• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Asal Papua di USU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Asal Papua di USU"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Konteks Masalah

Papua adalah sebuah pulau yang terletak di ujung timur Indonesia. Dalam

pulau tersebut terdapat provinsi Papua dan Papua Barat. Namun, di pulau ini tidak

hanya diisi oleh bagian Negara Republik Indonesia saja, tetapi ada negara lain

yang menjadi satu pulau dengan Papua yaitu Papua Nugini atau East New Guinea

yang berada di sebelah timur Papua Indonesia. Provinsi Papua dulu mencakup

seluruh wilayah Papua bagian barat, namun sejak tahun 2003 dibagi menjadi dua

provinsi di mana bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian

baratnya memakai nama Papua Barat. Kata Papua sendiri berasal dari bahasa

Melayu yang berarti rambut keriting, sebuah gambaran yang mengacu pada

penampilan fisik suku-suku asli. Provinsi ini memiliki berbagai macam suku yang

mendiami provinsi tersebut diantaranya adalah suku asmat, dani, biak, komoro,

dan sebagainya. Masyarakatnya sangat menjunjung tinggi kesenian dan

kebudayaan yang ada di daerah mereka

(http://www.papua.go.id/view-detail-page-254/Sekilas-Papua-.html).

Wilayah Indonesia paling timur ini memiliki budaya yang sangat beragam

dan juga sumber daya alam yang sangat melimpah. Hal ini dibuktikan dengan

adanya perusahaan PT. Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika yang

menambang bijih dengan kandungan tembaga, emas dan perak dari tanah Papua.

Namun, kenyataannya Papua masih menjadi provinsi tertinggal dengan tingkat

kemiskinan tinggi serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM) paling rendah

dibanding provinsi lainnya

(http://www.jurnas.com/news/116771/Affirmative-Action-Jalan-Pintas-Pendidikan-Papua-2013/1/Sosial-Budaya/Pendidikan). Salah

satu faktor yang menyebabkan tertinggalnya provinsi ini adalah rendahnya

kualitas pendidikan. Pendidikan di Papua sangat jauh tertinggal dibandingkan

provinsi lain di indonesia. Hal ini disebabkan karena kurangnya fasilitas dan

tenaga pengajar yang memadai. Anak usia 7-12 tahun yang seharusnya duduk di

(2)

bangku SD. Hal itu dikarenakan terbatasnya ketersediaan gedung sekolah

disejumlah kampung yang tersebar di gunung dan lembah yang belum memiliki

infrastruktur Pendidikan Dasar. Belum tersedianya rumah kepala sekolah dan

rumah guru di daerah terpencil juga menyebabkan kepala sekolah dan guru

meninggalkan tempat tugas yang mengakibatkan tingginya angka ketidakhadiran

kepala sekolah dan guru di tempat tugas

(http://www.papuaposnabire.com/index.php/jayapura/594-gubernur-ada-6-masalah-mendasar-pendidikan-di-papua).

Pemerintah pusat dan DPR telah mengeluarkan UU Nomor 21/2001

tentang otonomi khusus bagi Papua tujuannya untuk mengejar ketertinggalan

yang pada hakikatnya untuk melakukan percepatan pembangunan bagi Provinsi

Papua dan Papua Barat agar bisa sederajat dengan provinsi lain. Pemerintah

membuat sebuah lembaga yang bernama Unit Percepatan Pembangunan Provinsi

Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) yang bertujuan untuk mendukung

koordinasi, memfasilitasi, dan mengendalikan pelaksanaan percepatan

pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. UP4B dibentuk dengan

Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2011 dengan masa kerja sampai 2014 yang

berkedudukan di Ibukota Provinsi Papua

(http://www.up4b.go.id/index.php/component/content/article/15-halaman/37-tentang).

UP4B mengambil fokus pada 5 program utama percepatan pembangunan

dari 7 program utama yang ditetapkan dalam Rencana Aksi P4B. Lima fokus

tersebut meliputi ekonomi kerakyatan, infrastruktur dasar, peningkatan pelayanan

pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan, serta affirmative action untuk Orang Asli Papua (OAP). Dalam meningkatkan pelayanan pendidikan, UP4B

mendorong Program Afirmasi Pendidikan yang digagas bersama Kementrian

Pendidikan dan Kebudayaan serta Universitas/Sekolah/Lembaga dalam bentuk

Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK), Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM),

dan Afirmasi Vokasi yang meliputi pendidikan di STAN, STIS, STPI, AKMIL,

dan AKPOL.

Program Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK) ini memberikan kesempatan

(3)

Tinggi Negeri (PTN) di luar Papua. Program ini dimulai sejak 2012 dengan

mengirimkan 770 siswa lulusan SMA/SMK ke 32 PTN. Melalui koordinasi,

sinkronisasi dan fasilitasi UP4B dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Kemendikbud, dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri (MRPTNI) serta

Pemerintah Provinsi Papua, Papua Barat, dan Kabupaten/Kota, pada 2013

disepakati untuk disediakan kuota dan beasiswa bagi OAP yang mencapai 600

mahasiswa untuk menempuh pendidikan tinggi di 39 PTN di luar Papua dan

Papua Barat. Setelah melalui tahapan seleksi hingga pengumuman kelulusan, para

calon mahasiswa ADIK telah diberangkatkan ke 39 PTN di 29 kota yang tersebar

mulai dari Banda Aceh hingga Maluku. Sejak 2012 hingga 2013 ini, sudah ada

900 mahasiswa yang mengikuti program ADIK tersebut

(http://www.jurnas.com/news/116771/Affirmative-Action-Jalan-Pintas-Pendidikan-Papua-2013/1/Sosial-Budaya/Pendidikan).

Dua universitas dari 39 PTN yang menerima mahasiswa Program Afirmasi,

diantaranya terdapat di Kota Medan yaitu Universitas Sumatera Utara (USU) dan

Universitas Negeri Medan (UNIMED). Jumlah mahasiswa Papua yang ada di

UNIMED berjumlah 4 orang sebagai angkatan I (2013). Berbeda dengan

UNIMED yang mulai menerima mahasiswa Afirmasi pada tahun 2013, USU

mulai menerima mahasiswa Afirmasi sejak tahun pertama diadakan yaitu tahun

2012 dengan jumlah mahasiswa 18 orang sebagai angkatan I dan angkatan II

berjumlah 11 orang. Mahasiswa asal Papua yang berjumlah 29 orang tersebut

tersebar di 8 fakultas yaitu fakultas kedokteran, ekonomi, pertanian, kesehatan

masyarakat, teknik, farmasi dan keperawatan (Pra Penelitian dengan Demianus,

Ketua Komunitas Papua, 6 Maret 2014). Mahasiswa asal Papua yang berkuliah di

USU tinggal di asrama putra dan asrama putri serta diberikan biaya hidup

perbulan sebesar satu juta rupiah. Mereka akan kembali ke daerah masing-masing

untuk membangun daerahnya setelah menyelesaikan kuliahnya di USU. Generasi

muda inilah yang diharapkan dapat membangun Papua dan mengejar

ketertinggalan dari provinsi lain di Indonesia

Mahasiswa asal Papua yang kuliah di USU harus meninggalkan rumah,

keluarga, teman dan akan menemui masyarakat yang memiliki latar belakang

(4)

Selama ini mereka hidup dalam lingkungan yang familiar, tempat dimana mereka

tumbuh dan berkembang. Orang-orang yang ditemui dalam lingkungan pada saat

sekolah ataupun bermain cenderung memiliki kesamaan dalam hal latar belakang

etnik, kepercayaan atau agama, nilai bahasa atau setidaknya memiliki dialek yang

sama. Memasuki dunia baru dengan segala sesuatu yang terasa asing, maka

berbagai kecemasan dan ketidaknyamanan pun akan terjadi.

Dedy Mulyana dan Rakhmat Jalaludin dalam bukunya menyatakan bahwa

salah satu kecemasan yang terbesar adalah mengenai bagaimana harus

berkomunikasi. Sangat wajar ketika individu masuk dalam lingkungan budaya

baru mengalami kesulitan bahkan tekanan mental karena telah terbiasa dengan

hal-hal yang ada disekelilingnya. Ketika individu masuk dan mengalami kontak

budaya lain serta merasakan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak

tersebut, maka keadaan ini disebut sebagai gegar budaya atau culture shock.

Culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang yang familiar dalam hubungan

sosial. Tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk itu meliputi seribu satu cara yang kita

lakukan dalam mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi

sehari-hari (Mulyana dan Rakmat, 2005: 174).

Berdasarkan hasil pra penelitian yang dilakukan bersama salah seorang

mahasiswa Papua bernama Duma, ketika mahasiswa asal Papua berinteraksi

dengan mahasiswa lainnya yang berbeda etnik mereka mengalami culture shock.

Duma mengatakan bahwa ketika pertama kali ia tiba di Medan, ada rasa cemas

dan takut bagaimana ia akan berkomunikasi dengan teman-teman kampusnya

yang berbeda etnik karena perbedaan bahasa. Menempati suatu daerah yang

belum pernah dikunjungi, pasti ada perasaan kaget dan tekanan mental yang

mereka alami dalam menghadapi budaya dari daerah tersebut. Hal ini terjadi

karena dalam diri mereka sudah melekat latar belakang budaya termasuk makanan

dan tata cara komunikasi yang telah terekam baik di saraf individu dan tak

terpisahkan dari pribadi individu tersebut. Lalu datang ke Medan sebagai suatu

lingkungan baru bagi mereka dengan beragam latar belakang budaya yang jauh

berbeda membuat mereka menjadi orang asing. Apalagi melihat Papua yang

(5)

Barat membuat kebudayaan satu sama lain berbeda jauh. Hal ini diperkuat dalam

tinjauan Wallace pada abad XIX, kawasan nusantara dihuni dua ras yang sangat

berbeda, yaitu Melayu dan Papua. Ras Melayu tersebar di sebagian besar wilayah

Nusantara, sedangkan ras Papua menghuni kepulauan Papua, Misool, Salawaty,

Waigeo. Aru, dan Kei. Wallace menegaskan bahwa Papua dalam banyak hal

berbeda dengan Melayu (Meteray, 2012: 1).

Mahasiswa asal Papua datang ke Medan sebagai suatu lingkungan baru

mungkin akan menghadapi banyak hal yang berbeda seperti cara berpakaian,

bertingkah laku, cara berbicara, cuaca, makanan, bahasa, orang-orang, sekolah

dan nilai-nilai yang berbeda. Tetapi ternyata budaya tidak hanya meliputi cara

berpakaian maupun bahasa yang digunakan, namun budaya juga meliputi etika,

nilai, konsep keadilan, perilaku, hubungan pria wanita, konsep kebersihan, gaya

belajar, gaya hidup, motivasi bekerja, ketertiban lalulintas, kebiasaan dan

sebagainya (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 97). Mereka sulit menyesuaikan diri

dan memahami budaya lingkungan yang baru karena perbedaan yang mereka

pahami. Bagaimana fenomena yang akan mereka alami ketika kelar dari suatu

budaya ke budaya lain sebagai reaksi ketika berpindah dan hidup dengan

orang-orang yang berbeda dengan mereka serta bagaimana upaya yang mereka lakukan

untuk mengatasi culture shock yang dirasakan menuju suatu adaptasi yang baik dan komunikasi antarbudaya yang efektif. Banyak hal yang dapat mempengaruhi

proses penyesuaian diri, seperti variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi,

yakni faktor personal (intrapersona), seperti karakteristik personal, motivasi

individu, persepsi individu, pengetahuan individu dan pengalaman sebelumnya.

Selain itu juga dipengaruhi oleh keterampilan (kecakapan) komunikasi individu

dalam komunikasi sosial (antarpersonal) serta suasana lingkungan komunikasi

budaya baru tersebut (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 141-144).

Individu mengalami proses memperoleh aturan-aturan (budaya)

komunikasi dimulai pada masa awal kehidupan. Pola-pola budaya ditanamkan

dalam sistem saraf dan menjadi kepribadian dan perilaku individu melalui proses

sosialisasi dan pendidikan. Proses memperoleh pola-pola demikian oleh individu

disebut enkulturasi. Melalui proses enkulturasi, pola budaya diinternalisasikan dan

(6)

ini membuat individu mudah berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya

yang juga memiliki pola-pola budaya serupa.

Bagaimana jika seseorang lahir dan terenkulturasi dalam suatu budaya

tertentu dan memasuki budaya lain? segala bentuk lambang-lambang verbal dan

non verbal dan atuan-aturan atau kelompok yang memasuki budaya baru akan

mengalami proses enkulturasi yang kedua, yang disebut dengan proses akulturasi.

Akulturasi merupakan suatu nilai masuk ke dalam diri individu tanpa

meninggalkan identitas budaya yang lama (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 139).

Setiap daerah memiliki adat istiadat dan budaya sendiri yang biasanya sulit

untuk diubah. Masyarakat dengan etnik tertentu juga berbeda dalam bertingkah

laku, cara berbicara, dan lain sebagainya. Budaya berkaitan erat dengan cara

manusia hidup. Manusia berpikir dan bertindak sesuai dengan pola budaya yang

telah melekat pada dirinya. Budaya dan komunikasi itu seperti dua sisi mata uang

yang mempunyai hubungan timbal balik. Budaya menjadi bagian dari perilaku

komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara,

mengembangkan atau mewariskan budaya. Budaya yang berbeda-beda memiliki

sistem yang berbeda juga dan karenanya ikut menentukan tujuan.

Berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali

menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya,

misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau

norma-norma masyarakat dan lain sebagainya. Padahal syarat untuk terjalinnya hubungan

itu tentu saja harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna

antara satu dengan lainnya. Maka dari itu mempelajari komunikasi dan budaya

merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahakan (dalam jurnal Lubis Lusiana

Andriana, 2002: 1).

Komunikasi antarbudaya merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk

dipelajari. Individu dapat mengetahui budaya-budaya dari daerah lain dan dapat

menjadi bahan pegangan ketika berjumpa dengan orang yang berasal dari budaya

yang berbeda dengan mempelajari komunikasi antarbudaya. Komunikator dan

komunikan yang berasal dari budaya yang berbeda akan dapat mencapai

komunikasi yang efektif apabila keduanya saling memahami dan menghargai

(7)

persahabatan, kesetiakawanan, hingga mengurangi ketidakpastian dan konflik

antar budaya. Hal ini menjadi penting untuk dipelajari oleh mahasiswa asal Papua

untuk mencapai komunikasi yang efektif dengan mahasiswa USU yang berbeda

etnik. Kuliah di USU selama kurang lebih 4 tahun menuntut mereka untuk dapat

memahami perbedaan yang ada dan dapat menjalin komunikasi yang efektif agar

mereka merasa nyaman kuliah di USU dan tidak mengalami konflik dan homesick

yang berlebihan.

Penelitian mengenai culture shock sebelumnya sudah pernah dilakukan terhadap mahasiswa asal Malaysia yang kuliah di FK dan FKG USU oleh Emma

Violita Pinem dan juga terhadap mahasiswa asal Minang di USU oleh Fadhli

Friandes. Kedua hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa mereka memiliki

kecenderungan culture shock pada kategori sedang. Hal ini terjadi karena melihat Minang dan Medan yang sama-sama terletak di pulau Sumatera dan juga

Malaysia yang masih satu rumpun dan tetangga dengan Indonesia. Penelitian ini

juga menjelaskan bagaimana mereka mengalami culture shock karena perbedaan nilai yang dianut dengan nilai di lingkungan baru yang mereka tempati dan juga

cara mengatasinya.

Peneliti tertarik untuk melihat bagaimana mahasiswa asal Papua yang

kuliah di USU berinteraksi dengan mahasiswa USU lainnya, tahapan-tahapan

culture shock yang mereka alami juga upaya apa yang dilakukan dalam mengatasinya. Hal ini berpijak dari teori yang menyatakan individu yang

memasuki lingkungan baru akan mengalami culture shock. Penelitian ini menjadi menarik karena belum pernah dilakukan sebelumnya dan juga melihat daerah

Papua dan Medan yang berada di ujung-ujung negara Republik Indonesia. Selain

itu, orang Papua yang kuliah di USU belum pernah ada dan mereka adalah orang

Papua pertama yang kuliah di USU dan menjadi daya tarik terhadap mahasiswa

USU lainnya. Subjek penelitian atau yang biasa disebut informan dalam penelitian

ini adalah mahasiswa asal Papua angkatan 2012. Peneliti mengambil mahasiswa

Papua angkatan 2012 menjadi subjek penelitian karena mereka sudah dua tahun

tinggal di Medan dan menjadi angkatan pertama yang tiba di Medan. Mereka

tinggal di Medan dengan rentang waktu yang lama akan semakin mempengaruhi

(8)

antarbudaya ketika bertemu dengan budaya baru. Peneliti membatasi culture shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asal Papua di Medan, dalam hal ini mahasiswa asal Papua angkatan 2012 yang belajar di USU.

Berdasarkan konteks masalah di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti

mengenai “Culture Shock pada Mahasiswa Asal Papua di Universitas Sumatera Utara dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya”.

1.2Fokus Masalah

Berdasarkan konteks masalah di atas, maka dapat dikemukakan fokus

masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana proses komunikasi mahasiswa asal Papua angkatan 2012

dalam berinteraksi di USU?

b. Bagaimana tahapan-tahapan culture shock yang dialami mahasiswa Papua angkatan 2012 dalam interaksi komunikasi antarbudaya?

c. Upaya apa yang dilakukan mahasiswa asal Papua angkatan 2012

dalam mengatasi culture shock tersebut?

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses komunikasi

mahasiswa asal Papua angkatan 2012 dalam berinteraksi di USU.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tahapan-tahapan culture shock yang dialami mahasiswa asal Papua angkatan 2012 di USU dalam interaksi komunikasi antarbudaya

3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya yang dilakukan dalam

mengatasi culture shock pada mahasiswa asal Papua angkatan 2012 di USU demi penyesuaian lingkungan baru

1.4Manfaat Penelitian

(9)

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan

memperkaya penelitian tentang komunikasi antarbudaya, khususnya

culture shock

2. Secara akademisi, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan

memperkaya pengetahuan mengenai culture shock dan penelitian kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi, mengingat sangat sedikit

penelitan yang meneliti mengenai culture shock di departemen Ilmu Komunikasi USU

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi

bersama dalam memahami konteks komunikasi antarbudaya yang

terjadi di sekitar kita dan menjadi masukan dan pembelajaran bagi

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Pasal 38 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1 Tahun 2013, setelah menerima pengaduan konsumen, pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib melakukan pemeriksaan internal

Setelah mengisi form ini dengan lengkap dan melampirkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan, mohon segera dikirim kembali ke alamat :. Kasubdit Pemberdayaan Masyarakat Direktorat

Sehubungan dengan hal tersebut kami mohon kehadiran Ketua LP/LPPM/LPM/UPPM Perguruan Tinggi Negeri dan Koordinator Kopertis Wilayah I-XIV pada acara penandatanganan

Tujuan dari penelitian ini adalah mencari metode terbaik untuk mengklasifikasikan sel nukleus dan sel radang berdasarkan analisa teksur GLCM ( Gray Level

Objek yang dikaji dalam skripsi ini adalah naskah Serat Pengetan Jasan Dalem Para Nata dan cerita rakyat makam Imogiri. Teori yang penulis gunakan untuk melakukan suntingan teks

Perbedaan dalam penelitian ini maksudnya adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan kemandirian belajar dan pemahaman konsep yang diperoleh siswa setelah

Skripsi Adaptasi Sosial Anak : Studi Ekslanasi Tentang ..... ADLN - Perpustakaan

pendamping, dan pengarah atau pembimbing. Guru mengarahkan siswa untuk dapat mengonstruksi pengetahuan mereka sampai dengan mendapatkan pemahaman konsep yang sesuai