• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dari persilangan resiprokal terhadap kualitas kokon yaitu bobot kokon (P<0,05), namun tidak berbeda pada persentase kulit kokon, rendemen pemeliharaan, dan persentase kokon normal (Tabel 2).

Tabel 2. Kualitas Kokon Hasil Silangan Ulat Sutera Ras Cina dengan Ras Jepang serta Bibit Komersial

Sifat yang Diamati Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 P6 Bobot Kokon (g) 1,7±0,22a 1,6±0,24b 1,8± 0,26a 1,8±0,29a 1,8±0,23a 1,5±0,21c Kulit Kokon (%) 21,8±2,99 20,9±2,57 21,1±2,52 21,1±227 21,8±2,63 19,7±2,80 Rendemen (%) 77,7±28,20 90,6±5,94 96,8±2,80 96,0±5,04 98,0±3,42 96,0±2,60 Kokon Normal (%) 72,3±15,93 796±3,48 87,2±0,51 86,9±6,67 79,8±1,45 87,9±2,04

Keterangan:Superscriptyang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%. P1: ras Jepang 108 betina disilangkan dengan ras Cina jantan 808, P2: ras Cina betina 808 disilangkan dengan ras Jepang jantan 108, P3: ras Cina betina 806 disilangkan dengan ras Jepang jantan 903, P4: ras Jepang betina 903 disilangkan dengan ras Cina jantan 806, P5: bibit ulat sutera komersial BS09, P6: bibit ulat sutera komersial C301.

Bobot Kokon

Bobot kokon merupakan salah satu parameter penting yang harus diketahui pada setiap hasil pemeliharaan ulat sutera. Bobot kokon mempunyai korelasi positif dengan hasil kokon per boksnya (Reddy, 1986). Berdasarkan data yang telah diperoleh, terdapat perbedaan yang nyata pada bobot kokon antara persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1) dan ras Cina betina 808 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 108 (P2), yang berarti adanya pengaruh dari persilangan resiprokal. Persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1) cenderung memiliki rataan bobot kokon yang lebih tinggi dibanding resiprokalnya, yaitu 1,7 g. Berdasarkan hal tersebut dapat diduga bahwa terdapat pengaruh maternal (sitoplasmic effect) dalam persilangan tersebut.

Pewarisan maternal ada apabila faktor yang menentukan sifat keturunan terdapat diluar inti nukleus dan pemindahan faktor itu hanya berlangsung melalui sitoplasma. Pengaruh maternal terdapat apabila genotipe diwariskan dari induk betina menentukan fenotipe dari keturunan. Dengan demikian, pengaruh maternal berasal dari sitoplasma sel telur yang telah dimodifikasi oleh gen-gen yang

dipindahkan secara kromosomal (Suryo, 1995). Salah satu faktor yang mengakibatkan pewarisan maternal ialah keberadaan mitokondria pada sel telur. Mitokondria memiliki perangkat genetik sendiri yaitu DNA mitokondria atau sering disingkat mtDNA. MtDNA ini mempunyai karakteristik yang khas dan diwariskan secara maternal atau pola pewarisannya hanya melalui garis ibu. Hal ini disebabkan karena sel telur memiliki jumlah mitokondria yang lebih banyak dibandingkan sel sperma. Mitokondria dalam sel sperma banyak terkandung di bagian ekor karena bagian ini sangat aktif bergerak sehingga membutuhkan banyak sekali ATP (Adenosin Tri Phosphat). Pada saat terjadi pembuahan sel telur, bagian ekor sperma dilepaskan sehingga hanya sedikit atau hampir tidak ada mtDNA yang masuk ke dalam sel telur. Selain itu, dalam proses pertumbuhan sel jumlah mtDNA secara paternal semakin berkurang. Oleh karena itu dapat dianggap tidak terjadi rekombinasi sehingga dapat dikatakan bahwa mtDNA bersifat haploid, diturunkan dari ibu ke seluruh keturunannya (Wallaceet al., 1996).

Kasip (2001) menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada bobot kokon hasil persilangan resiprokal, yang dilakukan pada ulat sutera ras Tropika dengan ras Jepang (108). Berbeda dengan hasil persilangan resiprokal sebelumnya, hasil silangan resiprokal lainnya yaitu ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3) dan ras Jepang betina 903 disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4) menunujukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Bobot kokon kedua persilangan tersebut, tidak dipengaruhi oleh adanya persilangan resiprokal yang berarti tidak ada pengaruh maternal. Jenis persilangan ini memiliki bobot kokon yang paling tinggi dibandingkan dengan semua persilangan yang ada. Bobot kokon ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3) dan ras Jepang betina 903 disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4) masing-masing bernilai 1,82 g dan 1,80 g.

Hasil yang tidak nyata ini diduga karena tetua yang digunakan pada persilangan ras Cina betina 806 dengan ras Jepang jantan 903 (P3) dan persilangan ras Jepang betina 903 dengan ras Cina jantan 806 (P4) merupakan tetua yang memiliki umur generasi lebih pendek dibandingkan dengan tetua dari persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1) dan persilangan ras Cina betina 808 dengan ras Jepang jantan 108 (P2). Tetua dari pasangan resiprokal pertama (P1

21 dan P2) yaitu 108 dan 808 masing-masing telah mencapai umur generasi ke-32 dan ke-20, sedangkan tetua dari pasangan resiprokal kedua (P3 dan P4) yaitu 806 dan 903 masing-masing telah mencapai umur generasi ke-20 dan ke-28. Dengan demikian, diduga bahwa tetua dari persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1) dan persilangan ras Cina betina 808 dengan ras Jepang jantan 108 (P2) memiliki tingkat kemurnian yang lebih tinggi dibandingkan tetua dari persilangan ras Cina betina 806 dengan ras Jepang jantan 903 (P3) dan persilangan ras Jepang betina 903 dengan ras Cina jantan 806 (P4) sehingga akan menghasilkan efek heterosis yang lebih nyata jika disilangkan dengan ras yang berbeda.

Nilai bobot kokon pada persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1), ras Cina betina 808 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 108 (P2), ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3), dan ras Jepang betina 903 yang disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4) memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan bibit komersial C301 (P6) yaitu bibit komersial asal Candiroto pada nilai bobot kokon. Nilai bobot kokon dari hasil silangan P1, P2, P3, dan P4 berturut-turut adalah 1,7 g; 1,6 g; 1,8 g; dan 1,8 g. Sedangkan persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1) dapat menghasilkan bobot kokon yang sama baiknya dengan BS09 (P5) yaitu bibit komersial asal Bogor. Bibit komersial C301 (P6) memiliki bobot kokon 1,5 g, sedangkan bibit komersial BS09 (P5) memiliki bobot kokon sebesar 1,8 g. Nilai bobot kokon secara lengkap dapat disajikan pada Gambar 3.

Bibit komersial BS09 memiliki salah satu tetua yang sama dengan persilangan P1, yaitu ras Cina 808 sehingga hasil silangan tidak berbeda dengan P1 yang merupakan persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808. Namun, berat kokon dari semua silangan ini masih di bawah standar kokon komersial, yaitu 2,0-2,5 g (Atmosoedarjo et al.,2000). Berdasarkan kualitas kokon yang ditetapkan oleh SNI 01-5009-11-2002, hasil silangan P1, P3, P4 dan P5 termasuk ke dalam kokon kelas B karena memiliki bobot kokon dengan kisaran 1,7-1,9 g. Sedangkan P2 dan P6 termasuk dalam kokon kelas C karena memiliki bobot kokon dalam kisaran 1,3-1,6 g.

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 B ob ot K o k o n (g/ b ut ir) Jenis Persilangan

Gambar 3. Bobot Kokon pada Setiap Perlakuan

Keterangan: P1: ras Jepang 108 betina disilangkan dengan ras Cina jantan 808, P2: ras Cina betina 808 disilangkan dengan ras Jepang jantan 108, P3: ras Cina betina 806 disilangkan dengan ras Jepang jantan 903, P4: ras Jepang betina 903 disilangkan dengan ras Cina jantan 806, P5: bibit ulat sutera komersial BS09, P6: bibit ulat sutera komersial C301.

Khrisnaswami et al.(1973) menyatakan bahwa berat kokon dipengaruhi oleh jenis bibit, keadaan pemeliharaan, dan pengokonan. Ulat-ulat yang belum matang jika dipindah dalam pengokonan, maka akan menghasilkan kokon yang mengandung sedikit benang sutera. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas kokon yaitu pakan dan keadaan lingkungan. Keadaan lingkungan yang banyak berpengaruh misalnya aliran angin, ventilasi udara, cahaya, suhu dan kelembaban. Rata-rata suhu saat pemeliharaan cukup tinggi, yaitu 27,55oC dengan kelembaban 66,2%. Sedangkan suhu dan kelembaban yang baik untuk pertumbuhan ulat sutera yaitu berkisar 24o-28oC dengan kelembaban berkisar 70%-90%. Dalam penelitian ini, jenis pakan yang diberikan sama, yaitu M. chatayana, sehingga adanya perbedaan yang nyata pada bobot kokon diakibatkan oleh adanya perbedaan konstitusi genetik, hal ini sesuai dengan pernyataan Kasip (2001) bahwa adanya perbedaan bobot kokon, kulit kokon, dan rasio kulit kokon dapat terjadi karena adanya perbedaan konstitusi genetik. Nilai bobot kokon ini merupakan salah satu nilai ekonomis dari kokon ulat sutera, sehingga menjadi salah satu parameter yang penting karena harga jual kokon dari petani berdasarkan berat kokon.

Persentase Kulit Kokon

Persentase kulit kokon didapatkan dari perbandingan antara bobot kulit kokon dengan bobot kokon keseluruhan kemudian dikalikan 100%. Makin berat kulit

23 kokon, makin besar pula kandungan suteranya. Hal ini bervariasi sesuai dengan varietas ulat, kondisi pemeliharaan dan pengokonan. Persilangan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan dasar penyeleksian persentase kulit kokon setiap tetuanya. Menurut Kim (1998) sebaiknya penyeleksian dilakukan berdasarkan satu sifat saja, karena sifat-sifat ekonomis pada ulat sutera ada yang berkorelasi positif dan negatif. Ketepatan dalam menentukan karakter yang akan dijadikan kriteria seleksi merupakan faktor penting dalam peningkatan produktivitas hasil silang generasi berikutnya pada ulat sutera.

Seleksi yang dilakukan atas dasar penyeleksian bobot kulit kokon pernah dilakukan oleh Kasip (2001), yang menyatakan bahwa seleksi atas dasar bobot kulit kokon dapat meningkatkan bobot kokon, kulit kokon, dan rasio kulit kokon baik pada kokon-kokon dengan jenis kelamin pupa betina dan jantan yang lebih tinggi dibandingkan tetuanya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan hal yang serupa, yaitu hasil persilangan menghasilkan bobot kokon dan persentase kulit kokon yang lebih tinggi dibandingkan dengan salah satu atau kedua tetuanya. Kenaikan nilai tersebut sebagai akibat dari seleksi tetua yang dilakukan atas dasar persentase kulit kokon. Namun, persilangan ras Cina betina 808 dengan ras Jepang jantan 108 (P2) menunjukkan hasil berkebalikan, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti keadaan lingkungan atau dapat pula disebabkan oleh daya gabung yang kurang baik antara kedua tetuanya. Menurut Malik et al. (2004), daya gabung dipengaruhi oleh variasi general dan spesifik daya gabung yang berhubungan dengan tipe gen yang terlibat.

Persentase kulit kokon tidak dipengaruhi oleh adanya persilangan resiprokal. Seperti yang tersaji pada Tabel 2, yang menyatakan bahwa persentase kulit kokon antara persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1) dengan resiprokalnya yaitu ras Cina betina 808 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 108 (P2) memiliki persentase kulit kokon yang tidak berbeda nyata, begitu juga dengan pasangan resiprokal kedua yaitu ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3) dan ras Jepang betina 903 yang disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4). Nilai persentase kulit kokon P1 yaitu 21.8%, sedangkan P2 memiliki persentase kulit kokon sebesar 20.9%. Persentase kulit kokon pada P3 dan P4 sama, yaitu 21,1%. Hal ini mengindikasikan tidak adanya pengaruh maternal

18% 20% 22% P1 P2 P3 P4 P5 P6 K u li t K o k o n Jenis Persilangan

dalam persilangan tersebut. Persentase kulit kokon dari persilangan tersebut tidak dipengaruhi oleh penurunan sifat secara maternal. Kulit kokon dengan pupa betina lebih berat daripada yang jantan. Pada umumnya antara 0,30-0,40 g untuk varietas murni dan 0,35-0,55 g untuk bibit komersial. Persentase kulit kokon erat hubungannya dengan persentase filament kokon, dan nilainya berkisar antara 18% sampai 22% (Atmosoedarjo et al., 2000).

Persentase kulit kokon pada persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1), ras Cina betina 808 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 108 (P2), ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3), dan ras Jepang betina 903 yang disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4) tidak berbeda nyata dengan bibit komersial BS09 (P5) dan C301 (P6), hal ini menunjukkan bahwa persentase kulit kokon P1 sama dengan persentase kulit kokon bibit komersial BS09 dan C301. Persentase kulit kokon P1, P2, P3, P4, P5 dan P6 secara berturut-turut yaitu 21,8%, 20,9%, 21,1%, 21,1%, 21,8%, dan 19,7%. Data persentase kulit kokon disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Persentase Kulit Kokon pada Setiap Perlakuan.

Keterangan: P1: ras Jepang 108 betina disilangkan dengan ras Cina jantan 808, P2: ras Cina betina 808 disilangkan dengan ras Jepang jantan 108, P3: ras Cina betina 806 disilangkan dengan ras Jepang jantan 903, P4: ras Jepang betina 903 disilangkan dengan ras Cina jantan 806, P5: bibit ulat sutera komersial BS09, P6: bibit ulat sutera komersial C301.

Nilai persentase kulit kokon ini sesuai dengan standar kokon yaitu 18% hingga 22%. Menurut SNI 01-5009-11-2002, kokon dari hasil pemeliharaan ini termasuk ke dalam kelas B karena memiliki kisaran persentase kulit kokon sebesar 20% sampai 22,9%, kecuali pada P6 yang termasuk ke dalam kualitas C karena memiliki persentase kulit kokon dalam kisaran 17,0% sampai 19,9%. Menurut

25 Krishnaswami (1973), besarnya persentase kulit kokon tergantung dari jenis bibit. Selain itu, kondisi lingkungan seperti keadaan selama pemeliharaan, keadaan selama ulat membuat kokon maupun kualitas dan kuantitas daun murbei sangat mempengaruhi mutu kokon (Katsumata, 1975). Persentase kulit kokon akan sangat berpengaruh pada benang sutera yang dihasilkan, sehingga semakin tinggi persentse kulit kokon maka semakin banyak benang sutera yang dihasilkan.

Rendemen Pemeliharaan

Rendemen pemeliharaan adalah perbandingan antara ulat yang mengokon dengan jumlah ulat yang dipelihara. Rendemen pemeliharaan sangat berpengaruh pada jumlah benang sutera yang dihasilkan. Hasil penelitian menyatakan tidak adanya perbedaan yang nyata pada rendemen pemeliharaan. Hal ini mengindikasikan bahwa persilangan resiprokal tidak mempengaruhi rendemen pemeliharaan. Rendemen pemeliharaan persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1) dan ras Cina betina 808 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 108 (P2) masing-masing bernilai 77,7 % dan 90,6 %. Nilai rendemen pemeliharaan P1 mencapai angka 77,7% karena adanya penyebaran penyakit Grasserie pada perlakuan P1 ulangan ke-2 sehingga mengakibatkan kematian yang lebih besar dibandingkan P2.

Grasserie adalah salah satu penyakit pada ulat sutera yang cara penularannya yaitu infeksi melalui mulut, kulit, atau induksi. Gejala yang tampak yaitu kulit larva yang terserang akan terlihat membengkak. Waktu yang dibutuhkan dari pembengkakan badan hingga kematian larva singkat sekali, atau bisa terjadi kurang dari 1 hari. Larva terus membengkak dan terlihat gelisah dengan mengelilingi sasag, kulit mudah terluka, darah yang bersih menjadi keruh, bila kulit pecah cairan seperti susu yang mengandung polyhedra mengalir keluar, larva yang sudah matang (siap mengokon) dan terserang Grasserie maka akan mengeluarkan cairan bersamaan dengan keluarnya filamen, atau akan membentuk kokon lembek dan larva akan mati di dalam kokon sebelum berubah menjadi pupa. Larva yang mati akan berubah menjadi hitam dan lembek (Atmosoedarjo et al., 2000).

Hal yang terjadi pada P1 ulangan ke-2 adalah ditemukannya cairan keruh pada tempat pemeliharaan dan mengindikasikan adanya larva yang terserang Grasseriedan megalami pemecahan kulit sehingga mengeluarkan cairan dari dalam

tubuhnya yang kemudian menginfeksi larva lainnya yang masih sehat sehingga menjadi terserang Grasserie dan mengakibatkan kematian massal. Hal ini didukung oleh pernyataan Atmosoedarjo et al. (2000) yang menyatakan bahwa bila kulit larva yang terserang penyakit Grasserie pecah (rusak) dan mengeluarkan cairan, akan dapat menyebar ke larva lain. Larva yang terkena, meskipun tidak langsung mati namun tidak bisa mengokon dan akhirnya akan mati dalam pengokonan dan kemudian membusuk. Penyebab dari penyakit ini adalah Borrelina virus, yang menyerang sel-sel larva. Pada waktu terserang, polyhedral dibentuk di nuklea dari berbagai organ badan, yang selanjutnya pindah ke dalam cairan badan larva, diikuti dengan rusaknya sel-sel inang. Cairan badan ini akan berubah menjadi keruh. Contoh ulat yang terkena Grasserie dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Ulat yang terserang Grasserie

Sumber: Sinchaisri (1993)

Pada persilangan ras Cina betina 806 dengan ras Jepang jantan 903 (P3) dan ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P4) juga tidak terdapat perbedaan yang nyata, dengan nilai rendemen masing-masing yaitu 96,8% dan 96,0%. Persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1), ras Cina betina 808 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 108 (P2), ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3), dan ras Jepang betina 903 yang disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4) tidak berbeda nyata dengan bibit komersial BS09 (P5) dan C301 (P6). Hasil penelitian Samsijah yang dilakukan pada tahun 1986 menyatakan bahwa jenis persilangan ulat dan jenis daun murbei tidak berpengaruh pada persentase ulat yang menjadi kokon (rendemen pemeliharaan).

27 0% 20% 40% 60% 80% 100% P1 P2 P3 P4 P5 P6 R en d em en P em el iha ra an Jenis Persilangan

suhu, kelembaban, kebersihan lingkungan saat pemeliharaan, dan manajemen pemberian pakan (Reddy, 1986). Data rendemen pemeliharaan dijasikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Grafik Persentase Rendemen Pemeliharaan pada Setiap Perlakuan

Keterangan: P1: ras Jepang 108 betina disilangkan dengan ras Cina jantan 808, P2: ras Cina betina 808 disilangkan dengan ras Jepang jantan 108, P3: ras Cina betina 806 disilangkan dengan ras Jepang jantan 903, P4: ras Jepang betina 903 disilangkan dengan ras Cina jantan 806, P5: bibit ulat sutera komersial BS09, P6: bibit ulat sutera komersial C301.

Nilai rendemen pemeliharaan bibit komersial BS09 (P5) yang merupakan bibit komersial asal Bogor yaitu 98% namun memiliki umur produksi yang lebih lama dibandingkan yang lainnya. Umur ulat P5 mencapai 533,9 jam atau setara dengan 22,24 hari, sedangkan umur persilangan lainnya yaitu 507,25 atau 21.13 hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kim (1998) yang menyatakan bahwa sifat-sifat ekonomis pada ulat sutera ada yang berkorelasi positif dan negatif.

Perlakuan lainnya yaitu persilangan ras Cina betina 808 dengan ras Jepang jantan 108 (P2), ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3), ras Jepang betina 903 yang disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4), dan bibit komersial C301 (P6) memiliki nilai rendemen pemeliharaan yang juga tinggi, masing-masing memiliki nilai rendemen pemeliharaan sebesar 90,6%, 96,8%, 96,0%, dan 96,0%.

Persentase Kokon Normal

Kokon yang dihasilkan dari pemeliharaan ulat sutera tidak seluruhnya mulus dan terdapat beberapa bagian yang merupakan kokon cacat. Kokon yang cacat harus dipisahkan dari yang normal dan baik, karena tidak baik untuk proses reeling. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000) Beberapa contoh kokon cacat, yaitu kokon

ganda, kokon berlubang, kokon bernoda di dalam, kokon bernoda di luar, kokon berujung tipis, kokon berkulit tipis, kokon tergencet, bentuk kokon yang abnormal, kokon berserabut, kokon berlapis ganda, dan kokon yang tipis bagian tengahnya.

Persentase kokon normal menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada kedua pasangan persilangan resiprokal. Nilai persentase kokon normal antara Persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1) dan ras Cina betina 808 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 108 (P2) masing-masing adalah 72,3% dan 79,6%. Sedangkan nilai persentase kokon normal pada persilangan resiprokal kedua yaitu ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3) dan ras Jepang betina 903 yang disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4), masing-masing adalah 87,2% dan 86,9%. Perhitungan kokon normal ini dilakukan manual dengan cara menyortir kokon yang berbentuk normal, keras, dan bersih. Sedangkan kokon yang kotor dalam, kotor luar, kokon double, kokon tercetak frame, kokon berbentuk tidak normal, dan kokon tipis dipisahkan. Data persentase kokon normal disajikan pada Gambar 7.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa persentase kokon normal hasil silangan dengan bibit komersial tidak berbeda nyata. Persentase kokon normal bibit komersial BS09 (P5) dan bibit komersial C301 (P6) masing-masing adalah 79.8% dan 87.9%. Hal ini berarti P6 memiliki nilai persentase kokon normal yang sama dengan P5. Namun pada sifat lainnya, yaitu bobot kokon P6 memiliki nilai yang terendah. Hal ini dikarenakan P6 merupakan bibit komersial yang sudah lebih lama dan lebih banyak digunakan oleh petani di Indonesia, sehingga sudah dapat beradaptasi dengan lingkungan diluar kondisi optimal. Dengan demikian, P6 dapat menghasilkan daya tahan yang baik, walaupun bobot kokonnya lebih rendah. Seperti yang dinyatakan oleh Kim (1998) bahwa sifat-sifat ekonomis pada ulat sutera ada yang berkorelasi positif dan negatif. Dalam kasus ini, P6 (C301) memiliki nilai ekonomis persentase kokon normal yang tinggi namun bobot kokon yang rendah. Persentase kokon normal dan persentase kulit kokon akan sangat berpengaruh pada rendemen pemintalan (raw silk). Semakin besar persentase kokon normal maka semakin besar pula raw silkyang akan dihasilkan.

Berdasarkan hasil analisis, tidak terdapat perbedaan yang nyata pada persentase kokon normal hasil silangan dengan bibit komersial. Dapat dikatakan bahwa

29 0% 20% 40% 60% 80% 100% P1 P2 P3 P4 P5 P6 P er se n ta se K o kon N orm al Jenis Persilangan

persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1), ras Cina betina 808 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 108 (P2), ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3), dan ras Jepang betina 903 yang disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4) memiliki persentase kokon normal yang sama dengan bibit komersial BS09 (P5) dan C301 (P6). Nilai persentase kokon normal P1, P2, P3, dan P4 masing-masing sebesar 72.3%, 79.6%, 87.2%, dan 86.9%. Dengan kata lain kokon cacat dari P1, P2, P3, dan P4 masing-masing adalah 27.7%, 20.4%, 12.8%, dan 13.1%.

Gambar 7. Persentase Kokon Normal pada Setiap Perlakuan

Keterangan: P1: ras Jepang 108 betina disilangkan dengan ras Cina jantan 808, P2: ras Cina betina 808 disilangkan dengan ras Jepang jantan 108, P3: ras Cina betina 806 disilangkan dengan ras Jepang jantan 903, P4: ras Jepang betina 903 disilangkan dengan ras Cina jantan 806, P5: bibit ulat sutera komersial BS09, P6: bibit ulat sutera komersial C301.

Berdasarkan SNI 01-5009-11-2002, hasil silangan P1, P2, P3, dan P4 termasuk dalam grade D karena memiliki jumlah persentase kokon cacat lebih dari 8%. Begitupun dengan bibit komersial P5 dan P6 yang masing-masing memiliki persentase kokon cacat sebesar 20.2% dan 12.1%, juga termasuk dalam grade D karena memiliki persentase kokon cacat lebih dari 8%. Pada penelitian ini ditemukan kokon cacat seperti kokon bernoda di luar, kokon tergencet, kokon berbentuk abnormal, kokon berkulit tipis, kokon ganda, dan kokon yang mati pupa. Banyaknya kokon cacat pada setiap dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 8.

Jumlah kokon yang termasuk ke dalam kokon cacat bervariasi, namun secara umum, kacacatan yang paling tinggi diakibatkan oleh kokon yang bernoda di bagian luar. Kokon cacat seperti ini dikarenakan terkena noda oleh kotoran ulat, atau ulat

11 37 24 18 55 11 20 3 3 7 5 6 4 13 6 5 13 3 11 4 1 4 3 18 2 4 4 0 3 3 20 12 8 11 2 3 0 10 20 30 40 50 60 P1 P2 P3 P4 P5 P6 ju m la h k o k o n c ac at ( bu ti r) Jenis Persilangan kotor luar tergencet bentuk abnormal kokon tipis kokon ganda mati pupa

mati sebelum mengokon dan mengotori kokon lain yang sudah jadi. Ketidaknormalan kokon lainnya seperti kokon ganda, yang merupakan kokon yang dibuat oleh dua ekor ulat bersama-sama, menghasilkan kokon yang besar, lapisan sutera yang tebal dan berkerut kasar. Kokon ganda akan meningkat pada pengokonan yang terlalu padat, ruang pengokonan yang sempit, suhu yang terlalu tinggi, kelembaban yang terlalu tinggi.

Kokon yang mati pupa yaitu kokon yang pupanya telah mati di dalam, biasanya dikarenakan ulat tersebut terserang penyakit sehingga tidak bisa bertahan

Dokumen terkait