• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klub Jantung Sehat yang berada di Kabupaten Cianjur yang biasa dilaksanakan setiap hari Minggu bertepatan pada saat car free day berada dibawah naungan Dinas Kesehatan wilayah setempat. Kegiatan rutin ini berlokasi di lapangan Prawatasari, Desa Sawah Gede, Cianjur. Olahraga yang dilaksanakan terfokus pada senam jantung sehat. Peserta kegiatan ini tidak terbatas untuk golongan usia tertentu, namun didominasi oleh dewasa dan usia paruh baya. Lokasi dilaksanakannya senam jantung sehat ini terdapat di jantung kota, sehingga memudahkan akses bagi warga yang ingin mengikutinya. Peserta yang mengikuti kegiatan ini terbagi menjadi dua kategori, peserta rutin dan peserta sukarela. Peserta rutin yang biasa mengikuti kegiatan ini mendapatkan fasilitas lebih seperti adanya seragam bagi anggota dan adanya pemeriksaan rutin. Instruktur senam jantung sehat ini terdapat dua sampai tiga orang, perempuan dan laki-laki. Instruktur dipilih berdasarkan kinerja dan pengalaman yang cukup baik dibidangnya.

Karakteristik Individu

Sampel dalam penelitian ini sebanyak 41 usia paruh baya wanita yang tinggal di rumah masing-masing. Penggolongan usia sampel dilakukan berdasarkan WHO (2001) yang terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu usia pertengahan (45-59 tahun) dan lansia (60-74 tahun). Karakteristik usia responden menunjukkan sebanyak 56.1% tergolong usia pertengahan, dan sisanya termasuk kelompok usia lansia. Tingkat pendidikan sampel sebanyak 48.8% menempuh pendidikan SD, 24.4% SMA, 22.0% SMP, dan perguruan tinggi serta tidak sekolah masing-masing 2.4%. Pekerjaan sampel didominasi sebagai ibu rumah tangga (80.5%), sebagai pedagang, swasta dan pensiunan masing-masing 4.9%, dan sisanya tidak bekerja dan atau pekerjaan lainnya sebanyak 2.4%. Kategori status pernikahan sampel sebanyak 63.4% menikah sedangkan 36.6% lainnya sebagai janda. Sebanyak 58.5% responden tinggal bersama suami dan anak,

10

sebanyak 26.8% tinggal bersama anak, responden tinggal bersama suami, tinggal sendiri serta lainnya masing-masing sebesar 4.9%. Kategori pendapatan responden terbesar sebesar 48.8% pada kelompok Rp 1.000.000 – Rp 3.000.000/bulan.

Pola Konsumsi

Pola konsumsi sampel dinilai secara kualitatif dan juga secara kuantitatif. Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa tingkat kecukupan energi sampel paling tinggi adalah sebesar 36.6% tergolong pada kategori normal dan yang terkecil tergolong pada kategori defisit ringan sebanyak 12.2%. Sedangkan tingkat kecukupan protein sampel terbesar tergolong pada kategori defisit berat sebanyak 48.8% dan yang terkecil sebanyak 7.3% tergolong dalam kategori defisit sedang. Berdasarkan angka kecukupan protein sampel terbanyak pada kategori defisit hal ini diduga akibat rendahnya konsumsi protein sampel disebabkan sampel kurang mengonsumsi pangan hewani yang merupakan sumber protein utama (Triatmaja et al. 2013).

Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein

Kategori TKE TKP n % n % Defisit Berat 7 17.1 20 48.8 Defisit Sedang 8 19.5 3 7.3 Defisit Ringan 5 12.2 5 12.2 Normal 15 36.6 9 22.0 Kelebihan 6 14.6 4 9.8

Tingkat kecukupan energi dan protein dengan angka yang kecil dugaan lainnya adalah diakibatkan kebanyakan sampel sudah beberapa tahun terakhir menjalani diet khusus. Diet khusus ini sendiri bukan bedasarakan tipe diet yang dianjurkan oleh ahli gizi namun dengan kesadaran usia dan faktor risiko penyakit yang cukup banyak dihadapi. Oleh karenanya, kebanyakan sampel sudah jarang mengonsumsi protein yang dapat meningkatkan kadar kolesterol, mengurangi konsumsi garam serta pengolahan masakan hanya direbus untuk mengurangi kenaikan tekanan darah, dan menghindari sayuran yang berpotensi menimbulkan asam urat atau reumatik. Informasi kesehatan ini didapatkan dari mulut ke mulut atau karena riwayat kesehatan keluarga. Kesadaran ini diterapkan dengan diet yang dijalankan dan diimbangi dengan keikutsertaan senam jantung sehat. Diet yang dijalankan ini dikenal di masayarakat setempat dengan istilah ‘niis’. Istilah ini digunakan dari bahasa lokal yakni Bahasa Sunda. “Niis” berarti sudah jarang atau bahkan tidak sama sekali merasakan cita rasa gurih atau terlalu asin/manis pada makanan yang dimakan.

Tabel 4 menunjukkan rata-rata konsumsi energi dan protein sampel. Rataan tingkat kecukupan energi (TKE) sampel berdasarkan konsumsi sampel sebesar 96.4% atau dapat dikatakan masuk dalam kategori normal, dan sedangkan tingkat kecukupan protein (TKP) sampel sebesar 85.5% atau dapat dikategorikan defisit ringan. Konsumsi energi rata-rata dalam sehari ialah sebesar 1779 kkal dan protein sebesar 48.0 gram per hari.

11

Tabel 4 Rata-rata angka kecukupan dan konsumsi contoh Zat Gizi Nilai Rata-rata TKG (%)

AKG Konsumsi

Energi (Kal) 1851 1779 96.4

Protein (g) 56.8 48.0 85.5

Pengukuran secara kualitatif dapat menggambarkan kebiasaan konsumsi seseorang. Dalam penelitian ini digunakan Simple FFQ dimana hanya dilihat kebiasaan konsumsinya saja tanpa memperhitungkan seberapa banyak porsi yang dikonsumsi. Pengukuran ini dibedakan dalam empat bagian, FFQ protein hewani, sayuran, buah-buahan, dan cairan. Konsumsi jenis pangan yang diambil hanya 5 jenis pangan yang dianggap masih sering dikonsumsi oleh sampel, sedangkan cairan diambil 8 jenis asupan cairan. Konsumsi pangan dan asupan cairan ini kemudian dilihat rata-rata frekuensi konsumsi dalam kurun waktu minggu. Hasil rata-rata frekuensi konsumsi pangan serta asupan cairan sampel disajikan dalam berikut.

Tabel 5 Frekuensi konsumsi pangan contoh (kali per minggu) Jenis Pangan Frekuensi Konsumsi (kali/minggu)

Protein Hewani Daging 0.2 Ayam 1.0 Ikan 2.0 Telur 4.0 Susu 3.0 Sayuran Wortel 3.0 Bayam 0.3 Kangkung 0.5 Kol 1.0 Daun singkong 1.0 Buah-buahan Jeruk 2.0 Pepaya 2.0 Pisang 4.0 Semangka 1.0 Melon 1.0

Frekuensi konsumsi pangan protein hewani dilihat dari lima jenis pangan, yakni daging, ayam, ikan telur, dan susu. Hasil frekuensi rata-rata pada kelompok ini terlihat bahwa susu paling banyak dikonsumsi yakni sebanyak 3 kali per minggu, sedangkan sumber protein hewani yang paling sedikit dikonsumsi ialah daging. Kelompok sayuran yang dilihat ialah jenis sayuran wortel, bayam, kangkung, kol, serta daun singkong. Pada kelompok sayuran, frekuensi rata-rata dalam satuan kali per minggu paling banyak dikonsumsi ialah wortel sebanyak 3 kali per minggu, sedangkan bayam tercatat sebagai sayuran yang paling sedikit

12

dikonsumsi hanya sebanyak 0.3 kali per minggu. Kebiasaan konsumsi buah-buahan dilihat dari lima jenis buah diantaranya adalah buah jeruk, pepaya, pisang, semangka, serta melon. Pada kebiasaan konsumsi buah ini dapat dilihat bahwa sampel paling banyak mengonsumsi buah pisang sebanyak 4 kali per minggu sedangkan paling sedikit ialah buah semangka serta melon sebanyak 1 kali per minggu.

Kebiasaan asupan cairan dalam penelitian ini juga turut dihitung dengan menggunakan alat ukur yang sama dengan kebiasaan konsumsi pangan. Jenis cairan yang dinilai frekuensi asupannya diantaranya adalah air putih, susu, teh tawar, teh manis, kopi, sirup (sari buah), jus buah, serta jamu. Rata-rata frekuensi asupan cairan contoh paling banyak air putih sebanyak 48 gelas per minggu, teh tawar pun cukup sering dikonsu msiyakni sebanyak 13 gelas per minggu. Konsumsi cairan paling sedikit ialah jenis jus buah hanya sebanyak 0.2 gelas per minggu atau dengan kata lain tidak setiap minggu sampel mengonsumsi jus buah. Frekuensi rata-rata asupan cairan disajikan dalam kurun waktu minggu dengan satuan gelas per minggu, dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Rata-rata frekuensi asupan cairan contoh (gelas per minggu) Jenis Cairan Frekuensi Rata-rata Asupan

(gelas/minggu) Air putih 48.0 Susu 2.0 Teh tawar 13.0 Teh manis 3.0 Kopi 4.0

Sirup (sari buah) 1.0

Jus buah 0.2

Jamu 1.0

Kebiasaan makan sampel dengan hasil secara kuantitatif maupun kualitatif demikian dikarenakan sebagian besar sampel makan tidak teratur dengan porsi yang sedikit dan dikarenakan selera makan sebagian besar sampel sudah menurun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kennedy (2006) yang menyatakan bahwa kebanyakan usia lanjut terjadi penurunan konsumsi makanan dikarenakan terjadinya penurunan sensitivitas rasa terhadap makanan sehingga beberapa kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi. Selain itu, faktor lain yang dapat mempengaruhi defisiensi beberapa zat gizi adalah dikarenakan terjadinya ketidakseimbangan konsumsi makanan dengan asupan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Bouillanne 2005).

Status Gizi

Penentuan status gizi didasarkan pada indeks massa tubuh (IMT) sampel. Tabel 7 menunjukkan data jumlah dan persentase status gizi sampel. Data status gizi sampel menunjukkan sebanyak 48.8% tergolong dalam status gizi gemuk, 24.4% tergolong dalam status gizi normal, dan sisanya sebanyak 4.8% tergolong dalam kategori kurus. Golongan status gizi sampel terbanyak adalah pada status gizi gemuk atau berat badan lebih dengan rata-rata status gizi sebesar 24.9 kg/m2.

13

Hasil ini sejalan dengan penelitian status gizi usia lanjut yang dilakukan terhadap lansia di daerah Pennsylvania. Hasil penelitian tersebut yaitu sebanyak 44% subjek mempunyai status gizi overweight dan 35% subjek mempunyai status gizi obesitas (Ledikwe et al. 2003 diacu dalam Triatmaja et al. 2013).

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan status gizi dengan menggunakan IMT

Kategori IMT n % Sangat Kurus <14.9 0 0.0 Kurus 15.0-18.4 2 4.9 Normal 18.5-22.9 10 24.4 Gemuk 23.0-27.5 20 48.8 Obesitas 1 27.6-40.0 9 22.0 Obesitas 2 >40.0 0 0.0

Berat badan lebih merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik yang spesifik. Selain itu yang dapat mempengaruhi berat badan lebih pada sebagian besar sampel adalah menurunnya intensitas dan kuantitas aktivitas fisik yang tidak diimbangi dengan perubahan pola makan. Pada usia lanjut juga terjadi perubahan proporsi lemak dan otot dimana terjadinya peningkatan proporsi lemak dan penururan massa otot sehingga menyebabkan banyaknya berat badan berlebih pada sampel. Seseorang dengan status gizi gemuk atau berat badan berlebih memiliki risiko yang tinggi terhadap penyakit degeneratif, seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung, kanker serta struk (Soekirman 2006).

Metode antropometri untuk menilai status gizi pada orang dewasa dinilai sederhana, murah dan cukup dapat diandalkan. Namun, masalah timbul ketika mengevaluasi populasi usia lanjut karena ada informasi yang terbatas untuk menafsirkan data antropometrik dalam kelompok usia ini (Garcia et al. 2007). Pengukuran menggunakan antropometri juga memiliki kelemahan dalam pengukuran sampel yang berusia diatas 55 tahun karena seluruh aspek fisik, biologis, dan mental lansia telah mengalami penurunan disebabkan oleh penurunan metabolisme tubuh dengan adanya faktor usia yang telah lanjut (Arisman 2004).

Status Kesehatan

Status kesehatan sampel diukur melalui tiga jenis pengukuran, yaitu pengukuran tekanan darah, gula darah sewaktu serta penyakit sendi. Hal ini dilakukan karena menurut Pilger (2011) hipertensi, diabetes dan arthritis / arthrosis adalah penyakit yang paling umum, yang menegaskan pengamatan studi yang menangani populasi usia lanjut. Pada usia lanjut kondisi fisiologis serta biologis seseorang mengalami penurunan kualitas, seperti penurunan fungsi organ dan jaringan tubuh yang dapat menyebabkan berbagai permasalahan kesehatan (Kurniasih 2010). Tabel 8 menunjukkan data jumlah dan persentase tekanan darah sampel. Tekanan darah sampel diukur tidak langsung setelah melakukan senam jantung sehat karena akan menyebabkan tekanan darah berubah sehingga menyebabkan bias. Antisipasi ini dilakukan sesuai dengan penelitian yang dilakukan Raphael et al. (2012) yang menyatakan bahwa tekanan darah diastolik

14

cenderung menurun, seperti yang ditunjukkan oleh pengukuran pada menit 30 setelah sesi latihan dilakukan.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan tekanan darah sistolik dan diastolik Kategori Tekanan Darah Sistolik Diastolik Cut off (mmHg) N % Cut off (mmHg) n % Normal <120 5 12.2 <80 9 22.0 Prehipertensi 120-139 14 34.1 80-89 11 26.8 Hipertensi Tahap I 140-159 14 34.1 90-99 7 17.1 Hipertensi Tahap II ≥ 160 8 19.5 ≥100 14 34.1

Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah pada sampel yang dilakukan oleh paramedis melalui pemeriksaan rutin kemudian dikategorikan berdasarkan empat kategori dan dibedakan antara sistolik dan diastolik. Data hasil pengukuran tekanan darah menunjukkan melalui pengukuran sistolik terdapat 34.1% sampel termasuk dalam kategori prehipertensi dan hipertensi tahap I, 19.5% tergolong dalam hipertensi tahap II, dan hanya 12.2% sampel yang memiliki tekanan darah normal. Sedangkan menurut hasil pengukuran diastolik, paling besar tergolong dalam kategori hipertensi tahap II yakni sebanyak 34.1%, sebanyak 26.8% tergolong dalam prehipertensi, 22.0% tergolong normal, dan sebanyak 17.1% tergolong dalam kategori hipertensi tahap I. Hipertensi pada lansia juga sejalan dengan penelitian Triatmaja et al. (2013) yang menyatakan bahwa tingginya kasus hipertensi pada usia lanjut dapat dipengaruhi oleh faktor umur. Setiap kenaikan usia satu tahun maka tekanan darah sistolik akan meningkat sebesar 0.369 mmHg dan sebesar 0.283 mmHg untuk tekanan darah diastolik (Widyaningsih & Latifah 2008 diacu dalam Triatmaja et al. 2013). Proses penuaan dapat menyebabkan katup jantung menebal dan menjadi kaku, perikardium dapat tertutupi oleh lemak, dan terjadinya penuruan elastisitas pembuluh darah (Soekirman 2006). Selain itu, selama penuaaan biasanya terjadi peningkatan tekanan darah sistolik, tetapi tidak terjadi banyak perubahan pada diastolik.

Pengukuran rutin yang dilakukan lainnya ialah pengukuran gula darah sewaktu. Gula darah sewaktu dalam penelitian ini diukur dua hari setelah senam jantung sehat. Berikut disajikan data hasil pengukuran gula darah sewaktu.

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan gadar gula darah sewaktu

Hasil pengukuran gula darah sewaktu pada sampel menunjukkan sebanyak 95.1% tergolong dalam kategori normal dan hanya sebanyak 4.9% tergolong dalam kategori tinggi. Pengukuran gula darah menjadi penting dilakukan karena pada kelompok usia ini cenderung terjadi tidak teraturnya pola makan, kurangnya aktivitas fisik, penurunan fungsi fisiologis tubuh, dan meningkatnya risiko terkena penyakit degeneratif. Hasil pengukuran gula darah sewaktu pada sampel menunjukkan hasil yang baik, yakni sebagian besar sampel memiliki kadar gula

Kategori Gula Darah Sewaktu n %

Normal < 200 mg/dl 39 95.1

Tinggi ≥ 200 mg/dl 2 4.9

15

darah sewaktu yang tergolong normal. Sebanyak 4.9% sampel menunjukkan hasil yang tinggi dapat menjadi dugaan awal bahwa sampel mengidap penyakit diabetes. Dugaan ini biasanya dilihat dengan gejala-gejala yang dialami sampel. Gejala klasik dugaan awal seseorang mengidap penyakit diabetes dengan gejala polyuria, polydipsia, kehilangan BB abnormal (Franz 2008).

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan penyakit sendi

Penyakit sendi diukur melalui wawancara menggunakan kuesioner dengan pertanyaan terkait keluhan penyakit sendi selama satu minggu terakhir yang dialami sampel. Hal ini dilakukan agar keluhan sampel masih dalam kategori akut bukan kronis. Keluhan penyakit sendi yang dialami oleh sampel menunjukkan sebagian besar sampel tidak mengalami penyakit sendi (tidak nyeri) sebanyak 48.8%, mengalami penyakit sendi kategori sedang sebanyak 39.0% dan yang mengalami sangat nyeri sebanyak 12.2%. Masalah kesehatan yang dialami lansia selain penyakit degeneratif, acap kali terjadinya penyakit sendi atau arthritis (Khomsan et al. 2013). Gandhi et al (2010) dalam Triatmaja et al. (2013) menyatakan bahwa wanita lebih banyak menyimpan lemak di daerah ekstremitas bawah sehingga menyebabkan beban berlebih pada lutut. Sejalan dengan hasil penelitian Triatmaja et al. (2013) yang menyatakan sebagian besar sampel yang mengalami keluhan sendi adalah wanita. Soeroso et al. (2005) dalam Triatmaja et al. (2013) menyatakan bahwa usia >50 tahun merupakan salah satu faktor risiko osteoarthritis lutut di Indonesia.

Tingkat Stres

Stres pada dewasa ini kerap kali disebabkan banyaknya perubahan yang harus dihadapi yang menuntut kemampuan untuk beradaptasi dan penyesuaian yang pesat. Stres dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada sistem fisik tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan. Stres pada sampel diukur melalui wawancara dengan kuesioner, stres secara fisik dan psikologis diukur selama 6 bulan terakhir melalui keluhan yang disampaikan. Hasil pengukuran stres pada sampel disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan tingkat stres

Data pengukuran tingkat stres pada sampel menunjukkan sebanyak 68.3% sampel mengalami depresi ringan, 4.9% mengalami depresi, dan 26.8% tidak

Kategori Nyeri Sendi n %

Tidak Nyeri 20 48.8

Nyeri 16 39.0

Sangat Nyeri 5 12.2

Kategori Depresi Skor n %

Tidak Depresi 11-19 11 26.8

Depresi Ringan 20-27 28 68.3

Depresi Sedang 28-35 2 4.9

16

mengalami stress atau tidak depresi. Menurut UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, kesehatan psikis/mental merupakan salah satu poin penting yang berpengaruh terhadap kesehatan yang optimum dalam kehidupan bermasyarakat. Indikator terhadap stres dikategorikan menjadi dua kategori yaitu secara fisik dan psikologis. Stres secara fisik diantaranya seperti berkeringat secara berlebih, mengalami sakit kepala, sakit perut, batuk dan meningkatnya frekuensi buang air kecil. Meningkatnya frekuensi buang air kecil pada usia lanjut disebabkan karena melemahnya otot vesica urinaria (Ismayadi 2004 diacu dalam Khomsan et al. 2013). Sedangkan stres secara psikologis antara lain seperti menjadi lebih sensitif (mudah tersinggung), sulit tidur, merasa tidak percaya diri, merasa lemah dan lesu, mudah marah serta ragu dalam mengambil keputusan (Khomsan et al. 2013). Sulit tidur pada lansia biasanya disebabkan oleh beberapa faktor seperti perubahan pada lingkungan sosial, peningkatan penggunaan obat-obatan, dan terjadinya perubahan ritme biologis pada tubuh (Anwar 2010 dalam Khomsan et al. 2013). Dalam hal ini dukungan dari keluarga sebagai care giver diharapkan menjadi kunci utama untuk kesejahteraan lansia (Depsos RI 1998 diacu dalam Rusilanti et al. 2006).

Aspek Psikologis

Tingkat stres seseorang selain dipengaruhi karena kesehatan juga dipengaruhi oleh aspek psikologis. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran aspek psikologis dengan sistem wawancara menggunakan kuesioner sama halnya dengan tingkat stres. Aspek psikologis diukur hanya dengan melihat dua

kemungkinan jawaban, yaitu “Ya” dan “Tidak”. Aspek yang diukur dilihat dari

berbagai aspek, antara lain menerima diri sendiri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, serta perkembangan pribadi. Hasil pengukuran aspek psikologis pada sampel akan disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan aspek psikologis

Psikologis n %

Menerima Diri Sendiri

Puas dengan kondisi hidup 36 87.8

Selalu bersyukur atas kondisi diri 41 100.0

Merasa bersalah atas kejadian masa lalu 34 82.9

Optimis dengan masa yang akan datang 40 97.6

Mengetahui kelebihan diri sendiri 31 75.6

Mengetahui kekurangan diri sendiri 33 80.5

Hubungan Positif Dengan Orang Lain

Bersikap ramah kepada orang lain 41 100.0

Jujur pada diri sendiri dan orang lain 38 92.7

Merasa prihatin atas kejadian buruk yang menimpa orang lain 41 100.0

Memiliki sifat hormat terhadap orang lain 39 95.1

Memiliki sifat “berbagi” dengan orang lain 40 97.6

Merasa kesepian dalam hidup ini 6 14.6

17

Berdasarkan data pengukuran aspek psikologis yang dilakukan pada sampel dapat terlihat pada bagian aspek menerima diri sendiri terdapat enam poin utama, dan pada bagian selalu bersyukur atas kondisi diri seluruh sampel menyatakan jawaban “Ya” atau dapat dikatakan seluruh sampel selalu besyukur atas kondisi dirinya masing-masing. Hasil terendah pada aspek ini ialah sebesar 75.6% pada aspek mengetahui kelebihan diri. Aspek psikologis berikutnya yang dinilai ialah aspek hubungan positif dengan orang lain. Pada aspek ini dilihat dari tujuh penilaian, dan sebanyak 100.0% pada bagian bersikap ramah kepada orang lain serta bagian merasa prihatin atas kejadian buruk yang menimpa orang lain. Nilai terkecil adalah sebesar 14.6% pada bagian merasa kesepian dalam hidup ini, atau dengan kata lain pada point ini sebanyak 85.4% sisanya tidak merasa kesepian dalam hidup ini.

Aspek psikologis lainnya yang dinilai ialah bagian kemadirian dengan hanya satu pertanyaan yakni mengenai melakukan sesuatu didasarkan pada pendapat / perintah orang lain hanya sebesar 36.6% sampel menyatakan “Ya”, kebanyakan sampel lainnya melakukan sesuatu didasarkan atas kemauan sendiri bukan berdasarkan perintah orang lain. Aspek penguasaan lingkungan, sebanyak 97.6% sampel terlibat pada kegiatan-kegiatan yang ada di luar lingkungan, dan sebanyak 100.0% sampel peduli dengan keadaan di lingkungan sekitar. Aspek selanjutnya ialah mengenai tujuan hidup, sebanyak 80.5% sampel masih memiliki tujuan hidup. Aspek psikologis terakhir yang dinilai ialah bagian perkembangan pribadi, terdapat dua poin utama yang dinilai. Poin pertama pada aspek terakhir ini ialah mengenai senang mencoba sesuatu/ pengalaman yang baru, dan hanya sebanyak 43.9% sampel yang masih senang mencoba sesuatu yang baru. Poin terakhir menyatakan sebanyak 36.6% sampel suka berbagi keahlian atau pengetahuan yang dimiliki untuk kepentingan orang lain. Adanya dukungan keluarga, masyarakat, dan pemerintah dapat menciptakan kondisi usia lanjut yang tidak terganggu aspek psikososialnya (hidup puas dan tidak depresi) (Rusilanti et al. 2006). Stres berbeda-beda terkait dengan domain kesehatan yang berbeda, tergantung pada jenis kelamin. Oleh karena itu, untuk mempelajari stres dan kesehatan secara memadai, penilaian yang komprehensif harus mencakup status subjektif kesehatan, status fungsional, kualitas hidup, gangguan psikososial,

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan aspek psikologis (lanjutan)

Psikologis n %

Kemandirian

Melakukan sesuatu lebih didasarkan pada pendapat / perintah orang

lain 15 36.6

Penguasaan Lingkungan

Terlibat pada kegiatan-kegiatan yang ada di luar lingkungan 40 97.6

Peduli dengan keadaan di lingkungan sekitar 41 100.0

Tujuan Hidup

Memiliki tujuan hidup 33 80.5

Perkembangan Pribadi

Senang mencoba sesuatu/ pengalaman yang baru 18 43.9

Suka berbagi keahlian atau pengetahuan yang dimiliki untuk

18

pemanfaatan layanan, gejala fisik, obat-obatan, pemeriksaan laboratorium yang relevan dan pemeriksaan kesehatan, serta diagnosis medis dan perilaku kesehatan tertentu (Zhang 2006).

Hubungan antar Variabel

Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa rata-rata pendapatan sampel dengan status gizi kurus / normal ialah sebesar Rp 2.143.750/kap/bulan sedangkan sampel dengan status gizi gemuk berpenghasilan rataan sebesar Rp 3.878.276/kap/bulan. Setelah dilakukan uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan pendapatan (p = 0.677). Uji korelasi menunjukkan hasil yang sama antara variabel pendapatan dengan TKE maupun TKP, tidak terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut dengan nilai signifikansi masing-masing 0.752 dan 0.942. Hal ini sejalan dengan penelitian Zaddana (2011) yang menyatakan bahwa status gizi tidak berhubungan signifikan dengan pendapatan.

Tabel 13 Nilai tabulasi silang antara status gizi dan pendapatan Status Gizi Rata-rata Pendapatan (Rp/kap/bln)

Kurus / Normal 2.143.750

Gemuk 3.878.276

Tabel 14 Nilai tabulasi silang antara status gizi dan gula darah sewaktu Status Gizi Rata-rata Kadar Gula Darah Sewaktu (mg/dl)

Kurus / Normal 131.3

Gemuk 128.7

Berdasarkan Tabel 14 sampel dengan status gizi kurus / normal memiliki rataan kadar gula darah sewaktu sebesar 131.3 mg/dl sedangkan sampel dengan status gizi gemuk memiliki rataan kadar gula darah sewaktu sebesar 128.7 mg/dl. Hal ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan Isworo et.al (2013) yang menyatakan bahwa hubungan IMT dengan kadar gula darah sewaktu

Dokumen terkait