• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsumsi ransum merupakan faktor esensial yang merupakan dasar untuk mencukupi hidup pokok dan menentukan tingkat produksi. Pakan yang dikonsumsi oleh ternak domba sangat diperlukan guna memenuhi kebutuhan zat makanan untuk hidup pokok dan produksi. Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang diberikan dikurangi dengan sisa pakan. Pakan yang baik dapat menunjang pertumbuhan yang optimal. Konsumsi pakan setiap ekor ternak berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor kompleks yang terdiri dari hewan, pakan yang diberikan, dan lingkungan tempat hewan tersebut dipelihara (Parakkasi, 1999).

Pengaruh pemberian suplementasi kromium dan ransum dengan neraca kation anion berbeda selama penelitian disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Konsumsi dan Pertambahan Bobot Badan Domba Garut Betina

terhadap Ransum yang mengandung Kromium Organik dan Anorganik dengan Neraca Kation Anion yang Berbeda.

Perlakuan Konsumsi Bahan kering (g/e/hari)

Pertambahan Bobot badan (g/e/hari) RA 772 ± 68 50,22 ± 29,25 RB 750 ± 104 45,76 ± 27,61 RC 728 ± 85 81,47 ± 56,40 RD 721 ± 90 56,92 ± 14,29 RE 689 ± 79 47,99 ± 61,69 RF 932 ± 117 94,87 ± 35,60 765 ± 90 62,87 ± 37,47

Keterangan : RA= Ransum Basal, RB=RA+3ppm Cr-Anorganik, RC=RA+3ppm Cr Organik

Jerami Padi, RD=RA+3ppm Cr Organik Sawit, RE=RPKAR-10 + Cr Organik Jerami Padi, RF= RPKAR-10 + 3ppm Sawit

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa rataan konsumsi bahan kering pada penelitian ini tidak berbeda nyata, baik untuk perlakuan maupun kelompok bobot badan. Hal ini dikarenakan suplementasi kromium dengan nilai kation anion berbeda pada umumnya tidak berpengaruh besar terhadap konsumsi tetapi lebih besar pengaruhnya terhadap metabolisme dalam tubuh sehingga dalam penelitian ini perlakuan tidak mempengaruhi dari konsumsi ternak. Sutardi (1980) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah palatabilitas, jumlah makanan yang tersedia dan kualitas atau komposisi kimia bahan makanan.

Ransum RF memiliki kecenderungan konsumsi bahan kering paling tinggi di antara perlakuan RA, RB, RC, RD dan RE. Hal ini menggambarkan ransum RF lebih disukai. Ransum RF memiliki kandungan suplementasi kromium organik serat sawit dan nilai kation anion ransum -10. Hal ini dimungkinkan karena domba mendapat pengaruh dari pemberian suplemen dari kromium organik dan pengaruh kadar kation anion sehingga dapat meningkatkan konsumsi dari domba, karena tujuan dari pemberian suplementasi kromium dan nilai kation anion ini untuk meningkatkan konsumsi, sehingga pemberian suplementasi kromium organik ini sebaiknya diberilan pada saat kondisi kation anion negatif yaitu -10, hal ini sesuai dengan Chan et al. (2005) yang menyatakan bahwa bertambahnya nilai kation anion ransum (NKAR) menyebabkan semakin menurunnya konsumsi bahan kering, sehingga penurunan nilai nisbah kation anion ransum dapat meningkatkan konsumsi ransum dari ternak.

Konsumsi Ransum 772 750 728 721 689 932 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 RA RB RC RD RE RF Perlakuan K on s um s i B a ha n K e ri ng (g/ M nt )

Gambar 2. Konsumsi Ransum Percobaan yang disuplementasi Kromium dengan Nilai Nisbah Kation Anion Berbeda

Konsumsi bahan kering ransum RE memiliki konsumsi yang paling rendah dari ransum yang lain, penambahan ransum dengan kromium organik jerami padi dengan neraca kation anion -10 ternyata tidak meningkatkan konsumsi bahkan cenderung menurunkan konsumsi pakan bila dibandingkan dengan ransum kontrol, hal ini dimungkinkan karena rendahnya level pemberian kromium sehingga diduga tidak memberikan pengaruh terhadap konsumsi ransum penelitian.

20 Gambar 2 diatas menunjukkan bahwa pemberian suplementasi kromium dengan nilai nisbah kation anion berbeda menunjukkan hasil yang berbeda, walaupun secara statistik tidak berpengaruh secara nyata, tetapi dari gambar dapat dilihat ransum mana yang lebih banyak disukai oleh ternak. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian dari Anggraeni pada domba Garut jantan, yang menunjukan bahwa peningkatan PKAR bahan kering tidak mempengaruhi jumlah konsumsi ransum bahan kering (BK) sehingga dalam penelitian ini pemberian suplementasi kromium organik belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap ternak.

Palatabilitas

Palatabilitas didefinisikan sebagai respon yang diberikan oleh ternak terhadap pakan yang diberikan dan hal ini tidak hanya dilakukan oleh ternak ruminansia tetapi juga dilakukan oleh hewan mamalia lainnya terutama dalam memilih pakan yang diberikan (Church dan Pond, 1988). Pond et al., (1995) mendefinisikan palatabilitas sebagai daya tarik suatu pakan atau bahan pakan untuk menimbulkan selera makan dan langsung dimakan oleh ternak. Palatabilitas biasanya diukur dengan cara memberikan dua atau lebih pakan kepada ternak sehingga ternak dapat memilih dan memakan pakan yang lebih disukai.

Tabel 5 dibawah memperlihatkan nilai palatabilitas atau daya suka ternak terhadap pakan pada pagi dan siang hari, hasil analisis menunjukkan bahwa palatabilitas pagi hari dan siang hari tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05). Hal ini menguatkan nilai konsumsi yang hampir sama antar perlakuan, dan pemberian ransum dengan nilai kation anion -10 yang disuplementasi kromium tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai palatabilitas ternak pada pagi hari. Pengukuran palatabilitas pada siang hari menunjukan hasil yang sama yaitu tidak berbeda nyata (P>0,05), tetapi dari tabel dapat dilihat bahwa penambahan kromium dengan nilai kation anion berbeda ternyata dapat menurunkan tingkat palatabilitas hal ini dapat dilihat dari nilai palatabilitas siang hari perlakuan RE memiliki nilai paling kecil, penambahan Cr pada ransum asam menyebabkan ransum kurang palatabel sehingga menurunkan konsumsi bahan kering pada domba Garut, ini berarti bahwa selera makan domba Garut betina dapat dikatakan dipengaruhi oleh

lingkungan lain, seperti suhu lingkungan yang cenderung berbeda antara pagi dan sore hari.

Tabel 5. Palatabilitas Domba Garut Betina terhadap Ransum Berkromium yang mempunyai Nilai Kation Anion berbeda pada Pagi dan Siang hari

Perlakuan Palatabilitas (g/menit)

Pagi Siang Total

RA 6,62±0,79 6,29±0,87 12,91±1,66 RB 5,43±1,31 6,59±0,79 12,02±2,10 RC 6,76±2,29 7,35±1,96 14,11±4,25 RD 6,92±1,54 6,43±0,64 13,35±2,18 RE 6,02±3,43 4,33±2,43 10,35±5,87 RF 7,94±1,80 8,58±1,46 16,52±3,26 6,62±1,86 6,60±1,36 13,21±3,22

Keterangan : RA= Ransum Basal, RB=RA+3ppm Cr-Anorganik, RC=RA+3ppm Cr Organik

Jerami Padi, RD=RA+3ppm Cr Organik Sawit, RE=RPKAR-10 + Cr Organik Jerami Padi, RF= RPKAR-10 + 3ppm Sawit

Suhu siang hari pada umumnya lebih tinggi daripada pagi hari, dari tabel dapat dilihat ransum RF memiliki nilai paling tinggi, hal ini kemungkinan disebabkan kebutuhan ransum asam meningkat pada saat ternak mengalami cekaman atau berada pada suhu yang lebih tinggi untuk mempertahankan kondisi tubuhnya. Secara rata-rata nilai palatabilitas pagi dan siang hari memiliki nilai yang sama ini berarti pemberian pakan dapat dilakukan pada pagi dan siang hari.

Tabel 6. Keadaan Lingkungan Selama Penelitian

Pada ternak ruminansia faktor yang mempengaruhi palatabilitas adalah kecerahan warna hijauan, rasa, tekstur, dan kandungan nutrisi (Ensminger, 1990). Menurut Church et al. (1974), palatabilitas sangat penting karena merupakan gabungan dari beberapa factor yang berbeda yang dirasakan oleh ternak, yang mewakili rangsangan dari penglihatan, aroma, sentuhan dan rasa yang dipengaruhi oleh faktor fisik dan kimia dari ternak yang berbeda. Ternak domba tidak memiliki

Mikro - Klimat Pagi (Pukul 07.00 WIB) Siang (Pukul 14.00 WIB)

Suhu (0C) 27,25 ± 0,32 27,33 ± 0,39

22 kemampuan membedakan warna merah dan biru, sehingga domba termasuk yang buta warna.

Gambar 3 dibawah menunjukan palatabilitas antar perlakuan, hasil analisis menunjukan bahwa perlakuan pagi hari tidak mempengaruhi secara nyata begitu juga dengan siang hari perlakuan tidak mempengaruhi secara nyata, tetapi dapat dilihat bahwa pada kedua kondisi perlakuan RF memiliki nilai palatabilitas lebih tinggi, hal ini sesuai dengan banyaknya konsumsi ransum pada ransum RF yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ransum RF lebih disukai, hal ini dimungkinkan ada pengaruh dari nilai kation anion dan suplementasi kromium organik pada ransum sehingga konsumsi ransum RF meningkat dibandingkan ransum kontrol. 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00 RA RB RC RD RE RF Perlakuan P a la ta b il it a s ( g /m n t)

Palatabilitas Pagi Palatabilitas Siang

Gambar 3. Palatabilitas Domba Garut Betina terhadap Ransum Berkromium

dengan Nilai Nisbah Kation Anion Berbeda pada Pagi dan Siang hari.

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan dapat digunakan sebagai ukuran kecepatan pertumbuhan yang mana merupakan salah satu cermin dari kemampuan untuk mencerna makanan. Anggorodi (1985) mendefinisikan pertumbuhan adalah pertambahan dalam bentuk dan berat jaringan seperti otot, tulang, jantung, dan semua jaringan tubuh lainnya. Titus dan Fritz (1971) menyatakan bahwa kecepatan pertumbuhan dari seekor hewan dipengaruhi oleh beberapa faktor, tetapi yang sangat

mempengaruhi adalah spesies, jenis kelamin, umur hewan, keseimbangan pakan, dan jumlah pakan yang dikonsumsi.

Tingkat konsumsi yang tinggi biasanya diikuti dengan pertambahan bobot badan yang tinggi pula. Banyaknya bahan pakan yang dapat dikonsumsi oleh seekor hewan berhubungan erat dengan bobot badannya, semakin tinggi bobot badannya maka kemampuan dari seekor hewan akan tinggi pula dalam mengkonsumsi pakan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pada perlakuan yang memiliki konsumsi paling tinggi diikuti dengan pertambahan bobot badan yang tinggi pula.

Pertambahan bobot badan paling tinggi terdapat pada perlakuan RF yaitu sebesar 94,87 gram/hari, sedangkan pertambahan bobot badan paling kecil terdapat pada perlakuan RB yaitu sebesar 45,76 gram/hari. Tabel 4. diatas menunjukkan bahwa pemberian suplementasi kromium dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dibandingkan dengan ransum kontrol, tetapi pemberian suplementasi kromium anorganik juga dapat menurunkan pertambahan bobot badan hal ini terlihat pada perlakuan RB (45,76 gram/hari), kromium anorganik memiliki nilai pertambahan bobot yang kecil, hal ini disebabkan kromium anorganik lebih sulit dicerna oleh tubuh dibandingkan dengan kromium organik.

50.22 45.76 81.47 56.92 47.99 94.87 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00 RA RB RC RD RE RF Perlakuan P e rt a m ba ha n B ob ot B a da n (g/ e /ha r)

Gambar 4. Pertambahan Bobot Badan Domba Garut Betina yang disuplementasi Kromium dan Nilai Nisbah Kation Anion Berbeda.

24 Pertambahan bobot badan harian domba yang mendapat enam jenis ransum perlakuan menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata, hal ini sesuai dengan konsumsi bahan kering dari keenam perlakuan yang tidak berbeda nyata. Pertambahan bobot badan sangat dipengaruhi oleh konsumsi pakan sehingga semakin tinggi konsumsi pakannya, maka makin tinggi pula pertambahan bobot badan (Rianto et al., 2006).

Pertambahan bobot badan sangat berhubungan dengan konsumsi bahan makanan, sehingga memiliki hubungan yang linear antara pertambahan bobot badan dan konsumsi bahan kering, hal ini dapat dilihat dari Gambar 5 dibawah ini. Dalam kajian ini terdapat hubungan yang linear antara konsumsi bahan kering dengan pertambahan bobot badan, semakin tinggi konsumsi maka semakin tinggi pula pertambahan bobot badannya.

Gambar 5. Hubungan Pertambahan Bobot Badan dan Konsumsi

Dari Gambar 5 diatas dapat disimpulkan bahwa setiap peningkatan satu satuan konsumsi bahan kering akan meningkatkan pertambahan bobot badan sebesar 0,13 gram/hari. Walaupun tidak nyata antar pelakuan, perlakuan ransum RF memiliki konsumsi paling tinggi (932 ± 117 gram/hari) sehingga pertambahan bobot badannya dari perlakuan ini paling tinggi pula (94,87 ± 35,60 gram/hari). Sedangkan perlakuan RE memiliki konsumsi paling rendah (689 ± 79 gram/hari) sehingga pertambahan bobot badannya dari perlakuan ini paling rendah (47,99 ± 61,69 gram/hari).

Kecernaan Nutrien

Kecernaan atau ketersediaan nutrien dalam bahan makanan untuk diserap oleh saluran pencernaan banyak tergantung pada status dan produktivitas atau fungsi fisiologis ternak (Parakkasi, 1999). Faktor yang mempengaruhi daya cerna ransum menurut Anggorodi (1994) yaitu suhu, laju perjalanan pakan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan pakan, komposisi ransum, dan pengaruh terhadap perbandingan dari nutrien lainnya. Penambahan suplementasi kromium dan nilai kation anion ransum dalam bahan pakan ini dimaksudkan untuk memperbaiki laju dari proses pencernaan terhadap pakan berserat, terutama pada ternak ruminansia sehingga dapat memanfaatkan pakan berserat menjadi energi yang lebih berguna untuk tubuh. Pakan berserat hanya dapat dicerna oleh ternak ruminansia dengan bantuan mikroba yang ada di rumen. Data hasil penelitian kecernaan serat pakan disajikan pada tabel dibawah ini.

Tabel 7. Kecernaan Nutrien pada Domba Garut Betina yang mendapat Ransum dengan Nilai Nisbah Kation Anion dan Kromium Berbeda Kecernaan (%) Ransum Perlakuan RA RB RC RD RE RF Rataan BK 72,08±5,35 66,09±1,59 62,44±8,19 68,98±7,07 65,61±5,95 67,85±5,77 67,18±5,65 SK 38,88±10,41 25,35±0,33 17,03±12,89 29,42±18,30 22,26±9,81 23,07±8,86 26,00±10,00 NDF 65,33±8,60 57,86±1,47 54,56±8,57 62,30±8,66 56,36±7,80 57,00±4,67 58,90±6,63 ADF 61,69±11,89 51,12±6,58 41,04±10,82 51,34±11,84 44,34±16,46 46,39±6,70 49,32±10,72

Keterangan : BK = Bahan Kering, SK= Serat Kasar, NDF= Neutral Detergen Fiber, ADF= Acid Detergen Fiber

RA= Ransum Basal, RB=RA+3ppm Cr-Anorganik, RC=RA+3ppm Cr Organik Jerami Padi, RD=RA+3ppm Cr Organik Sawit, RE=RPKAR-10 + Cr Organik Jerami Padi, RF= RPKAR-10 + 3ppm Sawit

Hasil analisa menunjukan bahwa setiap perlakuan tidak menunjukan hasil yang nyata pada kecernaan bahan kering, serat kasar, ADF dan NDF.

Kecernaan Bahan Kering

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak mempengaruhi kecernaan bahan kering secara nyata. Hal ini sejalan dengan konsumsi ransum yang menunjukan bahwa perlakuan tidak mempengaruhi konsumsi secara nyata. Konsumsi pakan dipengaruhi oleh kecernaan pakan (Arora, 1989), semakin tinggi

26 kecernaan pakan, semakin tinggi pula konsumsinya. Tidak adanya perbedaan kecernaan ini diduga menyebabkan laju pertumbuhan populasi mikroba rumen tidak berbeda atau tidak dipengaruhi oleh adanya perlakuan ransum, dan pada akhirnya kemampuan mikroba untuk mencerna pakan, terutama serat kasar juga tidak berbeda.

Gambar 6. Hubungan Kecernaan Bahan Kering dan Serat Kasar

Hasil analisa regresi kecernaan bahan kering dan serat kasar memiliki hubungan yang erat seperti yang ditampilkan pada gambar diatas. Gambar 6 menunjukkan hubungan yang erat antara kecernaan bahan kering dan serat kasar, itu artinya setiap peningkatanan kecernaan bahan kering satu satua akan meningkatkan kecernaan sebesar 0,5 % serat kasar. Selain itu dari tabel 7 diatas dapat dilihat bahwa nilai kecernaan bahan kering ransum kontrol paling besar dibandingkan ransum dengan perlakuan, hal ini memperkuat bahwa perlakuan tidak memepengaruhi aktifitas mikroba rumen dalam memecah bahan kering ransum, selain itu pengaturan nilai nisbah kation anion ransum tidak mengubah lingkungan dari mikroba rumen.

Kecernaan Serat Kasar

Serat kasar merupakan salah satu komponen karbohidrat yang terdiri atas selulosa, hemiselulosa dan lignin. Kandungan serat kasar yang tinggi pada suatu bahan pakan akan sukar dimanfaatkan oleh ternak. Kecernaan nutrien pakan secara in vivo pada ternak ruminansia ditentukan oleh kandungan serat kasar pakan (faktor

eksternal) dan aktivitas mikroba rumen (faktor internal), terutama bakteri dan interaksi kedua faktor tersebut.

Keenam perlakuan pada penelitian ini menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata terhadap kecernaan serat kasar, tetapi dari data diatas memperlihatkan nilai yang jauh berbeda antar perlakuan, hal ini mungkin diakibatkan dari aktifitas mikroba yang tidak dipengaruhi oleh perlakuan dan error yang cukup tinggi mengakibatkan simpangan baku yang diperoleh cukup besar antar perlakuan sehingga perlakuan tidak mempengaruhi secara nyata. Sumber energi utama ruminansia adalah asam lemak terbang (VFA) yang merupakan produk akhir dari fermentasi dalam rumen. Mikroba rumen membantu ternak ruminansia dalam mencerna pakan yang mengandung serat tinggi menjadi asam lemak terbang

(Volatile Fatty Acids = VFA’s) yaitu asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam valerat serta asam isobutirat dan asam isovalerat. Serat adalah lignin dan polisakarida yang merupakan dinding sel tumbuhan dan tidak tercerna oleh cairan sekresi dalam saluran pencernaan. Kandungan serat dalam dinding sel dapat diekresikan dengan metode Netral Detergen Fiber (Arora, 1989) sehingga kemampuan serat dapat dipisahkan.

Kecernaan NDF

Ternak ruminansia mempunyai keistimewaan dalam mencerna dan menggunakkan materi dinding sel tanaman atau NDF. Materi dinding sel tanaman ini sebagian besar terdiri dari hemiselulosa, selulosa, lignin dan silica. Hemiselulosa dan selulosa dapat dicerna oleh mikroba rumen dalam waktu relative lama, sedangkan lignin dan silica tidak dapat dicerna. Hasil analisa menunjukan bahwa perlakuan tidak mempengaruhi kecernaan NDF secara nyata berarti pemberian suplementasi kromium dan nilai kation anion yang berbeda tidak mempengaruhi kecernaan NDF secara nyata. Kadar ADF yang rendah menunjukkan daya cerna yang tinggi, sama dengan kadar NDF, jika kadarnya rendah menunjukkan kecernaan yang tinggi. Dinding sel (NDF) biasanya erat hubungannya dengan konsumsi.

Tabel 7 diatas memperlihatkan bahwa kecernaan NDF lebih besar dari kecernaan ADF, hal ini karena kandungan hemiselulosa dari NDF cukup besar dimana seperti diketahui bahwa hemiselulosa lebih mudah dicerna karena dari segi

28 strukturnya hemiselulosa termasuk polisakarida atau heteropolisakarida yang tersusun dari bermacam-macam monomer salah satunya adalah glukan dan manan sedangkan dalam ADF sebagian besar mengandung selulosa yang tersusun dari satu maca monomer pembentuk glukosa sehingga sulit untuk dicerna.

Pemberian suplementasi kromium dan nilai kation anion ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk pertumbuhan dan aktifitasnya sehingga dapat meningkatkan kecernaan serat kasar NDF dan ADF yang kemudian diubah menjadi energi dalam bentuk VFA sebagai sumber energi ruminansia. Hasil penelitian. Astriana (2009), membuktikan bahwa pemberian kromium organik dapat meningkatkan kecernaan serat kasar dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian kromium.

Kecernaan ADF

ADF merupakan komponen dinding sel yang terdiri dari 3 komponen yaitu selulosa, lignin dan silika. Menurut Parakkasi (1999), ADF erat hubungannya dengan kecernaan, sehingga apabila kecernaannya tinggi maka ADF yang tercerna akan tinggi pula. Komponen ADF yang mudah dicerna adalah selulosa, sedangkan lignin sulit dicerna karena memiliki ikatan rangkap, jika kandungan lignin dalam bahan pakan tinggi maka koefisien cerna pakan tersebut menjadi rendah (Sutardi, 1980).

Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap kecernaan ADF, sehingga dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa pemberian suplemenasi kromium dan nilai nisbah kation anion dalam ransum tidak mempengaruhi kecernaan ADF secara nyata, perlakuan tidak mempengaruhi aktivitas dan lingkungan dari mikroba rumen sehingga daya kerja bakteri selulolitik di rumen dalam memecah selulosa tidak terpengaruh oleh perlakuan ini. Kecernaan selulosa sangat ditentukan oleh populasi dan aktivitas mikroba rumen, khususnya mikroba yang mampu dan mempunyai aktivitas selulolitik.

Dokumen terkait