• Tidak ada hasil yang ditemukan

MIKROPROPAGASI PISANG MAS KIRANA (Musa acuminata L) MEMANFAATKAN BAP DAN NAA SECARA IN-VITRO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MIKROPROPAGASI PISANG MAS KIRANA (Musa acuminata L) MEMANFAATKAN BAP DAN NAA SECARA IN-VITRO"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN: 2087-7706

MIKROPROPAGASI PISANG MAS KIRANA (Musa acuminata L)

MEMANFAATKAN BAP DAN NAA SECARA IN-VITRO

In-Vitro Micropropagation of Banana cv. Mas Kirana

(Musa acuminata L) Utilizing BAP and NAA

KASUTJIANINGATI1), DIRVAMENA BOER2)

1Departemen Produksi Pertanian, Politeknik Negeri JemberJl Mastrip PoBox 164. Jember

2) Jurusan Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari

ABSTRACT

The aim of this research was to study the effects of cytokinine and auxin (BAP and NAA) on micropropagation of banana cv Mas Kirana (AA). The experiment used completely randomized design, with a single factor of multiplication media, consisted of 4 media i.e. MS + BAP 4 ppm, MS + BA 6 ppm, MS + BAP 4 ppm + NAA 0,1 ppm, MS + BA 6 ppm + 0.1 ppm. The experiment treatment of BAP 4 ppm produced the highest shoot number (100% small bud). The best shoot of Mas Kirana morphogenesis produced when the shoots sub-cultured in media MS0. The treatment 4 ppm BAP after sub-cultured at MS0 produced big plantlet ready to acclimatization for up to 43% (9 plantlets).

Key words: BAP, NAA, morphogenesis, big plantlet

1

PENDAHULUAN

Pisang dan plantain (Musa spp) merupakan komoditas buah-buahan prioritas disamping jeruk, mangga, manggis, nenas, pepaya dan durian dengan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan komoditas buah lainnya yaitu sebesar 6.373.533 ton pada tahun 2009 (BPS, 2010). Pisang juga merupakan komoditas buah tropika yang dicanangkan oleh Kementrian Riset dan Teknologi untuk dikembangkan di Indonesia. Penetapan komoditas tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa pisang merupakan komoditas berorientasi kerakyatan yang mampu menjadi leverage factor bagi peningkatan kesejahteraan petani. Pisang sebagai produk ekspor secara segar, kualitas produk masih perlu ditingkatkan untuk memenuhi standar konsumen, agar diterima luas di pasar domestik, dan memiliki potensi di pasar dunia.

Kabupaten Lumajang Jawa Timur merupakan salah satu wilayah yang

*) Alamat Korespondensi:

Email: kasutjianingati@yahoo.com

mempunyai keragaman plasma nutfah pisang, di daerah tersebut memiliki lebih 33 plasma nutfah pisang yang terdiri atas berbagai pisang buah meja dan pisang olahan. Salah satu kultivar unggul pisang di Kabupaten Lumajang adalah Mas Kirana (Musa

acuminata) sebagai buah konsumsi segar.

Pisang Mas Kirana tersebut tumbuh pada ketinggian 450 – 650 m dpl. Pemerintah pusat melalui Menteri Pertanian sudah mengeluarkan keputusan dengan Nomor: 516/Kpts/SR.120/12/2005 menyatakan bahwa pisang Mas Kirana merupakan varitas unggul Kabupaten Lumajang dan sudah disertifikasi.

Varitas Mas Kirana tersebut mempunyai beberapa keunggulan, antara lain ukuran buah termasuk sangat sesuai tidak terlalu besar untuk konsumsi setelah makan. Hal tersebut menyebabkan buah pisang Mas Kirana menjadi pilihan bagi para pengelola catering, restoran maupun hotel. Warna buah kuning keemasan sangat menarik, rasa buah manis dan segar, tekstur renyah (Prahardini et al., 2010). Pisang Mas Kirana bukan saja telah beredar di kota-kota besar di Indonesia tetapi

(2)

mulai merambah manca negara (Singapura dan Hongkong).

Permasalah dalam budidayanya, secara genetis pisang Mas Kirana mempunyai anakan yang relatif sedikit, 2-3 anakan per rumpun (Prahardini et al., 2010). Hal ini merupakan kendala utama bagi penyediaan bibit berupa anakan untuk perluasan pengembangan tanaman di lapangan.

Perbanyakan Pisang Mas melalui pembiakan mikro (kultur jaringan) adalah merupakan alternatif yang terbaik (George dan Sherrington, 1988; Zaffari et al., 2000; Hirimburegama dan Gamage 1997). Berdasar hasil penelitian Kasutjianingati (2010) pisang hasil kultur jaringan menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang cukup baik. Bibit hasil kultur jaringan memperlihatkan pertumbuhan lebih cepat, perakarannya lebih baik (70%) dan leaf area

lebih besar (99%) bila dibanding konvensional, selain itu tanaman lebih cepat membentuk anakan dan jumlahnya lebih banyak.

Komposisi media dan ratio zat pengatur tumbuh (ZPT) dalam kultur jaringan memegang peranan sangat penting. Rasio sitokinin dan auksin berpengaruh terhadap arah pertumbuhan jaringan tanaman dan pengendalian dominasi apikal. Rasio sitokinin dan auksin yang tinggi mendorong perkembangan kuncup dan rasio yang rendah mendukung dominasi apikal (Salisbury and Ross,1995; Weaver, 1972).

Sitokinin yang umum dipakai adalah BAP

(6-Benzyl amino purin) dan Kinetin (

6-furfurylaminopurine). Pada tanaman pisang

BAP merupakan sitokinin yang paling efektif untuk merangsang penggandaan tunas (Arinaitwe et al., 2000; Damasco dan Barba, 1985; Yusnita et al., 1997). Pemberian sitokinin antara 0.1 – 10 mg/l mampu menginduksi pembentukan tunas sesuai spesifikasi kultivar (Pieriek, 1981). Hasil penelitian Arinaitwe et al. (2000); Hirimburegama and Gamage (1997); Hutabarat (1977) menunjukkan rasio perbanyakan (jumlah tunas/eksplan) umumnya meningkat dengan makin meningkatnya konsentrasi BAP. NAA diberikan untuk mengimbangi BAP dalam mempengaruhi respon fisiologis sebagai pendorong perpanjangan sel dan

pembentukan akar yang penting saat morfogenesis planlet yang dihasilkan.

Penelitian ini bertujuan, mempelajari pengaruh beberapa taraf konsentrasi zat pengatur tumbuh eksogen (BAP dan NAA) terhadap kultivar pisang Mas Kirana serta pengaruh interaksinya terhadap multiplikasi, kualitas tunas dan kemampuan planlet untuk berakar. Sehingga tercapai tujuan untuk mendapat teknologi untuk memenuhi kebutuhan bibit pisang Mas Kirana dalam waktu singkat jumlah banyak. Sedangkan kegunaan dari hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan informasi untuk peneliti selanjutnya dan pihak yang membutuhkannya.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Politeknik Negeri Jember. Sebagai sumber bahan eksplan pada penelitian ini adalah bibit pisang swords leaf sukcer pisang Mas Kirana (AA) yang diperoleh langsung dari Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang. Media dasar proliferasi yang digunakan adalah medium MS (Murashige dan Skoog, 1962) yang diperkaya dengan 0.5 mg/l tiamin-HCL, 0.5 mg/l asam nikotinat, 0.5 mg/l piridoksin- HCL, 100 mg/l mio-inositol dan 30 g/l sukrosa. Sebagai bahan pemadat digunakan agar (7 gr/l). Zat pengatur tumbuh yang digunakan BAP (4 dan 6 ppm) dan NAA 0.1 ppm. Bahan sterilisasi eksplan meliputi, Bayclin (NaOCl), alkohol 70% dan aquades steril.

Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah laju multiplikasi eksplan (jumlah tunas yang layak, jumlah tunas kecil, jumlah nodul dan jumlah total tunas pada tahap multiplikasi), dan tahap pembesaran planlet. Kriteria peubah yang diamati, dibedakan berdasar mutu/ukuran tunas yaitu tunas kecil (bila tinggi planlet < 2 cm), tunas sedang (bila tinggi planlet 2 – 3 cm), dan tunas besar (bila tinggi planlet > 3 cm). Selain itu diamati pula kemampuan berakar eksplan diamati terhadap jumlah akar pada saat akan aklimatisasi

Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan sitokinin/BAP (4 dan 6 ppm) dan auksin NAA 0.1 ppm.Percobaan ini dilaksanakan dengan 20 ulangan setiap perlakuan. Satu unit eksperimen pada percobaan ini berupa satu

(3)

eksplan dalam setiap botol. Data yang diperoleh akan dianalisis ragam mengunakan program SAS.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Multiplikasi Tunas. Kultivar pisang Mas

Kirana yang dicoba memperlihatkan proliferasi pada medium perlakuan. Secara bertahap terjadi peningkatan jumlah tunas (multiplikasi) sesuai dengan tingkatan sub kultur. Pengamatan jumlah tunas dipisahkan antara jumlah tunas besar, tunas sedang dan tunas kecil. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh interaksi antara perlakuan BAP dan IAA secara statistik menunjukkan tidak beda nyata. Multiplikasi tunas dipengaruhi oleh pemberian perlakuan BAP.

Jaringan eksplan tidak akan berproliferasi tanpa induksi sitokinin dari luar (Pieriek, 1981; Arinaitwe et al., 2000). Pemberian sitokinin (BAP) mampu meningkatkan multiplikasi tunas (Tabel 1.). Hasil analisis ragam respon multiplikasi tunas terhadap perbedaan taraf konsentrasi antara BAP 4

ppm dan 6 ppm terhadap total tunas tidak menunjukan hasil beda nyata secara statistik. Perbedaan BAP 2 ppm ternyata belum mampu memberikan respon untuk mempengaruhi proliferasi sel secara nyata, terbukti dari hasil analisis pertumbuhan pertambahan jumlah tunas mulai dari subkultur 1 sampai subkultur ke 5 antara perlakuan BAP 4 ppm dan BAP6 menunjukkan tidak berbeda nyata, walaupun total tunas terus meningkat seiring dengan tingkatan sub kultur pada setiap perlakuan.

Aktivitas BAP yang ditambahkan pada media perlakuan dapat menjelaskan adanya perbedaan uptake rate atau respon dari jaringan eksplan dan adanya pengaruh akumulasi konsentrasi BAP pada jaringan eksplan mengikuti tahapan subkultur sehingga translokasi BAP mempengaruhi proses metabolisme pertumbuhan dan perkembangan tunas (Blakseley, 1991; Arinaitwe et al., 2000), juga level auksin dan sitokinin endogen dari eksplan (Barker dan Steward, 1962; Pierik, 1987; Zaffari et al., 2000; Wong, 1986).

Tabel 1. Pengaruh perlakuan ZPT (BAP dan NAA) terhadap multiplikasi jumlah tunas besar (JTB), tunas sedang (JTS) dan tunas kecil (JTK) pada berbagai sub kultur

Sub Kultur ZPT JTB JTS JTK S2 BAP4 ppm BAP 6 ppm BAP 4 + NAA 1 BAP6 + NAA 1 2.0a 1.0b 0.5b 0.2 b 1.0 a 1.0a 1.0a 0.8 a 0.6 b 2.2a 2.0 a 2.8 a S3 BAP4 ppm BAP 6 ppm BAP 4 + NAA 1 BAP6 + NAA 1 2.0 a 1.2 a 0.6 a 0.8 a 3.4 a 1.2 b 1.4 b 0.8 b 2.0 a 2.0 a 2.4 a 1.4 b S4 BAP4 ppm BAP 6 ppm BAP 4 + NAA 1 BAP6 + NAA 1 3.0 a 2.0 ab 1.0 b 1.0 b 3.0 a 1.0 b 1.0 b 0.8 b 9.2 a 9.2 a 5.8 b 3.8 b S5 BAP4 ppm BAP 6 ppm BAP 4 + NAA 1 BAP6 + NAA 1 2.0b 2.0 b 4.0a 2.0 b 3.0 a 1.0 b 0.8 b 0.8 b 9.4 a 6.6 b 6.6 b 6.5 b Keterangan:Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom, variabel untuk setiap subkultur

tidak berbeda nyata pada uji Duncan pada taraf α = 5% (Data ditransformasi menggunakan

' 0.5

yy ). S2 = Subkultur ke 2, S3 = sub kultur ke 3, S4 = Subkultur ke 4 dan S5 = sub

kultur ke 5

NAA diberikan untuk mengimbangi BAP dalam mempengaruhi respon fisiologis sebagai pendorong perpanjangan sel dan pembentukan akar yang penting saat morfogenesis planlet yang dihasilkan agar

mampu menghasilkan planlet vigor yang seimbang pertumbuhannya antara kesempurnaan organ bawah (akar) dan organ atas (daun). Hasil analisis pada Table 1, pada sub kultur yang terakhir (sub kultur 5)

(4)

walaupun dalam total tunas adanya penambahan NAA tidak mampu menunjukkan beda nyata tetapi mampu menurunkan jumlah tunas kecil dan meningkatkan pertumbuhan tunas kearah tunas besar dari 2 tunas besar di perlakuan BAP 4 ppm ke 4 tunas di perlakuan BAP 4 ppm + NAA 0.1 ppm, dari 14% meningkat menjadi 36%.

Mengamati pertambahan jumlah tunas pisang Mas Kirana antara subkultur yang dilakukan, total tunas konstan diperoleh sampai subkultur ke4 dan subkultur ke 5, dari satu tunas atau satu eksplan sampai dengan sub kultur ke 5 mampu menghasilkan 10 sampai 15 tunas/eksplan.

Morfogenesis Planlet Pisang Mas Kirana untuk Mencapai Vigor Siap Aklimatisasi Morfogenesis merupakan proses pembesaran tunas membentuk struktur organ tanaman (tinggi tanaman/batang, daun dan akar). Pada fase tersebut perlu diingat bahwa pilihan terbaik bukan pada perlakuan yang menghasilkan tunas terbanyak, tetapi pada rasio perbanyakan yang cukup tinggi dengan mutu tunas terbaik (kelayakan tunas) (Yusnita 2003; Kasutjianingati 2004).

Eksplan yang telah terinduksi bila disubkultur pada media M0 (tidak ada pengaruh sitokinin eksogen) maka proliferasi tunas akan yang mengarah pada pendewasaan jaringan dan terbentuk kesempurnaan tunas (tunas sedang dan tunas besar) tetapi apabila masih mendapat pengaruh sitokinin eksogen tunas berproliferasi membentuk tunas kecil-kecil dan banyak. Jaringan tanaman yang telah terinduksi sel-selnya akan berproliferasi atau akan mengalami determinasi, dan berkembang mengarah kepembentukan organ bergantung pada lingkungan baru (media subkultur berikutnya) tanpa sitokinin atau sitokinin rendah (Salisbury dan Ross 1995; Yusnita 2003).

Konsistensi atau kestabilan perolehan tunas ditingkat subkultur ditentukan oleh komposisi ZPT media yang digunakan. Umumnya makin meningkat frekuensi subkultur dengan konsentrasi ZPT sama, akan meningkatkan level ZPT pada eksplan. Level atau rasio sitokinin/auksin eksplan akan menentukan arah pertumbuhan dan perkembangan eksplan dan selanjutnya akan mempengaruhi total tunas. Tingginya total tunas yang dihasilkan akan menentukan mutu tunas (jumlah tunas besar, tunas sedang, tunas

kecil) (Kasutjianingati et al., 2010). Memenuhi keberhasilan morfogenesis planletpisang Mas Kiranamenjadi viabel(mampu diaklimatisasi) perlu penurunan level rasio sitokinin/auksin tunas untuk mengarahkan pertumbuhan regeneran dari fase pembelahan sel ke arah pembesaran dan pemanjangan sel, pemanjangan tunas. Tunas-tunas hasildari tahap multiplikasi disubkultur ke media lain yang mengandung sitokinin sangat rendah) atau tanpa sitokinin (MS0) sampai planlet mampu menyempurnakan kembali organ vegetatifnya,Hal ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan oleh Haq dan Dahot (2007) yang menyatakan bahwa morfogenesis tunas ke arah pertumbuhan tunas yang viabel dan vigor perlu perubahan komposisi media dan waktu pengkulturan media yang sesuai jenis pisang dan konsentrasi ZPT.

Tabel 2. Jumlah planlet pisang Mas Kirana siap aklimatisasi setelah tunas di subkultur ke MS0 selama 1 bulan

Ukuran

planlet Perlakuan planlet Jumlah

Kecil BAP4 ppm 5 a BAP6 ppm 3 ab BAP4 ppm+NAA 1 ppm 3 ab BAP6 ppm+NAA 1 ppm 1 b Sedang BAP4 ppm 7 a BAP6 ppm 6 a BAP4 ppm+NAA 1 ppm 5 a BAP6 ppm+NAA 1 ppm 3 a Besar BAP4 ppm 9 a BAP6 ppm 4 b BAP4 ppm+NAA 1 ppm 6 ab BAP6 ppm+NAA 1 ppm 2 b Keterangan:Angka-angka yang diikuti oleh huruf

yang sama pada kolom, variabel untuk setiap subkultur tidak berbeda nyata pada uji Duncan pada taraf α = 5% (Data ditransformasi menggunakan y' y0.5).

Hasil analisis ragam variabel planlet pisang Mas Kirana yang disubkultur kembali ke medium MS0 dari berbagai perlakuan komposisi media multiplikasi sebelumnya dapat dilihat di Tabel 2. Hasil menunjukkan bahwa total planlet berukuran besar (lebih dari 3 cm) diperoleh pada BAP yang lebih rendah yaitu BAP 4 ppm dibandingkan dengan perlakuan BAP 6 ppm. Jumlah planlet berukuran sedang tidak berbeda nyata dan planlet berukuran kecil teringgi masih di BAP 4 ppm. Dari hal tersebut disarankan untuk

(5)

kesempurnaan morfogenesis tunas untuk mencapai planlet vigor perlu dilakukan 2 kali subkultur ke media MS0 untuk meningkatkan jumlah kesempurnaan planlet vigor.

SIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut:

1. Media multiplikasi untuk mencapai total tunas tertinggi pisang Mas Kirana dicapai oleh perlakuan MS + BAP 4.

2. Jumlah tunas besar tertinggi pada subkultur ke 5 juga dicapai oleh perlakuan media multiplikasi MS + BAP 4 ppm. 3. Penambahan NAA 0.1 ppm pada media

MS+BAP 4 mampu meningkatkan jumlah tunas besar.

4. Jumlah planlet vigor tertinggi pada media morfogenesis (MS0) dicapai oleh tunas yang berasal dari multiplikasi pada media MS + BAP 4 (= 9 planlet besar), disusul oleh planlet dari perlakuan yang berasal dari media MS + BAP 4 + NAA 0.1 ppm (= 6 planlet besar).

DAFTAR PUSTAKA

Arinaitwe, G., P.R.Rubaihayo , M.J.S. Magambo. 2000. Proliferation rate effects of Cytokinins on Banana (Musa spp.) cultivars. Scientia Horticulture 86:13-21.

[BPS]. Biro Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia. Jakarta: Biro Pusat Statistik.

Barker WG, Steward FC. 1962. Growth and development of the banana plant. the growing regions of the vegetative shoot. Ann. Bot. 26: 386-411.

Blakseley D. 1991. Uptake and metabolism of 6-benzyladenine in shoot culture of Musa and

Rhododendron. Di dalam Inibap. Musarama. The international Bibliographic Abstracts Journal on Banana and Plantain. vol. 9, No 1-June 1996. INIBAP: Parc Scientifque Agropolis, Bat.73497 Montpelier Codex 5, France. hal 8.

Damasco DP, Barba RC. 1985. In vitro culture of Saba banana [Musa balbisiana cv Saba (BBB)]. Di dalam:Biotechnology in International Agricultural Research. Proceeding of the Inter-Center Seminar on International Agricultural Research Center (IARCs) and Biotechnology; Manila, Philippines 23-27 April 1984. Manila, Philippines. hlm 41-44.

George EF, Sherington PD. 1988. Plant propagation by Tissue Culture. ugonetic, Eversley. Basingstoke. Hants. England.

Haq,I., M.U. Dahot. 2007. Micro-Propagation Efficiency in Banana (Musa sp) under different immersion systems. Pakistan journal of Biological Sciences 10(5):726-733.

Hirimburegama K, Gamage N. 1997. Cultivar specificity with to in vitro micropropagation of

Musa spp (bananaandplantain). Journal of Hort Sci. 72 (2): 205-211.

Hutabarat SS. 1997. Respon beberapa Kultivar Pisang (Genom BB dan ABB) terhadap BAP dan IAA dalam Mikropropagasi [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Kasutjianingati. 2004. Pembiakan Mikro Berbagai Genotipe Pisang (Musa Spp) dan Potensi Bakteri Endofitik terhadap Layu Fusarium (Fusarium Oxysporum F. Sp. Cubense). (Tesis). Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kasutjianingati, Poerwanto R, Khumaida N, Efendi

D. 2010. Kemampuan pecah tunas dan kemampuan berbiak mother plant pisang Rajabulu (AAB) dan pisang Tanduk (AAB) dalam medium inisiasi in vitro. Agriplus. Vol 20, No.01.

Prahardini, Yuniarti, Amik Krismawati. 2010. Karakterisasi varietas unggul pisang Mas Kirana dan Agung Semeru di Kabupaten Lumajang. Bult. Plasma Nutfah. Vol. 16, No. 2.Pierik RLM, 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Pub. Dordrecht. 348 p.

Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan.Jilid 3. Lukman DR dan Sumarjono, penerjemah. ITB . Bandung.

Wong WC. 1986. In vitro propagation of banana (

Musa spp.): initiation, proliferation and development of shoot-tip cultures on defined media. Plant cell. Tissue and Organ Culture. 6: 156-166. Martinus Nijhoff publisher, Dordrecht. Netherlands

Yusnita, Edy A, Kurniawai D, Koeshendarto, Rugayah, Hapsoro D. 1997. Pembiakan in vitro

dan aklimatisasi planlet pisang Raja Sere. Agrotropika: volume II (1):6-12

Yusnita. 2003. Kultur Jaringan. Cara Memperbanyak Tanaman secara Efisien. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Zaffari GR, Kerbauy GB, Kraus JE, Romano EC. 2000. Hormonal and histological studies related

in vitro babana bud formation. plant Cell, Tissue and organ culture. 63: 187-192.

Gambar

Tabel 1.   Pengaruh perlakuan ZPT (BAP dan NAA) terhadap multiplikasi jumlah tunas besar (JTB), tunas  sedang (JTS) dan tunas kecil (JTK) pada berbagai sub kultur
Tabel 2.   Jumlah  planlet  pisang  Mas  Kirana  siap  aklimatisasi setelah tunas di subkultur ke  MS0 selama 1 bulan

Referensi

Dokumen terkait

biasa disebut dengan sistem informasi akuntansi memerlukan investasi yang tidak murah, tetapi ada keunggulan-keunggulan yang didapatkan dari pengunaan komputer,

Abd Kadir, Pembelajaran tematik.. konvensional namun yang diajarkan adalah pembelajaran tematik. Metode konvensional ditandai dengan ceramah yang diringi dengan

Faktor lain yang berperan dalam kegagalan praktik pemberian ASI ekskluisf pada penelitian ini dikarenakan subyek dengan pengetahuan rendah terkait dengan kandungan dan

Tidak terdapat pengaruh interaksi yang nyata dari perlakuan jarak tanam dan dosis pupuk NPK terhadap hasil rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun, biomassa tanaman,

Mahasiswa menganggap pelajaran kimia bagi seorang perawat adalah penting karena akan menjadi bekal untuk mempelajari pelajaran lainnya seperti fisiologi, kimia,

Hubungan Citra merek dengan keputusan pembelian diperkuat dalam jurnal penelitian yang telah dilakukan penelitian terdahulu yakni dalam jurnal Ian Antonius Ong, Sugiono

Dari berbagai penilaian umum yang ada di masyarakat mengenai tipe kepribadian beserta sikapnya yang cenderung tidak sesuai dengan teori yang telah dikemukakan

pembelajaran model experiential learning melibatkan pengalaman- pengalaman yang dimiliki peserta didik sehingga peserta didik dapat menuangkan semua pengalamannya ketika