• Tidak ada hasil yang ditemukan

Satuan Panas, Umur Simpan dan Laju Emisi CO2

Umur simpan merupakan faktor yang dapat menentukan kualitas buah hingga sampai kepada konsumen. Kualitas buah tidak dapat diperbaiki, namun dapat diperlambat penurunannya. Penentuan tingkat kematangan yang tepat pada saat pemanenan adalah hal yang dapat dilakukan dalam mempertahankan kualitas, terutama dalam hal memperpanjang umur simpan. Umur simpan diamati mulai dari pisang berwarna hijau tua (skala warna 1) hingga mencapai warna kuning penuh (skala warna 6) (Gambar 3).

Gambar 3 Indeks skala warna pisang Mas Kirana pada beberapa tingkat kematangan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur panen terpendek diperoleh pada 55 HSA dengan lama umur simpan mencapai 6 HSP dan laju emisi CO2 291.94 ml/kg/jam CO2. Umur panen 40, 45 dan 50 HSA tidak menunjukkan perbedaan umur simpan pada skala warna 6 (Lampiran 1). Buah yang dipanen pada tingkat kematangan minimum dapat menyebabkan mutu fisik dan kimia rendah pada saat buah masak. Menurut Sutowijoyo dan Widodo (2013) dan Rahayu et al. (2014) buah yang dipanen lebih awal memiliki daya simpan lebih panjang dibandingkan dengan buah yang dipanen lebih lama.

Tabel 1 Satuan panas, umur simpan dan laju emisi CO2 pisang Mas Kirana pada beberapa umur panen

Umur panen

Satuan panas (°C hari)

Laju emisi CO2

(ml/kg/jam CO2) Umur simpan (HSP) a Skala 6 35 HSA 501.3 329.51 8.0 b 40 HSA 576.5 374.34 8.8 ab 45 HSA 651.8 279.17 9.9 a 50 HSA 725.5 274.67 9.4 ab 55 HSA 800.0 291.94 6.0 c

a Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada

13

Pengukuran laju emisi CO2 melalui proses inkubasi dengan mengukur kadar CO2 yang dihasilkan buah. Proses inkubasi menggunakan stoples inkubasi dengan volume 6.5 L dan durasi inkubasi selama 2 jam (Lampiran 2). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa umur panen tidak mempengaruhi laju emisi CO2 selama penyimpanan (Tabel 1). Umur simpan terlama diperoleh pada umur panen 45 HSA dengan laju emisi CO2 cukup rendah yakni 279.17 ml/kg/jam CO2. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat emisi CO2 buah selama penyimpanan maka daya simpan buah lebih lama. Menurut Matto et al. (1986) laju emisi CO2 yang tinggi biasanya disertai dengan umur simpan yang pendek dan sebaliknya. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan laju emisi CO2 buah diantaranya kerusakan selama transportasi yang menyebakan timbulnya kerusakan mekanis pada kulit buah sehingga memacu peningkatan emisi CO2 dan juga produksi etilen. Menurut Kitinoja dan Kader (2002) kerusakan mekanis selama panen bisa menjadi masalah yang serius, karena kerusakan tersebut menentukan cepatnya produk untuk membusuk, meningkatnya kehilangan cairan dan meningkatnya emisi CO2 serta produksi etilen yang berakibat pada cepatnya kemunduran produk. Pengaruh aktivitas mikroorganisme penyebab penyakit pascapanen juga mempengaruhi aktivitas fisiologi buah. Menurut Kays (1991) secara umum buah muda aktif dalam perkembangan sel dan emisi CO2 lebih tinggi dibandingkan dengan buah yang sel-selnya lebih matang.

Laju emisi CO2 juga erat kaitannya dengan suhu lingkungan selama pembudidayaan. Suhu lingkungan di lapangan dicatat selama masa generatif dengan mencatat suhu rata-rata harian. Suhu rata-rata tertinggi selama pengamatan mencapai 26.3°C mendekati suhu optimum berkisar 27°C, dan terendah 20.3°C. Suhu dimana pisang masih dapat tumbuh dengan baik berkisar 15-35°C (Sunarjono 1989). Satuan panas diperoleh dari akumulasi suhu rata-rata harian. Kondisi suhu udara di lingkungan budidaya selama 55 hari disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Kondisi suhu udara di lingkungan selama masa generatif

Emisi CO2 merupakan pemecahan oksidatif terhadap bahan kompleks yang terdapat dalam sel seperti tepung, gula dan asam amino menjadi molekul sederhana seperti CO2, air serta energi dan molekul lainnya yang dapat digunakan oleh sel untuk reaksi sintesis selanjutnya (Santoso dan Purwoko 1995). Selama pertumbuhan dan perkembangan, tanaman memerlukan sejumlah panas untuk

0 10 20 30 40 50 1 10 19 28 37 46 55 S u h u ( ° C ) Hari

14

memperoleh energi bagi proses-proses fisiologinya. Sejumlah panas tersebut dapat dihitung dengan konsep satuan panas (heat unit, thermal unit). Salah satu proses fisiologi tersebut adalah respirasi. Pengukuran satuan panas saat antesis hingga panen memungkinkan adanya hubungan dengan laju respirasi selama pemasakan.

Laju emisi CO2 pisang Mas Kirana pada beberapa umur panen selama penyimpanan disajikan pada Gambar 5. Pada grafik terlihat bahwa puncak klimakterik dicapai sebelum mencapai kemasakan optimum (skala warna 6). Puncak klimakterik pada umur panen 40 dan 55 HSA berturut-turut dicapai pada 7 dan 4 HSP, sedangkan pada umur panen 35, 45 dan 50 HSA terdapat beberapa puncak klimakterik. Berdasarkan Samson (1980) puncak klimakterik dicapai pada tingkat emisi CO2 yang lebih tinggi dibandingkan emisi CO2 tertinggi saat fase pra klimakterik, dalam hal ini laju emisi CO2 pada puncak klimakterik kedua menunjukkan puncak emisi CO2 buah. Puncak klimakterik pada umur panen 35, 45 dan 50 HSA berturut-turut dicapai pada hari ke- 6, 6 dan 4 HSP. Menurut Sabari et al. (1989) menyatakan puncak klimakterik pisang Mas diperoleh pada 5 HSP, sedangkan Abdullah et al. (1990) menyatakan pisang Saba atau pisang Kepok mencapai puncak klimakterik pada 6 HSP.

Gambar 5 Laju emisi CO2 harian pisang Mas Kirana pada beberapa umur simpan Menurut Simmonds (1965) Produksi CO2 pisang rendah pada tingkat kematangan hijau, kemudian meningkat hingga puncak sebelum tanda awal kemasakan muncul dan kemudian menurun pada tingkat yang lebih tinggi dari tingkat yang sebelumnya ditemukan pada tingkat kematangan hijau. Berdasarkan Nakasone dan Paull (1998) informasi mengenai laju emisi CO2 dan produksi etilen dapat digunakan sebagai sumber acuan dalam menentukan kebutuhan suhu dalam ruang pendingin dan kontainer. Pisang termasuk ke dalam buah dengan emisi CO2 tinggi berkisar 35-70 mg/kg/jam CO2 dan produksi etilen menengah berkisar 0.1µ/kg/jam - 1.0 µ/kg/jam pada suhu 20°C. Buah dengan emisi CO2 tinggi memiliki masa simpan lebih pendek dibandingkan dengan buah dengan laju emisi CO2 rendah, untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan proses reduksi etilen. Berdasarkan Laksmi (1989a) Thailand Department of Agriculture melaporkan bahwa 1 ml KMnO4 dapat menyerap gas etilen yang dihasilkan oleh emisi CO2 satu sisir pisang Mas.

0 200 400 600 800 1000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Em isi CO 2 (m l/ k g/jam )

Hari setelah panen (HSP)

35 HSA 40 HSA 45 HSA 50 HSA 55 HSA

15

Beberapa penelitian mengenai penentuan waktu berdasarkan konsep satuan panas telah banyak dilakukan. Hasil penelitian Tixier et al. (2009) pada pink banana (Musa spp., AAA group) menunjukkan suhu dasar 19.8 °C dan satuan panas untuk pisang Martinique 548°C hari. Menurut Umber et al. 2011 dengan menggunakan model regresi linier dapat memperkirakan satuan panas pada Musa AAA cv FlhorBan 916 (F916) dan FlhorBan 918 (F918) berturut-turut 680°C hari dengan suhu dasar 17°C dan 970°C hari dengan suhu dasar 13.9°C. Estiningtyas dan Irianto (1994) menyatakan akumulasi satuan panas pada kedelai dari saat tanam sampai dengan panen sebesar 1423.9-1784.9°C hari yang dicapai 79-111 HST, sedangkan akumulasi dari saat tanam hingga berbunga sebesar 708.6-750.3°C hari yang dicapai selama 37-55 HST. Syakur (2012) menyatakan bahwa satuan panas tanaman

tomat yang ditumbuhkan di dalam rumah tanaman (greenhouse) yaitu 1661°C hari

yang dicapai selama 97 HST. Konsep satuan panas memiliki tingkat keakuratan yang

lebih baik dibanding dengan penghitungan umur panen dari saat tanam dalam hal pendekatan suhu yang mewakili di lapangan. Banyak faktor agroklimat yang tidak diperhitungkan dalam penentuan satuan panas ini.

Beberapa umur panen menunjukkan proses perubahan warna kuning pisang yang tidak seragam dalam satu sisiran buah (Gambar 6). Perubahan warna selama pemasakan terjadi akibat degradasi klorofil sehingga memunculkan pigmen karotenoid. Menurut Winarno dan Wirakartakusumah (1979) perombakan klorofil terjadi segera setelah puncak klimakterik tercapai. Mitra (1997) menyatakan bahwa laju degradasi klorofil pada pisang meningkat seiring dengan peningkatan suhu. Degradasi klorofil maksimal terjadi pada suhu 22°C (60% per hari dan setelah dua hari warna hijau sedikit), dan degradasi klorofil sangat rendah pada suhu di bawah 15°C dan diatas 40°C.

Gambar 6 Keragaman dalam proses pemasakan pisang Mas Kirana, A: umur panen 40 HSA, B: umur panen 50 HSA

Pisang Mas Kirana menunjukkan tingkat kematangan yang tidak berbeda pada keragaan warna buah yang dihasilkan pada setiap perlakuan umur panen (Gambar 7). Menurut Zhou dan Paull (2001) tingkat kematangan yang sama pada buah dengan umur panen yang berbeda dapat disebabkan oleh aktivitas fisiologis yang berbeda akibat pengaruh suhu udara dan kompetisi fotosintat antar buah, sehingga terdapat buah dengan genotipe sama yang memerlukan waktu lebih lama untuk mencapai kematangan yang sama.

16

Gambar 7 Tingkat kematangan pada beberapa umur panen, A: umur panen 35 HSA, B: umur panen 40 HSA, C: umur panen 45 HSA, D: umur panen 50 HSA

Menurut Pantastico (1986) dan Robinson (1999) tingkat kematangan yang sama pada beberapa umur panen dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, faktor pra-panen seperti pemupukan, penyemprotan bahan kimia, pengaruh iklim, cara bercocok tanaman, pemberian irigasi, jumlah daun, kesuburan tanah dan tingkat kematangan panen. Menurut Suketi et al. (2010) buah pepaya yang dipanen pada jumlah hari setelah antesis berbeda, ada yang menunjukkan keragaan warna kulit buah yang sama dan diduga mempunyai tingkat kematangan buah yang sama.

Penelitian mengenai penanganan pasca panen telah banyak dilakukan antara lain oleh Purwoko dan Magdalena (1999) pengemasan menggunakan plastik efektif dalam menghambat susut bobot, peningkatan padatan terlarut total, rasio PTT/ATT, dan penurunan kandungan asam tetapi memberikan off-flavor. Perlakuan suhu 18-19°C efektif menghambat peningkatan kelunakan, peningkatan PTT, dan penurunan kandungan asam buah. Berdasarkan Sugistiawati (2013) aplikasi pembungkus oksidan etilen dengan dosis 30 g memperpanjang umur simpan hingga 15 hari. Menurut Suseno et al. (2013) aplikasi pelapisan chitosan 2% (w/w) dengan deacetylation (DD) 80% tanpa penambahan pengemulsi triethanolamine (TEA), efektif dalam mengurangi susut bobot, vitamin C dan analisis sensoris. Pantastico et al. (1986) menyatakan umur simpan dapat diperpanjang dengan pengendalian penyakit-penyakit pascapanen, pengaturan atmosfer, perlakuan kimia, penyinaran dan pendinginan.

17

Karakteristik Mutu Fisik

Perubahan pada fisik buah terjadi selama proses pematangan buah. Kualitas fisik yang diamati antara lain, susut bobot, kekerasan kulit dan daging buah dan bagian buah dapat dimakan (Tabel 2)

Tabel 2 Kualitas fisik pisang Mas Kirana pada skala warna 6 Umur panen a Kekerasan kulit (mm/g/detik) Kekerasan daging (mm/g/detik) Susut bobot (%) Bagian buah dapat dimakan (%) 35 HSA 10.8 b 25.1 a 10.6 c 82.2 a 40 HSA 12.6 a 17.3 b 17.8 a 81.8 a 45 HSA 9.1 b 24.4 a 14.7 b 81.7 a 50 HSA 8.0 b 13.3 c 13.6 b 76.9 b 55 HSA 7.6 b 22.3 a 13.9 b 81.4 a

a Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil

yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Pertambahan tingkat kematangan buah pada umumnya diikuti dengan proses pelunakan kulit dan daging buah. Semakin tinggi angka kekerasan kulit dan daging buah pada penetrometer menunjukkan bahwa buah tersebut semakin lunak. Perlakuan umur panen pada pisang Mas Kirana memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kekerasan kulit dan daging buah. Tingkat kekerasan kulit buah yang lunak diperoleh pada umur panen 40 HSA sebesar 12.6 mm/g/detikdan tingkat kekerasan yang tinggi atau keras diperoleh pada pemanenan 55 HSA sebanyak 7.6 mm/g/detik. Menurut Charles dan Thung (1973) tekstur buah pisang bergantung pada beberapa faktor antara lain jenis varietas yang dibudidayakan, teknik budidaya dan prosedur pematangan.

Ketentuan umum standar mutu pisang mengikuti SNI pisang No. 7422:2009 (Lampiran 5) salah satunya adalah ketentuan minimum tekstur buah yang tidak terlalu lunak ataupun keras, serta bentuk yang padat (firm). Menurut Winarno dan Wirakartakusumah (1979) kriteria mutu fisik yang ideal bagi konsumen dapat diperoleh pada pemanenan 45 HSA karena tekstur buah tidak terlalu keras ataupun lunak dan bagian buah dapat dimakan cukup tinggi. Selama proses pematangan terjadi beberapa perubahan diantaranya kekerasan buah. Tingkat kekerasan buah dipengaruhi oleh perubahan tekanan turgor yang disebabkan adanya perubahan komposisi dinding sel. Berdasarkan Palmer (1971); Smith et al. (1989) penurunan kekerasan atau kelunakan selama pemasakan berhubungan dengan dua atau tiga proses yakni 1) pemecahan karbohidrat menjadi gula sederhana, 2) pemecahan dinding sel atau penurunan kohesi pada lamela tengah akibat kelarutan substansi pektin sehingga ikatan kimia pada dinding sel mengalami perubahan, 3) migrasi air dari kulit ke daging buah sebagai hasil dari osmosis.

Umur panen memberikan pengaruh terhadap persentase susut bobot buah pada pemanenan 35 dan 40 HSA. Persentase susut bobot tertinggi diperoleh pada umur panen 40 HSA sebesar 17.8% dan terendah sebanyak 10.6% pada umur panen 35 HSA. Susut bobot terjadi salah satunya karena proses respirasi dan transpirasi. Pisang merupakan buah klimakterik yang masih melakukan proses fisiologi setelah dipanen. Menurut Wills et al. (1989) sumber energi yang digunakan buah setelah

18

dipanen bersumber dari cadangan makanan pada buah. Hilangnya substrat dan air tersebut tidak dapat digantikan sehingga kerusakan mulai timbul.

Umur panen mempengaruhi persentase bagian buah dapat dimakan pada umur panen 50 HSA. Pada pemanenan 35 HSA diperoleh bagian buah dapat dimakan tertinggi sebesar 82.2% dengan susut bobot terendah sebesar 10.6%. Menurut Simmonds (1966) persentase bobot daging pisang pada awal perkembangan buah sangat rendah, sedangkan persentase bobot kulit sangat tinggi. Semakin matangnya pisang maka bobot daging pisang bertambah disertai sedikit demi sedikit pengurangan bobot kulitnya. Pengurangan ini disebabkan perubahan selulosa dan hemiselulosa dalam kulit menjadi zat pati selama proses pematangan.

Penyakit pascapanen yang timbul setelah pisang Mas Kirana melewati skala warna 6 (over ripe) antara lain penyakit antraknosa dan crown rot pada Gambar 8. Menurut Laksmi (1989) penyakit pascapanen pada pisang dapat disebabkan infeksi mikroorganisme selama di lapangan atau lebih dikenal sebagai infeksi laten, pada saat tersebut gejala serangan belum terlihat, gejala terlihat setelah buah masak. Gejala penyakit antraknosa disebabkan oleh Colletotrichum musae yang ditandai dengan munculnya warna coklat muda berbentuk bulatan kecil di permukaan kulit buah dan bercak ini sedikit melekuk ke dalam (cekung), kemudian bulatan tersebut membesar dan membentuk areal serangan yang meluas. Sedangkan penyakit crown rot menyerang bonggol sisir buah yang disebabkan oleh Botryodiplodia theobromae yang menimbulkan luka warna hitam dan seringkali spora nampak terlihat putih mengumpul di bonggol sisir pisang.

Gambar 8 Penyakit pascapanen, A; Antraknosa, B; Crown Rot pada pisang Mas Kirana

Karakteristik Mutu Kimia

Komposisi kimia buah sangat erat kaitannya dengan kualitas mutu buah. Rasa dan aroma merupakan salah satu komponen penting dalam penentuan kemasakan buah. Rasa buah yang manis, kandungan vitamin yang tinggi serta aroma pisang yang khas menjadikan salah satu indikator buah tersebut layak dikonsumsi sebagai buah dengan kualitas baik. Hasil analisis mutu kimia pada pisang Mas Kirana disajikan pada Tabel 4.

19

Tabel 4 Kualitas kimia pisang Mas Kirana pada skala warna 6 Umur panen a Vitamin C (mg/100 g bahan) Padatan terlarut total (°Brix) Asam tertitrasi total (mmol/100 g bahan) Rasio PTT/ATT 35 HSA 75.7 26.8 39.8 a 0.67 b 40 HSA 72.2 25.6 26.2 b 0.98 a 45 HSA 65.1 24.6 28.4 b 0.87 ab 50 HSA 70.4 26.3 23.4 b 1.12 a 55 HSA 86.2 24.5 25.8 b 0.94 a

a Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil

yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. HSA = Hari setelah antesis, PTT = Padatan terlarut total, ATT = Asam tertitrasi total.

Perlakuan umur panen mempengaruhi kandungan ATT pada umur panen 35 HSA yang mencapai 39.8 mmol/100 g bahan. Pemanenan yang dilakukan lebih awal, akan menghasilkan buah dengan tingkat keasaman yang lebih tinggi. Bugaud et al. (2013) menyatakan bahwa sitrat dan malat merupakan asam metabolit yang banyak terdapat pada buah pisang. Menurut Jullien et al. (2008) dan Etienne et al. (2013a) akumulasi kedua asam organik tersebut menentukan tingkat keasaman buah pisang saat panen. Etienne et al. (2013b) menyatakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keasaman buah diantaranya pemenuhan kebutuhan air, pemupukan mineral dan suhu lingkungan budidaya dapat mempengaruhi keasaman buah melalui konsentrasi asam organik dalam daging buah diantaranya dihasilkan dari akumulasi air dan bahan kering. Hasil penelitian Etienne et al. (2014) menunjukkan bahwa konsentrasi sitrat dan malat nyata dipengaruhi oleh genotipe dan umur buah, tetapi tidak dipengaruhi teknis budidaya. Peningkatan kandungan vitamin C tidak dipengaruhi umur panen buah. Menurut Pantastico (1986) kandungan vitamin C mengikuti pola yang tidak teratur selama pertumbuhan dan perkembangan buah. Menurut Kays (1991) konsentrasi asam askorbat (Vitamin C) pada kulit buah pisang lebih tinggi dibandingkan dalam daging buah. Hilangnya asam askorbat meningkat seiring dengan peningkatan suhu dan lama penyimpanan. Umur panen tidak mempengaruhi kandungan PTT dalam daging buah. Pada umur panen 35 HSA kandungan PTT mencapai 26.8 °Brix sedangkan pada umur panen 55 HSA mencapai 24.5 °Brix. Pada pemanenan 35 HSA kandungan padatan terlarut total lebih tinggi dibanding pada pemanenan 55 HSA, hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi iklim selama perkembangan buah. Kondisi iklim pada buah yang dipanen 35 HSA mendapati intensitas curah hujan rendah dan emisi CO2 selama penyimpanan cukup tinggi mencapai 329.51 ml/kg/jam CO2, sehingga proses fisiologi buah dalam hal perombakan pati menjadi gula berjalan optimal dengan aktivitas perombakan pati menjadi gula lewat respirasi tinggi. Berbeda halnya pada pemanenan 55 HSA, selama perkembangan buah curah hujan cukup tinggi dan respirasi lebih rendah dibanding pada pemanenan 35 HSA. Menurut Eskin (1990) selama periode pascapanen pati diubah menjadi sukrosa, glukosa dan fruktosa. Proses perombakan pati menjadi gula dipengaruhi oleh kondisi fisiologis buah selama penyimpanan terutama dalam hal suhu dan lama penyimpanan. Padatan terlarut total menunjukkan kadar glukosa yang terdapat pada buah pisang.

20

Hasil analisis mutu kimia yang diperoleh menunjukkan kandungan ATT, PTT dan vitamin C yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan deskripsi varietas pisang Mas Kirana yang dikeluarkan Kementan (2005) (Lampiran 4). Beberapa hal yang menjadi pertimbangan konsumen dalam mengonsumsi buah adalah mengenai kualitas rasa dan nilai gizi yang baik. Pisang Mas Kirana yang baik harus memiliki rasa yang manis dengan tingkat ATT rendah, pisang dengan kriteria tersebut dapat diperoleh pada pemanen 50 HSA dengan rasio PTT/ATT tertinggi mencapai 1.12.

Dokumen terkait