• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kriteria Kematangan Pascapanen Pisang Mas Kirana (Musa Sp. Aa Grup) Berbasis Satuan Panas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kriteria Kematangan Pascapanen Pisang Mas Kirana (Musa Sp. Aa Grup) Berbasis Satuan Panas"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

KRITERIA KEMATANGAN PASCAPANEN PISANG MAS

KIRANA (Musa sp. AA Group) BERBASIS SATUAN PANAS

EKA YULYANA

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kriteria Kematangan Pascapanen Pisang Mas Kirana (Musa sp. AA grup) Berbasis Satuan Panas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

EKA YULYANA. Kriteria Kematangan Pascapanen Pisang Mas Kirana (Musa sp. AA grup) Berbasis Satuan Panas. Dibimbing oleh WINARSO DRAJAD WIDODO dan KETTY SUKETI.

Percobaan bertujuan mempelajari kriteria kematangan pascapanen pisang Mas Kirana dan menentukan waktu panen terbaik berdasarkan satuan panas untuk penanganan pascapanen dalam memperpanjang masa simpan buah. Percobaan dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai Februari 2015 di Kebun Cibungur PTPN VIII Sukabumi dan Laboratorium Pascapanen, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan yang digunakan adalah pisang Mas Kirana dengan umur panen yang berbeda. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap satu faktor dengan 5 umur panen 35, 40, 45, 50 dan 55 hari setelah antesis (HSA) dan 4 ulangan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa umur panen terbaik dengan umur simpan terpanjang 9 hari setelah panen (HSP) ialah pada pemanenan 40-50 HSA dengan satuan panas mencapai 576.5-725.5 oC hari. Perlakuan umur panen tidak mempengaruhi laju emisi CO2 selama penyimpanan, kandungan vitamin C dan padatan terlarut total (PTT). Perlakuan umur panen memberikan pengaruh terhadap kekerasan kulit dan daging buah, susut bobot, bagian buah dapat dimakan, asam tertitrasi total (ATT) dan rasio PTT/ATT. Buah yang dipanen muda memiliki kandungan ATT lebih tinggi. Pada umur panen 35 HSA diperoleh nilai ATT sebesar 39.8 mmol/100 g bahan. Rasio PTT/ATT tertinggi diperoleh pada umur panen 50 HSA yakni mencapai 1.12, dengan susut bobot terendah 10.6% dan bagian buah dapat dimakan 82.2%.

Kata kunci: klimakterik, laju emisi CO2, pascapanen, pemasakan

ABSTRACT

EKA YULYANA. Postharvest Maturity Indices of Banana’s Mas Kirana (Musa sp. AA group) Based on Heat Unit. Supervised by WINARSO DRAJAD WIDODO and KETTY SUKETI.

The objective of this experiment was to study postharvest maturity on

banana’s Mas Kirana and determine best harvesting date based on heat unit for

postharvest handling in order to prolong the fruit's shelf life. The experiment was

conducted on December 2014 until February 2015 at PT Perkebunan Nusantara

VIII Estate, Cibungur, Sukabumi and Postharvest Laboratory, Departement of Agronomy and Horticulture, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University.

Banana’s Mas Kirana with different harvesting date was used. The research was

conducted in a complete randomized design using single factor with 5 harvest dates 35, 40, 45, 50 and 55 day after anthesis (DAA) and 4 replication. The result shows best harvesting date with longest shelf life on 9 days after harvesting (DAH) is

40-50 DAA with heat unit 576.5-725.5 oC days. Harvesting date not affect emision

(6)

affect of firmness flesh skin, weight loss, edible part, total titritable acidity (TTA) and ratio of TSS / TTA. Fruits that are harvested unripe have high TTA content.

Harvesting date affects TTA on 35 DAA with acidity 39.8 mmol/100 g of material.

The highest ratio of TSS/TTA was obtained on harvesting time at 50 DAA on 1.12

with the lowest weight loss 10.6% and edible part 82.2%.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Agronomi dan Hortikultura

KRITERIA KEMATANGAN PASCAPANEN PISANG MAS

KIRANA (Musa sp. AA Grup) BERBASIS SATUAN PANAS

EKA YULYANA

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Desember 2014 hingga Februari 2015 ini ialah Kriteria Kematangan Pascapanen Pisang, dengan judul penelitian Kriteria Kematangan Pascapanen Pisang Mas Kirana (Musa sp. AA Grup) Berbasis Satuan Panas.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ir Winarso D Widodo, MS, PhD dan Dr Ir Ketty Suketi, MSi sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan serta perbaikan-perbaikan selama kegiatan penelitian hingga penulisan skripsi ini selesai, kepada Prof Dr Ir Didy Sopandie, MScAgr selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan selama masa perkuliahan, dan Dr Ani Kurniawati, SP, MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan perbaikan dalam penulisan skripsi. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Danu Rianto, Bapak Agus, Bapak Nana Sumana dari PTPN VIII Industri Hilir Terpadu, Bapak Iwan, Bapak Nanang beserta staf di Kebun Cibungur PTPN VIII yang telah banyak membantu selama kegiatan di lapangan, juga keluarga Dandelion 48, IKAMASI 48, Pondok Dandelion, serta teman-teman yang selalu memberi semangat dan dukungan selama penyusunan skripsi.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Botani Pisang 2

Ekologi dan Fisiologi Pisang 3

Panen dan Penanganan Pascapanen Pisang 4

Satuan Panas Pisang 5

METODE PENELITIAN 6

Tempat dan Waktu 6

Bahan dan Alat 6

Rancangan Percobaan 7

Prosedur Percobaan 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Satuan Panas, Umur Simpan dan Laju Emisi CO2 12

Karakteristik Mutu Fisik 17

Karakteristik Mutu Kimia 18

KESIMPULAN DAN SARAN 20

Kesimpulan 20

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 21

LAMPIRAN 25

(14)

DAFTAR TABEL

1 Satuan panas, umur simpan dan laju emisi CO2 pisang Mas Kirana

pada beberapa umur panen 12

2 Kualitas fisik pisang Mas Kirana pada skala warna 6 17 3 Kualitas kimia pisang Mas Kirana pada skala warna 6 19

DAFTAR GAMBAR

1 Proses persiapan buah 8

2 Indeks skala warna kematangan pisang Cavendish 8 3 Indeks skala warna pisang Mas Kirana pada beberapa

tingkat kematangan 12

4 Kondisi suhu udara di lingkungan selama masa generatif 13 5 Laju emisi CO2 pisang Mas Kirana pada beberapa

umur simpan 14

6 Keragaman dalam proses pemasakan pisang Mas Kirana 15 7 Tingkat kematangan pada beberapa umur panen 16

8 Penyakit pascapanen 18

DAFTAR LAMPIRAN

1 Analisis sidik ragam kriteria kematangan pisang Mas Kirana

pada beberapa umur panen 25

2 Proses inkubasi pisang Mas Kirana 26

3 Proses pemanenan dan pembersihan di lapangan 26

4 Deskripsi varietas pisang Mas Kirana 27

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pisang merupakan buah yang sangat potensial untuk pemenuhan gizi masyarakat karena buahnya memiliki nilai gizi yang tinggi, tidak bermusim, mudah dibudidayakan dan harga yang terjangkau. Produksi pisang di Indonesia tahun 2012 sebesar 6 270 813 ton dan meningkat menjadi 6 380 471 ton pada tahun 2013 (Ditjen Horti 2014). Perkembangan produktivitas pisang di Indonesia tahun 2012 mencapai 60.00 ton/Ha dan pada tahun 2013 meningkat hingga 60.70 ton/Ha. Produksi pisang di Indonesia terbesar berasal dari Jawa Timur 1 223 442 ton, Jawa Barat 1 045 368 ton, Jawa Tengah 552 963 ton, Lampung 678 492 ton dan Sumatera Utara 342 298 ton (BPS 2014).

Permintaan terhadap buah pisang terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, peningkatan taraf pendapatan, kesadaran masyarakat akan kebutuhan gizi dan selera konsumen terhadap buah pisang yang berkualitas. Berdasarkan data PUSDATIN (2014) total konsumsi pisang per kapita relatif stabil setiap tahun, namun cenderung menurun dalam lima tahun terakhir dengan rata-rata penurunan sebesar 1.80 % per tahun. Tahun 2012 total konsumsi pisang sebesar 5.788 kg/kapita/tahun dan pada tahun 2013 terjadi penurunan hingga mencapai 5.631 kg/kapita/tahun.

Tuntutan konsumen terhadap kualitas pisang yang baik membuat agribisnis pisang terus berkembang tidak hanya memperhitungkan kuantitas produksi yang dihasilkan tetapi juga kualitas pisang yang sangat berperan dalam penentuan harga. Hal tersebut memberikan peluang bagi Indonesia untuk melakukan ekspor pisang ke beberapa negara seperti China, Saudi Arabia, Kuwait, dan Malaysia. Berdasarkan data BPS (2014) pada tahun 2013 ekspor pisang Indonesia mencapai 5 680 364 ton meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 1 489 370 ton.

Buah pisang yang baik tidak hanya bergantung pada rasa daging buah yang lezat namun keragaan visual yang menarik juga akan menjadi nilai tambah bagi buah pisang tersebut. Menurut Kitinoja dan Kader (2002) manajemen yang efektif selama periode pascapanen sangat diperlukan untuk menjaga mutu (keragaan, tekstur, citarasa dan nilai nutrisi), melindungi keamanan pangannya, dan mengurangi susut saat panen sampai produk tersebut dikonsumsi.

Permasalahan penting budidaya pisang salah satunya adalah penentuan waktu panen yang tepat sesuai dengan tujuan pemasaran. Pemanenan pisang yang terlalu cepat menyebabkan mutu pisang rendah walaupun daya simpannya lebih lama (Satuhu dan Supriyadi 1999). Tingkat ketuaan buah mempengaruhi kualitas serta kandungan kimia dan gizinya. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan umur dan karakter fisik. Umur panen dapat ditentukan mulai dari saat bunga mekar hingga buah siap dipanen. Umur panen pisang berkisar 100-120 hari setelah bunga mekar, tergantung varietas (Satuhu 1995).

(16)

2

pemanenan tersebut tidak efektif terutama untuk perkebunan besar yang harus menghasilkan buah yang seragam dengan kualitas baik. Hal tersebut mendorong pengembangan metode pemanenan dengan mempertimbangkan energi panas yang dibutuhkan tanaman untuk reaksi fisiologi selama pertumbuhan dan perkembangan mulai dari antesis hingga panen. Metode pemanenan tersebut dikenal dengan metode satuan panas (heat unit / thermal unit). Metode pemanenan ini dianggap lebih akurat dibanding dengan metode penghitungan hari setelah bunga antesis karena konsep dari metode ini menghitung suhu rata-rata aktual yang diperoleh tanaman selama di lahan hingga tanaman tersebut mencapai kematangan optimal untuk dipanen. Berbeda halnya dengan perhitungan hari setelah antesis, suhu rata-rata yang diperoleh tanaman selama pembudidayaan tidak diperhitungkan.

Penelitian mengenai kriteria kematangan pascapanen telah dilakukan oleh Mulyana (2011) mengenai penyimpanan pascapanen pisang Raja Bulu dengan menggunakan 30 g bahan oksidan etilen (27.75 g tanah liat + 2.25 g KMnO4) dapat meningkatkan daya simpan buah 5 hari lebih lama dibandingkan kontrol. Hasil penelitian Sutowijoyo dan Widodo (2013) pada pisang Raja Bulu dan pisang Kepok, menunjukkan bahwa umur petik terbaik untuk penanganan pascapanen dalam rangka memperpanjang umur simpan pada pisang Raja Bulu adalah 95 HSA, dan 110 HSA pada pisang Kepok. Hasil lain ditunjukkan oleh Rahayu et al. (2014) bahwa pisang Raja Bulu yang dipetik pada 85 HSA (satuan panas 1 305°C hari) dapat disimpan selama 10 hari. Penelitian dilanjutkan dengan jenis pisang Mas Kirana dengan tujuan mempelajari kriteria kematangan pascapanen pisang Mas Kirana dari beberapa umur panen dan menentukan saat panen terbaik berdasarkan satuan panas yang diperoleh selama pembudidayaan di lahan untuk penanganan pascapanen dalam rangka memperpanjang masa simpan buah.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mempelajari kriteria kematangan pascapanen pisang Mas Kirana dari beberapa umur panen dan menentukan saat panen terbaik berdasarkan satuan panas yang diperoleh untuk penanganan pascapanen dalam rangka memperpanjang masa simpan buah.

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Pisang

(17)

3

dapat dimakan sebagian besar berasal dari golongan Musa acuminata dan Musa balbisiana. Beberapa pisang Musa accuminata antara lain pisang tanpa biji diploid (AA) dan triploid (AAA) yang merupakan bentuk pisang segar seperti ‘Sucrier’ serupa dengan pisang Mas dan ‘Grand Nain’. Demikian pula, Musa balbisiana diterapkan pada pisang murni tanpa biji diploid (BB) dan triploid (ABB) yang merupakan jenis pisang olahan seperti ‘Abuhon’ dan ‘Saba’ atau pisang Kepok di Indonesia (Robinson 1999).

Terdapat 2 jenis pisang yang dapat dimakan dan dikelompokkan berdasarkan pemanfaatannya yaitu pisang meja (banana) yang biasa disajikan sebagai buah segar dan pisang olahan (plantain). Sebagian besar jenis pisang meja (banana) merupakan triploid seperti AAA yang membawa 3 set kromosom turunan dari Musa acuminata. Secara umum pisang olahan (plantain) merupakan triploid misalnya AAB dan ABB (Samson 1980). Pisang yang dimakan sebagai buah segar antara lain: pisang Ambon, Susu, Raja, Cavendish, Barangan, dan Mas. Pisang yang disajikan sebagai olahan antara lain: pisang Nangka, Tanduk, dan Kepok. Pisang berbiji yaitu M. brachycarpa, adapula yang dimanfaatkan daunnya, seperti pisang Batu dan Klutuk. Pisang yang diambil seratnya yaitu pisang Manila (Kemenristek 2014).

Kultivar pisang yang memiliki peluang pasar menjanjikan untuk komoditas ekspor antara lain Raja Bulu dan Kepok kuning. Pada tingkat lokal, petani lebih memilih pisang Ambon Lumut, Ambon Kuning, Barangan, Nangka, Tanduk, dan Raja Sereh karena permintaan lokal yang cukup tinggi. Pisang komersial merupakan hasil keturunan mutasi dari spesies Musa liar yang menghasilkan buah tidak berbiji dan enak dimakan. Spesies liar itu adalah Musa acuminata dan Musa balbisiana (Sastrahidayat dan Soemarno 1991).

Pisang merupakan tanaman herba tahunan dengan sistem perakaran serabut, akar tersebut tumbuh pada umbi batang di dalam permukaan tanah. Batangnya berupa umbi batang (bonggol) yang berada didalam tanah, sedangkan bagian yang berdiri tegak menyerupai batang adalah batang semu yang terdiri atas pelepah-pelepah daun. Daun berbentuk lanset memanjang dengan lapisan lilin di permukaan bawahnya. Daun pisang tidak memiliki tulang daun sehingga daun mudah sobek bila terhempas angin (Cahyono 2009).

Ekologi dan Fisiologi Pisang

(18)

4

Pisang menunjukkan pola respirasi klimakterik yang diawali dengan rendahnya laju produksi CO2 atau pengambilan O2 (praklimakterik), diikuti dengan peningkatan yang signifikan (peningkatan klimakterik), puncak klimakterik dan akhirnya menurun (pascaklimakterik) (Hassan et al. 1990). Pertumbuhan sangat terbatas di bawah 13°C dan klorofil rusak di bawah 6°C (Newley et al. 2008). Pertumbuhan tunas terbaik antara 26-28°C dan buah 29-30°C. Gejala chilling injury pada suhu 16°C meliputi kegagalan tangkai berbunga, perubahan warna buah menjadi kuning atau hijau keabu-abuan kusam, bentuk buah terdistorsi, dan peningkatan jumlah buah busuk (Crane et al. 2005). Terdapat hubungan antara suhu dan proses pertumbuhan tanaman pisang. Pada suhu dibawah 12°C terjadi chilling injury yaitu kerusakan akibat suhu dibawah optimal. Pertumbuhan dimulai pada suhu 18°C dan mencapai optimum pada suhu 27°C kemudian turun dan mulai berhenti pada suhu 38°C (Samson 1980).

Sebagian besar kultivar pisang di negara-negara ASEAN memiliki kisaran suhu terjadinya kerusakan akibat chilling injury sekitar 12-13°C (Hassan et al. 1990). Gejala chilling injury pada pisang antara lain bagian dalam buah berongga, kelainan pada warna kulit buah, pemasakan abnormal, pengerasan plasenta tengah, ketidaksempurnaan rasa dan sangat rentan terhadap kerusakan mekanis (Nguyen dan Saicho 2009). Pada suhu <12°C terjadi perubahan warna menjadi coklat kehitaman, penyebaran pembuluh getah pada kulit buah. Chilling injury juga mengakibatkan pematangan fisiologi oleh penundaan puncak klimakterik dan beberapa diantaranya menghasilkan puncak respirasi (Murata 1969).

Panen dan Penanganan Pascapanen Pisang

Waktu yang dibutuhkan dari berbunga sampai panen bervariasi tergantung kultivar pisang, kondisi iklim dan terkadang manajemen produksi juga ikut memengaruhi waktu panen. Umumnya umur berbunga hingga panen berkisar 3 sampai 5 bulan (Tushemerehe et al. 2001). Masalah utama dalam penanganan pascapanen yakni kerusakan akibat pengangkutan, banyak petani di Indonesia belum begitu peduli akan pentingnya manajemen pascapanen yang utamanya merupakan hal penting dalam menetukan kualitas buah yang dihasilkan. Tujuan pemanenan dalam upaya mengembangkan secara penuh karakteristik aroma, rasa dan warna selama penyimpanan maka pemanenan dilakukan pada stadia matang optimal. Sebaliknya, pemanenan pada matang stadia lanjut tidak baik untuk pemasaran ekspor karena umur simpan lebih pendek. Buah pisang yang telah matang sangat mudah dikenali melalui perubahan warna kulitnya, oleh karena itu indeks warna kulit menjadi penting dan digunakan sebagai penanda tingkat kematangan buah pisang (Prabawati et al. 2011).

(19)

5

batang kemudian dinilai dengan menggunakan sisir kedua dari ujung proksimal (Robinson 1999).

Penurunan kandungan pati setelah mencapai titik tertinggi menandakan proses pematangan mulai terjadi. Sebagian pati akan dihidrolisis menjadi gula sehingga kandungan pati menurun. Indeks untuk menentukan derajat ketuaan pisang masih tergantung kepada petani dan daerahnya. Kriteria panen pisang di India antara lain perbandingan antara daging buah dan kulit buah, hilangnya sudut pinggiran jari buah, mengeringnya daun, mudah patahnya ujung bunga (Sabari et al. 1989) dan jumlah hari dari munculnya bunga (jantung). Hari dari munculnya bunga hingga panen dapat bervariasi antara 7-24 minggu tergantung kultivar, musim, pengelolaan tanaman dan lingkungan (Nakasone dan Paull 1999). Pisang Mas dapat dipanen 7-9 minggu (Hassan et al. 1990) atau 60 hari (Abidin 1990) dari munculnya bunga. Terjadi perubahan selama pematangan pisang diantaranya perubahan warna kulit buah, perubahan tekstur, perkembangan rasa yang berkontribusi pada peningkatan gula sederhana untuk kemanisan buah, penurunan asam organik dan phenolik untuk meminimumkan penyusutan dan peningkatan senyawa tertentu untuk memberikan rasa khas buah (Lizada et al. 1990).

Satuan Panas Pisang

Konsep yang umum digunakan untuk menjelaskan pengaruh suhu terhadap perkembangan tanaman (fenologi) adalah thermal unit yang sering pula disebut day degrees atau heat unit. Perlu diperhatikan bahwa konsep ini hanya untuk tanaman netral yaitu yang tidak responsif terhadap panjang hari. Dalam konsep ini, dengan menganggap faktor lainnya seperti panjang hari tidak berpengaruh, laju perkembangan tanaman berbanding lurus dengan suhu (T) di atas suhu dasar (T0) (Handoko 1994).

(20)

6

Berdasarkan hasil penelitian Tixier et al. (2009) pada pink banana (Musa spp., AAA group) menunjukkan ambang temperatur pink banana 19.8 °C dan menunjukkan bahwa green-life menurun secara linear dengan usia fisiologis buah dan memperlihatkan hubungan antara akumulasi satuan panas selama pertumbuhan buah dan green-life. Untuk pisang Martinique, optimal saat berbunga hingga panen ditemukan 548°C hari. Hasil percobaan Rahayu et al. (2014) pada pisang Raja Bulu menunjukkan jumlah satuan panas mulai dari bunga antesis hingga panen sebesar 1 305.5°C hari. Jullien et al. (2008) menyatakan bahwa metode empiris berdasarkan waktu panen ataupun ukuran buah dapat menyebabkan pematangan selama transportasi, sementara metode berdasarkan akumulasi satuan panas dapat memperhitungkan kebutuhan panas untuk reaksi-reaksi fisiologis yang lebih tepat dan meminimalkan resiko pematangan selama transportasi. Menurut Estiningtyas dan Irianto (1994) metode akumulasi satuan panas bersifat spesifik lokasi dengan nilai akumulasi satuan panas di dataran rendah lebih besar dibandingkan dengan di dataran tinggi. Akumulasi satuan panas kedelai dari saat tanam hingga panen mencapai 1 423.9-1 784.9 °C hari.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Percobaan dilaksanakan di Kebun Cibungur PT Perkebunan Nusantara VIII Kabupaten Sukabumi. Penandaan bunga pisang dilakukan pada bulan Desember 2014. Analisis pascapanen dilaksanakan pada bulan Januari-Februari 2015 di Laboratorium Pascapanen, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan utama dalam percobaan ini adalah pisang Mas Kirana (Musa sp. AA Group) umur 8 bulan setelah tanam, sistem tanam intercropping dengan karet umur 3 tahun dan jarak tanam 3 m x 2.5 m dengan umur panen 35, 40, 45, 50 dan 55 hari setelah antesis (HSA). Penentuan umur panen tersebut mengacu pada SOP panen PTPN VIII Sukabumi yang menetapkan pemanenan pada 45 HSA dan minimal 35 HSA, dan berdasarkan BPTP Jatim (2011) yang menyatakan bahwa pisang Mas Kirana dari munculnya bunga (ontong) sampai petik panen memerlukan waktu 36-42 hari tergantung ketinggian tempat dan kesuburan tanah. Pemilihan tanaman contoh ditentukan dengan proses tagging dengan memperhatikan kondisi fisik pisang dan saat antesis ditentukan pada bunga yang telah membuka satu daun seludang. Bahan lain dalam analisis pascapanen antara lain kertas saring, larutan amilum, larutan phenolftalein, Natrium Hipoklorit, aquades, larutan Iodine 0.01 N dan NaOH 0.1 N.

(21)

7

Rancangan Percobaan

Percobaan dilaksanakan dengan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 umur panen. Pisang Mas yang digunakan adalah buah matang hijau yang dipanen pada 35, 40, 45, 50 dan 55 HSA. Setiap umur panen diterapkan terhadap 4 tandan buah sebagai ulangan, sehingga terdapat 20 satuan percobaan. Buah pisang diambil dari bagian tengah sebanyak 2 sisir dari setiap tandan sebagai bahan uji. Model statistika yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yij = μ + τi + εij

Keterangan :

Yij = Pengamatan pada umur panen ke-i dan ulangan ke-j

μ = Nilai tengah populasi

τi = Pengaruh umur panen ke-i (i=1, 2, 3, 4, 5)

εij = Pengaruh galat percobaan pada perlakuan umur panen ke-i dan ulangan ke-j Data dianalisis dengan menggunakan uji F pada aplikasi SAS (Statistical Analysis System) versi 9.1 dan diuji lanjut dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.

Prosedur Percobaan

Penandaan (tagging) Bunga

Penandaan bunga dilakukan pada bulan Desember 2014 di Kebun Cibungur PT Perkebunan Nusantara VIII Kabupaten Sukabumi. Penandaan bunga dilakukan pada saat antesis untuk mendapatkan buah pisang dengan umur panen yang diinginkan. Setiap periode tagging terdiri atas umur panen 35, 40, 45, 50 dan 55 HSA. Penentuan umur panen tersebut didasarkan pada SOP panen PTPN VIII Sukabumi dan ketentuan BPTP Jatim. Selama masa generatif dilakukan pencatatan suhu maksimum dan minimum harian untuk mengetahui satuan panas (°C hari) pada pisang sampai umur panen 55 HSA. Suhu harian rata-rata merupakan total selisih antara suhu rata-rata (suhu maksimum dan suhu minimum) dengan suhu dasar yang ditetapkan sebesar 10°C.

Persiapan Buah

(22)

8

.

Gambar 1 Proses persiapan buah; A: pencucian buah menggunakan Natrium Hipoklorit 10%, B: penyimpanan pisang pada suhu ruang

Pengamatan

Pengamatan satuan panas dilaksanakan sebelum pemanenan yakni selama masa pembudidayaan mulai dari bunga antesis hingga panen sesuai perlakuan. Pengamatan kriteria kematangan pascapanen dilakukan pada saat kulit buah mencapai skala warna 6. Laju emisi CO2 diukur setiap hari selama penyimpanan. Daya simpan ditentukan pada saat kulit buah mencapai skala warna 6. Kriteria kematangan pascapanen ditentukan dengan pengamatan 9 peubah yaitu: (1) umur simpan, (2) susut bobot, (3) bagian buah dapat dimakan (edible part), (4) kekerasan kulit buah, (5) kelunakan daging buah, (6) padatan terlarut total (PTT), (7) asam tertitrasi total (ATT), (8) laju emisi CO2 dan (9) kandungan vitamin C yang diamati pada skala warna 6. Pengamatan kriteria kematangan pascapanen tersebut mengacu pada penelitian yang telah dilaksanakan oleh Mulyana (2011), Arista (2013), Sugistiawati (2013), Sutowijoyo dan Widodo (2013), Rahayu et al. (2014) dan bersumber dari Wills et al. (1989).

Indeks skala warna kulit buah

Skala warna kulit buah didasarkan pada penyebaran warna hijau dan kuning dari pisang Cavendish. Menurut Kader (2008) derajat kekuningan kulit buah dinilai dengan skala 1 sampai 7. Nilai derajat kekuningan kulit buah pisang Cavendish:

(23)

9

1: Hijau 5: Kuning dengan ujung hijau

2: Hijau dengan sedikit kuning 6: Kuning penuh

3: Hijau kekuningan 7: Kuning dengan bintik coklat 4: Kuning lebih banyak dari hijau

Satuan panas

Satuan panas diukur dengan menghitung suhu rata-rata harian mulai dari antesis hingga panen dengan menggunakan termometer maksimum minimum yang dipasang di lahan. Pengamatan suhu dilaksanakan setiap hari pada jam 10.00 WIB. Berdasarkan Dufault et al. (1989) rumus yang digunakan :

SP= ∑ T max + 2T min - b

Keterangan :

SP = Satuan panas (°C hari)

T max = Suhu rata-rata maksimum (°C) T min = Suhu rata-rata minimum (°C) b = Suhu dasar 10 °C

Umur simpan

Umur simpan digunakan untuk mengetahui lamanya penyimpanan buah pada setiap umur panen sampai kulit buah mencapai skala warna 6. Kriteria yang digunakan dalam mengukur umur simpan yaitu perubahan indeks skala warna kulit buah. Pengamatan umur simpan dilakukan hingga kulit buah mencapai skala warna 6.

Susut bobot

Pengukuran susut bobot dilakukan dengan menggunakan timbangan analitik. Pengukuran susut bobot buah dilakukan dengan membandingkan bobot awal setelah dipanen dan bobot akhir saat kulit buah mencapai skala warna 6. Rumus yang digunakan:

Susut bobot = bobot awal - bobot akhir bobot awal x 100%

Bagian buah dapat dimakan (edible part)

Pengukuran bagian buah dapat dimakan dilakukan menggunakan timbangan analitik. Pengukuran bagian buah dapat dimakan diukur dengan menimbang bobot buah pisang sebelum dikupas dan setelah dikupas. Bagian buah dapat dimakan dihitung dengan menggunakan rumus:

% Edible part=bobot daging buahbobot buah x 100%

(24)

10

Kekerasan kulit buah

Kekerasan kulit buah diukur dengan alat penetrometer. Pengukuran dilakukan pada buah yang belum dikupas kulitnya, kemudian diletakkan sedemikian rupa hingga posisi stabil. Jarum penetrometer ditusukkan pada tiga tempat, yaitu: ujung, tengah dan pangkal buah.

Kekerasan daging buah

Kekerasan daging buah diukur dengan alat penetrometer. Pengukuran hampir sama seperti pada pengukuran kekerasan kulit buah namun kekerasan daging buah dilakukan pada buah yang sudah dikupas kulitnya.

Padatan terlarut total

Pengukuran PTT dilakukan untuk mengetahui kadar kemanisan buah dengan menggunakan hand refractometer. Kandungan PTT diukur dengan menghancurkan daging buah pisang, kemudian diambil sarinya dengan menggunakan kertas saring. Sari buah yang telah diperoleh diteteskan pada lensa hand refractometer. Kadar PTT dapat dilihat pada alat dalam satuan °Brix.

Asam tertitrasi total

Nilai ATT digunakan sebagai parameter dalam mengukur kandungan asam yang terdapat di dalam buah. ATT diukur berdasarkan netralisasi ekstrak buah oleh basa kuat NaOH. Berdasarkan Sutowijoyo dan Widodo (2013) kandungan ATT diukur dengan menghancurkan daging buah sebanyak 25 g, kemudian hancuran buah disaring dengan menambahkan aquades dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Larutan diambil sebanyak 25 ml dan ditambahkan indikator phenolftalein 3 tetes, kemudian dititrasi dengan NaOH 0.1 N hingga larutan berubah warna menjadi merah muda. Kandungan ATT dihitung dengan menggunakan rumus :

ATT mmol/100 g bahan = bobot contoh gml NaOH x fp x 100

Fp : faktor pengenceran (100 ml/25 ml)

Kandungan vitamin C

Kandungan vitamin C diukur dengan titrasi menggunakan Iodine dan menggunakan 3 tetes indikator larutan amilum dengan konsentrasi 1 g/100 ml sesuai dengan metode pengukuran dari Sutowijoyo dan Widodo (2013) dan Arista (2014). Pembuatan larutan amilum: aquades 100 ml sebanyak 80 ml dididihkan kemudian dicampur dengan 20 ml aquades tersisa dengan tepung kanji sebanyak 1 g. Kemudian, pengukuran kandungan vitamin C dilakukan dengan menghancurkan bahan 25 g daging buah, bahan hancuran tersebut dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan aquades sampai tera lalu disaring. Setelah disaring, larutan diambil sebanyak 25 ml diberi 3 tetes indikator larutan amilum kemudian dititrasi dengan Iodine. Titrasi dilakukan sampai terbentuk warna biru tua yang stabil. Kandungan vitamin C dapat dihitung dengan rumus :

(25)

11

Keterangan :

1 mg Iodine 0.01 N = 0.88 mg Asam askorbat Fp : faktor pengenceran (100 ml/25 ml)

Laju emisi CO2

Pengukuran laju emisi CO2 dilakukan berdasarkan laju produksi gas CO2 yang dihasilkan oleh buah pisang. Pengamatan laju emisi CO2 dilaksanakan setiap hari sampai buah mencapai skala warna 6 sesuai dengan metode pengukuran dari Arista (2013) dan Rahayu et al. (2014). Alat yang digunakan adalah kosmotektor. Pengukuran laju emisi CO2 dilakukan dengan cara: buah pisang dimasukkan ke dalam wadah tertutup yang dihubungkan dengan 2 pipa plastik sebagai saluran pengeluaran CO2. Pengukuran emisi CO2 dilakukan setelah buah diinkubasi selama 2 jam. Laju emisi CO2 dihitung dengan rumus:

L=VxKx1.76WxB

Keterangan:

L = Laju emisi CO2 (ml/kg/jam CO2) V = Volume udara bebas dalam stoples (ml) K = Kadar CO2

W = Waktu inkubasi (jam) B = Bobot bahan (kg)

(26)

12

HASIL DAN PEMBAHASAN

Satuan Panas, Umur Simpan dan Laju Emisi CO2

Umur simpan merupakan faktor yang dapat menentukan kualitas buah hingga sampai kepada konsumen. Kualitas buah tidak dapat diperbaiki, namun dapat diperlambat penurunannya. Penentuan tingkat kematangan yang tepat pada saat pemanenan adalah hal yang dapat dilakukan dalam mempertahankan kualitas, terutama dalam hal memperpanjang umur simpan. Umur simpan diamati mulai dari pisang berwarna hijau tua (skala warna 1) hingga mencapai warna kuning penuh (skala warna 6) (Gambar 3).

Gambar 3 Indeks skala warna pisang Mas Kirana pada beberapa tingkat kematangan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur panen terpendek diperoleh pada 55 HSA dengan lama umur simpan mencapai 6 HSP dan laju emisi CO2 291.94 ml/kg/jam CO2. Umur panen 40, 45 dan 50 HSA tidak menunjukkan perbedaan umur simpan pada skala warna 6 (Lampiran 1). Buah yang dipanen pada tingkat kematangan minimum dapat menyebabkan mutu fisik dan kimia rendah pada saat buah masak. Menurut Sutowijoyo dan Widodo (2013) dan Rahayu et al. (2014) buah yang dipanen lebih awal memiliki daya simpan lebih panjang dibandingkan dengan buah yang dipanen lebih lama.

Tabel 1 Satuan panas, umur simpan dan laju emisi CO2 pisang Mas Kirana pada beberapa umur panen

Umur panen

Satuan panas (°C hari)

Laju emisi CO2

(ml/kg/jam CO2) Umur simpan (HSP) a

Skala 6

35 HSA 501.3 329.51 8.0 b

40 HSA 576.5 374.34 8.8 ab

45 HSA 651.8 279.17 9.9 a

50 HSA 725.5 274.67 9.4 ab

55 HSA 800.0 291.94 6.0 c

a Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada

(27)

13

Pengukuran laju emisi CO2 melalui proses inkubasi dengan mengukur kadar CO2 yang dihasilkan buah. Proses inkubasi menggunakan stoples inkubasi dengan volume 6.5 L dan durasi inkubasi selama 2 jam (Lampiran 2). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa umur panen tidak mempengaruhi laju emisi CO2 selama penyimpanan (Tabel 1). Umur simpan terlama diperoleh pada umur panen 45 HSA dengan laju emisi CO2 cukup rendah yakni 279.17 ml/kg/jam CO2. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat emisi CO2 buah selama penyimpanan maka daya simpan buah lebih lama. Menurut Matto et al. (1986) laju emisi CO2 yang tinggi biasanya disertai dengan umur simpan yang pendek dan sebaliknya. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan laju emisi CO2 buah diantaranya kerusakan selama transportasi yang menyebakan timbulnya kerusakan mekanis pada kulit buah sehingga memacu peningkatan emisi CO2 dan juga produksi etilen. Menurut Kitinoja dan Kader (2002) kerusakan mekanis selama panen bisa menjadi masalah yang serius, karena kerusakan tersebut menentukan cepatnya produk untuk membusuk, meningkatnya kehilangan cairan dan meningkatnya emisi CO2 serta produksi etilen yang berakibat pada cepatnya kemunduran produk. Pengaruh aktivitas mikroorganisme penyebab penyakit pascapanen juga mempengaruhi aktivitas fisiologi buah. Menurut Kays (1991) secara umum buah muda aktif dalam perkembangan sel dan emisi CO2 lebih tinggi dibandingkan dengan buah yang sel-selnya lebih matang.

Laju emisi CO2 juga erat kaitannya dengan suhu lingkungan selama pembudidayaan. Suhu lingkungan di lapangan dicatat selama masa generatif dengan mencatat suhu rata-rata harian. Suhu rata-rata tertinggi selama pengamatan mencapai 26.3°C mendekati suhu optimum berkisar 27°C, dan terendah 20.3°C. Suhu dimana pisang masih dapat tumbuh dengan baik berkisar 15-35°C (Sunarjono 1989). Satuan panas diperoleh dari akumulasi suhu rata-rata harian. Kondisi suhu udara di lingkungan budidaya selama 55 hari disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Kondisi suhu udara di lingkungan selama masa generatif

Emisi CO2 merupakan pemecahan oksidatif terhadap bahan kompleks yang terdapat dalam sel seperti tepung, gula dan asam amino menjadi molekul sederhana seperti CO2, air serta energi dan molekul lainnya yang dapat digunakan oleh sel untuk reaksi sintesis selanjutnya (Santoso dan Purwoko 1995). Selama pertumbuhan dan perkembangan, tanaman memerlukan sejumlah panas untuk

(28)

14

memperoleh energi bagi proses-proses fisiologinya. Sejumlah panas tersebut dapat dihitung dengan konsep satuan panas (heat unit, thermal unit). Salah satu proses fisiologi tersebut adalah respirasi. Pengukuran satuan panas saat antesis hingga panen memungkinkan adanya hubungan dengan laju respirasi selama pemasakan.

Laju emisi CO2 pisang Mas Kirana pada beberapa umur panen selama penyimpanan disajikan pada Gambar 5. Pada grafik terlihat bahwa puncak klimakterik dicapai sebelum mencapai kemasakan optimum (skala warna 6). Puncak klimakterik pada umur panen 40 dan 55 HSA berturut-turut dicapai pada 7 dan 4 HSP, sedangkan pada umur panen 35, 45 dan 50 HSA terdapat beberapa puncak klimakterik. Berdasarkan Samson (1980) puncak klimakterik dicapai pada tingkat emisi CO2 yang lebih tinggi dibandingkan emisi CO2 tertinggi saat fase pra klimakterik, dalam hal ini laju emisi CO2 pada puncak klimakterik kedua menunjukkan puncak emisi CO2 buah. Puncak klimakterik pada umur panen 35, 45 dan 50 HSA berturut-turut dicapai pada hari ke- 6, 6 dan 4 HSP. Menurut Sabari et al. (1989) menyatakan puncak klimakterik pisang Mas diperoleh pada 5 HSP, sedangkan Abdullah et al. (1990) menyatakan pisang Saba atau pisang Kepok mencapai puncak klimakterik pada 6 HSP.

(29)

15

Beberapa penelitian mengenai penentuan waktu berdasarkan konsep satuan panas telah banyak dilakukan. Hasil penelitian Tixier et al. (2009) pada pink banana (Musa spp., AAA group) menunjukkan suhu dasar 19.8 °C dan satuan panas untuk pisang Martinique 548°C hari. Menurut Umber et al. 2011 dengan menggunakan model regresi linier dapat memperkirakan satuan panas pada Musa AAA cv FlhorBan 916 (F916) dan FlhorBan 918 (F918) berturut-turut 680°C hari dengan suhu dasar 17°C dan 970°C hari dengan suhu dasar 13.9°C. Estiningtyas dan Irianto (1994) menyatakan akumulasi satuan panas pada kedelai dari saat tanam sampai dengan panen sebesar 1423.9-1784.9°C hari yang dicapai 79-111 HST, sedangkan akumulasi dari saat tanam hingga berbunga sebesar 708.6-750.3°C hari yang dicapai selama 37-55 HST. Syakur (2012) menyatakan bahwa satuan panas tanaman

tomat yang ditumbuhkan di dalam rumah tanaman (greenhouse) yaitu 1661°C hari

yang dicapai selama 97 HST. Konsep satuan panas memiliki tingkat keakuratan yang

lebih baik dibanding dengan penghitungan umur panen dari saat tanam dalam hal pendekatan suhu yang mewakili di lapangan. Banyak faktor agroklimat yang tidak diperhitungkan dalam penentuan satuan panas ini.

Beberapa umur panen menunjukkan proses perubahan warna kuning pisang yang tidak seragam dalam satu sisiran buah (Gambar 6). Perubahan warna selama pemasakan terjadi akibat degradasi klorofil sehingga memunculkan pigmen karotenoid. Menurut Winarno dan Wirakartakusumah (1979) perombakan klorofil terjadi segera setelah puncak klimakterik tercapai. Mitra (1997) menyatakan bahwa laju degradasi klorofil pada pisang meningkat seiring dengan peningkatan suhu. Degradasi klorofil maksimal terjadi pada suhu 22°C (60% per hari dan setelah dua hari warna hijau sedikit), dan degradasi klorofil sangat rendah pada suhu di bawah 15°C dan diatas 40°C.

Gambar 6 Keragaman dalam proses pemasakan pisang Mas Kirana, A: umur panen 40 HSA, B: umur panen 50 HSA

(30)

16

Gambar 7 Tingkat kematangan pada beberapa umur panen, A: umur panen 35 HSA, B: umur panen 40 HSA, C: umur panen 45 HSA, D: umur panen 50 HSA

Menurut Pantastico (1986) dan Robinson (1999) tingkat kematangan yang sama pada beberapa umur panen dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, faktor pra-panen seperti pemupukan, penyemprotan bahan kimia, pengaruh iklim, cara bercocok tanaman, pemberian irigasi, jumlah daun, kesuburan tanah dan tingkat kematangan panen. Menurut Suketi et al. (2010) buah pepaya yang dipanen pada jumlah hari setelah antesis berbeda, ada yang menunjukkan keragaan warna kulit buah yang sama dan diduga mempunyai tingkat kematangan buah yang sama.

(31)

17

Karakteristik Mutu Fisik

Perubahan pada fisik buah terjadi selama proses pematangan buah. Kualitas fisik yang diamati antara lain, susut bobot, kekerasan kulit dan daging buah dan bagian buah dapat dimakan (Tabel 2)

Tabel 2 Kualitas fisik pisang Mas Kirana pada skala warna 6 Umur

a Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil

yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Pertambahan tingkat kematangan buah pada umumnya diikuti dengan proses pelunakan kulit dan daging buah. Semakin tinggi angka kekerasan kulit dan daging buah pada penetrometer menunjukkan bahwa buah tersebut semakin lunak. Perlakuan umur panen pada pisang Mas Kirana memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kekerasan kulit dan daging buah. Tingkat kekerasan kulit buah yang lunak diperoleh pada umur panen 40 HSA sebesar 12.6 mm/g/detikdan tingkat kekerasan yang tinggi atau keras diperoleh pada pemanenan 55 HSA sebanyak 7.6 mm/g/detik. Menurut Charles dan Thung (1973) tekstur buah pisang bergantung pada beberapa faktor antara lain jenis varietas yang dibudidayakan, teknik budidaya dan prosedur pematangan.

Ketentuan umum standar mutu pisang mengikuti SNI pisang No. 7422:2009 (Lampiran 5) salah satunya adalah ketentuan minimum tekstur buah yang tidak terlalu lunak ataupun keras, serta bentuk yang padat (firm). Menurut Winarno dan Wirakartakusumah (1979) kriteria mutu fisik yang ideal bagi konsumen dapat diperoleh pada pemanenan 45 HSA karena tekstur buah tidak terlalu keras ataupun lunak dan bagian buah dapat dimakan cukup tinggi. Selama proses pematangan terjadi beberapa perubahan diantaranya kekerasan buah. Tingkat kekerasan buah dipengaruhi oleh perubahan tekanan turgor yang disebabkan adanya perubahan komposisi dinding sel. Berdasarkan Palmer (1971); Smith et al. (1989) penurunan kekerasan atau kelunakan selama pemasakan berhubungan dengan dua atau tiga proses yakni 1) pemecahan karbohidrat menjadi gula sederhana, 2) pemecahan dinding sel atau penurunan kohesi pada lamela tengah akibat kelarutan substansi pektin sehingga ikatan kimia pada dinding sel mengalami perubahan, 3) migrasi air dari kulit ke daging buah sebagai hasil dari osmosis.

(32)

18

dipanen bersumber dari cadangan makanan pada buah. Hilangnya substrat dan air tersebut tidak dapat digantikan sehingga kerusakan mulai timbul.

Umur panen mempengaruhi persentase bagian buah dapat dimakan pada umur panen 50 HSA. Pada pemanenan 35 HSA diperoleh bagian buah dapat dimakan tertinggi sebesar 82.2% dengan susut bobot terendah sebesar 10.6%. Menurut Simmonds (1966) persentase bobot daging pisang pada awal perkembangan buah sangat rendah, sedangkan persentase bobot kulit sangat tinggi. Semakin matangnya pisang maka bobot daging pisang bertambah disertai sedikit demi sedikit pengurangan bobot kulitnya. Pengurangan ini disebabkan perubahan selulosa dan hemiselulosa dalam kulit menjadi zat pati selama proses pematangan.

Penyakit pascapanen yang timbul setelah pisang Mas Kirana melewati skala warna 6 (over ripe) antara lain penyakit antraknosa dan crown rot pada Gambar 8. Menurut Laksmi (1989) penyakit pascapanen pada pisang dapat disebabkan infeksi mikroorganisme selama di lapangan atau lebih dikenal sebagai infeksi laten, pada saat tersebut gejala serangan belum terlihat, gejala terlihat setelah buah masak. Gejala penyakit antraknosa disebabkan oleh Colletotrichum musae yang ditandai dengan munculnya warna coklat muda berbentuk bulatan kecil di permukaan kulit buah dan bercak ini sedikit melekuk ke dalam (cekung), kemudian bulatan tersebut membesar dan membentuk areal serangan yang meluas. Sedangkan penyakit crown rot menyerang bonggol sisir buah yang disebabkan oleh Botryodiplodia theobromae yang menimbulkan luka warna hitam dan seringkali spora nampak terlihat putih mengumpul di bonggol sisir pisang.

Gambar 8 Penyakit pascapanen, A; Antraknosa, B; Crown Rot pada pisang Mas Kirana

Karakteristik Mutu Kimia

(33)

19

Tabel 4 Kualitas kimia pisang Mas Kirana pada skala warna 6 Umur

a Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil

yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. HSA = Hari setelah antesis, PTT = Padatan terlarut total, ATT = Asam tertitrasi total.

(34)

20

Hasil analisis mutu kimia yang diperoleh menunjukkan kandungan ATT, PTT dan vitamin C yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan deskripsi varietas pisang Mas Kirana yang dikeluarkan Kementan (2005) (Lampiran 4). Beberapa hal yang menjadi pertimbangan konsumen dalam mengonsumsi buah adalah mengenai kualitas rasa dan nilai gizi yang baik. Pisang Mas Kirana yang baik harus memiliki rasa yang manis dengan tingkat ATT rendah, pisang dengan kriteria tersebut dapat diperoleh pada pemanen 50 HSA dengan rasio PTT/ATT tertinggi mencapai 1.12.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Buah pisang Mas Kirana dapat dipanen pada 40-50 HSA dengan akumulasi satuan panas mencapai 576.5-725.5 oC hari dan masa simpan mencapai 9 HSP. Pemanenan pada 45 HSA menghasilkan masa simpan terlama hingga mencapai 9.9 HSP dan terpendek pada pemanenan 55 HSA mencapai 6 HSP. Perlakuan umur panen tidak mempengaruhi laju emisi CO2 selama penyimpanan, kandungan vitamin C dan padatan terlarut total, akan tetapi mempengaruhi kekerasan kulit dan daging buah, susut bobot, bagian buah dapat dimakan dan kandungan ATT.

Saran

(35)

21

DAFTAR PUSTAKA

[B2P2TP] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Teknologi budidaya pisang [Internet]. [diunduh 2014 Sep 15]. Tersedia pada: http://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/syarat-tumbuh-tanaman-pisang.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Produktivitas pisang Indonesia [Internet]. [diunduh 2014 Sep 15]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id.

[BPTP Jatim] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. 2011. Pembibitan, budidaya, pascapanen pisang Mas Kirana di Kabupaten Dampit, Kabupaten Malang [Internet]. [diunduh 2015 Jan 04]. Tersedia pada: http:// jatim.litbang.pertanian.go.id/index.php/berita.infoaktual/558/pembibitan budidaya-pasca-panen-pisang mas-kirana.

Abidin MIZ. 1990. Cultivation of Tropical Fruit. Kuala Lumpur (MY): HI-TECH ENTERPRISE.

Arista M. 2014. Penggunaan kalium permanganat sebagai oksidan etilen untuk memperpanjang daya simpan pisang raja bulu [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Cahyono B. 2009. Usaha Tani dan Penanganan Pascapanen Pisang. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Charles RJ, Tung MA. 1973. Physical, rheological and chemical properties of bananas during ripening. Journal Food Science. 38:456–459.

Crane JH, Balerdi CF, Maguire I. 2005. Banana growing in the florida home Landscape [Internet]. [diunduh 2014 Sep 20]. Tersedia pada: http://edis.ifas.ufl.edu or http://fruitscapes.ifas.ufl.edu.

[Ditjen Horti] Direktorat Jenderal Hortikultura. 2014. Produksi nasional buah pisang Indonesia [Internet]. [diunduh 2014 Sep 15]. Tersedia pada: http://hortikultura.deptan.go.id/.

Dufault RJ, Decoteau DR, Granberry DM, Perry KB. 1988. Determination of heat unit requirements for collard harvest in the southeastern united states. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 114(6):898- 903.

Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Foods. London (UK): Academic Press. hlm 124-133.

Estiningtyas W, Irianto G. Akumulasi satuan panas dalam budidaya tanaman kedelai di lombok nusa tenggara barat. Jurnal Agromet. 10(1): 8-14.

Etienne A, Génard M, Bancel D, Benoit S, Bugaud C. 2013a. A model approach revealed the relationship between banana pulp acidity and composition during growth and post harvest ripening. Scientia Horticulturae. 162:125–134. Etienne A, Génard M, Lobit P, Mbeguié-A-Mbéguié D, Bugaud C. 2013b. What

controls fleshy fruit acidity? A review of malate and citrate accumulation in fruit cells. Journal of Experimental Botany. 64:1451–1469.

Etienne A, Génard M, Bancel D, Benoita S, Lemirea G, Bugaud C. 2014. Citrate and malate accumulation in banana fruit (Musa sp. AA) is highly affected by genotype and fruit age, but not by cultural practices. Scientia Horticulturae. 169:99-110.

(36)

22

Handoko. 1994. Dasar Penyusunan dan Aplikasi Model Simulasi Komputer untuk Pertanian. Bogor (ID): Jurusan Geofisika dan Meteorologi, F-MIPA, Institut Pertanian Bogor.

Hassan A, Pantastico EB, Acedo AL, Dasuki IM, Kosiyachinda S. 1990. Physiological disorders of banana fruit. Di dalam: Hassan A, Pantastico EB, editor. Banana: Fruit Development, Postharvest Physiology, Handling and Marketing in ASEAN. Kuala Lumpur (MY): ASEAN Food Handling Bureau. hlm 85-103.

Hawker JS, Jenner DF. 1993. High temperature affects the activity of enzymes in committed pathways of starch synthesis in developing wheat endosperm. Aust. J. Plant Physiol. 20:197-209.

Jullien A, Chillet M, Malézieux E. 2008. Pre-harvest growth and development measured as accumulated degree days determine the post-harvest green–life of banana fruit. J Hort Sci and Bio. 83:506–512.

Kader AA. 1999. Fruit maturity ripening and quality relationships. Di dalam: Michalczuk L, editor. Proc. Int. Symp. on Pre- and Post Harvest Factors on Strorage of Fruit. Acta Hort 485 [Internet]; 1997 Agu 3-7; Warsaw, Polandia. Warsaw (PL): ISHS. hlm 203-207; [diunduh 2015 Sep 21]. Tersedia pada: http://ucce.ucdavis.edu/files/datastore/234-167.pdf.

Kader AA. 2008. Maturity and quality - banana ripening chart [Internet]. [diunduh 2014 Jan 22]. Tersedia pada: http://postharvest.ucdavis.edu/ Produce/ Produce Facts/Fruit/banana.html.

Kays SJ. 1991. Postharvest Physiology of Perishable Plant Products. New York (US): Van Nostrand Reinhold.

[Kemenristek] Kementerian Riset dan Teknologi. 2014. Pisang [Internet]. [diunduh 2014 Sep 18]. Tersedia pada: www.ristek.go.id.

Kitinoja L, Kader AA. 2002. Praktik-praktik penanganan pascapanen skala kecil: Manual untuk produk hortikultura Edisi ke-4. Utama IMS, penerjemah. Denpasar (ID): Universitas Udayana. Terjemahan dari: Small scale postharvest handling practices: A manual for horticultural crops (4th edition).

Laksmi DS. 1989. Pengepakan untuk ekspor. Di dalam: Sunarjono H, Ismiyati, Kusumo S, Wardah, editor. Produksi Pisang di Indonesia. Jakarta (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura.

Lizada MCC, Pantastico ErB, Shukor ARA, Sabari SD. 1990. Ripening of Banana. Di dalam: Hassan A, Pantastico EB, editor. Banana: Fruit Development, Postharvest Physiology, Handling and Marketing in ASEAN. Kuala Lumpur (MY): ASEAN Food Handling Bureau. hlm 65-66.

Matto AK, Murata T, Pantastico ErB, Chachin K, Phan CT. 1986. Perubahan-perubahan kimiawi selama pematangan dan penuaan. Didalam: Kamariyani, Tjitrosoepomo G, penerjemah; Pantastico ErB, editor. Fisiologi Pasca Panen dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Terjemahan dari: Postharvest Physiology, Handling and Utilization of Tropical and Sub-tropical Fruits and Vegetables. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press.

(37)

23

Mulyana E. 2011. Studi pembungkus bahan oksidator etilen dalam penyimpanan pascapanen pisang raja bulu (Musa sp. AAB Group) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Murata T. 1969. Physiological and biochemical studies on chilling injury in bananas. Physiologia Plantarum. 22: 401- 414.

Nakasone HY, Paull RE. 1999. Tropical Fruit. Oxon (UK): CAB International. Newley P, Akehurst A, Campbell B. 2008. Banana growing guide: Cavendish

bananas. New South Wales (AU): NSW Department of Primary Industries. Nguyen TBT, Saicho K. 2009. Physical and biochemical changes in cool-stored

ripening bananas of two different dessert cultivars. J. Sci. Dev. 7(2): 230-238. Palmer JK. 1971. The banana. DI dalam: Hulme AC, editor. The Biochemistry of

Fruit and Their Products. London (UK): Academic Press. hlm 65-115. Pantastico ErB. 1986. Faktor-faktor pra panen yang mempengaruhi mutu dan

fisiologi pasca panen. Didalam: Kamariyani, Tjitrosoepomo G, penerjemah; Pantastico ErB, editor. Fisiologi Pasca Panen dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Terjemahan dari: Postharvest Physiology, Hnadling and Utilization of Tropical and Sub-tropical Fruits and Vegetables. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press.

Pantastico ErB, Catthopadhyay TK, Subramanyam H. 1986. Penyimpanan dan operasi penyimpanan secara komersial. Didalam: Kamariyani, Tjitrosoepomo G, penerjemah; Pantastico ErB, editor. Fisiologi Pasca Panen dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Terjemahan dari: Postharvest Physiology, Handling and Utilization of Tropical and Sub-tropical Fruits and Vegetables. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press.

Perrier X, du Montcel T. 1990. Identification of genetic diversity in the genus Musa. Di dalam: Jarret RL, editor. Proceedings of an international workshop held at Los Banos; 1988 Sep 5-10; Los Banos, Filipina. Montpellier (FC): INIBAP. hlm 211.

Prabawati S, Suyanti, Dondy AS. 2011. Teknologi Pascapanen dan Teknik Pengolahan Buah Pisang. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.

Purwoko BS, Magdalena FS. 1999. Pengaruh perlakuan pasca panen dan suhu simpan terhadap daya simpan dan kualitas buah mangga (Mangifera indica L.) varietas arumanis. Bul. Agron. 27(1):16-24.

[PUSDATIN] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2014. Outlook komoditi pisang [Internet]. [diunduh 2015 Agu 25]. Tersedia pada: http:// pusdatin. setjen.pertanian.go.id/.

Rahayu MD, Widodo WD, Suketi K. 2014. Penentuan waktu panen pisang raja bulu berdasarkan evaluasi buah beberapa umur petik. J. Hort. Indonesia. 5(2): 65-72.

Robinson JC. 1999. Bananas and Plantains. Wallingford (UK): CAB International. Sabari, Syaifullah, Dasuki IM. 1989. Fisiologi Pascapanen. Di dalam: Sunarjono H, Ismiyati, Kusumo S, Wardah, editor. Produksi Pisang di Indonesia. Jakarta (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura.

Samson JA. 1980. Tropical Fruit. New York (USA): Longman Inc.

(38)

24

Sastrahidayat IR, Soemarno. 1991. Budidaya Berbagai Jenis Tanaman Tropika. Surabaya (ID). Universitas Brawijaya Pr.

Satuhu S. 1995. Teknik Pemeraman Buah. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Satuhu S, Supriyadi A. 1999. Budidaya Pengolahan dan Prospek Pasar Pisang. Yogyakarta (ID): Penebar Swadaya.

Simmonds NW. 1966. Bananas. Ed ke-2. London (UK): Longman.

Smith NJS, Tucker GA, Jeger J. 1990. Cell wall changes in bananas and plantains. Acta Hort. 269:283-290.

Sugistiawati. 2013. Studi penggunaan oksidan etilen dalam penyimpanan pascapanen pisang raja bulu (Musa sp. AAB Group) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Suketi K, Poerwanto R, Sujiprihati S, Sobir, Widodo WD. 2010. Karakter fisik dan kimia buah pepaya pada stadia kematangan berbeda. J. Agron. Indonesia. 38(1): 60-66.

Sunarjono H. 1989. Budidaya tanaman pisang. Di dalam: Sunarjono H, Ismiyati, Kusumo S, Wardah, editor. Produksi Pisang di Indonesia. Jakarta (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura.

Suseno N, Savitri E, Sapei L, Karsono, Padmawijaya S. 2013. Improving shelf-life of Cavendish banana using chitosan edible coating. Procedia Chemistry. 9(2014):113-120.

Sutowijoyo D, Widodo WD. 2013. Kriteria kematangan pascapanen pisang raja bulu dan pisang kepok. Di dalam: Kartika JG, Suwarno WB, Ardhie SW, Sanura CPE, Fitriana FN, editor. Membangun Sistem Baru Agribisnis Hortikultura Indonesia pada Era Pasar Global. Prosiding Seminar Ilmiah PERHORTI; 2014 Okt 9; Bogor, Indonesia (ID): Perhimpunan Hortikultura Indonesia (PERHORTI). hlm 21-26.

Syakur A. 2012. Pendekatan satuan panas (heat unit) untuk penentuan fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman tomat di dalam rumah tanaman (greenhouse). J. Agroland. 19 (2):96 – 101.

Tixier P, Salmon F, Bugaud C. 2010 Green-life of pink banana (Musa spp., cv. Figue Rose Raine): determination of the optimum harvesting date. J Hort Sci and Bio. 85(3):167–170.

Tushemerehe WK, Kashaija IN, Tinzaara W, Nankinga C, New S. 2001. Banana production manual: A guide to successful banana production in Uganda. Uganda (UG): National Agricultural Research Organization (NARO). Umber M, Paget B, Hubert O, Salas I, Salmon F, Jenny C, Chillet M, Bugaud C.

2011. Application of thermal sums concept to estimate the time to harvest new banana hybrids for export. Scientia Horticulturae. 129(2011):52-57. Wang JH. 1960. A critique of heat unit approach to plant response studies. Ecology.

41:785-790.

Wills RHH, Lee TH, Graham D, Mc. Glasson WB, Hall EG. 1989. Postharvest and Introduction to the Physiology and Handling of Fruit and Vegetables. New York (US): Van Nostrand Reinhold.

Winarno FG, Wirakartakusumah MA. 1979. Fisiologi Lepas Panen. Jakarta (ID): Sastra Hudaya.

(39)

25

Lampiran 1 Analisis sidik ragam kriteria kematangan pisang Mas Kirana pada beberapa umur panen

Variabel Sumber keragaman

Derajat bebas

Kuadrat

tengah F-hitung Pr>f Susut bobot Umur petik 4 26.46 20.41 < 0.0001

Galat 15 1.29

Total 19

Umur simpan Umur petik 4 9.17 8.27 0.001

Galat 15 1.11

Total 19

Kekerasan kulit buah

Umur petik 4 4.98 3.38 0.0369

Galat 15 1.48

Total 19

Kekerasan daging buah

Umur petik 4 81.69 22.11 <0.0001

Galat 15 3.69

Total 19

Edible part Umur petik 4 18.56 6.95 0.0023

Galat 12 2.67

Total 19

PTT Umur petik 4 3.89 2.55 0.0822

Galat 15 1.53

Total 19

ATT Umur petik 4 166.05 7.57 0.0015

Galat 15 21.93

Total 19

Vitamin C Umur petik 4 247.81 2.42 0.0942

Galat 15 102.43

Total 19

Laju Emisi CO2 Umur petik 4 7045.26 2.32 0.1042

Galat 15 3034.54

(40)

26

Lampiran 2 Proses inkubasi pisang Mas Kirana

(41)

27

Lampiran 4 Deskripsi varietas pisang Mas Kirana LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 516/Kpts/SR.120/12/2005

TANGGAL : 26 Desember 2005

DESKRIPSI PISANG MAS VARIETAS KIRANA

Asal : Desa Kandang Tepus, Kecamatan Senduro,

Kabupaten Lumajang, Propinsi Jawa Timur

Silsilah : seleksi rumpun

Golongan varietas : klon

Umur tanaman : 17 bulan

Umur berbunga (dari bibit anakan) : 8 – 10 bulan setelah tanam Umur panen (dari bibit anakan) : 12 – 14 bulan setelah tanam

Tinggi tanaman : 5 – 6 m

Bentuk batang : gilig (bulat-gilig)

Warna batang : coklat kehitaman

Warna pangkal batang : coklat kehitaman

Kedudukan batang : tegak

Lingkar batang : 60 – 70 cm

Lebar tajuk : 3 – 4 m

Jumlah daun : 7 – 10 helai

Bentuk daun : panjang pipih

Panjang daun : 1.5 – 2.5 m

Lebar daun : 60 – 70 cm

Sudut daun : 30°

Bentuk daun : panjang pipih

Warna daun bagian atas : hijau tua mengkilat Warna daun bagian bawah : hijau agak muda

Permukaan daun : berlilin

Warna ibu tulang daun : hijau

Ujung daun : tumpul

Tepi daun : rata, tidak berduri dan bergelombang, tepi daun berwarna coklat kehitaman

Susunan daun : berselang seling,

Penampang melintang tangkai

daun ke 3 : simetris bentuk membulat dan tepi ibu tulang daun terbuka

Bentuk bunga (jantung) : lonjong

Warna mahkota bunga : bagian luar merah tua kecoklatan, bagian dalam merah muda

Berat buah per tandan : 11 – 13 kg Jumlah anakan / rumpun : 1 – 3 anakan Jumlah sisir / tandan : 19.14 ± 4.37 Jumlah jari buah / sisir : 22 – 25 buah Penampang irisan buah : bulat (gilig)

(42)

28

Bentuk ujung buah : tumpul

Lingkar tandan : 60 – 70 cm Panjang tangkai tandan : 30 – 35 cm Lingkar tangkai tandan : 11 – 15 cm

Panjang buah : 9.55 ± 3.09 cm

Diameter buah : 3.06 ± 1.74 cm

Bobot per jari buah : 71.36 ± 8.44 g Panjang tangkai jari buah : 1 – 3 cm

Tebal kulit buah : 0.46 ± 6.78 mm Warna kulit buah mentah : hijau

Warna daging buah mentah : putih kekuningan Warna kulit buah matang : kuning bersih Warna daging buah matang optimal : kuning cerah

Aroma : tidak beraroma

Rasa buah matang optimal : manis Analisis kimiawi buah matang optimal

- Vitamin C : 3.905 mg / 100 g bahan

- Asam : 0.063 %

- Gula : 21 %

Hasil : 11 – 13 kg/tandan

Daya simpan suhu kamar : 5 – 6 hari setelah matang optimal (dari panen sampai matang optimal : 3 – 4 hari) Identitas Pohon Induk : tanaman milik Bapak Subandi Desa Kandang Tepus,

Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur dengan PIT No. : PI/PS/I/ JTM/79 nomor seri : 11.986 -12.119 tahun 2004 dan PIT No: PI/PS/1/JT/81 nomor seri: 12.150 – 12.179 tahun 2004

Keterangan : beradaptasi dengan baik di dataran sedang dengan ketinggian ± 600 m dpl dengan tekstur tanah lempung berpasir dengan regim kelembaban lembab.

(43)

29

Lampiran 5 Standar kualitas pisang berdasarkan SNI 7422:2009

PISANG 1 Ruang lingkup

Standar ini menetapkan ketentuan tentang mutu, ukuran, toleransi, penampilan, pengemasan, pelabelan, rekomendasi dan higienis pada buah pisang (Musa paradisiaca L.). Standar ini berlaku untuk varietas-varietas komersial dari pisang (Musa paradisiaca L.) famili Musaceae yang dipasarkan untuk konsumsi segar, setelah penanganan dan pengemasan. Pisang untuk kebutuhan industri/olahan tidak termasuk dalam standar ini.

2 Acuan normatif

SNI 7313:2008, Batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian.

CODEX STAN 1-1985, Adopted 1991, 1999, 2001, 2003, 2005 and 2008, Codex general standard for the labelling of prepackaged food.

CODEX STAN 228-2001, General methods of analysis for contaminants.

CAC/GL 21-1997, Principles for the establishment and application of microbiological criteria for food.

CAC/GL 50-2004, General guidelines on sampling.

CAC/RCP 1-1969, Rev.4-2003, Recommended international code of practice general principles of food hygiene.

CAC/RCP 44-1995, Amd.1-2004, Recommended international code of practice for packaging and transport of tropical fresh fruit and vegetables.

CAC/RCP 53-2003, Code of hygienic practice for fresh friuts and vegetables. OECD, 2005, Guidance on objective tests to determine quality of fruits and

vegetables and dry and dried produce.

Pedoman pengujian residu pestisida dalam hasil pertanian, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian, 2006.

3 Istilah dan definisi 3.1 Utuh

Buah sempurna tidak cacat (kecuali memar) yang mempengaruhi penampilan umum

3.2 Cacat

Kerusakan fisik pada buah

3.3 Cacat sangat kecil

Kerusakan fisik pada buah yang sangat sedikit sehingga tidak mempengaruhi mutu dan penampilan buah secara umum

3.4 Cacat kecil

Sedikit kerusakan fisik pada buah yang sedikit mempengaruhi mutu dan penampilan buah secara umum

3.5 Padat

Buah tidak memar akibat benturan

3.6 Tampilan segar

(44)

30

3.7 Layak konsumsi

Buah tidak busuk atau rusak

3.8 Bersih

Buah bebas dari kotoran dan benda asing lainnya

3.9 Bebas dari hama dan penyakit

Buah tidak terkontaminasi hama dan penyakit dan atau mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh hama dan penyakit

3.10 Bebas dari kerusakan akibat perubahan temperatur yang ekstrim

Buah bebas dari kerusakan akibat perubahan temperatur yang mencolok dalam penyimpanan

3.11 Bebas dari kelembaban eksternal yang abnormal

Buah bebas dari penyimpanan pada lingkungan yang mengalami perubahan kelembaban yang sangat tinggi yang dapat menyebabkan kerusakan fisik atau kimia buah

3.12 Bebas dari aroma dan rasa asing

Buah bebas dari aroma dan rasa selain khas pisang

3.13 Tingkat kematangan

Kondisi perkembangan fisiologis buah

3.14 Pistil

Sisa bagian bunga betina/bekas putik bunga yang masih melekat pada ujung buah

3.15 Pengkelasan

Penggolongan buah berdasarkan mutu dengan mempertimbangkan toleransi yang ditentukan

3.16 Kode ukuran

Penggolongan buah berdasarkan panjang jari buah

4 Ketentuan mengenai mutu 4.1 Ketentuan minimum

4.1.1 Untuk semua kelas buah pisang, ketentuan minimum yang harus dipenuhi adalah:

- buah utuh (berdasarkan kondisi buah tunggal); - padat (firm);

- sesuai dengan ciri varietas atau kultivar dalam hal: - kesegaran;

- bentuk; - warna; - rasa; - tekstur;

- bintik pada permukaan kulit buah,

- bersih, bebas dari benda-benda asing yang tampak; - bebas dari kerusakan fisik akibat goresan atau benturan; - bebas dari hama dan penyakit;

- dalam bentuk sisiran, bebas dari cendawan; - pistil sudah lepas;

- bebas dari kerusakan akibat perubahan temperatur;

(45)

31

- bebas dari aroma dan rasa asing.

4.1.2 Pisang dalam bentuk sisiran atau tandan harus memenuhi hal berikut:

- Batang tandan yang terbawa harus proporsional dan bebas kontaminasi hama dan penyakit.

- Bekas potongan bersih dan rapi.

4.1.3 Buah pisang harus dipetik secara hati-hati dan telah mencapai tingkat kematangan sesuai dengan kriteria ciri varietas dan atau jenis komersial dan lingkungan tumbuhnya. Tingkat kematangan panen dapat mendukung penanganan, pengangkutan dan distribusi buah sehingga dapat sampai ditujuan dalam kondisi yang diinginkan.

4.2 Pengkelasan

Pisang digolongkan dalam 3 kelas mutu, yaitu: - kelas super;

- kelas A; - kelas B.

4.2.1 Kelas super

Pisang bermutu paling baik (super) yaitu mencerminkan ciri varietas/tipe komersial, bebas dari kerusakan, kecuali kerusakan sangat kecil.

4.2.2 Kelas A

Pisang bermutu baik yaitu mencerminkan ciri varietas/tipe komersial,dengan kerusakan kecil yang diperbolehkan sebagai berikut:

- Penyimpangan pada bentuk dan warna buah, asal tidak mempengaruhi penampilan umum dan mutu.

- Kerusakan kulit buah seperti lecet dan goresan tidak lebih dari 5 % dari total permukaan.

- Seluruh kerusakan dan penyimpangan tidak mempengaruhi daging buah.

4.2.3 Kelas B

Pisang bermutu baik yaitu mencerminkan ciri varietas/tipe komersial dengan cacat yang diperbolehkan sebagai berikut:

- Penyimpangan pada bentuk dan warna, selama masih mempertahankan sifat-sifat varietasnya,

- Kerusakan kulit buah seperti goresan, memar, burik asalkan tidak melebihi 10 % dari total permukaan.

- Seluruh kerusakan dan penyimpangan tidak mempengaruhi daging buah.

5 Ketentuan mengenai ukuran

Kode ukuran ditentukan berdasarkan rata-rata panjang jari buah pisang yang terletak pada punggung sisir, dengan panjang minimum 5 cm.

Kode ukuran berdasarkan panjang jari buah

Kode Ukuran Panjang Jari Buah (cm)

1 ≥ 20.0

2 15.0 – 19.9

3 10.0 – 14.9

(46)

32

6 Ketentuan mengenai toleransi 6.1 Toleransi mutu

6.1.1 Kelas super

Batas toleransi mutu kelas super, yang diperkenankan tidak memenuhi ketentuan mutu, maksimum 5 % dari jumlah atau bobot pisang, tetapi masih termasuk dalam kelas A.

6.1.2 Kelas A

Batas toleransi mutu kelas A, yang diperkenankan tidak memenuhi ketentuan mutu, maksimum 10 % dari jumlah atau bobot pisang tetapi masih termasuk dalam kelas B.

6.1.3 Kelas B

Batas toleransi mutu kelas B, yang diperkenankan tidak memenuhi ketentuan mutu, maksimum 10 % dari jumlah atau bobot buah pisang tapi masih memenuhi persyaratan minimum.

6.2 Toleransi ukuran

Untuk semua kelas, batas toleransi ukuran yang diperbolehkan adalah 10 % di atas atau di bawah kisaran ukuran yang ditentukan.

7 Ketentuan mengenai penampilan 7.1 Keseragaman

Isi setiap kemasan pisang harus seragam dan berasal dari kawasan, kelas mutu dan ukuran yang sama. Untuk kelas super, warna dan kematangan harus seragam. Pisang yang tampak dari kemasan atau yang curah harus mencerminkan keseluruhan isi.

7.2 Pengemasan

Pisang harus dikemas dengan cara yang dapat melindungi buah dengan baik. Bahan yang digunakan di dalam kemasan harus bersih dan memiliki mutu yang cukup untuk mencegah kerusakan eksternal maupun internal buah. Penggunaan bahan-bahan terutama kertas atau label spesifik buah yang dicetak masih dimungkinkan dengan menggunakan tinta atau lem yang tidak beracun. Pisang dikemas dalam kontainer sesuai dengan rekomendasi internasional untuk pengemasan dan pengangkutan buah dan sayuran segar (CAC/RCP 44- 1995, Amd.1-2004). Kemasan harus memenuhi syarat mutu, higienis, ventilasi, dan ketahanan untuk menjamin kesesuaian penanganan, transportasi dan distribusi agar mutu tetap terjaga. Kemasan harus bebas dari bahan dan aroma asing.

7.3 Penyajian

- Pisang dapat disajikan dalam bentuk sisir atau bagian dari sisir.

- Apabila disajikan dalam bentuk sisir, buah yang hilang maksimum 2 jari.

8 Penandaan dan pelabelan 8.1 Kemasan konsumen

Gambar

Gambar 1  Proses persiapan buah; A: pencucian buah menggunakan Natrium
Gambar 3  Indeks skala warna pisang Mas Kirana pada beberapa tingkat
Gambar 4  Kondisi suhu udara di lingkungan selama masa generatif
Gambar 5  Laju emisi CO2 harian pisang Mas Kirana pada beberapa umur simpan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Laju respirasi buah pisang dengan umur petik 68 dan 73 HSA pada awal penyimpanan belum mencapai titik terendahnya dapat disebabkan buah tersebut belum mencapai

Berdasarkan penelitian yang dilakukan perlakuan KMnO 4 sebagai bahan oksidator etilen tidak berpengaruh nyata terhadap umur simpan Pisang Mas, indeks skala warna