• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Wawancara dan Pengamatan .1 Informan 1 .1 Informan 1

Mahasiswa non Papua

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.3 Hasil Wawancara dan Pengamatan .1 Informan 1 .1 Informan 1

Nama : Rince Wenda

Tanggal Wawancara : 29 April 2014 Waktu Wawancara : 15:32 – 16.20 WIB Tempat Wawancara : Asrama Putri USU

Rince Wenda atau yang biasa akrab disapa Rince adalah seorang mahasiswa fakultas kesehatan masyarakat yang menjadi informan pertama dalam penelitian ini. Peneliti mengenal Rince dari Duma yang merekomendasikan untuk menjadi informan pertama. Peneliti berjumpa dengan Rince di asrama putri. Awal wawancara terlebih dahulu peneliti memperkenalkan diri serta menjelaskan tujuan penelitian yang sedang dilakukan. Setelah Rince memberikan tanggapan yang positif terhadap peneliti, wawancara pun dimulai. Proses wawancara sempat terganggu karena adanya suara sepeda motor yang lewat di depan kami saat wawancara sedang berlangsung. Tapi syukurnya hal itu masih bisa diatasi. Pada saat wawancara berlangsung, peneliti mengamati ketika peneliti mengajukan pertanyaan, Rince agak sedikit berpikir untuk menjawab pertanyaan tersebut. Ada pertanyaan yang tidak dijawab oleh Rince tapi hanya dibalas dengan anggukan kepala. Namun semua itu bisa peneliti atasi sehingga tidak terlalu menjadi hambatan bagi peneliti.

Bagi Rince ini adalah kali pertama ia datang ke Medan dan sebelumnya ia tidak tahu sama sekali tentang kota Medan. Walau begitu tidak ada ketakutan bagi Rince ketika akan ke Medan. Kota studi Medan khususnya USU, bukanlah pilihan Rince ketika mengikuti program afirmasi ini. Namun ia memilih UI dan UGM yang letak di pulau Jawa dengan alasan letak geografis yang lebih dekat dari panitia. Namun panitia lokal menempatkan Rince di Medan khususnya USU.

Nggak ada, saya juga mau lihat kota Medan itu gimana. Nggak sempat tanya-tanya tapi saya cuma pastikan aja kalau kami akan ke kota medan. Enggak ada rasa takut. Sebelumnya saya juga pernah ke jawa dalam rangka jalan-jalan. Sebenarnya saya tidak memilih USU, pilihan saya ke Jawa karena lebih dekat ke Papua. Tetapi dari panitia lokal yang menentukan saya masuk di USU. Pilihan pertama di UI dan kedua di UGM”

Dalam pergaulan sehari-hari baik di kampus maupun di asrama, Rince memilih untuk berteman dengan siapa saja tanpa pernah memandang suku seseorang. Ia mengaku banyak yang mengenalnya karena ia berasal dari Papua.

Saya berteman dengan semua orang dari Aceh, Batak pokoknya semuanya lah. Kami dari Papua kan jarang. Banyak yang kenal kami tapi kami nggak kenal semua.”

Di asrama, Rince lebih dekat dengan teman-teman yang berasal dari Papua karena kamar mereka yang berdekatan. Namun begitu, bukan berarti ia tidak berinteraksi dengan penghuni asrama lainnya bahkan Rince juga sering kumpul dengan teman-teman asrama lainnya.

Lebih dekat dengan teman-teman dari Papua karena tinggalnya kan sama-sama tapi kalau di asrama sini sama semuanya. Kalau biasanya makan bersama orang-orang Papua, tapi kalau mahasiswa lain mau gabung silahkan. Biasanya kalau dengan teman-teman asrama nonton bareng, buat tugas. Menurutku teman-teman Papua lain juga mau bergabung dengan teman-teman lain”

Dalam perkuliahan, Rince mengaku tidak terlalu mengalami kendala, bahkan IPK nya hampir 3.Walaupun terkadang masih ada rasa takut ketika ingin bertanya kepada dosen.

“Nggak ada kendala. Pelajarannya bisa diterima dengan baik. Kalau ada kesempatan bertanya, saya nggak sempat bertanya. Kadang waktunya tapi juga agak sedikit takut mau tanya dengan dosen, takut salah ngomong kayak belum siap tanyanya. IPK saya hampir 3

Ketika pertama kali sampai di Medan, Rince sempat merasa tidak nyaman dengan tanggapan masyarakat Medan bahwa ia adalah orang Ambon. Selain itu Rince juga pernah hampir ribut dengan supir angkot yang ia tumpangi karena masalah ongkos.

Orang-orang sini kan belum kenal kami lebih dalam. Biasanya orang-orang sini panggil kami “beta” padahal itu kan orang Ambon kalau lagi jalan. Jadi pikir kami oh orang itu panggil diri mereka sendiri kami firasatnya gitu. Tapi sempat ada pikiran negatif juga ke gitu dibilang kami beta kan kurang enak, merasa terganggu dengan itu. Kami kan bukan beta. karena kami emosi jadi kami marah-marah aja nggak bisa sabar. Pernah supir angkot suka asal-asalan. Pernah juga supir angkotnya teriak karena kekurangan ongkos. Disitu saya marah dengan supir angkot karena biasanya kan saya bayar 2000 ini kok dibilang kurang. Kaget saya waktu dibentak.”

Sebelum ke Medan, Rince sempat mendengar dan mengetahui mengenai masyarakat Medan dan setelah ia tinggal di Medan ternyata ia punya tanggapan

sendiri terhadap masyarakat kota Medan. Menurut Rince karakter orang Medan dengan Papua sama hanya beberapa saja yang berbeda.

Orang Medan ini ramah-ramah dan baik juga. Orang Medan itu kasar, itu yang harus diubah. Orang papua dengan orang batak sama tapi wataknya yang beda. Bedanya cara panggil orang. Kalau di Papua mau panggil orang kita yang datangi orangnya. Kalau di Medan kan diteriakin. Kalau cara bergaul kan uda biasa. Bergaul disana dengan disini sama aja

Rince sempat mengalami kendala bahasa dalam komunikasi. Ada beberapa kata yang tidak pernah di pakai di Papua dan juga yang tidak biasa dipakai disana.

Kami nggak tau kata “nengok-nengok” ketika orang pertama kali ada orang bilang “apa nengok-nengok?” kami saling lihat aja nggak tau artinya apa. Rupanya artinya lihat. Terus disana bukan “kau” tapi ko. “Kau” itu panggilan kasar, pakai saya karena kan bahasanya yang resmi. Bagi saya “kau” itu kasar.

Ternyata sebelum ke Medan, Rince sempat mendengar mitos yang mengerikan tentang masyarakat Medan. Tetapi Rince tidak terlalu percaya dan mempedulikan terhadap mitos tersebut.

“Saya tau mitos yang katanya orang Medan makan manusia. Tapi itu kan dulu dan saya nggak bakalan pikir kesana.

Mahasiswa Papua sering berkumpul, mereka setiap hari minggu beribadah bersama di salah satu gereja di Kota Medan. Ketika berkumpul mahasiswa Papua tetap menggunakan bahasa Indonesia karena setiap suku mempunyai bahasa yang berbeda-beda. Untuk Rince sendiri ia mengerti bahasa daerahnya.

Kami kan berbagai suku datang dari sana. Jadi bahasanya beda-beda. kalau kumpul biasanya ngomong bahasa Indonesia sama kayak di Papua tetap menggunakan bahasa Indonesia bahkan di rumah pun pakai bahasa Indonesia juga. Saya ngerti bahasa daerah.”

Rince tidak memiliki saudara di Medan, tetapi setelah tinggal di Medan ia memiliki abang asuh yang sudah dia anggap seperti abangnya sendiri. Ketika ada masalah Rince sering bercerita pada abang asuhnya, bahkan abang asuhnya sendiri bilang kalau lagi kekurangan uang bilang aja ke dia nanti akan dibantu semampunya.

Tapi kami disini punya abang angkat, dia abang rohani abang pembina dari komunitas Papua. Waktu pertama kali ke medan mereka yang menyambut. Dia bapaknya Manado mamaknya Medan. Memang domisili di Medan. Mereka itu sering membina kami dalam bidang rohani jadi anggaplah mereka itu sebagai abang kami sendiri, kayak misalnya kami nggak punya uang itu kami ceritanya ke dia.”.

Hidup jauh dari orang tua membuat Rince rindu dengan keluarganya. Apalagi ketika liburan kuliah ia tidak pernah pulang ke Papua karena lokasinya yang terlalu jauh dari Medan. Ia hanya ke Jakarta ke tempat abangnya.

Apalagi saya nggak pernah pulang ke Papua kak. Aku cuma pulang ke Jakarta aja tempat abang. Sering saya rindu dengan orang tua kan uda lama nggak jumpa.”

Terdapat beberapa kebiasaan yang berbeda antara di Papua dan Medan. Mulai dari cara menyapa seseorang hingga urusan makanan.

Kalau disana walaupun kami tidak saling mengenal tapi saling sapa. Kalau ada orang yang lebih tua kami harus saling sapa. Tapi disini kami bingung. Misalnya kami bilang “selamat sore” tapi orang senyum-senyum aja. Kami merasa kok disini gini ya disana gitu. Pokoknya setiap orang yang dijumpa kami harus saling sapa. Makanan pokok kami disana ubi kadang sagu, tapi itu kan makanan khasnya. Kalau di Medan kan nggak ada makanan khasnya. Kami disana nggak makan pedas. Waktu ke Medan semua makanannya pedas. Pernah sakit perut tapi ga pernah sampai masuk rumah sakit. Waktu pertama kali makan, perut kami sakit, kami kan disana nggak makan pedas kak. Butuh waktu seminggu untuk menyesuaikan bisa makan pedas.”

Walaupun terdapat perbedaan hidup di Medan dan di Papua, tetapi Rince sudah mulai terbiasa dan nyaman dengan kehidupan di Medan termasuk juga makanan dan karakter masyarakat Medan. Bahkan selama tinggal di Medan ia belum pernah mengalami konflik.

Saya sekarang sudah terbiasa dengan watak orang Medan yang keras dan kasar. Saya sudah mulai beradaptasi tinggal di Medan abis semester 1 nggak kayak dulu lagi. Kalau dulu kan suka takut-takut gitu misalnya takut-takut dibentak-bentak. Kalau konflik tidak ada. Kami hanya positif saja, nggak ada macam-macam”

4.1.3.2 Informan 2

Nama : Elius Pasi

Tanggal Wawancara : 14 Mei 2014 Waktu Wawancara : 13:21 - 14.29 WIB

Tempat Wawancara : Halaman Biro Rektor USU

Elius Pasi atau yang biasa disapa Elius adalah seorang mahasiswa jurusan peternakan di fakultas pertanian USU. Elius merupakan informan kedua yang peneliti wawancarai. Lelaki yang mengambil jurusan peternakan ini adalah sosok orang yang ramah dan murah senyum. Ketika wawancara berlangsung, Elius sempat terlihat gugup sehingga membuat peneliti juga ikut gugup.

Seperti pada informan sebelumnya, peneliti juga memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan penelitian sebelum mewawancarai beliau. Peneliti mengawali wawancara dengan menanyakan biodata Elius. Anak kedua dari 4 bersaudara ini sudah merantau sejak SD dan meninggalkan orang tuanya. Alasannya merantau adalah karena tidak ingin membebani ekonomi orang tuanya untuk menyekolahkannya. Elius mempunyai seorang abang yang juga sedang kuliah mengambil jurusan keperawatan, adik perempuan yang tahun ini akan masuk SMP dan adik cewek yang paling kecil tinggal bersama orang tuanya. Ia mempunyai kegemaran bermain bola kaki dan juga bola voli. Ketika wawancara, peneliti melihat Elius membawa sepeda motor. Karena rasa penasaran, peneiti pun bertanya motor siapa itu. Ternyata itu adalah motor teman kuliahnya yang sedang main di asramanya. Peneliti menilai bahwa Elius adalah orang yang pandai berteman buktinya temannya mau meminjamkannya sepeda motor untuk wawancara.

Elius datang ke Medan karena mengikuti program afirmasi beasiswa yang khusus ditujukan untuk putra-putri asli daerah Papua dan Papua Barat. Tidak

disangka ternyata Elius mengikuti program ini dan sampai di Medan sekarang karena kebetulan saja. USU bukanlah pilihan satu-satunya Elius untuk melanjutkan studi. Ia juga memilih IPB sebagai kampus pilihannya. Ketika dinyatakan lulus dikedua tempat tersebut, Elius pun memilih USU sebagai universitas tujuannya melanjutkan pendidikan walaupun sebelumnya tidak tahu sama sekali menenai USU dan juga Medan.

Oh itu secara kebetulan, tiba-tiba ada program ini, saya isi formulirnya maksudnya tuh saya lulus dua-duanya di IPB sama USU. Yah saya pilih di Medan laa. Tapi saya belum tau sebelumnya dan ternyata jauh dari Papua juga.

Memilih di antara dua pilihan bukanlah perkara yang mudah namun tidak begitu bagi Elius ketika diharuskan memilih antara USU dan IPB. Letak IPB yang lebih dekat dengan Papua merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pilihan Elius. Tetapi dengan santainya Elius mempunyai jawaban sendiri kenapa ia lebih memilih USU yang letaknya di Medan daripada IPB yang letaknya di Bogor.

“Begini alasannya simpel aja. Saya ingin tahu Medan tuh seperti apa orangnya. Kalau jauh memang sebetulnya lebih jauh, tapi ingin tahu Medan dan USU itu sepeti apa jadi aku pilihlah USU. Awalnya saya milih di IPB.”

Ini adalah kali pertama bagi Elius datang ke Medan dan ternyata sebelumnya ia juga tidak terlalu mengetahui Medan itu letak persisnya dimana. Elius hanya mengetahui pulau sumatera saja tanpa mengetahui kota Medan itu dimana.

Belum tahu. Cuma saya tahu pulau saja, tapi sumatera tapi Medan letaknya dibagian mana .”

Elius berangkat ke Medan pada tanggal 3 September. Pada saat itu ada 3 gelombang yang diberangkatkan, dan Elius masuk ke gelombang ketiga. Ketika pertama kali sampai di Medan ada rasa takut yang muncul dalam diri Elius

bagaimana nanti berinteraksi dengan teman-teman kampusnya yang baru dan juga menghadapi dosen. Tanggapan pertama Elius terhadap kota Medan adalah masyarakatnya ngomongnya kasar tetapi hatinya lembut. Sebelumnya ia belum pernah menghadapi orang yang bicaranya agak kasar. Pada saat di Medan ia bertemu dengan teman-teman yang ngomongnya kasar tetapi hatinya baik. Tetapi setelah beradaptasi Elius pun mulai terbiasa dengan keadaan Medan.

Emang kalau sebelumnya takut, jumpa sama dosen dengan teman-teman itu gimana. Tapi setelah beradaptasi itu uda terbiasa. Butuh waktu 3 bulan lebih saya beradaptasi kak. Lingkungan sama terhadap orang. Orangnya juga orang batak, namanyanya juga orang batak jadi ngomongnya kasar juga padahal hatinya itu lembut iya. Yang belum pernah saya hadapi yang belum pernah saya kenal orang-orang yang bicaranya agak kasar ngomongnya. Pada saat di Medan baru jumpa dengan teman-teman yang ngomongnya kasar tapi hatinya baik."

Interaksi Elius dengan teman-teman kampus terjalin sangat akrab. Tidak ada perbedaan yang terjadi di antara mereka karena Elius berasal dari timur. Semua teman-teman kampusnya menyambut kedatangan Elius dengan tangan terbuka. Meski begitu ada perasaan gugup ketika pertama kali datang ke kampus yang masih lingkungan baru bagi seorang Elius. Ketika peneliti menyebutkan kata “deg-degan” Elius agak sedikit berpikir. Ternyata di Papua itu kalau mau ngomong kata “deg-degan” itu adalah dug-dag.

Oh dug dag yaa, kalau dug dag pasti ada. Mereka welcome semua. Itu kalau di kampus paling akrab lah, nggak ada perbedaan kamu ini dari timur nggak ada.”

Elius bagaikan seorang bintang film ketika sedang berada di ruangan kelas. Banyak dosen yang mengenal Elius karena jarang-jarang ada mahasiswa asal Papua di USU. Apalagi Elius adalah angkatan pertama dari program afirmasi ini, jadi masih ada rasa penasaran dalam diri dosen ada apa mahasiswa asal Papua ini datang ke Medan. Jadi pada saat awal-awal kuliah, Elius selalu ditanyai oleh dosen yang masuk ke kelas yang Elius ambil ada alasan apa ia ke Medan jauh-jauh dari Papua. Elius pun langsung menjawab bahwa ia ke Medan karena mengikuti beasiswa afirmasi yang khusus untuk putra-putri asal Papua dan Papua Barat dan ia ditempatkan di USU. Selama masa perkuliahan Elius pernah

mengalami kendala yang dikarenakan suara dosennya yang pelan dan logat medannya ketika berbicara sehingga ia tidak bisa mendengar dengan jelas.

“Kalau dosen-dosen salut. Kalau di ruangan macam bintang film istilahnya. Jadi dosen-dosen banyak yang kenal saya. Mereka juga sering bertanya kenapa kamu kesini? Selalu ditanyain kalau didalam ruangan. Terus saya jawab untuk beasiswa. Kebetulan pemerintah tempat kan saya disini. Ada, kalau dosennya suaranya pelan dan logat medannya jadi nggak bisa dengar dia”

Semua mahasiswa asal Papua tinggal di asrama putra USU yang merupakan kebijakan dari biro rektor. Ia tinggal di lantai 2. Baginya semua hubungan dengan teman-teman asrama baik-baik semua dan Elius berteman dengan semua penghuni asrama walaupun mereka berasal dari asal dan suku yang berbeda. Bahkan di asrama pun Elius mempunyai teman dekat.

Kalau di asrama baik-baik semua itu. Saya tinggal di lantai 2. Ada cuma teman baik dikampus. Kalau di asrama ada juga.

Elius tidak pernah memilih dalam berteman, ia berteman dengan semuanya tidak melihat dari suku dan asal seseorang berasal. Bahkan walaupun ia berasal dari Papua, ia tidak selalu berteman dengan teman-teman seperjuangannya dari Papua, tapi ia berteman dengan semuanya dan biasanya ketika lagi berkumpul dengan teman-teman asal Papua mereka menggunakan bahasa Indonesia.

“Imbang berteman dengan mahasiswa Papua dan non Papua. Biasanya menggunakan bahasa Indonesia kalau lagi ngumpul dengan mahasiswa Papua lainnya.

Papua yang berada di ujung timur Indonesia dan Medan yang terletak di ujung bagian barat membuat adanya perbedaan bahasa dalam komunikasi sehari-hari. Ada beberapa kata yang tidak dimengerti oleh Elius bahkan ia pernah mengalami kendala bahasa selama tinggal di Medan. Hal ini dikarenakan mereka di Papua terbiasa menggunakan bahasa baku sedangkan di Medan terbiasa menggunakan bahasa yang lebih informal dan ada logat juga jargon tersendiri yang berkembang di Medan. Ada beberapa kata yang tidak dimengerti oleh Elius misalnya kata “enggak” yang jika di Papua mereka menggunakan kata “tidak” dan

juga kata “nengok”. Awalnya ketika pertama kali mendengar kata “nengok” Elius sempat bingung dan tidak mengerti arti dari kata tersebut. Tetapi setelah dijelaskan oleh temannya baru ia mengerti maksud dari kata “nengok”. Ada juga bahasa Medan yang tidak dimengerti seperti “cemana” yang artinya adalah bagaimana.

Ada juga kak. Kami kan pakai bahasa baku. Waktu kami datang kesini logatnya sudah beda dia misalnya “enggak” kalo kami “tidak” terus “nengok-nengok” “cemana”.

Selama dua tahun tinggal di Medan, Elius belum pernah pulang sekalipun ke Papua. Biasanya ia menghabiskan liburannya ke kampung halaman teman kampusnya. Ia sering diajak oleh teman kampusnya ke kampung halaman mereka. Ia mengaku rata-rata hampir semua sudah dijalani mulai dari daerah Dolok Sanggul, Toba bahkan daerah Karo.

Biasanya ke kampung teman, daerah dolok sanggul, daerah toba sana, daerah karo. Diajakin teman kampus, udah dijalanin semua rata-rata Medan ini. Cuma kepala aja yang belum aku pijak,

Tinggal jauh dari orang tuanya tidak membuat Elius merasakan rindu kampung halaman. Elius mengaku ia memang merasa sedih dan ada rasa kangen terhadap orang tuanya tapi letak geografis antara mereka sudah terlalu jauh makanya Elius sebisa mungkin menghapus rasa rindu terhadap orang tuanya. Elius sudah merantau sejak duduk di sekolah dasar. Alasannya merantau karena ia tidak ingin membebani orang tuanya dengan masalah ekonomi dimana orang tuanya harus memikirkan biaya untuk dirinya sekolah. Ia punya prinsip selagi masih muda ia mau mencoba segalanya. Kadang orang tuannya sering menghubungi Elius melalui telepon, tetapi Elius menjelaskan dan meminta ke orang tuanya untuk tidak menghubungi terlebih dahulu karena takut mengganggu dan membebani orang tuanya. Tak jarang juga saat Elius rindu dengan orang tuanya dia mau memulai menghubungi orang tuanya untuk sekedar menanyakan kabar.

Nggak ada. Saya dari SD merantau berpisah dari orang tua. Saya SMP di Wamena juga tapi tidak serumah tinggal dengan orang.

Cuma jumpa sama orang tua 4 kali pas dari SMP SMA. Memang sedih orang tuanya tapi yaa apa boleh buat sudah jauh letak geografis. Nggak pernah. Alasan saya berpisah dengan orang tua sayang nanti orang tua terganggu, kepikiran, membebani pikiran. Prinsip saya begini kak. Saya malas membenai orang tua saya. Saya jarang komunikasi dengan orang tua. Sering mereka telpon, tapi saya bilang jangan dulu telpon. Memang saya rindu kalian, saya tau kamu rindu saya tapi tunggu dulu saya tidak mau mengganggu kamu. Makanya semenjak saya berpisah dengan orang tua sejak SMP SMA, semenjak SMA pun belum pernah jumpa. Cuma jumpa sama orang tua 4 kali, terus telponan semenjak saya di Medan cuma 4 kali.

Selama dua tahun di Medan, Elius pernah mengalami kendala bahasa seperti perbedaan makna dan logat yang dipakai di Medan. Komunikasi di Papua biasa menggunakan bahasa baku sedangkan disini tidak. Selain itu disana jika ingin makan, mereka terbiasa mengucapkan kata “pergi” sebelum kata kerja utama. Misalnya Elius mau makan, dia akan mengatakan “Aku pergi makan dulu ya.” Begitu juga jika Elius mau main bola. Dia akan mengatakan “Saya pergi main bola dulu ya.” Sedangkan di Medan jika kita mau makan cukup berkata “Aku makan ya” tanpa ada kata “pergi”.

Ketika pertama kali datang ke Medan Elius merasa sendiri tidak ada saudara disini namun yang ia andalkan adalah teman-teman yang juga kuliah di USU. Namun setelah masuk ke kampus Elius senang melihat sambutan teman-temannya yang baik. Sempat awalnya takut salah bicara karena Elius tidak tahu

Dokumen terkait