• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Komunikasi Antar Budaya

2.2.1.1 Interaksi Simbolik

George Herbert Mead dikenal sebagai peletak dasar teori ini. Meskipun beberapa orang ilmuwan mempunyai andil utama sebagai perintis teori ini seperti James Mark Baldwin, William James, Charles Horton Cooley, John Dewy, William I. Thomas. Mead mengembangkan teori interaksi simbolik pada tahun 1920-an dan 1930-an ketika menjadi profesor filsafat di Universitas Chicago. Gagasan-gagasan Mead mengenai interaksi simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan-catatan kuliahnya melalui buku Mind, Self, and Society (1934). Buku ini terbit tak lama setelah Mead meninggal dan menjadi rujukan utama teori interaksi simbolik. Salah satu murid Mead yang bernama Herbert Blumer menciptakan istilah “interaksi simbolik” pada tahun 1937 dan mempopulerkannya di kalangan akademis (Mulyana, 2001: 68).

Teori ini menekankan pentingnya maksud dan penafsiran sebagai proses yang hakiki-manusiawi sebagai reaksi terhadap behavioralisme dan psikologi stimulus-respons yang mekanistis. Individu menciptakan makna bersama melalui interaksinya, dan bagi mereka makna itulah yang menjadi realitasnya (Suyanto dan Sutinah, 2008: 180).

Esensi teori ini adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Teori ini mengatakan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan

mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek, dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya, atau tuntutan peran. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekililing mereka.

Dalam pandangan interaksi simbolik, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial. Bagi interkasi simbolik, masyarakat adalah proses interaksi simbolik. Kehidupan sosial pada dasarnya interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol yang digunakan oleh individu mempresentasikan apa yang dimaksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol tersebut terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. Pada dasarnya manusia adalah perilaku manusia adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka.

Interaksi simbolik didasarkan premis-premis berikut. Pertama, individu merespons suatu situasi simbolik. Mereka merespons lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Inividulah yang dipandang aktif untuk menentukan lingkungan mereka sendiri. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu kewaktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Teori ini berpandangan bahwa kenyataan sosial didasarkan kepada definisi dan penilaian subjektif individu. Struktur sosial merupakan definisi bersama yang dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok, yang menghubungkannya satu

sama lain. Tindakan-tindakan individu dan juga pola interaksinya dibimbing oleh definisi bersama yang sedemikian itu dan dikonstruksikan melalui proses interaksi (Mulyana, 2001: 69-73).

Karya Mead yang paling terkenal ini menggarisbawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksi simbolik. Tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain. Dari itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi soisal (diri/self dengan yang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) di mana kita hidup. Makna berasal dari interaksi dan tidak dari cara yang lain. Pada saat yang sama “pikiran” dan “diri” timbul dalam konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal balik antara masyarakat, pengalaman individu dan interaksi menjadi bahan bagi penelahaan dalam tradisi interaksi simbolik (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 136).

Teori interaksi simbolik adalah hubungan antara simbol dan interaksi. Orang bertindak berdasarkan makna simbolik yang muncul dalam sebuah situasi tertentu. Simbol dalam interaksi komunikasi dipertukarkan melalui bahasa verbal dan non verbal. Bahasa verbal adalah bahasa yang menggunakan kata-kata sedangkan bahasa non verbal lebih menekankan pada bahasa tubuh atau bahasa isyarat.

2.2.1.1.1 Bahasa Verbal

Dalam komunikasi verbal bahasa digunakan sebagai alat untuk mengekspresikan diri. Bahasa menjadi alat utama yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan bicara yang kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara sengaja. Sistem kode verbal tersebut adalah bahasa. Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud yang ingin disampaikan (Mulyana, 2007: 260-261). Menurut Hafied Cangara, bahasa dapat didefiniskan seperangkat

kata yang telah disusun secara berstruktur sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung arti (Cangara, 2006: 95).

Kemampuan berbahasa manusia merupakan akibat dari pembesaran dan perkembangan otak manusia. Salah satu pandangan mengatakan bahwa orang-orang yang hidup di berbagai dunia merasa perlu merancang solusi untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi. Dalam hal ini, mereka menciptakan berbagai cara hidup, dan bersama hal itu bahasa-bahasa berlainan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kita sering tidak menyadari betapa pentingnya bahasa karena kita menggunakannya sepanjang hidup. Kita baru sadar bahasa itu penting ketika kita berjumpa dengan individu dari daerah yang berbeda. Banyak orang yang tidak sadar bahwa bahasa itu terbatas. Porsi komunikasi verbal hanya 35% dari keseluruhan komunikasi manusia (Mulyana, 2007: 265-269).

Bahasa merupakan aspek yang penting dalam mempelajari komunikasi antarbudaya. Melalui bahasa individu belajar nilai dan perilaku budaya orang lain. Sejalan dengan pernyataan Salzmann yang menyatakan bahwa budaya manusia dengan segala kerumitannya tidak akan berkembang dan tidak dapat dipikirkan tanpa bantuan bahasa. Bahasa dan budaya bekerja sama dalam hubungan yang saling menguntungkan yang menjamin keberadaan dan kelangsungan keduanya. Bahasa dibutuhkan untuk memiliki suatu budaya sehingga anggota suatu kelompok dapat berbagi kepercayaan, nilai dan perilaku dan terlibat dalam usaha komunal. Sebaliknya, budaya dibutuhkan untuk mengatur pribadi yang berlainan ke dalam kelompok yang kompak, sehingga kepercayaan, nilai, perilaku dan aktivitas komunikasi dapat terbangun. Jelas bahwa bahasa dan budaya tidak dapat dipisahkan. Konsep mengenai hubungan simbiosis antara budaya dan bahasa disimpulkan oleh Carroll ketika mengatakan “sepanjang bahasa berbeda caranya dalam menyimbolkan suatu pengalaman objektif, pengguna bahasa cenderung untuk memilih dan membedakan pengalaman secara berbeda sesuai dengan kategori yang ada pada bahasa mereka masing-masing” (Samovar, Porter, dan McDaniel, 2010: 273-275).

2.2.1.1.2 Bahasa Nonverbal

Dalam berkomunikasi manusia tidak hanya menggunakan bahasa verbal tetapi juga menggunakan bahasa nonverbal. Manusia dipersepsikan tidak hanya

melalui bahasa verbal (halus, kasar, intelektual, dan sebagainya) namun juga melalui perilakunya. Lewat perilaku nonverbalnya, individu dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia atau sedih. Kesan awal pada seseorang sering didasarkan perilaku nonverbalnya yang mendorong kita mengenalnya lebih jauh. Secara sederhana, pesan nonverbal diartikan sebagai semua isyarat yang bukan kata-kata. Pesan-pesan nonverbal sangat berpengaruh dalam komunikasi. Sebagaimana kata-kata, kebanyakan isyarat nonverbal juga tidak universal, melainkan terikat oleh budaya yang dipelajari bukan bawaan. Hanya sedikit isyarat nonverbal yang bawaan seperti bagaimana tersenyum (Mulyana, 2007: 342-343).

Manusia menggunakan pesan nonverbal untuk menjelaskan keadaan sosial dan emosi dari hubungan dan interaksi. Banyak arti penting yang dihasilkan dalam interaksi manusia dapat diperoleh dari sentuhan, lirikan, nuansa vokal, gerakan atau ekspresi wajah dengan atau tanpa pertolongan kata-kata. Mulai dari saat bertemu dan berpisah, orang-orang saling mengamati dengan semua indra mereka, intonasi, cara berpakaian dan sikap diri, mengamati lirikan dan ketegangan wajah, juga memilih kata-kata. Setiap tanda keharmonisan dan ketidak harmonisan mengarah pada interpretasi dari suasana hati yang ada. Di luar evaluasi kinetis, vokal, dan isyarat verbal, keputusan dibuat untuk disetujui atau dibantah, untuk ditertawakan atau dipermalukan, untuk beristirahat atau ditentang, untuk melanjutkan atau memotong suatu pembicaraan.

Bahasa verbal dan nonverbal dalam kenyataannya jalin menjalin dalam suatu aktivitas komunikasi tatap muka. Keduanya dapat berlangsung spontan dan serempak. Dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal mempunyai fungsi-fungsi berikut :

1. Fungsi Repetisi; perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal 2. Fungsi Komplemen; perilaku nonverbal memperteguh atau melengkapi

perilaku verbal

3. Fungsi Substitusi; perilaku nonverbal; dapat menggantikan perilaku verbal

5. Fungsi Kontradiksi; perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan perilaku verbal (Mulyana, 2007: 350).

Jika antara pesan verbal dan pesan nonverbal terdapat pertentangan, kita biasanya lebih mempercayai pesan nonverbal yang menunjukkan pesan yang sebenarnya karena pesan nonverbal lebih sulit untuk dikendalikan daripada pesan verbal. Menurut Ray L. Birdwhistell, 65% dari komunikasi tatap-muka adalah bahasa nonverbal, sementara menurut Albert Mehrabian 93% dari semua makna sosial dalam komunikasi tatap-muka diperoleh dari isyarat-isyarat nonverbal (Mulyana, 2007: 351).

Pada dasarnya bahasa verbal dan bahasa nonverbal tidak terlepas dari konteks budaya. Dengan memahami perbedaan budaya dalam perilaku nonverbal, individu tidak hanya akan dapat memahami beberapa pesan yang dihasilkan selama interaksi, namun juga akan dapat mengumpulkan petunjuk mengenai tindakan dan nilai yang mendasarinya. Komunikasi nonverbal terkadang menunjukkan sifat dasar dari suatu budaya. Terdapat kesamaan antara budaya dan perilaku nonverbal adalah bahwa keduanya dikerjakan menurut naluri dan dipelajari. Walaupun banyak perilaku individu merupakaan bawaan (seperti senyuman, gerakan, sentuhan dan kontak mata), tetapi invidu tidak lahir dengan pengetahuan mengenai dimensi komunikasi yang diasosiasikan dengan pesan nonverbal (Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 297-298).

Pesan-pesan nonverbal ini dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara. Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi kedalam dua kategori besar, yakni: pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan parabahasa; kedua, ruang, waktu, dan sikap diam. Klasifikasi ini sejajar dengan klasifikasi John R. Wenburg dan William W. Wilmot, yakni isyarat-isyarat nonverbal perilaku dan isyarat-isyarat nonverbal bersifat publik seperti ukuran ruangan dan sifat-sifat situsional lainnya (Mulyana, 2007: 352-353).

Dokumen terkait