• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Unit Pendidikan dan Penelitian Jonggol (UP3J)` milik Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara geografis UP3 Jonggol terletak antara 106,53oBT dan 06,53oLS dengan ketinggian 145 m diatas permukaan laut. UP3 Jonggol terletak secara administratif di desa Singasari, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor. Luas areal UP3 Jonggol sekitar 165 ha yang terdiri dari kandang, padang pastura, kantor, ruang kelas, laboratorium, gudang, rumah pegawai dan rumah pengunjung (guest house). Informasi mengenai curah hujan, kelembaban udara, dan suhu lingkungan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan Curah Hujan, Kelembaban Udara dan Suhu Lingkungan di UP3J Bulan Juli hingga Desember 2009

Kondisi Umum

Bulan

Juli Agustus September Oktober November Desember

Curah Hujan (mm) 34,5 0 66 167 307 257 Kelembaban 93,9 93,2 91,8 97 95 96 Suhu Max (oC) 32,8 33,5 34,9 29,2 33 33 Suhu Min (oC) 21 21,3 22 23 32 23

Sumber : Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (2009)

Tabel 2 Menunjukkan curah hujan mengalami peningkatan mulai bulan November dan Desember karena telah memasuki musim penghujan, dan curah tertinggi terjadi pada bulan November sebesar 307 mm. Suhu UP3 Jonggol pada siang hari relatif tinggi yaitu 32,8 hingga mencapai sekitar 33oC. Kelembaban udara juga relatif tinggi dengan kisaran 91,8 hingga 97 %. Keadaan lingkungan tersebut kurang mendukung bagi kelangsungan hidup domba secara efisien. Suhu dan kelembaban udara yang optimum bagi ternak untuk berproduksi di daerah tropis adalah 4-24 oC dengan kelembaban udara dibawah 75% (Yousef, 1985).

23

Gambar 9. Domba Penelitian yang sedang Digembalakan

Kondisi Kandang

Domba dipelihara menggunakan kandang koloni yang terbuat dari kayu beratapkan seng. Memilki panjang 18,15 m, tinggi 3,55 m, dan lebar 5,89 m, terdapat tempat pakan dan tidak memilki tempat minum, ini karena sistem pemeliharaan domba yang terdapat di Jonggol menggunakan sistem semi intensif sehingga domba dibiarkan merumput sendiri, kemudian pada sore hari domba kembali dikandangkan. Suhu dalam kandang pada siang hari sekitar 30-31oC. Kondisi didalam kandang cukup panas hal ini dikarenakan ventilasi yang kurang baik dan lantai kandang yang kotor disebabkan oleh feses dari domba yang sudah mengering sehingga membuat kondisi kandang semakin kurang nyaman untuk domba serta atap kandang yang terbuat dari seng. Domba digembalakan pukul 09.00-16.00 WIB. Hal ini dilakukan karena kandungan air sebelum pukul 09.00 WIB masih sangat tinggi di daerah tropis atau daerah khatulistiwa sehingga dapat menyebabkan penyakit bloat dan cacingan.

Kondisi Ternak

Kondisi ternak domba selama pemeliharaan tidak mengalami kendala yang cukup serius seperti terkena penyakit ataupun mengalami kematian. Konsentrat yang diberikan setiap hari selalu habis dikonsumsi oleh domba. Kendala yang dialami hanya kalung nomor identifikasi yang terlepas, dan kalung nomor yang terlepas segera langsung diganti sehingga memudahkan dalam pengamatan.

Kondisi Padang Rumput

Domba digembalakan di padang rumput dalam paddock-paddock yang ditumbuhi rumput Brachiaria humidicola, Brachiaria decumbens, Pennisetum

purpuroides, rumput liar, gulma, dan legum-legum seperti Leucaena leucecopala,

dan Gamal. Dalam penggembalaanya domba dirotasi penggembalaanya antar

24 persedian airnya. Luas areal yang ditumbuhi Brachiaria humidicola ±55 ha,

Brachiaria decumbens ±19 ha dan Pennisetum purpuroides ±2 ha selebihnya rumput

alam dan legum. Kondisi padang penggembalaan selama penelitian dalam keadaan kering karena suhu yang tinggi dan diikuti curah hujan yang rendah.

Areal penggembalaan hanya pada bagian flok Brachiaria Humidicola. Disekitar flok dikelilingi dengan pagar kawat untuk menjaga agar ternak lain tidak dapat masuk ke lokasi penelitian serta memudahkan dalam pengawasan. Selain itu, di dalam areal penggembalaan juga ditanami pohon-pohon besar yang berfungsi sebagai naungan bagi ternak domba saat siang hari.

Kondisi Komponen Karkas

Kondisi kompenen karkas seperti karkas, karkas kanan, daging setengah karkas, tulang setengah karkas, lemak setengah karkas didapatkan hasil yang tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) dengan masing-masing rataan persentase sebesar 35,77±0,70%; 38,01±1,11 %; 62,57±1,8 %; 27,24±2,06 %; 6,95±1,54 % sehingga kualitas daging yang didapatkan juga tidak berpengaruh nyata.

Pertumbuhan Domba

Pertumbuhan adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan bobot hidup, bentuk, dimensi linear dan komposisi tubuh, termasuk perubahan-perubahan komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ serta komponen-komponen kimia, terutama air, lemak, protein dan abu pada karkas (Soeparno, 2005).

Tabel 3. Rataan Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Harian Domba

Kelompok Domba

Bobot Badan Domba

PBBH (g/hari) Awal (kg) Akhir (kg)

Rataan Range Rataan Range Rataan Range Cepat Tumbuh n=3 17,67±4,04 13-20 20±3,46 16-22 121,31±13,28 113,64-136,64 Lambat Tumbuh n=3 13,33±1,53 12-15 14,33±1,53 13-16 76,00±0,00 76,92

Pertumbuhan mempunyai dua aspek, yang pertama diukur sebagai peningkatan berat per satuan waktu, yang kedua meliputi perubahan dalam bentuk dan komposisi akibat pertumbuhan diferensiasi bagian komponen tubuh (Berg dan

25 Butterfield, 1976). Kedua aspek tersebut sangat penting dalam proses produksi peternakan. Domba yang memiliki kecepatan pertumbuhan yang ekstrim memiliki potensi untuk lebih mengefiensikan produksi dikarenakan domba dengan pertumbuhan cepat ini dapat mengkonversikan pakan yang dikonsumsinya dengan lebih baik. Domba yang memiliki pertumbuhan yang cepat ini juga memiliki perbedaan yang dapat diamati melalui ukuran-ukuran tubuhnya seperti panjang badan, tinggi badan, lingkar dada, dalam dada, panjang muka dan lingkar moncong.

Seleksi penting dilakukan agar potensi genetik ini dapat lebih dikembangkan lagi. Seleksi merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk meningkatkan mutu genetik ternak. Seleksi yang dilakukan bisa dengan cara memilih ternak yang dipakai sebagai tetua atau memilih ternak yang akan dikawinkan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan domba lokal jantan dengan umur dibawah satu tahun (Io). Domba jantan tumbuh lebih cepat dan mempunyai bobot dewasa yang lebih besar, namun mempunyai kandungan lemak yang lebih rendah (Johnston, 1983).

Domba yang digunakan masih berusia dibawah satu tahun. Domba muda mencapai 75% bobot dewasa pada umur satu tahun dan 25% lagi enam bulan kemudian yaitu pada umur 18 bulan, dengan pakan sesuai dengan kebutuhannya. Pada tahun pertama, pertumbuhan sangat cepat terutama beberapa bulan setelah lahir, 50% dicapai pada tiga bulan pertama, 25% lagi pada tiga bulan kedua dan 25% berikutnya dicapai dalam enam bulan terakhir (Herman, 2003). Hal itu berarti akan lebih memudahkan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan dari domba karena 75% dari bobot domba dicapai pada umur satu tahun.

Domba yang masih berumur dibawah satu tahun berarti sedang berada didalam fase dipercepat. Hal ini seperti pernyataan Cole (1962) bahwa kurva pertumbuhan ternak dibagi menjadi tiga bagian yaitu fase dipercepat, titik infleksi dan fase diperlambat. Selama fase dipercepat (akselerasi) ukuran tubuh bertambah, sehingga perubahan yang terjadi akibat pertumbuhan baik pertambahan bobot badan maupun perubahan ukuran tubuh dari ternak. Apabila domba telah mencapai dewasa tubuh maka pertambahan bobot badan lebih didominasi oleh deposisi lemak. Pertumbuhan lemak pada awalnya lamban, segera diikuti oleh pertumbuhannya yang cepat, bahkan lebih cepat daripada keadaan kedua jaringan tadi. Fase ini disebut fase

26 Data mengenai pertumbuhan domba penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3. menujukkan bahwa domba jantan memiliki tingkat kecepatan pertumbuhan yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini domba jantan dibagi menjadi dua kelompok yaitu domba cepat tumbuh dan domba lambat tumbuh. Domba cepat tumbuh didefinisikan sebagai domba yang memiliki rata-rata PBBH lebih dari 110 g/hari, sedangkan domba lambat tumbuh didefinisikan sebagai domba yang memiliki rata-rata PBBH kurang dari 80 g/hari. Menurut Tarmidi (2004) domba dalam masa pertumbuhan memiliki PBBH berkisar antara 49,63 – 71,43 g/ekor/hari.

Sifat Fisik Daging Domba

Sifat fisik daging merupakan salah satu faktor yang dapat menggambarkan kualitas daging. Sifat fisik daging tersebut meliputi warna, nilai pH, susut masak, keempukan, kesan jus dan daya mengikat air oleh protein. Sementara itu, sifat fisik sendiri dipengaruhi oleh faktor antemortem dan postmortem (Soeparno, 2005).

Data sifat fisik daging domba dapat dilihat pada tabel 4 dan 5. Berdasarkan uji t hasil yang didapatkan bahwa tingkat kecepatan pertumbuhan yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap semua parameter kualitas daging domba.

Tabel 4. Data Rataan Sifat Fisik Daging Domba

No Parameter CT LT Rataan 1 pH 6,21 ± 0,05 6,16 ± 0,05 6,18 ± 0,05 2 DMA (% mg H2O) 24,62 ± 9,99 32,68 ± 1,60 28,44 ± 8,03 3 Susut masak (g) 34,94 ± 5,72 34,93 ± 7,27 34,93 ± 5,85 4 Keempukan(kg/cm2) 5,30 ± 0,56 5,42 ± 0,48 5,36 ± 0,47

Keterangan : CT = Cepat Tumbuh; LT = Lambat Tumbuh

Nilai pH Daging

Nilai rataan pH daging baik pada domba cepat tumbuh maupun lambat tumbuh adalah sama yaitu sebesar 6,18. Nilai pH daging lebih banyak ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun dalam otot (Buckle et al., 1987). Penimbunan asam laktat dan tercapainya pH ultimat daging tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat pemotongan (Soeparno, 2005).

27 Selanjutnya Soeparno (2005) menyatakan bahwa penurunan pH dalam otot

postmortem banyak ditentukan oleh laju glikolisis postmortem serta cadangan

glikogen otot dalam daging. Bila ternak yang akan dipotong mengalami cukup masa istirahat, maka cadangan glikogen dalam otot akan cukup tinggi (Lawrie, 2003).

Perlakuan terhadap ternak sebelum dipotong, seperti pemeliharaan dikandang individu yang memungkinkan ternak tidak banyak melakukan aktivitas, pemuasaan domba selama 16 jam atau lebih sebelum pemotongan dan usaha saat akan disembelih dapat mengurangi timbulnya stress pada ternak. Rataan nilai pH yang diperoleh pada kedua kelompok domba yaitu 6,18 yang berarti berada diatas pH ultimat daging yaitu 5,4-5,8. Hal ini dapat disebabkan salah satunya oleh proses

rigormortis yang belum tuntas. Menurut Lawrie (2003), pada sejumlah ternak dapat

dijumpai bahwa pH karkas atau daging hanya menurun sedikit selama beberapa jam pertama setelah pemotongan dan pada saat tercapainya kekakuan daging, pH tetap tinggi, yaitu antara 6,5–6,8. Kusumastuti (2006) menyatakan bahwa nilai pH dipengaruhi oleh stress sebelum pemotongan. Domba yang tenang saat dipotong mempunyai cadangan glikogen yang cukup untuk proses rigormortis, sedangkan domba yang stress kemungkinan menghasilkan pH daging ultimate yang lebih tinggi dikarenakan cadangan glikogen otot menjadi cepat habis.

Daya Mengikat Air

Hasil dari analisis menunjukkan bahwa kecepatan tumbuh tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap daya mengikat air dengan nilai rataan sebesar 28,44%. Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Damayanti (2003), rataan nilai daya mengikat air sebesar 31,68%. Kejadian ini diduga karena daya mengikat daging air berhubungan erat dengan pH daging, oleh karena pH daging yang diperoleh dalam penelitian ini tidak berbeda nyata maka daya mengikat air juga menunjukkan hasil yang tidak berbeda.

Nilai standar deviasi daya mengikat air sangat tinggi dapat dipengaruhi oleh pH dan jumlah ATP. Pada fase pre-rigor DMA masih relatif tinggi, tetapi secara bertahap menurun seiring dengan menurunnya nilai pH dan jumlah ATP jaringan otot (Muchtadi dan Sugiono, 1992). Kemungkinan juga disebabkan oleh tidak adanya perbedaan spesies, perlakuan pakan dan otot yang digunakan untuk pengujian. Faktor lain yang mengakibatkan perbedaan daya mengikat air diantara

28 otot, misalnya spesies, umur, dan fungsi otot serta pakan, transportasi, temperatur, kelembaban, penyimpanan dan preservasi, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskular (Soeparno, 2005).

Susut Masak

Hasil analisis menunjukkan bahwa kecepatan tumbuh tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap susut masak daging. Rataan susut masak untuk domba cepat dan lambat tumbuh yaitu 34,93%. Hal ini sejalan dengan Soeparno (2005) yang menyebutkan susut masak umumnya bervariasi antara 15%-40%. Berdasarkan pernyataan Soeparno (2005), daging domba dalam penelitian ini mempunyai kualitas yang baik dan layak untuk dikonsumsi karena rataan susut masaknya sebesar 34,93%.

Susut masak dapat dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi myofibril, ukuran dan berat sampel daging serta penampang lintang daging (Soeparno, 2005). Daya mengikat air berkorelasi negatif terhadap besarnya susut masak daging. Daging dengan daya mengikat air yang rendah akan lebih banyak mengeluarkan air sehingga penurunan bobot menjadi lebih besar selama perebusan. Menurut Shanks et al, (2002) besarnya susut masak dipengaruhi oleh banyaknya kerusakan membrane seluler, banyaknya air yang keluar dari daging, umur daging, degradasi protein dan kemampuan daging untuk mengikat air. Menurut Obuz et al, (2004) meningkatnya susut masak ada hubungannya dengan serat otot dan penyusutan kolagen. Banyak peneliti melaporkan bahwa peningkatan susut masak di dalam daging ada kaitan dengan kecepatan penurunan pH post-slaughter atau rendahnya nilai pH ultimat daging (Bulent et al., 2009).

Faktor-faktor yang mempengaruhi susut masak terdiri dari beberapa hal, seperti susut masak bisa meningkat dengan panjang serabut otot yang lebih pendek, pemasakan yang relatif lama akan menurunkan pengaruh panjang serabut otot terhadap susut masak. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar air daging, yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara otot. Daging dengan daya mengikat air yang rendah akan lebih banyak mengeluarkan air selama perebusan. Daging dengan susut masak yang lebih rendah

29 mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilagan nutrisi selama pemasakan lebih sedikit (Arnim, 1996).

Keempukan

Keempukan merupakan salah satu indikator dan faktor utama pertimbangan bagi konsumen dalam memilih daging yang berkualitas baik. Menurut Lawrie (2003) daya terima konsumen terhadap daging dipengaruhi oleh keempukan, juiciness, dan selera.

Hasil yang diperoleh untuk keempukan menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) dengan rataan untuk domba cepat tumbuh dan lambat tumbuh sebesar 5,36 kg/cm2. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian Damayanti (2003) yaitu rataan untuk domba cepat tumbuh dan lambat tumbuh 5,12 kg/cm2. Hal ini sesuai dengan Thatcher dan Gaunt (1992), yang melaporkan nilai

Warner Bratzler shear yang tidak berbeda nyata pada pertumbuhan yang berbeda.

Menurut Soeparno (2005), laju pertumbuhan ternak tidak berhubungan dengan perubahan profil enzim-enzim proteolitik dalam daging dan perbedaan laju pertumbuhan juga tidak berpengaruh terhadap perubahan enzim-enzim kateptik dalam daging, dimana keduan enzim tersebut akan berpengaruh terhadap keempukan daging.

Kriteria keempukan menurut Suryati dan Arief (2005) berdasarkan panelis yang terlatih menunjukkan bahwa daging sangat empuk memiliki daya putus WB (Warner Blatzer) < 4,15 kg/cm2, daging empuk 4,15 - < 5,86 kg/cm2, daging agak empuk 5,86 - < 7,86 kg/cm2, daging agak alot 7,56 - < 9,27 kg/cm2, daging alot 9,27 - < 10,97 kg/cm2, daging sangat alot = 10,97 kg/cm2. Jika merujuk pada Suryati dan Arief (2005) domba cepat tumbuh dan lambat tumbuh tidak mengalami perbedaan yaitu masuk kedalam kategori daging empuk, dikarenakan pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan nilai pH, daya mengikat air maupun umur ternak. Hal ini sesuai dengan Lawrie (2003) yang menyatakan bahwa keempukan daging berbeda pada nilai pH, daya mengikat air, dan umur yang berbeda.

Umur dalam kondisi tertentu tidak mempengaruhi keempukan daging yang dihasilkan. Ternak yang lebih tua namun mendapatkan ransum dengan nutrisi yang baik dan penanganan yang baik, dapat menghasilkan daging yang lebih empuk dibandingkan dengan daging yang dihasilkan dari ternak yang lebih muda namun

30 mendapatkan nutrisi dan penanganan yang buruk. Dengan nutrisi dan penanganan yang baik, maka otot dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga jumlah kolagen per satuan luas otot lebih kecil dibandingkan dengan otot dari ternak yang mendapat nutrisi yang kurang baik, dengan demikian daging yang dihasilkan lebih empuk (Aberle et al., 2001). Namun, umur domba dalam penelitian ini masih muda, yaitu di bawah satu tahun merupakan salah satu hal yang menyebabkan daging domba termasuk dalam kategori daging empuk.

Faktor penanganan domba sebelum dan sesudah pemotongan juga berpengaruh terhadap keempukan daging. Penanganan domba sebelum dipotong pada penelitian ini diantaranya adalah domba dikandangkan secara individu dan dengan luasan kandang yang terbatas sehingga domba tidak banyak melakukan aktivitas serta tidak terjadi agonistic dengan domba lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Aberle et al., 2001), domba yang dipelihara dalam kandang individu relatif sedikit melakukan aktivitas gerak dibandingkan dengan domba yang dipelihara secara koloni, begitu juga halnya dengan domba yang digembalakan setiap hari. Aktivitas gerak pada domba mampu meningkatkan kontraksi otot, terutama pada otot-otot rangka tulang gerak, sehingga keempukan daging berkurang.

Daging domba pada semua perlakuan dalam penelitian ini setelah dipotong dan dipisahkan dari non-karkas dilayukan dengan cara menggantung. Forrrest et al., (2001) menyatakan proses setelah domba dipotong sangat perlu mendapatkan perhatian, terutama penanganan karkas setelah dipisahkan dengan jeroan. Penanganan karkas domba setelah dipotong dapat berpengaruh terhadap keempukan daging domba. Pelayuan daging setelah dipotong mampu menurunkan daya putus Warner-Blatzler (WB), sehingga dapat meningkatkan keempukan daging.

Natasasmita (1987) menambahkan bahwa keempukan daging pada dasarnya dipengaruhi oleh perlakuan sebelum ternak dipotong (antemortem) dan perlakuan setelah ternak dipotong (postmortem). Adapun faktor yang termasuk dalam

antemortem adalah faktor genetik, fisiologi, pakan dan tatalaksana. Perlakuan postmortem yang mempengaruhi keempukan daging diantaranya lamanya waktu dan

temperatur penyimpanan setelah pemotongan (pelayuan, pendinginan dan pembekuan) dan cara pemasakan serta pemakaian zat pengempuk. Selain dari perlakuan ante dan postmortem, keempukan daging juga dipengaruhi oleh proses

31 pada saat pemotongan seperti cara menjatuhkan ternak ketika akan dipotong, gerakan ternak, pengeluaran darah dan cara penggantungan karkas.

Penampilan Umum Daging

Tabel 5. Data Rataan Penampilan Umum Daging

No Parameter CT LT Rataan

1 Warna Daging 1,00 ± 0,00 1,17 ± 0,41 1,17 ± 0,41

2 Warna Lemak 1,00 ± 0,00 1,17 ± 0,41 1,17 ± 0,41

3 Marbling 1,33 ± 0,58 1,33 ± 0,58 1,33 ± 0,58

4 Tebal Lemak (mm) 0,14 ± 0,05 0,13 ± 0,06 0,13 ± 0,05

Keterangan : CT = Cepat Tumbuh; LT = Lambat Tumbuh

Warna Daging

Warna daging adalah kesan total yang terlihat oleh mata dan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi ketika memandang. Menurut Aberle et al., (2001), warna merupakan kombinasi beberapa faktor yang dideteksi oleh mata. Warna daging merupakan faktor penting dalam penilaian kualitas daging. Data kualitas daging hasil yang diperoleh menunjukkan nilai yang tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) dengan rataan pada kedua kelompok domba yaitu 1,17 (pada tabel 5) yang berarti kecepatan pertumbuhan yang berbeda tidak mempengaruhi warna daging.

Warna daging dipengaruhi oleh genetik, pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, tingkat aktivitas otot, pH dan oksigen (Varnam dan Sutherland, 1995). Perbedaan warna daging disebabkan perbedaan konsentrasi mioglobin (Soeparno, 2005). Konsentrasi pigmen mioglobin tergantung pada jenis dan fungsi otot, umur, jenis kelamin, spesies dan bangsa ternak (Hutchings, 1999; Birch et al., 1977; Varnam dan Sutherland, 1995). Mioglobin adalah pigmen yang menentukan warna daging segar. Mioglobin bersifat larut dalam air dan larutan garam encer serta merupakan bagian dari protein sarkloplasma. Mioglobin adalah pigmen yang berwarna merah keunguan yang dapat mengalami perubahan akibat reaksi kimia (Muchtadi dan Sugiono, 1992).

Mioglobin adalah bentuk kimia urat daging terpenting yang berhubungan dengan warna daging segar. Dijelaskan bahwa walaupun hanya terdapat dipermukaan namun pigmen ini sangat penting menampilkan warna merah yang

32 disenangi konsumen. Warna merah cerah akan kelihatan dominan apabila rasio oksimioglobin dan mioglobin seimbang yang berarti kira-kira 84% dari total kedalaman penetrasi oksigen (Lawrie, 2003).

Warna Lemak

Warna lemak pada daging diperoleh hasil yang tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) dengan rataan pada kedua kelompok domba yaitu 1,17 yang berarti berwarna putih sangat sedikit kekuningan. Perlakuan domba pada penelitian ini yaitu domba cepat tumbuh dan lambat tumbuh, sehingga tidak mempengaruhi terhadap warna daging. Menurut Wytes dan Ramsey (1994), warna lemak cenderung lebih banyak dipengaruhi oleh pakan dan umur.

Domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah domba yang dipelihara secara semi intensif. Pakan yang diberikan adalah hijauan dan konsentrat. Domba yang diberi pakan hanya hijauan saja memungkinkan warna lemaknya menjadi lebih kuning. Hal ini dikarenakan warna lemak tersebut dipengaruhi oleh karoten yang terkandung didalam hijauan. Warna lemak yang lebih putih cenderung lebih disukai oleh konsumen dibandingkan dengan warna lemak yang kuning. Daging domba jantan lebih amis dan memiliki lemak yang berwarna putih, padat mudah mencair, dan membeku kembali (Muzarnis, 1982).

Lemak Marbling

Hasil dari pengukuran marbling dengan menggunakan Marbling Card Score diperoleh hasil yang tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) dengan rataan skor pada kedua kelompok domba yaitu 1,33 (pada tabel 5) yang berarti hanya terdapat sedikit perlemakan. Umur fisiologis domba yang digunakan masih muda (I0) sehingga lemak

marbling pada domba penelitian ini sedikit. Lemak marbling belum tumbuh pada

domba muda (Berg dan Butterfield, 1976). Marbling mempunyai kontribusi terhadap kekompakan atau kekerasan daging dingin. Marbling termasuk faktor yang ikut menentukan kualitas daging (Forest et al., 2001). Daging dingin yang lebih banyak mengandung marbling akan menjadi lebih kompak atau kenyal karena lemak

marbling tersebut akan memadat selama pendinginan.

Deposisi lemak marbling berbeda diantara spesies, diantara ternak, diantara umur ternak dan diantara otot. Umumnya, penurunan aktivitas otot akan meningkatkan deposisi lemak ke dalam jaringan otot (jika faktor lain misalnya nutrisi

33 mempunyai pengaruh yang konstan), sedangkan lemak intramuskular banyak dipengaruhi oleh faktor heritabilitas (Briskey dan Kauffman, 1971). Lemak marbling berlokasi didalam jaringan ikat perimiseal diantara fasikuli atau ikatan serabut otot (Soeparno,2005). Marbling mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap keempukan daging, karena marbling meleleh pada saat pemasakan dan pembebasannya selama pengunyahan bersama-sama dengan sebagian air bebas dari daging akan meningkatkan jus daging. Daging yang hampir tidak mengandung

marbling biasanya tampak lebih kering dan memiliki flavor yang kurang baik

daripada daging yang memiliki cukup marbling (Soeparno,2005).

Kondisi perlemakan karkas juga disesuaikan dengan keinginan konsumen. Berbeda dengan konsumen pasar khusus, konsumen pasar traditional lebih banyak

Dokumen terkait