• Tidak ada hasil yang ditemukan

Culture Shock Dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Pada Mahasiswa Asal Malaysia Di Medan (Studi Kasus Pada Mahasiswa Asal Malaysia Di Universitas Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Culture Shock Dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Pada Mahasiswa Asal Malaysia Di Medan (Studi Kasus Pada Mahasiswa Asal Malaysia Di Universitas Sumatera Utara)"

Copied!
187
0
0

Teks penuh

(1)

CULTURE SHOCK DALAM INTERAKSI KOMUNIKASI

ANTARBUDAYA PADA MAHASISWA ASAL MALAYSIA DI MEDAN

(Studi Kasus Pada Mahasiswa Asal Malaysia Di Universitas Sumatera Utara)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Diajukan Oleh:

EMMA VIOLITA PINEM

070904064

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : EMMA VIOLITA PINEM

NIM : 070904064

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : CULTURE SHOCK DALAM INTERAKSI

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA PADA MAHASISWA MALAYSIA DI MEDAN (Studi Kasus Pada Mahasiswa Malaysia di Universitas Sumatera Utara)

Medan, Februari 2011

Dosen Pembimbing Ketua Departemen Ilmu

Komunikasi,

Dra. Lusiana Andriani, M. A, Ph. D Dra. Fatma Wardi Lubis, M.A NIP : 196704051990032002 NIP : 196208281987012001

Dekan

(3)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Pada Mahasiswa Malaysia di Medan (Studi Kasus Pada Mahasiswa Malaysia di Universitas Sumatera Utara). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui culture shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa Malaysia di USU, dalam hal ini juga mengenai reaksi dan upaya mengatasi culture shock tersebut.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang merupakan pengukuran dengan menggunakan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek penelitian adalah mahasiswa Malaysia di Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi USU yang masih aktif kuliah dan sudah menetap di Medan selama kurang lebih dua tahun.

(4)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah ... 1

I.2 Perumusan Masalah ... 6

I.3 Pembatasan Masalah ... 6

I.4 Tujuan Penelitian ... 7

I.5 Manfaat Penelitian ... 7

I.6 Kerangka Teori ... 8

I.7 Kerangka Konsep ... 16

I.8 Operasionalisasi Konsep ... 17

I.9 Definisi Operasional ... 18

BAB II URAIAN TEORITIS II.1 Komunikasi Antarbudaya ... 20

II.1.1 Sejarah Komunikasi Antarbudaya ... 20

II.1.2 Definisi Komunikasi Antarbudaya ... 22

II.1.3 Efektivitas Komunikasi Antarbudaya ... 24

II.2 Bahasa Verbal dan Bahasa Non Verbal ... 28

II.2.1 Bahasa Verbal ... 28

(5)

II.2.3 Bahasa Verbal dan Non Verbal dalam Proses

Komunikasi Antarbudaya ... 31

II.3 Akulturasi ... 33

II.3.1 Definisi Akulturasi ... 33

II.3.2 Komunikasi dan Akulturasi ... 33

II.3.3 Variabel-variabel Komunikasi ... 36

II.3.4 Culture Shock ... 38

II.4 Teori Interaksionisme Simbolik ... 42

II.4.1 Definisi Teori Interaksionisme Simbolik ... 42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 45

III.1.1 Universitas Sumatera Utara ... 45

III.1.2 Fakultas Kedokteran USU ... 49

III.1.3 Fakultas Kedokteran Gigi USU ... 53

III.2 Metodologi Penelitian ... 57

III.2.1 Metode Kualitatif ... 57

III.2.2 Studi Kasus ... 59

III.2.3 Lokasi Penelitian ... 62

III.2.4 Subjek Penelitian ... 62

III.2.5 Teknik Pengumpulan Data ... 64

III.2.6 Teknik Analisis Data ... 66

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Hasil Pengamatan dan Wawancara ... 67

(6)

BAB V PENUTUP

V.1 Kesimpulan ... 148 V.2 Saran ... 151 DAFTAR PUSTAKA

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Mahasiswa Asal Malaysia di Fakultas Kedokteran

dan Fakultas Kedokteran Gigi USU ... ... 63

(8)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Pada Mahasiswa Malaysia di Medan (Studi Kasus Pada Mahasiswa Malaysia di Universitas Sumatera Utara). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui culture shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa Malaysia di USU, dalam hal ini juga mengenai reaksi dan upaya mengatasi culture shock tersebut.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang merupakan pengukuran dengan menggunakan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek penelitian adalah mahasiswa Malaysia di Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi USU yang masih aktif kuliah dan sudah menetap di Medan selama kurang lebih dua tahun.

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Komunikasi layaknya nafas kehidupan manusia. Kodratnya sebagai

makhluk sosial membuatnya senantiasa berinteraksi demi pemenuhan kebutuhan

dan keberlangsungan hidup. Komunikasi juga menjadi aspek yang paling penting

dan sangat mendasar dalam proses belajar manusia. Manusia dibesarkan, diasuh

dan berkembang di suatu lingkungan dengan pola-pola budaya setempat, sehingga

akhirnya manusia itu menjadi produk dari budaya tersebut. Pada dasarnya

seseorang itu adalah gambaran dari budayanya, dimana budaya dirumuskan

sebagai seperangkat aturan yang terorganisasikan mengenai cara-cara bagaimana

individu dalam masyarakat harus berkomunikasi satu sama lain dan bagaimana

cara mereka berpikir tentang diri mereka dan lingkungan mereka. Pola-pola

budaya ini pada gilirannya juga akan merefleksikan elemen-elemen yang sama

dalam perilaku komunikasi individual yang dilakukan mereka yang lahir dan

diasuh dalam budaya tersebut.

Manusia selama hidupnya mengalami proses sosialisasi dan pendidikan,

dalam proses itu individu senantiasa memperoleh aturan-aturan (budaya)

komunikasi, hingga akhirnya pola-pola budaya tersebut ditanamkan ke dalam

sistem saraf dan menjadi kepribadian dan perilaku individu tersebut. Proses

(10)

Melalui proses enkulturasi, pola budaya diinternalisasikan dan menjadi

bagian yang tidak terpisahkan dari individu tersebut. Hasil internalisasi ini

membuat individu mudah berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya

yang juga memiliki pola-pola budaya yang serupa. Lalu apa yang akan terjadi bila

seseorang yang lahir dan terenkulturasi dalam suatu budaya tertentu memasuki

suatu budaya lain? Segala bentuk lambang-lambang verbal dan non verbal dan

aturan-aturan yang telah dipelajari individu dalam lingkungan budayanya

mungkin akan lenyap dan tidak berfungsi lagi dalam lingkungan budaya baru

yang ia masuki.

Individu/kelompok yang memasuki budaya baru akan mengalami proses

enkulturasi yang kedua, yang disebut dengan proses akulturasi. Akulturasi

merupakan suatu proses menyesuaikan diri dengan budaya baru, dimana sesuatu

nilai masuk ke dalam diri individu tanpa meninggalkan identitas budaya yang

lama (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 139).

Mayoritas individu tinggal dalam lingkungan yang familiar, tempat

dimana individu tumbuh dan berkembang. Orang-orang yang ditemui di

lingkungan individu pada saat bekerja, sekolah ataupun bermain cenderung

memiliki kesamaan dalam hal latar belakang etnik, kepercayaan atau agama, nilai,

bahasa atau setidaknya memiliki dialek yang sama. Ketika manusia memasuki

suatu dunia baru dengan segala sesuatu yang terasa asing, maka berbagai

kecemasan dan ketidaknyamanan pun akan terjadi. Salah satu kecemasan yang

terbesar adalah mengenai bagaimana harus berkomunikasi. Sangat wajar apabila

seseorang yang masuk dalam lingkungan budaya baru mengalami kesulitan

(11)

sekelilingnya. Ketika kita masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain serta

merasakan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, maka

keadaan ini disebut gegar budaya atau culture shock. Culture shock didefinisikan

sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan tanda-tanda

dan lambang-lambang yang familiar dalam hubungan sosial. Tanda-tanda atau

petunjuk-petunjuk itu meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam

mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi sehari-sehari (Mulyana

dan Rakhmat, 2005: 174).

Manusia dalam hidupnya pasti akan menghadapi peristiwa kebudayaan

dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda yang turut dibawa serta dalam

melangsungkan komunikasi. Individu yang memasuki lingkungan baru berarti

melakukan kontak antarbudaya. Individu tersebut juga akan berhadapan dengan

orang-orang dalam lingkungan baru yang ia kunjungi, maka komunikasi

antarbudaya menjadi tidak terelakkan. Usaha untuk menjalin komunikasi

antarbudaya dalam praktiknya bukanlah persoalan yang sederhana. Kita harus

menyandi pesan dan menyandi balik pesan dengan cara tertentu sehingga

pesan-pesan tersebut akan dikenali, diterima dan direspon oleh individu-individu yang

berinteraksi dengan kita.

Mahasiswa asal Malaysia adalah contoh dari kasus memasuki suatu

lingkungan budaya baru. Mereka meninggalkan negara asalnya untuk suatu

tujuan, yakni menuntut pendidikan di Universitas Sumatera Utara. Dengan latar

belakang budaya yang sudah melekat pada diri mereka, termasuk tata cara

komunikasi yang telah terekam secara baik di saraf individu dan tak terpisahkan

(12)

baru dengan variasi latar belakang budaya yang tentunya jauh berbeda membuat

mereka menjadi orang asing di lingkungan itu. Dalam kondisi seperti ini, maka

akan terjadi culture shock. Meskipun Indonesia dan Malaysia berada dalam satu

rumpun, tetapi perlu dipahami bahwa perbedaan-perbedaan budaya itu pasti ada.

Hal ini dapat dilihat dari seringnya konflik yang terjadi di antara kedua negara.

Kondisi ini membuktikan bahwa kesatuan itu seutuhnya belum ada. Peneliti juga

mengamati kondisi mahasiswa Malaysia di Fakultas Kedokteran USU, khususnya

yang masih tampak berkelompok. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, mengapa

hal ini terjadi? Apakah untuk menanggulangi keterkejutan budaya yang mereka

alami? Hal itu pula yang akan peneliti cari tahu melalui penelitian ini.

Peneliti memilih USU karena USU merupakan universitas di Kota Medan

dengan jumlah mahasiswa asal Malaysia terbanyak. Mahasiswa Malaysia ini

secara mayoritas tersebar di dua fakultas, yakni Fakultas Kedokteran dan Fakultas

Kedokteran Gigi. Hal ini dikarenakan Kementerian Pendidikan Tinggi Malaysia

baru hanya mengakui dua program studi ini

(http://www.antarasumut.com/pendidikan/usu-terima-40-mahasiswa-baru-asal-malaysia/). Peneliti ingin melihat bagaimana culture shock yang mereka alami

ketika memasuki lingkungan baru dan upaya dalam mengatasinya.

Perbedaan antara budaya yang dikenal individu dengan budaya asing dapat

menyebabkan individu sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru,

demikian halnya dengan mahasiswa asal Malaysia ini. Bagaimana fenomena yang

akan mereka alami ketika keluar dari suatu budaya ke budaya lain sebagai reaksi

ketika berpindah dan hidup dengan orang-orang yang berbeda dengan mereka

(13)

dirasakan menuju suatu adaptasi yang baik dan komunikasi antarbudaya yang

efektif. Banyak hal yang dapat mempengaruhi proses penyesuaian diri, seperti

variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi, yakni faktor personal

(intrapersona), seperti karakteristik personal, motivasi individu, persepsi individu,

pengetahuan individu dan pengalaman sebelumnya, selain itu juga dipengaruhi

oleh keterampilan (kecakapan) komunikasi individu dalam komunikasi sosial

(antarpersonal) serta suasana lingkungan komunikasi budaya baru tersebut

(Mulyana dan Rakhmat, 2005: 141-144).

Manusia yang memasuki suatu lingkungan baru mungkin akan

menghadapi banyak hal yang berbeda seperti cara berpakaian, cuaca, makanan,

bahasa, orang-orang, sekolah dan nilai-nilai yang berbeda. Tetapi ternyata budaya

tidak hanya meliputi cara berpakaian maupun bahasa yang digunakan, namun

budaya juga meliputi etika, nilai, konsep keadilan, perilaku, hubungan pria

wanita, konsep kebersihan, gaya belajar, gaya hidup, motivasi bekerja, ketertiban

lalulintas, kebiasaan dan sebagainya (Mulyana, 2005: 97). Namun dalam

penelitian ini, peneliti membatasi culture shock dalam interaksi komunikasi

antarbudaya pada mahasiswa asal Malaysia di Medan, dalam hal ini mahasiswa

asal Malaysia yang belajar di USU.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti

tertarik untuk meneliti mengenai “Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi

(14)

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:

a. “Bagaimana bentuk culture shock yang dialami dalam interaksi

komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asal Malaysia di USU?”

b. “Bagaimana upaya yang dilakukan mahasiswa asal Malaysia dalam

mengatasi culture shock yang dialami?”

I.3 Pembatasan Masalah

Agar ruang lingkup penelitian menjadi lebih jelas, terarah dan tidak terlalu

luas maka dilakukan pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Penelitian bersifat studi kasus, yakni peneliti akan mengkaji secara

mendalam culture shock yang dialami mahasiswa asal Malaysia dan

upaya mengatasinya.

2. Subjek penelitian adalah mahasiswa asal Malaysia di Fakultas

Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi USU, karena mayoritas

mahasiswa asal Malaysia di USU menempuh pendidikan di dua

fakultas ini. Subjek penelitian juga dibatasi pada mahasiswa asal

Malaysia yang telah tinggal di Medan selama kurang lebih dua tahun.

Pembatasan ini dibuat agar bukan hanya gambaran culture shock saja

(15)

3. Analisis culture shock yang diteliti hanya dalam sorotan interaksi

komunikasi antarbudaya.

I.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui culture shock yang

dialami mahasiswa asal Malaysia di USU.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui reaksi culture shock

pada mahasiswa asal Malaysia di USU.

3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya yang dilakukan

dalam mengatasi culture shock pada mahasiswa asal Malaysia di

USU demi penyesuaian dengan lingkungan baru.

I.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan

memperkaya khasanah penelitian tentang komunikasi antarbudaya,

khususnya culture shock.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan

memperkaya khasanah mengenai culture shock dan penelitian

kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi, mengingat sangat sedikit

penelitian yang meneliti mengenai culture shock di departemen Ilmu

(16)

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

referensi bersama dalam memahami konteks komunikasi antarbudaya

yang terjadi di sekitar kita dan masukan dan pembelajaran bagi

mahasiswa yang mengalami culture shock sebagai reaksi memasuki

budaya baru.

I.6 Kerangka Teori

Menurut Nawawi (1995: 41) sebelum melakukan sebuah penelitian lebih

lanjut, seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan

berpikir untuk menggambarkan dari segi mana peneliti menyoroti masalah yang

telah dipilih.

Kerlinger menyebutkan teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi

dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan

menjabarkan relasi di antara variabel untuk menjelaskan dan meramalkan gejala

tersebut (Rakhmat, 2004: 6).

Adapun kerangka teori yang relevan dengan penelitian ini adalah Teori

Komunikasi Antarbudaya, Bahasa Verbal dan Nonverbal, Akulturasi dan Teori

Interaksionisme Simbolik.

I.6.1 Komunikasi Antarbudaya

Menurut Samovar dan Porter (dalam Liliweri, 2003: 10), komunikasi

antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar

belakang kebudayaannya berbeda. Sedangkan menurut Charley H. Dood,

(17)

komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan

pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku

komunikasi para peserta.

Komunikasi antarbudaya lebih menekankan aspek utama yakni

antarpribadi di antara komunikator dan komunikan yang kebudayaannya berbeda.

Jika kita berbicara tentang komunikasi antarpribadi, maka yang dimaksud adalah

dua atau lebih orang terlibat dalam komunikasi verbal atau non verbal secara

langsung. Apabila kita menambahkan dimensi perbedaan kebudayaan ke

dalamnya, maka kita berbicara tentang komunikasi antarbudaya. Maka seringkali

dikatakan bahwa komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi antarpribadi

dengan perhatian khusus pada faktor-faktor kebudayaan yang mempengaruhinya.

Dalam keadaan demikian, kita dihadapkan dengan masalah-masalah yang ada

dalam suatu situasi di mana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus

disandi balik dalam budaya lain.

Budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Budaya bertanggung

jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki

setiap orang. Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua

orang yang berbeda budaya akan pula berbeda yang dapat menimbulkan berbagai

macam kesulitan (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 19).

Menurut Kim (dalam Rahardjo, 2005: 53), asumsi yang mendasari batasan

tentang komunikasi antarbudaya di atas adalah bahwa individu-individu yang

memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan atau

(18)

orang yang berasal dari budaya yang berbeda. Perbedaan-perbedaan kultural

bersama-sama dengan perbedaan lain dalam diri orang (seperti kepribadian

individu, umur dan penampilan fisik) memberi kontribusi kepada sifat

problematik yang melekat dalam proses komunikasi antarmanusia. Studi ini juga

memberi penekanan kepada perbedaan-perbedaan kultural yang sesungguhnya

maupun perbedaan-perbedaan kultural yang dipersepsikan antara pihak-pihak

yang berkomunikasi, maka komunikasi antarbudaya menjadi sebuah perluasan

bagi studi komunikasi antarpribadi, komunikasi organisasi dan kawasan-kawasan

studi komunikasi antarmanusia lainnya.

Berdasarkan pemikiran itu, maka komunikasi antarbudaya merujuk pada

fenomena komunikasi dimana para partisipan yang berbeda dalam latar belakang

kultural menjalin kontak satu sama lain secara langsung maupun tidak langsung.

Ketika komunikasi antarbudaya mempersyaratkan dan berkaitan dengan

kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan kultural antara pihak-pihak yang

terlibat, maka karakteristik-karakteristik kultural dari partisipan bukan merupakan

fokus studi. Titik perhatian dari komunikasi antarbudaya adalah proses

komunikasi antara individu dengan individu dan kelompok dengan kelompok

(Rahardjo, 2005: 54).

Komunikasi antarbudaya memiliki dua fungsi utama, yakni fungsi pribadi

dan fungsi sosial. Fungsi pribadi dirinci ke dalam fungsi menyatakan identitas

sosial, fungsi integrasi sosial, menambah pengetahuan (kognitif) dan fungsi

melepaskan diri/jalan keluar. Sedangkan fungsi sosial meliputi fungsi

pengawasan, fungsi menjembatani/menghubungkan, fungsi sosialisasi dan fungsi

(19)

Dalam komunikasi antarbudaya terdapat beberapa masalah potensial, yaitu

pencarian kesamaan, penarikan diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian,

stereotip, prasangka, rasisme, kekuasaan, etnosentrisme dan culture shock

(Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 316). Masalah-masalah tersebut yang

sering sekali membuat aktivitas komunikasi antarbudaya tidak berjalan efektif.

Schramm mengemukakan komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif harus

memperhatikan empat syarat, yaitu:

1. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia

2. Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan

sebagaimana yang kita kehendaki

3. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak

4. Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya yang lain (Liliweri, 2001: 171)

Sedangkan menurut De Vito, efektivitas komunikasi antarbudaya ditentukan oleh

sejauhmana seseorang mempunyai sikap: (1) keterbukaan; (2) empati; (3) merasa

positif; (4) memberi dukungan, dan (5) merasa seimbang; terhadap makna pesan

yang sama dalam komunikasi antarbudaya atau antaretnik (Liliweri, 2001: 172).

I.6.2 Bahasa Verbal dan Nonverbal

Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan

satu kata atau lebih. Bahasa juga dapat dianggap sebagai suatu sistem kode verbal.

Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol dengan aturan untuk

mengkombinasikan simbol-simbol tersebut yang digunakan dan dipahami suatu

komunitas. Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana kita berbicara

dengan orang lain namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan

(20)

Menurut Ray L. Birdwhistell, 65% dari komunikasi tatap muka adalah

nonverbal. Ini menunjukkan bahasa nonverbal sangat penting dalam suatu

aktivitas komunikasi. Proses-proses nonverbal merupakan alat utama untuk

pertukaran pikiran dan gagasan, namun proses-proses ini sering dapat diganti oleh

proses-proses nonverbal. Fungsi-fungsi bahasa nonverbal antara lain: Repetisi,

Komplemen, Substitusi, Regulasi dan Kontradiksi (Mulyana, 2005: 316).

Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua kategori

besar, yakni: pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan

dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan

parabahasa; kedua, ruang, waktu dan diam.

Bahasa verbal dan nonverbal tidak dapat terpisahkan dengan konteks

budaya. Penggunaan dan gaya bahasa mencerminkan kepribadian budaya

seseorang, demikian juga dengan komunikasi nonverbal sering kali menunjukkan

ciri-ciri budaya dasar (Samovar, Porter dan Mc. Daniel 2007: 168 dan 201).

I.6.3 Akulturasi

Di dalam ilmu

pertemuan unsur-unsur kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan

percampuran unsur-unsur tersebut, namun perbedaan di antara unsur-unsur asing

dengan yang asli masih tampak. Akulturasi merupakan suatu proses dimana

imigran menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya pribumi.

Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran.

Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang

(21)

Proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan

berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang

imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru. Komunikasi berperan

penting dalam proses akulturasi. Variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi,

antara lain: komunikasi persona; yang meliputi karakteristik personal, motivasi

individu, pengetahuan individu tentang budaya baru, persepsi individu,

pengalaman sebelumnya; komunikasi sosial yang meliputi komunikasi

antarpersonal (verbal dan nonverbal); serta lingkungan komunikasi (Mulyana dan

Rakhmat, 2005: 140). Secara psikologis, dampak dari akulturasi adalah stress

pada individu-individu yang berinteraksi dalam pertemuan-pertemuan kultur

tersebut. Fenomena ini diistilahkan dengan kejutan budaya (culture shock).

Culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul

dari kehilangan semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial

(Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335).

Pembahasan tentang masalah culture shock juga perlu memahami tentang

perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dan seseorang yang

memutuskan untuk tinggal secara permanen (settlers). Ada perbedaan antara

pengunjung sementara (sojourners) dengan orang yang mengambil tempat tinggal

tetap, misalnya di suatu negara (settler). Seperti yang dikatakan oleh Bochner

(dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 334), perhatian mereka terhadap

pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka reaksi mereka pun

(22)

Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara individu yang satu dengan

individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Rekasi-reaksi yang

mungkin terjadi, antara lain:

1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru. 2. rasa kehilangan arah

3. rasa penolakan

4. gangguan lambung dan sakit kepala

5. homesick / rindu pada rumah/ lingkungan lama 6. rindu pada teman dan keluarga

7. merasa kehilangan status dan pengaruh 8. menarik diri

9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335)

Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan

perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan

bahwa orang biasanya melewati empat tingkatan culture shock. Keempat

tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva U, sehingga disebut U-curve

(dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 336).

1. Fase Optimistik (Optimistic Phase), fase ini berisi kegembiraan, rasa

penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum

memasuki budaya baru.

2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua di mana masalah

dengan lingkungan baru mulai berkembang. Fase ini biasanya ditandai

dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis dalam

culture shock.

3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai

(23)

4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir dimana orang telah

mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, khusus, keyakinan

dan pola komunikasi).

I.6.4 Teori Interaksionisme Simbolik

Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung

perspektif yang lebih besar lagi, yakni perspektif fenomenologis atau perspektif

interpretif. Secara konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang

pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita sampai pada pemahaman

tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita alami.

Fenomenologi melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif

seseorang sebagai perceiver. Sebuah fenomena adalah penampakan sebuah objek,

peristiwa atau kondisi dalam persepsi individu (Rahardjo, 2005: 44).

Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan

sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu bukanlah sesorang yang

bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan

atau struktur-struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan bersifat aktif,

reflektif dan kreatif, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan.

Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan

interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas

yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang

diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia

dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia

(24)

mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang

menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain,

situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia.

(Mulyana, 2001: 68).

Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya

adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas,

interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama,

individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk

objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang terdapat dalam

komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk

interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan

dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna diinterpretasikan

individu dapat berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan situasi

yang ditemukan dalam interaksi sosial.

I.7 Kerangka Konsep

Konsep merupakan generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu yang

dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Bungin,

2005: 73). Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

- Culture shock

(25)

Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas, maka agar

konsep operasional tersebut dapat membentuk kesamaan dan kesesuaian dalam

penelitian, maka dioperasionalkan sebagai berikut:

Konsep Operasional Operasionalisasi Konsep

Culture shock A. Faktor-faktor yang

mempengaruhi culture shock sesuai dengan variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi :

1.Komunikasi Persona/faktor intrapersonal, meliputi:

a. Karakteristik personal b. Motivasi individu c. Persepsi individu d. Pengetahuan individu e. Pengalaman sebelumnya

2.Komunikasi Sosial, yakni komunikasi antarpersona baik verbal maupun non verbal.

3.Lingkungan komunikasi

B. Tingkatan culture shock:

1. Fase Optimistik (Optimistic Phase)

2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems)

3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase)

4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase)

Karakteristik Informan 1. Usia

2. Jenis Kelamin 3. Asal Fakultas 4. Lama menetap

I.9 Definisi Operasional

(26)

1. Komunikasi Persona/Faktor intrapersonal:

a. Karakteristik personal, watak dan kepribadian mahasiswa asal

Malaysia.

b. Motivasi individu, kehendak, kemauan, kebutuhan dan dorongan

mahasiswa asal Malaysia untuk belajar tentang dan berpartisipasi

serta terlibat komunikasi antarbudaya dengan orang-orang Medan.

c. Persepsi individu, persepsi mahasiswa asal Malaysia tentang

lingkungan barunya, yakni Kota Medan dan orang-orang di

dalamnya.

d. Pengetahuan individu, pengetahuan (kemampuan kognitif) tentang

budaya dan pola-pola dan aturan sistem komunikasi budaya baru,

yaitu Medan.

e. Pengalaman sebelumnya, ada tidaknya pengalaman terdahulu dari

mahasiswa asal Malaysia tentang Medan.

2. Komunikasi Sosial, yakni komunikasi antarpersona mahasiswa asal

Malaysia dengan orang-orang Medan.

3. Lingkungan, suasana lingkungan komunikasi USU.

B. Tingkatan culture shock:

1. Fase optimistik (Optimistic Phase), fase berisi kegembiraan, rasa

penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum

memasuki budaya baru. Dalam penelitian ini, fase optimistik adalah

fase dimana mahasiswa asal Malaysia di USU merasa sangat antusias

(27)

2. Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua di mana masalah

dengan lingkungan baru mulai berkembang. Mahasiswa asal Malaysia

mengalami gegar budaya ketika memasuki lingkungan baru.

3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai

mengerti mengenai budaya barunya. Mahasiswa asal Malaysia mulai

mengenal budaya baru yang dimasukinya.

4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir dimana

mahasiswa asal Malaysia telah mengerti elemen kunci dari budaya

barunya.

Karakteristik Informan:

1. Usia: umur dari informan

2. Jenis kelamin: laki laki atau perempuan

3. Asal fakultas: Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi

(28)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II.1 Komunikasi Antarbudaya

II.1.1 Sejarah Komunikasi Antarbudaya

Tema tentang komunikasi bukanlah suatu hal baru, namun akan menjadi

lebih menarik setelah dihubungkan dengan konsep “antarbudaya”. Istilah

“antarbudaya” pertama kali diperkenalkan oleh seorang antropolog, Edward T.

Hall pada tahun 1959 dalam bukunya The Silent Language. Hakikat perbedaan

antarbudaya dalam proses komunikasi dijelaskan satu tahun setelahnya, oleh

David K. Berlo melalui bukunya The Process of Communication (an introduction

to theory and practice). Dalam tulisan itu Berlo menawarkan sebuah model proses

komunikasi. Menurutnya, komunikasi akan berhasil jika manusia memperhatikan

faktor-faktor SMCR, yaitu: source, messages, channel, receiver (Liliweri, 2001:

1).

Semua tindakan komunikasi itu berasal dari konsep kebudayaan. Berlo

berasumsi bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk

melaksanakan tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat

penting terhadap perilaku komunikasi seseorang termasuk memahami

makna-makna yang dipersepsi terhadap tindakan komunikasi yang bersumber dari

(29)

Rumusan objek formal komunikasi antarbudaya baru dipikirkan pada

tahun 1970-1980-an. Pada saat yang sama, para ahli ilmu sosial sedang sibuk

membahas komunikasi internasional yang disponsori oleh Speech Communication

Association, sebuah komisi yang merupakan bagian Asosiasi Komunikasi

Internasional dan Antarbudaya yang berpusat di Amerika Serikat. “Annual”

tentang komunikasi antarbudaya yang disponsori oleh badan itu terbit pertama

kali pada 1974 oleh Fred Casmir dalam The International and Intercultural

Communication Annual. Kemudian Dan Landis menguatkan konsep komunikasi

antarbudaya dalam International Journal of Intercultural Relations pada tahun

1977.

Tahun 1979, Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark

menerbitkan sebuah buku yang khusus membicarakan komunikasi antarbudaya,

yakni The Handbook of Intercultural Communication. Sejak saat itu banyak ahli

mulai melakukan studi tentang komunikasi antarbudaya. Selanjutnya, 1983 lahir

International and Intercultural Communication Annual yang dalam setiap

volumenya mulai menempatkan rubrik khusus untuk menampung tulisan tentang

komunikasi antarbudaya. Tema pertama tentang “Teori Komunikasi

Antarbudaya” diluncurkan tahun 1983 oleh Gundykunst. Edisi lain tentang

komunikasi, kebudayaan, proses kerja sama antarbudaya ditulis pula oleh

Gundykunst, Stewart dan Ting Toomey tahun 1985, komunikasi antaretnik oleh

Kim tahun 1986, adaptasi lintasbudaya oleh Kim dan Gundykunst tahun 1988,

dan terakhir komunikasi/bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey & Korzenny

(30)

II.1.2 Definisi Komunikasi Antarbudaya

Ada dua konsep utama yang mewarnai komunikasi antarbudaya

(interculture communication), yaitu konsep kebudayaan dan konsep komunikasi.

Hubungan antara keduanya sangat kompleks. Budaya mempengaruhi komunikasi

dan pada gilirannya komunikasi turut menentukan, menciptakan dan memelihara

realitas budaya dari sebuah komunitas/kelompok budaya (Martin dan Thomas,

2007: 92). Dengan kata lain, komunikasi dan budaya ibarat dua sisi mata uang

yang tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Budaya tidak

hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana

komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan bagaimana orang

menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk

mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh

perbendaharaan perilaku manusia sangat bergantung pada budaya tempat manusia

tersebut dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi.

Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik

komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 20).

Dengan memahami kedua konsep utama itu, maka studi komunikasi

antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek

kebudayaan terhadap komunikasi. Adapun beberapa definisi komunikasi

antarbudaya, sebagai berikut:

(31)

2.Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.

3.Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.

4.Guo-Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok (Liliweri, 2003: 10-11).

Young Yun Kim mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi lain, hal

yang terpenting dari komunikasi antarbudaya yang membedakannya dari kajian

keilmuan lainnya adalah tingkat perbedaan yang relatif tinggi pada latar belakang

pengalaman pihak-pihak yang berkomunikasi (the communications) karena

adanya perbedaan-perbedaan kultural. Dalam perkembangannya, komunikasi

antarbudaya dipahami sebagai proses transaksional, proses simbolik yang

melibatkan atribusi makna antara individu-individu dari budaya yang berbeda.

Sedangkan Tim-Toomey menjelaskan komunikasi antarbudaya sebagai proses

pertukaran simbolik dimana individu-individu dari dua (atau lebih) komunitas

kultural yang berbeda menegosiasikan makna yang dipertukarkan dalam sebuah

interaksi yang interaktif.

Menurut Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi

antarbudaya adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama

pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan atau homogenitas dalam keseluruhan

latar belakang pengalaman mereka daripada orang yang berasal dari budaya yang

(32)

Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya, maka ada

beberapa asumsi, yaitu:

1. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan

2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi 3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi

4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat

ketidakpastian

5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan

6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2003: 15)

II.1.3 Efektivitas Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi antarbudaya merujuk pada fenomena komunikasi dimana para

partisipan yang berbeda dalam latar belakang kultural menjalin kontak satu sama

lain secara langsung maupun tidak langsung. Ketika komunikasi antarbudaya

mempersyaratkan dan berkaitan dengan kesamaan-kesamaan dan

perbedaan-perbedaan kultural antara pihak-pihak yang terlibat, maka

karakteristik-karakteristik kultural dari para partisipan bukan merupakan fokus studi dari

komunikasi antarbudaya, melainkan proses komunikasi antara individu dengan

individu dan kelompok dengan kelompok (Rahardjo, 2005: 54).

Sebagaimana sebuah aktivitas komunikasi yang efektif apabila terdapat

persamaan makna pesan antara komunikator dan komunikan, demikian halnya

dengan komunikasi antarbudaya. Tetapi hal ini menjadi lebih sulit mengingat

adanya unsur perbedaan kebudayaan antara pelaku-pelaku komunikasinya. Itulah

sebabnya, usaha untuk menjalin komunikasi antarbudaya dalam praktiknya

(33)

masalah-masalah potensial yang sering terjadi di dalamnya, seperti pencarian kesamaan,

penarikan diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian, stereotip, prasangka,

rasisme, kekuasaan, etnosentrisme dan culture shock (Samovar, Porter dan Mc.

Daniel, 2007: 316). Sedangkan Lewis dan Slade menguraikan tiga kawasan yang

paling problematik dalam lingkup pertukaran antarbudaya, yaitu kendala bahasa,

perbedaan nilai dan perbedaan pola perilaku kultural. Kendala bahasa merupakan

sesuatu yang tampak, namun hambatan tersebut lebih mudah untuk ditanggulangi,

karena bahasa dapat dipelajari, sedangkan dua hambatan lainnya, yaitu perbedaan

nilai dan perbedaan pola-pola perilaku kultural terasa lebih sulit untuk

ditanggulangi. Menurut Lewis dan Slade, perbedaan nilai merupakan hambatan

yang serius terhadap munculnya kesalahpahaman budaya, sebab ketika dua orang

yang berasal dari kultur yang berbeda melakukan interaksi, maka

perbedaan-perbedaan tersebut akan menghalangi pencapaian kesepakatan yang rasional

tentang isu-isu penting. Mengenai kesalahpahaman antarkultural dikarenakan

perbedaan pola-pola perilaku kultural lebih diakibatkan oleh ketidakmampuan

masing-masing kelompok budaya untuk memberi apresiasi terhadap

kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh setiap kelompok budaya tersebut.

Usaha untuk mencapai komunikasi antarbudaya yang efektif, di samping

dihadapkan pada ketiga hal tersebut juga dipengaruhi oleh beberapa faktor

penghambat, yaitu etnosentrisme, stereotip dan prasangka. Etnosentrisme

merupakan tingkatan dimana individu-individu menilai budaya orang lain sebagai

inferior terhadap budaya mereka. Prasangka merupakan sikap yang kaku terhadap

suatu kelompok yang didasarkan pada keyakinan atau pra konsepsi yang keliru,

(34)

pengujian terhadap informasi yang tersedia. Sedangkan stereotip merupakan

generalisasi tentang beberapa kelompok orang yang sangat menyederhanakan

realitas (Rahardjo, 2005: 54-56).

Sarbaugh mengemukakan tiga prinsip penting dalam komunikasi

antarbudaya. Pertama, suatu sistem sandi bersama yang tentu saja terdiri dari dua

aspek (verbal dan non verbal). Tanpa suatu sistem bersama, komunikasi akan

menjadi tidak mungkin. Terdapat berbagai tingkat perbedaan, namun semakin

sedikit persamaan sandi itu, semakin sedikit komunikasi yang mungkin terjadi.

Kedua, kepercayaan dan perilaku yang berlainan di antara pihak-pihak yang

berkomunikasi merupakan landasan bagi asumsi-asumsi berbeda untuk

memberikan respons. Sebenarnya kepercayaan-kepercayaan dan perilaku-perilaku

kita mempengaruhi persepsi kita tentang apa yang dilakukan orang lain. Maka dua

orang yang berbeda budaya dapat dengan mudah memberi makna yang berbeda

kepada perilaku yang sama. Bila ini terjadi, kedua orang itu berperilaku secara

berbeda tanpa dapat meramalkan respon pihak lainnya, padahal kemampuan

meramalkan ini merupakan bagian integral dari kemampuan berkomunikasi secara

efektif. Ketiga, tingkat mengetahui dan menerima kepercayaan dan perilaku orang

lain. Cara kita menilai budaya lain dengan nilai-nilai budaya kita sendiri dan

menolak mempertimbangkan norma-norma budaya lain akan menentukan

keefektifan komunikasi yang akan terjadi (Tubbs dan Moss, 2005: 240).

Komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif menurut Schramm

harus memperhatikan empat syarat, yaitu:

5. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia

6. Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan

(35)

7. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak

8. Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya yang lain (Liliweri, 2001: 171)

Sedangkan De Vito mengemukakan konsepnya tentang efektivitas komunikasi

sangat ditentukan oleh sejauhmana seseorang mempunyai sikap: (1) keterbukaan;

(2) empati; (3) merasa positif; (4) memberi dukungan; dan (5) merasa seimbang;

terhadap makna pesan yang sama dalam komunikasi antarbudaya.

Sikap keterbukaan yang dimaksud De Vito, meliputi: (1) sikap seseorang

komunikator yang membuka semua informasi tentang pribadinya kepada

komunikan, sebaliknya menerima semua informasi yang relevan tentang dan dari

komunikan dalam rangka interaksi antarpribadi; (2) kemauan seseorang sebagai

komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap pesan yang datang dari

komunikan; dan (3) memikirkan dan merasakan bahwa apa yang dinyatakan

seorang komunikator merupakan tanggung jawabnya terhadap komunikan dalam

suasana situasi tertentu. Selanjutnya, perasaan empati ialah kemampuan seorang

komunikator untuk menerima dan memahami orang lain seperti ia menerima

dirinya sendiri; jadi ia berpikir, merasa, berbuat terhadap orang lain sebagaimana

ia berpikir, merasa dan berbuat terhadap dirinya sendiri. Perasaan positif ialah

perasaan seorang komunikator bahwa pribadinya, komunikannya, serta situasi

yang melibatkan keduanya sangat mendukung. Memberi dukungan ialah suatu

situasi kondisi yang dialami komunikator dan komunikan terbebas atmosfir

ancaman, tidak dikritik dan ditantang. Memelihara keseimbangan ialah suatu

suasana yang adil antara komunikator dan komunikan dalam hal kesempatan yang

(36)

Pihak-pihak yang melakukan komunikasi antarbudaya harus mempunyai

keinginan yang jujur dan tulus untuk berkomunikasi dan mengharapkan

pengertian timbal balik. Asumsi ini memerlukan sikap-sikap yang positif dari para

pelaku komunikasi antarbudaya dan penghilangan hubungan-hubungan

superior-inferior yang berdasarkan keanggotaan dalam budaya-budaya, ras-ras atau

kelompok-kelompok etnik tertentu (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 37).

Komunikasi antarbudaya yang intensif dapat mengubah persepsi dan sikap

orang lain bahkan dapat meningkatkan kreativitas manusia. Berbagai pengalaman

atas kekeliruan dalam komunikasi antarbudaya sering membuat manusia makin

berusaha mengubah kebiasaan berkomunikasi, paling tidak melalui pemahaman

terhadap latar belakang budaya orang lain. Banyak masalah komunikasi

antarbudaya seringkali timbul hanya karena orang kurang menyadari dan tidak

mampu mengusahakan cara efektif dalam berkomunikasi antarbudaya (Liliweri,

2003: 254). Selain itu, seperti yang telah disebutkan Sarbaugh, bahwa dengan

penggunaan sistem sandi yang sama, pengakuan atas perbedaan dalam

kepercayaan dan perilaku, dan pemupukan sikap toleran terhadap kepercayaan

dan perilaku orang lain, semuanya itu membantu terciptanya komunikasi yang

efektif (Tubbs dan Moss, 2005: 242).

II.2 Bahasa Verbal dan Non Verbal

II.2.1 Bahasa Verbal

Bahasa menjadi alat utama yang digunakan manusia untuk berkomunikasi

dalam kehidupan sehari-hari. Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol

(37)

kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha

yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan.

Bahasa dapat juga dianggap sebagai suatu sistem kode verbal. Bahasa verbal

adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud yang ingin

disampaikan. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan

berbagai aspek realitas individual kita.

Manusia menggunakan bahasa untuk menyampaikan pikiran, perasaan,

niat dan keinginan kepada orang lain. Kita belajar tentang orang-orang melalui

apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka mengatakannya, kita belajar

tentang diri kita melalui cara-cara orang lain bereaksi terhadap apa yang kita

katakan dan kita belajar tentang hubungan kita dengan orang lain melalui take and

give dalam interaksi yang komunikatif (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007:

164).

Menurut Ray L. Birdwhistell, porsi komunikasi verbal dalam komunikasi

tatap muka manusia hanyalah 35%. Keadaan ini banyak tidak disadari oleh

manusia itu sendiri, bahwa bahasa itu terbatas. Keterbatasan bahasa tersebut,

menurut Deddy Mulyana, antara lain keterbatasan jumlah kata yang tersedia untuk

mewakili objek, kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual, kata-kata mengandung

bias budaya dan pencampuradukan fakta, penafsiran dan penilaian (Mulyana,

2005: 245-254).

II.2.2 Bahasa Nonverbal

Manusia dipersepsikan tidak hanya melalui bahasa verbalnya, bagaimana

(38)

namun juga melalui perilaku nonverbalnya. Lewat perilaku nonverbalnya, kita

dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia,

bingung atau sedih. Kesan awal kita pada seseorang sering didasarkan pada

perilaku nonverbalnya yang mendorong kita untuk mengenalnya lebih jauh.

Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata.

Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa

komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus

menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui

simbol-simbol verbal. Dalam pengertian ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu

tidak sungguh-sungguh bersifat nonverbal.

Bahasa verbal dan nonverbal dalam kenyataannya jalin menjalin dalam

suatu aktivitas komunikasi tatap muka. Keduanya dapat berlangsung spontan dan

serempak. Dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal

mempunyai fungsi-fungsi berikut:

1. Fungsi Repetisi; perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal 2. Fungsi Komplemen; perilaku nonverbal memperteguh atau melengkapi

perilaku verbal.

3. Fungsi Substitusi; perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku verbal. 4. Fungsi Regulasi; perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal.

5. Fungsi Kontradiksi; perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan perilaku verbal (Mulyana, 2005: 314).

Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua kategori

besar, yakni: pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan

dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan

parabahasa; kedua, ruang, waktu dan diam (Samovar, Porter dan Mc. Daniel

(39)

II.2.3 Bahasa Verbal dan Nonverbal dalam Proses Komunikasi

Antarbudaya

Pada dasarnya, bahasa verbal dan nonverbal tidak terlepas dari konteks

budaya. Tidak mungkin bahasa terpisah dari budaya. Dalam arti yang paling

dasar, Rubin mengatakan, bahasa adalah satu set karakter atau elemen dan aturan

yang digunakan dalam hubungan satu sama lain. Karakter atau elemen tersebut

adalah simbol bahasa yang beragam secara budaya, mereka berbeda satu dengan

yang lain. Tidak hanya kata-kata dan suara untuk simbol-simbol yang berbeda,

namun juga aturan untuk menggunakan simbol-simbol dan suara-suara tersebut.

Budaya memberi pengaruh yang sangat besar pada bahasa karena budaya tidak

hanya mengajarkan simbol dan aturan untuk menggunakannya, tetapi yang lebih

penting adalah makna yang terkait dengan simbol tersebut.

Kata-kata bersifat ambigu, karena kata-kata merepresentasikan persepsi

dan interpretasi orang-orang yang berbeda yang menganut latarbelakang

sosial-budaya yang berbeda pula. Oleh karena itu, terdapat berbagai kemungkinan untuk

memaknai kata-kata tersebut. Kata-kata adalah abstraksi realitas yang tidak

mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang

diwakilkan dari kata-kata itu. Bila budaya disertakan sebagai variabel dalam

proses abstraksi tersebut, masalahnya menjadi semakin rumit. Ketika

berkomunikasi dengan seseorang dari budaya yang sama, proses abstraksi untuk

merepresentasikan pengalaman jauh lebih mudah, karena dalam suatu budaya

orang-orang berbagi sejumlah pengalaman serupa. Namun, bila komunikasi

(40)

konsekuensinya proses abstraksi juga menyulitkan (Samovar, Porter dan Mc.

Daniel, 2007: 169-170).

Sebagaimana bahasa verbal yang tidak terlepas dari budaya, begitu pula

dengan bahasa nonverbal. Perilaku nonverbal seseorang adalah akar budaya

seseorang tersebut. Oleh karena itu, posisi komunikasi nonverbal memainkan

bagian yang penting dan sangat dibutuhkan dalam interaksi komunikatif di antara

orang dari budaya yang berbeda.

Hubungan antara komunikasi verbal dengan kebudayaan jelas adanya,

apabila diingat bahwa keduanya dipelajari, diwariskan dan melibatkan

pengertian-pengertian yang harus dimiliki bersama. Dilihat dari ini, dapat dimengerti

mengapa komunikasi nonverbal dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama

lain. Banyak perilaku nonverbal dipelajari secara kultural. Sebagaimana aspek

verbal, komunikasi nonverbal juga tergantung atau ditentukan oleh kebudayaan,

yaitu: kebudayaan menentukan perilaku-perilaku nonverbal yang mewakili atau

melambangkan pemikiran, perasaan, keadaan tertentu dari komunikator dan

kebudayaan menentukan kapan waktu yang tepat atau layak untuk

mengkomunikasikan pemikiran, perassan, keadaan internal. Jadi, walaupun

perilaku-perilaku yang memperlihatkan emosi ini banyak yang bersifat universal,

tetapi ada perbedaan-perbedaan kebudayaan dalam menentukan bilamana, oleh

siapa dan dimana emosi-emosi itu dapat diperlihatkan (Samovar, Porter dan Mc.

(41)

II.3 Akulturasi

II.3.1 Pengertian Akulturasi

Istilah akulturasi atau acculturation atau culture contact, adalah konsep

mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu

kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing

dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun

diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya

kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 1990: 248). Di dalam ilmu

kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur tersebut

namun perbedaan di antara unsur-unsur asing dengan yang asli masih tampak.

II.3.2 Komunikasi dan Akulturasi

Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang memperoleh perilakunya

lewat belajar. Apa yang kita pelajari pada umumnya dipengaruhi oleh

kekuatan-kekuatan sosial dan budaya. Dari semua aspek belajar manusia, komunikasi

merupakan aspek yang terpenting dan paling mendasar. Kita belajar banyak hal

lewat respon-respon komunikasi terhadap rangsangan dari lingkungan. Kita harus

menyandi dan menyandi balik pesan-pesan sehingga pesan-pesan tersebut akan

dikenali, diterima dan direspons oleh individu-individu yang berinteraksi dengan

kita. Kegiatan-kegiatan komunikasi berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan

(42)

Budaya sebagai paduan pola-pola yang merefleksikan respon-respon

komunikatif terhadap rangsangan dari lingkungan. Pola-pola budaya ini pada

gilirannya merefleksikan elemen-elemen yang sama dalam perilaku komunikasi

individual yang lahir dan diasuh dalam budaya itu. Budaya sebagai seperangkat

aturan yang terorganisasi mengenai cara-cara dimana individu-individu dalam

masyarakat harus berkomunikasi satu sama lain dan cara bagaimana mereka

berpikir tentang diri mereka dan lingkungan mereka.

Proses individu-individu memperoleh aturan-aturan budaya komunikasi

dimulai pada masa awal kehidupan manusia tersebut. Melalui proses sosialisasi

dan pendidikan, pola-pola budaya ditanamkan ke dalam sistem saraf dan menjadi

bagian kepribadian dan perilaku individu. Proses belajar yang terinternalisasikan

ini memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan anggota-anggota budaya

lainnya yang juga memiliki pola-pola komunikasi serupa. Proses memperoleh

pola-pola demikian oleh individu-individu itu disebut enkulturasi (Mulyana dan

Rakhmat, 2005: 138). Lalu apa yang akan terjadi bila seseorang yang lahir dan

terenkulturasi dalam suatu budaya tertentu memasuki suatu budaya lain?

Banyaknya tata cara komunikasi yang telah diperoleh individu sejak masa

kanak-kanak mungkin tidak berfungsi lagi dalam lingkungan barunya.

Transaksi-transaksi dalam kehidupan sehari-hari saja membutuhkan kemampuan

berkomunikasi yang menggunakan lambang-lambang dan aturan-aturan yang ada

dalam sistem komunikasi masyarakat pribumi yang menjadi lingkungan barunya.

Tidaklah mudah memahami perilaku-perilaku kehidupan yang sering tidak

diharapkan dan tidak diketahui. Sebagai seorang anggota baru dalam budaya

(43)

Asumsi-asumsi budaya yang tersembunyi dan respon-respon yang telah terkondisikan

menyebabkan banyak kesulitan kognitif, afektif dan perilaku dalam penyesuaian

diri dengan budaya baru. Schultz mengatakan bahwa bagi orang asing, pola

budaya kelompok yang dimasukinya bukanlah merupakan tempat berteduh tetapi

merupakan suatu arena petualangan, bukan merupakan hal yang lazim tetapi suatu

topik penyelidikan yang meragukan, bukan suatu alat untuk lepas dari

situasi-situasi problematik tetapi merupakan suatu situasi-situasi problematik tersendiri yang

sulit dikuasai. Meskipun demikian, hubungan antara budaya dan individu, seperti

yang terlihat dalam proses enkulturasi, mampu membangkitkan kemampuan

manusia yang besar untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan. Secara bertahap

imigran belajar menciptakan situasi-situasi dan relasi-relasi yang tepat dalam

masyarakat pribumi.

Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran.

Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang

masyarakat pribumi yang signifikan. Sebagaimana orang-orang pribumi

memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi seorang imigran pun

memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi. Seorang imigran akan

mengatur dirinya untuk mengetahui dan diketahui dalam berhubungan dengan

orang lain dan itu dilakukan lewat komunikasi. Proses selama akulturasi sering

mengecewakan dan menyakitkan. Dalam banyak kasus, bahasa asli imigran

sangat berbeda dengan bahasa asli masyarakat pribumi. Masalah-masalah

komunikasi lainnya meliputi masalah komunikasi nonverbal, seperti

perbedaan-perbedaan dalam penggunaan dan pengaturan ruang, jarak antarpribadi, ekspresi

(44)

perilaku nonverbal. Oleh karena itu, proses akulturasi adalah suatu proses yang

interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui

komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru

(Mulyana dan Rakhmat, 2005: 137-140).

II.3.3 Variabel-Variabel Komunikasi dalam Akulturasi

Salah satu kerangka konseptual yang paling komprehensif dan bermanfaat

dalam menganalisis akulturasi seorang imigran dari perspektif komunikasi

terdapat pada perspektif sistem yang dielaborasi oleh Ruben (1975). Dalam

perspektif sistem, unsur dasar suatu sistem komunikasi manusia teramati ketika

seseorang secara aktif sedang berkomunikasi, berusaha untuk dan mengharapkan

berkomunikasi dengan lingkungan. Sebagai suatu sistem komunikasi terbuka,

seseorang berinteraksi dengan lingkungan melalui dua proses yang saling

berhubungan, yakni komunikasi persona dan komunikasi sosial.

Pertama, komunikasi persona atau intrapersona mengacu kepada

proses-proses mental yang dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan

dengan lingkungan sosio-budayanya, mengembangkan cara-cara melihat,

mendengar, memahami dan merespons lingkungan. Salah satu variabel

komunikasi persona terpenting dalam akulturasi adalah kompleksitas struktur

kognitif imigran dalam mempersepsi lingkungan pribumi. Faktor yang erat

berhubungan dengan kompleksitas kognitif adalah pengetahuan imigran tentang

pola-pola dan sistem-sistem komunikasi pribumi. Bukti empiris yang memadai

menunjang fungsi penting pengetahuan tersebut, terutama pengetahuan tentang

(45)

persona lainnya dalam akulturasi adalah citra diri (self image) imigran yang

berhubungan dengan citra-citra imigran tentang lingkungannya. Selain itu,

motivasi akulturasi seorang imigran juga dapat memudahkan proses akulturasi.

Motivasi akulturasi mengacu kepada kemauan imigran untuk belajar tentang,

berpartisipasi dalam dan diarahkan menuju sistem sosio-budaya pribumi.

Kedua, komunikasi sosial. Komunikasi sosial ditandai ketika

individu-individu mengatur perasaan, pikiran dan perilaku antara yang satu dengan yang

lainnya. Komunikasi sosial dilakukan melalui komunikasi antarpersona.

Komunikasi antarpersona seorang imigran dapat diamati melalui derajat

partisipasinya dalam hubungan-hubungan antarpersona dengan anggota

masyarakat pribumi.

Ketiga, lingkungan komunikasi. Komunikasi persona dan komunikasi

sosial seorang imigran dan fungsi komunikasi tersebut tidak dapat sepenuhnya

dipahami tanpa dihubungkan dengan lingkungan komunikasi masyarakat pribumi.

Suatu kondisi lingkungan yang sangat berpengaruh pada komunikasi dan

akulturasi imigran adalah adanya komunitas etniknya di daerah setempat. Derajat

pengaruh komunitas etnik atas perilaku imigran sangat bergantung pada derajat

kelengkapan kelembagaan komunitas tersebut dan kekuatannya untuk memelihara

budayanya yang khas bagi anggota-anggotanya. Lembaga-lembaga etnik yang ada

dapat mengatasi tekanan-tekanan situasi antarbudaya dan memudahkan akulturasi

(46)

II.3.4 Culture shock

Orang yang melintasi batas budaya yang disebut sebagai pendatang. Istilah

ini mencakup imigran, pengungsi, eksekutif bisnis, pelajar, atau turis.

Orang-orang memasuki wilayah budaya dengan beragam pengalaman, latar belakang,

pengetahuan dan tujuan, tetapi setiap orang asing harus menyesuaikan perilaku

komunikasinya dengan pengaturan budaya baru yang individu tersebut datangi.

Individu yang memasuki suatu dunia baru yang berbeda dengan lingkungan

asalnya, tidak jarang akan menimbulkan kecemasan dan ketegangan. Hal inilah

yang menjadi dampak dari proses akulturasi yaitu keadaan gegar budaya (culture

shock). Pengalaman-pengalaman komunikasi dengan kontak antarpersona secara

langsung seringkali menimbulkan frustasi. Istilah culture shock pertama kali

diperkenalkan oleh Antropologis bernama Oberg. Menurutnya, culture shock

didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan

semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial, termasuk di

dalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian,

misalnya bagaimana untuk memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan

dan di mana kita tidak perlu merespon (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007:

335). Mulyana mengemukakan tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk tersebut juga

termasuk kapan berjabatan tangan dan apa yang harus kita katakan ketika bertemu

dengan orang-orang, kapan menerima dan kapan menolak undangan, kapan

membuat pertanyaan dengan sungguh-sungguh dan kapan sebaliknya.

Petunjuk-petunjuk ini dapat berupa kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah,

kebiasaan-kebiasaan atau norma-norma, kita peroleh sepanjang perjalanan hidup seseorang

(47)

budaya asing, semua atau hampir semua petunjuk itu lenyap. Meskipun seseorang

tersebut berpikiran luas dan beritikad baik, ia akan kehilangan pegangan, lalu akan

mengalami frustasi dan kecemasan.

Deddy Mulyana lebih mendasarkan gegar budaya (culture shock) sebagai

benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan persepsi berdasarkan

faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan

dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami

Dalam membahas tentang masalah culture shock, sebelumnya perlu

memahami tentang perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dan

seseorang yang memutuskan untuk tinggal secara permanen (settlers). Ada

perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dengan orang yang

mengambil tempat tinggal tetap, misalnya di suatu Negara (settler). Seperti yang

dikatakan oleh Bochner (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 334),

perhatian mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka

reaksi mereka pun berbeda. Settlers berada dalam proses membuat komitmen

tetap pada masyarakat barunya, sedangkan sojourners berada dalam landasan

sementara, meskipun kesementaraannya bervariasi, seperti turis dalam sehari atau

pelajar asing dalam beberapa tahun.

Deddy Mulyana dalam bukunya Komunikasi Antarbudaya mengatakan

bahwa bagi orang asing, pola budaya kelompok yang dimasuki bukanlah

(48)

bukan merupakan materi kuliah tapi suatu topik penyelidikan yang meragukan,

bukan suatu alat untuk lepas dari situasi-situasi problematik, melainkan suatu

situasi problematik tersendiri yang sulit dikuasai. Pengalaman-pengalaman

komunikasi dengan kontak interpersonal secara langsung dengan orang-orang

yang berbeda latar belakang budaya, seringkali menimbulkan frustasi. Individu

bisa jadi merasa kikuk dan terasa asing dalam berhubungan dengan orang-orang

dari lingkungan budaya baru yang ia masuki (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 143).

Reaksi yang dihasilkan oleh culture shock juga bervariasi antara satu

individu dengan individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda

pula. Reasi-reaksi yang mungkin terjadi, antara lain:

1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru. 2. rasa kehilangan arah

3. rasa penolakan

4. gangguan lambung dan sakit kepala

5. homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama

6. rindu pada teman dan keluarga

7. merasa kehilangan status dan pengaruh 8. menarik diri

9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335)

Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan

perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, Samovar menyatakan bahwa biasanya

individu akan melewati 4 (empat) tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini

dapat digambarkan dalam bentuk kurva U, sehingga disebut U-curve.

1. Fase optimistik (Optimistic Phase), fase pertama yang digambarkan

(49)

penuh harapan dan euforia sebagai antisipasi individu sebelum memasuki

budaya baru

2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua dimana masalah

dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan

bahasa, sistem lalu lintas baru, sekolah baru dan lain-lain. Fase ini

biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah

periode krisis dalam culture shock. Orang menjadi bingung dan tercengang

dengan sekitarnya dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung,

bersikap bermusuhan, mudah marah, tidak sabar dan bahkan menjadi tidak

kompeten.

3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai

mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap ini, individu secara

bertahap membuat penyesuaian dan perubahan untuk menanggulangi

budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai

dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.

4. Fase penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir, pada puncak kanan U,

individu telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, pola

komunikasi, keyakinan dan lain-lain). Kemampuan untuk hidup dalam dua

budaya yang berbeda, biasanya juga disertai dengan rasa puas dan

menikmati. Namun beberapa ahli menyatakan bahwa untuk dapat hidup

dalam dua budaya berbeda, seseorang akan perlu beradaptasi kembali

(50)

II.4 Teori Interaksionisme Simbolik

II.4.1 Pengertian Teori Interaksionisme Simbolik

George Herbert Mead merupakan pelopor interaksionisme simbolik,

meskipun dalam perintisan teori ini banyak ilmuwan lain yang ikut serta

memberikan sumbangsihnya, seperti James Mark Baldwin, William James,

Charles H. Cooley, John Dewey dan William I. Thomas. Mead mengembangkan

teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an ketika beliau menjadi profesor

filsafat di Universitas Chicago. Namun gagasan-gagasannya mengenai

interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya

menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi

rujukan utama teori interaksionisme simbolik, yakni mind, self and society

(Mulyana, 2001: 68).

Karya Mead yang paling terkenal ini menggarisbawahi tiga konsep kritis

yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme

simbolik. Tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term

interaksionisme simbolik. Dari itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial

(diri/self dengan yang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi

masyarakat (society) di mana kita hidup. Makna berasal dari interaksi dan tidak

dari cara yang lain. Pada saat yang sama “pikiran” dan “diri” timbul dalam

konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal balik antara masyarakat, pengalaman

individu dan interaksi menjadi bahan bagi penelahaan dalam tradisi

(51)

Gambar

Tabel 1
Tabel 2

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan Bahasa Indonesia juga menjadi masalah ketika pertama datang di kota Medan, karena mereka telah terbiasa dengan Bahasa Minang yang telah menjadi bahasa utama, ketika

Dengan demikian semua proses sosial interaksi dan adaptasi mahasiswa asal Papua memang harus terjadi dikarenakan mereka tinggal dan hidup bersama, saling berdampingan satu sama

“Bagaimanakah kompetensi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asal Papua dalam berinteraksi dengan mahasiswa dan dosen di Universitas Sumatera Utara?”. 1.3

Hambatan komunikasi ketika di dalam sebuah lingkungan memiliki berbeda-beda budaya komunikasinya akan sangat kurang efektif karena antara budaya yang satu dengan yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tahapan-tahapan culture shock yang dialami mahasiswa asal Papua angkatan 2012 di USU dalam interaksi komunikasi antarbudaya.

“Pada awalnya saya merasa kebingungan dalam berinteraksi dengan masyarakat, tetapi saya tetap menyesuaikan diri dengan baik, meskipun saya mengalami kecemasan

Alhamdulillah, kata pertama yang dapat peneliti ucapkan sebagai ungkapan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rezeki, ridho dan berkah yang Ia limpahkan dalam segala bentuk

Strategi adaptasi sebagai solusi dalam menghadapi hambatan dan tantangan yang dialami oleh mahasiswa baru asal Sumatera Utara untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di Palangka