CULTURE SHOCK DALAM INTERAKSI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA PADA MAHASISWA ASAL PAPUA DI USU
SKRIPSI
INDAH MAULIDIA
100904086
Hubungan Masyarakat
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
CULTURE SHOCK DALAM INTERAKSI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA PADA MAHASISWA ASAL PAPUA DI USU
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
Program Strata (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
INDAH MAULIDIA
100904086
Hubungan Masyarakat
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip
maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika dikemudian
hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses
sesuai dengan hukum yang berlaku.
Nama : Indah Maulidia
NIM : 100904086
Tanda Tangan :
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :
Nama : Indah Maulidia
NIM : 100904086
Departemen : Ilmu Komunikasi
Judul : Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Asal Papua di USU
Medan, 14 Agustus 2014
Dosen Pembimbing Ketua Departemen
Lusiana A. Lubis, M.A., Ph.D Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A
NIP. 196704051990032002 NIP. 196208281987012001
DEKAN FISIP USU
Prof. Dr. Badaruddin, M.Si
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, kata pertama yang dapat peneliti ucapkan sebagai
ungkapan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rezeki, ridho dan berkah yang Ia
limpahkan dalam segala bentuk hingga skripsi yang berjudul Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Asal Papua di USU ini dapat
terselesaikan. Shalawat dan salam juga peneliti haturkan pada junjungan besar
Nabi Muhammad SAW.
Skripsi yang peneliti buat adalah sebagai salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan studi di program sarjana Ilmu Komunikasi FISIP Universitas
Sumatera Utara. Namun secara pribadi peneliti berharap agar skripsi ini dapat
memberikan sumbangsih langsung untuk studi ilmu komunikasi. Semoga tidak
hanya bermanfaat bagi peneliti, tapi juga bagi siapa saja yang berminat
mendalami bidang hubungan masyarakat. Bagi peneliti, skripsi ini tidak hanya
sebuah syarat namun juga ilmu yang mampu memperkaya pengetahuan peneliti.
Menjalani masa studi di bangku kuliah selama hampir empat tahun,
peneliti tidak pernah berjalan sendiri. Selalu ada dukungan moril maupun material
yang peneliti dapatkan dari banyak pihak. Oleh karena ini sudah sepantasnya
peneliti mengucapkan terima kasih kepada mereka dalam kesempatan ini,
walaupun tidak bisa peneliti sebutkan satu per satu.
Pertama dan pasti, terima kasih peneliti kepada kedua orang tua tercinta,
yaitu kepada ayahanda Tarmizi Basyah dan ibunda Zulhaida. Terima kasih untuk
seluruh cinta dan kasih sayang yang diberikan dari dalam kandungan hingga akhir
nanti. Semoga peneliti dapat membalas semuanya. Begitu juga untuk abang
tercinta Aulia Arafat dan adik-adik tercinta Reza Muttaqien, Yulian Maulana dan
Arief Muharram, yang membuat hari-hari peneliti tak pernah sepi.
Peneliti juga ingin berterima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat dan
membantu proses pendidikan dan pengerjaan skripsi ini. Dengan segenap rasa
hormat peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik USU
2. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis MA, selaku Ketua Departemen Ilmu
3. Ibu Dra. Dayana, M.Si, selaku Sekretaris Departemen Ilmu
Komunikasi FISIP USU
4. Ibu Lusiana Andriani Lubis, MA., Ph.D, selaku dosen pembimbing
skripsi yang dengan sabar telah membimbing peneliti sehingga peneliti
dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Ibu Mazdalifah, M.Si., Ph.D, selaku dosen pembimbing akademik
peneliti
6. Yani, Wanda, Cesi, Icha, Fajar, Koko, Cici, Grace, Rara, Cucut yang
telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Julius, Yani serta seluruh teman-teman pengurus IMAJINASI tahun
2012-2013 yang sudah memberikan dukungan kepada peneliti dalam
menyelesaikan skripsi.
8. Kak Nuri, Kak Dani, Kak Hanim, Kak Puan, Kak Maya yang telah
membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Kiki Harissandi yang memberikan perhatian, dukungan dan cinta serta
doa kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
10.Teman-teman komunikasi 2010, para senior dan junior. Terima kasih
atas kebersamaan yang telah dibangun. Semoga kita semua bisa sukses
di jalannya masing-masing
11.Sahabat, keluarga, teman yang tidak bisa disebutkan satu per satu,
terima kasih untuk semua dukungan dan doa yang diberikan kepada
peneliti.
12.Para informan yang telah bersedia meluangkan waktu dan berbagi
cerita.
Peneliti menyadari bahwa masih terselip kekurangan dalam penelitian ini
disebabkan oleh keterbatasan peneliti sebagai manusia yang tak luput dari
kesalahan. Kritik dan saran sangat peneliti harapkan agar skripsi ini menjadi lebih
Medan, 14 Agustus 2014
Peneliti
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Indah Maulidia
NIM : 100904086
Departemen : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas : Universitas Sumatera Utara
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti non Eksklusif (Non Exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : CULTURE SHOCK
DALAM INTERAKSI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA PADA
MAHASISWA ASAL PAPUA DI USU beserta perangkat yang ada (jika diperlukan).
Dengan Hak Bebas Royalti non Ekslusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media / formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis / pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Medan
Pada tanggal :14Agustus2014
Yang menyatakan
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Asal Papua di USU. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses komunikasi yang berlangsung antara mahasiswa Papua dan mahasiswa USU lainnya dan tahapan-tahapan culture shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa Papua di USU serta upaya mengatasi culture shock tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang merupakan pengukuran dengan menggunakan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Papua yang kuliah di USU angkatan 2012.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa para mahasiswa asal Papua memiliki kecenderungan culture shock yang tergolong sedang. Hal ini berarti mereka sudah bisa menyesuaikan diri dan merasa nyaman tinggal di Medan. Bahkan beberapa informan mengaku lebih nyaman tinggal di Medan daripada daerahnya sendiri yaitu Papua. Fakultas dan motivasi diri ikut mempengaruhi proses komunikasi yang terjalin antara mahasiswa Papua dan mahasiswa USU lainnya. Mahasiswa asal Papua tidak selalu berteman dengan sesamanya tetapi mereka juga berbaur dengan mahasiswa lainnya agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya dan merasa nyaman kuliah di USU.
Kata kunci
ABSTRACT
This study, entitled Culture Shock in Interaction Intercultural Communication at Papuan Students at USU. This study aims to determine the communication process that takes place between students of Papua and other USU students and the stages of culture shock in intercultural communication interactions on Papuan students at USU as well as efforts to overcome the culture shock.
The method used in this research is a case study that focuses intensively on a particular object as a case study it. This study uses a qualitative analysis of the measurement using the nominal data pertaining to the classification or categorization of a number of variables into a few sub-par class. Through a qualitative approach, the data acquired from the field captured conclusions are specific to the general. The subjects were college students at USU Papua force in 2012.
The results showed that the students have a tendency Papuan culture shock that is classified as moderate. It means they are able to adjust to and feel comfortable living in Medan. Even some of the informants claimed to be more comfortable staying in the field than their own areas of Papua. Faculty and self-motivation influence the communication between processes Papuan students and other USU students. Papuan Students do not always make friends with each other but they also blend in with the other students in order to adjust to the new environment and feel comfortable studying at USU.
Keywords
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR… ... iii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... . vi
ABSTRAK…. ... vii
2.1.1 Paradigma Interpretif ... 11
2.2 Kajian Pustaka ... 13
2.2.1 Komunikasi Antarbudaya ... 13
2.2.1.1 Interaksi Simbolik ... 18
2.2.1.1.1 Bahasa Verbal ... 20
2.2.1.1.2 Bahasa Non Verbal ... 21
2.2.2 Culture Shock ... 23
2.3 Penelitian Terdahulu ... 31
2.3.1 Penelitian Emma Violita Pinem ... 31
2.3.2 Penelitian Fadhli Friandes ... 32
2.4 Model Teoritis ... 33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 39
4.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 39
4.1.1.1 Sejarah Singkat ... 40
4.1.1.2 Visi dan Misi USU ... 43
4.1.2 Deskripsi Proses Penelitian ... 44
4.1.3.1 Informan 1 ... 48
4.1.3.2 Informan 2 ... 53
4.1.3.3 Informan 3 ... 59
4.1.3.4 Informan 4 ... 64
4.1.3.5 Informan 5... 70
4.1.3.6 Informan 6 ... 80
4.2 Pembahasan ... 89
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 98
5.2 Saran ... 99
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
• Hasil Wawancara
• Biodata Peneliti
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Asal Papua di USU. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses komunikasi yang berlangsung antara mahasiswa Papua dan mahasiswa USU lainnya dan tahapan-tahapan culture shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa Papua di USU serta upaya mengatasi culture shock tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang merupakan pengukuran dengan menggunakan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Papua yang kuliah di USU angkatan 2012.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa para mahasiswa asal Papua memiliki kecenderungan culture shock yang tergolong sedang. Hal ini berarti mereka sudah bisa menyesuaikan diri dan merasa nyaman tinggal di Medan. Bahkan beberapa informan mengaku lebih nyaman tinggal di Medan daripada daerahnya sendiri yaitu Papua. Fakultas dan motivasi diri ikut mempengaruhi proses komunikasi yang terjalin antara mahasiswa Papua dan mahasiswa USU lainnya. Mahasiswa asal Papua tidak selalu berteman dengan sesamanya tetapi mereka juga berbaur dengan mahasiswa lainnya agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya dan merasa nyaman kuliah di USU.
Kata kunci
ABSTRACT
This study, entitled Culture Shock in Interaction Intercultural Communication at Papuan Students at USU. This study aims to determine the communication process that takes place between students of Papua and other USU students and the stages of culture shock in intercultural communication interactions on Papuan students at USU as well as efforts to overcome the culture shock.
The method used in this research is a case study that focuses intensively on a particular object as a case study it. This study uses a qualitative analysis of the measurement using the nominal data pertaining to the classification or categorization of a number of variables into a few sub-par class. Through a qualitative approach, the data acquired from the field captured conclusions are specific to the general. The subjects were college students at USU Papua force in 2012.
The results showed that the students have a tendency Papuan culture shock that is classified as moderate. It means they are able to adjust to and feel comfortable living in Medan. Even some of the informants claimed to be more comfortable staying in the field than their own areas of Papua. Faculty and self-motivation influence the communication between processes Papuan students and other USU students. Papuan Students do not always make friends with each other but they also blend in with the other students in order to adjust to the new environment and feel comfortable studying at USU.
Keywords
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Konteks Masalah
Papua adalah sebuah pulau yang terletak di ujung timur Indonesia. Dalam
pulau tersebut terdapat provinsi Papua dan Papua Barat. Namun, di pulau ini tidak
hanya diisi oleh bagian Negara Republik Indonesia saja, tetapi ada negara lain
yang menjadi satu pulau dengan Papua yaitu Papua Nugini atau East New Guinea yang berada di sebelah timur Papua Indonesia. Provinsi Papua dulu mencakup
seluruh wilayah Papua bagian barat, namun sejak tahun 2003 dibagi menjadi dua
provinsi di mana bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian
baratnya memakai nama Papua Barat. Kata Papua sendiri berasal dari bahasa
Melayu yang berarti rambut keriting, sebuah gambaran yang mengacu pada
penampilan fisik suku-suku asli. Provinsi ini memiliki berbagai macam suku yang
mendiami provinsi tersebut diantaranya adalah suku asmat, dani, biak, komoro,
dan sebagainya. Masyarakatnya sangat menjunjung tinggi kesenian dan
kebudayaan yang ada di daerah mereka
(http://www.papua.go.id/view-detail-page-254/Sekilas-Papua-.html).
Wilayah Indonesia paling timur ini memiliki budaya yang sangat beragam
dan juga sumber daya alam yang sangat melimpah. Hal ini dibuktikan dengan
adanya perusahaan PT. Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika yang
menambang bijih dengan kandungan tembaga, emas dan perak dari tanah Papua.
Namun, kenyataannya Papua masih menjadi provinsi tertinggal dengan tingkat
kemiskinan tinggi serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM) paling rendah
dibanding provinsi lainnya
(http://www.jurnas.com/news/116771/Affirmative-Action-Jalan-Pintas-Pendidikan-Papua-2013/1/Sosial-Budaya/Pendidikan). Salah
satu faktor yang menyebabkan tertinggalnya provinsi ini adalah rendahnya
kualitas pendidikan. Pendidikan di Papua sangat jauh tertinggal dibandingkan
provinsi lain di indonesia. Hal ini disebabkan karena kurangnya fasilitas dan
tenaga pengajar yang memadai. Anak usia 7-12 tahun yang seharusnya duduk di
bangku SD. Hal itu dikarenakan terbatasnya ketersediaan gedung sekolah
disejumlah kampung yang tersebar di gunung dan lembah yang belum memiliki
infrastruktur Pendidikan Dasar. Belum tersedianya rumah kepala sekolah dan
rumah guru di daerah terpencil juga menyebabkan kepala sekolah dan guru
meninggalkan tempat tugas yang mengakibatkan tingginya angka ketidakhadiran
kepala sekolah dan guru di tempat tugas
(http://www.papuaposnabire.com/index.php/jayapura/594-gubernur-ada-6-masalah-mendasar-pendidikan-di-papua).
Pemerintah pusat dan DPR telah mengeluarkan UU Nomor 21/2001
tentang otonomi khusus bagi Papua tujuannya untuk mengejar ketertinggalan
yang pada hakikatnya untuk melakukan percepatan pembangunan bagi Provinsi
Papua dan Papua Barat agar bisa sederajat dengan provinsi lain. Pemerintah
membuat sebuah lembaga yang bernama Unit Percepatan Pembangunan Provinsi
Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) yang bertujuan untuk mendukung
koordinasi, memfasilitasi, dan mengendalikan pelaksanaan percepatan
pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. UP4B dibentuk dengan
Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2011 dengan masa kerja sampai 2014 yang
berkedudukan di Ibukota Provinsi Papua
(http://www.up4b.go.id/index.php/component/content/article/15-halaman/37-tentang).
UP4B mengambil fokus pada 5 program utama percepatan pembangunan
dari 7 program utama yang ditetapkan dalam Rencana Aksi P4B. Lima fokus
tersebut meliputi ekonomi kerakyatan, infrastruktur dasar, peningkatan pelayanan
pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan, serta affirmative action untuk Orang Asli Papua (OAP). Dalam meningkatkan pelayanan pendidikan, UP4B
mendorong Program Afirmasi Pendidikan yang digagas bersama Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan serta Universitas/Sekolah/Lembaga dalam bentuk
Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK), Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM),
dan Afirmasi Vokasi yang meliputi pendidikan di STAN, STIS, STPI, AKMIL,
dan AKPOL.
Program Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK) ini memberikan kesempatan
Tinggi Negeri (PTN) di luar Papua. Program ini dimulai sejak 2012 dengan
mengirimkan 770 siswa lulusan SMA/SMK ke 32 PTN. Melalui koordinasi,
sinkronisasi dan fasilitasi UP4B dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kemendikbud, dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri (MRPTNI) serta
Pemerintah Provinsi Papua, Papua Barat, dan Kabupaten/Kota, pada 2013
disepakati untuk disediakan kuota dan beasiswa bagi OAP yang mencapai 600
mahasiswa untuk menempuh pendidikan tinggi di 39 PTN di luar Papua dan
Papua Barat. Setelah melalui tahapan seleksi hingga pengumuman kelulusan, para
calon mahasiswa ADIK telah diberangkatkan ke 39 PTN di 29 kota yang tersebar
mulai dari Banda Aceh hingga Maluku. Sejak 2012 hingga 2013 ini, sudah ada
900 mahasiswa yang mengikuti program ADIK tersebut
(http://www.jurnas.com/news/116771/Affirmative-Action-Jalan-Pintas-Pendidikan-Papua-2013/1/Sosial-Budaya/Pendidikan).
Dua universitas dari 39 PTN yang menerima mahasiswa Program Afirmasi,
diantaranya terdapat di Kota Medan yaitu Universitas Sumatera Utara (USU) dan
Universitas Negeri Medan (UNIMED). Jumlah mahasiswa Papua yang ada di
UNIMED berjumlah 4 orang sebagai angkatan I (2013). Berbeda dengan
UNIMED yang mulai menerima mahasiswa Afirmasi pada tahun 2013, USU
mulai menerima mahasiswa Afirmasi sejak tahun pertama diadakan yaitu tahun
2012 dengan jumlah mahasiswa 18 orang sebagai angkatan I dan angkatan II
berjumlah 11 orang. Mahasiswa asal Papua yang berjumlah 29 orang tersebut
tersebar di 8 fakultas yaitu fakultas kedokteran, ekonomi, pertanian, kesehatan
masyarakat, teknik, farmasi dan keperawatan (Pra Penelitian dengan Demianus,
Ketua Komunitas Papua, 6 Maret 2014). Mahasiswa asal Papua yang berkuliah di
USU tinggal di asrama putra dan asrama putri serta diberikan biaya hidup
perbulan sebesar satu juta rupiah. Mereka akan kembali ke daerah masing-masing
untuk membangun daerahnya setelah menyelesaikan kuliahnya di USU. Generasi
muda inilah yang diharapkan dapat membangun Papua dan mengejar
ketertinggalan dari provinsi lain di Indonesia
Mahasiswa asal Papua yang kuliah di USU harus meninggalkan rumah,
keluarga, teman dan akan menemui masyarakat yang memiliki latar belakang
Selama ini mereka hidup dalam lingkungan yang familiar, tempat dimana mereka
tumbuh dan berkembang. Orang-orang yang ditemui dalam lingkungan pada saat
sekolah ataupun bermain cenderung memiliki kesamaan dalam hal latar belakang
etnik, kepercayaan atau agama, nilai bahasa atau setidaknya memiliki dialek yang
sama. Memasuki dunia baru dengan segala sesuatu yang terasa asing, maka
berbagai kecemasan dan ketidaknyamanan pun akan terjadi.
Dedy Mulyana dan Rakhmat Jalaludin dalam bukunya menyatakan bahwa
salah satu kecemasan yang terbesar adalah mengenai bagaimana harus
berkomunikasi. Sangat wajar ketika individu masuk dalam lingkungan budaya
baru mengalami kesulitan bahkan tekanan mental karena telah terbiasa dengan
hal-hal yang ada disekelilingnya. Ketika individu masuk dan mengalami kontak
budaya lain serta merasakan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak
tersebut, maka keadaan ini disebut sebagai gegar budaya atau culture shock. Culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang yang familiar dalam hubungan
sosial. Tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk itu meliputi seribu satu cara yang kita
lakukan dalam mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi
sehari-hari (Mulyana dan Rakmat, 2005: 174).
Berdasarkan hasil pra penelitian yang dilakukan bersama salah seorang
mahasiswa Papua bernama Duma, ketika mahasiswa asal Papua berinteraksi
dengan mahasiswa lainnya yang berbeda etnik mereka mengalami culture shock. Duma mengatakan bahwa ketika pertama kali ia tiba di Medan, ada rasa cemas
dan takut bagaimana ia akan berkomunikasi dengan teman-teman kampusnya
yang berbeda etnik karena perbedaan bahasa. Menempati suatu daerah yang
belum pernah dikunjungi, pasti ada perasaan kaget dan tekanan mental yang
mereka alami dalam menghadapi budaya dari daerah tersebut. Hal ini terjadi
karena dalam diri mereka sudah melekat latar belakang budaya termasuk makanan
dan tata cara komunikasi yang telah terekam baik di saraf individu dan tak
terpisahkan dari pribadi individu tersebut. Lalu datang ke Medan sebagai suatu
lingkungan baru bagi mereka dengan beragam latar belakang budaya yang jauh
berbeda membuat mereka menjadi orang asing. Apalagi melihat Papua yang
Barat membuat kebudayaan satu sama lain berbeda jauh. Hal ini diperkuat dalam
tinjauan Wallace pada abad XIX, kawasan nusantara dihuni dua ras yang sangat
berbeda, yaitu Melayu dan Papua. Ras Melayu tersebar di sebagian besar wilayah
Nusantara, sedangkan ras Papua menghuni kepulauan Papua, Misool, Salawaty,
Waigeo. Aru, dan Kei. Wallace menegaskan bahwa Papua dalam banyak hal
berbeda dengan Melayu (Meteray, 2012: 1).
Mahasiswa asal Papua datang ke Medan sebagai suatu lingkungan baru
mungkin akan menghadapi banyak hal yang berbeda seperti cara berpakaian,
bertingkah laku, cara berbicara, cuaca, makanan, bahasa, orang-orang, sekolah
dan nilai-nilai yang berbeda. Tetapi ternyata budaya tidak hanya meliputi cara
berpakaian maupun bahasa yang digunakan, namun budaya juga meliputi etika,
nilai, konsep keadilan, perilaku, hubungan pria wanita, konsep kebersihan, gaya
belajar, gaya hidup, motivasi bekerja, ketertiban lalulintas, kebiasaan dan
sebagainya (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 97). Mereka sulit menyesuaikan diri
dan memahami budaya lingkungan yang baru karena perbedaan yang mereka
pahami. Bagaimana fenomena yang akan mereka alami ketika kelar dari suatu
budaya ke budaya lain sebagai reaksi ketika berpindah dan hidup dengan
orang-orang yang berbeda dengan mereka serta bagaimana upaya yang mereka lakukan
untuk mengatasi culture shock yang dirasakan menuju suatu adaptasi yang baik dan komunikasi antarbudaya yang efektif. Banyak hal yang dapat mempengaruhi
proses penyesuaian diri, seperti variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi,
yakni faktor personal (intrapersona), seperti karakteristik personal, motivasi
individu, persepsi individu, pengetahuan individu dan pengalaman sebelumnya.
Selain itu juga dipengaruhi oleh keterampilan (kecakapan) komunikasi individu
dalam komunikasi sosial (antarpersonal) serta suasana lingkungan komunikasi
budaya baru tersebut (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 141-144).
Individu mengalami proses memperoleh aturan-aturan (budaya)
komunikasi dimulai pada masa awal kehidupan. Pola-pola budaya ditanamkan
dalam sistem saraf dan menjadi kepribadian dan perilaku individu melalui proses
sosialisasi dan pendidikan. Proses memperoleh pola-pola demikian oleh individu
disebut enkulturasi. Melalui proses enkulturasi, pola budaya diinternalisasikan dan
ini membuat individu mudah berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya
yang juga memiliki pola-pola budaya serupa.
Bagaimana jika seseorang lahir dan terenkulturasi dalam suatu budaya
tertentu dan memasuki budaya lain? segala bentuk lambang-lambang verbal dan
non verbal dan atuan-aturan atau kelompok yang memasuki budaya baru akan
mengalami proses enkulturasi yang kedua, yang disebut dengan proses akulturasi.
Akulturasi merupakan suatu nilai masuk ke dalam diri individu tanpa
meninggalkan identitas budaya yang lama (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 139).
Setiap daerah memiliki adat istiadat dan budaya sendiri yang biasanya sulit
untuk diubah. Masyarakat dengan etnik tertentu juga berbeda dalam bertingkah
laku, cara berbicara, dan lain sebagainya. Budaya berkaitan erat dengan cara
manusia hidup. Manusia berpikir dan bertindak sesuai dengan pola budaya yang
telah melekat pada dirinya. Budaya dan komunikasi itu seperti dua sisi mata uang
yang mempunyai hubungan timbal balik. Budaya menjadi bagian dari perilaku
komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara,
mengembangkan atau mewariskan budaya. Budaya yang berbeda-beda memiliki
sistem yang berbeda juga dan karenanya ikut menentukan tujuan.
Berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali
menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya,
misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau
norma-norma masyarakat dan lain sebagainya. Padahal syarat untuk terjalinnya hubungan
itu tentu saja harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna
antara satu dengan lainnya. Maka dari itu mempelajari komunikasi dan budaya
merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahakan (dalam jurnal Lubis Lusiana
Andriana, 2002: 1).
Komunikasi antarbudaya merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk
dipelajari. Individu dapat mengetahui budaya-budaya dari daerah lain dan dapat
menjadi bahan pegangan ketika berjumpa dengan orang yang berasal dari budaya
yang berbeda dengan mempelajari komunikasi antarbudaya. Komunikator dan
komunikan yang berasal dari budaya yang berbeda akan dapat mencapai
komunikasi yang efektif apabila keduanya saling memahami dan menghargai
persahabatan, kesetiakawanan, hingga mengurangi ketidakpastian dan konflik
antar budaya. Hal ini menjadi penting untuk dipelajari oleh mahasiswa asal Papua
untuk mencapai komunikasi yang efektif dengan mahasiswa USU yang berbeda
etnik. Kuliah di USU selama kurang lebih 4 tahun menuntut mereka untuk dapat
memahami perbedaan yang ada dan dapat menjalin komunikasi yang efektif agar
mereka merasa nyaman kuliah di USU dan tidak mengalami konflik dan homesick yang berlebihan.
Penelitian mengenai culture shock sebelumnya sudah pernah dilakukan terhadap mahasiswa asal Malaysia yang kuliah di FK dan FKG USU oleh Emma
Violita Pinem dan juga terhadap mahasiswa asal Minang di USU oleh Fadhli
Friandes. Kedua hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa mereka memiliki
kecenderungan culture shock pada kategori sedang. Hal ini terjadi karena melihat Minang dan Medan yang sama-sama terletak di pulau Sumatera dan juga
Malaysia yang masih satu rumpun dan tetangga dengan Indonesia. Penelitian ini
juga menjelaskan bagaimana mereka mengalami culture shock karena perbedaan nilai yang dianut dengan nilai di lingkungan baru yang mereka tempati dan juga
cara mengatasinya.
Peneliti tertarik untuk melihat bagaimana mahasiswa asal Papua yang
kuliah di USU berinteraksi dengan mahasiswa USU lainnya, tahapan-tahapan
culture shock yang mereka alami juga upaya apa yang dilakukan dalam mengatasinya. Hal ini berpijak dari teori yang menyatakan individu yang
memasuki lingkungan baru akan mengalami culture shock. Penelitian ini menjadi menarik karena belum pernah dilakukan sebelumnya dan juga melihat daerah
Papua dan Medan yang berada di ujung-ujung negara Republik Indonesia. Selain
itu, orang Papua yang kuliah di USU belum pernah ada dan mereka adalah orang
Papua pertama yang kuliah di USU dan menjadi daya tarik terhadap mahasiswa
USU lainnya. Subjek penelitian atau yang biasa disebut informan dalam penelitian
ini adalah mahasiswa asal Papua angkatan 2012. Peneliti mengambil mahasiswa
Papua angkatan 2012 menjadi subjek penelitian karena mereka sudah dua tahun
tinggal di Medan dan menjadi angkatan pertama yang tiba di Medan. Mereka
tinggal di Medan dengan rentang waktu yang lama akan semakin mempengaruhi
antarbudaya ketika bertemu dengan budaya baru. Peneliti membatasi culture shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asal Papua di Medan, dalam hal ini mahasiswa asal Papua angkatan 2012 yang belajar di USU.
Berdasarkan konteks masalah di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti
mengenai “Culture Shock pada Mahasiswa Asal Papua di Universitas Sumatera Utara dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya”.
1.2Fokus Masalah
Berdasarkan konteks masalah di atas, maka dapat dikemukakan fokus
masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana proses komunikasi mahasiswa asal Papua angkatan 2012
dalam berinteraksi di USU?
b. Bagaimana tahapan-tahapan culture shock yang dialami mahasiswa Papua angkatan 2012 dalam interaksi komunikasi antarbudaya?
c. Upaya apa yang dilakukan mahasiswa asal Papua angkatan 2012
dalam mengatasi culture shock tersebut?
1.3Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses komunikasi
mahasiswa asal Papua angkatan 2012 dalam berinteraksi di USU.
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tahapan-tahapan culture shock yang dialami mahasiswa asal Papua angkatan 2012 di USU dalam interaksi komunikasi antarbudaya
3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya yang dilakukan dalam
mengatasi culture shock pada mahasiswa asal Papua angkatan 2012 di USU demi penyesuaian lingkungan baru
1.4Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan
memperkaya penelitian tentang komunikasi antarbudaya, khususnya
culture shock
2. Secara akademisi, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan
memperkaya pengetahuan mengenai culture shock dan penelitian kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi, mengingat sangat sedikit
penelitan yang meneliti mengenai culture shock di departemen Ilmu Komunikasi USU
3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi
bersama dalam memahami konteks komunikasi antarbudaya yang
terjadi di sekitar kita dan menjadi masukan dan pembelajaran bagi
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Perspektif / Paradigma Kajian
Paradigma (paradigm) dapat didefinisikan bermacam-macam sesuai dengan sudut pandang setiap orang. Ada yang menyatakan bahwa paradigma
merupakan suatu citra yang fundamental dari pokok permasalahan suatu ilmu.
Paradigma menggariskan apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan-pernyataan
apa yang seharusnya dikemukakan dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti
dalam menafsirkan jawaban yang diperolehnya. Dengan demikian paradigma
adalah ibarat sebuah jendela tempat orang mengamati dunia luar, tempat orang
bertolak menjelajahi dunia dengan wawasannya (world-view). Namun, secara umum paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan
dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak di kehidupan sehari-hari (Salim,
2001: 33).
Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas
dunia nyata. Paradigma atau dalam bidang keilmuan sering disebut sebagai
perspektif atau terkadang disebut mazhab pemikiran (school of thought). Paradigma menunjukkan pada peneliti apa yang penting, absah, dan masuk akal.
Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada peneliti apa yang harus
dilakukan tanpa perlu pertimbangan yang panjang. Banyak paradigma yang
berkembang dalam ilmu sosial dan masing-masing paradigma tersebut berbeda,
namun bukan berarti paradigma yang satu benar dan lainnya keliru. Sebelum
menentukan paradigma yang akan dipakai dalam sebuah penelitian, harus
diterapkan terlebih dahulu kriterianya. Misalnya seorang peneliti memakai teori
agung psikologi humanistik dari Carl Rogers tetapi metode yang digunakan
ternyata bersifat kuantitatif dengan menggunakan statistik inferensial. Pendekatan
humanistik menuntut metode penelitian yang bersifat kualitatif (fenomenologis).
Dalam meneliti sutau fenomena, peneliti menggunakan suatu paradigma yang
Paradigma penelitian kualitatif adalah model penelitian ilmiah yang
meneliti kualitas-kualitas objek penelitian seperti misalnya; nilai, makna, emosi
manusia, penghayatan religius, keindahan suatu karya seni, persitiwa sejarah,
simbol-simbol atau artefak tertentu. Penelitian kualitatif menghindari metode
matematis karena yang diukur adalah nilai (value) yang muncul dari objek penelitian yang bersifat khusus, khas, unik bahkan sangat spesifik dan selalu
mengandung makna. Paradigma sangat penting perannya dalam memengaruhi
teori, analisis, maupun tindakan peneliti. Paradigma tersebut menjelaskan
asumsi-asumsinya yang spesifik mengenai bagaimana penelitian harus dilakukan dalam
bidang yang bersangkutan. Menurut Thomas Khun (dalam Mulyana, 2001: 10)
menyatakan bahwa paradigma menentukan apa yang tidak kita pilih, tidak ingin
kita lihat, dan tidak ingin diketahui. Paradigma yang digunakan seorang peneliti
secara otomatis akan mempengaruhi persepi dan tindak komunikasi seseorang.
2.1.1 Paradigma Interpretif
Interpretif memandang ilmu sosial sebagai analisis sistem terhadap
“socially meaningful action” melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial dalam setting kehidupan sehari-hari yang wajar atau
alamiah, agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial
yang bersangkutan menciptakan dan memelihara/mengelola dunia sosial mereka
(Salim, 2001: 42).
Paradigma ini muncul karena ketidakpuasan terhadap teori post-positivis.
Positivis dianggap terlalu umum, terlalu mekanis, dan tidak mampu menangkap
keruwetan, nuansa dan kompleksitas dari interaksi manusia. Interpretif mencari
sebuah pemahaman bagaimana kita membentuk dunia pemaknaan melalui dunia
interaksi dan bagaimana kita berperilaku terhadap dunia yang kita bentuk. Dalam
pencarian jenis pemahaman, interpretif mendekati dunia dan pengetahuan dengan
cara yang sangat berbeda dengan cara teori post-positivis (Ardianto dan Q-Anees,
2007: 124).
Paradigma interpretif mengkaji interpretasi terhadap aktivitas-aktivitas
tindakan sosial yang mereka lakukan, yaitu cara-cara dari para pelaku untuk
mengkonstruksikan kehidupan mereka dan makna yang mereka berikan kepada
kehidupan tersebut. Tindakan sosial tidak dapat diamati, tetapi lebih diarahkan
pada pemaknaan subjektif terhadap tindakan sosial tersebut (Rahardjo, 2005:
93-94).
Menurut Alfred Schutz (dalam Soemaryono, 1999: 23), manusia secara
terus-menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi
dengan yang lain. Tujuan pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis
realita sosial semacam ini dan bagaimana realita sosial itu terbentuk. Untuk
memahami sebuah lingkungan sosial yang spesifik, peneliti harus menyelami
pengalaman subjektif para pelakunya. Penelitian interpretif tidak menempatkan
objektivitas sebagai hal terpenting, tetapi mengakui bahwa demi memperoleh
pemahaman mendalam, maka subjektivitas para pelaku harus digali sedalam
mungkin. Hal ini memungkinkan terjadinya trade off antara objektivitas dan kedalaman temuan penelitian. Pendekatan interpretif mengajak untuk
menggunakan logika reflektif di samping logika induktif dan deduktif serta logika
materil dan logika probabilistik. Pendekatan interpretif tidak ingin menampilkan
teori dan konsep yang bersifat normatif atau imperatif, tetapi mengangkat makna
etika dalam berteori dan berkonsep.
Pandangan-pandangan interpretif berpijak pada asumsi bahwa gambaran
realitas sosial kaum empiris menghilangkan sesuatu yang sangat penting, yaitu
makna-makna umum serta intersubjektif, yakni cara-cara mewujudkan tindakan
dalam masyarakat yang diekspresikan dalam bahasa dan deskripsi-deskripsi yang
membentuk institusi dan praktik. Oleh karena itu, kalangan konstruktivis dan
interpretivis secara umum memfokuskan diri pada proses-proses yang
menciptakan, menegosiasikan, mempertahankan dan memodifikasi makna-makna
tersebut dalam sebuah konteks spesifik tindakan manusia. Sarana-sarana atau
proses-proses yang mengantarkan peneliti kepada interpretasi tindakan manusia
(sekaligus akhir atau tujuan proses-proses tersebut) inilah yang disebut
2.2 Kajian Pustaka
2.2.1 Komunikasi Antar Budaya
Berbicara mengenai komunikasi antarbudaya tidak dapat dielakkan dari
pengertian kebudayaan (budaya). Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa
sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budayaan dapat diartikan sebagai “hal-hal yang
bersangkutan dengan akal. Menurut ilmu antropologi kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal ini
berarti bahwa seluruh tindakan manusia dalam kehidupan sehari-hari adalah
kebudayaan karena sangat sedikit tindakan manusia yang tidak perlu dibiasakan
dengan belajar. Bagaimana manusia makan, minum, berjalan, berinteraksi dengan
manusia lainnya itu semua berpengaruh pada budaya individu itu sendiri. Ada
sarjana lain yang mengartikan kebudayaan sebagai hasil dari cipta, karsa, dan rasa
(Koentjaraningrat, 2002: 180-181).
Komunikasi dan kebudayaan seperti sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan. Edward T. Hall (dalam Liliweri, 2004: 21) mengatakan “komunikasi
adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah komunikasi.” Dalam kebudayaan ada
sistem dan dinamika yang mengatur tata cara pertukaran simbol-simbol
komunikasi, dan juga hanya dengan komunikasi maka pertukaran simbol-simbol
dapat dilakukan, dan kebudayaan hanya akan eksis jika ada komunikasi. William
menekankan bahwa studi komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi
yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi.
Definisi komunikasi antarbudaya menurut para pakar :
1. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader – komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antar suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial.
2. Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.
tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.
4. Intercultural Communication yang disingkat “ICC” mengartikan komunikasi antarbudaya merupakan interaksi antarpribadi antara seseorang anggota dengan kelompok yang berbeda kebudayan.
5. Guo-Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok (Liliweri, 2004: 10-11).
Pengertian-pengertian komunikasi antarbudaya tersebut membenarkan
sebuah hipotesis proses komunikasi antarbudaya, bahwa semakin besar derajat
perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula kita kehilangan peluang untuk
merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. Ketika kita
berkomunikasi dengan seseorang yang berbeda budaya, maka kita memiliki
perbedaan dalam sejumlah hal, misalnya derajat pengetahuan, derajat ambiguitas,
kebingungan, bahkan nampak tidak bersahabat. Perilaku komunikasi manusia
bergantung pada budaya dimana ia dibesarkan (Liliweri, 2004: 12).
Menurut Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi
antarbudaya adalah bahwa individu-invidu yang memiliki budaya yang sama pada
umumnya berbagi kesamaan-kesamaan atau homogenitas dalam keseluruhan latar
belakang pengalaman mereka daripada orang yang berasal dari budaya yang
berbeda. Perbedaan-perbedaan kultural bersama dengan perbedaan lain dalam diri
orang (seperti kepribadian individu, umur dan penampilan fisik) memberi
kontribusi kepada sifat problematik yang melekat dalam proses komunikasi
antarmanusia. Studi ini juga memberi penekanan kepada perbedaan-perbedaan
kultural yang sesungguhnya maupun perbedaan-perbedaan kultural yang
dipersepsikan antara pihak-pihak yang berkomunikasi, maka komunikasi
antarbudaya menjadi sebuah perluasan bagi studi komunikasi antarpribadi,
komunikasi organisasi dan kawasan-kawasan studi komunikasi antarmanusia
lainnya.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka komunikasi antarbudaya merujuk
pada fenomena komunikasi di mana para partisipan yang berbeda latar belakang
kultural menjalin kontak satu sama lain secara langsung maupun tidak langsung.
Ketika komunikasi antarbudaya mempersyaratkan dan berkaitan dengan kesamaan
kultural dari partisipan bukan merupakan fokus studi. Titik perhatian dari
komunikasi antarbudaya adalah proses komunikasi antara individu dengan
individu dan kelompok dengan kelompok (Rahardjo, 2005: 53-54).
Komunikasi antarbudaya lebih menekankan aspek utama yakni
antarpribadi di antara komunikator dan komunikan yang kebudayaannya berbeda.
Jika kita berbicara tentang komunikasi antarpribadi, maka yang dimaksud adalah
dua atau lebih orang terlibat dalam komunikasi verbal atau non verbal secara
langsung. Apabila kita menambahkan dimensi perbedaan kebudayaan ke
dalamnya, maka kita berbicara tentang komunikasi antarbudaya. Maka seringkali
dikatakan bahwa komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi antarpribadi
dengan perhatian khusus pada faktor-faktor kebudayaan yang mempengaruhinya.
Dalam keadaan demikian, kita dihadapkan dengan masalah-masalah yang ada
dalam situasi di mana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi
balik dalam budaya lain.
Komunikasi antarbudaya terjadi apabila pemberi dan penerima pesan
berasal dari budaya yang berbeda. Budaya mempengaruhi orang yang
berkomunikasi. Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku
komunikatif dan makna yang dimiliki oleh setiap orang. Konsekuensinya,
perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang berbeda yang dapat
menimbulkan berbagai macam kesulitan (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 19).
Tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi ketidakpastian tentang
orang lain. Gudykunst dan Kim (dalam Liliweri, 2004: 19) menunjukkan bahwa
orang-orang yang tidak saling mengenal selalu berusaha mengurangi tingkat
ketidakpastian melalui peramalan yang tepat atas relasi antrapribadi. Usaha untuk
mengurangi tingkat ketidakpastian itu dapat dilakukan melalui tiga tahap reaksi,
yaitu:
1. Pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun
non verbal (apakah komunikan suka berkomunikasi atau menghindari
komunikasi)
3. Closure, mulai membuka diri anda yang semula tertutup melalui atribusi dan pengembangan kepribadian implisit. Teori atribusi menganjurkan agar
kita harus lebih mengerti perilaku orang lain dengan menyelidiki motivasi
atas suatu perilaku atau tindakan seseorang.
Apabila individu dapat mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang
lain maka ia akan mempunyai peluang yang makin besar untuk memahami orang
tersebut. Selain tingkat ketidakpastian (uncertainty) maka seseorang akan menghadapi tingkat kecemasan tertentu ketika berkomunikasi dengan seseorang
dari kebudayaan lain. Kecemasan adalah suatu perasaan yang kurang
menyenangkan, tekanan batin, perasaan bersalah atau ragu-ragu tentang orang
yang sedang dihadapi. Kecemasan mengandung suasana emosional yang tidak
bersifat kognitif dan perilaku.
Komunikasi antarbudaya memiliki dua fungsi utama, yakni fungsi pribadi
dan fungsi sosial. Fungsi pribadi dirinci ke dalam fungsi menyatakan identitas
sosial, fungsi integrasi sosial, menambah pengetahuan (kognitif) dan fungsi
melepaskan diri/jalan keluar. Sedangkan fungi sosial meliputi fungsi pengawasan,
fungsi menjembatani/menghubungkan, fungsi sosialisasi dan fungsi menghibur
(Liliweri, 2004: 35).
Menurut Proser komunikasi antarbudaya juga merupakan komunikasi
antrapribadi pada tingkat individu dari anggota kelompok-kelompok budaya yang
berbeda, maka efektivitas komunikasi antarbudaya pun sama dengan efektivitas
komunikasi antarpribadi. Komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif harus
memperhatikan empat syarat, yakni :
1. Menghormati anggota budaya lain sebagai anggota manusia
2. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari
cara kita bertindak
3. Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi
hidup bersama orang dari budaya yang lain (Liliweri, 2001: 170-171).
Sedangkan menurut De Vito, efektivitas komunikasi antarbudaya
ditentukan oleh sejauhmana seseorang mempunyai sikap: (1) keterbukaan; (2)
terhadap makna pesan yang sama dalam komunikasi antarbudaya atau antaretnik
(Liliweri, 2001: 173).
Dalam suatu proses komunikasi antabudaya, terdapat hambatan yang
menjadi penghalang agar terjadinya komunikasi yang efektif. Hambatan
komunikasi antarbudaya terbagi menjadi dua yakni di atas air (above waterline) dan di bawah air (below waterline). Maksud hambatan di bawah air (below waterline) adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang. Biasanya hambatan semacam ini cukup sulit untuk dilihat atau diperhatikan
karena tidak terlihat dari penampilan luar. Jenis-jenis hambatan ini adalah
persepsi, norma, stereotip, filosofi bisnis, aturan, jaringan, nilai, dan grup cabang.
Sedangkan hambatan yang berada di atas air lebih mudah untuk dilihat karena
hambatan-hambatan ini banyak yang berbentuk fisik. Hambatan-hambatan ini
adalah :
1. Fisik, yang berasal dari hambatan waktu, lingkungan, kebutuhan diri, dam
juga media fisik.
2. Budaya, berasal dari etnik yang berbeda, agama, dan juga perbedaan
sosial yang ada antara budaya yang satu dengan yang lainnya.
3. Persepsi, karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda
mengenai suatu hal setelah berinteraksi dan berkomunikasi. Jadi untuk
mengartikan sesuatu setiap budaya akan mempunyai pemikiran yang
berbeda-beda.
4. Motivasi, berkaitan dengan tingkat motivasi dari komunikan, apakah
komunikan ingin menerima pesan tersebut atau sedang malas dan tidak
punya motivasi sehingga dapat menjadi hambatan komunikasi.
5. Pengalaman, setiap individu memiliki pengalaman hidup yang
berbeda-beda sehingga individu mempunyai persepsi dan juga konsep yang
berbeda-beda dalam melihat sesuatu.
6. Emosi, ketika emosi komunikan sedang buruk maka hambatan komunikasi
yang terjadi akan semakin besar dan sulit untuk dilalui.
7. Bahasa, ketika komunikator menyampaikan pesan kepada komunikan
dengan bahasa yang berbeda atau penggunaan kata-kata yang tidak
8. Nonverbal, bahasa dalam bentuk nonverbal yang bisa terlihat dari ekspresi
wajah dan gerak tubuh.
9. Kompetisi, hambatan yang muncul ketika komunikan sedang melakukan
kegiatan lain sambil mendengarkan (Lubis, 2012: 6-8).
Komunikasi oleh setiap kebudayaan memberikan makna yang beraneka
ragam. Masing-masing kebudayaan memiliki sub sistem kebudayaan yang
berbeda dan dengan makna yang berbeda pula. Hambatan komunikasi sebagai
sesuatu yang menjadi penghalang untuk mencapai komunikasi antarbudaya yang
efektif merupakan faktor penyebab kesalahpahaman dalam memandang perbedaan
antarbudaya tersebut.
2.2.1.1Interaksi Simbolik
George Herbert Mead dikenal sebagai peletak dasar teori ini. Meskipun
beberapa orang ilmuwan mempunyai andil utama sebagai perintis teori ini seperti
James Mark Baldwin, William James, Charles Horton Cooley, John Dewy,
William I. Thomas. Mead mengembangkan teori interaksi simbolik pada tahun
1920-an dan 1930-an ketika menjadi profesor filsafat di Universitas Chicago.
Gagasan-gagasan Mead mengenai interaksi simbolik berkembang pesat setelah
para mahasiswanya menerbitkan catatan-catatan kuliahnya melalui buku Mind, Self, and Society (1934). Buku ini terbit tak lama setelah Mead meninggal dan menjadi rujukan utama teori interaksi simbolik. Salah satu murid Mead yang
bernama Herbert Blumer menciptakan istilah “interaksi simbolik” pada tahun
1937 dan mempopulerkannya di kalangan akademis (Mulyana, 2001: 68).
Teori ini menekankan pentingnya maksud dan penafsiran sebagai proses
yang hakiki-manusiawi sebagai reaksi terhadap behavioralisme dan psikologi
stimulus-respons yang mekanistis. Individu menciptakan makna bersama melalui
interaksinya, dan bagi mereka makna itulah yang menjadi realitasnya (Suyanto
dan Sutinah, 2008: 180).
Esensi teori ini adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia,
yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Interaksi simbolik
berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Teori ini
mengatakan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang
mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka.
Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek, dan bahkan diri
mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Perilaku mereka tidak dapat
digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya, atau tuntutan
peran. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas
objek-objek di sekililing mereka.
Dalam pandangan interaksi simbolik, proses sosial dalam kehidupan
kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan aturan, bukan
aturan-aturan yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Dalam konteks
ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah
suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan
perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial
dan kekuatan sosial. Bagi interkasi simbolik, masyarakat adalah proses interaksi
simbolik. Kehidupan sosial pada dasarnya interaksi manusia dengan
menggunakan simbol-simbol. Simbol yang digunakan oleh individu
mempresentasikan apa yang dimaksudkan untuk berkomunikasi dengan
sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol
tersebut terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. Pada
dasarnya manusia adalah perilaku manusia adalah produk dari interpretasi mereka
atas dunia di sekeliling mereka.
Interaksi simbolik didasarkan premis-premis berikut. Pertama, individu
merespons suatu situasi simbolik. Mereka merespons lingkungan, termasuk objek
fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang
dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Inividulah
yang dipandang aktif untuk menentukan lingkungan mereka sendiri. Kedua,
makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek,
melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna yang
diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu kewaktu, sejalan dengan
perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Teori ini berpandangan
bahwa kenyataan sosial didasarkan kepada definisi dan penilaian subjektif
individu. Struktur sosial merupakan definisi bersama yang dimiliki individu yang
sama lain. Tindakan-tindakan individu dan juga pola interaksinya dibimbing oleh
definisi bersama yang sedemikian itu dan dikonstruksikan melalui proses interaksi
(Mulyana, 2001: 69-73).
Karya Mead yang paling terkenal ini menggarisbawahi tiga konsep kritis
yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksi simbolik.
Tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain. Dari itu, pikiran manusia
(mind) dan interaksi soisal (diri/self dengan yang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) di mana kita hidup. Makna berasal dari interaksi dan tidak dari cara yang lain. Pada saat yang sama
“pikiran” dan “diri” timbul dalam konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal
balik antara masyarakat, pengalaman individu dan interaksi menjadi bahan bagi
penelahaan dalam tradisi interaksi simbolik (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 136).
Teori interaksi simbolik adalah hubungan antara simbol dan interaksi.
Orang bertindak berdasarkan makna simbolik yang muncul dalam sebuah situasi
tertentu. Simbol dalam interaksi komunikasi dipertukarkan melalui bahasa verbal
dan non verbal. Bahasa verbal adalah bahasa yang menggunakan kata-kata
sedangkan bahasa non verbal lebih menekankan pada bahasa tubuh atau bahasa
isyarat.
2.2.1.1.1 Bahasa Verbal
Dalam komunikasi verbal bahasa digunakan sebagai alat untuk
mengekspresikan diri. Bahasa menjadi alat utama yang digunakan manusia untuk
berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Simbol atau pesan verbal adalah
semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua
rangsangan bicara yang kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal
disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan
dengan orang lain secara sengaja. Sistem kode verbal tersebut adalah bahasa.
Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk
mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu
komunitas. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan
berbagai aspek realitas individual. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk
menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud yang ingin disampaikan (Mulyana,
kata yang telah disusun secara berstruktur sehingga menjadi himpunan kalimat
yang mengandung arti (Cangara, 2006: 95).
Kemampuan berbahasa manusia merupakan akibat dari pembesaran dan
perkembangan otak manusia. Salah satu pandangan mengatakan bahwa
orang-orang yang hidup di berbagai dunia merasa perlu merancang solusi untuk
memecahkan masalah yang mereka hadapi. Dalam hal ini, mereka menciptakan
berbagai cara hidup, dan bersama hal itu bahasa-bahasa berlainan untuk
memenuhi kebutuhan mereka. Kita sering tidak menyadari betapa pentingnya
bahasa karena kita menggunakannya sepanjang hidup. Kita baru sadar bahasa itu
penting ketika kita berjumpa dengan individu dari daerah yang berbeda. Banyak
orang yang tidak sadar bahwa bahasa itu terbatas. Porsi komunikasi verbal hanya
35% dari keseluruhan komunikasi manusia (Mulyana, 2007: 265-269).
Bahasa merupakan aspek yang penting dalam mempelajari komunikasi
antarbudaya. Melalui bahasa individu belajar nilai dan perilaku budaya orang lain.
Sejalan dengan pernyataan Salzmann yang menyatakan bahwa budaya manusia
dengan segala kerumitannya tidak akan berkembang dan tidak dapat dipikirkan
tanpa bantuan bahasa. Bahasa dan budaya bekerja sama dalam hubungan yang
saling menguntungkan yang menjamin keberadaan dan kelangsungan keduanya.
Bahasa dibutuhkan untuk memiliki suatu budaya sehingga anggota suatu
kelompok dapat berbagi kepercayaan, nilai dan perilaku dan terlibat dalam usaha
komunal. Sebaliknya, budaya dibutuhkan untuk mengatur pribadi yang berlainan
ke dalam kelompok yang kompak, sehingga kepercayaan, nilai, perilaku dan
aktivitas komunikasi dapat terbangun. Jelas bahwa bahasa dan budaya tidak dapat
dipisahkan. Konsep mengenai hubungan simbiosis antara budaya dan bahasa
disimpulkan oleh Carroll ketika mengatakan “sepanjang bahasa berbeda caranya
dalam menyimbolkan suatu pengalaman objektif, pengguna bahasa cenderung
untuk memilih dan membedakan pengalaman secara berbeda sesuai dengan
kategori yang ada pada bahasa mereka masing-masing” (Samovar, Porter, dan
McDaniel, 2010: 273-275).
2.2.1.1.2 Bahasa Nonverbal
Dalam berkomunikasi manusia tidak hanya menggunakan bahasa verbal
melalui bahasa verbal (halus, kasar, intelektual, dan sebagainya) namun juga
melalui perilakunya. Lewat perilaku nonverbalnya, individu dapat mengetahui
suasana emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia atau sedih. Kesan awal
pada seseorang sering didasarkan perilaku nonverbalnya yang mendorong kita
mengenalnya lebih jauh. Secara sederhana, pesan nonverbal diartikan sebagai
semua isyarat yang bukan kata-kata. Pesan-pesan nonverbal sangat berpengaruh
dalam komunikasi. Sebagaimana kata-kata, kebanyakan isyarat nonverbal juga
tidak universal, melainkan terikat oleh budaya yang dipelajari bukan bawaan.
Hanya sedikit isyarat nonverbal yang bawaan seperti bagaimana tersenyum
(Mulyana, 2007: 342-343).
Manusia menggunakan pesan nonverbal untuk menjelaskan keadaan sosial
dan emosi dari hubungan dan interaksi. Banyak arti penting yang dihasilkan
dalam interaksi manusia dapat diperoleh dari sentuhan, lirikan, nuansa vokal,
gerakan atau ekspresi wajah dengan atau tanpa pertolongan kata-kata. Mulai dari
saat bertemu dan berpisah, orang-orang saling mengamati dengan semua indra
mereka, intonasi, cara berpakaian dan sikap diri, mengamati lirikan dan
ketegangan wajah, juga memilih kata-kata. Setiap tanda keharmonisan dan
ketidak harmonisan mengarah pada interpretasi dari suasana hati yang ada. Di luar
evaluasi kinetis, vokal, dan isyarat verbal, keputusan dibuat untuk disetujui atau
dibantah, untuk ditertawakan atau dipermalukan, untuk beristirahat atau ditentang,
untuk melanjutkan atau memotong suatu pembicaraan.
Bahasa verbal dan nonverbal dalam kenyataannya jalin menjalin dalam
suatu aktivitas komunikasi tatap muka. Keduanya dapat berlangsung spontan dan
serempak. Dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal
mempunyai fungsi-fungsi berikut :
1. Fungsi Repetisi; perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal
2. Fungsi Komplemen; perilaku nonverbal memperteguh atau melengkapi
perilaku verbal
3. Fungsi Substitusi; perilaku nonverbal; dapat menggantikan perilaku
verbal
5. Fungsi Kontradiksi; perilaku nonverbal dapat membantah atau
bertentangan dengan perilaku verbal (Mulyana, 2007: 350).
Jika antara pesan verbal dan pesan nonverbal terdapat pertentangan, kita
biasanya lebih mempercayai pesan nonverbal yang menunjukkan pesan yang
sebenarnya karena pesan nonverbal lebih sulit untuk dikendalikan daripada pesan
verbal. Menurut Ray L. Birdwhistell, 65% dari komunikasi tatap-muka adalah
bahasa nonverbal, sementara menurut Albert Mehrabian 93% dari semua makna
sosial dalam komunikasi tatap-muka diperoleh dari isyarat-isyarat nonverbal
(Mulyana, 2007: 351).
Pada dasarnya bahasa verbal dan bahasa nonverbal tidak terlepas dari
konteks budaya. Dengan memahami perbedaan budaya dalam perilaku nonverbal,
individu tidak hanya akan dapat memahami beberapa pesan yang dihasilkan
selama interaksi, namun juga akan dapat mengumpulkan petunjuk mengenai
tindakan dan nilai yang mendasarinya. Komunikasi nonverbal terkadang
menunjukkan sifat dasar dari suatu budaya. Terdapat kesamaan antara budaya dan
perilaku nonverbal adalah bahwa keduanya dikerjakan menurut naluri dan
dipelajari. Walaupun banyak perilaku individu merupakaan bawaan (seperti
senyuman, gerakan, sentuhan dan kontak mata), tetapi invidu tidak lahir dengan
pengetahuan mengenai dimensi komunikasi yang diasosiasikan dengan pesan
nonverbal (Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 297-298).
Pesan-pesan nonverbal ini dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara.
Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi kedalam dua kategori besar,
yakni: pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan parabahasa;
kedua, ruang, waktu, dan sikap diam. Klasifikasi ini sejajar dengan klasifikasi John R. Wenburg dan William W. Wilmot, yakni isyarat-isyarat nonverbal
perilaku dan isyarat-isyarat nonverbal bersifat publik seperti ukuran ruangan dan
sifat-sifat situsional lainnya (Mulyana, 2007: 352-353).
2.2.2 Culture Shock
Proses individu memperoleh aturan-aturan budaya komunikasi dimulai
pola-pola budaya ditanamkan ke dalam diri individu dan menjadi kepribadian dan
perilaku individu. Proses belajar yang terinternalisasikan ini memungkinkan
individu untuk berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya yang juga
memiliki pola-pola komunikasi serupa. Proses memperoleh pola-pola demikian
oleh individu itu disebut enkulturasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 138). Enkulturasi mengacu pada proses dimana budaya ditransmisikan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Individu mempelajari budaya, bukan
mewarisinya. Kultur ditransmisikan melalui proses belajar bukan melalui gen.
Enkulturasi terjadi melalui orang tua, kelompok, teman, sekolah, lembaga
keagamaan, dan lembaga pemerintahan.
Individu yang memasuki budaya baru akan mengalami proses enkulturasi
yang kedua yang disebut dengan proses akulturasi. Akulturasi merupakan suatu
proses menyesuaikan diri dengan budaya baru, dimana suatu nilai masuk ke dalam
diri indiividu tanpa meninggalkan identitas budaya yang lama (Mulyana dan
Rakhmat, 2005: 139). Akulturasi mengacu pada proses dimana budaya seseorang
dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan budaya lain.
Misalnya sekelompok imigran yang tinggal di Jerman (budaya tuan rumah), maka
budaya kelompok imigran tersebut akan dipengaruhi oleh budaya tuan rumah.
Lambat laun, nilai-nilai, cara berperilaku serta kepercayaan dari budaya tuan
rumah akan menjadi bagian dari budaya kelompok imigran tersebut (Lubis, 2012:
21-22).
Proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan
berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang
imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru. Komunikasi berperan dalam
akulturasi. Variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi adalah komunikasi
personal yang meliputi karakteristik personal, motivasi individu, pengetahuan
individu tentang budaya baru, pengalaman sebelumnya; komunikasi sosial yang
meliputi komunikasi antarpersonal (verbal dan nonverbal); serta lingkungan
komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 140).
Secara psikologis, dampak dari akulturasi adalah stress pada
individu-invidu yang berinteraksi dalam pertemuan budaya tersebut. Fenomena ini
komunikasi dengan kontak antarpersona secara langsung seringkali menimbulkan
frustasi. Istilah culture shock diperkenalkan oleh seorang antropolog yang bernama Kalvero Oberg pada tahun 1960. Kalvero Oberg memberikan definisi
yang detail mengenai fenomena ini dalam paragraf berikut :
Kejutan budaya ditimbulkan oleh rasa gelisah sebagai akibat dari hilangnya semua tanda dan simbol yang biasa kita hadapi dalam hubungan sosial. Tanda dan petunjuk ini terdiri atas ribuan cara di mana kita mengorientasikan diri kita sendiri dalam kehidupan sehari-hari; bagaimana memberikan petunjuk, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana untuk tidak berespons. Petunjuk ini dapat berupa kata-kata, gerakan, ekspresi wajah, kebiasaan atau norma, diperlukan oleh kita semua dalam proses pertumbuhan dan menjadi bagian dari budaya kita sama halnya dengan bahasa yang kita ucapkan dan kepercayaan yang kita terima. Kita semua menginginkan ketenangan pikiran dan efisiensi ribuan petunjuk tersebut yang kebanyakan tidak kita sadari.
Dari defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa kejutan budaya adalah rasa
cemas dan kaget ketika individu memasuki budaya baru yang berbeda dengan
budaya yang sudah melekat pada dirinya. Budaya yang sudah melekat pada diri
individu ketika memasuki budaya baru akan tidak efektif karena setiap budaya
mempunyai caranya tersendiri. Mulyana mendefinisikan culture shock sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan tanda-tanda dan
lambang-lambang yang familiar dalam hubungan sosial. Tanda-tanda atau
petunjuk-petunjuk itu meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam
mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi sehari-hari (Mulyana
dan Rakhmat, 2005: 174).
Lundstedt mengatakan bahwa gegar budaya adalah suatu bentuk
ketidakmampuan menyesuaikan diri (personality mal-adjustment) yang merupakan reaksi terhadap upaya sementara yang gagal untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan dan orang-orang baru. Sedangkan menurut P. Harris dan R.
Moran, gegar budaya adalah trauma umum yang dialami seseorang dalam suatu
budaya yang baru dan berbeda karena ia harus belajar dan mengatasi begitu
banyak nilai budaya dan pengharapan baru, sementara nilai budaya dan
pengharapan budayanya yang lama tidak lagi sesuai. Meskipun gegar budaya
sering dikaitkan dengan fenomena memasuki suatu budaya (yang identik dengan
juga merujuk pada agama baru, lembaga pendidikan (sekolah atau universitas)
baru, lingkungan kerja baru, atau keluarga besar baru yang dimasuki lewat
perkawinan (mertua, ipar, dan sebagainya). Bennet menyebut fenomena yang
diperluas ini dengan sebutan transition shock, suatu konsekuensi alamiah yang disebabkan ketidakmampuan seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungan
baru dan berubah dalam berbagai situasi, seperti perceraian, relokasi, kematian
seseorang yang dicintai, dan perubahan nilai yang berkaitan dengan inovasi sosial
yang cepat, juga kehilangan kerangka rujukan yang dikenal dalam memasuki
budaya lain.
Pada dasarnya gegar budaya adalah berbenturan persepsi, yang
diakibatkan penggunaan persepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai
budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru
yang nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami. Individu biasanya menerima
begitu saja nilai-nilai yang dianut dan dibawa sejak lahir, yang juga
dikonfirmasikan oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, ketika individu
memasuki suatu lingkungan baru, ia mengahadapi situasi yang membuatnya
mempertanyakan kembali asumsi-asumsinya, tentang apa yang disebut kebenaran,
moralitas, kebaikan, kewajaran, kesopanan, kebijakan, dan sebagainya.
Benturan-benturan persepsi itu yang kemudian menimbulkan konflik dalam diri individu,
dan menyebabkannya merasa tertekan dan menderita stres. Efek stres inilah yang
disebut gegar budaya (Mulyana, 2007: 247-249).
Ketika memasuki suatu lingkungan yang baru, seseorang tidak langsung
mengalami gegar budaya. Fenomena itu dapat digambarkan dalam beberapa tahap.
Peter S. Adler (dalam Mulyana, 2007: 249) mengemukakan lima tahap dalam
pengalaman transisional ini: kontak, disintregasi, reintegrasi, otonomi, dan
independensi. Tahap kontak biasanya ditandai dengan kesenangan, keheranan, dan
kekagetan, karena seseorang melihat hal-hal yang eksotik, unik, dan luar biasa.
Setelah tahap “bulan madu” ini, individu mulai memasuki tahap kedua yang
ditandai dengan kebingungan dan disorientasi. Perbedaan menjadi lebih nyata
ketika perilaku, nilai, dan sikap yang berbeda mengganggu realitas perseptual
individu. Individu semakin jengkel, cemas, dam frustasi menghadapi perbedaan