• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA KONSUMSI PANGAN DAN NONPANGAN RUMAH TANGGA PETANI. (Studi Kasus : Desa Mlilir, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan) Oleh : WIDYA FRANSISKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLA KONSUMSI PANGAN DAN NONPANGAN RUMAH TANGGA PETANI. (Studi Kasus : Desa Mlilir, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan) Oleh : WIDYA FRANSISKA"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

POLA KONSUMSI PANGAN DAN NONPANGAN RUMAH TANGGA PETANI (Studi Kasus : Desa Mlilir, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan)

Oleh :

WIDYA FRANSISKA NIM : 222012027

KERTAS KERJA

Diajukan Kepada Fakultas Ekonomika Dan Bisnis Guna Memenuhi Sebagian Dari

Persyaratan-persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi

Fakultas : Ekonomika Dan Bisnis Program Studi : Ilmu Ekonomi

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA 2015

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemiskinan merupakan masalah ekonomi yang dihadapi oleh berbagai negara termasuk Indonesia. Kemiskinan bersifat multidimensional karena mencakup seluruh aspek dalam perekonomian, sehingga memerlukan strategi khusus untuk menanggulanginya. Menurut World Bank dalam www.bbc.co.uk (diakses 23 Februari 2015, pukul 21.00 WIB), Poverty is concern with absoulte standart of living a part of society the poor equality refers to relative living standart across the whole society. Ini berarti tingkat kemiskinan dapat diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan dengan kebutuhan hidup minimum.

Berdasarkan data BPS (2013) dari total penduduk miskin yang ada di Indonesia 14,42 persen atau sekitar 17,92 juta jiwa berada dipedesaan. Data tersebut didukung oleh Todaro dalam Syaifudin (2010) yang menyatakan bahwa kemiskinan erat kaitannya dengan pedesaan. Hal ini disebabkan karena berbagai faktor misalnya tingkat pendidikan yang rendah, infrastruktur yang tidak memadai, akses terhadap fasilitas publik seperti puskesmas, jalur tansportasi yang masih rendah dan juga sebagian besar mata pencaharian masyarakat pedesaan masih sangat bergantung pada sektor petanian dan bekerja sebagai petani.

Menurut Euis dan Ali (2008) pameo yang mengatakan bahwa “kalau ingin hidup tentram jadilah petani, kalau ingin dihormati jadilah pegawai negeri dan jika ingin kaya jadilah pedagang“ nampaknya sudah tidak berlaku lagi. Sebagian besar kehidupan petani saat ini jauh dari kondisi tentram. Kesan yang muncul petani dianggap sebagai pekerjaan yang inferior, banyak masyarakat yang saat ini menjadikan profesi petani sebagai buffer pengangguran, artinya petani dijadikan sebagai profesi yang melindunginya dari status pengangguran, walau dengan curahan waktu bekerja dan produktivitas yang sangat minimal. Menurut World Development Report 2003 dalam Euis dan Ali (2008) menyatakan bahwa

(8)

penduduk miskin di wilayah pedesaan yang bekerja sebagai petani mengalami beberapa tantangan yang mempengaruhi potensi pembangunan daerah, yaitu : (1) terbatasnya Sumber Daya Alam (SDA), meskipun didaerah pedesaan biasanya terdapat lahan pertanian yang luas namun saat ini lahan-lahan pertanian tersebut telah banyak yang beralih fungsi lahan, sehingga hal tersebut kemudian berdampak pada produktivitas petani yang menurun, (2) terbatasnya teknologi produksi yang ada, sehingga petani di wilayah pedesaan masih menggunakan cara-cara tradisional untuk mengolah lahan pertanian, (3) tidak layaknya infrastruktur (transportasi, komunikasi, energi) dan minimnya perhatian pemerintah dalam hal kesehatan, pendidikan dan investasi.

Menurut Sumarno dan Unang (2010) tidak semua petani hidup dalam kemiskinan, ada juga petani yang hidupnya sejahtera namun jumlahnya relatif sedikit. Jika dilihat dari lahan yang diusahakan, petani dibedakan menjadi 2 yaitu petani pemilik lahan dan buruh tani. Petani pemilik lahan adalah petani yang memiliki lahan pertanian dikeloladengan bantuan orang lain dan berhak memperoleh porsi yang lebih besar dari hasil panen. Sedangkan buruh tani adalah petani yang tidak memiliki lahan pertanian sendiri dan biasa bekerja pada lahan usaha tani orang lain dengan mendapatkan upah. Dalam satu kali panen, petani pemilik lahan memperoleh 60 persen dari hasil panen, sedangkan buruh tani hanya menerima 40 persen. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan pendapatan yang diterima oleh petani pemilik lahan dan buruh tani, yang selanjutnya berdampak pada perbedaan tingkat kesejahteraan petani pemilik lahan dan buruh tani.

Pengeluaran rumah tangga digunakan oleh rumah tanggauntuk memenuhi kebutuhan pangan dan nonpangan. Menurut Sari Novita dan Fardianah (2011) ketika pendapatan yang diterima terbatas, maka rumah tangga akan cenderung mengutamakan kebutuhan pangan terlebih dahulu. Semakin besar porsi pengeluaran untuk kebutuhan pangan, maka rumah tangga tersebut dikategorikan sebagai rumah tangga dengan kesejahteraan yang rendah, sebaliknya

(9)

ketika porsi pengeluaran untuk kebutuhan nonpangan yang lebih besar maka rumah tanggatersebut dikategorikan sebagai rumah tangga dengan kesejahteraan yang tinggi. Hasil penelitian Agustin (2012) menunjukkan bahwa rumah tangga petani dikabupaten Demak masih tergolong rumah tangga dengan kesejahteraan yang rendah dengan proporsi untuk kebutuhan pangan mencapai 79.9 persen danpropporsi kebutuhan nonpangan hanya sebesar 20.1 persen, sebaliknya hasil penelitian dari Sari Novita dan Fardianah (2011) di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa dari 90 rumah tangga yang menjadi responden, 64.44 persen tergolong sebagai rumah tangga yang memiliki kesejahteraan yang tinggi karena proporsi kebutuhan pangannya kurang dari 60 persen, sedangkan 35.56 persen lainnya tergolong rumah tangga petani dengan kesejahteraan yang rendah karena proporsi kebutuhan pangan nya lebih dari 60 persen.

Hukum Engel menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan, maka pengeluaran untuk kebutuhan pangan akan menurun. Rumah tangga dikatakan telah sejahtera ketika telah memenuhi standart kesejahteraan dalam hukum engel yaitu pengeluaran kebutuhan pangan lebih rendah daripada kebutuhan nonapangan. Sehingga, pola konsumsirumah tanggabutuh tani dan petani pemilik lahan ini perlu dikaji lebih lanjut, untuk mengetahui bagaimana pola kosumsi rumah tangga terhadap kebutuhan pangan dan nonpangan untuk menilai tingkat kesejahteraan masing-masing rumah tangga petani.

Perumusan Masalah

Berdasarkan persoalan penelitian yang telah dijabarkan, permasalahan yang akan diteliti pada penelitian ini yaitu :

(10)

Tujuan Penelitian

Tujuan :

 Menganalisis pola konsumsi rumah tangga petani pemilik lahan dan buruh tani.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di desa Mlilir, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan. Desa Mlilir merupakan salah satu desa dari 21 desa di Kecamatan Gubug. Desa Mlilir merupakan desa yang berpotensi pada sektor pertanian (www.grobogan.go.id, di akses pada 15 Februari 2012 pukul 20.59) . berdasarkan data dari Kelurahan Desa Mlilir (2014), luas wilayah Desa Mlilir sebesar 320.041 Hektar, 49,1 persen dari luas wilayah tersebut merupakan lahan pertanian berupa sawah. Dari total angkatan kerja, 1922 orang bekerja sebagai buruh tani dan 917 orang bekerja sebagai petani dengan mengelola lahan milik sendiri.

(11)

LANDASAN TEORI

Teori Konsumsi Keynes

Dalam teorinya keynes membuat 3 (tiga) asumsi pokok tentang konsumsi (*) :

1. Marginal Propensity Consume (MPC) atau kecenderungan konsumsi marginal adalah jumlah barang yang dikonsumsi dalam setiap tambahan pendapatan. MPC memiliki range nol sampai satu. Asumsi ini menjelaskan bahwa ketika terjadi peningkatan pendapatan maka jumlah barang yang dikonsumsi juga akan meningkat.

2. Average Propensity Consume (APC) atau kecenderungan konsumsi rata-rata adalah rasio konsumsi terhadap pendapatan. Besarnya nilai APC akan mengalami penurunan ketika terjadi peningkatan pendapatan. Orang kaya akan menyisihkan bagian yang lebih besar dari pendapatan yang diterimanya untuk menabung daripada untuk menambah konsumsi.

3. Pendapatan merupakan faktor paling dominan mempengaruhi konsumsi, sementara peran tingkat bunga terhadap konsumsi hanya sebatas teori. Asumsi ini menjelaskan bahwa semakin tinggi tingkat bunga, hal tersebut akan mendorong untuk meningkatkan tabungan dan mengurani konsumsi.

Dari ketiga asumsi tersebut kemudian dirumuskan kedalam bentuk matematis sebagai berikut :

(12)

Dimana C : Nilai konsumsi yang dilakukan oleh rumah tangga

A : Konsumsi otonom yaitu konsumsi yang tidak dipengaruhi oleh pendapatan dan memiliki nilai lebih dari nol.

Y : Pendapatan disposibel yaitu pendapatan yang siap untuk dibelanjakan.

*(Mankiw, 2007)

Hukum Engel (Engel Law)

Hukum Engel menyatakan bahwa pola pengeluaran rumah tangga terhadap kebutuhan makanan (pangan) dan kebutuhan lainnya dipengaruhi oleh tingkat pendapatan. Ketika rumah tangga memiliki pendapatan yang terbatas maka rumah tangga akan cenderung mengutamakan kebutuhan pangan daripada kebutuhan lainnya, artinya ketika pendapatan yang diperoleh meningkat maka porsi kebutuhan pangan juga akan meningkat. Namun, pada titik pendapatan tertentu dengan asumsi tidak ada perubahan selera, porsi kebutuhan pangan akan mengalami penurunan.

Menurut Sari Novita dan Fardianah (2011) penurunan proporsi kebutuhan pangan ketika terjadi kenaikan pendapatan disebabkan karena kebutuhan pangan merupakan jenis barang memiliki elastisitas yang rendah artinya kenaikan pendapatan akan diikuti oleh perubahan kuantitas permintaan kebutuhan pangan yang relatif sangat sedikit, hal ini disebabkan karena berapapun harga kebutuhan pangan konsumen harus tetap membelinya. Sedangkan kebutuhan nonpangan merupakanjenis barang yang bersifat elastis, artinya kenaikan pendapatan akan diikuti oleh kenaikan kuantitas permintaan yang lebih besar daripada perubahan pendapatannya.

(13)

Kurva Engel

Hubungan antara kuantitas kebutuhan pangan maupun nonpangan terhadap pendapatankemudian dapat dijelaskan dengan kurva Engel. Menurut Sudarman (2004) Kurva Engel adalah suatu fungsi yang menghubungkan jumlah komoditi yang dibeli oleh konsumen pada berbagai tingkat pendapatan. Kurva Engel dapat digunakan untuk menilai tingkat kesejahteraan ekonomi (economic welfare) dan analisis dari pola pengeluaran rumah tangga.

Gambar 1. Kurva Engel

Gambar (a) Gambar (b)

Sumber : Sudarman (2004)

Gambar (a) merupakan kurva engel untuk kebutuhan pangan yang mengandung arti bahwa setiap kenaikan pendapatan akan dikiuti oleh kenaikan konsumsi pangan. Namun, pada titik pendapatan tertentu dengan asumsi tidak ada perubahan selera peningkatan pendapatan akan diringi oleh penurunan kuantitas konsumsi pangan. Sedangkan gambar (b) merupakan kurva engel untuk kebutuhan nonpangan yang mengandung arti bahwa setiap kenaikan pendapatan akan diikuti oleh kenaikan konsumsi secara proporsional.

(14)

Kurva Engel gambar (a) diatas menunjukkan bahwa ketika Pendapatan (Y) meningkat dari Y1 ke Y2, kuantitas kebutuhan pangan (A) yang diminta juga bertambah dari A1 ke A2. Namun ketika pendapatan kembali mengalami kenaikan dari Y2 ke Y3 yang terjadi justru kuantitas kebutuhan pangan yang diminta turun dari A2 ke A3. Berbeda dengan Kurva Engel untuk kebutuhan nonpangan, gambar (b) menunjukkan bahwa ketika pendapatan mengalami peningkatan dari Y1 ke Y2 maka kuantitas kebutuhan nonpangan (B) bertambah dari B1 ke B2, selanjutnya ketika terjadi kenaikan pendapatan dari Y2 ke Y3 maka A juga akan kembali bertambah dari B2 ke B3.

Pengeluaran Rumah Tangga

Menurut Agustin (2012) pengeluaran rumah tangga adalah pembelanjaan barang dan jasa akhir (final good and service) yang dilakukan oleh sektor rumah tangga guna memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, dalam memenuhi kebutuhannya masyarakat berusaha mendapatkan barang-barang yang dapat memberikan kepuasaan tertinggi dengan harga tertentu. Sedangkan menurut Sistem Rujukan Statistik (SIRUSA) BPS pengeluaran rumah tangga mencakup pengeluaran berupa makanan dan bukan makanan yang dilakukan didalam negeri maupun luar negeri guna memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sehingga pengeluaran rumah tangga adalah pembelanjaan atas barang dan jasa akhir yang berupa makanan maupun bukan makanan guna memenuhi kebutuhan hidup.

Struktur Pengeluaran Rumah Tangga

Pendapatan yang diterima oleh rumah tangga pada akhirnya akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sehingga selain pendapatan, pola pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan salah satu indikator untuk menilai tingkat kesejahteraan rumah tangga petani. Struktur pengeluaran rumah tangga digolongkan menjadi 2 yaitu kebutuhan pangan dan nonpangan. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS kebutuhan pangan

(15)

terdiri dari (1) Padi-padian dan hasilnya (2) Umbi-umbian dan hasilnya (3) Ikan dan hasilnya (4) Daging (5) Telur, susu dan hasilnya (6) Sayuran (7) Kacang-kacangan (8) Buah-buahan (9) Konsumsi lainnya (10) Makanan Jadi dan (11) Tembakau. Sedangkan kebutuhan nonpangan terdiri dari dari (1) Perumahan, bahan bakar, penerangan dan air (2) Barang-barang dan jasa-jasa (3) Pakaian, alas kaki dan tutup kepala (4) Barang-Barang-barang tahan lama dan (5) Keperluan pesta dan upacara.

Penelitian Terdahulu

Sari Novita dan Fardianah (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Pola Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Petani Di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan menyatakan bahwa dari 90 rumah tangga yang menjadi responden, 32 rumah tangga atau 35,56 persen tergolong tidak mampu (presentase kebutuhan pangan lebih dari 60 persen) dan 58 rumah tangga atau 64,44 persen tergolong mampu (presentase kebutuhan nonpangan kurang dari 60 persen). Rata-rata pengeluaran rumah tangga petani untuk kebutuhan pangan sebesar 52,3 persen (Rp 6.818,2 perkapita perhari), sedangkan rata-rata pengeluaran untuk kebutuhan bukan pangan lebih kecil yaitu sebesar 47,7 persen (Rp 6.219,27 perkapita perhari). Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa kesejahteraan rumah tangga petani di Kabupaten Banjar masih perlu terus ditingkatkan karena dari rata-rata pengeluaran terhadap kebutuhan pangan masih lebih besar daripada kebutuhan nonpangan.

Penelitian yang hampir sama juga dilakukan oleh Juwarin Pancawati (2012) dengan judul Kontribusi Pendapatan Sektor Pertanian Terhadap Rumah tangga Petani (Studi Kasus Kelurahan Penancangan Kecamatan Cipocok Jaya Provinsi Banten). Studi ini dilakukan pada rumah tangga buruh tani. Hasil penelitian menyatakan bahwa Kontribusi pendapatan yang diperoleh dari sektor pertanian hanya sebesar 31,3 persen sedangkan sisanya diperoleh dari sektor nonpertanian. Kesejahteraan buruh tani di Kelurahan Penancangan masih rendah jika

(16)

dilihat dari sisi pendapatan, pendapatan rata-rata yang diterima oleh petani sebesar Rp 16.201.750,00 dengan rata-rata tanggungan dalam satu rumah tangga sebnayak 7 orang, sehingga pendapatan perkapita dalam rumah tangga petani sebesar Rp 2.388.272,1 pertahun atau sekitar Rp 199.022,6 perbulan. Sedangkan pengeluaranrumah tangga petani sebesar Rp 17.076.859,44 pertahun, dengan pendapatan perkapita sebesar Rp 2.491.175,5 pertahun atau sekitar Rp 207.597,9 perbulan. Proporsi pengeluaran terhadap kebutuhan pangan sebesar 62,65 persen dan pengeluaran terhadap kebutuhan nonpangan sebesar 37,35 persen. Namun, yang memprihatinkan dari struktur pengeluaran buruh tani adalah pengeluaran yang digunakan untuk tembakau sebesar 11,04 persen, pengeluaran tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan pengeluaran yang digunakan untuk kesehatan 0,94 persen dan pendidikan 5,55 persen.

Sugiarto (2008) dalam penelitiannya berjudul Analisis Tigkat Kesejahteraan Petani Menurut Pola Pendapatan Dan Pola Pengeluaran, pengelompokkan patani kedalam 2 golongan yaitu petani lahan sawah dan petani lahan kering, penelitian ini dilakukan di 6 desa penelitian Panel Petani Nasional (PATANAS) yaitu desa Passena (Sulawesi Selatan), Selosari (Jawa Timur), Sumber Rejo (Lampung) dengan golongan petani lahan sawah, sedangkan Karang Baru (NTB), Rumbia (Sulawesi Selatan), dan Komerang Putih (Lampung) dengan golongan petani lahan kering. Dari struktur pendapatan, rata-rata pendapatan petani lahan sawah sebesar Rp 11.773.700,00 lebih besar jika dibandingkan dengan petani lahan kering sebesar 9.129.100,00. Pada sisi pengeluaran penelitian ini mengklasifikasikan pengeluaran ke dalam 3 jenis yaitu pengeluaran kebutuhan pangan, kebutuhan nonpangan dan kebutuhan bahan bakar, dengan rata-rata pengeluaran untuk petani lahan sawah sebesar Rp 9.242.200,00 dengan porsi kebutuhan pangan sebesar 48,4 persen, kebutuhan nonpangan 40,8 persen dan kebutuhan bahan bakar 10,8 persen, sedangkan rata-rata pengeluaran petani lahan kering sebesar Rp 7.667.700,00 dengan porsi kebutuhan pangan sebesar 56 persen, kebutuhan

(17)

nonpangan 36,8 persen dan kebutuhan bahan bakar sebesar 7,2 persen.Dari hasil tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tingkat kesejahteraan petani lahan sawah lebih baik dibandingkan dengan petani lahan kering dilihat dari pendapatan yang diperoleh dan pengeluaran dari ketiga jenis kebutuhan.

Agustin (2012) dalam penelitiannya berjudul Analisis Konsumsi Rumah Tangga Petani Padi Dan Palawija Di Kabupaten Demak menyatakan bahwa rata-rata pengeluaran petani padi dan palawija di Kabupaten Demak sebesar Rp 12.044.242,00 dalam satu tahun. Jika dilihat dari pendapatan responden perkapita perbulan, sebanyak 34,3 persen responden masuk kedalam kriteria kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS yaitu tidak memenuhi 2100 kalori perhari selama satu bulan. Pengeluaran rumah tangga petani dan palawija masih didominasi oleh pengeluaran untuk kebutuhan pangan sebesar 79,9 persen, sedangkan kebutuhan nonpangan memiliki porsi sebesar 20,1 persen. Dalam struktur pengeluaran yang digunakan untuk kebutuhan nonpangan, biaya komunikasi memiliki presentase tertinggi sebesar 50,1 persen kemudian diikuti oleh pendidikan sebesar 41,6 persen. Pola konsumsi yang masih didominasi oleh kebutuhan pangan ini menunjukkan bahwa kemampuan petani dalam mengkonsumsi kebutuhan nonpangan masih sangat rendah, sehingga kebutuhan pokok selain makanan seperti kesehatan, pendidikan dan pakaian masih belum terpenuhi dengan maksimal.

Suprapti Supardi (2012) dalam penelitiannya berjudul Analisis ekonomi rumah tangga tani di Daerah Aliran Sungai (DAS) Solo Hulu Kabupaten Wonogiri, membedakan rumahtangga petani dalam kelompok miskin dan tidak miskin. Hasil penelitian menunjukkan pendapatan rumah tangga tidak miskin sebesar Rp 17.340.750/rumah tangga/tahun, 43,76 persen diperoleh dari usaha tani dan 56,24 persen diperoleh dari luar usaha tani. Sedangkan pendapatan untuk rumah tangga miskin sebesar Rp 9.209.910/rumah tangga/tahun, 39,74 persen diperoleh dari usaha tani dan 60,26 persen diperoleh dari non usahatani. Dari hasil ini dapat dilihat bahwa petani di daerah DAS di Solo telah menerapkan sistem pendapatan ganda

(18)

atau tidak lagi menggantungkan kehidupannya hanya pada usaha tani. Pengeluaran rumah tangga tidak miskin sebesar Rp 13.113.680/rumah tangga/tahun sebesar 51,86 persen untuk kebutuhan pangan dan 48,18 persen untuk kebutuhan nonpangan. Sedangkan pengeluaran rumah tangga miskin sebesar Rp 10.535.420/rumah tangga/tahun, 59,45 persen untuk kebutuhan pangan dan 40,55 persen untuk kebutuhan nonpangan. Rumah tangga petani miskin maupun tidak miskin pola konsumsinya masih didominasi oleh kebutuhan pangan. Rumah tangga tidak miskin mampu menyisihkan sebagian pendapatannya untuk menabung sebesar 24,38 persen, sedangkan rumah tangga miskin memiliki disaving dan harus berhutang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Krustin Halyani (2008) dalam penelitiannya membedakan rumah tangga petani kedalam 2 golongan yaitu petani pemilik lahan kurang dari 0.25 Ha dan petani pemilik lahan lebih dari 0.25 Ha. Hasil penelitiannnya menunjukkan pada rumah tangga petani pemilik lahan kurang dari 0.25 Ha pengeluaran yang digunakan untuk konsumsi pangan sebesar 62.6 persen dan nonpangan sebesar 37.4 persen, sedangkan pada rumah tangga petani pemilik lahan alokasi pengeluaran untuk konsumsi pangan sebesar 40.9 persen dan untuk kebutuhan nonpangan sebesar 59.1 persen. Dalam penelitian ini juga menyatakan bahwa secara statistik faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi yaitu pendapatan, jumlah anggota rumah tangga dan jumlah anak yang sekolah.

(19)

Kerangka Pemikiran

Pola konsumsi rumah tangga terhadap kebutuhan pangan dan nonpangan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk melihat tingkat kesejahteraan rumah tangga. Hukum Engel mengatakan bahwa pola konsumsi rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan dan nonpangan ditentukan oleh pendapatan. Ketika pendapatan yang diperoleh oleh rumah tangga terbatas, maka kebutuhan pangan akan mendapatkan proporsi yang lebih besar dari total pendapatan jika dibandingkan dengan kebutuhan nonpangan. Sehingga ketika porsi konsumsi terhadap kebutuhan pangan lebih besar daripada kebutuhan nonpangan, dapat dikatakan bahwa kesejahteraan dalam rumah tangga tersebut masih rendah dan sebaliknya.

Gambar 2. Kerangka Berpikir

POLA KONSUMSI

PETANI PEMILIK LAHAN BURUH TANI

KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI

KEBUTUHAN PANGAN KEBUTUHAN NONPANGAN KEBUTUHAN NONPANGAN KEBUTUHAN PANGAN ENGEL MODEL

(20)

METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian`

Penelitian ini dilakukan di desa Mlilir, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan. Berdasarkan data dari Kelurahan Desa Mlilir, luas wilayah Desa Mlilir sebesar 320.041 Hektar dengan total penduduk sebanyak 5710 orang yang tersebar di 6 RW dan 24 RT. Dari total angkatan kerja, 1922 orang bekerja sebagai buruh tani dan 917 orang bekerja sebagai petani dengan mengelola lahan milik sendiri. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja dengan alasan melihat keadaan Desa Mlilir yang hampir 50 persen dari luas wilayahnya merupakan lahan pertanian serta banyaknya masyarakat yang bekerja sebagai petani.

Jenis dan Sumber Data

Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan memberikan kuisonerserta melakukan wawancara kepada responden untuk mendapatkan informasi secara langsung sesuai dengan fakta di lapangan. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait yaitu pihak Kelurahan Desa Mlilir sebagai data yang akan melengkapi data primer yang diperoleh oleh peneliti.

Teknik Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah Probability Sampling yang memberikan kesempatan kepada setiap populasi untuk menjadi sampel, cara yang digunakan untuk memilih sampel adalah dengan proporsional random sampling yaitu memilih secara sistematis populasi yang ada pada subpopulasi atau setiap RW dalam satu desa, rumatangga yang dipilih sebagi sampel berdasarkan saran yang diberikan dari warga sekitar.

Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 50 rumah tangga buruh tani dan 50 rumah tangga petani pemilik lahan. Penentuan jumlah sampel ini dikarenakan data yang ada

(21)

di lapangan bersifat homogen. Homogen yang dimaksud yaitu kecenderungan pendapatan yang diterima oleh rumah tangga serta perilaku konsumsi rumah tangga dalam mengkonsumsi kebutuhan pangan maupun nonpangan sama. Sehingga peneliti memutuskan untuk menentukan sampel sebanyak 50 responden dari masing-masing rumah tangga yang dianggap telah mampu mewakili populasi yang ada, karena 50 responden dari masing-masing rumah tangga diambil dari masing-masing RW yang ada di desa penelitian.

Metode Analisis dan Pengolahan Data

Dalam penelitian ini data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode analisis statistik deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Analisis pendapatan maupun kuantitas konsumsi dilakukan dalam bentuk data nominal, hal ini dikarenakan konsumsi masyarakat di desa penelitian cenderung tidak terpengaruh pada tingkat inflasi, karena berapapun pendapatan yang diperoleh mereka akan selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan rumah tanggga. Data diperoleh dari hasil kuisoner kepada responden. Kemudian data akan diuji secara statistik dengan menggunakan bantuan SPSS 16.

Langkah Pengolahan Data

 Uji Normalitas

Uji normalitas adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah data yang ada terdistribusi normal. Data dikatakan terdistribusi normal ketika data memusat pada nilai rata-rata atau median. Ketika data terdistribusi normal maka digunakan statistik parametrik, sebaliknya ketika data tidak terdistribusi normal maka digunakan statistik non-parametrik.

 Uji Beda rata-rata

Uji beda rata-rata adalah uji untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan atau kesamaan rata-rata dua buah data. Pada penelitian ini data diambil dari dua sampel

(22)

yang saling bebas yaitu data konsumsi buruh tani dan petani pemilik lahan. Uji beda rata-rata dua buah sampel yang saling bebas dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :

 Uji Independent sample t-test : pengujian ini digunakan ketika kedua data yang digunakan terdistribusi normal.

 Uji Independent sample Mann-Whitney : pengujian ini digunakan ketika salah satu data atau kedua data yang digunakan tidak terdistribusi normal.

 Curve Estimation Regression

Curve Estimation Regresion adalah uji untuk mengetahui pola hubungan antara 2 variabel menggunakan sebaran titik, selain itu curve estimation ini juga digunakan untuk memilih model yang paling tepat untuk menjelaskan pola yang ada. Terdapat 6 pilihan alternatif model yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

 Model Linier  Model Logarithmic  Model Inverse  Model Quadratic  Model Cubic  Model Exponential

Model yang dipilih adalah model yang memiliki tingkat kepercayaan (R-square) yang paling tinggi.

 Setelah ditetapkan model yang paling tepat untuk menjelaskan pola konsumsi, kemudian pola yang telah terbentuk dianalisis secara deskriptif.

(23)

Definisi Operasioanal

1. Petani pemilik lahan adalah petani yang memiliki lahan pertanian dikelola dengan bantuan orang lain dan berhak memperoleh porsi yang lebih besar dari hasil panen. Dalam hal ini petani pemilik lahan dijelaskan sebagai sebuah rumah tangga dengan pengeluaran untuk konsumsi pangan dan nonpangan, bukan sebagai sebuah usaha, sehingga pengeluaran untuk bidang usaha seperti pengeluaran pupuk, membayar upah buruh tani dan biaya produksi lainnya tidak diteliti. (Sumarno dan Unang, 2010) 2. Buruh tani adalah petani yang tidak memiliki lahan pertanian sendiri dan biasa bekerja pada lahan usaha tani orang lain dengan mendapatkan upah. (Sumarno dan Unang, 2010)

3. Rumah tangga adalah seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau sensus dan tinggal bersama dengan makan dari satu dapur yang sama. (Badan Pusat Statistik)

4. Pendapatan rumah tangga petani adalah total pendapatan yang diperoleh dari semua anggota yang bekerja baik pada sektor pertanian maupun nonpertanian. (Badan Pusat Statistik)

5. Pengeluaran rumah tangga adalah pembelanjaan atas barang dan jasa akhir yang berupa makanan maupun bukan makanan guna memenuhi kebutuhan hidup. (Agustin, 2012)

6. Pengeluaran kebutuhan pangan adalah biaya yang digunakan untuk pembelian bahan makanan meliputi : (1) Padi-padian dan hasilnya (2) Umbi-umbian dan hasilnya (3) Ikan dan hasilnya (4) Daging (5) Telur, susu dan hasilnya (6) Sayuran (7) Kacang-kacangan (8) Buah-buahan (9) Konsumsi lainnya (10) Makanan Jadi dan (11) Tembakau. (SUSENAS BPS)

(24)

7. Pengeluaran kebutuhan nonpangan adalah biaya yang digunakan untuk pembelian bahan non makanan, meliputi : (1) Kesehatan (2) Pendidikan (3) Listrik (4) Transportasi (8)Komunikasi (9) Sandang (10) Rekreasi dan (11) Sosial. (SUSENAS BPS)

(25)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Kondisi Di Lokasi

Responden dalam penelitian ini adalah rumah tangga petani pemilik lahan dan buruh tani, seluruh informasi yang diperoleh bersumber dari kepala rumah tangga berserta istri. Rata-rata usia petani yang ada di desa Mlilir berkisar 40 tahun keatas, hal ini disebabkan penghasilan yang diperoleh dari usaha tani tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga sehingga masyarakat berusia 20 – 40 tahunan lebih memilih untuk bekerja di pabrik, ke luar kota atau ke luar negeri. Bedasarkan tingkat pendidikan, mayoritas responden hanya tamat pendidikan pada jenjang Sekolah Dasar.

Upah yang diterima oleh buruh tani yaitu berupa uang tunai sebesar Rp 25.000 ketikatanam bibit dan Rp 50.000 – Rp 100.000 ketika panen. Banyak dari rumah tangga buruh tani yang tidak hanya mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencaharian, ketika tidak sedang musim penen kepala rumah tangga bekerja sebagai kuli bangunan. Sedangkan hasil panen yang dimiliki oleh petani pemilik lahan setengahnya digunakan untuk konsumsi sendiri dan sisanya langsung dijual ke pengepul. Pada rumah tangga petani pemilik lahan ini juga tidak sepenuhnya mengandalkan hasil lahan pertanian sebagai pendapatan utama, banyak dari rumah tangga petani pemilik lahan yang juga memiliki usaha misalnya toko kelontong, peternak, memiliki tempat penggilingan padi dan pedagang dipasar.

(26)

Struktur Pengeluaran Rumah Tangga Buruh Tani dan Petani Pemilik Lahan

Pola konsumsi merupakan susunan berbagai macam jenis barang-barang yang dikonsumsi oleh rumah tangga baik pangan maupun nonpangan. Pola konsumsi juga merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menilai tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Semakin besar pendapatan rumah tangga yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan, maka rumah tangga tersebut dikategorikan sebagai rumah tangga dengan kesejahteraan yang rendah.

Tabel 1. Proporsi Pengeluaran Konsumsi Pangan dan Nonpangan

Terhadap Total PengeluaranRumah Tangga Buruh Tani dan Petani Pemilik Lahan

Buruh Pemilik Lahan

No. Jenis Pengeluaran Nominal Presentase Nominal Presentase

1 Padi-padian Rp265.200 17,60 Rp284.000 11,55

2 Lauk pauk, sayur dan buah Rp365.720 24,27 Rp423.120 17,21

3

Makanan jadi dan Konsumsi lainnya (bumbu, teh, gula, kopi)

Rp161.195 10,70 Rp191.018 7,77

4 Tembakau Rp165.800 11,00 Rp155.600 6,33

Total Pengeluaran Pangan Rp957.915 63,57 Rp1.053.738 42,86

6 Kesehatan Rp88.600 5,88 Rp126.542 5,15 7 Pendidikan Rp163.628 10,86 Rp743.618 30,25 8 Listrik Rp45.520 3,02 Rp68.220 2,77 9 Komunikasi Rp33.500 2,22 Rp65.880 2,68 10 Transportasi Rp101.030 6,70 Rp178.350 7,25 11 Rekreasi Rp12.400 0,82 Rp13.000 0,53 12 Sandang Rp40.283 2,67 Rp72.783 2,96 13 Sosial Rp64.050 4,25 Rp136.250 5,54

Total pengeluaran non-pangan

Rp549.011 36,43 Rp1.404.643 57,14 Total Pengeluaran perbulan Rp1.506.926 100 Rp2.458.381 100 Sumber : data primer, diolah

Tabel 1 diatas menunjukkan terdapat perbedaan alokasi untuk konsumsi pangan dan nonpangan antara rumah tangga buruh tani dan pemilik lahan. Bagi rumah tangga buruh tani

(27)

63.5 persen dari total pengeluaran digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan sedangkan 36.43 persen sisanya digunakan untuk kebutuhan nonpangan, sedangkan hal yang sebaliknya terjadi pada pengeluaran rumah tangga petani pemilik lahan yaitu pengeluaran konsumsi nonpangan justru lebih besar yaitu 57.14 persen, sisanya sebesar 42.86 persen digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Krustin Halyani (2008) yang membedakan rumah tangga petani dalam dua golongan yaitu petani pemilik lahan kurang dari 0.25 Ha dan petani pemilik lahan lebih dari 0.25 Ha. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rumah tangga petani pemilik lahan kurang dari 0.25 Ha mengalokasikan 62.6 persen untuk konsumsi pangan dan 37.4 persen untuk konsumsi nonpangan, sedangkan pada rumah tangga petani pemilik lahan lebih dari 0.25 Ha mengalokasikan 40.9 persen untuk konsumsi pangan dan 59.1 persen untuk konsumsi nonpangan, dimana kedua penelitian ini memiliki kesamaan yaitu untuk rumah tanggaburuh tani dan pemilik lahan kurang dari 0.25 Ha proporsi konsumsi pangan lebih besar daripada konsumsi nonpangan, sedangkan pada rumah tangga pemilik lahan dan pemilik lahan lebih dari 0.25 Ha proporsi konsumsi pangan lebih kecil daripada nonpangan, hal ini juga berarti bahwa kesejahteraan rumah tangga petani pemilik lahan lebih besar daripada rumah tangga buruh tani. Hal ini juga didukung oleh fakta dilapangan bahwa buruh tani hanya mendapatkan upah sebesar Rp 4.500.000 dalam satu kali masa panen (3 bulan), sedangkan dalam satu kali masa panen petani pemilik lahan mampu menghasilkan ± 4 Ton padi atau sekitar Rp 15.000.000, artinya buruh tani hanya mendapatkan 30 persen dari hasil panen.

(28)

Gambar 3. StrukturPengeluaran Konsumsi Pangan Rumah Tangga Buruh Tani dan Petani Pemilik Lahan

Sumber : data primer, diolah (2015)

Secara struktur pengeluarankonsumsi pangan dan nonpangan rumah tanggaburuh tani dan petani pemilik lahan hampir sama yaitu pengeluaran terbesar dari konsumsi pangan adalah untuk pengeluaran konsumsi lauk pauk, buah dan sayur sebesar 24.27 persendari total pengeluaran untuk rumah tanggaburuh tani, sedangkan bagi rumah tangga petani pemilik sebesar 17.21 persen hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan sudah menyadari akan pentingnya kebutuhan gizi dari makanan yang dikonsumsinya. Hal ini sesuai dengan hukum Bannet yang menjelaskan hubungan antara pendapatan dengan kualitas konsumsi pangan. Pada pendapatan yang tinggi, pola konsumsi pangan akan semakin beragam dan akan terjadi peningkatan kualitas konsumsi pangan yang lebih bernilai gizi tinggi (Djauhari, 2012). Kemudian pengeluaran terbesar kedua adalah pengeluaran untuk padi-padian yaitu sebesar 17.6 persen untuk rumahtangga buruh tani dan 11.55 persen untuk rumah tangga petani pemilik lahan, besarnya pengeluaran untuk beras ini menunjukkan bahwa masyarakat belum mampu untuk melakukan diversifikasi pangan dari

(29)

beras ke barang subtitusi yang ada misalnya jagung dan umbi-umbian, padahal pada desa penelitian jagung merupakan salah satu hasil panen yang berlimpah. Namun, masyarakat masih belum mampu untuk memanfaatkannya dan masih sangat tergantung pada beras, sehingga meskipun beras mengalami kenaikan harga, rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan tetap berusaha untuk membeli beras.

Gambar 4. StrukturPengeluaran Konsumsi Non-Pangan Rumah Tangga Buruh Tani dan Petani Pemilik Lahan

Sumber : data primer, diolah (2015)

Sedangkan pengeluaran terbesar dari konsumsi nonpangan digunakan untuk pendidikan bagi rumah tangga buruh tani sebesar 10.86 persen, sedangkan bagi rumah tangga petani pemilik lahan sebesar 30.25 persen, hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan telah menyadari pentingnya pendidikan, karena selain konsumsi pangan, pendidikan menjadi prioritas dibandingkan kebutuhan nonpangan lainnya. Namun, dapat dilihat bahwa perbedaan pengeluaran pendidikan pada rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan sangat signifikan, hal ini dimungkinkan terjadi karena perbedaan jenjang

(30)

pendidikan yang sedang ditempuh oleh anggota keluarga dalam rumah tangga. Rata-rata pada rumah tangga buruh tani jenjang pendidikan yang sedang ditempuh adalah SD sampai SMA, sedangkan pada rumah tangga pemilik lahan jenjang pendidikan yang ditempuh adalah SD sampai perguruan tinggi, sehingga proporsi pengeluaran pendidikan yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga petani pemilik lahan menjadi sangat besar.

Hal yang menarik dari struktur pengeluaran rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan adalah pengeluaran untuk tembakau lebih besar daripada pengeluaran untuk kesehatan, hal ini sesuai dengan laporan Departemen Kesehatan (2008) yang menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk tembakau 3 kali lebih besar daripada biaya kesehatan, hal ini berarti bahwa tembakau telah menjadi kebutuhan pokok rumah tangga dan masyarakat juga belum menyadari pentingnya kesehatan dalam meningkatkan kesejahteraan rumah tangga, fakta lainnya juga menyebutkanbahwa pada rumah tangga miskin pengeluaran rokok menjadi pengeluaran terbesar setelah pengeluaran untuk beras, dengan pengeluaran rata-rata dalam 10 tahun mencapai Rp 36 juta (detik.com,2014).Sementara pengeluaran terkecil dari masing-masing rumah tangga adalah pengeluaran untuk rekreasi sebesar 0.82 persen untuk rumah tangga buruh tani dan 0.53 persen untuk rumah tangga petani pemilik lahan, hal ini berarti rekreasi atau hiburan belum dan bahkan tidak menjadi prioritas bagi rumah tangga petani yang masih berada di pedesaan.

(31)

Pola Konsumsi Pangan Rumah tangga Buruh Tani dan Petani Pemilik Lahan

Gambar 5. Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Buruh Tani dan Petani Pemilik Lahan

Sumber : data primer, diolah (2015)

Berdasarkan pengujian yang dilakukan (Lampiran I), pola konsumsi pangan pada rumah tangga buruh tani terhadap pendapatan mampu dijelaskan oleh model Quadratic sedangkan pola konsumsi pangan pada rumah tangga petani pemilik lahan mampu dijelaskan oleh model Logarithmic. Pada awalnya pola hubungan konsumsi pangan rumah tangga buruh tani dengan pendapatan adalah negatif, artinya ketika pendapatan semakin meningkat maka presentase pengeluaran untuk kebutuhan pangan turun. Hasil ini sesuai dengan salah satu asumsi dalam teori konsumsi Keynes yaitu Average Propensity Consume (APC) yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan maka proporsi untuk konsumsi akan menurun.

Namun, ketika pendapatan rumahtangga buruh tani mencapaiRp 6.240.000 pola hubungan konsumsi pangan dan pendapatan menjadi positif. Menurut Irawan (2011) peningkatan pendapatan berarti membesar peluang untuk menambah kuantitas dan kualitas makanan, hal ini diduga tejadi karena pada saat pendapatan telah mencapaiRp 6.240.000, konsumsi pangan rumah tangga buruhtani semakin beraneka ragam serta rumah tangga juga akan lebih

(32)

memperhatikan kualitas serta gizi yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi.Jika dikaitkan pada fenomena yang terjadi di desa penelitian, sebelumnya rumah tangga buruh tani hanya mengkonsumsi beras dari sisa penggilingan padi atau menggunakan beras dengan kualitas sedang, ketika pendapatan telah mencapai Rp 6.240.000 rumahtangga akan beralih menggunakan beras dengan kualitas yang lebih baik, begitupun dengan lauk pauk, sayuran dan buah yang sebelumnya rumahtangga hanya mengkonsumsi hasil kebun sendiri, namun ketika pendapatan telah mencapai titik optimum maka rumah tangga akan mulai membeli lauk pauk, sayuran dan buah yang lebih bervariasi serta yang memiliki gizi lebih baik. Hal ini berarti juga konsumsi tembakau juga meningkat mengingat dalam penelitian ini tembakau merupakan kelompok kosumsi pangan. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa tingkat pendapatan Rp 6.240.000 merupakan backward banding atau terjadinya perubahan selera dari pola konsumsi pangan rumah tangga buruh tani.

Hal yang hampir sama terjadi pada rumah tangga petani pemilik lahan, dimana kenaikan pendapatan diiringi oleh penurunan proporsi terhadap kebutuhan pangan. Berdasarkan fenomena yang terjadi pada rumahtangga petani pemilik lahan didesa penelitian adalah ketika pendapatan meningkat hal tersebut tidak langsung diikuti oleh peningkatan pengeluaran kebutuhan pangan, peningkatan pendapatan yang diterima tersebut akan dialokasi untuk memenuhi kebutuhan nonpangan misalnya perumahan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain, atau digunakan untuk investasi misalnya membeli tanah, emas dan sawah. Hal ini dikarenakan rumah tangga petani pemilik lahan merasa kualitas konsumsi pangan telah terpenuhi sehingga tidak perlu lagi menambah pengeluaran untuk konsumsi pangan.

Pola konsumsi pangan pada rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan di desa Mlilir Kab. Grobogan ini bertentangan dengan Engel Curve yang menyatakan bahwa kenaikan pendapatan yang terjadi akan diirngi oleh kenaikan proporsi kebutuhan pangan. Perbedaan hasil penelitian dengan Engel Curve ini diduga disebabkan oleh perilaku rumah tangga dalam

(33)

mengkonsumsi kebutuhan pangan lebih dominan dipengaruhi oleh perilaku konsumsi. Perilaku konsumsi yang dimaksud adalah kebiasaan dalam mengkonsumsi bahan makanan seperti lauk pauk, misalnya sebuah rumah tangga biasa mengkonsumsi daging sapi maupun ayam dua kali dalam satu minggu, maka ketika terjadi peningkatan pendapatan mereka tidak akan mengubah konsumsi daging menjadi setiap hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nurul Hidayah (2012) yang menyatakan bahwa pada masyarakat pedesaan pola konsumsi tergantung pada kebiasaan atau gaya hidup, gaya hidup yang dimaksud adalah tempat dimana masyarakat menghabiskan waktu serta uang yang dimiliki. Sehingga peningkatan pendapatan dalam rumah tangga tidak begitu berpengaruh pada peningkatan proporsi kebutuhan pangan, pengaruh rendahnya pendapatan terhadap konsumsi pangan juga terbukti secara statistik dengan tingkat kepercayan (R-Square) yang rendah yaitu sebesar 31.2 persen untuk rumah tangga buruh tani dan 75 persen untuk rumah tangga petani pemilik lahan.

Pola Konsumsi Nonpangan Rumah Tangga Buruh Tani dan Petani Pemilik Lahan

Berdasarkan uji beda rata-rata proporsi total kebutuhan nonpangan terhadap pendapatan antara rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan yang dilakukan tidak terdapat perbedaan pola konsumsi. (Lampiran II).

Tidak adanya perbedaan proporsi total konsumsi nonpangan antara rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan, berarti kedua rumah tanggamemiliki perilaku konsumsi yang hampir sama terhadap konsumsi nonpangan dari pendapatan yang diterimanya. Misalnya untuk pengeluaran kesehatan, biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh rumah tangga pada desa penelitian biasanya hanya untuk berobat kedokter ketika sakit, pijat dan membeli obat ditoko, sehingga meskipun pendapatan yang diterima tinggi, besar biaya yang dikeluarkan akan tetap sama, begitu pula yang terjadi pada item-item konsumsi nonpangan yang lainnya.

(34)

Namun, ketika dilakukan pengujian per item konsumsi nonpangan terdapat perbedaan pola konsumsi pada konsumsi pendidikan dan konsumsi listrik. Sehingga lebih lanjut pada penelitian ini akandiamati perbedaan pola konsumsi pendidikan dan konsumsi listrik pada rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan.

Pola Konsumsi Pendidikan Rumah Tangga Buruh Tani dan Petani Pemilik Lahan

Gambar 6. Pola konsumsi pendidikan rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan

Sumber : data primer, diolah (2015)

Berdasarkan pengujian yang dilakukan (Lampiran III), dalam hal pendidikanterdapat perbedaan pola konsumsi rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan, pada rumah tangga buruh tani pola konsumsi pendidikan dengan pendapatan dijelaskan menggunakan model Exponential. Pada rumah tangga buruh tani, pendapatan secara signifikan mempengaruhi proporsi pengeluaran untuk pendidikan dengan pola hubungan negatif, artinya semakin tinggi pendapatan rumahtangga buruhtani proporsi pengeluaran pendidikan akan semakin kecil, didasarkan pada fenomena yang terjadi di desa penelitian hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, biaya pendidikan yang rutin dikeluarkan rumah tangga buruh tani pada setiap bulan hanya terbatas pada uang saku anak perhari dan uang SPP yang

(35)

dibayarkan setiap bulan, ketika pendapatan dalam rumah tangga meningkat hal tersebut tidak diiringi oleh peningkatan fasilitas pendukung pendidikan seperti buku pelajaran dan les tambahan diluar jam sekolah, kemudian peralatan sekolah seperti seragam, tas, sepatu dan buku tulis hanya dikeluarkan satu tahun sekali pada saat kenaikan kelas. Kedua, rata-rata jenjang pendidikan yang sedang ditempuh oleh anggota keluarga buruh tani yaitu pada jenjang SD sampai SMA. Pada jenjang pendidikan SD sampai SMA saat ini terdapat banyak bantuan yang berasal dari pemerintah, bantuan tersebut berupa bebas uang SPP dan buku pelajaran Lembar Kerja Siswa (LKS), sehingga hal ini juga berpengaruh pada pengeluaran yang tidak terlalu besar untuk pendidikan. Ketiga, pendidikan belum menjadi kebutuhan utama bagi rumah tangga buruh tani yang memiliki kesejahteraan yang rendah, sehingga kenaikan pendapatan yang diterima akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan terlebih dahulu.

Pada rumahtangga petani pemilik lahan, pola konsumsi pendidikan dijelaskan menggunakan model Cubic. Namun, dalam pola konsumsi pendidikan ini diketahui bahwa pendapatan tidak signifikan mempengaruhi proporsi biaya pendidikan. Tidak berpengaruhnya pendapatan terhadap proporsi biaya pendidikan pada rumahtangga petani pemilik lahan, karena rumah tangga petani pemilik lahan telah menyadari pentingnya pendidikan untuk meningkatkan kesejahteraan rumah tangga, sehingga rumah tangga petani pemilik lahan akan berusaha mengagihkan biaya agar anak-anaknya dapat menempuh pendidikan hingga Perguruan Tinggi. Sedangkan pola hubungan yang terjadi antara konsumsi pendidikan dengan pendapatan adalah positif hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan maka proporsi biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan juga akan meningkat.

(36)

Pola Konsumsi Listrik Rumah Tangga Buruh Tani dan Petani Pemilik Lahan

Gambar 7. Pola konsumsi listrik rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan

Sumber : data primer, diolah (2015)

Perbedaan pola konsumsi pada rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan juga terjadi pada proporsi pengeluaran untuk listrik (Lampiran IV). Pola hubungan antara konsumsi listrik dengan pendapatan dijelaskan oleh model Cubic. Pola konsumsi listrik pada rumah tangga buruh tani pada awalnya berhubungan negatif dengan pendapatan, hal ini dikarenakan rata-rata biaya listrik yang dikeluarkan oleh rumah tangga buruh tani berkisar Rp 30.000 sampai Rp 60.0000, sehingga ketika pendapatan meningkat proporsi pengeluarannya akan menurun. Namun, pada pendapatan ± Rp 3.500.000, kenaikan pendapatan akan diikuti oleh meningkatnya proporsi pengeluaran untuk listrik. Peningkatan proporsi listrik pada tingkat pendapatan ± Rp 3.500.000 berarti rumahtangga buruhtani telah mampu membeli barang-barang elektronik yang dibutuhkan misalnya Televisi, alat penanak nasi, setrika dan lain-lain, kemudian rumahtangga akan terus menambah konsumsi listrik sampai mencapai batasan daya listrik yang dimiliki oleh rumah tangga, sehingga biaya listrik yang harus dikeluarkan juga meningkat. Pola konsumsi listrik kembali berhubungan negatif pada pendapatan ± Rp 4.000.000, artinya ketika terjadi kenaikan pendapatan proporsi biaya yang dikeluarkan untuk

(37)

listrik justru menurun, namun penurunan yang terjadi tidak terlalu signifikan, hal ini diduga terjadi karena setiap rumah tangga memiliki batasan dalam penggunaan daya listrik, sehingga ketika barang-barang elektronik yang digunakan telah mencapai batasan tersebut, rumah tangga tidak akan lagi menambah konsumsi terhadap listri sehingga proporsi biaya yang dikeluarkan untuk listrik akan menurun.

Pada rumah tangga petani pemilik lahan pola hubungan antara konsumsi listrik dengan pendapatan dijelaskan oleh model Quadratic, pada awalnya proporsi biaya pengeluaran untuk listrik juga berhubungan negatif dengan pendapatan, namun pada pendapatanRp 5.000.000 pola hubungannya menjadi positif artinya pada tingkat pendapatan ini diduga rumah tangga petani pemilik lahan meningkatkan konsumsi akan barang-barang mewah seperti Air Conditioner (AC), Kulkas, Komputer, Televisi sehingga proporsi biaya listrik yang harus dikeluarkan menjadi lebih tinggi. Jika dikaitkan dengan pola konsumsi pendidikan pada rumah tangga petani pemilik lahan, maka proporsi listrik dan pendidikan memiliki pola yang searah yaitupeningkatan pendapatan diiringi oleh peningkatan proporsi konsumsi, hal ini berarti semakin tinggi jenjang pendidikan yang ditempuh oleh anggota keluarga maka biaya listrik juga akan semakin tinggi mengingat komputer, televisi merupakan salah satu fasilitas penunjang pendidikan.

(38)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dilihat dari proporsi pengeluaran rumah tangga, diketahui bahwa rumah tangga petani pemilik lahan memiliki kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan rumah tangga buruh tani hal ini dapat dilihat dari proporsi konsumsi pangan rumah tangga petani pemilik lahan yang lebih kecil yaitu sebesar 42.86 persen dibandingkan proporsi konsumsi nonpangan sebesar 57.14 persen, sementara hal yang sebaliknya terjadi pada rumah tangga buruh tani dimana proporsi untuk konsumsi pangan lebih besar yaitu sebesar 63.7 persen dibandingkan dengan proporsi konsumsi nonpangan sebesar 36.43 persen. Struktur pengeluaran dari masing-masing rumah tangga petani hampir sama, yaitu pada konsumsi pangan pengeluaran terbesar digunakan untuk lauk, pauk, buah dan sayuran sedangkan pada konsumsi nonpangan pengeluaran terbesar digunakan untuk pendidikan.

Terdapat perbedaan pola konsumsi pangan antara rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan. Pada rumah tangga buruh tani pola konsumsi pangan dan pendapatan dijelaskan oleh model Quadratic dengan titik optimum (backward banding) konsumsi terjadi pada pendapatan Rp 6.240.000, sedangkan pada rumah tangga petani pemilik lahan pola konsumsi pangan dijelaskan oleh model Logaritmic dengan pola hubungan yang negatif artinya semakin tinggi pendapatan yang diperoleh oleh rumah tangga petani pemilik lahan, proporsi kosumsi pangan justru mengalami penurunan.

Berdasarkan uji beda rata-rata pada total pengeluaran kosumsi nonpangan antara rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan tidak terdapat perbedaan. Namun, setelah dilakukan pengujian per item konsumsi nonpangan terdapat perbedaan antara konsumsi pendidikan dan konsumsi listrik. Sehingga pola konsumsi nonpangan yang diamati pada penelitian ini adalah konsumsi pendidikan dan konsumsi listrik.

(39)

Pola konsumsi pendidikan pada rumah tangga buruh tani dijelaskan oleh model Exponential dengan pola hubungan negatif, artinya semakin tinggi pendapatan proporsi pendapatan yang dikeluarkan untuk pendidikan justru mengalami penurunan. Sedangkan pada rumah tangga petani pemilik lahan pola konsumsi pendidikan dan pendapatan dijelaskan oleh model Cubic. Namun, pendapatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap proporsi biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan, hal ini terjadi karena rumah tangga petani pemilik lahan telah menyadari pentingnya pendidikan, sehingga mereka akan berusaha untuk mengagihkan biaya untuk pendidikan tanpa dipengaruhi oleh pendapatan.

Sedangkan pola konsumsi listrik dengan pendapatan pada rumah tangga buruh tani dijelaskan dengan model Cubic, dengan hubungan awal negatif kemudian berubah menjadi positif pada tingkat pendapatan Rp 3.500.000, hal ini diduga karena rumah tangga telah mampu untuk membeli peralatan elektronik yang dibutuhkan keluarga, sehingga proporsi biaya listrik yang dikeluarkan mengalami peningkatan, namun pada pendapatan Rp 4.000.000 hubungan konsumsi listrik dengan pendapatan kembali negatif di duga karena rumah tangga buruh tani memiliki hambatan yaitu batasan penggunaan daya listrik. Pada rumah tangga petani pemilik lahan pola konsumsi listrik dengan pendapatan dijelaskan oleh model Quadratic, dengan hubungan negatif pada awalnya dan kemudian berubah menjadi positif pada tingkat pendapatan RP 5.000.000, hal ini di duga karena pada pendapatan Rp 5.000.000 rumah tangga petani pemilik lahan meningkatkan konsumsi akan barang-barang mewah seperti AC, Komputer, Kulkas dan Televisi.

Jika dilihat dari elastisitas kebutuhan pangan dan nonpangan, diketahui bahwa kebutuhan pangan rumah tangga buruh tani lebih elastis daripada kebutuhan pangan rumah tangga pemilik lahan. Sedangkan untuk kebutuhan nonpangan diketahui bahwa kebutuhan nonpangan rumah tangga pemilik lahan lebih elastis daripada kebutuhan pangan rumah tangga buruh tani.

(40)

Saran

 Pemerintah Kabupaten Grobogan, melalui perangkat desa Mlilir harus lebih memberikan perhatian khusus kepada rumah tangga buruh tani mengingat masih rendahnya kesejahteraan rumah tangga buruh tani. Misalnya dengan menetapkan standarisasi upah bagi buruh tani, sehingga dapat berdampak pada peningkatan pendapatan rumah tangga buruh tani.

 Perbedaan yang sangat signifikan antara pengeluran untuk pendidikan dari rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jenjang pendidikan yang jauh antara rumah tangga buruh tani dan petani pemilik lahan. Sehingga dalam hal ini diperlukan bantuan dari pemerintah dalam hal pendidikan, khususnya kepada rumah tangga buruh tani, misalnya pemberian beasiswa pada tingkat perguruan tinggi bagi anak buruh tani yang berprestasi. Mengingat bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor penting untuk meningkatkan kesejahteraan.

Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan yang terdapat dalam penelitian ini adalah rumah tangga petani pemilik lahan dianggap semuanya sama, padahal dalam kenyataannya terdapat strata atau tingkatan luas lahan yang dimiliki oleh petani pemilik lahan. Misalnya Strata I yaitu pemilik lahan 0, 25 Hektar sampai 1 Hektar, Strata II yaitu pemilik lahan 1,25 Hektar sampai 2 Hektar dan Strata III yaitu pemilik lahan 2,25 Hektar sampai 3 Hektar.

(41)

DAFTAR PUSTAKA

Novita, Sari. Fardianah. 2011. Kajian Pola Pengeluaran Pengan Rumah tangga Petani Padi Sawah Di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin.

Pancawati, Juwarin. 2012. Kontribusi Pendapatan Sektor Pertanian Terhadap Pendapatan Rumah tangga Buruh Tani. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Serang Banten.

Agustin, Niken. 2012. Analisis Konsumsi Rumah tangga Petani Padi Dan Palawija Di Kabupaten Demak. Universitas Diponegoro. Semarang.

Sugiarto. 2008. Analisa Tingkat Kesejahteraan Petani Menurut Pola Pendapatan dan Pengeluaran Di Pedesaan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Departemen Pertanian.

Supardi, Suprapti. 2012. Analisis Ekonomi Rumah tangga Petani Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Solo Hulu Kabupaten Wonogiri. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Definitions Of Poverty. www.bbc.co.uk 16-10-2014

Badan Pusat Statistika. www.bps.go.id

Iskandar, Syaifuddin. 2010. Karakteristik dan Akar Kemiskinan. Universitas Samawa. Nusa Tenggara Barat.

Sunarti, Euis. Khomsan, Ali. 2008. Kesejahteraan Keluarga Petani Mengapa Sulit Diwujudkan?. Institut Pertanian Bogor.

Sumarno. Kartasasmita, Unang G. 2010. Kemelaratan Bagi Petani Kecil Dibalik Kenaikan Produktivitas Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor

(42)

Kelurahan Desa Mlilir, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan.

Hidayah, Miftakhul. 2012. Pola Konsumsi Rumah tangga Pekerja Tambang Batu Kapur Di Desa Sidorejo Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunung Kidul. Universitas Negeri Yogjakarta. Yogjakarta.

Sudarman, Ari. 2004. Teori Ekonomi Mikro hal 40-41. Dosen Universitas Gajah Mada. Yogjakarta

Sistem Rujukan Statistik (SIRUSA) www.bps.co.id

Halyani, Krustin. 2008. Analisis Konsumsi Rumah tangga Petani Wortel Di Desa Sukatani Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Institut Pertanian Bogor. Bogor

www.grobogan.go.id, di akses pada 15 Februari 2012 pukul 20.59

Djauhari, Achmad. 2012. Analisis Struktur Pengeluaran Rumah Tangga Mendukung Diversifikasi Konsumsi Pangan.

Irawan, Nanang Hadi. 2011. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Masyarakat Kabupaten Langkat. Universitas Sumatra Utara. Medan

Hidayah, Nurul. 2012. Kesiapan Masyarakat Pedesaan Dan Perkotaan Dalam Menghadapi Diversifikasi Pangan. Universitas Ahmad Dahlan. Yogjakarta.

Mankiw. 2007. Makro Ekonomi Edisi Keenam (halaman 446). Jakarta.

http://health.detik.com/read/2014/05/25/140042/1924714/763/di-keluarga-miskin-indonesia-biaya-beli-rokok-urutan-ke-2-setelah-beras

Gambar

Gambar 1. Kurva Engel
Gambar 2. Kerangka Berpikir
Gambar 3. StrukturPengeluaran Konsumsi Pangan   Rumah Tangga Buruh Tani dan Petani Pemilik Lahan
Gambar 4. StrukturPengeluaran Konsumsi Non-Pangan   Rumah Tangga Buruh Tani dan Petani Pemilik Lahan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Spesies lalat buah yang dideskripsikan dalam kunci identifikasi terdiri dari 18 spesies lalat buah yang termasuk ke dalam 2 genus dan 4 subgenus, yaitu Bactrocera

Pada form pelatihan terdapat beberapa tombol buka citra, preprocessing , dan ekstraksi fitur yang merupakan tombol utama untuk menjalankan tahap pelatihan ini. Disamping itu

Apabila ada peserta lelang yang keberatan terhadap keputusan ini dapat mengajukan sanggahan melalui sistem LPSE kepada Panitaia Pengadaan mulai 31 Juli 2012 s/d 6

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, dapat diketahui bahwa tingkat kompetensi kepribadian dan sosial guru Penjasorkes Sekolah Menengah Atas Negeri di

Seorang anak akan mengalami perkembangan dalam perilaku sosialnya setelah dia memasuki dunia pendidikan (sekolah). Hal tersebut menuntut sekolah agar mendidik dan

Dalam hal ini perlunya pemaparan secara detail mengenai kasus yang akan diangkat sebagai berikut, Sesuai yang terjadi di Desa Keboguyang Kecamatan Jabon Kabupaten Sidoarjo ini,

Sementara secara tradisional terdapat beberapa jenis alat tangkap yang digunakan menangkap tuna antara lain huhate ( pole and line ), pancing ulur ( hand line ) dan pancing tonda

Dari tahap testing yang dilakukan oleh penulis, maka dapat disimpulkan Sistem informasi penjadwalan penagihan yang dibuat peneliti dapat digunakan karena sudah