• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Kondisi Di Lokasi

Responden dalam penelitian ini adalah rumah tangga petani pemilik lahan dan buruh tani, seluruh informasi yang diperoleh bersumber dari kepala rumah tangga berserta istri. Rata-rata usia petani yang ada di desa Mlilir berkisar 40 tahun keatas, hal ini disebabkan penghasilan yang diperoleh dari usaha tani tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga sehingga masyarakat berusia 20 – 40 tahunan lebih memilih untuk bekerja di pabrik, ke luar kota atau ke luar negeri. Bedasarkan tingkat pendidikan, mayoritas responden hanya tamat pendidikan pada jenjang Sekolah Dasar.

Upah yang diterima oleh buruh tani yaitu berupa uang tunai sebesar Rp 25.000 ketikatanam bibit dan Rp 50.000 – Rp 100.000 ketika panen. Banyak dari rumah tangga buruh tani yang tidak hanya mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencaharian, ketika tidak sedang musim penen kepala rumah tangga bekerja sebagai kuli bangunan. Sedangkan hasil panen yang dimiliki oleh petani pemilik lahan setengahnya digunakan untuk konsumsi sendiri dan sisanya langsung dijual ke pengepul. Pada rumah tangga petani pemilik lahan ini juga tidak sepenuhnya mengandalkan hasil lahan pertanian sebagai pendapatan utama, banyak dari rumah tangga petani pemilik lahan yang juga memiliki usaha misalnya toko kelontong, peternak, memiliki tempat penggilingan padi dan pedagang dipasar.

Struktur Pengeluaran Rumah Tangga Buruh Tani dan Petani Pemilik Lahan

Pola konsumsi merupakan susunan berbagai macam jenis barang-barang yang dikonsumsi oleh rumah tangga baik pangan maupun nonpangan. Pola konsumsi juga merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menilai tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Semakin besar pendapatan rumah tangga yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan, maka rumah tangga tersebut dikategorikan sebagai rumah tangga dengan kesejahteraan yang rendah.

Tabel 1. Proporsi Pengeluaran Konsumsi Pangan dan Nonpangan

Terhadap Total PengeluaranRumah Tangga Buruh Tani dan Petani Pemilik Lahan

Buruh Pemilik Lahan

No. Jenis Pengeluaran Nominal Presentase Nominal Presentase

1 Padi-padian Rp265.200 17,60 Rp284.000 11,55

2 Lauk pauk, sayur dan buah Rp365.720 24,27 Rp423.120 17,21

3

Makanan jadi dan Konsumsi lainnya (bumbu, teh, gula, kopi)

Rp161.195 10,70 Rp191.018 7,77

4 Tembakau Rp165.800 11,00 Rp155.600 6,33

Total Pengeluaran Pangan Rp957.915 63,57 Rp1.053.738 42,86

6 Kesehatan Rp88.600 5,88 Rp126.542 5,15 7 Pendidikan Rp163.628 10,86 Rp743.618 30,25 8 Listrik Rp45.520 3,02 Rp68.220 2,77 9 Komunikasi Rp33.500 2,22 Rp65.880 2,68 10 Transportasi Rp101.030 6,70 Rp178.350 7,25 11 Rekreasi Rp12.400 0,82 Rp13.000 0,53 12 Sandang Rp40.283 2,67 Rp72.783 2,96 13 Sosial Rp64.050 4,25 Rp136.250 5,54

Total pengeluaran non-pangan

Rp549.011 36,43 Rp1.404.643 57,14 Total Pengeluaran perbulan Rp1.506.926 100 Rp2.458.381 100 Sumber : data primer, diolah

Tabel 1 diatas menunjukkan terdapat perbedaan alokasi untuk konsumsi pangan dan nonpangan antara rumah tangga buruh tani dan pemilik lahan. Bagi rumah tangga buruh tani

63.5 persen dari total pengeluaran digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan sedangkan 36.43 persen sisanya digunakan untuk kebutuhan nonpangan, sedangkan hal yang sebaliknya terjadi pada pengeluaran rumah tangga petani pemilik lahan yaitu pengeluaran konsumsi nonpangan justru lebih besar yaitu 57.14 persen, sisanya sebesar 42.86 persen digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Krustin Halyani (2008) yang membedakan rumah tangga petani dalam dua golongan yaitu petani pemilik lahan kurang dari 0.25 Ha dan petani pemilik lahan lebih dari 0.25 Ha. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rumah tangga petani pemilik lahan kurang dari 0.25 Ha mengalokasikan 62.6 persen untuk konsumsi pangan dan 37.4 persen untuk konsumsi nonpangan, sedangkan pada rumah tangga petani pemilik lahan lebih dari 0.25 Ha mengalokasikan 40.9 persen untuk konsumsi pangan dan 59.1 persen untuk konsumsi nonpangan, dimana kedua penelitian ini memiliki kesamaan yaitu untuk rumah tanggaburuh tani dan pemilik lahan kurang dari 0.25 Ha proporsi konsumsi pangan lebih besar daripada konsumsi nonpangan, sedangkan pada rumah tangga pemilik lahan dan pemilik lahan lebih dari 0.25 Ha proporsi konsumsi pangan lebih kecil daripada nonpangan, hal ini juga berarti bahwa kesejahteraan rumah tangga petani pemilik lahan lebih besar daripada rumah tangga buruh tani. Hal ini juga didukung oleh fakta dilapangan bahwa buruh tani hanya mendapatkan upah sebesar Rp 4.500.000 dalam satu kali masa panen (3 bulan), sedangkan dalam satu kali masa panen petani pemilik lahan mampu menghasilkan ± 4 Ton padi atau sekitar Rp 15.000.000, artinya buruh tani hanya mendapatkan 30 persen dari hasil panen.

Gambar 3. StrukturPengeluaran Konsumsi Pangan Rumah Tangga Buruh Tani dan Petani Pemilik Lahan

Sumber : data primer, diolah (2015)

Secara struktur pengeluarankonsumsi pangan dan nonpangan rumah tanggaburuh tani dan petani pemilik lahan hampir sama yaitu pengeluaran terbesar dari konsumsi pangan adalah untuk pengeluaran konsumsi lauk pauk, buah dan sayur sebesar 24.27 persendari total pengeluaran untuk rumah tanggaburuh tani, sedangkan bagi rumah tangga petani pemilik sebesar 17.21 persen hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan sudah menyadari akan pentingnya kebutuhan gizi dari makanan yang dikonsumsinya. Hal ini sesuai dengan hukum Bannet yang menjelaskan hubungan antara pendapatan dengan kualitas konsumsi pangan. Pada pendapatan yang tinggi, pola konsumsi pangan akan semakin beragam dan akan terjadi peningkatan kualitas konsumsi pangan yang lebih bernilai gizi tinggi (Djauhari, 2012). Kemudian pengeluaran terbesar kedua adalah pengeluaran untuk padi-padian yaitu sebesar 17.6 persen untuk rumahtangga buruh tani dan 11.55 persen untuk rumah tangga petani pemilik lahan, besarnya pengeluaran untuk beras ini menunjukkan bahwa masyarakat belum mampu untuk melakukan diversifikasi pangan dari

beras ke barang subtitusi yang ada misalnya jagung dan umbi-umbian, padahal pada desa penelitian jagung merupakan salah satu hasil panen yang berlimpah. Namun, masyarakat masih belum mampu untuk memanfaatkannya dan masih sangat tergantung pada beras, sehingga meskipun beras mengalami kenaikan harga, rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan tetap berusaha untuk membeli beras.

Gambar 4. StrukturPengeluaran Konsumsi Non-Pangan Rumah Tangga Buruh Tani dan Petani Pemilik Lahan

Sumber : data primer, diolah (2015)

Sedangkan pengeluaran terbesar dari konsumsi nonpangan digunakan untuk pendidikan bagi rumah tangga buruh tani sebesar 10.86 persen, sedangkan bagi rumah tangga petani pemilik lahan sebesar 30.25 persen, hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan telah menyadari pentingnya pendidikan, karena selain konsumsi pangan, pendidikan menjadi prioritas dibandingkan kebutuhan nonpangan lainnya. Namun, dapat dilihat bahwa perbedaan pengeluaran pendidikan pada rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan sangat signifikan, hal ini dimungkinkan terjadi karena perbedaan jenjang

pendidikan yang sedang ditempuh oleh anggota keluarga dalam rumah tangga. Rata-rata pada rumah tangga buruh tani jenjang pendidikan yang sedang ditempuh adalah SD sampai SMA, sedangkan pada rumah tangga pemilik lahan jenjang pendidikan yang ditempuh adalah SD sampai perguruan tinggi, sehingga proporsi pengeluaran pendidikan yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga petani pemilik lahan menjadi sangat besar.

Hal yang menarik dari struktur pengeluaran rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan adalah pengeluaran untuk tembakau lebih besar daripada pengeluaran untuk kesehatan, hal ini sesuai dengan laporan Departemen Kesehatan (2008) yang menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk tembakau 3 kali lebih besar daripada biaya kesehatan, hal ini berarti bahwa tembakau telah menjadi kebutuhan pokok rumah tangga dan masyarakat juga belum menyadari pentingnya kesehatan dalam meningkatkan kesejahteraan rumah tangga, fakta lainnya juga menyebutkanbahwa pada rumah tangga miskin pengeluaran rokok menjadi pengeluaran terbesar setelah pengeluaran untuk beras, dengan pengeluaran rata-rata dalam 10 tahun mencapai Rp 36 juta (detik.com,2014).Sementara pengeluaran terkecil dari masing-masing rumah tangga adalah pengeluaran untuk rekreasi sebesar 0.82 persen untuk rumah tangga buruh tani dan 0.53 persen untuk rumah tangga petani pemilik lahan, hal ini berarti rekreasi atau hiburan belum dan bahkan tidak menjadi prioritas bagi rumah tangga petani yang masih berada di pedesaan.

Pola Konsumsi Pangan Rumah tangga Buruh Tani dan Petani Pemilik Lahan

Gambar 5. Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Buruh Tani dan Petani Pemilik Lahan

Sumber : data primer, diolah (2015)

Berdasarkan pengujian yang dilakukan (Lampiran I), pola konsumsi pangan pada rumah tangga buruh tani terhadap pendapatan mampu dijelaskan oleh model Quadratic sedangkan pola konsumsi pangan pada rumah tangga petani pemilik lahan mampu dijelaskan oleh model Logarithmic. Pada awalnya pola hubungan konsumsi pangan rumah tangga buruh tani dengan pendapatan adalah negatif, artinya ketika pendapatan semakin meningkat maka presentase pengeluaran untuk kebutuhan pangan turun. Hasil ini sesuai dengan salah satu asumsi dalam teori konsumsi Keynes yaitu Average Propensity Consume (APC) yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan maka proporsi untuk konsumsi akan menurun.

Namun, ketika pendapatan rumahtangga buruh tani mencapaiRp 6.240.000 pola hubungan konsumsi pangan dan pendapatan menjadi positif. Menurut Irawan (2011) peningkatan pendapatan berarti membesar peluang untuk menambah kuantitas dan kualitas makanan, hal ini diduga tejadi karena pada saat pendapatan telah mencapaiRp 6.240.000, konsumsi pangan rumah tangga buruhtani semakin beraneka ragam serta rumah tangga juga akan lebih

memperhatikan kualitas serta gizi yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi.Jika dikaitkan pada fenomena yang terjadi di desa penelitian, sebelumnya rumah tangga buruh tani hanya mengkonsumsi beras dari sisa penggilingan padi atau menggunakan beras dengan kualitas sedang, ketika pendapatan telah mencapai Rp 6.240.000 rumahtangga akan beralih menggunakan beras dengan kualitas yang lebih baik, begitupun dengan lauk pauk, sayuran dan buah yang sebelumnya rumahtangga hanya mengkonsumsi hasil kebun sendiri, namun ketika pendapatan telah mencapai titik optimum maka rumah tangga akan mulai membeli lauk pauk, sayuran dan buah yang lebih bervariasi serta yang memiliki gizi lebih baik. Hal ini berarti juga konsumsi tembakau juga meningkat mengingat dalam penelitian ini tembakau merupakan kelompok kosumsi pangan. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa tingkat pendapatan Rp 6.240.000 merupakan backward banding atau terjadinya perubahan selera dari pola konsumsi pangan rumah tangga buruh tani.

Hal yang hampir sama terjadi pada rumah tangga petani pemilik lahan, dimana kenaikan pendapatan diiringi oleh penurunan proporsi terhadap kebutuhan pangan. Berdasarkan fenomena yang terjadi pada rumahtangga petani pemilik lahan didesa penelitian adalah ketika pendapatan meningkat hal tersebut tidak langsung diikuti oleh peningkatan pengeluaran kebutuhan pangan, peningkatan pendapatan yang diterima tersebut akan dialokasi untuk memenuhi kebutuhan nonpangan misalnya perumahan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain, atau digunakan untuk investasi misalnya membeli tanah, emas dan sawah. Hal ini dikarenakan rumah tangga petani pemilik lahan merasa kualitas konsumsi pangan telah terpenuhi sehingga tidak perlu lagi menambah pengeluaran untuk konsumsi pangan.

Pola konsumsi pangan pada rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan di desa Mlilir Kab. Grobogan ini bertentangan dengan Engel Curve yang menyatakan bahwa kenaikan pendapatan yang terjadi akan diirngi oleh kenaikan proporsi kebutuhan pangan. Perbedaan hasil penelitian dengan Engel Curve ini diduga disebabkan oleh perilaku rumah tangga dalam

mengkonsumsi kebutuhan pangan lebih dominan dipengaruhi oleh perilaku konsumsi. Perilaku konsumsi yang dimaksud adalah kebiasaan dalam mengkonsumsi bahan makanan seperti lauk pauk, misalnya sebuah rumah tangga biasa mengkonsumsi daging sapi maupun ayam dua kali dalam satu minggu, maka ketika terjadi peningkatan pendapatan mereka tidak akan mengubah konsumsi daging menjadi setiap hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nurul Hidayah (2012) yang menyatakan bahwa pada masyarakat pedesaan pola konsumsi tergantung pada kebiasaan atau gaya hidup, gaya hidup yang dimaksud adalah tempat dimana masyarakat menghabiskan waktu serta uang yang dimiliki. Sehingga peningkatan pendapatan dalam rumah tangga tidak begitu berpengaruh pada peningkatan proporsi kebutuhan pangan, pengaruh rendahnya pendapatan terhadap konsumsi pangan juga terbukti secara statistik dengan tingkat kepercayan (R-Square) yang rendah yaitu sebesar 31.2 persen untuk rumah tangga buruh tani dan 75 persen untuk rumah tangga petani pemilik lahan.

Pola Konsumsi Nonpangan Rumah Tangga Buruh Tani dan Petani Pemilik Lahan

Berdasarkan uji beda rata-rata proporsi total kebutuhan nonpangan terhadap pendapatan antara rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan yang dilakukan tidak terdapat perbedaan pola konsumsi. (Lampiran II).

Tidak adanya perbedaan proporsi total konsumsi nonpangan antara rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan, berarti kedua rumah tanggamemiliki perilaku konsumsi yang hampir sama terhadap konsumsi nonpangan dari pendapatan yang diterimanya. Misalnya untuk pengeluaran kesehatan, biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh rumah tangga pada desa penelitian biasanya hanya untuk berobat kedokter ketika sakit, pijat dan membeli obat ditoko, sehingga meskipun pendapatan yang diterima tinggi, besar biaya yang dikeluarkan akan tetap sama, begitu pula yang terjadi pada item-item konsumsi nonpangan yang lainnya.

Namun, ketika dilakukan pengujian per item konsumsi nonpangan terdapat perbedaan pola konsumsi pada konsumsi pendidikan dan konsumsi listrik. Sehingga lebih lanjut pada penelitian ini akandiamati perbedaan pola konsumsi pendidikan dan konsumsi listrik pada rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan.

Pola Konsumsi Pendidikan Rumah Tangga Buruh Tani dan Petani Pemilik Lahan

Gambar 6. Pola konsumsi pendidikan rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan

Sumber : data primer, diolah (2015)

Berdasarkan pengujian yang dilakukan (Lampiran III), dalam hal pendidikanterdapat perbedaan pola konsumsi rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan, pada rumah tangga buruh tani pola konsumsi pendidikan dengan pendapatan dijelaskan menggunakan model Exponential. Pada rumah tangga buruh tani, pendapatan secara signifikan mempengaruhi proporsi pengeluaran untuk pendidikan dengan pola hubungan negatif, artinya semakin tinggi pendapatan rumahtangga buruhtani proporsi pengeluaran pendidikan akan semakin kecil, didasarkan pada fenomena yang terjadi di desa penelitian hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, biaya pendidikan yang rutin dikeluarkan rumah tangga buruh tani pada setiap bulan hanya terbatas pada uang saku anak perhari dan uang SPP yang

dibayarkan setiap bulan, ketika pendapatan dalam rumah tangga meningkat hal tersebut tidak diiringi oleh peningkatan fasilitas pendukung pendidikan seperti buku pelajaran dan les tambahan diluar jam sekolah, kemudian peralatan sekolah seperti seragam, tas, sepatu dan buku tulis hanya dikeluarkan satu tahun sekali pada saat kenaikan kelas. Kedua, rata-rata jenjang pendidikan yang sedang ditempuh oleh anggota keluarga buruh tani yaitu pada jenjang SD sampai SMA. Pada jenjang pendidikan SD sampai SMA saat ini terdapat banyak bantuan yang berasal dari pemerintah, bantuan tersebut berupa bebas uang SPP dan buku pelajaran Lembar Kerja Siswa (LKS), sehingga hal ini juga berpengaruh pada pengeluaran yang tidak terlalu besar untuk pendidikan. Ketiga, pendidikan belum menjadi kebutuhan utama bagi rumah tangga buruh tani yang memiliki kesejahteraan yang rendah, sehingga kenaikan pendapatan yang diterima akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan terlebih dahulu.

Pada rumahtangga petani pemilik lahan, pola konsumsi pendidikan dijelaskan menggunakan model Cubic. Namun, dalam pola konsumsi pendidikan ini diketahui bahwa pendapatan tidak signifikan mempengaruhi proporsi biaya pendidikan. Tidak berpengaruhnya pendapatan terhadap proporsi biaya pendidikan pada rumahtangga petani pemilik lahan, karena rumah tangga petani pemilik lahan telah menyadari pentingnya pendidikan untuk meningkatkan kesejahteraan rumah tangga, sehingga rumah tangga petani pemilik lahan akan berusaha mengagihkan biaya agar anak-anaknya dapat menempuh pendidikan hingga Perguruan Tinggi. Sedangkan pola hubungan yang terjadi antara konsumsi pendidikan dengan pendapatan adalah positif hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan maka proporsi biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan juga akan meningkat.

Pola Konsumsi Listrik Rumah Tangga Buruh Tani dan Petani Pemilik Lahan

Gambar 7. Pola konsumsi listrik rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan

Sumber : data primer, diolah (2015)

Perbedaan pola konsumsi pada rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan juga terjadi pada proporsi pengeluaran untuk listrik (Lampiran IV). Pola hubungan antara konsumsi listrik dengan pendapatan dijelaskan oleh model Cubic. Pola konsumsi listrik pada rumah tangga buruh tani pada awalnya berhubungan negatif dengan pendapatan, hal ini dikarenakan rata-rata biaya listrik yang dikeluarkan oleh rumah tangga buruh tani berkisar Rp 30.000 sampai Rp 60.0000, sehingga ketika pendapatan meningkat proporsi pengeluarannya akan menurun. Namun, pada pendapatan ± Rp 3.500.000, kenaikan pendapatan akan diikuti oleh meningkatnya proporsi pengeluaran untuk listrik. Peningkatan proporsi listrik pada tingkat pendapatan ± Rp 3.500.000 berarti rumahtangga buruhtani telah mampu membeli barang-barang elektronik yang dibutuhkan misalnya Televisi, alat penanak nasi, setrika dan lain-lain, kemudian rumahtangga akan terus menambah konsumsi listrik sampai mencapai batasan daya listrik yang dimiliki oleh rumah tangga, sehingga biaya listrik yang harus dikeluarkan juga meningkat. Pola konsumsi listrik kembali berhubungan negatif pada pendapatan ± Rp 4.000.000, artinya ketika terjadi kenaikan pendapatan proporsi biaya yang dikeluarkan untuk

listrik justru menurun, namun penurunan yang terjadi tidak terlalu signifikan, hal ini diduga terjadi karena setiap rumah tangga memiliki batasan dalam penggunaan daya listrik, sehingga ketika barang-barang elektronik yang digunakan telah mencapai batasan tersebut, rumah tangga tidak akan lagi menambah konsumsi terhadap listri sehingga proporsi biaya yang dikeluarkan untuk listrik akan menurun.

Pada rumah tangga petani pemilik lahan pola hubungan antara konsumsi listrik dengan pendapatan dijelaskan oleh model Quadratic, pada awalnya proporsi biaya pengeluaran untuk listrik juga berhubungan negatif dengan pendapatan, namun pada pendapatanRp 5.000.000 pola hubungannya menjadi positif artinya pada tingkat pendapatan ini diduga rumah tangga petani pemilik lahan meningkatkan konsumsi akan barang-barang mewah seperti Air Conditioner (AC), Kulkas, Komputer, Televisi sehingga proporsi biaya listrik yang harus dikeluarkan menjadi lebih tinggi. Jika dikaitkan dengan pola konsumsi pendidikan pada rumah tangga petani pemilik lahan, maka proporsi listrik dan pendidikan memiliki pola yang searah yaitupeningkatan pendapatan diiringi oleh peningkatan proporsi konsumsi, hal ini berarti semakin tinggi jenjang pendidikan yang ditempuh oleh anggota keluarga maka biaya listrik juga akan semakin tinggi mengingat komputer, televisi merupakan salah satu fasilitas penunjang pendidikan.

Dokumen terkait