• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas kokon hasil silangan ulat sutera (Bombyx mori L.) Ras Cina dengan ras Jepang secara resiprokal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kualitas kokon hasil silangan ulat sutera (Bombyx mori L.) Ras Cina dengan ras Jepang secara resiprokal"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

KUALITAS KOKON

(

Bombyx mori

L

SECARA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLO

KUALITAS KOKON HASIL SILANGAN ULAT SUTERA

L.) RAS CINA DENGAN RAS JEPANG

SECARA RESIPROKAL

SKRIPSI

ROFIKA ROCHMAWATI

EN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

ULAT SUTERA

JEPANG

(2)

RINGKASAN

Rofika Rochmawati. D14070138. 2011. Kualitas Kokon Hasil Silangan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ras Cina dengan Ras Jepang secara Resiprokal. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si. Pembimbing Anggota : Dra. Lincah Andadari, M.Si.

Sutera merupakan serat yang dihasilkan oleh ulat sutera, salah satu ulat sutera yang sangat terkenal dengan produksi suteranya ialah Bombyx mori L. Cara untuk memperoleh bibit ulat sutera yang baik diantaranya adalah dengan melakukan seleksi dan persilangan. Salah satu metode persilangan yang perlu mendapat perhatian dari aspek penurunan sifat secara maternal adalah persilangan resiprokal. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas kokon hasil Persilangan ulat sutera ras Cina dengan ras Jepang secara resiprokal dan membandingkannya dengan bibit komersial yang sudah ada.

Penelitian ini menggunakan enam perlakuan yang terdiri atas empat jenis persilangan secara resiprokal, yaitu persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1), persilangan ras Cina betina 808 dengan ras Jepang jantan 108 (P2), ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3), ras Jepang betina 903 yang disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4), dan dua jenis bibit komersial, yaitu BS09 (P5) dan C301 (P6). Sifat yang akan diamati yaitu bobot kokon, persentase kulit kokon, rendemen pemeliharaan, dan persentase kokon normal. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh persilangan resiprokal terhadap bobot kokon pada P1 dan P2 yang merupakan persilangan resiprokal pertama. Namun pada P3 dan P4 tidak terdapat pengaruh persilangan resiprokal terhadap semua sifat yang diamati. Berdasarkan hasil analisis P1, P2, P3 dan P4 memiliki nilai bobot kokon yang lebih tinggi dibandingkan dengan P6 dan memiliki nilai persentase kulit kokon, rendemen pemeliharaan dan persentase kokon normal yang tidak berbeda nyata dengan bibit komersial P6. Di sisi lain, P1, P3, dan P4 memiliki nilai yang tidak berbeda nyata dengan bibit komersial P5 pada semua sifat yang diamati. Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui kualitas benang yang dihasilkan.

(3)

ABSTRACT

Cocoon’s Quality of Silkworm (Bombyx moriL.) Crossbreed between Chinesse Silkworm Race and Japanesse Silkworm Race Reciprocally

Rochmawati, R., Jakaria, L. Andadari

This research aimed to evaluate the results of reciprocal crossbreeding between Chinesse silkworm race with Japanesse silkworm race reciprocally, and then compared them with the commercial silkworm races. There were six crossings to evaluate, the silkworm reciprocal crossbreed were female 108 Japanesse crossed male 808 Chinesse (P1), female 808 Chinesse crossed male 108 Japanesse (P2), female Chinesse 806 crossed male 903 Japanesse (P3), female 903 Japanesse crossed male 806 Chinesse (P4) and the commercial silkworm races BS09 (P5) and C301 (P6). There were four variables evaluated, including weight of cocoon, percentage of cocoon’s shell, rendement of rearing, and percentage of normal cocoon. The results showed that reciprocal gave significant effect on weight of cocoon in the first reciprocal (P1 and P2). In the other hand, it gave no significant effect on percentage of cocoon’s shell, rendement of rearing and percentage of normal cocoon. In the second reciprocal (P3 and P4) there was not significant different on every observed variables. The reciprocal crossbreeds (P1, P2, P3, and P4) had higher weight of cocoon than P6. The reciprocal crossbreeds were also had no significant difference with P6 in percentage of cocoon’s shell, rendement of rearing and percentage of normal cocoon. Even though, only P1, P3, and P4 had no significant difference with P5 on all observed variables.

(4)

KUALITAS KOKON HASIL SILANGAN ULAT SUTERA

(

Bombyx mori

L.) RAS CINA DENGAN RAS JEPANG

SECARA RESIPROKAL

ROFIKA ROCHMAWATI

D14070138

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Kualitas Kokon Hasil Silangan Ulat Sutera (Bombyx moriL.) Ras Cina dengan Ras Jepang Secara Resiprokal

Nama : Rofika Rochmawati NRP : D14070138

Menyetujui, Pembimbing Utama,

Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si. NIP. 196605011993031001

Pembimbing Anggota,

Dra. Lincah Andadari, M.Si NIP. 196304131990032002

Mengetahui, Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc NIP.19591212 198603 1 004

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 21 Januari 1990. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara, dari pasangan Zainal Arifin dan Rochana.

Pada tahun 1994, Penulis mengawali pendidikan dengan bersekolah di Taman Kanak-Kanak Aisyah Bustanul Athfal XI Bandung, dan melanjutkannya ke SD Negeri Sarijadi Selatan II Bandung serta lulus pada tahun 2001. Di tahun yang sama, Penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Bandung dan lulus pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 7 Bandung pada tahun yang sama dan lulus pada tahun 2007. Di tahun yang sama pula, Penulis di terima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada jurusan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan.

(7)

KATA PENGANTAR

Saat ini, kegiatan persuteraan alam telah dilakukan oleh lebih dari 50 negara. Negara-negara yang memiliki spesialisasi dalam teknologi persuteraan alam antara lain Cina, India, Jepang, Korea, Brazil, Turki, dan Asia bagian tengah. Sutera alam merupakan sekresi dari saliva kering yang diproduksi oleh larva saat ulat sutera yang sudah tumbuh maksimum dan memproduksi benang yang disebut kokon selama sebelum menjadi pupa. Benang ini disebut benang emas dari ratu emas tekstil dan dikagumi oleh seluruh dunia karena kelembutan dan kilauannya. Produk ini sangat ringan dan lembut namun kuat dan halus. Secara umum, produk ini diterima oleh top fashion designer kelas dunia karena keanggunan, penyerapan warna, toleransi terhadap panas dan daya serap airnya yang sangat baik. Tak heran jika angka permintaan sutera tinggi di mata dunia. Namun, terdapat kendala dalam pengembangan sutera khususnya di Indonesia. Salah satu kendala tersebut adalah bibit ulat yang kurang baik, sehingga masih dibutuhkan banyak penelitian mengenai bibit ulat sutera yang berkualitas agar membantu pengembangan sutera di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hasil silangan ulat sutera ras Cina dengan ras Jepang secara resiprokal dan membandingkannya dengan ras ulat sutera komersial yang sudah ada. Setiap persilangan akan menghasilkan keturunan yang berbeda sehingga perlu dilakukan persilangan resiprokal, dan sebagai hasilnya dapat benar-benar diketahui tetua mana yang harus digunakan dalam suatu persilangan untuk menghasilkan keturunan yang terbaik. Penulis berharap penelitian ini, dapat menjadi informasi bagi masyarakat secara umum dan mahasiswa secara khusus yang memperlajari Ilmu Genetika serta para Breedermengenai persilangan ulat sutera antara ras Cina dengan ras Jepang secara resiprokal.

Bogor, Juni 2011

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT... ii

LEMBAR PENGESAHAN ...iv

RIWAYAT HIDUP...v

KATA PENGANTAR...vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ...ix

DAFTAR GAMBAR ...x

DAFTAR LAMPIRAN ...xi

PENDAHULUAN...1

Latar Belakang... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ...3

Ulat Sutera (Bombyx mori L.) ... 3

Siklus Ulat Sutera ... 4

Telur Ulat Sutera... 5

Tahapan Larva ... 5

Tahapan Pupa... 5

Tahapan Ngengat ... 5

Ras Ulat Sutera ... 6

Genetika dan Pemuliaan Ulat Sutera ... 7

Seleksi ... 8

Persilangan ... 9

Efek Heterosis dan Maternal ... 9

Kualitas Kokon ... 11

MATERI DAN METODE...13

Lokasi dan Waktu ... 13

Materi ... 13

Ulat Sutera ... 13

Bahan... 13

Alat ... 14

(9)

viii

Perlakuan HCl pada Telur Ulat Sutera ... 14

Penetasan dan Pemindahan Ulat ... 15

Perlakuan Saat Pergantian Kulit ... 16

Pembersihan Sasag dan Pencegahan Hama/ Penyakit ... 16

Pengokonan... 16

Pengambilan Sampel ... 17

Rancangan Percobaan ... 17

Perlakuan ... 17

Model... 17

Peubah yang Diamati... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN...19

Bobot Kokon ... 19

Persentase Kulit Kokon... 22

Rendemen Pemeliharaan... 25

Persentase Kokon Normal... 27

KESIMPULAN DAN SARAN...31

Kesimpulan ... 31

Saran ... 31

UCAPAN TERIMA KASIH ...32

DAFTAR PUSTAKA...33

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Persyaratan Kelas Mutu Kokon...………. 12 2. Kualitas Kokon Hasil Silangan Ulat Sutera Ras Cina dengan Ras Jepang

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Siklus Hidup Ulat Sutera……….4

2. Ulat Sutera Ras Jepang (atas) dan ras Cina (bawah) beserta Kokonnya………....7

3. Bobot Kokon pada Setiap Perlakuan….………...22

4. Persentase Kulit Kokon pada Setiap Perlakuan………24

5. Ulat Terserang Grasserie...26

6. Persentase Rendemen Pemeliharaan pada Setiap Perlakuan………27

7. Persentase Kokon Normal pada Setiap Perlakuan………....29

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Perhitungan Sidik Ragam ………...35

2. Catatan Pemberian Pakan………....………...38

3. Catatan Umur Pemeliharaan Ulat………..………...39

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kegiatan persuteraan alam merupakan usaha yang memiliki prospek sangat baik. Benang sutera yang terkenal sebagai barang mewah dan mahal ternyata memiliki tingkat permintaan yang tinggi termasuk di Indonesia. Produksi benang sutera alam dunia mencapai sekitar 83.393 ton per tahun yang dihasilkan oleh negara-negara produsen terbesar yaitu Cina yang diikuti oleh India, Jepang, Korea, dan Brazil, sementara kebutuhan dunia yaitu sekitar 92.743 ton per tahun sehingga masih terdapat kekurangan mencapai 10% dari total permintaan. Hal ini merupakan peluang besar bagi negara lain termasuk Indonesia yang memiliki potensi dalam pengembangan persuteraan alam, karena produksinya baru mencapai kurang lebih 500 ton per tahun jauh di bawah kebutuhan dalam negeri sendiri yaitu sekitar 2.000 ton per tahun (Bank Indonesia, 1999).

Angka produksi sutera mentah pada tahun 1999 di Indonesia, hanya mencapai 74 ton, sedangkan pada tahun 2001 meningkat hingga 110 ton. Produksi sutera mentah terus menurun mencapai angka 47 ton, dan kembali meningkat pada tahun 2007 mencapai 65 ton. Penurunan drastis terjadi pada tahun 2009 yaitu 19 ton (Ditjen RLPS, 2010). Penurunan produksi yang drastis dari tahun ke tahun sangat disayangkan, padahal kegiatan persuteraan alam pernah menjadi penggerak masyarakat sebagai usaha meningkatkan penghasilan masyarakat pada tahun 1960-an. Namun, hingga saat ini usaha persuteraan alam cenderung mengalami penurunan karena berbagai faktor teknis maupun nonteknis (Nurhaedah et al., 2006). Mengingat kendala dan prospek usaha kegiatan persuteraan alam ini, maka diperlukan peran serta pemerintah dalam upaya menggerakkan kembali kegiatan persuteraan alam Indonesia agar dapat berkembang kembali.

(14)

kondisi lingkungan dan dapat menghasilkan kokon yang baik. Sehubungan dengan hal tersebut, dari beberapa ras ulat sutera yang ada di Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Divisi Persuteraan Alam, perlu dilakukan evaluasi terhadap ras-ras ulat sutera yang ada untuk calon bibit unggul ulat sutera yang berkualitas. Misalnya, dilakukannya evaluasi terhadap kualitas kokon persilangan galur 108 dan 903 dari ras Jepang, serta 808 dan 806 dari ras Cina yang masing-masing memiliki keunggulan dalam persentase kulit kokon dibandingkan galur lainnya.

Tujuan

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Ulat Sutera (Bombyx moriL.)

Ulat sutera merupakan serangga yang termasuk ke dalam Ordo Lepidoptera, yang mencakup semua jenis kupu dan ngengat. Ulat sutera adalah serangga holometabola, yaitu hewan yang mengalami metamorfosa sempurna. Hal ini berarti bahwa setiap generasi melewati 4 stadia, yaitu telur, larva (yang lazim disebut “ulat”), pupa dan ngengat, yang lebih dikenal sebagai “kupu”. Selama metamorfosa, stadia larva adalah satu-satunya masa dimana ulat makan, merupakan masa yang sangat penting untuk sintesis protein sutera dan pembentukan telur (Atmosoedarjo et al., 2000). Sistematika ulat sutera adalah sebagai berikut :

Phylum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Familia : Bombycidae Genus : Bombyx

Species : Bombyx moriL.

Tetua atau moyang dari ulat sutera Bombyx mori L. adalah Bombyx mandarina, yang ditemukan di pohon murbei Cina, Jepang dan negara lain di Asia Timur. Ulat sutera, karena sudah sejak lama didomestikasi, menyebabkan kehilangan kemampuan untuk hidup mandiri di alam bebas. Rasa penciumannya sudah sangat tumpul, sudah tidak mengenal lagi tanaman murbei dalam jarak beberapa meter, juga tidak dapat bergerak dari batang ke batang lain untuk mendapatkan daun, karena kemampuan merangkaknya sudah lemah. Daya pegangnya juga sangat lemah, sehingga tidak mampu mempertahankan diri dari goncangan batang oleh angin, atau oleh sebab-sebab lain. Selain itu, ulat sudah tidak dapat lagi melindungi diri dari musuh dan tidak bisa bergerak cepat. Ngengatnya tidak bisa terbang untuk berkopulasi, dan ngengat betina sulit untuk bertelur di daun murbei (Atmosoedarjo et al., 2000).

(16)

teknik pemeliharaan sebagai berikut : (1) klasifikasi berdasarkan negara asal yaitu ras Cina, ras Jepang, ras Eropa, dan ras Tropik, (2) klasifikasi berdasarkan jumlah generasi pertahun, yaitu univoltin, bivoltin, dan polivoltin, dan (3) klasifikasi berdasarkan frekuensi ganti kulit, yaitu three molter, four molter, dan five molter.

Berdasarkan sifat-sifat biologi, kebutuhan ruangan, kebutuhan pakan, dan lain-lain, maka sistem pemeliharaan untuk ulat kecil dan ulat besar harus dibedakan. Ulat kecil adalah ulat yang berumur 1 hari hingga 11 hari atau 12 hari, sedangkan ulat besar adalah fase sejak ulat berumur 12 hari hingga 22 hari dimana ulat akan memasuki fase pengokonan. Pada fase ulat kecil dapat dibagi lagi menjadi tiga instar, yaitu: (1) instar I: ulat berumur 1-4 hari, (2) instar II: ulat berumur 5-7 hari, (3) instar III: ulat berumur 8-11 hari (Guntoro, 1994).

Siklus Ulat Sutera

Ulat sutera merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna. Selama hidupnya, ulat sutera melewati empat tahap kehidupan yang berbeda, yaitu telur, larva (ulat), pupa, dan dewasa (ngengat). Umur kehidupan ulat sutera antara 50 hingga 60 hari termasuk periode inkubasi, tahapan larva, tahapan pupa, dan tahapan ngengat, dan akan berakhir saat setelah ngengat berkopulasi. Siklus hidup ulat sutera seperti yang digambarkan pada Gambar 1.

(17)

5

Telur Ulat Sutera

Telur ulat sutera berbentuk kecil, rata, dan elips, dilapisi dengan lapisan keras (kulit telur). Bentuk dan ukurannya sangat kecil. Pada ujung telur terdapat micropyle yaitu tempat sperma memasuki sel telur. Warna dari telur yang baru ditetaskan adalah putih susu atau kuning keruh yang terdiri dari warna chorion (kulit telur), serosa dan kuning telur (komponen dalam isi telur). Setelah hari ke-2 atau ke-3, warna telur mulai berubah, hari ke-6 dan ke-7 setelah ditelurkan, warna telur berubah menjadi abu-abu dengan ungu gelap (Sinchaisri, 1993).

Tahapan Larva

Menetasnya ulat sutera dari telurnya disebut penetasan, larva yang baru menetas sepanjang 3 mm, diselimuti oleh rambut-rambut tipis dan berwarna hitam. Selama masa larva, ulat sutera mengalami pergantian kulit sebanyak empat kali. Selama masa pergantian kulit, larva mangalami masa tidur selama kurang lebih 24 jam tanpa makan. Fenomena ini disebut moulting. Selama moulting pertama, ulat sutera memproduksi kulit baru untuk dirinya untuk menggantikan kulit lamanya. Setelah itu, larva kembali makan, tumbuh dan memasuki instar selanjutnya. Instar I hingga instar III biasa disebut ulat kecil, sedangkan instar IV dan V disebut ulat besar. Total periode larva dari penetasan hingga mengokon yaitu 25 hingga 30 hari (Sinchaisri, 1993).

Tahapan Pupa

Sekitar lima atau enam hari setelah ulat mulai membentuk kokon, ulat sutera berubah bentuk di dalam kokon dan menjadi pupa. Segera setelah menjadi pupa, pupa berwarna kuning keputihan dan lembek namun secara bertahap berubah mengeras. Periode pupa menghabiskan waktu 11 hingga 12 hari (Sinchaisri, 1993).

Tahapan Ngengat

(18)

Ras Ulat Sutera

Terdapat empat jenis ulat sutera unggul yang memiliki produksi kokon yang tinggi dan dapat menghasilkan benang sutera dengan kualitas yang baik. Keempat ras ulat sutera tersebut adalah ras Cina, ras Jepang, ras Eropa dan ras Tropika. Di Indonesia yang telah banyak dikembangkan adalah ulat sutera ras Cina, ras Jepang, dan hasil persilangan dari ras Jepang dengan ras Cina. Ras Cina dan ras Jepang ini disamping memiliki keunggulan juga memiliki beberapa kelemahan, seperti kokon yang tipis, tidak rentan terhadap penyakit dan umur produksi yang panjang. Tetapi dengan menyilangkan kedua ras tersebut kelemahan-kelemahannya dapat dikurangi dan sifat unggulnya lebih menonjol (Guntoro, 2004).

Ciri-ciri ulat sutera ras Jepang antara lain : (1) umur produksinya relatif lebih panjang atau lama dibandingkan dengan ras Cina; (2) lebih lemah, sehingga lebih rentan terhadap serangan penyakit; (3) bentuk kokon tebal, seperti kacang tanah; (4) lapisan kokon tebal, sehingga produksi kokon lebih tinggi dibandingkan ras Cina (Guntoro, 2004). Ras Jepang mempunyai varietas univoltin dan bivoltin. Banyak galur yang menghasilkan larva dengan ukuran medium dan kokon berbentuk kacang, ras Jepang ini memiliki kecepatan tumbuh yang medium (Atmosoedarjo et al., 2000). Ras Cina memiliki ciri-ciri antara lain : (1) umur produksinya lebih pendek atau cepat; (2) bentuk kokon bulat; (3) lapisan kokon tipis, sehingga produksi serat suteranya lebih rendah dibandingkan ulat sutera ras Jepang; dan (4) daya tahannya terhadap penyakit lebih baik (Guntoro, 2004). Ras Cina juga terdiri dari univoltin dan bivoltin yang mencakup banyak galur yang menghasilkan larva kecil dan kokon oval. Ras Cina ini memiliki kecepatan tumbuh yang cepat.

(19)

7 Ras Tropik merupakan jenis polivoltin, mempunyai telur kecil dan ringan, larvanya kecil tetapi kuat dan tumbuh sangat cepat. Bentuk kokon seperti kumparan, mempunyai banyak serabut (floss) dan kulit kokon tipis, sehingga produksinya rendah (Atmosoedarjo et al., 2000).

Gambar 2. Ulat Sutera Ras Jepang (atas) dan ras Cina (bawah) beserta Kokonnya

Sumber: Andadari (1998)

Genetika dan Pemuliaan Ulat Sutera

Ulat sutera merupakan hewan penelitian yang ideal sehingga mendapat perhatian besar dari para ahli genetika di seluruh dunia. Hal ini dilihat dari banyaknya sifat yang diturunkan, baik pada telur, larva, pupa, maupun pada stadia dewasa. Selain itu, ulat sutera mempunyai siklus hidup yang pendek, sehingga dapat dipelihara 7-8 generasi per tahun (Atmosoedarjo et al., 2000). Ulat sutera mempunyai sifat kualitatif dan kuantitatif, dengan jumlah kromosom 56 buah yang terdiri dari 27 pasang kromosom tubuh dan 1 pasang kromosom seks (penentu jenis kelamin). Kromosom seks betina adalah heterogamet dengan formula kromosom “ZW”, sedangkan yang jantan homogamet dengan formula “ZZ”. Kromosom yang menentukan jenis kelamin betina adalah kromosom “W” (Atmosoedarjo et al., 2000).

(20)

jenis ulat sutera yang sesuai dengan masing-masing kondisi lingkungan. Peningkatan kualitas bibit ulat sutera masih perlu dilaksanakan di Indonesia, terutama karena bibit yang digunakan sekarang merupakan dari daerah sub-tropik, yang biasa dipelihara pada kondisi optimum. Untuk kondisi tropik seperti Indonesia yang agroklimatnya berfluktuasi, kualitas daun rendah dan kemampuan para pemelihara ulat terbatas, diperlukan jenis ulat yang lebih kuat. Untuk meningkatkan kualitas bibit ulat sutera ada beberapa cara yang sudah dikenal yaitu dengan seleksi, persilangan, gabungan antara persilangan dan seleksi, serta rekayasa genetika (Atmosoedarjo et al., 2000).

Seleksi

Dipandang dari segi genetik, seleksi diartikan sebagai suatu tindakan untuk membiarkan ternak-ternak tertentu bereproduksi, sedangkan ternak lainnya tidak diberi kesempatan bereproduksi. Seleksi dapat dibagi menjadi dua, yaitu seleksi alam dan seleksi buatan. Seleksi alam meliputi kekuatan-kekuatan alam yang menentukan ternak-ternak akan bereproduksi dan menghasilkan keturunan untuk melanjutkan proses reproduksi. Ternak yang dapat beradaptasi dengan lingkungannya dan bisa bertahan hidup adalah ternak-ternak yang memiliki peluang lebih besar untuk bereproduksi. Kemampuan ternak untuk bertahan hidup dipengaruhi oleh faktor genetik (Noor, 2008).

(21)

9

Persilangan

Salah satu pendekatan yang digunakan untuk memperbaiki kualitas genetik hewan/ternak, yaitu dengan sistem persilangan. Persilangan adalah perkawinan antar individu, yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dalam populasi. Persilangan biasanya berdampak pada peningkatan daya hidup. Selain itu, persilangan memiliki tingkat kesuburan, daya tumbuh dan daya tahan yang lebih tinggi. Gejala ini disebut dengan heterosis atau keunggulan hasil silangan (Minkema, 1993).

Pada ulat sutera, persilangan dilakukan antar galur yang berasal dari daerah yang berbeda agar sifat-sifat unggul atau karakteristik yang dimiliki masing-masing galur dapat bergabung pada hibridnya. Persilangan digunakan secara luas dalam rangka memperbaiki kualitas jenis ulat dengan mengeksploitasi gen-gen unggul (Atmosoedarjo et al., 2000). Menurut Razdan et al. (1994) yang paling penting diperhatikan dalam persilangan untuk membentuk galur baru maupun hibrid baru adalah karakter spesifik dari masing-masing ras. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam persilangan adalah sifat yang dipilih, sistem persilangan, induk yang digunakan, lingkungan, gender, dan seleksi. Guna mendapatkan galur unggul terdapat masalah dalam pemilihan induk untuk persilangan, mengingat daya gabung tergantung dari interkasi yang kompleks dari gen-gen yang tidak dapat ditentukan hanya dari penampilan induk-induknya, Oleh karena itu perlu dicoba sebanyak mungkin macam persilangan, sebelum hasil terbaik dapat ditentukan.

Efek Heterosis dan Maternal

Silang luar berpengaruh dalam meningkatkan proporsi gen-gen yang heterozigot dan menurunkan proporsi gen yang homozigot namun tidak mempengaruhi frekuensi genotip. Perubahan derajat heterozigositas tergantung dari hubungan kekerabatan ternak yang disilangkan. Jika ternak yang tidak memiliki hubungan keluarga disilangkan, maka keturunannya cenderung menampilkan performa yang lebih baik dari rataan performa tetuanya untuk sifat-sifat tertentu. Fenomena ini disebut hibrid vigor yang nilainya dapat diukur. Pengukuran kuantitatif hibrid vigor disebut heterosis yang didefinisikan sebagai persentase peningkatan performa dari ternak-ternak hasil persilangan di atas rataan tetuanya (Noor, 2005)

(22)

pada perbedaan genetik dari tetuanya. Makin jauh hubungan kekerabatannya antara kedua ternak tersebut maka makin sedikit kesamaan gen-gennya dan makin besar pula tingkat heterozigositasnya (Noor, 2005). Nilai heterosis untuk setiap sifat berbeda dan tingkat heterosis bagi masing-masing sifat pun ternyata tidak konsisten, atau bervariasi, karena susunan genetik dari induk yang terlibat dalam persilangan berlainan (Atmosoedarjo et al., 2000).

Pewarisan maternal terdapat apabila faktor yang menentukan sifat keturunan terdapat diluar inti nukleus dan pemindahan faktor itu hanya berlangsung melalui sitoplasma. Pengaruh maternal ada apabila genotipe diwariskan dari induk betina menentukan fenotipe dari keturunan. Faktor-faktor keturunan berupa gen-gen yang berasal dari inti nukleair dipindahkan oleh kedua jenis kelamin, dan dalam persilangan-persilangan tertentu sifat-sifat keturunan itu mengalami segregasi mengikuti pola Mendel. Pengaruh maternal berasal dari sitoplasma sel telur yang telah dimodifikasi oleh gen-gen yang dipindahkan secara kromosomal (Suryo, 1995).

Cara untuk mengetahui adanya pengaruh maternal, biasanya para pemulia ulat sutera melakukan perkawinan secara resiprokal untuk menghasilkan hasil silangan yang paling baik. Menurut Welsh (1991) persilangan resiprokal adalah persilangan antara dua induk, dimana kedua induk berperan sebagai pejantan dalam suatu persilangan, dan sebagai betina dalam persilangan yang lain. Seleksi berulang resiprokal memperbaiki kemampuan berkombinasi spesifik maupun umum. Cara yang ditempuh adalah dengan melakukan seleksi terhadap dua populasi dalam waktu yang bersamaan. Bukti-bukti adanya fenomena pewarisan terpaut kelamin pada karakter kuantitatif yaitu dari hasil persilangan yang dilakukan Tazima (1964) terhadap galur yang menghasilkan bobot kulit kokon berat dan ringan. Persilangan resiprokal menghasilkan bobot kulit kokon berbeda pada keturunan pertama dan kedua pada masing-masing kelamin. Pengaruh gen terpaut kelamin diindikasikan dengan bervariasinya tinggi dan lebar kurva bobot kulit kokon pada kedua jenis kelamin keturunannya. Penyebabnya adalah adanya gen utama yang mengontrol sifat-sifat dewasa terpaut pada kromosom Z yang mempengaruhi ekspresi karakter kuantitatif dan aksinya dimodifikasi oleh gen autosomal (Tazima, 1964).

(23)

11 DNA mitokondria atau sering disingkat mtDNA. Mt DNA ini mempunyai karakteristik yang khas dan diwariskan secara maternal atau pola pewarisannya hanya melalui garis ibu. Hal ini disebabkan karena sel telur memiliki jumlah mitokondria yang lebih banyak dibandingkan sel sperma. Mitokondria dalam sel sperma banyak terkandung di bagian ekor karena bagian ini sangat aktif bergerak sehingga membutuhkan banyak sekali ATP. Pada saat terjadi pembuahan sel telur, bagian ekor sperma dilepaskan sehingga hanya sedikit atau hampir tidak ada mtDNA yang masuk ke dalam sel telur. Selain itu, dalam proses pertumbuhan sel jumlah mtDNA secara paternal semakin berkurang. Oleh karena itu dapat dianggap tidak terjadi rekombinasi sehingga dapat dikatakan bahwa mtDNA bersifat haploid, dan diturunkan dari ibu ke seluruh keturunannya (Wallaceet al., 1996).

Kualitas Kokon

Kualitas kokon ditentukan oleh keturunan dari jenis ulat sutera dan keadaan luar seperti keadaan selama pemeliharaan, pengokonan dan lain-lain. Syarat kokon yang baik adalah sehat (tidak cacat), bersih (putih bersih, kuning bersih, atau warna-warna lainnya), bagian dalam (pupa) tidak rusak atau hancur, bagian kulit kokon (lapisan serat-serat suteranya) keras dan jika ditekan sedikit berat (Samsijah dan Andadari, 1992). Persyaratan mutu kokon segar berasarkan uji visual meliputi bobot kokon, rasio kulit kokon dan kokon normal (Dirjen RLPS, 2002). Bobot kokon adalah bobot kokon secara keseluruhan berikut isinya. Kokon yang berisi pupa betina biasanya lebih besar daripada kokon berisi pupa jantan. Pada umumnya bobot kokon adalah 1,5-1,8 g untuk galur murni dan 2,0-2,5 g untuk galur hibrid (Atmosoedarjo et al., 2000). Hasil produksi kokon per boks dianggap baik jika mencapai target, yaitu 30 kg kokon segar (Andadari et al., 1998)

(24)

Persentase kulit kokon adalah salah satu tolak ukur untuk penentuan harga jual kokon. Sampai saat ini yang dianggap grade tertinggi (tingkatan kualitas kokon) adalah persentase kulit kokon sebesar 22%-25% (Kim, 1989). Besarnya nilai persentase kulit kokon sangat ditentukan oleh berat kokon dan berat kulit kokon. Persentase kulit kokon tersebut dapat menggambarkan persentase serat kasar yang dapat diperoleh dari hasil panen (Andadari et al., 1998). Berdasarkan hasil penelitian Andadari et al. (1998), persentase kulit kokon tidak dipengaruhi kombinasi pakan.

Kokon cacat harus dipisahkan dari kokon normal karena merupakan kokon yang berkualitas rendah. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), yang termasuk kokon cacat misalnya, kokon yang rangkap, kokon berlubang, kokon berbentuk aneh, kokon berbulu, kokon kulit berlapis, kokon berlekuk, kokon berujung tipis, kokon tergencet, dan bentuk kokon yang abnormal. Menurut SNI 01-5009-11-2002 syarat dan penggolongan kualitas kokon secara visual disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Persyaratan Klasifikasi Mutu Kokon Ulat Sutera Parameter yang diuji Kualitas

A B C D

Bobot kokon (g/butir) ≥2,0 1,7-1,9 1,3-1,6 < 1,3 Persentase kulit kokon (%) ≥23,0 20,0-22,9 17,0-19,9 < 17,0 Kokon cacat (%) ≤ 2,0 2,0-5,0 5,1-8,0 ≥8,0

Sumber : SNI 01-5009-11 (2002)

(25)

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Divisi Persuteraan Alam, Ciomas, Bogor. Waktu penelitian dimulai dari Maret sampai dengan April 2011.

Materi

Ulat Sutera

Ulat sutera yang digunakan dalam penelitian ini adalah ulat sutera (Bombyx moriL.) hasil persilangan ulat sutera ras Jepang dan ras Cina, dengan kode 808, 108, 903, 806, (kode angka pertama merupakan tempat asal dan angka ketiga merupakan urutan jenis ulat) dan bibit komersial C301 serta BS09 sebagai kontrol. Telur hasil persilangan ulat sutera dan bibit komersial BS09 diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitas, Divisi Persuteraan Alam. Telur bibit komersial C301 diperoleh dari Pusat Pembibitan Ulat Sutera Candiroto, Jawa Tengah. Jumlah ulat yang dipelihara yaitu 3600 ekor.

Ulat sutera ras Cina dengan kode 808 merupakan bibit murni yang didapatkan dari Brazil dengan kode awal SO dan sudah memasuki generasi ke-20, sedangkan ulat sutera dengan kode 806 merupakan ulat sutera ras Cina yang juga didapatkan dari Brazil dengan kode awal ME dan juga telah memasuki generasi ke-20. Ulat sutera ras Jepang dengan kode 108 merupakan bibit murni yang didapatkan dari Jepang dengan kode awal BN7 dan telah memasuki generasi ke-32, sedangkan ulat dengan kode 903 merupakan ulat sutera ras Jepang yang didapatkan dari PPUS Candiroto dan telah memasuki generasi ke-28.

Bahan

(26)

Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kotak penetasan (terbuat dari plastik), sasag (kotak pemeliharaan ulat kecil terbuat dari besi), tudung saji (tempat pemeliharaan ulat besar), stand untuk sasag, keranjang daun, tempat pengokonan (seriframe), ember, baskom plastik, koran untuk alas, kain untuk membungkus daun, kertas parafin, sandal, sapu, sikat, lap tangan, pinset, termohigrometer, timbangan digital, dan camera digital.

Seluruh peralatan tersebut sebelum digunakan, disucihamakan terlebih dahulu dengan larutan kaporit (terkecuali camera digital, timbangan digital, dan termohigrometer) kemudian dijemur pada panas matahari. Konsentrasi larutan kaporit yang digunakan 0,5% (5 g kaporit dimasukkan dalam satu liter air), kemudian disemprotkan ke seluruh peralatan sekitar 2-3 hari sebelum peralatan digunakan.

Prosedur

Persiapan Ruangan Pemeliharaan

Ruang pemeliharaan merupakan ruangan dengan jendela dan ventilasi yang cukup. Suhu ruangan berkisar antara 26-30oC dengan kelembaban berkisar 63%-71%. Ventilasi udara ruangan berjalan baik, cukup terang, dan tidak terkena sinar matahari secara langsung. Ruang pemeliharaan sebelum digunakan, dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran dan debu serta disucihamakan dengan larutan kaporit atau formalin dengan konsentrasi 0,5%. Seluruh ruangan disemprot dengan larutan kaporit tersebut sebanyak 1-2 liter larutan per meter persegi luas ruangan. Penyemprotan dilakukan sekitar 5 hari sebelum ruangan digunakan. Fumigasi dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu 7 hari dan 2 hari sebelum pemeliharaan.

Perlakuan HCl pada Telur Ulat Sutera

(27)

15

Penetasan dan Pemindahan Ulat

Telur dikeluarkan dari kotak telur, lalu disebarkan secara merata pada kotak penetasan dan ditutup dengan kertas tipis. Kotak penetasan disimpan pada tempat yang teduh dan dihindarkan dari sinar matahari langsung. Suhu penyimpanan konstan, sekitar 24-25oC dengan kelembaban 75-85%. Kotak penetasan dipindahkan ke tempat gelap sekitar 2-3 hari sebelum menetas dan terlihat titik biru pada telur. Setelah hampir seluruh telur menetas, tutup kotak dibuka dan ruangan diberi penerangan dengan lampu secukupnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menyeragamkan waktu penetasan telur.

Setelah semua telur menetas, ulat dipindahkan ke sasag (kotak pemeliharaan) dengan kertas paraffin sebagai alasnya. Pemindahan ulat sutera yang baru menetas ke kotak pemeliharaan dilakukan pada pagi hari, yaitu pukul 09.00 WIB. Setelah alas sasag dilapisi kertas, tutup kotak penetasan dibuka, lalu diletakkan di atas sasag sehingga secara pelan-pelan ulat menyebar pada sasag. Selanjutnya dilakukan desinfeksi tubuh ulat dengan menaburkan campuran kaporit dan kapur halus ke tubuh ulat secara merata. Campuran serbuk tersebut terdiri dari 5% kaporit dan 95% kapur.

Sekitar 30 menit kemudian, ulat diberi makan berupa daun murbei yang lunak (masih muda) yang dipotong-potong dengan cara dicacah. kemudian sasag ditutup dengan kertas paraffin atau kertas minyak. Penutup ini dibuka kembali saat pemberian pakan selanjutnya.

Pemberian Pakan

(28)

pakan yang digunakan adalah menurut Atmosoedarjo et al. (2000), jumlah pakan pada instar I yaitu 0,5 kg, instar II 1,85 kg, instar III 4,68 kg, instar IV 43,2 kg, dan instar V 136,08 kg. Jumlah pemberian pakan pada saat penelitian terlampir pada Lampiran 5.

Perlakuan Saat Pergantian Kulit

Pada setiap instar ulat akan mengalami tidur dan berganti kulit, hal ini terjadi pada setiap akhir fase instar. Ketika sebagian besar (± 90%) ulat sudah tidur, pemberian pakan dihentikan dan ulat ditaburi kapur. Ulat yang telah berganti kulit didesinfeksi dengan menggunakan serbuk campuran kaporit dan kapur kemudian ulat diberi makan.

Pembersihan Sasag dan Pencegahan Hama/ Penyakit

Pada instar I tempat pemeliharaan dibersihkan satu kali, yaitu menjelang ulat akan tidur. Pada instar II pembersihan tempat dilakukan dua kali, yaitu setelah dua kali pemberian pakan pertama (sehabis pergantian kulit) dan menjelang tidur berikutnya. Pada instar III pembersihan dilakukan tiga kali, yaitu setelah dua kali pemberian pakan pertama (sehabis ganti kulit kedua), pada pertengahan instar III (hari ke-2) dan menjelang ulat tidur berikutnya. Untuk mencegah serangan hama seperi tikus, cicak, semut, dan serangga lainnya, penempatan rak sasag tidak menempel atau terlalu dekat dengan dinding ruangan, kaki rak sasag dimasukkan ke dalam suatu wadah yang berisi campuran air dan cairan karbol. Untuk mencegah penyakit, sebelum diberi makan, ulat-ulat kecil ditaburi desinfektan pada awal instar atau saat ulat bangun dari tidurnya.

Pengokonan

(29)

17 Setelah sekitar 6-7 hari sejak ulat sutera masak dan dipindahkan di tempat pengokonan, kokon sudah dapat dipanen. Cara pemanenan dilakukan dengan mengambil kokon-kokon tersebut dari tempat pengokonan dengan hati-hati dan dikumpulkan pada wadah sambil dibersihkan dari kotoran yang menempel. Pada saat panen itu sekaligus dilakukan seleksi antara kokon-kokon yang baik, yang kembar dan cacat, kemudian dikumpulkan dalam wadah yang berbeda sesuai dengan perlakuannya.

Pengambilan Sampel

Jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak 30 buah kokon dari setiap ulangan, yang terdiri dari 15 buah kokon dengan pupa berjenis kelamin jantan dan 15 buah kokon dengan pupa berjenis kelamin betina. Sampel diambil secara acak untuk mewakili kualitas kokon dari setiap perlakuan. Setelah sampel diambil, kemudian dilakukan penilaian kualitas kokon yang meliputi bobot kokon keseluruhan dan persentase kulit kokon. Sedangkan data jumlah kokon normal, dan rendemen pemeliharaan diambil dari jumlah kokon di setiap ulangan.

Rancangan Percobaan

Perlakuan

Perlakuan terdiri atas hasil persilangan antara ulat sutera ras Jepang dengan ras Cina (kode 808, 108, 903, dan 806) secara resiprokal dan bibit komersial BS09 dan C301 sebagai pembanding. Penelitian ini terdiri atas enam taraf perlakuan dengan tiga ulangan. Perlakuan tersebut yaitu:

P1 : ras Jepang 108 betina disilangkan dengan ras Cina jantan 808 P2 : ras Cina betina 808 disilangkan dengan ras Jepang jantan 108 P3 : ras Cina betina 806 disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 P4 : ras Jepang betina 903 disilangkan dengan ras Cina jantan 806 P5 : bibit ulat sutera komersial BS09

P6 : bibit ulat sutera komersial C301

Model

(30)

Yij= µ + τi+ εij Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan persilangan ke-i dan ulangan ke-j µ = Rataan umum pengamatan persilangan

τi = Pengaruh persilangan pada taraf ke-i (i = P1, P2, P3, P4, P5) εij = Pengaruh galat percobaan persilangan ke-i pada ulangan ke-j

Uji lanjut yang digunakan bila hasil analisis ragam berbeda nyata yaitu uji Tukey.

Peubah yang Diamati

Peubah yang akan diamati pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Rendemen pemeliharaan, didapatkan dengan cara membandingkan antara jumlah ulat yang mengokon dengan jumlah ulat keseluruhan, kemudian dikalikan dengan 100% (Nurhaedah et al., 2006).

%RP= jumlah ulat yang mengokonjumlah ulat keseluruhan x 100%

2. Persentase kokon normal, didapatkan dengan cara membandingkan jumlah kokon normal dengan jumlah kokon keseluruhan kemudian dikalikan dengan 100% (Nurhaedah et al., 2006).

% KN= jumlah kokon normal

jumlah kokon keseluruhan x 100%

3. persentase kulit kokon, merupakan perbandingan antara bobot kulit kokon dan bobot kokon utuh kemudian dikalikan dengan 100% (Nurhaedah et al.,2006)..

% KN bobot kokon keseluruhanbobot kulit kokon x 100%

(31)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dari persilangan resiprokal terhadap kualitas kokon yaitu bobot kokon (P<0,05), namun tidak berbeda pada persentase kulit kokon, rendemen pemeliharaan, dan persentase kokon normal (Tabel 2). Kulit Kokon (%) 21,8±2,99 20,9±2,57 21,1±2,52 21,1±227 21,8±2,63 19,7±2,80

Rendemen (%) 77,7±28,20 90,6±5,94 96,8±2,80 96,0±5,04 98,0±3,42 96,0±2,60

Kokon Normal (%) 72,3±15,93 796±3,48 87,2±0,51 86,9±6,67 79,8±1,45 87,9±2,04

Keterangan:Superscriptyang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%. P1: ras Jepang 108 betina disilangkan dengan ras Cina jantan 808, P2: ras Cina betina 808 disilangkan dengan ras Jepang jantan 108, P3: ras Cina betina 806 disilangkan dengan ras Jepang jantan 903, P4: ras Jepang betina 903 disilangkan dengan ras Cina jantan 806, P5: bibit ulat sutera komersial BS09, P6: bibit ulat sutera komersial C301.

Bobot Kokon

Bobot kokon merupakan salah satu parameter penting yang harus diketahui pada setiap hasil pemeliharaan ulat sutera. Bobot kokon mempunyai korelasi positif dengan hasil kokon per boksnya (Reddy, 1986). Berdasarkan data yang telah diperoleh, terdapat perbedaan yang nyata pada bobot kokon antara persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1) dan ras Cina betina 808 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 108 (P2), yang berarti adanya pengaruh dari persilangan resiprokal. Persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1) cenderung memiliki rataan bobot kokon yang lebih tinggi dibanding resiprokalnya, yaitu 1,7 g. Berdasarkan hal tersebut dapat diduga bahwa terdapat pengaruh maternal (sitoplasmic effect) dalam persilangan tersebut.

(32)

dipindahkan secara kromosomal (Suryo, 1995). Salah satu faktor yang mengakibatkan pewarisan maternal ialah keberadaan mitokondria pada sel telur. Mitokondria memiliki perangkat genetik sendiri yaitu DNA mitokondria atau sering disingkat mtDNA. MtDNA ini mempunyai karakteristik yang khas dan diwariskan secara maternal atau pola pewarisannya hanya melalui garis ibu. Hal ini disebabkan karena sel telur memiliki jumlah mitokondria yang lebih banyak dibandingkan sel sperma. Mitokondria dalam sel sperma banyak terkandung di bagian ekor karena bagian ini sangat aktif bergerak sehingga membutuhkan banyak sekali ATP (Adenosin Tri Phosphat). Pada saat terjadi pembuahan sel telur, bagian ekor sperma dilepaskan sehingga hanya sedikit atau hampir tidak ada mtDNA yang masuk ke dalam sel telur. Selain itu, dalam proses pertumbuhan sel jumlah mtDNA secara paternal semakin berkurang. Oleh karena itu dapat dianggap tidak terjadi rekombinasi sehingga dapat dikatakan bahwa mtDNA bersifat haploid, diturunkan dari ibu ke seluruh keturunannya (Wallaceet al., 1996).

Kasip (2001) menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada bobot kokon hasil persilangan resiprokal, yang dilakukan pada ulat sutera ras Tropika dengan ras Jepang (108). Berbeda dengan hasil persilangan resiprokal sebelumnya, hasil silangan resiprokal lainnya yaitu ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3) dan ras Jepang betina 903 disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4) menunujukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Bobot kokon kedua persilangan tersebut, tidak dipengaruhi oleh adanya persilangan resiprokal yang berarti tidak ada pengaruh maternal. Jenis persilangan ini memiliki bobot kokon yang paling tinggi dibandingkan dengan semua persilangan yang ada. Bobot kokon ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3) dan ras Jepang betina 903 disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4) masing-masing bernilai 1,82 g dan 1,80 g.

(33)

21 dan P2) yaitu 108 dan 808 masing-masing telah mencapai umur generasi ke-32 dan ke-20, sedangkan tetua dari pasangan resiprokal kedua (P3 dan P4) yaitu 806 dan 903 masing-masing telah mencapai umur generasi ke-20 dan ke-28. Dengan demikian, diduga bahwa tetua dari persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1) dan persilangan ras Cina betina 808 dengan ras Jepang jantan 108 (P2) memiliki tingkat kemurnian yang lebih tinggi dibandingkan tetua dari persilangan ras Cina betina 806 dengan ras Jepang jantan 903 (P3) dan persilangan ras Jepang betina 903 dengan ras Cina jantan 806 (P4) sehingga akan menghasilkan efek heterosis yang lebih nyata jika disilangkan dengan ras yang berbeda.

Nilai bobot kokon pada persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1), ras Cina betina 808 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 108 (P2), ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3), dan ras Jepang betina 903 yang disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4) memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan bibit komersial C301 (P6) yaitu bibit komersial asal Candiroto pada nilai bobot kokon. Nilai bobot kokon dari hasil silangan P1, P2, P3, dan P4 berturut-turut adalah 1,7 g; 1,6 g; 1,8 g; dan 1,8 g. Sedangkan persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1) dapat menghasilkan bobot kokon yang sama baiknya dengan BS09 (P5) yaitu bibit komersial asal Bogor. Bibit komersial C301 (P6) memiliki bobot kokon 1,5 g, sedangkan bibit komersial BS09 (P5) memiliki bobot kokon sebesar 1,8 g. Nilai bobot kokon secara lengkap dapat disajikan pada Gambar 3.

(34)

0.0 disilangkan dengan ras Jepang jantan 108, P3: ras Cina betina 806 disilangkan dengan ras Jepang jantan 903, P4: ras Jepang betina 903 disilangkan dengan ras Cina jantan 806, P5: bibit ulat sutera komersial BS09, P6: bibit ulat sutera komersial C301.

Khrisnaswami et al.(1973) menyatakan bahwa berat kokon dipengaruhi oleh jenis bibit, keadaan pemeliharaan, dan pengokonan. Ulat-ulat yang belum matang jika dipindah dalam pengokonan, maka akan menghasilkan kokon yang mengandung sedikit benang sutera. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas kokon yaitu pakan dan keadaan lingkungan. Keadaan lingkungan yang banyak berpengaruh misalnya aliran angin, ventilasi udara, cahaya, suhu dan kelembaban. Rata-rata suhu saat pemeliharaan cukup tinggi, yaitu 27,55oC dengan kelembaban 66,2%. Sedangkan suhu dan kelembaban yang baik untuk pertumbuhan ulat sutera yaitu berkisar 24o-28oC dengan kelembaban berkisar 70%-90%. Dalam penelitian ini, jenis pakan yang diberikan sama, yaitu M. chatayana, sehingga adanya perbedaan yang nyata pada bobot kokon diakibatkan oleh adanya perbedaan konstitusi genetik, hal ini sesuai dengan pernyataan Kasip (2001) bahwa adanya perbedaan bobot kokon, kulit kokon, dan rasio kulit kokon dapat terjadi karena adanya perbedaan konstitusi genetik. Nilai bobot kokon ini merupakan salah satu nilai ekonomis dari kokon ulat sutera, sehingga menjadi salah satu parameter yang penting karena harga jual kokon dari petani berdasarkan berat kokon.

Persentase Kulit Kokon

(35)

23 kokon, makin besar pula kandungan suteranya. Hal ini bervariasi sesuai dengan varietas ulat, kondisi pemeliharaan dan pengokonan. Persilangan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan dasar penyeleksian persentase kulit kokon setiap tetuanya. Menurut Kim (1998) sebaiknya penyeleksian dilakukan berdasarkan satu sifat saja, karena sifat-sifat ekonomis pada ulat sutera ada yang berkorelasi positif dan negatif. Ketepatan dalam menentukan karakter yang akan dijadikan kriteria seleksi merupakan faktor penting dalam peningkatan produktivitas hasil silang generasi berikutnya pada ulat sutera.

Seleksi yang dilakukan atas dasar penyeleksian bobot kulit kokon pernah dilakukan oleh Kasip (2001), yang menyatakan bahwa seleksi atas dasar bobot kulit kokon dapat meningkatkan bobot kokon, kulit kokon, dan rasio kulit kokon baik pada kokon-kokon dengan jenis kelamin pupa betina dan jantan yang lebih tinggi dibandingkan tetuanya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan hal yang serupa, yaitu hasil persilangan menghasilkan bobot kokon dan persentase kulit kokon yang lebih tinggi dibandingkan dengan salah satu atau kedua tetuanya. Kenaikan nilai tersebut sebagai akibat dari seleksi tetua yang dilakukan atas dasar persentase kulit kokon. Namun, persilangan ras Cina betina 808 dengan ras Jepang jantan 108 (P2) menunjukkan hasil berkebalikan, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti keadaan lingkungan atau dapat pula disebabkan oleh daya gabung yang kurang baik antara kedua tetuanya. Menurut Malik et al. (2004), daya gabung dipengaruhi oleh variasi general dan spesifik daya gabung yang berhubungan dengan tipe gen yang terlibat.

(36)

18%

dalam persilangan tersebut. Persentase kulit kokon dari persilangan tersebut tidak dipengaruhi oleh penurunan sifat secara maternal. Kulit kokon dengan pupa betina lebih berat daripada yang jantan. Pada umumnya antara 0,30-0,40 g untuk varietas murni dan 0,35-0,55 g untuk bibit komersial. Persentase kulit kokon erat hubungannya dengan persentase filament kokon, dan nilainya berkisar antara 18% sampai 22% (Atmosoedarjo et al., 2000).

Persentase kulit kokon pada persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1), ras Cina betina 808 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 108 (P2), ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3), dan ras Jepang betina 903 yang disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4) tidak berbeda nyata dengan bibit komersial BS09 (P5) dan C301 (P6), hal ini menunjukkan bahwa persentase kulit kokon P1 sama dengan persentase kulit kokon bibit komersial BS09 dan C301. Persentase kulit kokon P1, P2, P3, P4, P5 dan P6 secara berturut-turut yaitu 21,8%, 20,9%, 21,1%, 21,1%, 21,8%, dan 19,7%. Data persentase kulit kokon disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Persentase Kulit Kokon pada Setiap Perlakuan.

Keterangan: P1: ras Jepang 108 betina disilangkan dengan ras Cina jantan 808, P2: ras Cina betina 808 disilangkan dengan ras Jepang jantan 108, P3: ras Cina betina 806 disilangkan dengan ras Jepang jantan 903, P4: ras Jepang betina 903 disilangkan dengan ras Cina jantan 806, P5: bibit ulat sutera komersial BS09, P6: bibit ulat sutera komersial C301.

(37)

25 Krishnaswami (1973), besarnya persentase kulit kokon tergantung dari jenis bibit. Selain itu, kondisi lingkungan seperti keadaan selama pemeliharaan, keadaan selama ulat membuat kokon maupun kualitas dan kuantitas daun murbei sangat mempengaruhi mutu kokon (Katsumata, 1975). Persentase kulit kokon akan sangat berpengaruh pada benang sutera yang dihasilkan, sehingga semakin tinggi persentse kulit kokon maka semakin banyak benang sutera yang dihasilkan.

Rendemen Pemeliharaan

Rendemen pemeliharaan adalah perbandingan antara ulat yang mengokon dengan jumlah ulat yang dipelihara. Rendemen pemeliharaan sangat berpengaruh pada jumlah benang sutera yang dihasilkan. Hasil penelitian menyatakan tidak adanya perbedaan yang nyata pada rendemen pemeliharaan. Hal ini mengindikasikan bahwa persilangan resiprokal tidak mempengaruhi rendemen pemeliharaan. Rendemen pemeliharaan persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1) dan ras Cina betina 808 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 108 (P2) masing-masing bernilai 77,7 % dan 90,6 %. Nilai rendemen pemeliharaan P1 mencapai angka 77,7% karena adanya penyebaran penyakit Grasserie pada perlakuan P1 ulangan ke-2 sehingga mengakibatkan kematian yang lebih besar dibandingkan P2.

Grasserie adalah salah satu penyakit pada ulat sutera yang cara penularannya yaitu infeksi melalui mulut, kulit, atau induksi. Gejala yang tampak yaitu kulit larva yang terserang akan terlihat membengkak. Waktu yang dibutuhkan dari pembengkakan badan hingga kematian larva singkat sekali, atau bisa terjadi kurang dari 1 hari. Larva terus membengkak dan terlihat gelisah dengan mengelilingi sasag, kulit mudah terluka, darah yang bersih menjadi keruh, bila kulit pecah cairan seperti susu yang mengandung polyhedra mengalir keluar, larva yang sudah matang (siap mengokon) dan terserang Grasserie maka akan mengeluarkan cairan bersamaan dengan keluarnya filamen, atau akan membentuk kokon lembek dan larva akan mati di dalam kokon sebelum berubah menjadi pupa. Larva yang mati akan berubah menjadi hitam dan lembek (Atmosoedarjo et al., 2000).

(38)

tubuhnya yang kemudian menginfeksi larva lainnya yang masih sehat sehingga menjadi terserang Grasserie dan mengakibatkan kematian massal. Hal ini didukung oleh pernyataan Atmosoedarjo et al. (2000) yang menyatakan bahwa bila kulit larva yang terserang penyakit Grasserie pecah (rusak) dan mengeluarkan cairan, akan dapat menyebar ke larva lain. Larva yang terkena, meskipun tidak langsung mati namun tidak bisa mengokon dan akhirnya akan mati dalam pengokonan dan kemudian membusuk. Penyebab dari penyakit ini adalah Borrelina virus, yang menyerang sel-sel larva. Pada waktu terserang, polyhedral dibentuk di nuklea dari berbagai organ badan, yang selanjutnya pindah ke dalam cairan badan larva, diikuti dengan rusaknya sel-sel inang. Cairan badan ini akan berubah menjadi keruh. Contoh ulat yang terkena Grasserie dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Ulat yang terserang Grasserie

Sumber: Sinchaisri (1993)

(39)

27

suhu, kelembaban, kebersihan lingkungan saat pemeliharaan, dan manajemen pemberian pakan (Reddy, 1986). Data rendemen pemeliharaan dijasikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Grafik Persentase Rendemen Pemeliharaan pada Setiap Perlakuan

Keterangan: P1: ras Jepang 108 betina disilangkan dengan ras Cina jantan 808, P2: ras Cina betina 808 disilangkan dengan ras Jepang jantan 108, P3: ras Cina betina 806 disilangkan dengan ras Jepang jantan 903, P4: ras Jepang betina 903 disilangkan dengan ras Cina jantan 806, P5: bibit ulat sutera komersial BS09, P6: bibit ulat sutera komersial C301.

Nilai rendemen pemeliharaan bibit komersial BS09 (P5) yang merupakan bibit komersial asal Bogor yaitu 98% namun memiliki umur produksi yang lebih lama dibandingkan yang lainnya. Umur ulat P5 mencapai 533,9 jam atau setara dengan 22,24 hari, sedangkan umur persilangan lainnya yaitu 507,25 atau 21.13 hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kim (1998) yang menyatakan bahwa sifat-sifat ekonomis pada ulat sutera ada yang berkorelasi positif dan negatif.

Perlakuan lainnya yaitu persilangan ras Cina betina 808 dengan ras Jepang jantan 108 (P2), ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3), ras Jepang betina 903 yang disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4), dan bibit komersial C301 (P6) memiliki nilai rendemen pemeliharaan yang juga tinggi, masing-masing memiliki nilai rendemen pemeliharaan sebesar 90,6%, 96,8%, 96,0%, dan 96,0%.

Persentase Kokon Normal

(40)

ganda, kokon berlubang, kokon bernoda di dalam, kokon bernoda di luar, kokon berujung tipis, kokon berkulit tipis, kokon tergencet, bentuk kokon yang abnormal, kokon berserabut, kokon berlapis ganda, dan kokon yang tipis bagian tengahnya.

Persentase kokon normal menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada kedua pasangan persilangan resiprokal. Nilai persentase kokon normal antara Persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1) dan ras Cina betina 808 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 108 (P2) masing-masing adalah 72,3% dan 79,6%. Sedangkan nilai persentase kokon normal pada persilangan resiprokal kedua yaitu ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3) dan ras Jepang betina 903 yang disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4), masing-masing adalah 87,2% dan 86,9%. Perhitungan kokon normal ini dilakukan manual dengan cara menyortir kokon yang berbentuk normal, keras, dan bersih. Sedangkan kokon yang kotor dalam, kotor luar, kokon double, kokon tercetak frame, kokon berbentuk tidak normal, dan kokon tipis dipisahkan. Data persentase kokon normal disajikan pada Gambar 7.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa persentase kokon normal hasil silangan dengan bibit komersial tidak berbeda nyata. Persentase kokon normal bibit komersial BS09 (P5) dan bibit komersial C301 (P6) masing-masing adalah 79.8% dan 87.9%. Hal ini berarti P6 memiliki nilai persentase kokon normal yang sama dengan P5. Namun pada sifat lainnya, yaitu bobot kokon P6 memiliki nilai yang terendah. Hal ini dikarenakan P6 merupakan bibit komersial yang sudah lebih lama dan lebih banyak digunakan oleh petani di Indonesia, sehingga sudah dapat beradaptasi dengan lingkungan diluar kondisi optimal. Dengan demikian, P6 dapat menghasilkan daya tahan yang baik, walaupun bobot kokonnya lebih rendah. Seperti yang dinyatakan oleh Kim (1998) bahwa sifat-sifat ekonomis pada ulat sutera ada yang berkorelasi positif dan negatif. Dalam kasus ini, P6 (C301) memiliki nilai ekonomis persentase kokon normal yang tinggi namun bobot kokon yang rendah. Persentase kokon normal dan persentase kulit kokon akan sangat berpengaruh pada rendemen pemintalan (raw silk). Semakin besar persentase kokon normal maka semakin besar pula raw silkyang akan dihasilkan.

(41)

29

persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1), ras Cina betina 808 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 108 (P2), ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3), dan ras Jepang betina 903 yang disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4) memiliki persentase kokon normal yang sama dengan bibit komersial BS09 (P5) dan C301 (P6). Nilai persentase kokon normal P1, P2, P3, dan P4 masing-masing sebesar 72.3%, 79.6%, 87.2%, dan 86.9%. Dengan kata lain kokon cacat dari P1, P2, P3, dan P4 masing-masing adalah 27.7%, 20.4%, 12.8%, dan 13.1%.

Gambar 7. Persentase Kokon Normal pada Setiap Perlakuan

Keterangan: P1: ras Jepang 108 betina disilangkan dengan ras Cina jantan 808, P2: ras Cina betina 808 disilangkan dengan ras Jepang jantan 108, P3: ras Cina betina 806 disilangkan dengan ras Jepang jantan 903, P4: ras Jepang betina 903 disilangkan dengan ras Cina jantan 806, P5: bibit ulat sutera komersial BS09, P6: bibit ulat sutera komersial C301.

Berdasarkan SNI 01-5009-11-2002, hasil silangan P1, P2, P3, dan P4 termasuk dalam grade D karena memiliki jumlah persentase kokon cacat lebih dari 8%. Begitupun dengan bibit komersial P5 dan P6 yang masing-masing memiliki persentase kokon cacat sebesar 20.2% dan 12.1%, juga termasuk dalam grade D karena memiliki persentase kokon cacat lebih dari 8%. Pada penelitian ini ditemukan kokon cacat seperti kokon bernoda di luar, kokon tergencet, kokon berbentuk abnormal, kokon berkulit tipis, kokon ganda, dan kokon yang mati pupa. Banyaknya kokon cacat pada setiap dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 8.

(42)

11 Ketidaknormalan kokon lainnya seperti kokon ganda, yang merupakan kokon yang dibuat oleh dua ekor ulat bersama-sama, menghasilkan kokon yang besar, lapisan sutera yang tebal dan berkerut kasar. Kokon ganda akan meningkat pada pengokonan yang terlalu padat, ruang pengokonan yang sempit, suhu yang terlalu tinggi, kelembaban yang terlalu tinggi.

Kokon yang mati pupa yaitu kokon yang pupanya telah mati di dalam, biasanya dikarenakan ulat tersebut terserang penyakit sehingga tidak bisa bertahan hingga menjadi pupa. Kokon berkulit tipis yaitu kokon yang memiliki lapisan sutera yang tipis dan sering terjadi pada panen yang gagal, kokon tergencet yaitu yang berbentuk seperti tempat pengokonan yang digunakan dan membekas pada permukaan kokon. Hal yang dapat menyebabkan kokon tergencet yaitu tempat pengokonan yang kurang sesuai. Kokon berbentuk abnormal yaitu kokon yang lebih mengembung, atau meruncing ke satu arah, atau berbentuk tak teratur. Cacat kokon ini disebabkan oleh varietas ulat, terutama apabila ulat kurang sehat, atau tempat pengokonan yang kurang sesuai (Atmosoedarjo et al., 2000).

Gambar 8. Jumlah Kokon Cacat pada Setiap Perlakuan

(43)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Persilangan resiprokal berpengaruh pada bobot kokon namun tidak berpengaruh pada persentase kulit kokon, rendemen pemeliharaan dan persentase kokon normal. Guna mendapatkan bobot kokon yang tinggi, sebaiknya ras Jepang 108 digunakan sebagai betina untuk disilangkan dengan ras Cina 808 jantan. Hasil persilangan resiprokal (P1, P2, P3, dan P4) memiliki nilai bobot kokon yang lebih tinggi dibanding bibit komersial C301 (P6). Persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1), Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3), dan ras Jepang betina 903 yang disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4) memiliki nilai yang tidak berbeda nyata dengan bibit komersial BS09 (P5) pada semua sifat yang diamati.

Saran

(44)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan pada kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan ridhonya sehingga penulis diberi kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik, meskipun masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.

Penulis sangat menyadari untuk menyelesaikan skripsi ini telah dibantu oleh berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Jakaria S.Pt, M.Si, selaku pembimbing utama, Dra. Lincah Andadari M.Si, selaku dosen pembimbing anggota, dan seluruh staf Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Divisi Persuteraan Alam, Pak Ending, Pak Eman, Teh Tri, Pak Andi, Pak Soleh, Pak Wandi, dan Pak Edi, terima kasih atas bimbingan, bantuan, saran, kritikan, dan canda tawanya selama penulis melakukan magang dan penelitian. Terima kasih kepada Ibunda dan Ayahanda tercinta, serta kakak-kakakku (Mbak Lisa dan Mas Arif) yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan materi dan imateri, serta do’a yang tidak pernah putus.

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Andadari, L., E. Heryadi, & E. Suhandi. 1998. Pengaruh jenis pakan (murbei) terhadap rendemen pemeliharaan dan mutu kokon ulat sutera (Bombyx moriL.). Buletin Penelitian Hutan. 616 : 13-25.

Atmosoedarjo, H.S., J. Kartasubrata, M. Kaomini, W. Saleh, & W. Moerdoko. 2000. Sutera Alam Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional. 2002. SNI-01-5009-11. Mutu Kokon Segar Jenis Bombyx moriL. Badan Standarisasi Nasional.

Bank Indonesia. 2000. Pola Pembiayaan Usaha Kecil (PPUK) Industri Pemintalan Benang Sutera Alam. http://www.bi.go.id/PemintalanBenagSuteraAlam1

[17 Oktober 2010].

Brasla, A. & A. Matei. 1997. Pelatihan Pembibitan Ulat Sutera II oleh Ahli dari Rumania. PPUS Candiroto, Temanggung.

Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS). Statistik pengembangan persuteraan alam tahun 2010.

http://www.dephut.go.id[5 September 2010].

Guntoro, S. 1994. Budidaya Ulat Sutera. Kanisius, Yogyakarta.

Kasip, L.M. 2001. Pembentukan galur baru ulat sutera (Bombyx mori, L) melalui persilangan ulat sutera bivoltin dan polivoltin. Disertasi Doktor. Program Studi Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Katsumata, F. 1975. Textbook of Tropical Sericulture. Japan Overseas Coorporation Volunteers. Hiruo, Shibuya-ku, Tokyo.

Katsumata, F. 1964. Petunjuk Sederhana bagi Pemelihara Ulat Sutera, Tokyo.

Kim, B.H. 1989. Basic Characteristic of The Cocoons Silk Fibre. In : Raw Silk Reeling. Associated Bussiness Centre Limited, Colombo.

Kim, S.E. 1998. Silkworm Breeding and Rearing. In Principles and Practice in Sericulture. National Sericulture and Entomology Research Institute Rural Development Administration, Republic of Korea.

Krishnaswami, S., N.R.M. Rao, S.K. Suryanarayan & T.S. Sundaramurti. 1972. Manual on Sericulture 3. Silkworm Reeling. Agriculture Service Bulletin. Food and Agricultural Organization of the United Nation, Roma.

(46)

Mattjik, A.A. & I.M. Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press, Bogor.

Minkema, D. 1993. Dasar Genetika dalam Pembudidayaan Ternak. Bhratara, Jakarta. Nurhaedah, M., H. Budisantoso, & W. Isnan. 2006. Pengaruh murbei (Morus spp.)

dan ulat sutera persilangan (Bombyx mori L.) terhadap kualitas ulat, kokon, dan serat sutera. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 3 (1) : 66-73.

Noor, R.R. 2008. Genetika Ternak. Cetakan Keempat. Penebar Swadaya, Jakarta. Razdan, J.L., A.A. Siddiqui, R.K. Bali, & P. Mukherjee. 1994. Study on the

identification of region-specific heterotic crosses in Bombyx mori L. Sericologia 34 (2): 249 – 260.

Reddy, G.R. 1986. Genetic and Breeding of Silkworm, Bombyx mori L. Lectures on Sericulture. Suramya Publishers, Bangalore.

Samsijah & L. Andadari. 1992. Petunjuk Teknis Budidaya Ulat Sutera (Bombyx mori L.). Bagian Persuteraan Alam, Lembaga Penelitian Hutan, Bogor.

Sinchaisri, N. 1993. Techniques of Silkworm Rearing in The Tropics. United Nation, New York

Suryo, H. 2007. Sitogenetika. Cetakan kedua. Gajdah Mada University Press, Yogyakarta.

Tazima, Y. 1964. The Genetics of The Silkworm. Logos Press Limited, London. Wallace, DC., C. Stugard, D. Murdock, T. Schurr & M.D. Brown. 1996.

“MITOMAP: A human mitochondria genome database”. Nucleic Acid Research. 24 (1): 177-179.

(47)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Perhitungan Sidik Ragam

(48)
(49)
(50)

Lampiran 2. Catatan Pemberian Pakan

Umur Jumlah Pakan (gram/instar/ulangan)

Instar I 33

Instar II 71

Instar III 190

Instar IV 540

(51)

39 Lampiran 3. Catatan Umur Pemeliharaan Ulat

Jenis Persilangan Umur Pemeliharaan (hari)

P1 (108 x 808) 21

P2 (808 x 108) 21

P3 (806 x 903) 21

P4 (903 x 806) 21

P5 (BS09) 22

(52)

Lampiran 4. Catatan Suhu dan Kelembaban

Instar Kisaran Suhu (oC) Kisaran Kelembaban (%)

I 27-30 63-71

II 27-29 64-70

III 26-29 64-70

IV 26-29 58-70

(53)

KUALITAS KOKON

(

Bombyx mori

L

SECARA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLO

KUALITAS KOKON HASIL SILANGAN ULAT SUTERA

L.) RAS CINA DENGAN RAS JEPANG

SECARA RESIPROKAL

SKRIPSI

ROFIKA ROCHMAWATI

EN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

ULAT SUTERA

JEPANG

(54)

RINGKASAN

Rofika Rochmawati. D14070138. 2011. Kualitas Kokon Hasil Silangan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ras Cina dengan Ras Jepang secara Resiprokal. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si. Pembimbing Anggota : Dra. Lincah Andadari, M.Si.

Sutera merupakan serat yang dihasilkan oleh ulat sutera, salah satu ulat sutera yang sangat terkenal dengan produksi suteranya ialah Bombyx mori L. Cara untuk memperoleh bibit ulat sutera yang baik diantaranya adalah dengan melakukan seleksi dan persilangan. Salah satu metode persilangan yang perlu mendapat perhatian dari aspek penurunan sifat secara maternal adalah persilangan resiprokal. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas kokon hasil Persilangan ulat sutera ras Cina dengan ras Jepang secara resiprokal dan membandingkannya dengan bibit komersial yang sudah ada.

Penelitian ini menggunakan enam perlakuan yang terdiri atas empat jenis persilangan secara resiprokal, yaitu persilangan ras Jepang 108 betina dengan ras Cina jantan 808 (P1), persilangan ras Cina betina 808 dengan ras Jepang jantan 108 (P2), ras Cina betina 806 yang disilangkan dengan ras Jepang jantan 903 (P3), ras Jepang betina 903 yang disilangkan dengan ras Cina jantan 806 (P4), dan dua jenis bibit komersial, yaitu BS09 (P5) dan C301 (P6). Sifat yang akan diamati yaitu bobot kokon, persentase kulit kokon, rendemen pemeliharaan, dan persentase kokon normal. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh persilangan resiprokal terhadap bobot kokon pada P1 dan P2 yang merupakan persilangan resiprokal pertama. Namun pada P3 dan P4 tidak terdapat pengaruh persilangan resiprokal terhadap semua sifat yang diamati. Berdasarkan hasil analisis P1, P2, P3 dan P4 memiliki nilai bobot kokon yang lebih tinggi dibandingkan dengan P6 dan memiliki nilai persentase kulit kokon, rendemen pemeliharaan dan persentase kokon normal yang tidak berbeda nyata dengan bibit komersial P6. Di sisi lain, P1, P3, dan P4 memiliki nilai yang tidak berbeda nyata dengan bibit komersial P5 pada semua sifat yang diamati. Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui kualitas benang yang dihasilkan.

Gambar

Gambar 1. Siklus Hidup Ulat Sutera
Gambar 2. Ulat Sutera Ras Jepang (atas) dan ras Cina (bawah) beserta  KokonnyaSumber: Andadari (1998)
Tabel 1.  Persyaratan Klasifikasi Mutu Kokon Ulat Sutera
Tabel 2.  Kualitas Kokon Hasil Silangan Ulat Sutera Ras Cina dengan Ras Jepangserta Bibit Komersial
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dilanjutkan dengan uji One Way Anova, hasil dari uji Anova bahwa pada kelompok selisih kontrol dan selisih perlakuan didapatkan nilai p-value 0,001, yang artinya Ho

Biasanya dalam kehidupan sehari hari kita akan menggunakan kalimat kalimat dengan struktur Future Perfect Continuous tense bahasa inggris ini dengan tujuan untuk

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis perkembangan mahasiswa rantau Papua di Surabaya, agar dapat mengatur keuangan pribadi yang sering kesusahan dalam

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Metode Penugasan Terhadap Kemampuan Menulis Berita oleh Siswa Kelas VIII SMP Negeri 2 Rantau Selatan Tahun

Contoh soal Ulangan Umum PKN SD kelas 5 semester ganjil Pada kumpulansoalulangan.blogspot.com.. Jasa Pembuatan soal untuk sekolah

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul “ Kebijakan

Permasalahan-permasalahan tersebut berdampak pada LKM terhadap UKM dalam pembiayaan yang kurang efisien .sehingga mengakibatkan pelayanan LKM terhadap usaha mikro belum

Reason for change:  A GML 3.2 binding of the O&amp;M schemas is required for applications that wish to use the current version of GML 3.2. It is also necessary to underpin an orderly