• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelimpahan Jenis dan Estimasi Produktivitas Ficus spp. Sebagai Sumber Pakan Alami Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), TNGL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kelimpahan Jenis dan Estimasi Produktivitas Ficus spp. Sebagai Sumber Pakan Alami Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), TNGL."

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

KELIMPAHAN JENIS DAN ESTIMASI PRODUKTIVITAS

Ficus spp.

SEBAGAI SUMBER PAKAN ALAMI ORANGUTAN

SUMATERA

(

Pongo abelii

)

DI PUSAT PENGAMATAN

ORANGUTAN SUMATERA (PPOS)

TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

SKRIPSI

SANTY DARMA NATALIA PURBA 101201104

MANAJEMEN HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Peneletian : Kelimpahan Jenis dan Estimasi Produktivitas Ficus spp. Sebagai Sumber Pakan Alami Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), TNGL.

Nama : Santy Darma Natalia Purba

NIM : 101201104

Program Studi : Kehutanan

Minat : Manajemen Hutan

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Pindi Patana, S.Hut., M.Sc Dr. Erni Jumilawaty, S. Si., M.Si

Ketua Anggota

Mengetahui,

(3)

ABSTRACT

SANTY DARMA NATALIA PURBA. Spesies Abundance and Estimated

Productivity of Ficus spp. as Natural Food Sources Sumatran Orangutan (Pongo abelii) in Sumatra Orangutan Observation Center, Gunung Leuser National Park. Under Academic Supervision of PINDI PATANA and ERNI JUMILAWATY.

Ficus spp. a source of feed trees are keystone species for primates and birds. Availability feed Ficus spp., this needs to be evaluated. Therefore, the evaluation of the carrying capacity of the habitat quantitatively through the abundance of Ficus spp. and estimates of productivity growth of young leaves, fruits, and flowers Ficus spp. The methodology used in this research is the analysis of vegetation and methods Zweifel. The result showed an abundance of Ficus spp. the highest level found in poles form on trail 2 (2,106). Abundance of Ficus spp. relatively rare. Estimated productivity of young leaves were moderate. Estimated productivity tends to moderate interest. Estimated productivity of the fruit ranges from 1-100 pieces per month. Other species in ecological niches areblack squirrelsand rangkong birds.

(4)

ABSTRAK

SANTY DARMA NATALIA PURBA. Kelimpahan Jenis dan Estimasi

Produktivitas Ficus spp. sebagai Sumber Pakan Alami Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), TNGL. Di bawah bimbingan PINDI PATANA dan ERNI JUMILAWATY.

Ficus spp. merupakan sumber pohon pakan yang bersifat keystone species bagi primata dan burung. Ketersediaan pakan jenis Ficus spp. ini perlu dievaluasi. Oleh karena itu, evaluasi daya dukung habitat secara kuantitatif melalui kelimpahan jenis Ficus spp. dan estimasi produktivitas pertumbuhan daun muda, buah, dan bunga jenis Ficus spp. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis vegetasi dan metode Zweifel. Hasil penelitian diperoleh kelimpahan jenis Ficus spp. paling tinggi pada tingkat tiang ditemukan pada trail 2 (2.106). Kelimpahan jenis Ficus spp. tergolong jarang. Estimasi produktivitas daun muda tergolong sedang. Estimasi produktivitas bunga cenderung sedikit sampai sedang. Estimasi produktivitas buah berkisar 1-100 buah per bulan. Jenis satwa lain pada relung ekologi adalah tupai hitam dan burung rangkong.

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Doloksanggul pada tanggal 10 Januari 1991 dari ayah

Binsar Purba dan Lindawati Simanullang. Penulis merupakan anak pertama dari

lima bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Santa Maria

Doloksanggul pada tahun 1998-2004, kemudian dilanjutkan di SMP Negeri 2

Doloksanggul pada tahun 2004-2007, lalu dilanjutkan di SMA Negeri 1

Doloksanggul pada tahun 2007-2010. Pada tahun 2010, penulis diterima di

Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara

melalui jalur Ujian Masuk Bersama (UMB).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis telah melaksanakan Praktek

Pengenalan Ekosistem Hutan (PEH) pada tahun 2012 di Tahura dan Hutan

pendidikan Gunung Barus, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Kemudian

pada tahun 2014, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PT.

Sumalindo Hutani Jaya II dan PT. Surya Hutani Jaya Sebulu, Hutan Tanaman

Industri, Kalimantan Timur, Samarinda selama satu bulan dimulai Januari 2014

sampai Februari 2014.

Selama menjadi mahasiswa di Universitas Sumatera Utara penulis

mengikuti kegiatan organisasi seperti HIMAS (Himpunan Mahasiswa Sylva),

UKM KMK UP FP (Unit Kegiatan Mahasiswa Kumpulan Mahasiswa Kristen

Unit Pelayanan Fakultas Pertanian). Pada akhir kuliah, penulis melaksanakan

penelitian dengan judul “Kelimpahan Jenis dan Estimasi Produktivitas Ficus spp.

Sebagai Sumber Pakan Alami Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Pusat

Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), TNGL” dibawah bimbingan Pindi

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat

dan kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah

“Kelimpahan Jenis dan Estimasi Produktivitas Ficus spp. sebagai Sumber Pakan

Alami Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan

Sumatera (PPOS), TNGL”. Penelitian ini meliputi pengamatan terhadap

kelimpahan jenis Ficus spp.sebagai sumber pakan orangutan Sumatera (Pongo

abelii) dan pengamatan terhadap estimasi produktivitas jenis Ficus spp. ini. Pohon

pakan jenis yang menjadi objek penelitian merupakan Ficus spp. yang berada di

sekitar kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang,

TNGL.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ayahanda Binsar Purba dan Ibunda Lindawati br. Simanullang beserta

keluarga atas semua dukungan dan doanya.

2. Bapak Iskandarrudin, kepala SPTN Wilayah V Bahorok selaku pembimbing

lapangan selama melakukan penelitian.

3. Pihak pengelola Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, Bukit Lawang,

Taman Nasional Gunung Leuser.

4. Bapak Pindi Patana, S.Hut, M.Sc dan Ibu Dr. Erni Jumilawaty, S. Si., M. Si

selaku komisi pembimbing.

5. Ibu Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D selaku Ketua Program Studi Kehutanan

(7)

6. Teman-teman kampus yang turut memberikan motivasi yaitu Bungaran,

Rohana, Imelda dan semua mahasiswa Kehutanan USU.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, oleh karena itu

penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk

kesempurnaan skripsi ini

Medan, Juli 2014

(8)

DAFTAR ISI

Hlm

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Identifikasi Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi ... 5

Klasifikasi Orangutan... 8

Tipe Ekosistem Hutan Bukit Lawang ... 12

Potensi Tumbuhan Pakan di PPOS ... 14

Ara (Ficus spp). sebagai spesies kunci (keystone species) ... 15

Jenis-jenis Ficus spp. ... 16

Relung Ekologi (niche) ... 17

(9)

Daya Dukung Habitat ... 21

Kelimpahan Jenis ... 23

Produktivitas ... 25

Spatially Explicit Individual-Based Forest Simulator (SExl-FS) ... 26

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 27

Bahan dan Alat ... 27

Prosedur Penelitian... 27

Orientasi Lapangan ... 27

Pengukuran Produktivitas ... 33

Pengamatan Relung Ekologi ... 37

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Jenis Ficus spp. ... 38

Komposisi jenis ... 43

Keanekaragaman Jenis Ara (Ficus spp.) pada habitatOrangutan ... 49

Kelimpahan jenis Ficus spp. pada habitat Orangutan ... 50

Struktur tegakan ... 51

Produktivitas ... 55

Perkembangan Orangutan dan ketersediaan pakan Ficus spp... 60

Relung ekologi ... 63

KESIMPULAN DAN SARAN

(10)

DAFTAR TABEL

No. ... Hlm

1. Analisis Data Vegetasi Tingkat Pohon Jenis Ficus spp. ... 31

2. Tally sheet pengamatan produktivitas daun muda ... 33

3. Kriteria estimasi produktivitas daun muda ... 34

4. Tally sheet pengamatan produktivitas bunga Ficus spp. ... 34

5. Kriteria estimasi produktivitas bunga ... 34

6. Tally sheet pengamatan produktivitas buah Ficus spp. ... 35

7. Kriteria estimasi produktivitas pertumbuhan buah ... 35

8. Tallysheet pengamatan relung ekologi pada Ficus spp.... 36

9. Hasil identifikasi morfologi Ficus spp. pakan orangutan... 37

10.Indeks nilai penting pada tingkat pancang ... 42

11.Indeks nilai penting pada tingkat tiang ... 46

12.Indeks nilai penting pada tingkat pohon ... 47

13.Nilai Keanekaragaman Shannon-Wiener. ... 48

14.Kelimpahan jenis Ficus spp.,pada habitat orangutan ... 49

15.Hasil estimasi produktivitas daun muda ... 54

16.Hasil estimasi produktivitas bunga ... 56

17.Hasil estimasi produktivitas buah ... 58

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Hlm

1. Perbandingan jenis tumbuhan buah pakan orangutan Sumatera ... 19

2. Desain unit petak contoh di lapangan ... 41

3. Penampakan vertikal dan horizontal pada trail utama. ... 51

4. Penampakan vertikal dan horizontal pada trail satu ... 51

5. Penampakan vertikal dan horizontal pada trail dua. ... 51

6. Penampakan vertikal dan horizontal pada trail empat ... 52

7. Penampakan vertikal dan horizontal pada trail lima. ... 52

8. Penampakan vertikal dan horizontal pada trail enam. ... 52

9. Penampakan vertikal dan horizontal pada trail tujuh. ... 53

10.Penampakan vertikal dan horizontal pada trail delapan. ... 53

11.Penampakan vertikal dan horizontal pada trail sepuluh. ... 54

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. ... Hlm

1. Jenis-jenis pohon induk Ficus spp. ... 69

2. Jejak dan kotoran (tanda-tanda) satwa ... 71

3. Foto satwa yang ditemui di lapangan ... 73

4. Jenis pakan lain yang ditemukan di lapangan ... 74

5. Foto orangutan di lapangan ... 77

6. Pancang pada semua trail. ... 78

7. Tiang pada semua trail. ... 80

8. Pohon pada semua trail. ... 82

9. Rekapitulasi data tallysheet estimasi produktivitas... 84

10.Rekapitulasi estimasi produktivitas daun muda ... 86

11.Rekapitulasi estimasi produktivitas bunga ... 88

12.Rekapitulasi Estimasi Produktivitas buah ... 90

13.Tallysheet pengamatan relung ekologi... 92

14.Tallysheetstruktur tegakan ... 93

15.Tallysheetanalisis vegetasi jenis ... 95

16.Peta Sebaran Ficus spp. ... 101

17.Peta Lokasi Trail Penelitian di Kawasan Bukit Lawang. ... 102

18.Contoh penghitungan ... 103

19.Pertambahan Jumlah Orangutan Semi Liar di SPOS ... 107

20.Deskripsi estimasi produktivitas daun muda Zweifel ... 107

21.Deskripsi estimasi produktivitas bunga Zweifel ... 109

(13)

ABSTRACT

SANTY DARMA NATALIA PURBA. Spesies Abundance and Estimated

Productivity of Ficus spp. as Natural Food Sources Sumatran Orangutan (Pongo abelii) in Sumatra Orangutan Observation Center, Gunung Leuser National Park. Under Academic Supervision of PINDI PATANA and ERNI JUMILAWATY.

Ficus spp. a source of feed trees are keystone species for primates and birds. Availability feed Ficus spp., this needs to be evaluated. Therefore, the evaluation of the carrying capacity of the habitat quantitatively through the abundance of Ficus spp. and estimates of productivity growth of young leaves, fruits, and flowers Ficus spp. The methodology used in this research is the analysis of vegetation and methods Zweifel. The result showed an abundance of Ficus spp. the highest level found in poles form on trail 2 (2,106). Abundance of Ficus spp. relatively rare. Estimated productivity of young leaves were moderate. Estimated productivity tends to moderate interest. Estimated productivity of the fruit ranges from 1-100 pieces per month. Other species in ecological niches areblack squirrelsand rangkong birds.

(14)

ABSTRAK

SANTY DARMA NATALIA PURBA. Kelimpahan Jenis dan Estimasi

Produktivitas Ficus spp. sebagai Sumber Pakan Alami Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), TNGL. Di bawah bimbingan PINDI PATANA dan ERNI JUMILAWATY.

Ficus spp. merupakan sumber pohon pakan yang bersifat keystone species bagi primata dan burung. Ketersediaan pakan jenis Ficus spp. ini perlu dievaluasi. Oleh karena itu, evaluasi daya dukung habitat secara kuantitatif melalui kelimpahan jenis Ficus spp. dan estimasi produktivitas pertumbuhan daun muda, buah, dan bunga jenis Ficus spp. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis vegetasi dan metode Zweifel. Hasil penelitian diperoleh kelimpahan jenis Ficus spp. paling tinggi pada tingkat tiang ditemukan pada trail 2 (2.106). Kelimpahan jenis Ficus spp. tergolong jarang. Estimasi produktivitas daun muda tergolong sedang. Estimasi produktivitas bunga cenderung sedikit sampai sedang. Estimasi produktivitas buah berkisar 1-100 buah per bulan. Jenis satwa lain pada relung ekologi adalah tupai hitam dan burung rangkong.

(15)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Ketersediaan pakan orangutan di habitat alami menjadi faktor utama yang

berpengaruh pada keberlangsungan hidup orangutan. Jenis pohon pakan orangutan

beragam, salah satu jenis yang sangat disukai orangutan adalah Ficus spp. Faktor

lain yang mempengaruhi preferensi orangutan terhadap Ficus spp. adalah aroma

buah Ficus spp. Selain itu, Ficus spp. adalah jenis pohon yang berbuah sepanjang

tahun sehingga pohon ini sebagai pohon penyokong ketersediaan pakan orangutan

itu sendiri. Ketersediaan Ficus spp. sebagai sumber pakan primer bagi orangutan

baik orangutan semi liar dan liar.

Penelitian ini akan menjelaskan bagaimana ketersediaan pakan khususnya

Ficus spp. menjadi salah satu faktor penentu keseimbangan habitat orangutan.

Salah satu cara mengetahui ketersediaan pakan melalui analisis kelimpahan

jenis-jenis Ficus spp. di PPOS (Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera), TNGL. Selain

itu, melalui penelitian ini akan dilakukan analisis estimasi produktivitas

jenis-jenis Ficus spp. yang ada melalui pengamatan buah, bunga dan daun muda yang

tumbuh dalam rentang waktu yang ditentukan dan sesuai dengan pengamatan.

Lokasi penelitian adalah habitat orangutan Sumatera di PPOS, habitat

orangutan yang masih tersisa adalah di Desa Bukit Lawang, Kecamatan Bohorok,

Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara, yang berada dalam kawasan Taman

Nasional Gunung Leuser. Bukit Lawang merupakan bekas stasiun rehabilitasi

orangutan yang secara resmi ditutup pada tahun 1997 (SK Menteri Kehutanan

(16)

rehabilitasi, maka saat ini nama program yang berjalan di Bukit Lawang adalah

Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS).

Orangutan di wilayah Bahorok, Taman Nasional Gunung Leuser

mengkonsumsi buah sebanyak 55,6% dari pakan hariannya (Sinaga 1992). Jenis

tumbuhan yang paling sering dikonsumsi orangutan adalah beringin

(Ficus benjamina) (0,50%). Bagian yang dikonsumsi dapat berupa pucuk daun

atau kulit kayu. Cara orangutan mengkonsumsi kulit kayu sangat unik, biasanya

mereka menguliti kulit kayu hingga bagian kambium terlihat. Kulit kayu yang

diperoleh akan dikunyah untuk mendapatkan sarinya. Setelah dikunyah selama

beberapa saat, ampas kulit kayu akan dikeluarkan dari mulutnya. Menurut Zuraida

(2004), Ficus spp. sumber pakan alami yang sangat penting bagi orangutan. Dapat

dikatakan jenis ini merupakan jenis tumbuhan yang selalu dikonsumsi sepanjang

tahun. Ficus spp. mengandung senyawa kaolin dan menyediakan buah sepanjang

tahun sehingga keberadaanya dapat membantu kestabilan populasi orangutan.

Jenis orangutan yang berada di kawasan Pusat Pengamatan Orangutan

Sumatera adalah orangutan semi liar. Semi liar artinya jenis orangutan ini masih

memiliki sifat jinak. Hal ini disebabkan orangutan ini sebelumnya adalah jenis

orangutan yang di rehabilitasi, sifatnya tentu jauh berbeda dengan orangutan liar.

Selain itu, terkait dengan pemberian makannya juga di berikan oleh petugas PPOS

pada saat-saat tertentu, sehingga tidak sepenuhnya jenis orangutan semi liar ini

bergantung dengan pakan alam juga tidak sepenuhnya bergantung dengan pakan

yang diberikan oleh manusia, dalam hal ini petugas PPOS.

Saat ini, orangutan Sumatera di dunia hanya ditemukan di Pulau

(17)

Orangutan Sumatera yang juga merupakan daerah Ekowisata memiliki kawasan

yang cukup luas untuk jelajah orangutan. Namun demikian secara umum

pemberian makan pada orangutan masih diberikan oleh manusia, karena

orangutan yang terdapat di kawasan ini merupakan orangutan bekas pemeliharaan

manusia yang telah direhabilitasi.

Penelitian tentang Ficus spp. sangat diperlukan untuk menganalisis

ketergantungan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) terhadap jenis Ficus spp.

sebagai sumber pakan alami dibanding jenis pohon pakan lain. Selanjutnya, di

lakukan analisis ketersediaan jenis Ficus spp. pada habitat Orangutan Sumatera

dengan teknik analisis data kelimpahan jenis dan estimasi produktivitas.

Ketersediaan Ficus spp. akan menjadi salah satu parameter kuantitatif evaluasi

kemampuan kawasan untuk mendukung sumber pakan. Ficus spp. termasuk

keystone spesies, melalui penelitian ini akan dianalisis perbandingan ketersediaan

Ficus spp. terhadap perkembangan jumlah Orangutan Sumatera di Bukit Lawang.

Identifikasi Masalah

Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah ketersediaan pakan

orangutan dari segi kelimpahan jenis dan produktivitas Ficus spp. sebagai pakan

orangutan Sumatera (Pongo abelii), identifikasi jenis Ficus spp. yang tersedia dan

menjadi pakan, bagian apa saja dari Ficus spp. yang dimanfaatkan sebagai pakan

data ini bermanfaat untuk menentukan produktivitas Ficus spp. sebagai sumber

pakan alami orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Hutan Primer, pada Pusat

Pengamatan Orangutan Sumatera, PPOS Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung

(18)

Tujuan penelitian

Penelitian berjudul kelimpahan jenis dan estimasi produktivitas Ficus spp.

sebagai sumber pakan alami Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di PPOS, TNGL:

1. Mengidentifikasi jenis-jenis Ficus spp., yang tersedia pada Pusat Pengamatan

Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser.

2. Mengetahui produktivitas beberapa jenis Ficus spp., yang tersedia dan

menjadi pakan orangutan Sumatera (Pongo abelii), pada Pusat Pengamatan

Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser.

3. Mengetahui kelimpahan jenis Ficus spp., yang tersedia dan menjadi pakan

orangutan Sumatera (Pongo abelii), pada kawasan hutan primer Pusat

Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang, Taman Nasional

Gunung Leuser.

4. Mengidentifikasi gambaran relung ekologi pada pohon Ficus spp. di kawasan

PPOS (Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera).

Manfaat penelitian

Penelitian ini berguna untuk:

1. Memberikan informasi berupa data Ficus spp. yang terdapat di hutan primer

pada sekitar kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, Bukit Lawang,

Taman Nasional Gunung Leuser yang berkaitan dimana kelimpahan Ficus

spp. sebagai pakan orangutan memperngaruhi daya dukung habitat.

2. Memberikan informasi yang dapat digunakan oleh instansi terkait dalam

upaya konservasi orangutan sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan

dan implementasi pengelolaan habitat orangutan lebih baik dan sebagai

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Lokasi Letak dan Luas

Secara administrasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) terletak di 2

(dua) provinsi, yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Propinsi Sumatera

Utara, serta berbatasan dengan 9 kabupaten (Aceh Barat Daya, Aceh Selatan,

Aceh Singkil, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Tamiang, Langkat, Dairi dan

Karo) (BBTNGL, 2012).

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan

kawasan pelestarian alam, seluas 1.094.692 Hektar yang terletak di dua propinsi,

yaitu Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Propinsi Sumatera Utara. Kawasan

TNGL berada pada koordinat 96º 35”- 98º 30” BT dan 2º 50” – 4º 10” LU

(BBTNGL, 2012).

Status kawasan

Taman Nasional Gunung Leuser menyandang 2 status yang berskala

global yaitu sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1981 dan sebagai Warisan Dunia

pada tahun 2004. Kedua status tersebut ditetapkan oleh UNESCO dan World

Heritage Committee atas usulan Pemerintah Indonesia setelah melalui rangkaian

proses seleksi yang ketat. Selain itu, Taman Nasional Gunung Leuser merupakan

laboratorium alam yang kaya keanekaragaman hayati sekaligus juga merupakan

ekosistem yang rentan, serta sebagai sistem penyangga kehidupan (life support

(20)

Topografi

Ditinjau dari segi topografi, kawasan TNGL memiliki topografi mulai dari

0 meter dari permukaan laut (mdpl) yaitu daerah pantai hingga ketinggian lebih

lebih dari 3000 mdpl, namun secara rata-rata hampir 80% kawasan memiliki

kemiringan di atas 40% (BBTNGL, 2012).

Iklim

Kawasan TNGL dalam pengaruh inter-tropical convergence zone. Oleh

karena itu sebagian besar klasifikasi iklimnya masuk ke dalam kategori Klas A,

yaitu wet and hot tropical rainforest climate. Dalam tipe iklim ini, temperatur

bulanan mencapai 18oC dan curah hujan tahunan lebih besar dari pada evaporasi

tahunan aktual (BBTNGL, 2012).

Flora

Vegetasi di kawasan TNGL termasuk flora Sumatera dan erat

hubungannya dengan flora di Semenanjung Malaysia, Pulau Kalimantan, Pulau

Jawa dan bahkan Philipina. Formasi vegetasi alami di TNGL ditetapkan

berdasarkan 5 kriteria, yaitu bioklimat (zona klimatik ketinggian dengan berbagai

formasi floristiknya). Empat kriteria lainnya adalah hubungan antara komposisi

floristik dengan biogeografi, hidrologi, tipe batuan dasar dan tanah. Van Steenis

yang melakukan penelitian pada tahun 1937 (de Wilde W.J.J.O dan B.E.E.

Duyfjes, 1996), membagi wilayah tumbuh-tumbuhan di TNGL dalam beberapa

zona, yaitu:

• Zona Tropika (termasuk zona Colline, terletak 500 – 1000 mdpl). Zona

Tropika merupakan daerah berhutan lebat ditumbuhi berbagai jenis tegakan

(21)

atau tegakan kayu tersebut digunakan sebagai pohon tumpangan dari berbagai

tumbuhan jenis liana dan epifit yang menarik, seperti anggrek, dan lainnya.

• Zona peralihan dari Zona Tropica ke Zona Colline dan Zona Sub-Montane

ditandai dengan semakin banyaknya jenis tanaman berbunga indah dan

berbeda jenis karena perbedaan ketinggian. Semakin tinggi suatu tempat maka

pohon semakin berkurang, jenis liana mulai menghilang dan makin banyak

dijumpai jenis rotan berduri.

• Zona Montane (termasuk zona sub montane,terletak 1000 – 1500 mdpl). Zona

montane merupakan hutan montane. Tegakan kayu tidak lagi terlalu tinggi

hanya berkisar antara 10 – 20 meter. Tidak terdapat lagi jenis tumbuhan liana.

Lumut banyak menutupi tegakan kayu atau pohon. Kelembaban udara sangat

tinggi dan hampir setiap saat tertutup kabut.

• Zona Sub Alphine (2900 – 4200 mdpl), merupakan zona hutan Ercacoid dan

tak berpohon lagi. Hutan ini merupakan lapisan tebal campuran dari

pohon-pohon kerdil dan semak-semak dengan beberapa pohon-pohon berbentuk payung

(familia Ericacae) yang menjulang tersendiri serta beberapa jenis tundra,

anggrek dan lumut.

(BBTNGL, 2012).

Fauna

Ditinjau dari segi geografi satwa, Pulau Sumatera digolongkan ke dalam

Sub Regional Malaysia. Sedangkan di Pulau Sumatera dapat ditetapkan dua garis

batas fauna, yaitu Pegunungan Bukit Barisan (bagian Barat dan Timur) dan

Padang Sidempuan (bagian Utara dan Selatan). Garis batas fauna lainnya terdapat

(22)

Langkat Selatan. Jenis Kedih yang terdapat di sebelah timur Sungai Wampu

ternyata berbeda dengan yang terdapat di sebelah barat. Kekayaan fauna di TNGL

sebenarnya banyak terdapat di kawasan yang terletak di ketinggian 0 – 1000 mdpl.

Di daerah yang lebih tinggi, komposisi fauna mengalami perubahan dan

keberadaannya mulai terbatas (BBTNGL, 2012).

TNGL merupakan habitat dari mamalia, burung, reptil, ampibi, ikan, dan

invertebrata. Kawasan ini juga merupakan habitat burung dengan daftar spesies

380 dan 350 di antaranya merupakan spesies yang hidup menetap. Diprediksi

bahwa 36 dari 50 jenis burung endemik di Sundaland, dapat ditemukan di

kawasan TNGL. Dari 129 spesies mamalia besar dan kecil di seluruh Sumatera,

65% di antaranya berada di kawasan taman nasional ini. TNGL dan kawasan di

sekitarnya yang disebut sebagai Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan

habitat dari gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), harimau Sumatera

(Panthera tigris sumatrae), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis),

Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Siamang (Hylobates syndactylus

syndactylus), Owa (Hylobates lar), Kedih (Presbytis thomasi). Saat ini Balai

Besar TNGL lebih memfokuskan pengelolaannya pada 4 spesies satwa flagship,

yaitu orangutan, badak sumatera, harimau sumatera, dan gajah sumatera.

Klasifikasi Orangutan

Berdasarkan taksonominya, menurut Groves (1971) orangutan sumatera

diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

(23)

Kelas : Mammalia

Ordo : Primata

Sub Ordo : Anthropoidea

Famili : Hominoidea

Subfamili : Pongidae

Genus : Pongo

Spesies : Pongo abelii

Orangutan merupakan satu-satunya primata kera besar (great apes) yang

hidup di benua Asia, sedangkan tiga kerabat lainnya gorila, simpanse, dan bonobo

hidup di benua Afrika (Rijksen & Meijaard 1999; Buij et al. 2002). Sampai akhir

masa Pleistocen, orangutan masih menyebar pada kawasan yang meliputi China

bagian selatan hingga Pulau Jawa, namun saat ini hanya ditemukan di Pulau

Sumatera dan Borneo (Bacon & Long 2001). Hasil lokakarya IUCN-Primate

Spesialist Group membagi orangutan menjadi dua spesies, yaitu orangutan

Sumatera (Pongo abelii) yang menempati daerah sebaran yang sempit di sebelah

utara bagian utara dan selatan Danau Toba di Pulau Sumatera dan orangutan

Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang terdapat di pulau Kalimantan dan di

beberapa tempat yang merupakan kantong-kantong habitat hutan Sabah dan

Serawak (Groves 2001; Rijksen & Meijaard 1999; Supriatna & Wahyono 2000).

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) terletak di Provinsi Sumatera

Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam. Area seluas 1.094.692 hektar (ha) ini

ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai taman nasional pada tahun 1980.

Nama TNGL diambil dari Gunung Leuser yang membentang di kawasan tersebut

(24)

Bersama dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional

Kerinci Seblat, TNGL ditetapkan oleh UNESCO pada tahun 2004 sebagai situs

warisan dunia, Tropical Rainforest Heritage of Sumatra pada tahun 2004.

Sebelumnya, TNGL juga telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfer

pada tahun 1981, dan ASEAN Heritage Park pada tahun 1984.

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) terletak di Provinsi Sumatera

Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam. Luas area adalah 1.094.692 hektar (ha).

TNGL berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang luasnya mencapai

2,6 juta ha dan dianggap sebagai rumah terakhir bagi Orangutan sumatera yang

sangat terancam punah. Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera termasuk

kedalam wilayah Desa Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat

Sumatera Utara. Secara geografis terletak pada 3°30’-3°35’ LU dan 98°0’-98°15’

BT, pada ketinggian antara 100-260 meter dpl. Batas-batas areal ini adalah

disebelah Utara dan Timur dibatasi oleh sungai Bahorok yang merupakan batas

alam, sedangkan di bagian lain berbatasan dengan kawasan Taman Nasional

(BBTNGL, 2011).

Pemberian pakan utama di PPS dilakukan dengan menyebar pakan di

sekitar kandang terbuka. Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi penguasaan

pakan oleh individu dominan. Penyebaran pakan terutama sangat penting bagi

individu dengan status sosial yang rendah karena dapat mempermudah akses ke

sumber pakan dan mengurangi risiko adanya gangguan dari individu dominan

(Heulin & Cruz 2005).

Pakan Orangutan dapat berubah-ubah tergantung pada jenis pakan yang

(25)

primata frugivora. Saat sedang musim buah, pakan Orangutan dapat seluruhnya

bersumber pada pakan buah, dan saat bukan musim buah, alternatif pakan

Orangutan adalah dedaunan (25%), kulit kayu (37%), buah (21%), dan serangga

(7%) (Napier dan Napier, 1985). Sumber pakan terpenting adalah buah ara (Ficus

spp.) yang berbuah sepanjang tahun. Orangutan juga merupakan pengumpul

pakan yang oportunis, yaitu memakan apa saja yang dapat diraihnya, termasuk

madu pada sarang lebah. Kegemarannya pada makanan yang tidak biasa ditemui

dan tertebar acak di habitatnya, menyebabkan Orangutan selalu bergerak dalam

rangka mencari makanan kegemarannya. Saat bukan musim buah Orangutan akan

lebih aktif bergerak dibandingkan pada saat musim buah. Menurut Orangutan

memiliki kemampuan luar biasa dalam menemukan sumber makanan yang kecil,

jarang, dan tertebar acak. (MacKinnon dkk., 1974).

Hutan tropis adalah hutan yang terletak di daerah khatulistiwa, yaitu yang

dibatasi oleh dua garis lintang 23.5 derajat LS dan 23.5 derajat LU. Hutan tropis

mempunyai karakter: curah hajannya tinggi yang merata sepanjang tahun, yaitu

antara 200 - 225 cm/tahun; matahari bersinar sepanjang tahun, dari bulan satu ke

bulan yang lain perubahan suhunya relatif kecil; di bawah kanopi atau tudung

pohon, gelap sepanjang hari, sehingga tidak ada perubahan suhu antara siang dan

malam hari (Setia, 2009).

Bentuk lain dari liana misalnya yang ditemukan pada beberapa jenis Ficus

spp, yaitu: mula-mula tumbuh seperti epifit di kanopi inangnya kemudian akarnya

turun ke tanah. Kadang-kadang tipe jenis ini dapat mencekik tumbuhan inangnya

sehingga mati. Tipe ini disebut Strangler. Liana ditemukan hidup 90% di hutan

(26)

tergantung dari kehangatan dan kelembaban udara di suatu habitat. Jenis liana

menyusun 8% dari jenis tumbuhan lain di hutan hujan tropis (Jacobs, 1980).

Orangutan sangat rentan terhadap kepunahan yang diakibatkan oleh (1)

kerusakan hutan yang terjadi dalam skala besar dan perburuan untuk tujuan

diperdagangkan (Rijksen and Meijaard 1999); sedangkan (2) interval kelahirannya

yang jarang, yakni kira-kira mencapai 8 tahun antara satu kelahiran dengan

kelahiran berikutnya (Galdikas & Wood 1990) dan (3) ukuran tubuhnya yang

relatif besar. Selain faktor kerentanan, orangutan Sumatera juga tinggal dengan

densitas yang rendah (mulai dari nol sampai tujuh ekor per km di Sumatera),

sehingga membutuhkan ruang yang sangat luas berupa blok-blok hutan yang luas

(Departemen Kehutanan, 2007).

Tipe Ekosistem Hutan Bukit Lawang

Kawasan TNGL berada pada koordinat 96º 35”- 98º 30” BT dan 2º 50” –

4º 10” LU. Kawasan TNGL memiliki topografi mulai dari 0 meter dari permukaan

laut (mdpl) yaitu daerah pantai hingga ketinggian lebih lebih dari 3000 mdpl.

Kawasan TNGL dalam pengaruh inter-tropical convergence zone. Oleh karena itu

sebagian besar klasifikasi iklimnya masuk ke dalam kategori Klas A, yaitu wet

and hot tropical rainforest climate. Analisis tipe ekosistem hutan di kawasan

Stasiun Pengamatan Orangutan Sumatera (SPOS) tergolong ekosistem hutan

hujan tropis dengan tipe iklim A. Hal ini sesuai dengan pernyataan Vickery (1984)

hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah

menutupi banyak lahan yang terletak pada 10ºLU dan 10ºLS.

Santoso (1996) dan Direktorat Jenderal Kehutanan (1976) mengemukakan

(27)

iklim A dan B. (menurut klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson) atau dapat dikatakan

bahwa tipe ekosistem tersebut berada pada daerah yang selalu basah. Tegakan

hutan hujan tropis didominasi oleh pepohonan yang selalu hijau.

Tajuk pohon hutan hujan tropis sangat rapat, ditambah lagi adanya

tetumbuhan yang memanjat, menggantung, dan menempel pada dahan-dahan

pohon. Hal ini menyebabkan sinar matahari tidak dapat menembus tajuk hutan

hingga ke lantai hutan, sehingga tidak memungkinkan bagi semak untuk

berkembang di bawah naungan tajuk pohon kecuali spesies tumbuhan yang telah

beradaptasi dengan baik untuk tumbuh di bawah naungan (Arief, 1994).

Berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan laut kawasan hutan SPOS

tergolong pada zona 3 yang dinamakan hutan hujan atas karena terletak pada

daerah dengan ketinggian tempat 3300-4100 mdpl. Hal ini didukung pernyataan

(Santoso, 1996; Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976), menurut ketinggian tempat

dari permukaan laut, hutan hujan tropis dibedakan menjadi tiga zona atau wilayah

sebagai berikut:

1. Zona 1 dinamakan hutan hujan bawah karena terletak pada daerah dengan

ketinggian tempat 0-1000 mdpl.

2. Zona 2 dinamakan hutan hujan tengah karena terletak pada daerah dengan

ketinggian tempat 1000-3300 mdpl.

3. Zona 3 dinamakan hutan huja atas karena terletak pada daerah dengan

(28)

Pohon

65%

Liana

24%

Perdu

11%

Potensi Tumbuhan Pakan di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera

Hasil inventarisasi tumbuhan pakan orangutan di PPOS Bukit Lawang,

ditemui 37 jenis tumbuhan penghasil buah pakan orangutan, dengan rincian

golongan pohon 24 jenis, golongan perdu 4 jenis dan golongan liana atau

tumbuhan merambat 9 jenis.

Persentase keragaman species tumbuhan buah pakan orangutan Sumatera

antara pohon, liana dan perdu yang ditemukan pada jalur contoh secara sistematik

dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini :

Gambar 1. Persentase perbandingan jenis tumbuhan buah pakan orangutan Sumatera (Pongo abelii) antara pohon, liana dan perdu yang ditemukan pada jalur contoh secara sistematik (Sumber: Iskandar, 2013).

Gambar 1 menjelaskan total 37 jenis tumbuhan buah pakan orangutan

Sumatera (Pongo abelii) yang ditemukan dalam 50 jalur sampling, jenis pohon

dengan proporsi terbesar sebanyak 24 jenis (65 %). Liana atau tumbuhan

merambat yang ditemukan adalah 9 jenis (24 %), dan perdu yang ditemukan yaitu

(29)

Ara (Ficus spp.) sebagai spesies kunci (keystone species)

Menurut Whitmore (2003) aktivitas yang ramai di sebuah ara besar adalah

salah satu perhatian yang tak terlupakan dari hutan (studi kasus Cocha Cashu).

Kumpulan monyet datang dari segala arah seolah-olah dibimbing oleh beberapa

persepsi misterius. Kita telah melihat lebih dari 100 monyet dari lima spesies dan

20 sampai 30 jenis burung makan secara bersamaan pada sebuah pohon

Ficus perforate. Bagaimana mungkin begitu banyak hewan dengan mandiri dapat

menemukan pohon yang pada hari pertama buahnya matang. Kami percaya bahwa

hewan-hewan ini dipancing oleh keriuhan yang melengking dari berjuta burung

parkit (Brotogerus spp.) yang dengan cepat berkumpul di tempat kejadian.

Burung-burung ini adalah pemakan ara sama seperti tupai (Saimiri), dan suara

mereka yang kuat adalah indikator/pertanda pasti pohon berbuah. Tupai memakan

buah ara, tetapi kadang-kadang dalam seminggu hewan ini bertahan hidup tanpa

makanan atau hanya memakan serangga, dimana serangga ini memberi

keuntungan dengan memberi lebih banyak energi.

Ada bukti bahwa palem-paleman dan buah ara juga memainkan peranan

penting sebagai spesies kunci (keystone spesies) di hutan Amerika Selatan lainnya.

Tanaman ini disebut spesies kunci karena fungsi vital mereka. Jenis ara ini

memiliki peran nyata dan penting dalam konservasi hutan.

Beberapa spesies pohon ara besar Malesia Barat, terutama tumbuhan atau

pohon pencekik dan banyan sebagai spesies pohon yang sangat disukai dan

penting bagi burung dan mamalia. Lima puluh burung enggang dari empat spesies

telah diamati makan secara bersamaan di pohon ara tunggal di Gunung Mulu,

(30)

pada 38 spesies Ficus di daerah dengan luas area 2 km2. Sebuah penelitian di

Kutai, Kalimantan timur, menemukan bahwa pada hutan Cocha Cachu, buah ara

jenis tertentu adalah spesies kunci (keystone spesies) untuk sumber daya untuk

kehidupan (habitat) bagi banyak mamalia dan burung, dan penyuplai pakan dasar

karena jenis ara ini berbuah sepanjang tahun. Buah ara yang dilengkapi dengan

buah tanaman merambat (climbers) dari Annonaceae dan oleh beberapa Meliaceae

dan Myristicaceae. Pada kedua lokasi, Kuala Lompat dan Kutai Timur ditemukan

individu pohon ara dan bahkan spesies, berbuah sporadis (sekali-sekali), tetapi

secara kolektif ara ini selalu subur .

Tidak ada catatan ara sebagai spesies kunci (keystone species) di hutan

hujan Afrika. Dalam hutan Gabon ditemukan bahwa buah ara langka dan terutama

sumber pakan kelelawar dalam skala besar . Selain itu, mereka berbuah jarang dan

sporadis . Monyet dan burung besar mengandalkan dua famili Myristicaceae dan

Annonaceae untuk spesies kunci (keystone) sebagai sumber buah-buahan jika

kelaparan.

Jenis-jenis Ficus spp. 1. Ficus septica Burm. f.

Spesies :Ficus septica Burm. f.

Nama umum :Awar-awar

(www.warintek.ristek.go.id, 2014).

2. Ficus variegata Bl.

Spesies :Ficus variegate Bl.

Nama umum :Gondang

(31)

Spesies :Ficus benjamina L

Nama umum :Beringin

4. Ficus elastica Nois. Ex. Bl.

Spesies :Ficus elastica Nois. Ex Bl.

Nama umum :Karet

Nama lokal :Haryara Citan

(Wulf, 1982).

5. Ficus annulata Bl.

Spesies :Ficus annulata Bl.

Nama umum :Bulu

6. Ficus deltoidea Jack.

Spesies :Ficus deltoidea Jack.

Nama umum :Tabat barito

(Starr, F, dkk., 2003).

Relung Ekologi (niche)

Di dalam habitat, setiap makhluk hidup mempunyai cara tertentu untuk

hidup. Misalnya, burung yang hidup di sawah ada yang makan serangga, ada yang

makan buah padi, ada yang makan katak, ada juga yang makan ikan. Cara hidup

organism seperti itu disebut relung atau niche (Indriyanto, 2006).

Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu

organisme dalam ekosistem (Heddy dkk., 1986). Menurut Resosoedarmo dkk.

(1986), relung yaitu posisi atau status organisme dalam suatu komunitas atau

(32)

(habitat) dan oleh berbagai fungsi yang dikerjakannya, sehingga dikatakan sebagai

profesi organisme dalam habitatnya. Profesi organisme menunjukkan fungsi

organisme dalam habitatnya. Berbagai organisme dapat hidup bersama dalam satu

habitat. Akan tetapi, jika dua atau lebih organisme mempunyai relung yang sama

dalam satu habitat, maka akan terjadi persaingan. Makin besar kesamaan relung

dari organisme-organisme yang hidup bersama dalam satu habitat, maka maikn

intensif persaingannya dalam habitatnya.

Relung ekologi adalah status atau peran suatu mahluk hidup di dalam

komunitas atau ekosistem. Relung ekologi tergantung pada adaptasi struktural

mahluk, respons fisiologis dan perilakunya. Relung ekologi bukanlah ruang fisik,

tetapi suatu abstraksi mencakup semua faktor-faktor fisik,kimia,fisiologis dan

biotik yang diperlukan mahluk untuk hidup. Dalam ekologi tidak pernah ada dua

jenis menempati relung ekologi yang sama. Suatu spesies dapat menempati

relung ekologi sangat berbeda di daerah yang berbeda tergantung pada suplai

makanan yang tersedia dan pada jumlah macam pesaing-pesaingnya.

Habitat adalah suatu tipe komunitas biotik atau kesatuan komunitas biotik

dimana seekor satwa atau populasi hidup. Habitat adalah suatu unit lingkungan,

alami maupun tidak (meliputi iklim, makanan, cover dan air) dimana seekor satwa,

tumbuhan atau populasi secara alami dan normal hidup dan berkembang. Definisi

habitat terbaru yang relevan untuk pengelola satwa liar yaitu sumberdaya dan

kondisi yang ada pada suatu tempat yang memberikan tempat hidup (occupancy),

termasuk survival dan reproduksi suatu organisme. Definisi ini berimplikasi

bahwa habitat adalah sejumlah sumberdaya spesifik yang dibutuhkan oleh suatu

(33)

Semua jenis satwa dapat hidup di suatu tempat hanya jika kebutuhan

pokoknya seperti makanan, air, dan cover tersedia dan jika satwa memiliki daya

adaptasi yang memungkinkannya menghadapi iklim yang ekstrim, kompetitor dan

predator. Empat komponen dasar habitat adalah makanan, cover, air dan ruang.

Komponen habitat paling penting bagi satwa adalah makanan.

Ketersediaan (availability) makanan biasanya berubah menurut musim. Bagi

karnivora atau jenis pemangsa, ketersediaan makanan berarti ketersediaan satwa

mangsa. Kuantitas dan kualitas makanan yang dibutuhkan oleh setiap satwaliar

bervariasi menurut spesies, jenis kelamin, kelas umur, fungsi fisiologis, musim,

cuaca dan lokasi geografis (Bailey, 1984). Karnivora mengeluarkan banyak energi

untuk mencari, memburu, menangkap dan membunuh mangsa, tetapi diimbangi

dengan kandungan energi yang tinggi dari satwa mangsanya. Karena kandungan

nutrisi daging mangsa yang lengkap dan mudah dicerna, spesies pemangsa jarang

atau tidak pernah mengalami kekurangan gizi dari mangsa alaminya. Masalah

nutrisi bagi karnivora adalah masalah kuantitas dan ketersediaan (availability),

bukan kualitas makanan (Bailey, 1984).

Cover didefinisikan sebagai sumberdaya struktural dari lingkungan yang

mendukung perkembangbiakan (reproduksi) dan/atau daya hidup (survival) satwa

dengan menyediakan fungsi-fungsi alami untuk spesies tersebut (Bailey, 1984).

Cover biasanya digunakan untuk melarikan diri dari predator, walaupun predator

yang memburu mangsanya juga memerlukan cover untuk dapat mendekati

mangsanya. Cover juga memberikan perlindungan yang penting terhadap iklim

yang keras, tempat berteduh dari panas, angin dan hujan atau perlindungan dari

(34)

Perbedaan Tumbuhan Pencekik (strangler) dengan Liana

Tumbuhan pencekik (strangler) adalah spesies tumbuhan yang pada

awalnya hidup sebagai epifit pada suatu pohon, setelah akar-akarnya mencapai

tanah dan dapat hidup sendiri lalu mencekik, bahkan dapat membunuh pohon

tempat bertumpu Kormondy (1991) dalam Indriyanto (2006). Tumbuhan yang

terkenal sebagai tumbuhan pencekik dari spesies tumbuhan anggota genus Ficus

misalnya Ficus rigida, Ficus altissima. Spesies anggota Ficus yang sedang dalam

pertumbuhannya dan masih berstatus sebagai epifit mengeluarkan akar-akar

gantung yang tampak sangat menarik, bagaikan hiasan pada pohon inangnya.

Akan tetapi, lama-kelamaan akar gantung itu semakin menjulur ke bawah, dan

bila telah menancap di tanah, maka akar-akar itu mulai mengisap zat hara dan

bahan organic dari dalam tanah. Kemudian akar-akar tersebut akan berkembang

menjadi batang dan bersatu mencekik pohon induk. Pohon induk akan terjepit

ditengah. Pada fase ini Ficus menjadi pencekik atau strangler.

Liana merupakan spesies tumbuhan merambat. Tumbuhan itu memiliki

batang yang tidak beraturan dan lemah, sehingga tidak mampu ,mendukung

tajuknya. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1982) dalam Indriyanto (2006),

adanya liana di hutan merupakan salah satu cirri khas hutan hujan tropis, terutama

spesies liana berkayu. Liana berkayu di hutan-hutan merupakan bagian vegetasi

yang membentuk lapisan tajuk hutan dan mampu mendesak tajuk-tajuk pohon

tempat bertumpu. Tajuk tumbuhan liana juga mengisi lubang-lubang tajuk hutan

di antara beberapa pohon dalam tegakan hutan agar mendapatkan sinar matahari

sebanyak-banyaknya, sehingga liana akan memperapat dan mempertebal lapisan

(35)

capensis, Bougenvillea spp.,dan berbagai spesies rotan, misalnya Calamus caesius,

Calamus manan, Calamus scipionum, Calamus javensis, Daemonorops draco,

dan Daaemonorops melanochaetes.

Daya Dukung Habitat

Habitat yang terbaik adalah habitat yang mampu mendukung beberapa

orangutan sepanjang tahun, sedangkan habitat yang tidak baik adalah habitat yang

hanya mampu mendukung satu ekor orangutan dalam beberapa minggu. Fakta

tersebut mempunyai peranan penting dalam merancang suatu kawasan konservasi.

Reintroduksi orangutan merupakan metode pelepasliaran orangutan ke wilayah

hutan yang dulunya pernah didiami oleh orangutan. Metode reintroduksi ini

dilakukan untuk melestarikan orangutan yaitu dengan melepasliarkan orangutan

ke wilayah hutan yang tidak ada orangutan liarnya serta secara ekologi mampu

mendukung kehidupan orangutan tersebut (tersedia cukup pohon pakan)

(Susilo, 1995).

Daya dukung habitat adalah kemampuan suatu wilayah untuk dapat

menampung sejumlah satwa liar. Pada kondisi wilayah yang memiliki jumlah

satwa yang masih sedikit persaingan di antara individu sangat kecil. Faktor lain

yang menentukan daya dukung habitat adalah faktor kesejahteraan yang ditinjau

dari aspek kebutuhan dasar, aspek kualitas dan kuantitas habitatnya. Penurunan

daya dukung habitat dapat menyebabkan pergerakan dari satwa liar, salah satu

pergerakan tersebut adalah migrasi. Migrasi merupakan pola adaptasi perilaku

yang dilakukan oleh beberapa jenis satwa liar yang tergantung pada keadaan dan

(36)

makanan dan perkembangbiakan sehingga terkadang satwa liar memasuki lahan

masyarakat atau diluar kawasan yang menjadi habitatnya (Alikodra, 2002).

Orangutan telah dijadikan simbol pelestarian hutan Indonesia dan

merupakan key species dalam melindungi keanekaragaman hayati. Populasi

orangutan secara umum banyak tersebar pada kawasan yang masih utuh terutama

yang statusnya sebagai kawasan konservasi. Penurunan kualitas dan kuantitas

habitat diduga menyebabkan perubahan perilaku pada Orangutan Sumatera

(Pongo abelii). Orangutan Sumatera harus mampu beradaptasi pada habitat yang

sempit dan kurang mencukupi kebutuhannya. Dalam proses adaptasi tersebut

diperkirakan orangutan akan memilih tipe-tipe habitat ideal yang lebih

menguntungkannya termasuk kawasan pertanian dan perkebunan milik warga

(Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2007).

Berdasarkan pentingnya peranan orangutan dalam ekosistem termasuk

terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, maka orangutan disebut sebagai

salah satu spesies payung (umbrella species) yaitu spesies yang kelestariannya

berpengaruh terhadap kelestarian ekosistem dimana spesies tersebut ditemukan

(Santosa dan Rahman, 2012).

Secara geografis kawasan Bukit Lawang terletak pada 3º30’ LU - 3º45’

LU dan 98º BT - 98º15’ BT. Batas sebelah utara dan timur berbatasan dengan

sungai Bohorok sedangkan sisi lainya berbatasan dengan kawasan TNGL. Secara

umum topografi kawasan hutan Bukit Lawang adalah datar, bergelombang dan

berbukit. Kawasan ini ada pada ketinggian 100 - 700 mdpl dengan kemiringan

(37)

Kelimpahan Jenis

Menurut Soegianto (1994) dalam Indriyanto (2006) pengambilan contoh

untuk analisis komunitas tumbuhan dilakukan dengan menggunakan metode

kombinasi. Metode kombinasi yang dimaksudkan adalah kombiasi antara metode

jalur dan garis berpetak. Di dalam metode tersebut, risalah pohon dilakukan

dengan metode jalur, yaitu pada jalur-jalur yang lebarnya 20 m, sedangkan untuk

fase permudaan (fase poles, sapling, dan seedling), serta tumbuhan bawah

digunakan metode garis berpetak

Menurut Ludwig dan Reynold (1988) dalam Utomo (2012),

keanekaragaman jenis suatu kawasan hutan dapat digambarkan dengan indeks

Shannon-Wiener:

H'= -�(pi)ln pi

Semakin besar H’ suatu komunitas maka semakin beranekaragam jenis dalam

komunitas tersebut. Nilai H’=0 dapat terjadi bila hanya satu spesies dalam satu

contoh (sampel) dan H’ maksimal bila semua jenis mempunyai jumlah individu

yang sama dan ini menunjukkan kelimpahan terdistribusi secara sempurna.

Menurut Kershaw (1973) dalam Marsono dan Thoyib (1984), struktur

vegetasi terdiri dari 3 komponen, yaitu:

1. Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertical yang merupakan diagram

profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai dan herba

penyusun vegetasi.

2. Sebaran, horizontal jenis-jenis penyusun yang menggambarkan letak dari

suatu individu terhadap individu lain.

(38)

Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988) dalam Utomo (2012)

kelimpahan jenis ditentukan, berdasarkan besarnya frekuensi, kerapatan dan

dominasi setiap jenis. Penguasaaan suatu jenis terhadap jenis-jenis lain ditentukan

berdasarkan Indeks Nilai Penting, volume, biomassa, persentase penutupan tajuk,

luas bidang dasar atau banyaknya individu dan kerapatan. Analisis vegetasi adalah

suatu cara mempelajari susunan dan atau komposisi vegetasi secara bentuk

(struktur) vegetasi dari masyrakat tumbuh-tumbuhan. Unsur struktutr vegetasi

adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan

analisis vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan

indeks nilai penting dari penyusun komunitas hutan tersebut. Analisis vegetasi

menjadi sarana untuk memperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan

komposisi suatu komunitas tumbuhan.

Kelimpahan adalah parameter kualitatif yang mencerminkan distribusi

relatif spesies organisme dalam komunitas. Kelimpahan pada umumnya

berhubungan dengan densitas berdasarkan penaksiran kualitatif. Menurut

penaksiran kualitatif dan kuantitatif, kelimpahan memiliki kriteria sebagai berikut:

Kriteria tingkat kelimpahan berdasarkan hubungan kriteria kualitatif Indriyanto

(2006) dengan teori kuantitatif Michael (1995) :

0 = tidak ada atau sangat jarang

1 – 10 = jarang atau kadang-kadang

11- 20 = sering atau tidak banyak

(39)

Untuk mengetahui kelimpahan jenis, maka dapat digunakan persamaan

(Michael, 1995):

N = eH

(Asrianny dkk, 2008).

Produktivitas

Kegiatan analisis dan evaluasi habitat meliputi 3 tahap kegiatan, yaitu

inventarisasi dan sensus habitat, penilaian produktivitas, dan diagnosis keadaan

habitat. Inventarisasi dan sensus bertujuan untuk mengetahui daftar spesies

tumbuh-tumbuhan dan penyebarannya serta komponen-komponen habitat

(makanan, air, daerah perlindungan) beserta penyebarannya. Sensus habitat

bertujuan untuk mengetahui jumlah anggota setiap spesies tumbuh-tumbuhan dan

fungsinya.

Penilaian produktivitas meliputi penilaian perkembangan kualitas,

produktivitas, ketersediaan, daya tahan, dan tingkat ketergantungannya. Diagnosis

keadaan habitat dilakukan terhadap faktor-faktor kesejahteraan untuk mengetahui

penyebab-penyebab menurun atau meningkatnya produktivitas. Berdasarkan

hasila ananlisis dan evaluasi ini dapat disusun program-program pengelolaan

kawasan secara keseluruhan maupun secara khusus. Produktivitas Connel dan

Orians (1994) dalam Skolastika (2009) memperkenalkan suatu modifikasi umum

mengenai faktor produktivittas adalah gagasan mengenai peningkatan secara

perlahan–lahan pembagian di daerah tropik. Gagasan ini menghubungkan

hipotesis stabilitas dan produktivitas serta menyatakan bahwa stabilitas dari

produksi primer merupakan penentuan utama keanekaragaman jenis disuatu

(40)

Spatially Explicit Individual-Based Forest Simulator (SExl-FS)

Simulator hutan SExl-FS berfokus pada interaksi pohon-pohon di

agrofestri dengan system tanaman. Model ini menggunakan pendekatan orientasi

objek di mana setiap pohon diwakili dengan sebuah contoh dari kelas generik

pohon. Gambaran dari objek pohon-pohon yang terdapat dalam model ini meniru

pohon nyata dan berinteraksi satu dengan yang lain. Modifikasi model ini

dimediasi melalui dua sumber utama yaitu ruang dan cahaya yang menghasilkan

sebuah representasi 3D dari plot-plot pada tegakan yang terdapat di kawasan

hutan.

Software SExl-FS ini bermanfaat untuk penelitian-penelitian yang

menggunakan data tegakan hutan atau vegetsilainnya. Output yang bisa

digambarkan melalui hasil pengolahan dengan menggunakan program ini berupa

bentuk 3 dimensi tegakan pada semua bagian tegakan atas, bawah, kiri dan kanan.

Tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan sebuah representase dinamis dari

suatu system kompleks yang mengacu pada kumpulan dari interaksi local individu

(41)

METODE PENELITIAN

Waktu dan tempat

Penelitian ini dilakukan selama bulan Januari-Mei 2014. Penelitian ini

dilakukan di Kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, Bukit Lawang,

Taman Nasional Gunung Leuser.

Bahan dan Alat

Bahan atau objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah tumbuhan

pencekik (strangler) Ficus spp. sebagai sumber pakan Orangutan Sumatera

(Pongo abelii).

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta lokasi penelitian

(Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, PPOS Bukit Lawang, TNGL), teropong

binokuler, Global Positioning Systems (GPS), kamera digital, kompas, buku

kunci identifikasi Ficus spp., atau pengenal tanaman, tally sheet analisis vegetasi

tumbuhan pencekik (strangler), Ficus spp. Tally sheet pengamatan produktivitas

Ficus spp., meteran, patok, tali plastik, alat tulis, kalkulator, Software Spatially

Explicit Individual-Based Forest Simulator (SExl-FS), Microsoft Excel 2007 dan

PC (personal computer).

Prosedur Penelitian Orientasi Lapangan

Orientasi lapangan dilakukan sebagai langkah awal untuk menentukan

posisi plot dan posisi trail yang akan digunakan. Dalam orientasi lapangan

dilakukan perencanaan untuk menentukan lokasi pengambilan data dengan

(42)

TNGL. Lokasi yang dipilih mewakili, terutama pada areal yang diperkirakan

terdapat banyak jenis tumbuhan pencekik (strangler), Ficus spp.

Pencatatan Data

Estimasi produktivitas dilakukan dengan teknik purposif sampling.

Beberapa jenis Ficus spp. dipilih untuk dilakukan pengamatan produktivitas daun

muda, bunga dan buah. Pengamatan dilakukan setiap minggu dengan kriteria

pengukuran yang sudah ditentukan.

Kegiatan analisis vegetasi dilakukan dengan meletakkan sejumlah plot

dilakukan secara survey. Analisis vegetasi menggunakan plot berukuran 2 m x 2

m (semai), 5 m x 5 m (pancang), 10 m x 10 m (tiang), 20mx20m (pohon), dengan

panjang trail yang disesuaikan dengan panjang setiap trail. Peletakan sejumlah

plot untuk analisis vegetasi dilakukan pada 11 lokasi trail pada hutan alam yang

memiliki keanekaragaman Ficus spp. yang berbeda..

Parameter tumbuhan pencekik (strangler), Ficus spp. yang dicatat di

lapangan adalah jenis spesies tumbuhan pencekik (strangler) Ficus spp., diameter

tumbuhan pencekik (strangler) Ficus spp., dan jenis pohon inang. Pengukuran

dilakukan dalam setiap plot dengan mengidentifikasi jenis dan mengukur diameter

batang setiap individu Ficus spp. dan jenis pohon induk yang ditemukan.

Pengukuran diameter tumbuhan pencekik (strangler), Ficus spp. dilakukan pada

bagian batang yang berada 25 cm di atas sistem perakaran. Karakteristik fisik

setiap plot seperti posisi topografi dan kelerengan dicatat sebagai data pelengkap

untuk pembahasan. Selain karakteristik fisik dicatat berbagai karakteristik

berbagai plot seperti jenis tumbuhan atau pohon dominan ditemukan di lapangan

(43)

Metode Pengumpulan Data 1. Kelimpahan Jenis

Kelimpahan jenis dilakukan dengan melakukan kegiatan analisis vegetasi pada

jenis Ficus spp. Jenis transek yang digunakan untuk melakukan kegiatan analisis

vegetasi pada Ficus spp.adalah analisis vegetasi dengan metode kombinasi. Pada

analisis vegetasi mencakup semua trail, yaitu trail 1, trail 2, trail 3, trail 4, trail 5,

trail 6, trail 7, trail 8, trail 10, trail 11, dan trail utama., dimana pemilihan titik

letak trail ini dipilih secara purposive. Panjang trail yang digunakan untuk transek

sesuai dengan panjang setiap trail. Berikut gambaran transek yang digunakan

untuk analisis vegetasi jenis Ficus spp.

Gambar 2. Desain unit petak contoh di lapangan dengan metode kombinasi (Kusmana, 1997).

Keterangan:

Data vegetasi yang terkumpul kemudian dianalisis untuk mengetahui

kerapatan, kerapatan relatif, dominansi, dominansi relatif, frekuensi dan frekuensi

relatif serta Indeks Nilai Penting (INP) menggunakan rumus Mueller-Dombois

dan Ellenberg (1974) sebagai berikut:

Arah jalur

c b a

(44)

Rumus yang digunakan:

D=Luas bidang dasar suatu spesies Luas Petak Contoh

Dominansi Relatif (DR)

DR= D suatu jenis

D Total Seluruh Jenis×100%

Indeks Nilai Penting (INP)

INP= KR + FR + DR

Indeks Keragaman Shannon-Wienner (H)

H’ =

N=Jumlah nilai penting semua jenis

Indeks Nilai Penting

Data-data yang dikumpulkan kemudian di hitung Indeks Nilai Penting

(INP). Untuk tiang dan pohon, INP= KR+FR+DR, nilainya berkisar antara 0 dan

(45)

dan pancang, INP= KR+FR, dengan nilai maksimum 200. Menurut Caesar (2010)

untuk menganalisis nilai dominansi dan dominansi relatif pada tingkat permudaan

pohon jenis tiang dan pohon juga harus menghitung nilai Luas Bidang Dasar

(LBDS). Keanekaragaman jenis suatu kawasan hutan dapat digambarkan dengan

Indeks Shannon-Wiener menurut Ludwig and Reynold (1988) dalam

(Soerianegara dan Indrawan, 1998).

Indeks Shannon-Wiener (H’)

Menurut Ludwig and Reynold, 1988 dalam Utomo (2012) menyatakan

semakin besar H’ suatu komunitas maka semakin beranekaragam jenis dalam

komunitas tersebut. Nilai H’=0 dapat terjadi bila hanya satu spesies dalam satu

contoh (sampel) dan H’ maksimal bila semua jenis mempunyai jumlah individu

yang sama dan ini menunjukkan kelimpahan terdistribusi secara sempurna.

Parameter indeks Shannon-Wiener:

• H’<1, kenakaragaman rendah

• H: 1-3, keanekaragaman tergolong sedang

• H>3, keanekaragaman tergolong tinggi

Selanjutnya, nilai kelimpahan jenis dapat dihitung dengan menggunakan rumus

sebagai berikut:

>20 = sangat banyak atau berlimpah-limpah

Keterangan:

N = Kelimpahan jenis

e = Bilangan natural (2.71828..) H = Indeks keanekaragaman H

(46)

Tabel 1. Analisis Data Vegetasi Tingkat Pohon pada Jenis Ficus spp.

2. Estimasi Produktivitas Ficus spp.

Metode yang digunakan untuk pengumpulan data estimasi produktivitas

menggunakan metode Zweifel (2012) dengan melakukan estimasi jumlah daun

muda, bunga atau buah yang tumbuh tiap bulan. Estimasi ini bersifat subjektif

tergantung pengamat. Data hasil estimasi dilakukan pengklasifikasian, dengan

tujuan untuk melakukan scorring. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan

binokuler. Pemilihan pohon pengamatan dipilih pada pohon yang tutupan tajuk

yang tidak terlalu rapat. Teknik pengumpulan data adalah sampling purposive.

Jenis Ficus yang diamati harus mewakili setiap spesies atau jenis Ficus spp. yang

diamati. Pemilihan sampling purposive ini bersifat aplikatif sesuai dengan jenis

tegakan pohon yang memenuhi sebagai objek pengamatan untuk memperoleh data

estimasi produktivitas pohon pakan berupa Ficus spp. Pengambilan sampel untuk

pengukuran produktivitas pakan difokuskan pada trail satu saja.

Identifikasi Jenis Ficus spp.

Jenis Ficus spp. perlu diidentifikasi di kawasan yang telah dilakukan

analisis vegetasi khusus jenis Ficus spp. Identifikasi spesies ini berfungsi untuk

mengetahui jenis Ficus yang tumbuh pada kawasan ini yang berfungsi sebagai

komponen daya dukung habitat orangutan Sumatera semi-liar. Jika identifikasi di

(47)

dengan membuat herbarium terlebih dahulu. Pengetahuan tentang spesies Ficus

lebih dalam akan membantu proses identifikasi. Jika jenis Ficus yang

diidentifikasi tidak memiliki nama spesies, dapat digunakan nama lokal tumbuhan

Ficus tersebut.

Pengukuran Produktivitas

Pengukuran produktivitas dilakukan dengan menggunakan metode Zweifel

(2012) dengan penghitungan pertumbuhan daun muda, bunga dan buah setiap

minggu selama tiga bulan pengamatan. Pengamatan produktivitas akan dilakukan

dengan menggunakan tabel tally sheet, selanjutnya nilai yang diperoleh

dirata-ratakan dari hasil pengamatan selama 3 bulan, baik dari segi pertumbuhan daun

muda (young leaves), buah (fruit), dan bunga (flower).

1. Daun muda

Pengamatan pertumbuhan daun muda untuk estimasi produktivitas

dilakukan setiap minggu. Data-data yang diperlukan untuk pengamatan

produktivitas disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Tally sheet pengamatan produktivitas Ficus spp. berdasarkan metode Zweifel (2012) melalui estimasi produktivitas daun muda (young leaves) YL.

(48)

Persamaan untuk menentukan estimasi produktivitas daun muda pada Ficus

dihitung berdasarkan jumlah rata-rata estimasi produktivitas daun muda tiap bulan

dibagi tiga:

EPdaun muda=∑rata-rata estimasi produktivitas daun muda tiap bulan 3

EPdaun muda =X1+X2+X3 3

Keterangan:

EPdaun muda :hasil akhir scorring estimasi produktivitas daun muda (young leaves),

dengan ketentuan kriteria persentase dan scorring produktivitas daun muda (YL) pada tabel 4.

X1 :rata-rata estimasi persentase pertumbuhan daun muda pada bulan ke-1.

X2 :rata-rata estimasi persentase pertumbuhan daun muda pada bulan ke-2.

X3 :rata-rata estimasi persentase pertumbuhan daun muda pada bulan ke-3.

Tabel 3. Kriteria estimasi produktivitas daun muda (young leaves) dan scorring menurut Zweifel (2012).

Estimasi persentase pertumbuhan daun muda (YL) Scorring

0% 0

Menurut Zweifel (2012) perkiraan atau estimasi jumlah bunga pada pohon,

rentang rasio skala yang digunakan kasar, jumlahnya juga berubah setiap hari,

sehingga pengamatan sekali setiap bulan kurang efektif. Pengamatan dilakukan

minimal setiap minggu agar lebih efektif. Pada Tabel 4 disajikan format tallysheet

(49)

Tabel 4. Tally sheet pengamatan produktivitas bunga Ficus spp. berdasarkan metode Zweifel (2012) melalui estimasi produktivitas bunga (flower).

No. Nama

Kriteria estimasi produktivitas bunga Ficus spp., untuk empat kategori dan

scorring berdasarkan metode Zweifeldilampirkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kriteria estimasi produktivitas bunga dan scorring menurut Zweifel (2012).

Estimasi persentase pertumbuhan bunga Scorring

tidak ada 0

Sedikit 1

Sedang 2

Banyak 3

Persamaan untuk menghitung estimasi produktivitas rata-rata bunga selama tiga

bulan pada pohon Ficus spp. adalah:

EPbunga=∑ scorring rata-rata estimasi tiap bulan (bulan ke-1+bulan ke-2+bulan ke-3) 3

3. Buah

Menurut metode Zweifel (2012) estimasi produktivitas buah dengan cara

melakukan estimasi jumlah buah pada pohon dengan menggunakan pengamatan

menggunakan binokuler. Pengukuran kematangan buah dilakukan melalui

pengamatan setiap minggu, dengan keterangan M : ripe (masak); m : unripe

(50)

Tabel 6. Tally sheet pengamatan produktivitas buah Ficus spp. berdasarkan metode Zweifel (2012) melalui estimasi produktivitas buah dan indikasi kematangan buah.

Pada kolom keterangan diisi dengan indikasi kematangan buah masak atau

mentah. Keterangan kriteria penilaian (scorring) buah menggunakan kriteria pada

Tabel 7.

Tabel 7. Kriteria estimasi produktivitas pertumbuhan buah dan scorring menurut Zweifel (2012).

Estimasi persentase pertumbuhan buah (fruit) Scorring

0 = 0 0

Persamaan yang digunakan untuk menghitung estimasi produktivitas buah selama

tiga bulan menggunakan rata-rata scorring.

(51)

Pengamatan Relung Ekologi

Pengamatan relung ekologi dilakukan selama pengamatan produktivitas

dan dilakukan setiap minggu, dengan manfaat untuk identifikasi jenis tanaman

yang dimanfaatkan satwa lain sebagai sumber pakan selain orangutan itu sendiri,

sehingga dapat diukur daya dukung habitat dari segi ketersediaan pakan bagi

orangutan semi liar di PPOS. Tallysheet pengamatan satwa pada relung ekologi

disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Tallysheet pengamatan relung ekologi pada Ficus spp. dalam habitat orangutan.

Tanggal :

#ID Transek :

Pengamat :

Waktu :….-…

Minggu ke-

Pukul Hewan Pohon Ketinggian Bagian pohon

(52)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Jenis Ficus spp.

Hasil analisis vegetasi jenis Ficus spp. di kawasan Pusat Pengamatan

Orangutan Sumatera (PPOS) Bukit Lawang ditemukan sebanyak 6 jenis untuk

tingkat pancang, tiang, dan pohon, sedangkan untuk kategori semai tidak

ditemukan. Jumlah jenis ini berbeda dengan jumlah jenis spesies pada estimasi

produktivitas. Hasil identifikasi morfologi Ficus spp., disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Hasil identifikasi morfologi pohon pakan orangutan (Ficus spp.).

Komposisi jenis

a. Tingkat semai

Indeks nilai penting pada masing-masing tingkatan disajikan dalam Tabel 14, 15,

16. Pada semua trail tidak ditemukan semai. Indeks nilai penting tingkat semai

adalah nol, artinya dominasi jenis Ficus spp. tingkat semai tidak ada. Hal ini,

disebabkan anakan Ficus spp. memiliki tinggi yang sama dengan pohon induk.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Steenis (2006) anakan pohon tingginya 8 m.

Tingkat pohon tingginya 8-40 meter, mula-mula hidupnya epiphytis, berkecambah

pada pohon lain.

b. Tingkat pancang

Pada Tabel 10 dapat dilihat hasil analisis lapangan menunjukkan dominansi jenis

F. septica dengan nilai 200 pada empat trail, yaitu trail utama, trail 5, trail 6, dan

trail 7. Analisis data indeks nilai penting pada setiap trail dilampirkan pada

Gambar

Gambar 1.  Persentase perbandingan jenis tumbuhan buah pakan orangutan Sumatera (Pongo abelii) antara pohon, liana dan perdu yang ditemukan pada jalur contoh secara sistematik (Sumber: Iskandar, 2013)
Gambar 2. Desain unit petak contoh di lapangan dengan metode kombinasi (Kusmana, 1997)
Tabel 1. Analisis Data Vegetasi Tingkat Pohon pada Jenis Ficus spp.
Tabel 3. Kriteria estimasi produktivitas daun muda (young leaves) dan scorring menurut Zweifel (2012)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tabel Hasil Output Uji Multikolinearitas Setelah Mengeluarkan Variabel Pengeluaran

Dettkian ju ga halnya hubungan cauaal antara wanpreataei dengan. kerugian v bahva kerugian ita haxa* aklb at langaang d a ri v an

Hasil penelitian menunjukkan respon- den yang berperilaku kurang baik dalam memberikan informasi KRR lebih banyak pada kelompok yang berjenis kelamin pe- rempuan (52,9%)

Pada klien dengan serangan status asthmatikus perlu dikaji tentang riwayat penyakit asthma atau penyakit alergi yang lain pada anggota keluarganya karena hipersensitifitas pada

Bedasarkan hasil dan pembahasan dari kripsi yang berjudul “Perbedaan Aerobic Exercise Dengan Contract Relax Stretching Dan Ice Massage Terhadap Penurunan Nyeri

Kepastian hukum bukan hanya berupa Pasal-Pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan Hakim antara putusan yang satu dengan putusan Hakim yang

Memusatkan perhatian peserta didik pada materi yang akan diajarkan dengan cara memberikan kegiatan yang mengilustrasikan proses kerja layer sesion dan transport model

Suatu negara yang berdaulat menurut hukum internasional mempunyai hak untuk menerima dan mengusir orang asing dari wilayahnya, jika ternyata orang asing yang berada di