• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUALITAS DAGING DOMBA LOKAL JANTAN DENGAN KECEPATAN TUMBUH BERBEDA YANG DIPELIHARA SECARA SEMI INTENSIF SKRIPSI FAJAR RAMADHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KUALITAS DAGING DOMBA LOKAL JANTAN DENGAN KECEPATAN TUMBUH BERBEDA YANG DIPELIHARA SECARA SEMI INTENSIF SKRIPSI FAJAR RAMADHAN"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

KUALITAS DAGING DOMBA LOKAL JANTAN DENGAN

KECEPATAN TUMBUH BERBEDA YANG DIPELIHARA

SECARA SEMI INTENSIF

SKRIPSI FAJAR RAMADHAN

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

(2)

RINGKASAN

Ramadhan, F. 2010. Kualitas Daging Domba Lokal Jantan dengan Kecepatan Tumbuh Berbeda yang Dipelihara Secara Semi Intensif. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pembimbing Utama :Ir. Sri Rahayu, M.Si

Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Moh. Yamin, M. Agr, Sc

Permintaan akan daging semakin meningkat seiring dengan membaiknya perekonomian masyarakat. Salah satu komoditi ternak yang mempunyai kontribusi untuk memenuhi kebutuhan daging nasional adalah domba. Domba yang berumur dibawah satu tahun (I0) yang ada di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol

(UP3J) koefisien keragamanya masih tinggi, salah satu cara untuk menyeragamkan variasi genetik yaitu dengan seleksi. Domba dengan pertumbuhan cepat secara ekonomis akan lebih menguntungkan karena mempunyai efisiensi konversi pakan yang lebih tinggi dan dapat mencapai bobot potong lebih cepat dibandingkan domba dengan pertumbuhan lambat.

Kemungkinan pengaruh negatif dari kecepatan pertumbuhan yang tinggi pada domba terhadap menurunnya kualitas daging adalah kandungan lemak yang tinggi. Masyarakat pada umumnya lebih menyukai daging dengan kandungan lemak yang rendah. Selain itu, perlemakan karkas pada domba juga dapat berhubungan dengan aroma daging yang dihasilkan. Peningkatan kandungan lemak akan meningkatkan aroma prengus dari daging dan akan berpengaruh pada penerimaan konsumen karena umumnya konsumen tidak menyukai aroma yang tinggi pada daging domba. Kualitas daging merupakan faktor penting yang mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap daging sehingga perlu diteliti kualitas daging domba lokal jantan dengan kecepatan pertumbuhan yang berbeda.

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kualitas daging domba lokal jantan yang memiliki kecepatan tumbuh berbeda dengan pemeliharaan secara semi intensif. Penelitian ini dilakukan di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) dan Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor pada bulan Juli hingga Desember 2009.

Sebanyak 6 ekor domba dengan umur dibawah 1 tahun (Io) dikelompokkan menjadi 2 yaitu domba cepat tumbuh dan domba lambat tumbuh yang masing-masing terdiri dari 3 ulangan. Peubah yang diamati yaitu nilai pH, daya mengikat air, keempukan, susut masak, warna daging, warna lemak, lemak marbling dan tebal lemak. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji t.

Hasil menunjukkan bahwa kecepatan pertumbuhan tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati (P > 0,05) yaitu nilai pH, daya mengikat air, keempukan, susut masak, warna daging, warna lemak, lemak marbling dan tebal lemak dengan rataan masing-masing sebesar 6,18; 28,44%; 34,93 g; 5,36 kg/cm2; 1,17; 1,17; 1,33 dan 0,13. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kecepatan pertumbuhan yang berbeda pada domba lokal jantan yang dipelihara secara semi intensif tidak mempengaruhi kualitas dagingnya.

(3)

ABSTRACT

Quality of Meat of Male Local Lamb Meat at Different Growth Rate, Raised Semi Intensively

Ramadhan, F; S. Rahayu and M. Yamin

Demand of meat increases every year. One of animal commodity which contribute to national meat demand is sheep. Sheep population in Indonesian has reached 10.471.991 heads with average population increase was about 6,56% per year. Performance of local sheep are still varied, and one way to reduce the genetic variety is by selection. The selection will get the result of fast growing sheep and slow growing sheep. Increase in growth however, can decrease meat quality, especially fat content dan tenderness. The aims of this research is to study meat quality in fast growing and slow growing sheep. The meat sample was taken from Longisimus Dorsi and Semitendinosus meat. Meat quality observed from the sample included pH, water holding capacity, cooking loss, tenderness, meat color, fat color, marbling, and fat thickness. The results show that there were no significant defferences between fast growing sheep and slow growing sheep in the meat quality. It is concluded that fast growing sheep did not decrease meat quality, a desirable finding.

(4)

KUALITAS DAGING DOMBA LOKAL JANTAN DENGAN

KECEPATAN TUMBUH BERBEDA YANG DIPELIHARA

SECARA SEMI INTENSIF

FAJAR RAMADHAN D14062117

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan

pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

(5)

Judul Skripsi : Kualitas Daging Daging Domba Lokal Jantan dengan Kecepatan Tumbuh Berbeda yang Dipelihara Secara Semi Intensif

Nama : Fajar Ramadhan NIM : D14062117

Menyetujui, Pembimbing Utama,

(Ir. Sri Rahayu, M.Si.) NIP. 19570611 198703 2 001

Pembimbing Anggota,

(Dr. Ir. Moh.Yamin, M.Agr.Sc.) NIP.19630928 198803 1 002

Mengetahui: Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc.) NIP. 19591212 198603 1 004

(6)

v

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang, Banten pada tanggal 16 April 1989 dari ayah yang bernama H. Bunyamin Sayutie dan ibu bernama Hj. Siti Jubaedah. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara.

Pendidikan taman kanak-kanak diselesaikan pada tahun 1995 di TK Islam Nur Attaqwa, Tangerang, Banten. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2001 di SD Islamic Village, Tangerang, Banten. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SLTP Insan Kamil, Bogor. Pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMA Insan Kamil, Bogor.

Penulis melanjutkan pendidikan pada jenjang perguruan tinggi pada tahun 2006 dengan terdaftar sebagai Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif sebagai anggota dalam organisasi Music Agriculture X-Pression!!! dari tahun 2007 hingga tahun 2008. Selain itu pada tahun 2007 penulis aktif sebagai anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan (BEM-D) hingga tahun 2008 dan pada tahun 2008 penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Produksi Peternakan (HIMAPROTER) hingga tahun 2009, Kepanitiaan D’Farm Festival 2008, dan D’Satay 2009.

(7)

vi

KATA PENGANTAR Bismillaahirrohmaanirrohiim

Alhamdulillahi Robbil Alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia yang diberikan-Nya sehingga penulisan skripsi dengan judul Kualitas Daging Domba Lokal Jantan dengan Kecepatan Tumbuh Berbeda yang Dipelihara Secara Semi Intensif dapat diselesaikan tepat waktu dan tidak lupa pula Sholawat serta Salam penulis hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Penelitian ini dilakukan karena sifat fisik daging merupakan faktor yang menentukan dalam penilaian kualitas daging oleh konsumen. Beberapa sifat fisik daging yang dapat menentukan kualitas daging adalah nilai pH, daya mengikat air, susut masak dan keempukan. Kecepatan pertumbuhan yang tinggi pada domba dikhawatirkan akan menghasilkan lemak yang berlebih pada karkas. Masyarakat pada umumnya lebih menyukai daging dengan kandungan lemak yang rendah.

Penulis berharap dengan penulisan skripsi ini, informasi mengenai kualitas daging domba lokal jantan dengan kecepatan pertumbuhan berbeda dapat diperoleh dengan jelas. Selain itu, penulis juga berharap dengan penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membaca dan bagi perkembangan peternakan Indonesia.

Bogor, Oktober 2010

Penulis

(8)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2 Manfaat ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Klasifikasi Ternak Domba ... 3

Domba Lokal ... 3

Pertumbuhan Domba ... 3

Penggemukan Domba ... 4

Seleksi ... 5

Daging Domba ... 5

Sifat Fisik Daging ... 6

Nilai pH Daging ... 7

Daya Mengikat Air ... 8

Susut Masak Daging ... 9

Keempukan Daging ... 9

Penampilan Umum Daging ... 10

Warna Daging ... 10

Warna Lemak ... 11

Lemak Marbling ... 11

Tebal Lemak ... 12

Mekanisme Hubungan Pola Pertumbuhan Domba dengan Produksi dan Kualitas Karkas ... 12

MATERI DAN METODE ... 15

Lokasi dan Waktu ... 15

Materi ... 15

Ternak dan Pakan ... 15

Kandang ... 16

(9)

viii

Pemberian Obat Cacing ... 16

Prosedur ... 16

Penentuan Sampel Penelitian ... 16

Pemotongan Domba ... 16

Peubah yang Diamati ... 17

Nilai pH Daging ... 17

Daya Mengikat Air ... 17

Susut Masak ... 18 Keempukan ... 19 Warna Daging ... 19 Warna Lemak ... 20 Lemak Marbling ... 20 Tebal Lemak ... 21 Rancangan Percobaan ... 21 Perlakuan ... 21 Analisis ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

Keadaan Umum Penelitian ... 22

Kondisi Kandang ... 23

Kondisi Ternak ... 23

Kondisi Padang Rumput ... 23

Kondisi Komponen Karkas ... 24

Pertumbuhan Domba... 24

Sifat Fisik Daging Domba ... 26

Nilai pH Daging ... 26

Daya Mengikat Air ... 27

Susut Masak ... 28

Keempukan ... 29

Penampilan Umum Daging ... 31

Warna Daging ... 31

Warna Lemak ... 32

Lemak Marbling ... 32

Tebal Lemak ... 33

KESIMPULAN DAN SARAN ... 35

Kesimpulan ... 35

Saran ... 35

UCAPAN TERIMAKASIH ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 38

(10)

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kandungan Nutrisi Konsentrat dan Rumput B. humidicola ... 15

2. Rataan Curah Hujan, Kelembaban Udara dan Suhu Lingkungan ... 22

3. Rataan Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Harian Domba ... 24

4. Data Rataan Sifat Fisik Daging Domba ... 26

(11)

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Mekanisme Hubungan Pola Pertumbuhan Domba dengan Produksi dan

Kualitas Karkas ... 14

2. Domba Cepat Tumbuh dan Domba Lambat Tumbuh ... 15

3. ph Meter dan Larutan Buffer pH 4 & 7... 17

4. Alat Pengujian Daya Mengikat Air (Carper press) dan Kertas Saring ... 18

5. Selongsong untuk Core, Daging yang telah di Lubangi, Warner Blatzer .. 19

6. Meat Colour Card Score ... 19

7. Fat Colour Card Score... 20

8. Marbling Card Score ... 20

(12)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Analisis Uji t Nilai pH Daging ... 43

2. Hasil Analisis Uji t Daya Mengikat Air ... 43

3. Hasil Analisis Uji t Susut Masak ... 43

4. Hasil Analisis Uji t Keempukkan ... 44

5. Hasil Analisis Uji t Warna Daging... 44

6. Hasil Analisis Uji t Warna Lemak ... 45

7. Hasil Analisis Uji t Lemak Marbling ... 45

(13)

1

PENDAHULUAN Latar Belakang

Permintaan akan daging semakin meningkat tiap tahunnya seiring dengan membaiknya perekonomian masyarakat. Salah satu komoditi ternak yang mempunyai kontribusi untuk memenuhi kebutuhan daging nasional adalah domba. Populasi domba di Indonesia saat ini mencapai 10.471.991 ekor dengan rata-rata peningkatan populasi per tahun sebesar 6,56 % dan produksi daging sebesar 54.175 ton dan hanya mampu memenuhi kebutuhan daging 3,61 % per tahun (Ditjennak, 2009).

Domba yang berumur dibawah satu tahun (I0) yang ada di Unit Pendidikan

dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) koefisien keragamanya masih tinggi, salah satu cara untuk menyeragamkan variasi genetik yaitu dengan seleksi. Penyeleksian diharapkan dapat menghasilkan domba-domba lokal jantan unggul dalam pertumbuhannya. Penyeleksian dilakukan dengan cara melihat pertambahan bobot badan dari populasi domba lokal jantan yang dipelihara secara semi intensif. Seleksi ini akan didapatkan domba yang mempunyai kecepatan tumbuh berbeda yaitu domba cepat tumbuh dan domba lambat tumbuh. Domba dengan pertumbuhan cepat secara ekonomis akan lebih menguntungkan karena mempunyai efisiensi konversi pakan yang lebih tinggi dan dapat mencapai bobot potong lebih cepat dibandingkan domba dengan pertumbuhan lambat.

Diketahui juga kemungkinan pengaruh negatif dari kecepatan pertumbuhan yang tinggi pada domba terhadap menurunnya kualitas daging adalah kandungan lemak yang tinggi. Berdasarkan penelitian, domba dengan pertumbuhan lebih cepat mempunyai kecenderungan memiliki perlemakan yang lebih tinggi dibandingkan domba dengan pertumbuhan lebih lambat (Spedding, 1970). Selain itu, perlemakan karkas pada domba juga dapat berhubungan dengan aroma daging yang dihasilkan. Aroma prengus dari daging akan berpengaruh pada penerimaan konsumen karena umumnya konsumen tidak menyukai aroma yang tinggi pada daging domba (Cross dan Winger, 1988). Namun belum banyak diketahui pengaruh langsung kecepatan pertumbuhan terhadap kualitas daging dan pengaruhnya terhadap penerimaan konsumen.

(14)

2 Perlemakan merupakan salah satu kriteria kualitas daging. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh kecepatan pertumbuhan domba lokal jantan Indonesia terhadap kualitas dagingnya. Kualitas daging merupakan faktor penting yang mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap daging sehingga perlu diketahui kualitas daging dengan kecepatan pertumbuhan yang berbeda. Domba dengan kecepatan pertumbuhan yang lebih tinggi diharapkan mempunyai kualitas daging yang lebih baik dibandingkan domba yang pertumbuhannya lebih lambat.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan nilai pH, daya mengikat air, susut masak, keempukan, warna daging, warna lemak, lemak marbling dan tebal lemak dari daging domba yang memiliki pertumbuhan cepat dan domba yang memiliki pertumbuhan lambat dengan pemeliharaan secara semi intensif.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengaruh kecepatan pertumbuhan terhadap kualitas dari daging domba dan pentingnya seleksi dalam produksi domba agar didapatkan domba yang memiliki keunggulan didalam pertumbuhannya.

(15)

3

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ternak Domba

Menurut Blakely dan Bade (1998), domba termasuk ke dalam kingdom

Animalia/hewan, filum Chordata (hewan bertulang belakang), kelas Mamalia

(hewan menyusui), ordo Artiodactyla (hewan berkuku genap), famili Bovidae (hewan yang memamah biak), genus Ovis dan species Ovis aries (domba domestik). Gatenby (1986) melaporkan bahwa ada tiga bangsa domba di Indonesia yaitu domba Ekor Tipis (The Java Fat Tailed), Priangan dan domba Ekor Gemuk (East Java Fat Tailed). Inounu dan Dwiyanto (1996) mengemukakan bahwa terdapat dua tipe domba yang paling menonjol di Indonesia yaitu domba Ekor Tipis (DET) dan domba Ekor Gemuk (DEG) dengan perbedaan galur dari masing-masing tipe.

Domba Lokal

Domba Ekor tipis mempunyai karakteristik reproduksi yang spesifik, yang dipengaruhi oleh gen Prolifikasi dan dapat beranak sepanjang tahun (Subandriyo dan Djajanegara, 1996), namun menurut Mulliadi (1996) domba ini kurang produktif jika diusahakan secara komersial karena karkas yang dihasilkan sangat rendah (45-55% dari bobot hidup) dan pertumbuhannya lambat. Domba ekor tipis ini memiliki tubuh yang kecil, untuk domba jantan dewasa 15-20 kg, biasanya berwarna putih disertai belang hitam disekitar mata dan hidung. Pendapat lain menyatakan bahwa bobot potong badan dewasa mencapai 30-40 kg pada jantan dan betina 20-25 kg dengan presentase karkas 44-49 % (Tiesnamurti, 1992). Domba jantan memiliki tanduk sedangkan domba betina tidak memiliki tanduk. Sebagian besar domba Ekor Tipis (DET) ditemukan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan sedikit di Jawa Timur (Mason, 1980). Domba Ekor Tipis memiliki tubuh ramping, bercak hitam pada sekitar mata atau hidung, pola warna tubuh sangat beragam, kualitas wol yang rendah (kasar), serta ekor tipis, pendek dan tidak tampak timbunan lemak (Mulliadi, 1996).

Pertumbuhan Domba

Definisi pertumbuhan yang paling sederhana adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan bobot hidup, bentuk, dimensi linear, dan komposisi tubuh, termasuk perubahan-perubahan komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ serta komponen-komponen kimia, terutama air, lemak, protein dan

(16)

4 abu pada karkas (Soeparno, 2005). Pertumbuhan mempunyai dua aspek, yang pertama diukur sebagai peningkatan berat per satuan waktu, yang kedua meliputi perubahan dalam bentuk dan komposisi akibat pertumbuhan diferensiasi bagian komponen tubuh (Berg dan Butterfield, 1976).

Pertumbuhan bobot karkas segera setelah lahir mengandung proporsi daging yang tinggi, relatif banyak mengandung tulang, dan kadar lemak rendah. Menjelang bobot badan dewasa, proporsi urat daging dalam pertambahan bobot badan menurun sedikit, komponen tulang dari pertambahan bobot badan hampir tidak bertambah, dan proporsi lemak dalam pertambahan bobot badan tinggi dan terus meningkat. Pertumbuhan daging dan tulang tidak banyak (hampir-hampir seperti garis lurus). Karena urat daging tumbuh lebih cepat daripada tulang, maka jika hewan bertambah besar, perbandingan antara urat daging dan tulang menjadi lebih besar. Berlainan dengan urat daging dan tulang, pertumbuhan lemak pada awalnya lamban, segera diikuti oleh pertumbuhannya yang cepat, bahkan lebih cepat daripada keadaan kedua jaringan tadi. Fase ini disebut fase finish (Parakkasi, 1999).

Penggemukan Domba

Penggemukan merupakan cara pemberian pakan yang umum dilakukan pada domba dengan tujuan untuk meningkatan flavor, keempukan dan kualitas daging sesuai permintaan konsumen. Penggemukan umumnya dilakukan lewat pemberian pakan kaya energi, yaitu karbohidrat dan lemak, seperti dengan biji-bijian, dan umumnya dikombinasikan dengan rumput (Ensminger, 2002). Tujuan penggemukan adalah untuk memperbaiki kualitas karkas atau daging. Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas tersebut, salah satunya adalah deposit lemak dalam karkas (Parakkasi, 1999).

Yamin (2001) menjelaskan, domba digemari para petani sebagai usaha ternak komersial karena dinilai lebih ekonomis, relatif cepat, modal kecil serta lebih praktis. Ternak domba yang digemukkan biasanya bakalan domba lepas sapih yang berumur 8-12 bulan (masa tumbuh). Bakalan yang dipilih adalah domba kurus dan sehat. Kondisi masa pertumbuhan dan kondisi yang relatif kurus dari pasar cukup ideal untuk penggemukan domba yang berlangsung sekitar 2-3 bulan.

Penentuan waktu untuk mengakhiri program penggemukan karena sudah mencapai titik optimum merupakan sesuatu yang tidak mudah. Apabila titik tersebut

(17)

5 dapat ditentukan secara baik, maka pengusaha dapat mengurangi bahan-bahan makanan yang terbuang, mendapatkan karkas yang tidak banyak berlemak (leaner), dan mempercepat turn-over usaha. Yang menentukan lama penggemukan tersebut dilapangan adalah faktor ekonomi, diantaranya situasi persediaan pangan dan permintaan kualitas dari konsumen (Parakkasi, 1999).

Seleksi

Menurut Noor (2008), dari segi genetik, seleksi diartikan sebagai suatu tindakan untuk membiarkan ternak-ternak tertentu berproduksi, sedangkan ternak lainnya tidak diberi kesempatan berproduksi. Terdapat dua kekuatan yang menentukan apakah ternak-ternak pada generasi selanjutnya. Kedua kekuatan itu adalah seleksi alam dan seleksi buatan. Seleksi alam meliputi kekuatan-kekuatan alam yang menentukan ternak-ternak akan bereproduksi dan menghasilkan keturunan untuk melanjutkan proses reproduksi. Pada seleksi buatan, manusia menentukan ternak mana yang boleh bereproduksi. Ternak-ternak ini tidak dipilih berdasarkan daya adaptasinya terhadap lingkungan, tetapi berdasarkan keunggulannya. Hal itu disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan manusia. Seleksi akan meningkatkan frekuensi gen-gen yang diinginkan dan menurunkan frekuensi gen-gen yang tidak diinginkan.

Perbedaan yang dapat diamati pada ternak-ternak untuk berbagai sifat disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Kedua faktor ini berperan sangat penting dalam menentukan keunggulan suatu ternak. Ternak yang secara genetik unggul tidak akan menampilkan keunggulan optimal jika tidak didukung oleh faktor lingkungan yang baik pula. Sebaliknya, ternak yang memiliki mutu genetik rendah, meski masih didukung oleh lingkungan yang baik juga tidak akan menunjukkan produksi yang tinggi. Jadi, pada dasarnya ternak yang memiliki mutu genetik yang tinggi harus dipelihara pada lingkungan yang baik pula agar tersebut bisa menampilkan produksi secara maksimal (Noor, 2008).

Daging Domba

Menurut Lawrie (2003) daging adalah jaringan hewan yang dapat digunakan sebagai makanan, sering pula diperluas dengan memasukkan organ-organ seperti hati, ginjal, otot, dan jaringan lain yang dapat dimakan disamping urat daging. Otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan, karena fungsi fisiologisnya

(18)

6 telah berhenti. Otot merupakan komponen utama penyusun daging. Daging juga tersusun dari jaringan ikat, epitel, jaringan-jaringan syaraf, pembuluh darah dan lemak (Soeparno, 2005).

Muzarnis (1982) menyatakan bahwa kondisi daging dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain oleh umur ternak, pekerjaan ternak yang akan dipotong semasa hidupnya, makanan ternak dan bagian tubuh ternak tersebut. Menurut Soeparno (2005), perbedaan kandungan gizi daging dipengaruhi jenis kelamin, pakan, umur, jenis ternak, serta letak dan fungsi bagian dari daging tersebut didalam tubuh.

Daging domba dapat dibedakan berdasarkan berat, umur domba, jenis kelamin, dan tingkat perlemakan. Daging domba memiliki bobot jaringan muskuler atau urat daging yang berkisar 46% - 65% dari bobot karkas (Lawrie, 2003). Daging domba yang berkualitas baik memiliki ciri-ciri antara lain berwarna merah segar dengan serat yang halus, lemak berwarna kuning dan dagingnya keras (elastis). Tingkat keempukan daging domba dapat dipengaruhi oleh waktu pelayuan daging, pembekuan dan metode pemasakan. Daging domba memiliki kandungan gizi yang tidak jauh berbeda dengan daging sapi (Shahidi, 1998). Menurut Hasbullah (2004) kandungan protein daging domba sebesar 18,7 g dan daging sapi sebesar 18,8 g.

Daging domba dewasa (mutton) memiliki serat yang lebih halus dibandingkan dengan daging lainnya, jaringannya sangat rapat, berwarna merah muda, konsistensinya cukup tinggi, lemaknya terdapat dibawah kulit, yaitu antara otot dan kulit, daging sedikit berbau amoniak (prengus). Daging domba jantan lebih amis dan memiliki lemak yang berwarna putih, padat mudah mencair dan membeku kembali. Warna daging domba sedikit lebih gelap daripada daging sapi (Muzarnis, 1982).

Sifat Fisik Daging

Daging segar merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk menyebutkan produk yang telah mengalami perubahan kimia dan fisika setelah hewan tersebut disembelih dan hanya mengalami pengolahan minimal saja misalnya pembekuan (Soeparno, 2005). Sifat fisik daging sangat berguna bagi penjual, hal ini untuk ditampilkan kepada pembeli atau konsumen, ataupun untuk kesesuaian

(19)

7 pengolahan lebih lanjut. Hal yang paling penting ialah daya mengikat air, warna, tekstur dan kealotan (Aberle et al., 2001).

Nilai pH Daging

Perubahan nilai pH sangat penting untuk diperhatikan dalam perubahan daging postmortem. Nilai pH dapat menunjukan penyimpangan kualitas daging, karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air dan masa simpan (Lukman et al., 2007). Konsentrasi glikogen otot pada saat pemotongan merupakan salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi kualitas daging. Glikogen adalah substrat metabolik dalam glikolisis postmortem yang menghasilkan asam laktat, yang akan menurunkan pH otot. Proses glikolisis dan penurunan pH berlangsung hingga cadangan glikogen habis atau terhentinya proses metabolik terkait terhentinya proses enzimatik akibat pH yang rendah.

Nilai pH daging akan berubah setelah dilakukan pemotongan ternak. Perubahan pH ini tergantung dari jumlah glikogen sebelum dilakukan pemotongan. Bila jumlah glikogen dalam ternak normal akan mendapatkan daging yang berkualitas baik, tetapi bila glikogen dalam ternak tidak cukup atau terlalu banyak akan menghasilkan daging yang kurang berkualitas, bahkan mendapatkan daging yang berkualitas jelek (Pearson, 1989). Penurunan nilai pH setelah hewan mati ditentukan oleh kondisi fisiologis dari otot dan dapat berhubungan terhadap produksi asam laktat atau terhadap kapasitas produksi energi otot dalam bentuk ATP (Henckel et al., 2000).

Menurut Aberle et al. (2001) laju penurunan pH daging secara umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu :

1. Nilai pH menurun secara bertahap dari 7,0 sampai berkisar 5,6-5,7 dalam waktu 6-8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5,3-5,7. Pola penurunan pH ini ialah normal.

2. Nilai pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan tetap sampai mencapai pH akhir sekitar 6,5-6,8. Sifat daging yang dihasilkan ialah gelap, keras dan kering atau dark firm dry (DFD).

3. Nilai pH turun relatif cepat sampai berkisar 5,4-5,5 pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5,4-5,6. Sifat daging yang

(20)

8 dihasilkan ialah pucat, lembek, dan berair atau disebut pale soft exudative (PSE).

Daya Mengikat Air

Daya mengikat air (DMA) oleh protein daging atau water holding capacity adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan (Soeparno, 2005). Daya mengikat air merupakan salah satu faktor yang menentukan kelezatan dan daya terima daging oleh konsumen. Pengukuran banyaknya air yang hilang atau drip merupakan hal yang penting dalam penentuan rantai harga, karena mempengaruhi bobot daging. Tingkat daya mengikat air ini ditentukan oleh spesies, genetik, laju glikolisis, pH akhir, proses pemotongan dan waktu (Honikel, 1998).

Air yang terikat dalam otot dapat dibagi menjadi tiga kompartemen air, yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4-5% sebagai lapisan monomolekuler pertama, air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar 4% dan lapisan kedua ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air meningkat. Lapisan ketiga adalah molekul-molekul air bebas diantara molekul protein yang berjumlah kira-kira 10%. Jumlah air terikat (lapisan pertama dan kedua) adalah bebas dari perubahan molekul yang disebabkan oleh denaturasi protein daging, sedangkan lapisan ketiga akan menurun bila protein daging mengalami denaturasi (Soeparno, 2005).

Lawrie (2003) menambahkan bahwa besarnya penurunan pH pascamati mempengaruhi nilai DMA, semakin tinggi pH akhir semakin sedikit penurunan DMA. Titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,0-5,1.

Daya mengikat air dipengaruhi oleh pH, juga dipengaruhi oleh spesies, umur, fungsi dari otot, pakan, transportasi, suhu, kelembaban, penyimpanan, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum dipotong dan lemak intramuskular (Soeparno, 2005). Semakin tua umur ternak dipotong, maka persentase lemak intramuskular akan semakin tinggi. Daging dengan lemak intramuskular tinggi akan mempunyai daya mengikat air yang tinggi (Zein, 1991).

(21)

9

Susut Masak Daging

Susut masak daging yaitu perbedaan antara bobot daging sebelum dan sesudah dimasak dan dinyatakan dalam persentase. Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama dari pemasakan. Susut masak dapat dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi myofibril, ukuran dan berat sampel daging dan penampang lintang daging (Soeparno, 2005).

Menurut Soeparno (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi susut masak ada bermacam-macam, seperti susut masak bisa meningkat dengan panjang serabut otot yang lebih pendek, pemasakan yang relatif lama akan menurunkan pengaruh panjang serabut otot terhadap susut masak. Susut masak menurun secara linier dengan bertambahnya umur ternak. Perbedaan bangsa ternak juga dapat menyebabkan perbedaan susut masak. Pada umur yang sama, jenis kelamin mengalami pengaruh yang kecil terhadap susut masak. Berat potong mempengaruhi susut masak terutama bila terdapat perbedaan deposisi lemak intramuskular. Konsumsi pakan dapat juga mempengaruhi besarnya susut masak.

Keempukan Daging

Tekstur dan keempukan mempunyai tingkatan utama menurut konsumen dan rupanya dicari walaupun mengorbankan flavor atau warna (Lawrie, 2003). Keempukan daging banyak ditentukan setidak-tidaknya oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan jaringan silangnya, daya ikat air oleh protein serta juiciness daging (Soeparno, 2005). Perbedaan bangsa juga dapat menimbulkan perbedaan keempukan daging, daging dari tipe kecil lebih empuk dari pada daging dari tipe besar. Keempukan daging akan menurun seiring dengan meningkatnya umur hewan. Jaringan ikat pada otot hewan muda banyak mengandung retikuli dan memiliki ikatan silang yang lebih rendah jika dibandingkan dengan hewan tua (Lawrie, 2003).

Kesan secara keseluruhan keempukan daging meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek, pertama mudah tidaknya gigi berpenetrasi awal ke dalam daging. Kedua, mudah atau tidaknya daging tersebut dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Ketiga, jumlah residu yang tertinggal setelah dikunyah (Lawrie, 2003).

(22)

10 Penyebab utama kealotan daging adalah pemendekan otot postmortem (Newbold and Narris, 1972).

Natasasmita et al., (1994) menyatakan bahwa jaringan ikat dalam otot mempengaruhi tekstur daging. Otot yang lebih banyak bergerak (aktif) selama ternak masih hidup misalnya otot paha, teksturnya terlihat lebih kasar sedangkan otot yang kurang banyak bergerak teksturnya terlihat halus. Aberle et al., (2001) menyatakan bahwa pengaturan ransum sebelum ternak dipotong mempengaruhi secara langsung variasi sifat urat daging setelah pemotongan, dan ternak-ternak yang digemukkan dalam kandang akan menghasilkan daging yang lebih empuk dibandingkan ternak yang digembalakan.

Pemasakan daging dalam oven 135 oC sampai suhu dalam 50 oC atau 60 oC tidak mempengaruhi nilai daya putus Warner Bratzler (Lawrie, 2003). Perbedaan suhu dalam daging saat pemasakan (60 oC, 70 oC, 80 oC) akan mempengaruhi keempukan dari daging, semakin tinggi suhu akhir pemasakan akan menghasilkan daging yang lebih empuk. Suhu akhir (60 oC, 70 oC, 80 oC) secara akurat dapat digunakan sebagai alat untuk klasifikasi keempukan daging, tetapi pada suhu yang rendah (<60 oC) perbedaan suhu dalam daging tidak dapat dijadikan patokan yang akurat untuk klasifikasi keempukan daging karena dipengaruhi oleh waktu pemasakan, jumlah perubahan jaringan dan rendahnya nilai klasifikasi keempukan (Wheeler et al., 1999). Combes et al. (2002) menyatakan bahwa nilai keempukan daging dengan Warner Bratzler mencapai minimum pada suhu dalam 60-65 oC dan meningkat kembali mencapai maksimum pada suhu dalam 80-90 oC.

Penampilan Umum Daging Warna Daging

Warna daging adalah kesan total yang terlihat oleh mata dan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi ketika memandang. Menurut Aberle et al (2001), warna daging merupakan kombinasi beberapa faktor yang dideteksi oleh mata. Faktor yang spesifik yaitu hue (warna dasar; pigmen hijau, merah dan biru), chroma (intensitas warna)

dan value (terang tidaknya). Hue didalam daging adalah mioglobin. Mioglobin

adalah pigmen yang menentukan warna daging segar. Mioglobin bersifat larut dalam air dan larutan garam encer serta merupakan bagian dari protein sarkoplasma.

(23)

11 Mioglobin adalah pigmen berwarna merah keunguan yang dapat mengalami perubahan akibat reaksi kimia (Muchtadi dan Sugiono, 1992).

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi warna daging menurut Soeparno (2005), adalah pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi konsentrasi pigmen daging mioglobin, status kimia mioglobin dan kondisi kimia serta fisik komponen lain dalam daging mempunyai peranan besar dalam menentukan warna daging (Lawrie, 2003).

Warna lemak

Daging domba terdiri dari serat-serat halus yang sangat rapat jaringannya dengan konsistensi yang cukup padat, diantara otot-otot dan dibawah kulit terdapat banyak lemak dan lemak dari daging domba berwarna putih. Daging domba jantan lebih amis dan memiliki lemak yang berwarna putih, padat mudah mencair dan membeku kembali. Warna daging domba sedikit lebih gelap daripada daging sapi (Muzarnis, 1982).

Lemak Marbling

Energi dari sebagian besar lemak didalam tubuh ternak tersimpan didalam depot lemak, termasuk lemak otot yang disebut lemak intramuskular atau lemak

marbling. Lemak marbling berlokasi didalam jaringan ikat parimiseal diantara

fasikuli atau ikatan serabut otot (Soeparno, 2005). Deposisi lemak marbling berbeda diantara spesies, diantara ternak, diantara umur ternak dan diantara otot. Umumnya, penurunan aktivitas otot akan meningkatkan deposisi lemak ke dalam jaringan otot (jika faktor lain misalnya nutrisi mempunyai pengaruh yang konstan), sedangkan lemak intramuskular banyak dipengaruhi oleh faktor heritabilitas (Briskey dan Kauffman, 1971). Lemak marbling merupakan jaringan lemak yang tumbuh paling akhir setelah deposisi lemak viscera, lemak penyelubung ginjal dan lemak subkutan sudah terbentuk (Berg dan Butterfield, 1976).

Marbling mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap jus daging dan

flavor daripada keempukan daging, karena marbling meleleh pada saat pemasakan dan pembebasannya selama pengunyahan bersama-sama dengan sebagian air bebas dari daging akan meningkatkan jus daging (Briskey dan Kauffman, 1971). Daging

(24)

12 yang tidak mengandung marbling bisa tampak lebih kering dan memiliki flavor yang kurang baik daripada daging yang memilik cukup marbling (Soeparno, 2005).

Kondisi perlemakan karkas juga disesuaikan dengan keinginan konsumen. Berbeda dengan konsumen pasar khusus, konsumen pasar tradisional lebih banyak memilih daging dengan perlemakan rendah, sedangkan konsumen pasar khusus lebih memilih daging dengan perlemakan yang tinggi, khususya lemak marbling. Hal ini terjadi karena konsumen-konsumen pasar khusus lebih memperhatikan kualitas untuk menghasilkan suatu hasil akhir yang baik setelah daging dimasak (Halomoan, 2000).

Tebal Lemak

Pengukuran ketebalan lemak subkutan untuk kualitas hasil berdasarkan

United States Departement of Agriculture (USDA), yaitu diukur secara subyektif

antara rusuk 12 dan 13 pada permukaan area otot longisimus dorsi (LD), pada posisi pemisahan seperempat depan dan seperempat belakang dari karkas. Pengukurannya dilakukan tegak lurus permukaan lemak, di posisi tiga perempat bagian sumbu panjang otot LD (Swatland, 1984). Indikator ketebalan lemak punggung berperan penting sebagai indikator produktivitas karkas, karena memberikan hasil pendugaan yang akurat. Ketebalan lemak punggung, selain digunakan untuk mengestimasi berat

lean dan berat lemak, juga dapat digunakan untuk presentase lean dan presentase

lemak (Priyanto et al, 1995).

Mekanisme Hubungan Pola Pertumbuhan Domba dengan Produksi dan Kualitas Karkas

Bagian ini memuat ringkasan mekanisme pola pertumbuhan domba dengan produksi dan kualitas karkas, yang menunjukan kerangka pemikiran penelitian yang dilakukan berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dibahas. Secara umum pertumbuhan dibagi menjadi dua yaitu periode sebelum lahir dan periode setelah lahir. Periode sebelum lahir meliputi pertumbuhan ovum, embrio dan fetus. Fase pertumbuhan setelah melahirkan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu nutrisi, jenis kelamin, hormon, kastrasi, iklim, sistem pemeliharaan dan bobot lahir (Gambar 1).

Pertumbuhan pada domba dalam kondisi lingkungan, sistem pemeliharaan dan pemberian pakan yang sama terbagi menjadi domba tumbuh cepat dan domba

(25)

13 tumbuh lambat. Pertumbuhan yang lebih cepat pada domba dapat dilihat dari pertambahan bobot badan hariannya yang tinggi. PBBH yang tinggi akan menyebabakan tercapainya bobot potong yang lebih cepat yang tentunya akan dapat lebih mengefisiensikan biaya produksi sehingga keuntungan yang didapatkan peternak akan lebih tinggi. Komponen dari karkas terbagi menjadi tiga yaitu daging, tulang dan lemak (Gambar 1). Kualitas dari daging dapat dilihat dari sifat fisik yang terdiri dari nilai pH, daya mengikat air, keempukan dan susut masak serta dari penampilan umum daging yang terdiri dari warna daging, warna lemak, lemak

marbling dan tebal lemak (Gambar 1). Faktor yang mempengaruhi nilai pH dari

daging terdiri menjadi dua yaitu faktor antemortem dan postmortem. Faktor

antemortem yaitu pemuasaan dan stres pada saat pemotongan. Faktor postmortem

yaitu kadar glikogen dan laju glikogen serta asam laktat didalam daging (Gambar 1). Daya mengikat air pada daging dipengaruhi oleh jumlah ATP, pemotongan, genetik, spesies, laju glikolisis, nilai pH akhir, fungsi otot, jenis kelamin, pakan, transportasi, penyimpanan, umur dan lemak intramuskuler (Gambar 1). Susut masak dipengaruhi oleh banyaknya kerusakan membran seluler, umur daging, degradasi protein, kemampuan daging untuk mengikat protein, nilai pH, panjang sarkomer otot, panjang serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel (Gambar 1). Keempukan dari daging dipengaruhi oleh umur, nutrisi, aktivitas gerak, faktor

antemortem yaitu genetik, fisiologi, pakan dan tatalaksana serta faktor postmortem

yaitu cara pemasakan, pelayuan, pembekuan, pemakaian zat pengempuk, lama dan temperatur penyimpanan (Gambar 1).

Penampilan umum dari daging dapat dilihat dari warna daging, warna lemak, lemak marbling dan tebal lemak. Warna daging dipengaruhi oleh genetik, pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, aktivitas otot dan nilai pH (Gambar 1). Warna lemak dipengaruhi oleh umur dan pakan (Gambar 1). Lemak marbling didalam daging dipengaruhi oleh tujuan pemeliharaan, spesies, ternak, umur dan pakan serta tebal lemak dipengaruhi oleh pakan, umur dan bobot potong (Gambar 1).

(26)

14 Keterangan : (a) Soeparno, (2005); (b) Parakkasi, (1999); (c) Kusumastuti, (2006); (d) Pearson,

(1989); (e) Dihansih, (2006); (f) Honikel, (1998); (g) Veiseth, (2004); (h) Natasasmita, (1994); (i) Bounton et al, (1978); (j) Whytes and Ramsay, (1994); (k) Briskey dan Kauffman, (1971); (l) Halomon, (2000); (m) Muchtadi dan Sugiono, (1992); (n) Shanks et al, (2002); (o) Varnam dan Sutherland, (1995).

Gambar 1. Mekanisme Hubungan Pola Pertumbuhan Domba dengan Produksi dan Kualitas Karkas.

(27)

15

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) Fakultas Peternakan IPB yang terletak di Desa Singasari Kecamatan Jonggol, Bogor. Analisa kualitas daging dilakukan di Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli hingga Desember 2009.

Materi Ternak dan Pakan

Ternak domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah domba lokal jantan dengan umur dibawah satu tahun (Io) sebanyak 6 ekor. Pakan yang diberikan adalah rumput Brachiaria humidicola dan konsentrat. Konsentrat berasal dari Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan (KPS Bogor) yang diberikan sebanyak 100 gr/ekor/hari pada pagi hari sebelum digembalakan.

(a) (b)

Gambar 2 : (a) Domba Pertumbuhan Cepat, (b) Domba Pertumbuhan Lambat

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Rumput Brachiaria humidicola dan Konsentrat

Pakan Komposisi (%) BK Abu PK SK LK Beta-N Brachiaria humidicola 31,60 100,00 2,29 7,39 2,65 8,39 13,08 41,39 0,07 0,02 13,51 42,75 Konsentrat 70,43 100,00 18,80 26,69 8,09 11,49 15,78 22,40 2,74 3,89 25,02 35,52 Keterangan : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan. Institut Pertanian Bogor (2010)

(28)

16

Kandang

Kandang yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang koloni. Pemeliharaan dilakukan secara semi intensif. Ternak digembalakan dari pukul 09.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB.

Peralatan

Peralatan yang digunakan adalah timbangan dengan kapasitas 120 kg, pisau, pinset, pita ukur, kertas label, plastik, carper press, planimeter, freezer, Warner

Blatzer, pH meter,panci, kompor, termometer bimetal, kertas saring, gergaji karkas,

timbangan digital, gunting, penggantung karkas domba, jangka sorong, kamera, meat

colour card score, fat colour card score dan marbling card score.

Pemberian Obat Cacing

Obat cacing yang digunakan pada penelitian ini adalah obat cacing dengan merek ”Kalbazen-SG”, obat cacing diberikan hanya satu kali sebanyak 1 ml/ ekor pada awal pemeliharaan.

Prosedur Penentuan Sampel Penelitian

Penentuan umur domba dilakukan dengan melihat gigi. Domba yang berumur I0 giginya belum tanggal atau berganti. Sebanyak 19 ekor domba lokal jantan dengan

umur di bawah satu tahun (I0) diseleksi dibagi menjadi dua kelompok yaitu

kelompok domba pertumbuhan cepat dan pertumbuhan lambat. Domba yang memilki pertambahan bobot badan harian (PBBH) lebih dari 110 g/ekor/hari masuk kedalam kategori domba pertumbuhan cepat sedangkan yang dibawah 80 g/ekor/hari masuk kedalam kategori domba pertumbuhan lambat. Setelah diseleksi, ditentukan tiga ekor domba pertumbuhan cepat dan tiga ekor domba pertumbuhan lambat sebagai materi penelitian. Kriteria yang digunakan pada saat menseleksi domba pertumbuhan lambat dan pertumbuhan cepat adalah: Bobot Awal (gram), Bobot Akhir (gram), Pertambahan Bobot Badan (PBB), Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH), ukuran tubuh domba awal dan akhir.

Pemotongan Domba

Masing-masing domba penelitian dipotong untuk mendapatkan karkas. Ternak dipuasakan terlebih dahulu sebelum dipotong selama 16 jam untuk

(29)

17 mengurangi jumlah digesta dalam saluran pencernaan. Domba ditimbang sebelum dipotong, untuk menentukan bobot potongnya. Domba dipotong pada persendian tulang atlas, memotong vena jugularis, oseophagus dan trachea. Darah yang keluar ditampung kemudian domba digantung pada tendon achilesnya. Setelah itu dilakukan pemotongan kepala dan keempat kaki, pengulitan dan eviserasi, maka diperoleh karkas. Kemudian digantung dan disimpan dalam chiller (4oC). Setelah itu daging domba bagian Semitendinosus dan Longisimus Dorsi diuji kualitas dagingnya. Penggunaan bagian ini dikarenakan daging bagian Semitendinosus adalah bagian yang paling mengalami kerja otot dan Longisimus Dorsi yang paling tidak mengalami kerja otot.

Peubah yang diamati Nilai pH Daging

Nilai pH daging diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara langsung menusukkannya kedalam daging bagian Longisimus dorsi et lubarum lalu ditunggu hingga nilai pH pada pH meter tidak berubah lagi. Daging diukur dengan pH meter setelah sebelumnya pH meter dikalibrasi dengan pH standard yaitu larutan buffer pH 4 dan 7.

Gambar 3. pH Meter dan Larutan Buffer pH 4 & 7

Daya Mengikat Air (DMA)

Pengukuran Daya mengikat air dianalisis dengan metode tekan, menurut Hamm (1972) yaitu dengan membebani atau mengepres 0,3 gram sampel daging, kemudian sampel dibebani atau dipress dengan carper press selama 5 menit dengan tekanan sebesar 35 kg/cm2. Area pada kertas saring yang tertutup sampel daging yang telah pipih dan area basah disekelilingnya ditandai. Luas area basah dapat

(30)

18 diperoleh dengan mengurangkan area yang tertutup daging dari total area yang terbentuk pada kertas saring. Luas area basah yang satuanya inci dikonfersikan ke dalam sentimeter (1 inci = 2,54 cm). Kandungan air yang keluar dari daging setelah penekanan dapat dihitung dengan rumus :

0 , 8 0,0948 ) 2 (cm Basah Area Luas O 2 mgH

Persentase air yang yang keluar dari sampel daging dapat digunakan sebagai pendekatan kemampuan daging dalam mengikat air (DMA). Semakin tinggi nilai mgH2O yang keluar dari daging, maka daya mengikat airnya semakin rendah.

Persentase air yang terlepas dapat dihitung dengan rumus :

100 mg 300 terlepas yang air Berat x keluar yang air Persentase

Gambar 4. (a). Alat Pengujian Daya Mengikat Air Daging(Carper Press), (b) Kertas Saring yang telah di Press dengan Daging 0.3 gram.

Susut Masak (g)

Susut masak adalah perbedaan antara berat daging sebelum dan sesudah dimasak, dinyatakan dalam persentase (%). Sampel daging seberat 100 gram yang telah ditancapkan termometer bimetal direbus dalam air mendidih hingga mencapai suhu internal 80° C. Sampel daging diangkat dan didinginkan (Priyanto et al., 1995). Susut masak dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Susut masak = berat sampel awal – akhir x 100% berat sampel awal

d

(31)

19

Keempukan (kg/cm2)

Sampel daging bagian Semitendinosus dipotong sekitar 100 gram, kemudian termometer bimetal ditancapkan hingga menembus bagian dalam sampel daging, kemudian direbus dalam air hingga mencapai suhu internal 80° C. Sampel daging diangkat dan didinginkan, kemudian sampel dicetak dengan alat pencetak daging

(correr) yang berbentuk silindris dengan diameter 1,27 cm mengikuti arah serat

daging. Potongan daging silindris berdiameter 1,27 cm dan dipotong-potong sepanjang 4-5 cm. Potongan-potongan daging tersebut diukur dengan alat Warner

Bratzler Shear untuk menentukan nilai daya putusnya dalam kg/cm².

Gambar 5. (a). Slongsong untuk Core, (b) Daging yang telah di Lubangi (c). Warner Blatzer.

Warna Daging

Warna daging didapatkan dengan melihat daging bagian Longsimus dorsi et

lubarum antara rusuk ke 5 dan 6 yang dibandingkan dengan Meat Colour Card Score

dari AUS-MEAT dengan skala angka 1-9, yang dimulai dari warna merah pucat, semakin besar nilai skor maka warna daging akan semakin gelap.

Gambar 6. Meat Colour Card Score (AUSMEAT, 1998)

(32)

20

Warna Lemak

Warna lemak didapatkan dengan melihat lemak intramuskular yang berada diatas Longisimus dorsi et lubarum yang kemudian dibandingkan dengan Fat Colour

Card Score dari AUS-MEAT dengan skala angka 1-9, yang dimulai dengan warna

putih. Nilai skor semakin besar maka warna lemak akan semakin kuning.

Gambar 7. Fat Colour Card Score (AUSMEAT, 1998)

Lemak Marbling

Marbling diukur dengan Marbling Score System dari AUS-MEAT. Skor

marbling tersebut memiliki skala angka dari 1-12, yang semakin besar skornya maka

semakin besar derajat marblingnya. Pengukuran dilakukan pada bagian Longisimus

dorsi et lubarum antara rusuk ke 5 dan 6.

(33)

21

Tebal Lemak (mm)

Tebal lemak pada daging didapatkan dengan mengukur tebal lemak yang ada diatas potongan daging bagian Longisimus dorsi dengan menggunakan jangka sorong dalam satuan mm.

Rancangan Perlakuan

Perlakuan yang diberikan adalah domba lokal dengan tingkat kecepatan tumbuh yang cepat dan domba lokal dengan kecepatan tumbuh yang lambat.

Analisis

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji t dengan membandingkan dua perlakuan yaitu kelompok domba cepat tumbuh dan kelompok domba lambat tumbuh untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati dengan masing-masing perlakuan. Menurut Walpole (1995) model matematis yang digunakan adalah sebagai berikut:

Χi - Χj – Do t = s √1 + s √ 1

n n Keterangan:

Xi = Rata-rata Perlakuan ke-i Xj = Rata-rata Perlakuan ke- j

s = Simpangan Baku

n = Jumlah individu sampel

D0 = Selisih antara nilai tengah ke-i

(34)

22

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Unit Pendidikan dan Penelitian Jonggol (UP3J)` milik Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara geografis UP3 Jonggol terletak antara 106,53oBT dan 06,53oLS dengan ketinggian 145 m diatas permukaan laut. UP3 Jonggol terletak secara administratif di desa Singasari, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor. Luas areal UP3 Jonggol sekitar 165 ha yang terdiri dari kandang, padang pastura, kantor, ruang kelas, laboratorium, gudang, rumah pegawai dan rumah pengunjung (guest house). Informasi mengenai curah hujan, kelembaban udara, dan suhu lingkungan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan Curah Hujan, Kelembaban Udara dan Suhu Lingkungan di UP3J Bulan Juli hingga Desember 2009

Kondisi Umum

Bulan

Juli Agustus September Oktober November Desember

Curah Hujan (mm) 34,5 0 66 167 307 257 Kelembaban 93,9 93,2 91,8 97 95 96 Suhu Max (oC) 32,8 33,5 34,9 29,2 33 33 Suhu Min (oC) 21 21,3 22 23 32 23

Sumber : Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (2009)

Tabel 2 Menunjukkan curah hujan mengalami peningkatan mulai bulan November dan Desember karena telah memasuki musim penghujan, dan curah tertinggi terjadi pada bulan November sebesar 307 mm. Suhu UP3 Jonggol pada siang hari relatif tinggi yaitu 32,8 hingga mencapai sekitar 33oC. Kelembaban udara juga relatif tinggi dengan kisaran 91,8 hingga 97 %. Keadaan lingkungan tersebut kurang mendukung bagi kelangsungan hidup domba secara efisien. Suhu dan kelembaban udara yang optimum bagi ternak untuk berproduksi di daerah tropis adalah 4-24 oC dengan kelembaban udara dibawah 75% (Yousef, 1985).

(35)

23

Gambar 9. Domba Penelitian yang sedang Digembalakan

Kondisi Kandang

Domba dipelihara menggunakan kandang koloni yang terbuat dari kayu beratapkan seng. Memilki panjang 18,15 m, tinggi 3,55 m, dan lebar 5,89 m, terdapat tempat pakan dan tidak memilki tempat minum, ini karena sistem pemeliharaan domba yang terdapat di Jonggol menggunakan sistem semi intensif sehingga domba dibiarkan merumput sendiri, kemudian pada sore hari domba kembali dikandangkan. Suhu dalam kandang pada siang hari sekitar 30-31oC. Kondisi didalam kandang cukup panas hal ini dikarenakan ventilasi yang kurang baik dan lantai kandang yang kotor disebabkan oleh feses dari domba yang sudah mengering sehingga membuat kondisi kandang semakin kurang nyaman untuk domba serta atap kandang yang terbuat dari seng. Domba digembalakan pukul 09.00-16.00 WIB. Hal ini dilakukan karena kandungan air sebelum pukul 09.00 WIB masih sangat tinggi di daerah tropis atau daerah khatulistiwa sehingga dapat menyebabkan penyakit bloat dan cacingan.

Kondisi Ternak

Kondisi ternak domba selama pemeliharaan tidak mengalami kendala yang cukup serius seperti terkena penyakit ataupun mengalami kematian. Konsentrat yang diberikan setiap hari selalu habis dikonsumsi oleh domba. Kendala yang dialami hanya kalung nomor identifikasi yang terlepas, dan kalung nomor yang terlepas segera langsung diganti sehingga memudahkan dalam pengamatan.

Kondisi Padang Rumput

Domba digembalakan di padang rumput dalam paddock-paddock yang ditumbuhi rumput Brachiaria humidicola, Brachiaria decumbens, Pennisetum

purpuroides, rumput liar, gulma, dan legum-legum seperti Leucaena leucecopala,

dan Gamal. Dalam penggembalaanya domba dirotasi penggembalaanya antar

(36)

24 persedian airnya. Luas areal yang ditumbuhi Brachiaria humidicola ±55 ha,

Brachiaria decumbens ±19 ha dan Pennisetum purpuroides ±2 ha selebihnya rumput

alam dan legum. Kondisi padang penggembalaan selama penelitian dalam keadaan kering karena suhu yang tinggi dan diikuti curah hujan yang rendah.

Areal penggembalaan hanya pada bagian flok Brachiaria Humidicola. Disekitar flok dikelilingi dengan pagar kawat untuk menjaga agar ternak lain tidak dapat masuk ke lokasi penelitian serta memudahkan dalam pengawasan. Selain itu, di dalam areal penggembalaan juga ditanami pohon-pohon besar yang berfungsi sebagai naungan bagi ternak domba saat siang hari.

Kondisi Komponen Karkas

Kondisi kompenen karkas seperti karkas, karkas kanan, daging setengah karkas, tulang setengah karkas, lemak setengah karkas didapatkan hasil yang tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) dengan masing-masing rataan persentase sebesar 35,77±0,70%; 38,01±1,11 %; 62,57±1,8 %; 27,24±2,06 %; 6,95±1,54 % sehingga kualitas daging yang didapatkan juga tidak berpengaruh nyata.

Pertumbuhan Domba

Pertumbuhan adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan bobot hidup, bentuk, dimensi linear dan komposisi tubuh, termasuk perubahan-perubahan komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ serta komponen-komponen kimia, terutama air, lemak, protein dan abu pada karkas (Soeparno, 2005).

Tabel 3. Rataan Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Harian Domba

Kelompok Domba

Bobot Badan Domba

PBBH (g/hari) Awal (kg) Akhir (kg)

Rataan Range Rataan Range Rataan Range Cepat Tumbuh n=3 17,67±4,04 13-20 20±3,46 16-22 121,31±13,28 113,64-136,64 Lambat Tumbuh n=3 13,33±1,53 12-15 14,33±1,53 13-16 76,00±0,00 76,92

Pertumbuhan mempunyai dua aspek, yang pertama diukur sebagai peningkatan berat per satuan waktu, yang kedua meliputi perubahan dalam bentuk dan komposisi akibat pertumbuhan diferensiasi bagian komponen tubuh (Berg dan

(37)

25 Butterfield, 1976). Kedua aspek tersebut sangat penting dalam proses produksi peternakan. Domba yang memiliki kecepatan pertumbuhan yang ekstrim memiliki potensi untuk lebih mengefiensikan produksi dikarenakan domba dengan pertumbuhan cepat ini dapat mengkonversikan pakan yang dikonsumsinya dengan lebih baik. Domba yang memiliki pertumbuhan yang cepat ini juga memiliki perbedaan yang dapat diamati melalui ukuran-ukuran tubuhnya seperti panjang badan, tinggi badan, lingkar dada, dalam dada, panjang muka dan lingkar moncong.

Seleksi penting dilakukan agar potensi genetik ini dapat lebih dikembangkan lagi. Seleksi merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk meningkatkan mutu genetik ternak. Seleksi yang dilakukan bisa dengan cara memilih ternak yang dipakai sebagai tetua atau memilih ternak yang akan dikawinkan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan domba lokal jantan dengan umur dibawah satu tahun (Io). Domba jantan tumbuh lebih cepat dan mempunyai bobot dewasa yang lebih besar, namun mempunyai kandungan lemak yang lebih rendah (Johnston, 1983).

Domba yang digunakan masih berusia dibawah satu tahun. Domba muda mencapai 75% bobot dewasa pada umur satu tahun dan 25% lagi enam bulan kemudian yaitu pada umur 18 bulan, dengan pakan sesuai dengan kebutuhannya. Pada tahun pertama, pertumbuhan sangat cepat terutama beberapa bulan setelah lahir, 50% dicapai pada tiga bulan pertama, 25% lagi pada tiga bulan kedua dan 25% berikutnya dicapai dalam enam bulan terakhir (Herman, 2003). Hal itu berarti akan lebih memudahkan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan dari domba karena 75% dari bobot domba dicapai pada umur satu tahun.

Domba yang masih berumur dibawah satu tahun berarti sedang berada didalam fase dipercepat. Hal ini seperti pernyataan Cole (1962) bahwa kurva pertumbuhan ternak dibagi menjadi tiga bagian yaitu fase dipercepat, titik infleksi dan fase diperlambat. Selama fase dipercepat (akselerasi) ukuran tubuh bertambah, sehingga perubahan yang terjadi akibat pertumbuhan baik pertambahan bobot badan maupun perubahan ukuran tubuh dari ternak. Apabila domba telah mencapai dewasa tubuh maka pertambahan bobot badan lebih didominasi oleh deposisi lemak. Pertumbuhan lemak pada awalnya lamban, segera diikuti oleh pertumbuhannya yang cepat, bahkan lebih cepat daripada keadaan kedua jaringan tadi. Fase ini disebut fase

(38)

26 Data mengenai pertumbuhan domba penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3. menujukkan bahwa domba jantan memiliki tingkat kecepatan pertumbuhan yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini domba jantan dibagi menjadi dua kelompok yaitu domba cepat tumbuh dan domba lambat tumbuh. Domba cepat tumbuh didefinisikan sebagai domba yang memiliki rata-rata PBBH lebih dari 110 g/hari, sedangkan domba lambat tumbuh didefinisikan sebagai domba yang memiliki rata-rata PBBH kurang dari 80 g/hari. Menurut Tarmidi (2004) domba dalam masa pertumbuhan memiliki PBBH berkisar antara 49,63 – 71,43 g/ekor/hari.

Sifat Fisik Daging Domba

Sifat fisik daging merupakan salah satu faktor yang dapat menggambarkan kualitas daging. Sifat fisik daging tersebut meliputi warna, nilai pH, susut masak, keempukan, kesan jus dan daya mengikat air oleh protein. Sementara itu, sifat fisik sendiri dipengaruhi oleh faktor antemortem dan postmortem (Soeparno, 2005).

Data sifat fisik daging domba dapat dilihat pada tabel 4 dan 5. Berdasarkan uji t hasil yang didapatkan bahwa tingkat kecepatan pertumbuhan yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap semua parameter kualitas daging domba.

Tabel 4. Data Rataan Sifat Fisik Daging Domba

No Parameter CT LT Rataan 1 pH 6,21 ± 0,05 6,16 ± 0,05 6,18 ± 0,05 2 DMA (% mg H2O) 24,62 ± 9,99 32,68 ± 1,60 28,44 ± 8,03 3 Susut masak (g) 34,94 ± 5,72 34,93 ± 7,27 34,93 ± 5,85 4 Keempukan(kg/cm2) 5,30 ± 0,56 5,42 ± 0,48 5,36 ± 0,47 Keterangan : CT = Cepat Tumbuh; LT = Lambat Tumbuh

Nilai pH Daging

Nilai rataan pH daging baik pada domba cepat tumbuh maupun lambat tumbuh adalah sama yaitu sebesar 6,18. Nilai pH daging lebih banyak ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun dalam otot (Buckle et al., 1987). Penimbunan asam laktat dan tercapainya pH ultimat daging tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat pemotongan (Soeparno, 2005).

(39)

27 Selanjutnya Soeparno (2005) menyatakan bahwa penurunan pH dalam otot

postmortem banyak ditentukan oleh laju glikolisis postmortem serta cadangan

glikogen otot dalam daging. Bila ternak yang akan dipotong mengalami cukup masa istirahat, maka cadangan glikogen dalam otot akan cukup tinggi (Lawrie, 2003).

Perlakuan terhadap ternak sebelum dipotong, seperti pemeliharaan dikandang individu yang memungkinkan ternak tidak banyak melakukan aktivitas, pemuasaan domba selama 16 jam atau lebih sebelum pemotongan dan usaha saat akan disembelih dapat mengurangi timbulnya stress pada ternak. Rataan nilai pH yang diperoleh pada kedua kelompok domba yaitu 6,18 yang berarti berada diatas pH ultimat daging yaitu 5,4-5,8. Hal ini dapat disebabkan salah satunya oleh proses

rigormortis yang belum tuntas. Menurut Lawrie (2003), pada sejumlah ternak dapat

dijumpai bahwa pH karkas atau daging hanya menurun sedikit selama beberapa jam pertama setelah pemotongan dan pada saat tercapainya kekakuan daging, pH tetap tinggi, yaitu antara 6,5–6,8. Kusumastuti (2006) menyatakan bahwa nilai pH dipengaruhi oleh stress sebelum pemotongan. Domba yang tenang saat dipotong mempunyai cadangan glikogen yang cukup untuk proses rigormortis, sedangkan domba yang stress kemungkinan menghasilkan pH daging ultimate yang lebih tinggi dikarenakan cadangan glikogen otot menjadi cepat habis.

Daya Mengikat Air

Hasil dari analisis menunjukkan bahwa kecepatan tumbuh tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap daya mengikat air dengan nilai rataan sebesar 28,44%. Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Damayanti (2003), rataan nilai daya mengikat air sebesar 31,68%. Kejadian ini diduga karena daya mengikat daging air berhubungan erat dengan pH daging, oleh karena pH daging yang diperoleh dalam penelitian ini tidak berbeda nyata maka daya mengikat air juga menunjukkan hasil yang tidak berbeda.

Nilai standar deviasi daya mengikat air sangat tinggi dapat dipengaruhi oleh pH dan jumlah ATP. Pada fase pre-rigor DMA masih relatif tinggi, tetapi secara bertahap menurun seiring dengan menurunnya nilai pH dan jumlah ATP jaringan otot (Muchtadi dan Sugiono, 1992). Kemungkinan juga disebabkan oleh tidak adanya perbedaan spesies, perlakuan pakan dan otot yang digunakan untuk pengujian. Faktor lain yang mengakibatkan perbedaan daya mengikat air diantara

(40)

28 otot, misalnya spesies, umur, dan fungsi otot serta pakan, transportasi, temperatur, kelembaban, penyimpanan dan preservasi, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskular (Soeparno, 2005).

Susut Masak

Hasil analisis menunjukkan bahwa kecepatan tumbuh tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap susut masak daging. Rataan susut masak untuk domba cepat dan lambat tumbuh yaitu 34,93%. Hal ini sejalan dengan Soeparno (2005) yang menyebutkan susut masak umumnya bervariasi antara 15%-40%. Berdasarkan pernyataan Soeparno (2005), daging domba dalam penelitian ini mempunyai kualitas yang baik dan layak untuk dikonsumsi karena rataan susut masaknya sebesar 34,93%.

Susut masak dapat dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi myofibril, ukuran dan berat sampel daging serta penampang lintang daging (Soeparno, 2005). Daya mengikat air berkorelasi negatif terhadap besarnya susut masak daging. Daging dengan daya mengikat air yang rendah akan lebih banyak mengeluarkan air sehingga penurunan bobot menjadi lebih besar selama perebusan. Menurut Shanks et al, (2002) besarnya susut masak dipengaruhi oleh banyaknya kerusakan membrane seluler, banyaknya air yang keluar dari daging, umur daging, degradasi protein dan kemampuan daging untuk mengikat air. Menurut Obuz et al, (2004) meningkatnya susut masak ada hubungannya dengan serat otot dan penyusutan kolagen. Banyak peneliti melaporkan bahwa peningkatan susut masak di dalam daging ada kaitan dengan kecepatan penurunan pH post-slaughter atau rendahnya nilai pH ultimat daging (Bulent et al., 2009).

Faktor-faktor yang mempengaruhi susut masak terdiri dari beberapa hal, seperti susut masak bisa meningkat dengan panjang serabut otot yang lebih pendek, pemasakan yang relatif lama akan menurunkan pengaruh panjang serabut otot terhadap susut masak. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar air daging, yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara otot. Daging dengan daya mengikat air yang rendah akan lebih banyak mengeluarkan air selama perebusan. Daging dengan susut masak yang lebih rendah

(41)

29 mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilagan nutrisi selama pemasakan lebih sedikit (Arnim, 1996).

Keempukan

Keempukan merupakan salah satu indikator dan faktor utama pertimbangan bagi konsumen dalam memilih daging yang berkualitas baik. Menurut Lawrie (2003) daya terima konsumen terhadap daging dipengaruhi oleh keempukan, juiciness, dan selera.

Hasil yang diperoleh untuk keempukan menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) dengan rataan untuk domba cepat tumbuh dan lambat tumbuh sebesar 5,36 kg/cm2. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian Damayanti (2003) yaitu rataan untuk domba cepat tumbuh dan lambat tumbuh 5,12 kg/cm2. Hal ini sesuai dengan Thatcher dan Gaunt (1992), yang melaporkan nilai

Warner Bratzler shear yang tidak berbeda nyata pada pertumbuhan yang berbeda.

Menurut Soeparno (2005), laju pertumbuhan ternak tidak berhubungan dengan perubahan profil enzim-enzim proteolitik dalam daging dan perbedaan laju pertumbuhan juga tidak berpengaruh terhadap perubahan enzim-enzim kateptik dalam daging, dimana keduan enzim tersebut akan berpengaruh terhadap keempukan daging.

Kriteria keempukan menurut Suryati dan Arief (2005) berdasarkan panelis yang terlatih menunjukkan bahwa daging sangat empuk memiliki daya putus WB (Warner Blatzer) < 4,15 kg/cm2, daging empuk 4,15 - < 5,86 kg/cm2, daging agak empuk 5,86 - < 7,86 kg/cm2, daging agak alot 7,56 - < 9,27 kg/cm2, daging alot 9,27 - < 10,97 kg/cm2, daging sangat alot = 10,97 kg/cm2. Jika merujuk pada Suryati dan Arief (2005) domba cepat tumbuh dan lambat tumbuh tidak mengalami perbedaan yaitu masuk kedalam kategori daging empuk, dikarenakan pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan nilai pH, daya mengikat air maupun umur ternak. Hal ini sesuai dengan Lawrie (2003) yang menyatakan bahwa keempukan daging berbeda pada nilai pH, daya mengikat air, dan umur yang berbeda.

Umur dalam kondisi tertentu tidak mempengaruhi keempukan daging yang dihasilkan. Ternak yang lebih tua namun mendapatkan ransum dengan nutrisi yang baik dan penanganan yang baik, dapat menghasilkan daging yang lebih empuk dibandingkan dengan daging yang dihasilkan dari ternak yang lebih muda namun

Gambar

Gambar 1. Mekanisme Hubungan Pola Pertumbuhan Domba dengan Produksi dan  Kualitas Karkas
Gambar 2 : (a) Domba Pertumbuhan Cepat, (b) Domba Pertumbuhan Lambat
Gambar 3. pH Meter dan Larutan Buffer pH 4 &amp; 7
Gambar 4.  (a). Alat Pengujian Daya Mengikat Air Daging (Carper Press), (b)  Kertas Saring yang telah di Press dengan Daging 0.3 gram
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pihak Kedua menyerahkan kepada PJP dan PPK untuk membatalkan pembayaran dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi rumah, sebagian atau seluruhnya, jika, menurut penelitian KMK, PJP

Supaya konsumen atau target pasar mengetahui potongan harga yang diberikan, clothing line Sinkkink Pride membuat promosi di media sosial.. Promo tersebut bisa dikatakan sebagai

April setelah kursus orientasi pendedahan kepada buku tersebut di jalankan di peringkat negeri bagi guru-guru yang tedibat dalam pelaksanaan program ini yang dijariual akan

Fungsi alat tersebut adalah menentukan hasil pengukuran kekuatan genggaman tangan dengan kriteria lemah, normal atau kuat dengan memasukan data umur dan jenis

Pemuda terdapat lampu lalu- lintas dan jarak yang cukup dekat dengan zebra cross (64 m), maka penyediaan lampu lalulintas untuk penyeberang dapat digabung dengan lampu yang

Sedangkan perbedaanya dalam penelitian yang dilakukan Faiz Febryan Hafara, peneliti membatasi penelitianya dengan pengambilan adegan dalam film Ada Surga di Rumahmu, yang

Penerapan metode certainty factor untuk mendiagnosa dan pencegahan penyakit cacingan pada anak balita diharapkan mendapatkan solusi penanggulangan terbaik dan