINGS FORM AND STRUCTURE
IN SUMATRA AND JAVA BASED ON THE ROOF TILES FINDINGS
Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November, Vol 23 No. 2, Page 107—118
All this time, there’s an assumption that the use of tile roofs in the archipelago was brought around the 20th century by the Dutch, but archaeological evidence shows that the use of roof tiles has been known long before.
This is known from several precarious findings in the former kingdom of Samudera-Pasai, Padang Lawas, Muaro Jambi and in the former capital of Majapahit kingdom. There’s not much information to explain how far the roof tiles has been used in Sumatra and Java over classical times, such as what kind of buildings used roof tiles at that time, because of the very limited findings.
Several fragments that found in the archaeological research were analyzed and compared with the findings on the spot and compared with several recent building finds. The aim is to see the functions, how to use it and how was the connection with the supporting building around it. The use of tile in the past was still very limited, considering that organic materials for roofs are still widely available and only important building could use these expensive commodity. Recently, the use of tile in the archipelago has become more common because of the efficiency, more presentable, durable and cheaper than the organic materials.
(Repelita Wahyu Oetomo)
Kata kunci: roof tile; Hindu-Buddist period; building structure
DDC 930.102 Stanov Purnawibowo
(Balai Arkeologi Sumatera Utara )
IDENTIFICATION OF ARCHAEOLOGICAL REMAINS IN SENGGILING SHIPWRECK SITE
Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November, Vol 23 No. 2, Page 119—128
Senggiling shipwreck site is a potential underwater archeological remains locate on the north coast of Bintan Island. The aim of this study is to identificate the artefactual data of the site. The data are acquired by performing an observation through survey techniques and underwater exvacation. The analysis is conducted on the shape, space, and time aspects to find out the type variants of the shape, location and time of production.
The result of this study shows the site’s artifact type variants in the form of a wooden ship with 19th-century European production technology. The ship was loaded with square igneous rocks, porcelains, earthenware figurines, glass bottles, metal plates, wooden ship pegs, clay floors, porcelain spoons, and stone medicine bottles.
All of them are identified as being produced in Europe and China in the 18th -- 19th century.
(Stanov Purnawibowo) Keywords: artifact; underwater; Senggiling; shipwreck
KATA PENGANTAR
Tahun 2020 segera berlalu tinggal beberapa hari lagi, kini Berkala Arkeologi Sangkhakala memasuki edisi terakhir di tahun 2020. Besar harapan bahwa dalam setiap edisi karya-karya yang ditampilkan dapat memberikan manfaat yang lebih besar kepada pembaca.
Edisi kali ini, yaitu Volume 23 Nomor 2, November 2020 memuat berbagai topik yang menarik, baik terkait dengan kajian arkeologis maupun historis.
Tulisan pertama berjudul Folklor Peninggalan-Peninggalan Putri Hijau di Desa Seberaya, Karo oleh Elwyn Bastian Sinaga dan Hariati Sembiring. Tulisan tersebut ditulis oleh dua orang yang mendalami bidang studi linguistik. Adapun permasalahan yang dikemukakan berkaitan dengan relasi antara lokasi peninggalan Putri Hijau dan folklor yang terdapat dalam masyarakat. Pada khususnya artikel ini mengemukakan cara masyarakat memaknai lokasi yang diyakini peninggalan Putri Hijau yang juga berkembang menjadi sebuah folklor. Sumber data yang digunakan dalam tulisan ini berupa kondisi sekarng lokasi peninggalan Putri hijau dan pengetahuan masyarakat akan lokasi tersebut.
Tulisan kedua dan ketiga membahas mengenai konsep religi pada suatu masyarakat.
Tulisan pertama membahas konsep religi pada masyarakat Nias dengan judul Eksistensi Leluhur dalam Kehidupan Masyarakat Nias oleh Ketut Wiradnyana. Tulisan ini berusaha menjelaskan masyarakat baik di sektor kebudayaan, ekonomi dan sosial dengan kondisi religi yang berupa pemujaan leluhur di masyarakat Nias. Tulisan ketiga dengan judul Akulturasi Budaya: Studi Kasus Komunitas Samin di Kudus Jawa Tengah oleh Moh Rosyid. Melalui data wawancara, literatur, dan observasi pada masyarakat Samin, diungkapkan tentang akulturasi budaya yang ada pada masyarakat Samin di Kudus dengan adanya konsep religi muslim Nahdliyin yang masuk dan tidak bertentangan dengan kearifan lokal masyarakat.
Tulisan keempat dan kelima merupakan kajian arkeologi yang berusaha merekonstruksi suatu kondisi dari sisa-sisa fragmen tinggalan budaya. Tulisan keempat berjudul Bentuk dan Struktur Bangunan Pada Masa Klasik di Sumatra dan Jawa Berdasarkan Temuan Genting oleh Repelita Wahyu Oetomo merupakan tulisan yang berusaha mencari tahu seperti apa bentuk dan struktur bangunan yang menggunakan atap genting pada masa klasik, islam dan kolonial. Data yang digunakan dalam tulisan ini adalah perbandingan tinggalan genting dari masa klasik, islam dan kolonial yang ada di Sumatra dan Jawa dan juga konteks dari tinggalan tersebut. Tulisan terakhir pada edisi ini adalah dengan judul Identifikasi Tinggalan Arkeologis di Situs Kapal Tenggelam Senggiling oleh Stanov Purnawibowo. Tulisan ini berusaha menjawab tinggalan yang didapatkan melalui survei dan tes-pit yang dilakukan di bawah air pada suatu lokasi tenggelamnya kapal yang berasal dari abad ke 19. Artefak yang didapat pada kegiatan ini beragam. Mulai dati batuan beku, porselen, figurin, botol kaca, stoneware, dan kayu kapal. Melalui tinggalan tersebut dicari tahu baik bentuk dan juga kronologi benda tersebut, dimana hasilnya digunakan untuk menjelaskan situs kapal tenggelam tersebut.
Ucapan terimakasih tidak lupa kami sampaikan kepada Prof. DR. M. Dien Majid, M.Ag., (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah), Prof (Ris.). Dr. Harry Truman Simanjuntak, Center for Preshistoric and Austronesian Studies (CPAS), Prof. DR. Bungaran Antonius Simanjuntak (Universitas Negeri Medan), dan Dr. Titi Surti Nastiti (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) sebagai mitra bebestari, serta Drs. Bambang Budi Utomo, Drs. Yance, Msi.
sebagai konsultan editor yang telah membantu terbitnya jurnal ini.
Demikianlah karya-karya yang tersaji dalam edisi kali ini. Dalam keterbatasan, redaksi tiada henti-hentinya berusaha untuk meningkatkan kulaitas baik secara teknis maupun konten.
Melalui dukungan semua pihak, semoga di kemudian hari Berkala Arkeologi Sangkhakala mampu berdiri lebih tinggi dari yang telah dicapai saat ini.
Medan, November 2020 DewanRedaksi
FOLKLOR PENINGGALAN-PENINGGALAN PUTRI HIJAU DI DESA SEBERAYA, KARO
THE FOLKLORE OF PUTRI HIJAU’S RELICTS IN SEBERAYA VILLAGE, KARO
Naskah diterima: Revisi terakhir: Naskah disetujui terbit:
06-02-2020 30-10-2020 04-11-2020
Elwyn Bastian Sinaga1 danHariati Sembiring2 Universitas Sumatera Utara
Jalan Abdul Hakim No.1 Kampus USU, Medan
Abstract
Putri Hijau Cave in Seberaya, Tiga Panah sub-district, Karo District is the birthplace of Putri Hijau. Putri Hijau has two siblings, namely Nini Naga and Nini Cannon. The legacy of the Putri Hijau or Green Princess in Seberaya Village as historical evidence is believed by the community, contain historical value. This value is related to the life of the people of Seberaya. This study aims to identify and describe the remnants of the Green Princess that still exist today in the Village of Seberaya, Karo District and to know the views of the Seberaya people towards these remnants. The method used in this research is descriptive qualitative method. This method is used to describe the state of the inheritance object based on the available facts. The research data was obtained from observations and interviews with three informants. Observation is done by visiting the location of the object. Interviews were conducted with informants who knew the Putri Hijau story. Based on the research results, there are three relics that still exist, namely the Green Princess Bath, Green Princess Cave, and the Green Princess Playing Site.
Keywords: Putri Hijau; Putri Hijau cave; Jabi-jabi Abstrak
Gua Putri Hijau di Seberaya, kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo adalah tempat kelahiran Putri Hijau. Putri Hijau memiliki dua orang saudara, yaitu Nini Naga dan Nini Meriam. Peninggalan Putri Hijau yang ada di Desa Seberaya sebagai bukti sejarah yang diyakini masyarakat mengandung nilai sejarah. Nilai tersebut sangat berhubungan dengan kehidupan masayarakat Seberaya. Penelitian ini bertujuan mengetahui dan mendeskrpsikan peningalan-peningalan Putri Hijau yang masih ada saat ini di sana serta mengetahui pandangan masyarakat Seberaya terhadap peingalan-peniggalan tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Metode ini diguakan untuk melukiskan keadaan objek peninggalan berdasarkan fakta-fakta yang ada. Data penelitian ini diperoleh dari hasil observasi dan wawancara kepada tiga informan. Observasi dilakukan dengan mengunjungi lokasi keberadaan objek. Wawancara dilakukan kepada informan-informan yang mengetahui cerita Putri Hijau. Berdasarkan hasil penelitian diketahui ada tiga peninggalan yang masih ada, yakni Permandian Putri Hijau, Gua Putri Hijau, dan tempat Permainan Putri Hijau.
Kata kunci: Putri Hijau; Gua Putri Hijau; jabi-jabi
PENDAHULUAN
Sekitar penghujung abad ke-15 M ada dua orang bersaudara laki-laki bermarga sembiring meliala, berkampung di Ibu Kota Kerajaan Haru Sicapah, yakni Desa Seberaya yang menjadi tempat
kelahiran Putri Hijau dan kedua saudaranya. Kata Aru atau Haru berasal dari bahasa Karo Tua, yang sampai sekarang masih hidup dalam bahasa Karo yang artinya khawatir atau merasa sangsi karena ketakutan. Sebagai sebuah kerajaan yang besar, Kerajaan Aru
memiliki banyak situs peninggalan sejarah salah satunya ialah situs sejarah Benteng Putri Hijau. Benteng Putri Hijau adalah salah satu peninggalan sejarah Sumatera Utara yang bernilai tinggi karena terkait dengan Kerajaan Aru yang merupakan salah satu kerajaan terbesar di Sumatera sampai Aceh dan Malaka pada abad ke- 15. Hal ini sejalan dengan pendapat Azhari dan Syafri (2009, 8) mengatakan bahwa pada abad ke-15 M, Haru merupakan Kerajaan yang terbesar di Sumatera sebagai salah satu kekuatan yang ingin menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Malaka. Benteng Putri Hijau sendiri dibangun oleh masyarakat yang memiliki local genius dalam bidang ilmu kemiliteran guna menjadi pertahanan pada zaman dahulu. Benteng tersebut memiliki fungsi memperkuat pemukiman yang berada di dalamnya agar sulit diterobos oleh musuh yang menyerang sehingga Kerajaan Aru tidak dapat ditaklukkan. Kerajaan Aru Deli Tua telah mengenal sistem pertahanan yang pusat kerajaan tersebut dilindungi oleh benteng besar dan pembiayaan dalam pembangunan benteng ini diperoleh dari hasil perdagangan antara Kerajaan Aru dengan Portugis sewaktu menguasai Malaka pada tahun 1511. Salah satu kawasan yang menjadi letak situs sejarah peninggalan Kerajaan Aru yaitu Benteng Putri Hijau di Deli Tua saat ini yang keberadaanya sangat terancam oleh tiga pembangunan sekitar seratus rumah perumnas telah menjadi wacana dan polemik antara pihak yang peduli terhadap peninggalan situs-situs sejarah dengan pihak pengembang perumahan (PERUMNAS). Jika tidak dijaga dan dilindungi situs sejarah Benteng Putri Hijau di Deli Tua hanya akan menjadi sebuah kenangan belaka karena tidak ada keperdulian dari berbagai pihak. Upaya penyelamatan pernah dilakukan pada tahun 1999 dan 2004 terhadap Benteng Putri Hijau diusulkan oleh Balai Arkeologi Medan kepada pemerintah sebagai benda dan kawasan bersejarah sesuai UU No.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB). Namun, usulan tersebut tidak mendapatkan tanggapan yang positif.
Kemudian pernah juga dilakukan upaya penyelamatan oleh para peneliti yang
bekerja sama dengan masyarakat akademis beserta instansi yang terlibat dalam upaya penyelamatan situs sejarah tersebut, tetapi tidak disambut dengan positif.
Sekitar situs sejarah Benteng Putri Hijau masih tersisa sebuah pancuran air yang biasa disebut Pancur Gading dan diduga sebagai tempat mandi Putri Hijau.
Pancur Gading ini diyakini masyarakat sebagai tempat yang sakral karena di tempat itulah Putri Hijau biasa membersihkan diri sehingga banyak masyarakat datang untuk membersihkan diri di tempat tersebut dan tak jarang pula masyarakat dari luar wilayah datang untuk sekadar melihat dan merasakan kesejukan air di Pancur Gading tersebut. Masyarakat pada umumnya datang ke Pancur Gading dengan berbagai macam niatan atau memiliki tujuan di antaranya untuk kesembuhan penyakit, jodoh dan rezeki.
Oleh karena itu mereka datang ke tempat tersebut guna memohon doa dan memberikan sesajen tertentu karena persepsi masyarakat menganggap bahwa Pancur Gading adalah tempat keramat.
Masyarakat juga percaya apabila tertimpa musibah dan agar terhindar dari berbagai macam masalah maka mandi di Pancur Gading adalah salah satu hal yang harus dilakukan. Inilah hal yang mendasari penelitian ini dilakukan. Banyak peninggalan-peninggalan kebudayaan kita yang sudah punah dan akan punah karena peningalan-peninggalan tersebut tidak mendapat perhatian dari pemerintah.
Peninggalan-peninggalan tersebut dikisahkan oleh masyarakat kepada generasi berikutnya dengan teradisi oral sehingga menjadi legenda. Inilah yang disebut sebagai folklor. Folklor peninggalan-peningalan Putri Hijau tersebut mengandung gagasan, ide, dan nilai-nlai pengetahuan. Sangatlah penting untuk mengetahui peninggalan-peningalan berdasakan cerita yang telah diwariskan kepada masyarakat .
Endaswara (2009, 34) menyatakan bahwa folklor adalah gudang keilmuan tradisioal dan modern. Folklor adalah timbuan budaya yang di dalamnya terdapat simpanan sumber-sumber keilmuan. Folklor berisi keterampilan,
Folklor Peninggalan-Peninggalan Puteri Hijau di Desa Seberaya, Karo 75 pemikiran, ide, baik individu maupun
kolektif. Bebagai hal yang menyangkut kelakuan hidup, seperti pengobatan, kelahiran, kematian, guna-guna dan sejumlah ritual lain.
Sejalan dengan itu, Danandjaja (1994, 149) foklor mengatakan bahwa sebagai cerminan tata kelakuan kolektif.
Tata kelakuan akan muncul dalamnrma- norma, cita-cita, pandangan-pandangan, hukum, aturan-aturan, kepercayaan sikap, dan sebagainya. Yang perlu dicermati adalah kelakuan terselubung (covert) dan tidak tebuka (overt). Biasanya tata kelakuan semacam ini berupa tindakan sakral dan rahasia. Kajian ini akan membahas apa sajakah peningalan- peninggalan Putri Hijau di Desa Seberaya yang masih ada hingga saat ini? Goa putri hijau adalah tempat putri hijau dan saudaranya dilahirkan.
Goa ini terletak di tepi Lau Biang di Desa Seberaya. Sejarah dari goa ini dahulunya ada seorang isteri (sudah janda karena suaminya sudah meninggal) mengandung tua. Sang janda Beru Barus belum juga melahirkan padahal sudah memasuki tahun kedua. Seluruh masyarakat Seberaya ketakutan melihat janda beru Barus tersebut karena masyarakat kampung meyakini bahwa janda tersebut diikuti oleh jin dari lau biang dekat gua lau biang. Maka sepakatlah seluruh masyarakat kampung mengatakan kepada raja supaya janda tersebut diusir ke Gua Lau Biang. Gua Lau Biang inilah yang kemudian disebut masyarakat Seberaya sebagai tempat kelahiran dari Putri Hijau dan kedua saudaranya Nini Naga dan Nini Meriam.
Cerita tentang Putri Hijau dan kedua saudaranya tersebut secara umum memiliki dua versi, yakni versi yang berasal dari catatan sejarah berupa cerita lisan yang berkembang di masyarakat Melayu Deli dan versi hikayat dari masyarakat Karo yang berkembang di Desa Seberaya. Kedua versi tersebut memilki persamaan dan perbedaan yang saling menonjolkan keaslian cerita masing- masing.
Sebuah riset yang pernah dilakukan oleh (Dada Meraksa, 1971
dalam Putro, 1981) mengenai Putri Hijau mengatakan bahwa:
1. Melihat tapak istana Putri Hijau dan air pancurannya di Pancuran Gading Deli Tua.
2. Bambu yang disebut mengelilingi kerajaan ini, sampai kini bambu tersebut masih tersusun rapat.
3. Seorang tua bernama Ammel (Ame Mel? BP). Ketika Maskapai Deli Batavia dibuka di Deli Tua, ada seorang petani menggali di sekitar lokasi Putri Hijau tersebut, lalu didapatnya seguci kecil emas kemudian emas itu di jualnya ke toko cina, tetapi oleh Sultan Ma’moen Al-Rasyid mendengar hal itu dia menebusnya kembali dan emas itu kemudian dimilikinya.
4. Kampung Sukanalu, pekan Kaban Jahe, masih ada nenek-nenek yang menyimpan rambut Putri Hijau yang panjangnya hampir 2 meter tanpa disambung. Di kampung itu juga sampai sekarang terdapat saudara Putri Hijau si Meriam. Penemuan ini salah satu bukti bahwa cerita Putri Hijau bukanlah sebuah dongeng.
Penelitian ini akan membahas tentang folklor peninggalan folklor Putri Hijau kondisi dan keadaan peninggalan Putri Hijau, dan pandangan masyarakat terhadap kisah Putri Hijau di Desa Seberaya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peningalan, kondisi, dan pandangan masyarakat di Desa Seberaya tetang Putri Hijau.
METODE
Metode penelitian yang digunakan adalah metode wawancara terhadap tiga informan. Metode analisis data yang digunakan dalam peneltian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Metode deskriptif adalah metode yang melukiskan keadan sebuah objek berdasarkan fakta- fakta yang ada (Hoffman, 1994: 73) selanjutnya Sugiyono (2008) juga mengatakan bahwa penelitian kualitatif deskriptif bertujuan untuk mendapatkan dan menganalisis data secara mendalam.
Sehingga dengan menggunakan metode kualitatif data dapat dianalisis secara mendalam dan jelas. Metode penelitian
kualitatif bersifat subjektif atau berdasarkan sudut pandang partisipan secara deskriptif sehingga hasilnya tidak dapat digeneralisasikan. Dengan kata lain, metode riset ini lebih bersifat memberikan gambaran secara jelas tentang permasalahan sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Desa Seberaya terletak di Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, yang berjarak kurang lebih sekitar 3 Km dari Desa ke Tigapanah, serta berjarak sekitar 12 km dari Kabanjahe, dan berjarak kurang lebih 76 km dari Medan. Desa Seberaya berbatasan dengan Desa Simpang Bertah, Aji Mbelang, Aji Jahe, Aji Buhara dan Aji Julu jika dari daerah Ujung Aji, tetapi jika dari Tiga Panah berbatasan dengan Desa Kuta Balai dan Tiga Panah.
Angkutan yang dapat digunakan untuk menuju desa ini dari Kota Medan diawali dengan menaiki Sinabung Jaya, Sutra atau angkutan umum yang melewati Berastagiatau Kabanjahe. Sesampainya di Berastagi atau di Kabanjahe, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan angkutan Sibayak jurusan Desa Seberaya jika dari Berastagi, tetapi jika dari Kabanjahe dilanjutkan dengan Arih Ersada yang menuju Desa Seberaya.
Ruas jalan dari Berastagi atau dari Kabanjahe menuju Desa Seberaya telah diaspal. Namun, ada sebagian ruas jalan yang sudah berlubang dan digenangi air jika hujan. Sebagian besar jalan yang rusak ini dijumpai pada rute perjalanan dari Kabanjahe menuju Desa Seberaya yaitu pada daerah yang sering disebut Lau Pirik. Sejarah terbentuknya Desa Seberaya dan penamaan Desa Seberaya yang diakui cerita sejarah dari generasi ke generasi penduduk Desa Seberaya.
Menurut beberapa sumber, Desa Seberaya memiliki pengaruh dari India, hal ini terlihat dari nama nama sub Marga Sembiring seperti Depari, Pandia, Colia, Meliala, Brahmana dan sebagainya. Kata Seberaya ini berasal dari kata Serayan dalam bahasa Karo yang berartinya kelompok atau kelompok kerja. Kata serayan ini juga dapat disamakan dengan kata aron dalam bahasa Karo yang berarti
kelompok kerja, biasanya untuk mengerjakan ladang anggota kelompoknya. Seiring dengan berjalannya waktu, kata serayan berubah menjadi kata Seberaya, tidak ada yang mengetahui jelas kapan dan siapa yang mengubah nama serayan menjadi Seberaya.
Dalam budaya Karo, ada istilah merga simantek kuta dan anak beru kuta yang berarti marga orang yang awalnya mendiami daerah tersebut atau orang yang mendirikan kampung atau desa tersebut. Desa Seberaya marga simantek kuta adalah marga Karo Sekali, karena kelompok orang Marga Karo Sekalilah yang awalnya mendiami dan mendirikan desa ini. Sementara anak beru kuta adalah Merga Sembiring. Desa Seberaya memiliki tiga kesain besar kelompok atau persekutuan penduduk di suatu kampong yang didasarkan pada keturunan yang sama’ besar yang berada di sebuah wilayah Desa Seberaya. Kesain tersebut adalah Kesain Rumah Karo Raja Urung, Kesain Saribu dan Kesain Julun. Nama nama kesain ini diyakini oleh tiga kepala keluarga yang awalnya mendiami daerah Seberaya.
Sampai saat ini, penduduk dengan marga Karo Sekali dan Sembiringlah yang paling banyak di Desa Seberaya. Marga Karo Sekali juga diyakini berasal dan berkembang dari Desa Seberaya. Jumlah Penduduk Seberaya sekitar 1100 Per Kepala Keluarga.
Penduduk Desa ini sebagian besar beragama Kristen Protestan sekitar 30 %, Katolik 20 %, Pentakosta 30 %, Islam 15 %, dan lain lain 5 %. Penduduk yang ada di Desa Seberaya mayoritas bersuku Karo (90%), tetapi setaelah adanya perpindahan penduduk, kini Desa Seberaya juga ditinggali oleh kelompok etnis lain seperti Batak Toba, Simalungun, Jawa, Nias, dan orang dari kelompok lainnya. Masuknya etnis lain ke desa ini terjadi dengan beberapa cara misalnya ada warga Desa Seberaya yang menikah dengan orang dari etnis lain dan menetap di Desa Seberaya, orang dari etnis lain masuk dan menetap di Desa Seberaya dengan tujuan mencari pekerjaan (biasanya sebagai buruh tani) atau kedatangan etnis lain karena faktor
Folklor Peninggalan-Peninggalan Puteri Hijau di Desa Seberaya, Karo 77 kesadaran sendiri ingin menetap di Desa
Seberaya.
Mata pencaharian masyarakat Seberaya mayoritas bertani. Tanaman yang paling banyak ditanam oleh warga Seberaya dahulunya adalah tanaman jeruk, tetapi semakin lama hanya segelintir orang yang menanam jeruk karena banyaknya lalat buah yang menyebabkan gagal panen. Saat ini penduduk Desa Seberaya menanam berbagai macam tanaman seperti kopi, tomat, kentang , tembakau, dan jenis jenis sayuran lainnya seperti sayur putih, kol, bunga kol, cabai, beberapa penduduk juga sudah mulai menanam tanaman wortel, lemon, dan sebagainya. Desa Seberaya juga terkenal dengan penghasil tanaman bunga dengan berbagai macam jenis mulai dari Bunga ester, bunga terompet, bunga dahlia, bunga sedap malam, bunga tekwa, bunga krisan, bunga pong pong, bunga anyelir dan sebagainya.
Selain aktivitas dan mata pencaharian tersebut, Desa Seberaya juga mempunyai cerita yang sangat sensasional. Salah satu cerita tentang Putri Hjau. Cerita Putri Hijau berkaitan dengan Desa Seberaya. Konon menurut masyarakat Desa Seberaya yang diceritakan secara turun temurun Putri Hijau dan saudara saudaranya lahir di Desa Seberaya tepatnya di gua dekat Lau Pirik. Sampai saat ini gua tersebut masih ada dan sebagian permukaannya tertimbun gugusan tebing sekitarnya.
Menurut cerita dari informan orang tua, Ibu, Putri Hijau merupakan penduduk asli Desa Seberaya yang merupakan Beru Sembiring Milala.
Kisah awal ini berawal dari si Beru Milala ini (namanya tidak diketahui) sedang hamil tua, sedangkan suaminya telah meninggal dunia. Si Beru Meliala ini sudah hamil tua, tetapi tidak melahir- melahirkan. Hal ini membuat seluruh masyarakat Desa Seberaya ketakutan karena masyarakat Desa Seberaya meyakini bayi yang dikandungnya adalah anak jin dari Lau Pirik. Oleh karena hal tersebut, masyarakat Desa Seberaya mengasingkannnya dari Desa Seberaya ke sebuah gua di Lau Pirik atau yang sering disebut dengan Gua Lau Pirik. Anak
yang dilahirkan Beru Milala kembar tiga,yaitu Naga, Meriam, dan Putri Hijau yang pada awalnya, nama Putri Hijau di Seberaya disebut adalah “Beru Peteri”
yang artinya “Wanita Sakti yang bersinar”.
Putri Hijau tumbuh besar menjadi seorang gadis yang cantik. Kecantikannya memancarkan warna kehijauan yang berkilau dan menjadi tersohor ke berbagai pelosok negeri. Bahkan Konon katanya, Putri Hijau bagaikan Dewi kahyangan yang turun ke bumi. Putri Hijau memiliki rambut yang sangat panjang bahkan satu helai rambutnya pun sebesar satu genggaman tangan orang dewasa atau sebesar bola kasti hal ini dulu pernah dibuktikan dengan ditemukannya sehelai rambut tersebut di Desa Seberaya, tepatnya di Rumah Mbelin ( Salah Satu rumah adat di Desa Seberaya pada zaman dahulu). Putri Hijau juga memiliki kulit yang sangat putih, saking putihnya ketika dia memakan sirih, sirih tersebut terlihat di lehernya berwarna merah
Menurut cerita masyarakat Seberaya, sejarah nama Putri Hijau adalah ketika ibunya mengandung dia mengidam kelapa hijau, tetapi karena di Tanah Karo tidak ada kelapa muda maka sang janda tersebut meminta tolong kepada perlanja sira ‘pedagang garam’ yang mengambil garam ke Jahe-Jahe (daerah Delitua) membawa kelapa muda yang masih hijau.
Perlanja sira tersebut memenuhi permintaan sang janda sehingga ketika perlanja sira kembali melewati lau pirik dia memberikan kelapa muda berwarna hijau.
Pada malam harinya setelah sang janda meminum kelapa hijau yang dibawa perlanja sira melahirkanlah dia.
Desa Seberaya tepatnya di Lau Pirik juga terdapat tapian ‘permandian’
untuk tempatnya mandi dan Gua Lau Pirik yang konon katanya merupakan tempat kelahiran sang Putri Hijau dan saudaranya. Menurut cerita yang beredar, sang Putri dan saudaranya akhirnya pindah dari Desa Seberaya karena Masyarakat Desa Seberaya tidak sanggup lagi menyediakan makanan Si Naga saudara Putri Hijau yang memiliki nafsu makan yang sangat besar. Mereka akhirnya dari Desa Seberaya menuju Delitua, konon katanya mereka pindah ke
Delitua melalui jalur Gua Lau Pirik tempat mereka dilahirkan yang menurut cerita jika ke luar dari gua tersebut dapat sampai ke daerah Delitua lalu para pengikutnya di Delitua membangun benteng yang kuat sehingga negeri itu menjadi sangat makmur.
Kecantikan Puteri Hijau yang menyebar seperti kabar burung ke segala penjuru, suatu ketika didengar oleh Raja Aceh. Kemudian Sang Raja menginginkan Putri Hijau sehingga mengirim bala tentara untuk meminang Puteri Hijau. Utusan yang dikirim oleh Sang Raja ditolak oleh Putri Hijau. Hal ini membuat Raja Aceh menjadi murka. Ia merasa diri dan kerajaannya dihina sehingga jatuhlah perintah untuk segera menyerang benteng Puteri Hijau.
Tapi karena bentengnya sangat kokoh, pasukan Aceh gagal menembusnya.
Menyadari jumlah pasukannya makin menyusut telah banyak yang terbunuh, panglima-panglima perang Aceh memakai siasat baru. Mereka menyuruh prajuritnya menembakkan ribuan uang emas ke arah prajurit benteng yang bertahan di balik pintu gerbang. Suasana menjadi tidak terkendali karena para penjaga benteng itu berebutan uang emas dan meninggalkan benteng pertahanan. Ketika mereka tengah sibuk memunguti uang logam, tentara Aceh menerobos masuk dan dengan mudah menguasai benteng.
Pertahanan terakhir yang dimiliki orang dalam adalah salah seorang saudara Puteri Hijau, yaitu Meriam Puntung. Karena ditembakkan terus- menerus, meriam ini menjadi panas, meledak, terlontar, dan terputus dua.
Bagian moncongnya tercampak ke Desa Sukanalu Simbelang, Kecamatan Barusjahe, sedangkan bagian sisanya terlontar ke Labuhan Deli, dan kini ada di halaman Istana Maimun, Medan. Melihat situasi yang tak menguntungkan, Naga saudara Sang Puteri Hijau, menaikkan Puteri Hijau ke atas punggungnya dan menyelamatkan diri melalui sebuah terusan (Jalan Puteri Hijau), memasuki sungai Deli, dan langsung ke Selat Malaka.
Menurut cerita ini, saudara- saudara Puteri Hijau adalah manusia- manusia sakti yang masing-masing bisa
menjelma menjadi meriam dan naga.
Memang, cerita lisan selalu mewariskan banyak versi sesuai selera masing-masing penceritanya. Cerita ini berdasarkan cerita versi Desa Seberaya. Kisah mengenai Putri Hijau memiliki beberapa versi sehingga keberadaan Putri Hijau yang sebenarnya tidak diketahui kebenarannya.
Keberadaan Putri Hijau ini dapat diketahui dari peningalan-peninggalan yang masih ada sampai saat ini. Berdasarkan hasil wawancara dari tiga informan yang dilakukan di Desa Seberaya mengatakan dahulu masih banyak peninggalan- peninggalan Putri Hijau, seperti peralatan dapur dan peralatan-peralatan hidup mereka. Peralatan tersebut dahulunya berada di dalam gua Putri Hijau di dekat Lau Pirik, Desa Seberaya. Peninggalan itu dibawa oleh orang asing sehingga semua perlengkapan tersebut tidak ada yang tersisa, tetapi masyarakat mengakui bahwa mereka sempat melihat perlengkapan tersebut. Inilah yang menjadi bukti bahwa kebenaran mengenai keberadaan Putri Hijau tersebut berada di Desa Seberaya sebagai tempat kelahiran Putri Hijau dan saudaranya Nini Naga dan Nini Meriam. Menurut cerita masyarakat Seberaya Putri Hijau dan kedua saudaranya kembar tiga, tetapi yang lahir pertama adalah Nini Naga kemudian Nini Meriam, dan yang ketiga Putri Hijau.
Peningalan Putri hijau yang masih ada sampai saat ini di Desa Seberaya, yaitu : Permandian Putri Hijau
Permandian Putri Hijau berada tidak jauh dari Gua Putri Hijau. Sebelum menuju ke Gua Putri Hijau, pendatang atau pengunjung harus singgah ke tempat ini untuk mencuci kaki, tangan, dan wajah sebagai syarat untuk bisa memasuki Gua Putri Hijau. Masyarakat Seberaya dan pengujung tidak bisa langsung menuju Gua tersebut apabila pengunjung memasuki Gua tersebut tanpa membersihkan diri terlebih dahulu.
Sebagai tanda penyucian diri atau membersihkan diri sebelum memasuki gua Putri Hijau. Hal ini juga diyakini agar setiap orang yang datang ke Gua tersebut tetap dalam keaadan selamat dan memiliki sikap
Folklor Peninggalan-Peninggalan Puteri Hijau di Desa Seberaya, Karo 79 yang bersih dan sopan saat berkunjung ke
tempat itu.
Air permandian ini sangat jernih dan bersih dan disekitar permandian Putri Hijau di kelilingi tumbuhan kecil yang hampir menutupi permandian tersebut.
Permandian itu dilengkapi dengan gayung oleh penjaga gua untuk para pendatang yang berkunjung ke gua Putri Hijau.
Gayung tersebut digunakan para pendatang mencuci kaki. Selain itu, di pinggir bak permandian tersebut ada tempat untuk mencuci kaki. Menurut seorang informan di dalam bak permandian PutriHijau tersebut ada mata air yang terus mengalir sehingga ketika musim kemarau tiba bak tersebut tetap terisi penuh. Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 1. Permandian Putri Hijau (Sumber: dokumentasi Sinaga dan Sembiring, 2020)
Gua Putri Hijau
Kondisi gua tersebut saat ini sangat tidak terawat. Jalan menuju gua tersebut masih sangat sulit karena melewati jalan setapak yang sangat semak dan turunan. Pada saat itu, jalan turunan tersebut sedang longsor sehingga kami harus melewati kayu yang tumbang. Gua Putri Hijau ini berbentuk busur. Saat memasuki gua, keadaan tanah agak menurun, tidak merata di luar gua lebih tinggi daripada di dalam gua. Jika ingin memasuki Gua Putri Hijau ini, pendatang harus tunduk atau jongkok. Tinggi gua tersebut kurang lebih 1 m. Kedalaman gua tersebut kira-kira 1,5 meter. Usia dari gua
tersebut tidak diketahui oleh masyarakat Seberaya dan penjaga gua itu sendiri pun.
Kondisi bagian dalam gua tersebut terlihat bersih dan di bagian dalam gua tersebut terlihat dua lobang, yakni pada bagian atas dan pada bagian bawah di sisi kiri gua.
Bagian dalam gua tersebut terdapat rokok yang dihidupkan oleh penjaga gua tersebut. Saat berkunjung ke sana kami tidak perlu membawa apa pun “Yang penting saat menuju dan memasuki gua tersebut tetap bersikap sopan” kata penjaga gua tersebut.
Selain kepentingan dalam penelitian para pengunjung datang ke Gua Putri Hijau untuk menyampaikan permohonan. Pengunjung yang datang untuk menyampaikan permohonan biasanya membawa rokok, daun sirih, dan jeruk purut dan meletakkan persembahan tersebut di tengah gua. Kondisi di luar gua bersih karena dibersihkan oleh penjaga gua tersebut. Lahan yang di sekitar gua tersebut masih kosong. Menurut seorang informan yang diwawancarai masyarakat Desa Seberaya pun sampai saat ini masih mengakui kemistisan dari Lau Pirik tempat gua Putri Hijau tersebut. Sehingga sebelum kami menuju ke sana informan tersebut tidak mengizinkan kami berkunjung ke gua tersebut karena
“Masyarakat Desa Seberaya pun tidak berani datang ke sana,” katanya “kecuali ada seorang bapak yang dahulunya sering datang ke gua tersebut”. Bahkan dahulunya pernah pengunjung datang ke gua tersebut mengambil foto dari gua tersebut, tetapi foto gua tersebut semuanya kabur. Kemistisan dari gua Lau Pirik ini masih diakui oleh masyarakat Desa Seberaya sampai saat ini. Informan tersebut menyarankan kami untuk mewawancarai bapak yang menjaga gua tersebut dan jangan mendatangi gua tersebut. Bapak yang menjaga gua tersebut berprofesi melukis sehingga ada beberapa lukisan Putri Hijau yang dia lukis, tetapi gua Putri Hijau belum pernah dia lukis sehingga kami kesulitan untuk mendapatkan data. Kemudian bapak tersebut menyuruh anaknya yang membawa kami ke gua tersebut.
Gambar 2 Gua Putri Hijau
(Sumber: dokumentasi Sinaga dan Sembiring, 2020)
Lubang Bawah Sisi Kiri
Menurut penjaga goa Putri Hijau tersebut lobang yang berada di pojok kiri bawah tersebut adalah lubang Nini Naga.
Dekat lubang tersebut terdapat puntungan rokok karena setiap kali penjaga gua tersebut datang ke gua diletakkan rokok yang telah ia hidupkan. Rokok tersebut bermakna sapaan dan ucapan hormat kepada Nini Naga, Nini Meriam, dan Putri Hijau. Berdasarkan cerita penjaga gua tersebut lubang ini dapat tembus ke tempat permainan mereka di Seberaya Julu yang jaraknya 2 km, tetapi menurut beberapa cerita lain lubang tersebut dapat menembus ke Delitua.
Gambar 3. Lubang Bawah Sisi Kiri
(Sumber: dokumentasi Sinaga dan Sembiring, 2020)
Lubang Sisi Atas
Lubang sisi atas terletak di dekat pintu masuk gua. Lubang ini adalah lubang untuk ke luarnya Nini Meriam menuju tempat permainan di Desa Siberaya Julu.
Apabila lubang tersebut di terawang, batas tembusan dari lubang itu tidak terliat.
Dinding gua tersebut campuran batu, tanah, dan pasir.
Gambar 4. Lubang Sisi Atas
(Sumber: dokumentasi Sinaga dan Sembiring, 2020)
Tempat Permainan Putri Hijau
Tempat permainan Putri Hijau berada di Desa Seberaya Julu. Lokasi permainan Puti Hijau mudah untuk ditemukan karena letaknya berada di pinggir pasar dan sudah dibagun Monumen Putri Hijau oleh pemerintah setempat. Berikut gambar monumen Putri Hijau tersebut:
Setelah memasuki monumen tersebut, para pengunjung akan menemukan tempat permainan Putri Hijau yang jaraknya kurang lebih 20 m dari pasar utama. Letak tempat permainan Putri Hijau berada di bawah pohon jabi- jabi ’pohon bertingin’. Pohon jabi-jabi tersebut dianggap sakti oleh masyarakat Seberaya sehingga tanah yang ada di sekitar tempat permainan Putri Hijau dan kedua saudaranya itu tidak boleh dikelola oleh masyarakat Seberaya karena tidak mendapatkan hasil yang baik dari tanah tersebut. Tanah yang di sekitar Permainan Putri Hijau tersebut sekarang dikelola oleh para pendatang.
Kondisi tempat permainan Putri hijau saat ini sudah banyak mengalami perubahan. Pohon jabi-jabi yang dahulunya dijadikan sebagai tempatnya berteduh sudah tidak ada lagi, tetapi ditanam dengan beberapa pohon jabi-jabi yang baru. Bagian bawah pohon tersebut dibangun sebuah pondok oleh para pendatang dan penduduk Seberaya yang dahulunya meminta doa di tempat
Folklor Peninggalan-Peninggalan Puteri Hijau di Desa Seberaya, Karo 81 permainan Putri Hijau tersebut dan doanya
terkabulkan. Pondok permainan Putri Hijau tersebut kurang terawat karena pohon yang di atas atap pondok tersebut sudah sampai ke atap pondok. Cat pondok tersebut sudah pudar, dan kain hijau yang menutupi pondok sudah mulai lapuk. Inilah kondisi pondok permainan Putri Hijau saat ini. Berikut kondisi tempat permainan Putri Hijau saat ini di Desa Seberaya.
Gambar 6. Pondok Putri Hijau
(Sumber: dokumentasi Sinaga dan Sembiring, 2020)
Selanjutnya di dalam pondok tersebut dibangun sebuah monumen Putri Hujau sebagai tempat persembahan para pengunjung. Para pengunjung dan beberapa masyarakat Seberaya yang datang memohon doa ke tempat tersebut biasanya membawa daun sirih, telur ayam kampung, air, jeruk purut, rokok, kelapa muda, dan bunga. Sebagai bentuk penghormatan kepada Putri Hijau, Nini Meriam, dan Nini Naga. Monumen ini dahulunya belum dibangun dari keramik, tetapi saat ini monumen tersebut sudah di bangun dari keramik dan monumen tersebut berbentuk persegi panjang yang ditutupi dengan kaca di bagian kiri, kanan, atas, dan bawah. Bagian tengah monumen tersebut juga dibentangkan kain berwarna putih (kain kapan). Sehingga tidak sembarangan pengunjung dapat meletakkan sesajen ke dalam kotak tersebut. Berikut monumen Putri Hijau saat ini di Desa Seberaya.
Gambar 7. Monumen Putri Hiju
(Sumber: dokumentasi Sinaga dan Sembiring, 2020)
KESIMPULAN
Melalui hasil penelitian menunjukkan bahwa Desa Seberaya, Kecamatan Tiga Panah, kabupaten Karo awalnya memiliki nama serayan ‘kelompok kerja’. Seiring berjalannya waktu berubah menjadi Seberaya. Di desa Seberaya inilah peninggalan-peninggan Putri Hijau ditemukan dan ada beberapa peninggalan yang masih dilestariakan sampai saat ini oleh masyarakat Seberaya. Peninggalan- peninggalan tersebut memilki fungsi yang berbeda-beda. Lau Pirik ‘permandian Putri Hijau’ sebagai tempat untuk membersihkan dan menyucikan tubuh.
Gua Putri Hijau sebagai tempat kelahiran Putri Hijau dan saudaranya Nini Naga dan Nini Meriam. Gua tersebut saat ini digunakan oleh para pengunjung dam beberapa masyarakat Seberaya sebagi tempat untuk meminta kesehatan, kesembuhan dari penyakit, kesuksesan, rejeki, dan jodoh. Permainan Putri Hijau sebagai tempat menyampaikan ucapan terima kasih dengan memberi sesajen atau persembahan atas terkabulnya permintaan dan permohonan.
Masyarakat masih tetap mempertahankan tradisi yang ada Dengan tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk mengunjungi peninggalan Putri Hijau. Nilai budaya yang ditanamkan adalah budaya untuk berdoa atau meminta sesuatu. Sikap suci, jujur, benar, dan bersih adalah syarat utama yang harus dilakukan sebelum berdoa atau memohon
sesuatu. Berdoa dilakukan dengan mengasingkan diri dari keramaian, yakni merujuk tempat yang disebut gua. Setelah permintaan itu diterima tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih sebagai balasan dari permohonan yang sudah diterima. Hal ini menyatakan bahwa sikap masyarakat Seberaya yang bersih dan sopan serta sikap yang tahu berterima kasih sudah ditanamkan melalui peninggalan-peninggalan Putri Hijau yang ada di Seberaya.
Kondisi semua peninggalan Putri Hijau tersebut sangat membutuhkan perhatian dari pemerintah sekitar karena kondisi dari peninggalan tersebut kurang terawat. Hal ini menyebabkan hilangnya beberapa peninggalan dari peninggalan Putri Hijau tersebut. Pandangan beberapa masyarakat Seberaya mengenai peninggalan-peninggalan Putri Hijau tersebut sangat perlu dilestarikan sebagai peninggalan sejarah, tetapi ada beberapa masyarakat yang menganggap hal tersebut tidak perlu dilestarikan karena peninggalan tersebut dipandang bersifat mistik. Apalagi seiring dengan perkembangan zaman yang semua orang telah memiliki agama dan kepercayaan masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Amelia, Pidia. 2012. Legenda Putri Hijau Di Tanah Deli. Medan: Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Provinsi Sumatera Timur.
Azhari, dan Syafri. 2009. Jejak Sejarah dan Kebudayaan Melayu di Sumatera Utara. Medan: Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Sumut.
Danandjaja, James. 1994. Antropologi Psikologi. Teori, metode dan sejarah Perkembangannya. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Endraswara. 2009. Metodologi Penelitan Folklor. Yogyakarta: Media Pressindo.
Hoffman, Martin. dkk. 1994 Developmental Psychology Today. 6th Edition. New
York: Mc Graw Hill.
Prinst, SH, Darwin. 2002. Kamus Karo Indonesia. Medan : Bina Media.
Putro, Brahma. 1981. Karo dari Zaman ke Zaman. Medan: Perguruan Nasional Dharma Putra.
Putra, Hermansyah. 2010. Cerita Rakyat Putri Hijau Versi Masyarakat Karo di Suka Nalu. Medan : Unimed.
Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Website
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcba ceh/benteng-putri-hijau-berdasarkan- data-sejarah-dan-arkeologis/ diakses pada tanggal 30 Januari 2020 pukul 13:10 WIB.
http://agustinahelena.blogspot.com/2017/0 5/normal-0-false-false-false-in-x- none-x.html diakses pada tanggal 31 Januari 2020 pukul 14:10 WIB.
Narasumber
1. Nama: R. Karo Sekali
Tempat tinggal: Desa Seberaya Pendidikan: S-1
Usia: 65 tahun
2. Nama: T. Br Sembiring
Tempat tinggal: Desa Seberaya Pendidikan: S-1
Usia: 25 tahun
3. Nama: M. Karo Sekali
Tempat Tinggal: Desa Seberaya Pendidikan: SMA
Usia: 28 tahun
EKSISTENSI LELUHUR
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT NIAS
ANCESTOR EXISTENCE IN THE LIFE OF NIAS SOCIETY
Naskah diterima: Revisi terakhir: Naskah disetujui terbit:
25-01-2020 11-11-2020 12-11-2020
Ketut Wiradnyana Balai Arkeologi Sumatera Utara
Jalan Seroja Raya Gang Arkeologi No. 1, Medan Tuntungan, Medan [email protected]
Abstract
The Nias community adheres to patrilineal kinship patterns system, which in various aspects of their culture are related to male bloodlines. The patrilineal concept is closely related to the idea of worshiping ancestors. Ancestor worship is one of belief in Megalithic culture and in many communities this belief affecting various aspects of cultural community life. In this regard, Nias culture can be recognized through understanding the existence of ancestors in Nias people's lives. This study also describing the relation of ancestor existence to economic and social aspects in Nias culture. Descriptive-qualitative approach is used to examining archeological and ethnographic data. The conclusion of this study indicates that the existence of ancestors is closely related to patrilineal and power.
Keywords: ancestors; folklore; social life; religion; identity Abstrak
Masyarakat Nias menganut pola kekerabatan patrilineal, yang dalam berbagai aspek kebudayaannya sangat terkait dengan konsepsi pemujaan leluhur. Konsepsi yang sudah dikenal ini berkaitan dengan berbagai kehidupan. Berkenaan dengan itu maka upaya memahami kebudayaan Nias melalui pemahaman tentang eksistensi leluhur dalam kehidupan masyarakat. Bahasan ini berkaitan dengan eksistensi leluhur yang terkait juga dengan aspek ekonomi dan sosial. Adapun pendekatannya bersifat kualitatif dengan mendeskripsikan hasil-hasil penelitian arkeologis dan etnografis. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa eksistensi leluhur sangat terkait dengan patrilineal dan kekuasaan.
Kata kunci: leluhur; folklor; kehidupan sosial; religi; identitas
PENDAHULUAN
Leluhur merupakan identitas tradisional, yang terkait dengan genealogis maupun matrilineal. Identitas tradisional tersebut berlaku dari masa lalu hingga masa kini. Dalam kebudayaan universal, konsepsi tentang leluhur itu lebih banyak berkembang pada tatanan patrilineal, sehingga konsepsi itu mengacu pada sosok laki-laki. Metode untuk mengenalkan konsep itu dilakukan dengan lisan ataupun tulisan (Wiradnyana 2010, 221). Tradisi lisan merupakan konsepsi yang paling sederhana untuk dipraktekkan, sehingga kerap bentuknya menjadi sebuah folklor lisan dan tulisan, seperti yang berkembang dalam berbagai media seperti batu, logam, daun, bambu, tulang dan lainnya yang kerap ditemukan pada budaya materi masyarakat tradisional.
Konsep leluhur dalam masyarakat Nias ditemukan dalam folklor lisan, yang tidak hanya berupa tuturan atau istilah dalam kaitannya dengan kekerabatan tetapi juga berkaitan dengan aspek religi. Tuturan dalam kaitannya dengan kekerabatan itu memiliki keterbatasan, yaitu genealogi secara vertikal hanya dapat diingat dan dikenali dalam empat atau lima generasi sebelumnya, sedangkan dalam konteks horisontal hanya dapat diidentifikasi sebagai kerabat hingga sampai pada tiga tingkatan kekerabatan. Berkenaan dengan itu maka genealogi secara vertikal, kerap mengaitkan leluhur itu dengan tokoh-tokoh yang diingat dalam folklor lisan, yang asal muasalnya tak dapat dibayangkan dalam konteks geografi sehingga akhirnya konsep dunia lain (dualisme) menjadi konsep tempat tinggal