CULTURE SHOCK DALAM INTERAKSI KOMUNIKASI
ANTARBUDAYA PADA MAHASISWA ASAL MALAYSIA DI MEDAN
(Studi Kasus Pada Mahasiswa Asal Malaysia Di Universitas Sumatera Utara)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Diajukan Oleh:
EMMA VIOLITA PINEM
070904064
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:
Nama : EMMA VIOLITA PINEM
NIM : 070904064
Departemen : Ilmu Komunikasi
Judul : CULTURE SHOCK DALAM INTERAKSI
KOMUNIKASI ANTARBUDAYA PADA MAHASISWA MALAYSIA DI MEDAN (Studi Kasus Pada Mahasiswa Malaysia di Universitas Sumatera Utara)
Medan, Februari 2011
Dosen Pembimbing Ketua Departemen Ilmu
Komunikasi,
Dra. Lusiana Andriani, M. A, Ph. D Dra. Fatma Wardi Lubis, M.A NIP : 196704051990032002 NIP : 196208281987012001
Dekan
ABSTRAKSI
Penelitian ini berjudul Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Pada Mahasiswa Malaysia di Medan (Studi Kasus Pada Mahasiswa Malaysia di Universitas Sumatera Utara). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui culture shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa Malaysia di USU, dalam hal ini juga mengenai reaksi dan upaya mengatasi culture shock tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang merupakan pengukuran dengan menggunakan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek penelitian adalah mahasiswa Malaysia di Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi USU yang masih aktif kuliah dan sudah menetap di Medan selama kurang lebih dua tahun.
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN
ABSTRAKSI ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah ... 1
I.2 Perumusan Masalah ... 6
I.3 Pembatasan Masalah ... 6
I.4 Tujuan Penelitian ... 7
I.5 Manfaat Penelitian ... 7
I.6 Kerangka Teori ... 8
I.7 Kerangka Konsep ... 16
I.8 Operasionalisasi Konsep ... 17
I.9 Definisi Operasional ... 18
BAB II URAIAN TEORITIS II.1 Komunikasi Antarbudaya ... 20
II.1.1 Sejarah Komunikasi Antarbudaya ... 20
II.1.2 Definisi Komunikasi Antarbudaya ... 22
II.1.3 Efektivitas Komunikasi Antarbudaya ... 24
II.2 Bahasa Verbal dan Bahasa Non Verbal ... 28
II.2.1 Bahasa Verbal ... 28
II.2.3 Bahasa Verbal dan Non Verbal dalam Proses
Komunikasi Antarbudaya ... 31
II.3 Akulturasi ... 33
II.3.1 Definisi Akulturasi ... 33
II.3.2 Komunikasi dan Akulturasi ... 33
II.3.3 Variabel-variabel Komunikasi ... 36
II.3.4 Culture Shock ... 38
II.4 Teori Interaksionisme Simbolik ... 42
II.4.1 Definisi Teori Interaksionisme Simbolik ... 42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 45
III.1.1 Universitas Sumatera Utara ... 45
III.1.2 Fakultas Kedokteran USU ... 49
III.1.3 Fakultas Kedokteran Gigi USU ... 53
III.2 Metodologi Penelitian ... 57
III.2.1 Metode Kualitatif ... 57
III.2.2 Studi Kasus ... 59
III.2.3 Lokasi Penelitian ... 62
III.2.4 Subjek Penelitian ... 62
III.2.5 Teknik Pengumpulan Data ... 64
III.2.6 Teknik Analisis Data ... 66
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Hasil Pengamatan dan Wawancara ... 67
BAB V PENUTUP
V.1 Kesimpulan ... 148 V.2 Saran ... 151 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Jumlah Mahasiswa Asal Malaysia di Fakultas Kedokteran
dan Fakultas Kedokteran Gigi USU ... ... 63
ABSTRAKSI
Penelitian ini berjudul Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Pada Mahasiswa Malaysia di Medan (Studi Kasus Pada Mahasiswa Malaysia di Universitas Sumatera Utara). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui culture shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa Malaysia di USU, dalam hal ini juga mengenai reaksi dan upaya mengatasi culture shock tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang merupakan pengukuran dengan menggunakan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek penelitian adalah mahasiswa Malaysia di Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi USU yang masih aktif kuliah dan sudah menetap di Medan selama kurang lebih dua tahun.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Komunikasi layaknya nafas kehidupan manusia. Kodratnya sebagai
makhluk sosial membuatnya senantiasa berinteraksi demi pemenuhan kebutuhan
dan keberlangsungan hidup. Komunikasi juga menjadi aspek yang paling penting
dan sangat mendasar dalam proses belajar manusia. Manusia dibesarkan, diasuh
dan berkembang di suatu lingkungan dengan pola-pola budaya setempat, sehingga
akhirnya manusia itu menjadi produk dari budaya tersebut. Pada dasarnya
seseorang itu adalah gambaran dari budayanya, dimana budaya dirumuskan
sebagai seperangkat aturan yang terorganisasikan mengenai cara-cara bagaimana
individu dalam masyarakat harus berkomunikasi satu sama lain dan bagaimana
cara mereka berpikir tentang diri mereka dan lingkungan mereka. Pola-pola
budaya ini pada gilirannya juga akan merefleksikan elemen-elemen yang sama
dalam perilaku komunikasi individual yang dilakukan mereka yang lahir dan
diasuh dalam budaya tersebut.
Manusia selama hidupnya mengalami proses sosialisasi dan pendidikan,
dalam proses itu individu senantiasa memperoleh aturan-aturan (budaya)
komunikasi, hingga akhirnya pola-pola budaya tersebut ditanamkan ke dalam
sistem saraf dan menjadi kepribadian dan perilaku individu tersebut. Proses
Melalui proses enkulturasi, pola budaya diinternalisasikan dan menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari individu tersebut. Hasil internalisasi ini
membuat individu mudah berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya
yang juga memiliki pola-pola budaya yang serupa. Lalu apa yang akan terjadi bila
seseorang yang lahir dan terenkulturasi dalam suatu budaya tertentu memasuki
suatu budaya lain? Segala bentuk lambang-lambang verbal dan non verbal dan
aturan-aturan yang telah dipelajari individu dalam lingkungan budayanya
mungkin akan lenyap dan tidak berfungsi lagi dalam lingkungan budaya baru
yang ia masuki.
Individu/kelompok yang memasuki budaya baru akan mengalami proses
enkulturasi yang kedua, yang disebut dengan proses akulturasi. Akulturasi
merupakan suatu proses menyesuaikan diri dengan budaya baru, dimana sesuatu
nilai masuk ke dalam diri individu tanpa meninggalkan identitas budaya yang
lama (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 139).
Mayoritas individu tinggal dalam lingkungan yang familiar, tempat
dimana individu tumbuh dan berkembang. Orang-orang yang ditemui di
lingkungan individu pada saat bekerja, sekolah ataupun bermain cenderung
memiliki kesamaan dalam hal latar belakang etnik, kepercayaan atau agama, nilai,
bahasa atau setidaknya memiliki dialek yang sama. Ketika manusia memasuki
suatu dunia baru dengan segala sesuatu yang terasa asing, maka berbagai
kecemasan dan ketidaknyamanan pun akan terjadi. Salah satu kecemasan yang
terbesar adalah mengenai bagaimana harus berkomunikasi. Sangat wajar apabila
seseorang yang masuk dalam lingkungan budaya baru mengalami kesulitan
sekelilingnya. Ketika kita masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain serta
merasakan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, maka
keadaan ini disebut gegar budaya atau culture shock. Culture shock didefinisikan
sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan tanda-tanda
dan lambang-lambang yang familiar dalam hubungan sosial. Tanda-tanda atau
petunjuk-petunjuk itu meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam
mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi sehari-sehari (Mulyana
dan Rakhmat, 2005: 174).
Manusia dalam hidupnya pasti akan menghadapi peristiwa kebudayaan
dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda yang turut dibawa serta dalam
melangsungkan komunikasi. Individu yang memasuki lingkungan baru berarti
melakukan kontak antarbudaya. Individu tersebut juga akan berhadapan dengan
orang-orang dalam lingkungan baru yang ia kunjungi, maka komunikasi
antarbudaya menjadi tidak terelakkan. Usaha untuk menjalin komunikasi
antarbudaya dalam praktiknya bukanlah persoalan yang sederhana. Kita harus
menyandi pesan dan menyandi balik pesan dengan cara tertentu sehingga
pesan-pesan tersebut akan dikenali, diterima dan direspon oleh individu-individu yang
berinteraksi dengan kita.
Mahasiswa asal Malaysia adalah contoh dari kasus memasuki suatu
lingkungan budaya baru. Mereka meninggalkan negara asalnya untuk suatu
tujuan, yakni menuntut pendidikan di Universitas Sumatera Utara. Dengan latar
belakang budaya yang sudah melekat pada diri mereka, termasuk tata cara
komunikasi yang telah terekam secara baik di saraf individu dan tak terpisahkan
baru dengan variasi latar belakang budaya yang tentunya jauh berbeda membuat
mereka menjadi orang asing di lingkungan itu. Dalam kondisi seperti ini, maka
akan terjadi culture shock. Meskipun Indonesia dan Malaysia berada dalam satu
rumpun, tetapi perlu dipahami bahwa perbedaan-perbedaan budaya itu pasti ada.
Hal ini dapat dilihat dari seringnya konflik yang terjadi di antara kedua negara.
Kondisi ini membuktikan bahwa kesatuan itu seutuhnya belum ada. Peneliti juga
mengamati kondisi mahasiswa Malaysia di Fakultas Kedokteran USU, khususnya
yang masih tampak berkelompok. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, mengapa
hal ini terjadi? Apakah untuk menanggulangi keterkejutan budaya yang mereka
alami? Hal itu pula yang akan peneliti cari tahu melalui penelitian ini.
Peneliti memilih USU karena USU merupakan universitas di Kota Medan
dengan jumlah mahasiswa asal Malaysia terbanyak. Mahasiswa Malaysia ini
secara mayoritas tersebar di dua fakultas, yakni Fakultas Kedokteran dan Fakultas
Kedokteran Gigi. Hal ini dikarenakan Kementerian Pendidikan Tinggi Malaysia
baru hanya mengakui dua program studi ini
(http://www.antarasumut.com/pendidikan/usu-terima-40-mahasiswa-baru-asal-malaysia/). Peneliti ingin melihat bagaimana culture shock yang mereka alami
ketika memasuki lingkungan baru dan upaya dalam mengatasinya.
Perbedaan antara budaya yang dikenal individu dengan budaya asing dapat
menyebabkan individu sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru,
demikian halnya dengan mahasiswa asal Malaysia ini. Bagaimana fenomena yang
akan mereka alami ketika keluar dari suatu budaya ke budaya lain sebagai reaksi
ketika berpindah dan hidup dengan orang-orang yang berbeda dengan mereka
dirasakan menuju suatu adaptasi yang baik dan komunikasi antarbudaya yang
efektif. Banyak hal yang dapat mempengaruhi proses penyesuaian diri, seperti
variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi, yakni faktor personal
(intrapersona), seperti karakteristik personal, motivasi individu, persepsi individu,
pengetahuan individu dan pengalaman sebelumnya, selain itu juga dipengaruhi
oleh keterampilan (kecakapan) komunikasi individu dalam komunikasi sosial
(antarpersonal) serta suasana lingkungan komunikasi budaya baru tersebut
(Mulyana dan Rakhmat, 2005: 141-144).
Manusia yang memasuki suatu lingkungan baru mungkin akan
menghadapi banyak hal yang berbeda seperti cara berpakaian, cuaca, makanan,
bahasa, orang-orang, sekolah dan nilai-nilai yang berbeda. Tetapi ternyata budaya
tidak hanya meliputi cara berpakaian maupun bahasa yang digunakan, namun
budaya juga meliputi etika, nilai, konsep keadilan, perilaku, hubungan pria
wanita, konsep kebersihan, gaya belajar, gaya hidup, motivasi bekerja, ketertiban
lalulintas, kebiasaan dan sebagainya (Mulyana, 2005: 97). Namun dalam
penelitian ini, peneliti membatasi culture shock dalam interaksi komunikasi
antarbudaya pada mahasiswa asal Malaysia di Medan, dalam hal ini mahasiswa
asal Malaysia yang belajar di USU.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti
tertarik untuk meneliti mengenai “Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi
I.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:
a. “Bagaimana bentuk culture shock yang dialami dalam interaksi
komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asal Malaysia di USU?”
b. “Bagaimana upaya yang dilakukan mahasiswa asal Malaysia dalam
mengatasi culture shock yang dialami?”
I.3 Pembatasan Masalah
Agar ruang lingkup penelitian menjadi lebih jelas, terarah dan tidak terlalu
luas maka dilakukan pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Penelitian bersifat studi kasus, yakni peneliti akan mengkaji secara
mendalam culture shock yang dialami mahasiswa asal Malaysia dan
upaya mengatasinya.
2. Subjek penelitian adalah mahasiswa asal Malaysia di Fakultas
Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi USU, karena mayoritas
mahasiswa asal Malaysia di USU menempuh pendidikan di dua
fakultas ini. Subjek penelitian juga dibatasi pada mahasiswa asal
Malaysia yang telah tinggal di Medan selama kurang lebih dua tahun.
Pembatasan ini dibuat agar bukan hanya gambaran culture shock saja
3. Analisis culture shock yang diteliti hanya dalam sorotan interaksi
komunikasi antarbudaya.
I.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui culture shock yang
dialami mahasiswa asal Malaysia di USU.
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui reaksi culture shock
pada mahasiswa asal Malaysia di USU.
3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya yang dilakukan
dalam mengatasi culture shock pada mahasiswa asal Malaysia di
USU demi penyesuaian dengan lingkungan baru.
I.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan
memperkaya khasanah penelitian tentang komunikasi antarbudaya,
khususnya culture shock.
2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan
memperkaya khasanah mengenai culture shock dan penelitian
kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi, mengingat sangat sedikit
penelitian yang meneliti mengenai culture shock di departemen Ilmu
3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
referensi bersama dalam memahami konteks komunikasi antarbudaya
yang terjadi di sekitar kita dan masukan dan pembelajaran bagi
mahasiswa yang mengalami culture shock sebagai reaksi memasuki
budaya baru.
I.6 Kerangka Teori
Menurut Nawawi (1995: 41) sebelum melakukan sebuah penelitian lebih
lanjut, seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan
berpikir untuk menggambarkan dari segi mana peneliti menyoroti masalah yang
telah dipilih.
Kerlinger menyebutkan teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi
dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan
menjabarkan relasi di antara variabel untuk menjelaskan dan meramalkan gejala
tersebut (Rakhmat, 2004: 6).
Adapun kerangka teori yang relevan dengan penelitian ini adalah Teori
Komunikasi Antarbudaya, Bahasa Verbal dan Nonverbal, Akulturasi dan Teori
Interaksionisme Simbolik.
I.6.1 Komunikasi Antarbudaya
Menurut Samovar dan Porter (dalam Liliweri, 2003: 10), komunikasi
antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar
belakang kebudayaannya berbeda. Sedangkan menurut Charley H. Dood,
komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan
pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku
komunikasi para peserta.
Komunikasi antarbudaya lebih menekankan aspek utama yakni
antarpribadi di antara komunikator dan komunikan yang kebudayaannya berbeda.
Jika kita berbicara tentang komunikasi antarpribadi, maka yang dimaksud adalah
dua atau lebih orang terlibat dalam komunikasi verbal atau non verbal secara
langsung. Apabila kita menambahkan dimensi perbedaan kebudayaan ke
dalamnya, maka kita berbicara tentang komunikasi antarbudaya. Maka seringkali
dikatakan bahwa komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi antarpribadi
dengan perhatian khusus pada faktor-faktor kebudayaan yang mempengaruhinya.
Dalam keadaan demikian, kita dihadapkan dengan masalah-masalah yang ada
dalam suatu situasi di mana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus
disandi balik dalam budaya lain.
Budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Budaya bertanggung
jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki
setiap orang. Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua
orang yang berbeda budaya akan pula berbeda yang dapat menimbulkan berbagai
macam kesulitan (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 19).
Menurut Kim (dalam Rahardjo, 2005: 53), asumsi yang mendasari batasan
tentang komunikasi antarbudaya di atas adalah bahwa individu-individu yang
memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan atau
orang yang berasal dari budaya yang berbeda. Perbedaan-perbedaan kultural
bersama-sama dengan perbedaan lain dalam diri orang (seperti kepribadian
individu, umur dan penampilan fisik) memberi kontribusi kepada sifat
problematik yang melekat dalam proses komunikasi antarmanusia. Studi ini juga
memberi penekanan kepada perbedaan-perbedaan kultural yang sesungguhnya
maupun perbedaan-perbedaan kultural yang dipersepsikan antara pihak-pihak
yang berkomunikasi, maka komunikasi antarbudaya menjadi sebuah perluasan
bagi studi komunikasi antarpribadi, komunikasi organisasi dan kawasan-kawasan
studi komunikasi antarmanusia lainnya.
Berdasarkan pemikiran itu, maka komunikasi antarbudaya merujuk pada
fenomena komunikasi dimana para partisipan yang berbeda dalam latar belakang
kultural menjalin kontak satu sama lain secara langsung maupun tidak langsung.
Ketika komunikasi antarbudaya mempersyaratkan dan berkaitan dengan
kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan kultural antara pihak-pihak yang
terlibat, maka karakteristik-karakteristik kultural dari partisipan bukan merupakan
fokus studi. Titik perhatian dari komunikasi antarbudaya adalah proses
komunikasi antara individu dengan individu dan kelompok dengan kelompok
(Rahardjo, 2005: 54).
Komunikasi antarbudaya memiliki dua fungsi utama, yakni fungsi pribadi
dan fungsi sosial. Fungsi pribadi dirinci ke dalam fungsi menyatakan identitas
sosial, fungsi integrasi sosial, menambah pengetahuan (kognitif) dan fungsi
melepaskan diri/jalan keluar. Sedangkan fungsi sosial meliputi fungsi
pengawasan, fungsi menjembatani/menghubungkan, fungsi sosialisasi dan fungsi
Dalam komunikasi antarbudaya terdapat beberapa masalah potensial, yaitu
pencarian kesamaan, penarikan diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian,
stereotip, prasangka, rasisme, kekuasaan, etnosentrisme dan culture shock
(Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 316). Masalah-masalah tersebut yang
sering sekali membuat aktivitas komunikasi antarbudaya tidak berjalan efektif.
Schramm mengemukakan komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif harus
memperhatikan empat syarat, yaitu:
1. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia
2. Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan
sebagaimana yang kita kehendaki
3. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak
4. Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya yang lain (Liliweri, 2001: 171)
Sedangkan menurut De Vito, efektivitas komunikasi antarbudaya ditentukan oleh
sejauhmana seseorang mempunyai sikap: (1) keterbukaan; (2) empati; (3) merasa
positif; (4) memberi dukungan, dan (5) merasa seimbang; terhadap makna pesan
yang sama dalam komunikasi antarbudaya atau antaretnik (Liliweri, 2001: 172).
I.6.2 Bahasa Verbal dan Nonverbal
Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan
satu kata atau lebih. Bahasa juga dapat dianggap sebagai suatu sistem kode verbal.
Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol dengan aturan untuk
mengkombinasikan simbol-simbol tersebut yang digunakan dan dipahami suatu
komunitas. Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana kita berbicara
dengan orang lain namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan
Menurut Ray L. Birdwhistell, 65% dari komunikasi tatap muka adalah
nonverbal. Ini menunjukkan bahasa nonverbal sangat penting dalam suatu
aktivitas komunikasi. Proses-proses nonverbal merupakan alat utama untuk
pertukaran pikiran dan gagasan, namun proses-proses ini sering dapat diganti oleh
proses-proses nonverbal. Fungsi-fungsi bahasa nonverbal antara lain: Repetisi,
Komplemen, Substitusi, Regulasi dan Kontradiksi (Mulyana, 2005: 316).
Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua kategori
besar, yakni: pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan
dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan
parabahasa; kedua, ruang, waktu dan diam.
Bahasa verbal dan nonverbal tidak dapat terpisahkan dengan konteks
budaya. Penggunaan dan gaya bahasa mencerminkan kepribadian budaya
seseorang, demikian juga dengan komunikasi nonverbal sering kali menunjukkan
ciri-ciri budaya dasar (Samovar, Porter dan Mc. Daniel 2007: 168 dan 201).
I.6.3 Akulturasi
Di dalam ilmu
pertemuan unsur-unsur kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan
percampuran unsur-unsur tersebut, namun perbedaan di antara unsur-unsur asing
dengan yang asli masih tampak. Akulturasi merupakan suatu proses dimana
imigran menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya pribumi.
Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran.
Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang
Proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan
berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang
imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru. Komunikasi berperan
penting dalam proses akulturasi. Variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi,
antara lain: komunikasi persona; yang meliputi karakteristik personal, motivasi
individu, pengetahuan individu tentang budaya baru, persepsi individu,
pengalaman sebelumnya; komunikasi sosial yang meliputi komunikasi
antarpersonal (verbal dan nonverbal); serta lingkungan komunikasi (Mulyana dan
Rakhmat, 2005: 140). Secara psikologis, dampak dari akulturasi adalah stress
pada individu-individu yang berinteraksi dalam pertemuan-pertemuan kultur
tersebut. Fenomena ini diistilahkan dengan kejutan budaya (culture shock).
Culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul
dari kehilangan semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial
(Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335).
Pembahasan tentang masalah culture shock juga perlu memahami tentang
perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dan seseorang yang
memutuskan untuk tinggal secara permanen (settlers). Ada perbedaan antara
pengunjung sementara (sojourners) dengan orang yang mengambil tempat tinggal
tetap, misalnya di suatu negara (settler). Seperti yang dikatakan oleh Bochner
(dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 334), perhatian mereka terhadap
pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka reaksi mereka pun
Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara individu yang satu dengan
individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Rekasi-reaksi yang
mungkin terjadi, antara lain:
1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru. 2. rasa kehilangan arah
3. rasa penolakan
4. gangguan lambung dan sakit kepala
5. homesick / rindu pada rumah/ lingkungan lama 6. rindu pada teman dan keluarga
7. merasa kehilangan status dan pengaruh 8. menarik diri
9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335)
Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan
perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan
bahwa orang biasanya melewati empat tingkatan culture shock. Keempat
tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva U, sehingga disebut U-curve
(dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 336).
1. Fase Optimistik (Optimistic Phase), fase ini berisi kegembiraan, rasa
penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum
memasuki budaya baru.
2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua di mana masalah
dengan lingkungan baru mulai berkembang. Fase ini biasanya ditandai
dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis dalam
culture shock.
3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai
4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir dimana orang telah
mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, khusus, keyakinan
dan pola komunikasi).
I.6.4 Teori Interaksionisme Simbolik
Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung
perspektif yang lebih besar lagi, yakni perspektif fenomenologis atau perspektif
interpretif. Secara konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang
pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita sampai pada pemahaman
tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita alami.
Fenomenologi melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif
seseorang sebagai perceiver. Sebuah fenomena adalah penampakan sebuah objek,
peristiwa atau kondisi dalam persepsi individu (Rahardjo, 2005: 44).
Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan
sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu bukanlah sesorang yang
bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan
atau struktur-struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan bersifat aktif,
reflektif dan kreatif, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan.
Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan
interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas
yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang
diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia
dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia
mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang
menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain,
situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia.
(Mulyana, 2001: 68).
Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya
adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas,
interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama,
individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk
objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang terdapat dalam
komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk
interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan
dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna diinterpretasikan
individu dapat berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan situasi
yang ditemukan dalam interaksi sosial.
I.7 Kerangka Konsep
Konsep merupakan generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu yang
dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Bungin,
2005: 73). Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:
- Culture shock
Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas, maka agar
konsep operasional tersebut dapat membentuk kesamaan dan kesesuaian dalam
penelitian, maka dioperasionalkan sebagai berikut:
Konsep Operasional Operasionalisasi Konsep
Culture shock A. Faktor-faktor yang
mempengaruhi culture shock sesuai dengan variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi :
1.Komunikasi Persona/faktor intrapersonal, meliputi:
a. Karakteristik personal b. Motivasi individu c. Persepsi individu d. Pengetahuan individu e. Pengalaman sebelumnya
2.Komunikasi Sosial, yakni komunikasi antarpersona baik verbal maupun non verbal.
3.Lingkungan komunikasi
B. Tingkatan culture shock:
1. Fase Optimistik (Optimistic Phase)
2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems)
3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase)
4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase)
Karakteristik Informan 1. Usia
2. Jenis Kelamin 3. Asal Fakultas 4. Lama menetap
I.9 Definisi Operasional
1. Komunikasi Persona/Faktor intrapersonal:
a. Karakteristik personal, watak dan kepribadian mahasiswa asal
Malaysia.
b. Motivasi individu, kehendak, kemauan, kebutuhan dan dorongan
mahasiswa asal Malaysia untuk belajar tentang dan berpartisipasi
serta terlibat komunikasi antarbudaya dengan orang-orang Medan.
c. Persepsi individu, persepsi mahasiswa asal Malaysia tentang
lingkungan barunya, yakni Kota Medan dan orang-orang di
dalamnya.
d. Pengetahuan individu, pengetahuan (kemampuan kognitif) tentang
budaya dan pola-pola dan aturan sistem komunikasi budaya baru,
yaitu Medan.
e. Pengalaman sebelumnya, ada tidaknya pengalaman terdahulu dari
mahasiswa asal Malaysia tentang Medan.
2. Komunikasi Sosial, yakni komunikasi antarpersona mahasiswa asal
Malaysia dengan orang-orang Medan.
3. Lingkungan, suasana lingkungan komunikasi USU.
B. Tingkatan culture shock:
1. Fase optimistik (Optimistic Phase), fase berisi kegembiraan, rasa
penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum
memasuki budaya baru. Dalam penelitian ini, fase optimistik adalah
fase dimana mahasiswa asal Malaysia di USU merasa sangat antusias
2. Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua di mana masalah
dengan lingkungan baru mulai berkembang. Mahasiswa asal Malaysia
mengalami gegar budaya ketika memasuki lingkungan baru.
3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai
mengerti mengenai budaya barunya. Mahasiswa asal Malaysia mulai
mengenal budaya baru yang dimasukinya.
4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir dimana
mahasiswa asal Malaysia telah mengerti elemen kunci dari budaya
barunya.
Karakteristik Informan:
1. Usia: umur dari informan
2. Jenis kelamin: laki laki atau perempuan
3. Asal fakultas: Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi
BAB II
URAIAN TEORITIS
II.1 Komunikasi Antarbudaya
II.1.1 Sejarah Komunikasi Antarbudaya
Tema tentang komunikasi bukanlah suatu hal baru, namun akan menjadi
lebih menarik setelah dihubungkan dengan konsep “antarbudaya”. Istilah
“antarbudaya” pertama kali diperkenalkan oleh seorang antropolog, Edward T.
Hall pada tahun 1959 dalam bukunya The Silent Language. Hakikat perbedaan
antarbudaya dalam proses komunikasi dijelaskan satu tahun setelahnya, oleh
David K. Berlo melalui bukunya The Process of Communication (an introduction
to theory and practice). Dalam tulisan itu Berlo menawarkan sebuah model proses
komunikasi. Menurutnya, komunikasi akan berhasil jika manusia memperhatikan
faktor-faktor SMCR, yaitu: source, messages, channel, receiver (Liliweri, 2001:
1).
Semua tindakan komunikasi itu berasal dari konsep kebudayaan. Berlo
berasumsi bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk
melaksanakan tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat
penting terhadap perilaku komunikasi seseorang termasuk memahami
makna-makna yang dipersepsi terhadap tindakan komunikasi yang bersumber dari
Rumusan objek formal komunikasi antarbudaya baru dipikirkan pada
tahun 1970-1980-an. Pada saat yang sama, para ahli ilmu sosial sedang sibuk
membahas komunikasi internasional yang disponsori oleh Speech Communication
Association, sebuah komisi yang merupakan bagian Asosiasi Komunikasi
Internasional dan Antarbudaya yang berpusat di Amerika Serikat. “Annual”
tentang komunikasi antarbudaya yang disponsori oleh badan itu terbit pertama
kali pada 1974 oleh Fred Casmir dalam The International and Intercultural
Communication Annual. Kemudian Dan Landis menguatkan konsep komunikasi
antarbudaya dalam International Journal of Intercultural Relations pada tahun
1977.
Tahun 1979, Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark
menerbitkan sebuah buku yang khusus membicarakan komunikasi antarbudaya,
yakni The Handbook of Intercultural Communication. Sejak saat itu banyak ahli
mulai melakukan studi tentang komunikasi antarbudaya. Selanjutnya, 1983 lahir
International and Intercultural Communication Annual yang dalam setiap
volumenya mulai menempatkan rubrik khusus untuk menampung tulisan tentang
komunikasi antarbudaya. Tema pertama tentang “Teori Komunikasi
Antarbudaya” diluncurkan tahun 1983 oleh Gundykunst. Edisi lain tentang
komunikasi, kebudayaan, proses kerja sama antarbudaya ditulis pula oleh
Gundykunst, Stewart dan Ting Toomey tahun 1985, komunikasi antaretnik oleh
Kim tahun 1986, adaptasi lintasbudaya oleh Kim dan Gundykunst tahun 1988,
dan terakhir komunikasi/bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey & Korzenny
II.1.2 Definisi Komunikasi Antarbudaya
Ada dua konsep utama yang mewarnai komunikasi antarbudaya
(interculture communication), yaitu konsep kebudayaan dan konsep komunikasi.
Hubungan antara keduanya sangat kompleks. Budaya mempengaruhi komunikasi
dan pada gilirannya komunikasi turut menentukan, menciptakan dan memelihara
realitas budaya dari sebuah komunitas/kelompok budaya (Martin dan Thomas,
2007: 92). Dengan kata lain, komunikasi dan budaya ibarat dua sisi mata uang
yang tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Budaya tidak
hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana
komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan bagaimana orang
menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk
mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh
perbendaharaan perilaku manusia sangat bergantung pada budaya tempat manusia
tersebut dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi.
Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik
komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 20).
Dengan memahami kedua konsep utama itu, maka studi komunikasi
antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek
kebudayaan terhadap komunikasi. Adapun beberapa definisi komunikasi
antarbudaya, sebagai berikut:
2.Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.
3.Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.
4.Guo-Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok (Liliweri, 2003: 10-11).
Young Yun Kim mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi lain, hal
yang terpenting dari komunikasi antarbudaya yang membedakannya dari kajian
keilmuan lainnya adalah tingkat perbedaan yang relatif tinggi pada latar belakang
pengalaman pihak-pihak yang berkomunikasi (the communications) karena
adanya perbedaan-perbedaan kultural. Dalam perkembangannya, komunikasi
antarbudaya dipahami sebagai proses transaksional, proses simbolik yang
melibatkan atribusi makna antara individu-individu dari budaya yang berbeda.
Sedangkan Tim-Toomey menjelaskan komunikasi antarbudaya sebagai proses
pertukaran simbolik dimana individu-individu dari dua (atau lebih) komunitas
kultural yang berbeda menegosiasikan makna yang dipertukarkan dalam sebuah
interaksi yang interaktif.
Menurut Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi
antarbudaya adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama
pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan atau homogenitas dalam keseluruhan
latar belakang pengalaman mereka daripada orang yang berasal dari budaya yang
Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya, maka ada
beberapa asumsi, yaitu:
1. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan
2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi 3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi
4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat
ketidakpastian
5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan
6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2003: 15)
II.1.3 Efektivitas Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi antarbudaya merujuk pada fenomena komunikasi dimana para
partisipan yang berbeda dalam latar belakang kultural menjalin kontak satu sama
lain secara langsung maupun tidak langsung. Ketika komunikasi antarbudaya
mempersyaratkan dan berkaitan dengan kesamaan-kesamaan dan
perbedaan-perbedaan kultural antara pihak-pihak yang terlibat, maka
karakteristik-karakteristik kultural dari para partisipan bukan merupakan fokus studi dari
komunikasi antarbudaya, melainkan proses komunikasi antara individu dengan
individu dan kelompok dengan kelompok (Rahardjo, 2005: 54).
Sebagaimana sebuah aktivitas komunikasi yang efektif apabila terdapat
persamaan makna pesan antara komunikator dan komunikan, demikian halnya
dengan komunikasi antarbudaya. Tetapi hal ini menjadi lebih sulit mengingat
adanya unsur perbedaan kebudayaan antara pelaku-pelaku komunikasinya. Itulah
sebabnya, usaha untuk menjalin komunikasi antarbudaya dalam praktiknya
masalah-masalah potensial yang sering terjadi di dalamnya, seperti pencarian kesamaan,
penarikan diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian, stereotip, prasangka,
rasisme, kekuasaan, etnosentrisme dan culture shock (Samovar, Porter dan Mc.
Daniel, 2007: 316). Sedangkan Lewis dan Slade menguraikan tiga kawasan yang
paling problematik dalam lingkup pertukaran antarbudaya, yaitu kendala bahasa,
perbedaan nilai dan perbedaan pola perilaku kultural. Kendala bahasa merupakan
sesuatu yang tampak, namun hambatan tersebut lebih mudah untuk ditanggulangi,
karena bahasa dapat dipelajari, sedangkan dua hambatan lainnya, yaitu perbedaan
nilai dan perbedaan pola-pola perilaku kultural terasa lebih sulit untuk
ditanggulangi. Menurut Lewis dan Slade, perbedaan nilai merupakan hambatan
yang serius terhadap munculnya kesalahpahaman budaya, sebab ketika dua orang
yang berasal dari kultur yang berbeda melakukan interaksi, maka
perbedaan-perbedaan tersebut akan menghalangi pencapaian kesepakatan yang rasional
tentang isu-isu penting. Mengenai kesalahpahaman antarkultural dikarenakan
perbedaan pola-pola perilaku kultural lebih diakibatkan oleh ketidakmampuan
masing-masing kelompok budaya untuk memberi apresiasi terhadap
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh setiap kelompok budaya tersebut.
Usaha untuk mencapai komunikasi antarbudaya yang efektif, di samping
dihadapkan pada ketiga hal tersebut juga dipengaruhi oleh beberapa faktor
penghambat, yaitu etnosentrisme, stereotip dan prasangka. Etnosentrisme
merupakan tingkatan dimana individu-individu menilai budaya orang lain sebagai
inferior terhadap budaya mereka. Prasangka merupakan sikap yang kaku terhadap
suatu kelompok yang didasarkan pada keyakinan atau pra konsepsi yang keliru,
pengujian terhadap informasi yang tersedia. Sedangkan stereotip merupakan
generalisasi tentang beberapa kelompok orang yang sangat menyederhanakan
realitas (Rahardjo, 2005: 54-56).
Sarbaugh mengemukakan tiga prinsip penting dalam komunikasi
antarbudaya. Pertama, suatu sistem sandi bersama yang tentu saja terdiri dari dua
aspek (verbal dan non verbal). Tanpa suatu sistem bersama, komunikasi akan
menjadi tidak mungkin. Terdapat berbagai tingkat perbedaan, namun semakin
sedikit persamaan sandi itu, semakin sedikit komunikasi yang mungkin terjadi.
Kedua, kepercayaan dan perilaku yang berlainan di antara pihak-pihak yang
berkomunikasi merupakan landasan bagi asumsi-asumsi berbeda untuk
memberikan respons. Sebenarnya kepercayaan-kepercayaan dan perilaku-perilaku
kita mempengaruhi persepsi kita tentang apa yang dilakukan orang lain. Maka dua
orang yang berbeda budaya dapat dengan mudah memberi makna yang berbeda
kepada perilaku yang sama. Bila ini terjadi, kedua orang itu berperilaku secara
berbeda tanpa dapat meramalkan respon pihak lainnya, padahal kemampuan
meramalkan ini merupakan bagian integral dari kemampuan berkomunikasi secara
efektif. Ketiga, tingkat mengetahui dan menerima kepercayaan dan perilaku orang
lain. Cara kita menilai budaya lain dengan nilai-nilai budaya kita sendiri dan
menolak mempertimbangkan norma-norma budaya lain akan menentukan
keefektifan komunikasi yang akan terjadi (Tubbs dan Moss, 2005: 240).
Komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif menurut Schramm
harus memperhatikan empat syarat, yaitu:
5. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia
6. Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan
7. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak
8. Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya yang lain (Liliweri, 2001: 171)
Sedangkan De Vito mengemukakan konsepnya tentang efektivitas komunikasi
sangat ditentukan oleh sejauhmana seseorang mempunyai sikap: (1) keterbukaan;
(2) empati; (3) merasa positif; (4) memberi dukungan; dan (5) merasa seimbang;
terhadap makna pesan yang sama dalam komunikasi antarbudaya.
Sikap keterbukaan yang dimaksud De Vito, meliputi: (1) sikap seseorang
komunikator yang membuka semua informasi tentang pribadinya kepada
komunikan, sebaliknya menerima semua informasi yang relevan tentang dan dari
komunikan dalam rangka interaksi antarpribadi; (2) kemauan seseorang sebagai
komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap pesan yang datang dari
komunikan; dan (3) memikirkan dan merasakan bahwa apa yang dinyatakan
seorang komunikator merupakan tanggung jawabnya terhadap komunikan dalam
suasana situasi tertentu. Selanjutnya, perasaan empati ialah kemampuan seorang
komunikator untuk menerima dan memahami orang lain seperti ia menerima
dirinya sendiri; jadi ia berpikir, merasa, berbuat terhadap orang lain sebagaimana
ia berpikir, merasa dan berbuat terhadap dirinya sendiri. Perasaan positif ialah
perasaan seorang komunikator bahwa pribadinya, komunikannya, serta situasi
yang melibatkan keduanya sangat mendukung. Memberi dukungan ialah suatu
situasi kondisi yang dialami komunikator dan komunikan terbebas atmosfir
ancaman, tidak dikritik dan ditantang. Memelihara keseimbangan ialah suatu
suasana yang adil antara komunikator dan komunikan dalam hal kesempatan yang
Pihak-pihak yang melakukan komunikasi antarbudaya harus mempunyai
keinginan yang jujur dan tulus untuk berkomunikasi dan mengharapkan
pengertian timbal balik. Asumsi ini memerlukan sikap-sikap yang positif dari para
pelaku komunikasi antarbudaya dan penghilangan hubungan-hubungan
superior-inferior yang berdasarkan keanggotaan dalam budaya-budaya, ras-ras atau
kelompok-kelompok etnik tertentu (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 37).
Komunikasi antarbudaya yang intensif dapat mengubah persepsi dan sikap
orang lain bahkan dapat meningkatkan kreativitas manusia. Berbagai pengalaman
atas kekeliruan dalam komunikasi antarbudaya sering membuat manusia makin
berusaha mengubah kebiasaan berkomunikasi, paling tidak melalui pemahaman
terhadap latar belakang budaya orang lain. Banyak masalah komunikasi
antarbudaya seringkali timbul hanya karena orang kurang menyadari dan tidak
mampu mengusahakan cara efektif dalam berkomunikasi antarbudaya (Liliweri,
2003: 254). Selain itu, seperti yang telah disebutkan Sarbaugh, bahwa dengan
penggunaan sistem sandi yang sama, pengakuan atas perbedaan dalam
kepercayaan dan perilaku, dan pemupukan sikap toleran terhadap kepercayaan
dan perilaku orang lain, semuanya itu membantu terciptanya komunikasi yang
efektif (Tubbs dan Moss, 2005: 242).
II.2 Bahasa Verbal dan Non Verbal
II.2.1 Bahasa Verbal
Bahasa menjadi alat utama yang digunakan manusia untuk berkomunikasi
dalam kehidupan sehari-hari. Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol
kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha
yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan.
Bahasa dapat juga dianggap sebagai suatu sistem kode verbal. Bahasa verbal
adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud yang ingin
disampaikan. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan
berbagai aspek realitas individual kita.
Manusia menggunakan bahasa untuk menyampaikan pikiran, perasaan,
niat dan keinginan kepada orang lain. Kita belajar tentang orang-orang melalui
apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka mengatakannya, kita belajar
tentang diri kita melalui cara-cara orang lain bereaksi terhadap apa yang kita
katakan dan kita belajar tentang hubungan kita dengan orang lain melalui take and
give dalam interaksi yang komunikatif (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007:
164).
Menurut Ray L. Birdwhistell, porsi komunikasi verbal dalam komunikasi
tatap muka manusia hanyalah 35%. Keadaan ini banyak tidak disadari oleh
manusia itu sendiri, bahwa bahasa itu terbatas. Keterbatasan bahasa tersebut,
menurut Deddy Mulyana, antara lain keterbatasan jumlah kata yang tersedia untuk
mewakili objek, kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual, kata-kata mengandung
bias budaya dan pencampuradukan fakta, penafsiran dan penilaian (Mulyana,
2005: 245-254).
II.2.2 Bahasa Nonverbal
Manusia dipersepsikan tidak hanya melalui bahasa verbalnya, bagaimana
namun juga melalui perilaku nonverbalnya. Lewat perilaku nonverbalnya, kita
dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia,
bingung atau sedih. Kesan awal kita pada seseorang sering didasarkan pada
perilaku nonverbalnya yang mendorong kita untuk mengenalnya lebih jauh.
Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata.
Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa
komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus
menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui
simbol-simbol verbal. Dalam pengertian ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu
tidak sungguh-sungguh bersifat nonverbal.
Bahasa verbal dan nonverbal dalam kenyataannya jalin menjalin dalam
suatu aktivitas komunikasi tatap muka. Keduanya dapat berlangsung spontan dan
serempak. Dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal
mempunyai fungsi-fungsi berikut:
1. Fungsi Repetisi; perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal 2. Fungsi Komplemen; perilaku nonverbal memperteguh atau melengkapi
perilaku verbal.
3. Fungsi Substitusi; perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku verbal. 4. Fungsi Regulasi; perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal.
5. Fungsi Kontradiksi; perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan perilaku verbal (Mulyana, 2005: 314).
Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua kategori
besar, yakni: pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan
dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan
parabahasa; kedua, ruang, waktu dan diam (Samovar, Porter dan Mc. Daniel
II.2.3 Bahasa Verbal dan Nonverbal dalam Proses Komunikasi
Antarbudaya
Pada dasarnya, bahasa verbal dan nonverbal tidak terlepas dari konteks
budaya. Tidak mungkin bahasa terpisah dari budaya. Dalam arti yang paling
dasar, Rubin mengatakan, bahasa adalah satu set karakter atau elemen dan aturan
yang digunakan dalam hubungan satu sama lain. Karakter atau elemen tersebut
adalah simbol bahasa yang beragam secara budaya, mereka berbeda satu dengan
yang lain. Tidak hanya kata-kata dan suara untuk simbol-simbol yang berbeda,
namun juga aturan untuk menggunakan simbol-simbol dan suara-suara tersebut.
Budaya memberi pengaruh yang sangat besar pada bahasa karena budaya tidak
hanya mengajarkan simbol dan aturan untuk menggunakannya, tetapi yang lebih
penting adalah makna yang terkait dengan simbol tersebut.
Kata-kata bersifat ambigu, karena kata-kata merepresentasikan persepsi
dan interpretasi orang-orang yang berbeda yang menganut latarbelakang
sosial-budaya yang berbeda pula. Oleh karena itu, terdapat berbagai kemungkinan untuk
memaknai kata-kata tersebut. Kata-kata adalah abstraksi realitas yang tidak
mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang
diwakilkan dari kata-kata itu. Bila budaya disertakan sebagai variabel dalam
proses abstraksi tersebut, masalahnya menjadi semakin rumit. Ketika
berkomunikasi dengan seseorang dari budaya yang sama, proses abstraksi untuk
merepresentasikan pengalaman jauh lebih mudah, karena dalam suatu budaya
orang-orang berbagi sejumlah pengalaman serupa. Namun, bila komunikasi
konsekuensinya proses abstraksi juga menyulitkan (Samovar, Porter dan Mc.
Daniel, 2007: 169-170).
Sebagaimana bahasa verbal yang tidak terlepas dari budaya, begitu pula
dengan bahasa nonverbal. Perilaku nonverbal seseorang adalah akar budaya
seseorang tersebut. Oleh karena itu, posisi komunikasi nonverbal memainkan
bagian yang penting dan sangat dibutuhkan dalam interaksi komunikatif di antara
orang dari budaya yang berbeda.
Hubungan antara komunikasi verbal dengan kebudayaan jelas adanya,
apabila diingat bahwa keduanya dipelajari, diwariskan dan melibatkan
pengertian-pengertian yang harus dimiliki bersama. Dilihat dari ini, dapat dimengerti
mengapa komunikasi nonverbal dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Banyak perilaku nonverbal dipelajari secara kultural. Sebagaimana aspek
verbal, komunikasi nonverbal juga tergantung atau ditentukan oleh kebudayaan,
yaitu: kebudayaan menentukan perilaku-perilaku nonverbal yang mewakili atau
melambangkan pemikiran, perasaan, keadaan tertentu dari komunikator dan
kebudayaan menentukan kapan waktu yang tepat atau layak untuk
mengkomunikasikan pemikiran, perassan, keadaan internal. Jadi, walaupun
perilaku-perilaku yang memperlihatkan emosi ini banyak yang bersifat universal,
tetapi ada perbedaan-perbedaan kebudayaan dalam menentukan bilamana, oleh
siapa dan dimana emosi-emosi itu dapat diperlihatkan (Samovar, Porter dan Mc.
II.3 Akulturasi
II.3.1 Pengertian Akulturasi
Istilah akulturasi atau acculturation atau culture contact, adalah konsep
mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu
kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing
dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun
diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 1990: 248). Di dalam ilmu
kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur tersebut
namun perbedaan di antara unsur-unsur asing dengan yang asli masih tampak.
II.3.2 Komunikasi dan Akulturasi
Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang memperoleh perilakunya
lewat belajar. Apa yang kita pelajari pada umumnya dipengaruhi oleh
kekuatan-kekuatan sosial dan budaya. Dari semua aspek belajar manusia, komunikasi
merupakan aspek yang terpenting dan paling mendasar. Kita belajar banyak hal
lewat respon-respon komunikasi terhadap rangsangan dari lingkungan. Kita harus
menyandi dan menyandi balik pesan-pesan sehingga pesan-pesan tersebut akan
dikenali, diterima dan direspons oleh individu-individu yang berinteraksi dengan
kita. Kegiatan-kegiatan komunikasi berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan
Budaya sebagai paduan pola-pola yang merefleksikan respon-respon
komunikatif terhadap rangsangan dari lingkungan. Pola-pola budaya ini pada
gilirannya merefleksikan elemen-elemen yang sama dalam perilaku komunikasi
individual yang lahir dan diasuh dalam budaya itu. Budaya sebagai seperangkat
aturan yang terorganisasi mengenai cara-cara dimana individu-individu dalam
masyarakat harus berkomunikasi satu sama lain dan cara bagaimana mereka
berpikir tentang diri mereka dan lingkungan mereka.
Proses individu-individu memperoleh aturan-aturan budaya komunikasi
dimulai pada masa awal kehidupan manusia tersebut. Melalui proses sosialisasi
dan pendidikan, pola-pola budaya ditanamkan ke dalam sistem saraf dan menjadi
bagian kepribadian dan perilaku individu. Proses belajar yang terinternalisasikan
ini memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan anggota-anggota budaya
lainnya yang juga memiliki pola-pola komunikasi serupa. Proses memperoleh
pola-pola demikian oleh individu-individu itu disebut enkulturasi (Mulyana dan
Rakhmat, 2005: 138). Lalu apa yang akan terjadi bila seseorang yang lahir dan
terenkulturasi dalam suatu budaya tertentu memasuki suatu budaya lain?
Banyaknya tata cara komunikasi yang telah diperoleh individu sejak masa
kanak-kanak mungkin tidak berfungsi lagi dalam lingkungan barunya.
Transaksi-transaksi dalam kehidupan sehari-hari saja membutuhkan kemampuan
berkomunikasi yang menggunakan lambang-lambang dan aturan-aturan yang ada
dalam sistem komunikasi masyarakat pribumi yang menjadi lingkungan barunya.
Tidaklah mudah memahami perilaku-perilaku kehidupan yang sering tidak
diharapkan dan tidak diketahui. Sebagai seorang anggota baru dalam budaya
Asumsi-asumsi budaya yang tersembunyi dan respon-respon yang telah terkondisikan
menyebabkan banyak kesulitan kognitif, afektif dan perilaku dalam penyesuaian
diri dengan budaya baru. Schultz mengatakan bahwa bagi orang asing, pola
budaya kelompok yang dimasukinya bukanlah merupakan tempat berteduh tetapi
merupakan suatu arena petualangan, bukan merupakan hal yang lazim tetapi suatu
topik penyelidikan yang meragukan, bukan suatu alat untuk lepas dari
situasi-situasi problematik tetapi merupakan suatu situasi-situasi problematik tersendiri yang
sulit dikuasai. Meskipun demikian, hubungan antara budaya dan individu, seperti
yang terlihat dalam proses enkulturasi, mampu membangkitkan kemampuan
manusia yang besar untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan. Secara bertahap
imigran belajar menciptakan situasi-situasi dan relasi-relasi yang tepat dalam
masyarakat pribumi.
Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran.
Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang
masyarakat pribumi yang signifikan. Sebagaimana orang-orang pribumi
memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi seorang imigran pun
memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi. Seorang imigran akan
mengatur dirinya untuk mengetahui dan diketahui dalam berhubungan dengan
orang lain dan itu dilakukan lewat komunikasi. Proses selama akulturasi sering
mengecewakan dan menyakitkan. Dalam banyak kasus, bahasa asli imigran
sangat berbeda dengan bahasa asli masyarakat pribumi. Masalah-masalah
komunikasi lainnya meliputi masalah komunikasi nonverbal, seperti
perbedaan-perbedaan dalam penggunaan dan pengaturan ruang, jarak antarpribadi, ekspresi
perilaku nonverbal. Oleh karena itu, proses akulturasi adalah suatu proses yang
interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui
komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru
(Mulyana dan Rakhmat, 2005: 137-140).
II.3.3 Variabel-Variabel Komunikasi dalam Akulturasi
Salah satu kerangka konseptual yang paling komprehensif dan bermanfaat
dalam menganalisis akulturasi seorang imigran dari perspektif komunikasi
terdapat pada perspektif sistem yang dielaborasi oleh Ruben (1975). Dalam
perspektif sistem, unsur dasar suatu sistem komunikasi manusia teramati ketika
seseorang secara aktif sedang berkomunikasi, berusaha untuk dan mengharapkan
berkomunikasi dengan lingkungan. Sebagai suatu sistem komunikasi terbuka,
seseorang berinteraksi dengan lingkungan melalui dua proses yang saling
berhubungan, yakni komunikasi persona dan komunikasi sosial.
Pertama, komunikasi persona atau intrapersona mengacu kepada
proses-proses mental yang dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan
dengan lingkungan sosio-budayanya, mengembangkan cara-cara melihat,
mendengar, memahami dan merespons lingkungan. Salah satu variabel
komunikasi persona terpenting dalam akulturasi adalah kompleksitas struktur
kognitif imigran dalam mempersepsi lingkungan pribumi. Faktor yang erat
berhubungan dengan kompleksitas kognitif adalah pengetahuan imigran tentang
pola-pola dan sistem-sistem komunikasi pribumi. Bukti empiris yang memadai
menunjang fungsi penting pengetahuan tersebut, terutama pengetahuan tentang
persona lainnya dalam akulturasi adalah citra diri (self image) imigran yang
berhubungan dengan citra-citra imigran tentang lingkungannya. Selain itu,
motivasi akulturasi seorang imigran juga dapat memudahkan proses akulturasi.
Motivasi akulturasi mengacu kepada kemauan imigran untuk belajar tentang,
berpartisipasi dalam dan diarahkan menuju sistem sosio-budaya pribumi.
Kedua, komunikasi sosial. Komunikasi sosial ditandai ketika
individu-individu mengatur perasaan, pikiran dan perilaku antara yang satu dengan yang
lainnya. Komunikasi sosial dilakukan melalui komunikasi antarpersona.
Komunikasi antarpersona seorang imigran dapat diamati melalui derajat
partisipasinya dalam hubungan-hubungan antarpersona dengan anggota
masyarakat pribumi.
Ketiga, lingkungan komunikasi. Komunikasi persona dan komunikasi
sosial seorang imigran dan fungsi komunikasi tersebut tidak dapat sepenuhnya
dipahami tanpa dihubungkan dengan lingkungan komunikasi masyarakat pribumi.
Suatu kondisi lingkungan yang sangat berpengaruh pada komunikasi dan
akulturasi imigran adalah adanya komunitas etniknya di daerah setempat. Derajat
pengaruh komunitas etnik atas perilaku imigran sangat bergantung pada derajat
kelengkapan kelembagaan komunitas tersebut dan kekuatannya untuk memelihara
budayanya yang khas bagi anggota-anggotanya. Lembaga-lembaga etnik yang ada
dapat mengatasi tekanan-tekanan situasi antarbudaya dan memudahkan akulturasi
II.3.4 Culture shock
Orang yang melintasi batas budaya yang disebut sebagai pendatang. Istilah
ini mencakup imigran, pengungsi, eksekutif bisnis, pelajar, atau turis.
Orang-orang memasuki wilayah budaya dengan beragam pengalaman, latar belakang,
pengetahuan dan tujuan, tetapi setiap orang asing harus menyesuaikan perilaku
komunikasinya dengan pengaturan budaya baru yang individu tersebut datangi.
Individu yang memasuki suatu dunia baru yang berbeda dengan lingkungan
asalnya, tidak jarang akan menimbulkan kecemasan dan ketegangan. Hal inilah
yang menjadi dampak dari proses akulturasi yaitu keadaan gegar budaya (culture
shock). Pengalaman-pengalaman komunikasi dengan kontak antarpersona secara
langsung seringkali menimbulkan frustasi. Istilah culture shock pertama kali
diperkenalkan oleh Antropologis bernama Oberg. Menurutnya, culture shock
didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan
semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial, termasuk di
dalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian,
misalnya bagaimana untuk memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan
dan di mana kita tidak perlu merespon (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007:
335). Mulyana mengemukakan tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk tersebut juga
termasuk kapan berjabatan tangan dan apa yang harus kita katakan ketika bertemu
dengan orang-orang, kapan menerima dan kapan menolak undangan, kapan
membuat pertanyaan dengan sungguh-sungguh dan kapan sebaliknya.
Petunjuk-petunjuk ini dapat berupa kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah,
kebiasaan-kebiasaan atau norma-norma, kita peroleh sepanjang perjalanan hidup seseorang
budaya asing, semua atau hampir semua petunjuk itu lenyap. Meskipun seseorang
tersebut berpikiran luas dan beritikad baik, ia akan kehilangan pegangan, lalu akan
mengalami frustasi dan kecemasan.
Deddy Mulyana lebih mendasarkan gegar budaya (culture shock) sebagai
benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan persepsi berdasarkan
faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan
dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami
Dalam membahas tentang masalah culture shock, sebelumnya perlu
memahami tentang perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dan
seseorang yang memutuskan untuk tinggal secara permanen (settlers). Ada
perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dengan orang yang
mengambil tempat tinggal tetap, misalnya di suatu Negara (settler). Seperti yang
dikatakan oleh Bochner (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 334),
perhatian mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka
reaksi mereka pun berbeda. Settlers berada dalam proses membuat komitmen
tetap pada masyarakat barunya, sedangkan sojourners berada dalam landasan
sementara, meskipun kesementaraannya bervariasi, seperti turis dalam sehari atau
pelajar asing dalam beberapa tahun.
Deddy Mulyana dalam bukunya Komunikasi Antarbudaya mengatakan
bahwa bagi orang asing, pola budaya kelompok yang dimasuki bukanlah
bukan merupakan materi kuliah tapi suatu topik penyelidikan yang meragukan,
bukan suatu alat untuk lepas dari situasi-situasi problematik, melainkan suatu
situasi problematik tersendiri yang sulit dikuasai. Pengalaman-pengalaman
komunikasi dengan kontak interpersonal secara langsung dengan orang-orang
yang berbeda latar belakang budaya, seringkali menimbulkan frustasi. Individu
bisa jadi merasa kikuk dan terasa asing dalam berhubungan dengan orang-orang
dari lingkungan budaya baru yang ia masuki (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 143).
Reaksi yang dihasilkan oleh culture shock juga bervariasi antara satu
individu dengan individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda
pula. Reasi-reaksi yang mungkin terjadi, antara lain:
1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru. 2. rasa kehilangan arah
3. rasa penolakan
4. gangguan lambung dan sakit kepala
5. homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama
6. rindu pada teman dan keluarga
7. merasa kehilangan status dan pengaruh 8. menarik diri
9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335)
Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan
perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, Samovar menyatakan bahwa biasanya
individu akan melewati 4 (empat) tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini
dapat digambarkan dalam bentuk kurva U, sehingga disebut U-curve.
1. Fase optimistik (Optimistic Phase), fase pertama yang digambarkan
penuh harapan dan euforia sebagai antisipasi individu sebelum memasuki
budaya baru
2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua dimana masalah
dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan
bahasa, sistem lalu lintas baru, sekolah baru dan lain-lain. Fase ini
biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah
periode krisis dalam culture shock. Orang menjadi bingung dan tercengang
dengan sekitarnya dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung,
bersikap bermusuhan, mudah marah, tidak sabar dan bahkan menjadi tidak
kompeten.
3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai
mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap ini, individu secara
bertahap membuat penyesuaian dan perubahan untuk menanggulangi
budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai
dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.
4. Fase penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir, pada puncak kanan U,
individu telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, pola
komunikasi, keyakinan dan lain-lain). Kemampuan untuk hidup dalam dua
budaya yang berbeda, biasanya juga disertai dengan rasa puas dan
menikmati. Namun beberapa ahli menyatakan bahwa untuk dapat hidup
dalam dua budaya berbeda, seseorang akan perlu beradaptasi kembali
II.4 Teori Interaksionisme Simbolik
II.4.1 Pengertian Teori Interaksionisme Simbolik
George Herbert Mead merupakan pelopor interaksionisme simbolik,
meskipun dalam perintisan teori ini banyak ilmuwan lain yang ikut serta
memberikan sumbangsihnya, seperti James Mark Baldwin, William James,
Charles H. Cooley, John Dewey dan William I. Thomas. Mead mengembangkan
teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an ketika beliau menjadi profesor
filsafat di Universitas Chicago. Namun gagasan-gagasannya mengenai
interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya
menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi
rujukan utama teori interaksionisme simbolik, yakni mind, self and society
(Mulyana, 2001: 68).
Karya Mead yang paling terkenal ini menggarisbawahi tiga konsep kritis
yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme
simbolik. Tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term
interaksionisme simbolik. Dari itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial
(diri/self dengan yang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi
masyarakat (society) di mana kita hidup. Makna berasal dari interaksi dan tidak
dari cara yang lain. Pada saat yang sama “pikiran” dan “diri” timbul dalam
konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal balik antara masyarakat, pengalaman
individu dan interaksi menjadi bahan bagi penelahaan dalam tradisi