• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

Irian Jaya merupakan salah satu dari lima pulau besar di Indonesia. Irian

Jaya kemudian resmi berganti nama menjadi Papua pada 1 Januari 2000 dibawah

pemerintahan presiden KH Abdurrahman Wahid sesuai atas tuntutan masyarakat

Papua. Pulau ini terletak diujung timur Indonesia dengan luas 421.981 kilometer

persegi. Wilayah Papua ini dihuni oleh etnis Papua yang memiliki penanda warna

kulit sangat gelap, kecoklatan atau hitam, kadang-kadang hampir mendekati,

tetapi tidak pernah sama dengan pekatnya warna kulit ras Negroid. Etnis Papua

sangat berbeda dalam warna kulit dengan etnis Melayu yang dominan ada di

Indonesia, kadang-kadang agak hitam atau kecoklatan dengan rambut sangat kasar

dan kering. Di Papua sendiri terdapat keanekaragaman latar belakang ras, yaitu

Negroid, Melanosoid, Mikronesia, dan Mongoloid. Keanekaragaman penduduk

Papua juga dapat terlihat dari 250 bahasa yang digunakannya. Pada beberapa

daerah di Papua, penduduk menggunakan bahasa lokal dengan dialeg

berbeda-beda.

Dilihat dari letak geografis, Papua terletak kurang lebih 1o dari Selatan katulistiwa, antara 130 O Bujur Barat dan 141 O Bujur Timur sedangkan secara topografis, Papua terbagi dalam tiga wilayah. Pertama, wilayah “kepala burung”,

yang mencakup Manokwari, Fakfak, Sorong, Kaimana, Teminabuan, Bintuni,

Ransiki, Ayamaru, dan Windesi. Kedua, wilayah pegunungan tengah sampai

utara, yakni Jayawijaya, Nabire, Kepulauan Yapen, Biak, Numfor, Supiori, Sarmi,

dan Jayapura. Ketiga, wilayah selatan pegunungan tengah, yakni Mimika, Asmat,

dan Merauke. Pulau papua ini pemerintahan kolonial dibagi menjadi dua bagian

dengan menarik suatu garis perbatasan dari utara ke selatan yang membagi pulau

ini menjadi dua, yaitu Nieuw Guniea atau sekarang Papua dibagian barat dan

(2)

Provinsi Papua sangat kaya dengan berbagai potensi sumberdaya alam.

Sektor pertambangannya sudah mampu memberikan kontribusi lebih dari 50%

perekonomian Papua, dengan tembaga, emas, minyak dan gas menempati posisi

teratas yang dapat memberikan kontribusi ekonomi bagi daerah itu. Pada bidang

pertambangan, provinsi ini memiliki potensi 2,5 miliar ton batuan biji emas dan

tembaga, semuanya terdapat di wilayah konsesi Freeport. Di samping itu, masih

terdapat beberapa potensi tambang lain seperti batu bara berjumlah 6,3 juta ton,

batu gamping di atas areal seluas 190.000 ha, pasir kuarsa seluas 75 ha dengan

potensi hasil 21,5 juta ton, lempung sebanyak 1,2 jura ton, marmer sebanyak 350

juta ton, granit sebanyak 125 juta ton dan hasil tambang lainnya seperti pasir besi,

nikel dan krom

(http://www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-papua/sumber-daya-alam).

Papua tidak hanya memiliki kekayaan alam dari sisi pertambangan yang

melimpah namun wilayah Papua juga memiliki potensi pariwisata yang yang

terkenal seperti Taman Nasional Lorentz yang merupakan salah satu kawasan

konservasi istimewa yang tidak biasa seperti kawasan lainnya karena pada

tanggal 12 Desember 1999 PBB melalui United Nation Educational Scientific and

Cultural Organization (UNESCO) secara resmi menetapkannya sebagai situs

alam warisan dunia yang memiliki kurang lebih 43 jenis ekosistem. Potensi

parawisata lain yang dimiliki oleh Papua adalah Kepulauan Raja Ampat yang

merupakan salah satu destinasi menyelam terbaik di dunia. Raja Ampat memiliki

memiliki konsentrasi kehidupan laut terbesar di dunia yang terdiri dari 75%

spesies karang, lebih dari 10 ribu spesies ikan, kura-kura, ikan hiu dan manta yang

belum terjamah oleh banyak orang

(http://lifestyle.sindonews.com/read/1075578/156/raja-ampat-taman-nasional-komodo-tempat-menyelam-terbaik-dunia-1452304501).

Kekayaan alam yang kaya di Papua ditambah dengan jumlah penduduk

yang tidak padat yaitu sekitar 3,6 juta seharusnya mampu menjadi indikator Papua

untuk menjadi daerah yang maju dan makmur. Namun kenyataannya, Papua

merupakan provinsi tertinggal, dengan kemiskinan tertinggi serta Indeks

(3)

Sebagai perbandingan, IPM Nasional tahun 2011 mencapai 72,77%, sedangkan

IPM Papua mencapai 65,36%. Angka melek huruf Nasional mencapai 92,99%

sedangkan Papua mencapai 75,91%. Demikian juga tingkat kesenjangan

kemiskinan Papua jauh tertinggal dibandingkan dengan daerah lainnya. Jika

kemiskinan nasional mencapai 11,66% maka Papua berada pada kisaran 30,66%

(http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php.index-berita-

bulanan/2014/desember2013/568-affirmative-action-jalan-pintas-pendidikan-papua).

Masalah kemiskinan yang dimiliki oleh Papua kemudian menjadi

penghambat utama dalam mendapatkan akses pendidikan. Jika pemerintah dan

berbagai pihak tidak memberikan perhatian khusus bagi daerah Indonesia Timur

yang masih tertinggal dalam hal mutu dan kualitas pendidikan maka akan timbul

ketimpangan sosial. Pendidikan adalah ujung tombak dari pemecahan masalah

kesejahteraan masyarakat tertinggal saat ini dengan majunya pendidikan maka

diharapkan generasi muda dapat kembali ke daerah asalnya mampu untuk

membangun tanah kelahirannya.

“Menurut Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Papua yaitu

Bapak Elias Wonda di Papua, untuk mewujudkan implementasi pendidikan, memang masih terkendala dengan beberapa persoalan, yaitu selain permasalahan teknis seperti tenaga pendidik yang masih minim, juga ditambah dengan lokasi sekolah yang berjauhan, kondisi topografis, demografi dan geografi wilayah Papua yang berada di kawasan dataran tinggi dan pegunungan tempat sekolah berada. Bahkan untuk mencapai sebuah sekolah yang terletak di kawasan pegunungan, harus menggunakan transportasi udara yang kemudian harus disambung dengan berjalan kaki (Friastuti

dalam Syahputra, 2015:3)”.

Usaha dalam peningkatan mutu dan kualitas pendidikan Papua juga masih

terdapat kendala lainnya. Salah satu kendalanya adalah banyak tenaga pengajar

yang tidak bertahan di tempat tugasnya khususnya di daerah terpencil di Papua

dan distribusi tenaga pengajar yang masih tidak merata di Papua ditambah dengan

kurangnya infrastruktur sekolah dan pengawasan pendidikan yang masih sangat

(4)

(http://m.republika.co.id/berita/pendidikan/11/04/06/lj8hm9-infrastruktur-hambata-peningkatan-pendidikan-di-papua).

Pemerataan dan keterbukaan akses pendidikan sangat penting untuk

memperkokoh kekuatan dan kesatuan bangsa. Keutuhan berbangsa tercermin dari

tingkat pendidikan yang merata sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan bagi

seluruh masyarakat Indonesia. Lemahnya latar belakang pendidikan pada salah

satu bagian wilayah, menyebabkan lemahnya kekuatan rantai persatuan sebagai

bangsa. Upaya untuk mengatasi dan memperkuat rantai kesatuan berbangsa

tersebut, salah satunya melalui peningkatan akses dan penuntasan pendidikan

tinggi bagi daerah terpinggirkan dan daerah yang mengalami ketertinggalan dalam

pendidikan khususnya bagi daerah Papua

(https://www.google.co.id/?gws_rd=cr&ei=UvofV_DPJsLhuQS_-puYAg#q=program+adik+papua).

Usaha pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

dalam mengatasi permasalahan ketertinggalan pendidikan di Papua adalah

melakukan berbagai program prioritas untuk mencapai kemajuan dan percepatan

pembangunan pendidikan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Salah satu program

yang dilaksanakan oleh Ditjen Pendidikan Tinggi, Unit Percepatan Pembangunan

Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) dan Majelis Rektor Perguruan tinggi

Negeri Indonesia (MRPTNI) yaitu Afirmasi Pendidikan Tinggi bagi Putra-Putri

asli Papua dan Papua Barat (ADIK Papua). Program ADIK Papua memberikan

kesempatan bagi generasi muda Asli Papua untuk bisa mengikuti pendidikan

tinggi negeri bersama dengan mahasiswa lain dari seluruh Indonesia.

Sampai saat ini ADIK Papua masih terus ditingkatkan kualitasnya dari

tahun ke tahun. Melihat tujuan dari Program ADIK Papua ini adalah memberikan

kesempatan kepada putra-putri Asli Papua lulusan SMA sederajat yang berprestasi

akademik baik, untuk memperoleh pendidikan tinggi di PTN terbaik;

mendapatkan calon mahasiswa baru putra-putri Asli Papua melalui seleksi

nasional dan seleksi khusus bagi siswa berprestasi akademik di SMA sederajat;

menyiapkan sumber daya manusia putra-putri asli Papua yang berkualitas untuk

berkontribusi dalam pembangunan nasional. Program ini meningkat dari tahun ke

(5)

tahun 2015 kuota penerimanya naik menjadi 434 orang

(http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php.index-berita-

bulanan/2014/desember2013/568-affirmative-action-jalan-pintas-pendidikan-papua). Adanya peningkatan penerima Program ADIK Papua dapat menjadi

jawaban salah satu permasalahan ketertinggalan pendidikan Papua mengingat

bahwa semakin banyak sumber daya manusia Papua yang dipersiapkan untuk

membangun peningkatan kesejahteraan Papua.

Lulusan dari program Afirmasi ini diharapkan akan menjadi kaum

intelektual baru yang akan kembali dan membangun tanah Papua. Program ini

memberi kesempatan kepada calon mahasiswa untuk memilih jurusan pendidikan

sesuai minat dan kemampuan akademik. Program studi yang sudah disiapkan

adalah: Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, Farmasi, Teknik, Pertanian,

Akuntansi, Statitiska, Keguruan dan Ilmu Pendidikan di 39 perguruan tinggi

negeri di Indonesia. Salah satu perguruan tinggi negeri yang bekerjasama dengan

program ADIK Papua adalah Universitas Sumatera Utara (USU).

Universitas Sumatera Utara mulai menerima mahasiswa Afirmasi sejak

tahun pertama diadakan yaitu tahun 2012 dengan jumlah mahasiswa 17 orang

sebagai angkatan I, angkatan II (2013) berjumlah 12 orang, angkatan III (2014)

berjumlah 17 mahasiswa dan angkatan IV (2015) berjumlah 26 orang. Mahasiswa

asal Papua yang berjumlah 72 orang tersebut tersebar di 8 Fakultas yakni,

Fakultas Kedokteran, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Pertanian, Fakultas

Kesehatan Masyarakat, Fakultas Teknik, Fakultas Farmasi dan Keperawatan . Di

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik terdapat 2 mahasiswa asal Papua yakni di jurusan

Ilmu Politik dan Ilmu Kesejahteraan Sosial (pra penelitian dengan Agustinus –

anggota IMP (Ikatan Mahasiswa Papua) Sumut, 2015).

Program ADIK Papua yang telah dikerjakan oleh pemerintah ini tidak

sepenuhnya berjalan lancar hal ini dikarenakan banyak mahasiswa Papua kembali

ke tanah kelahirannya sebelum menyelesaikan studinya. Wakil Rektor I USU,

Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D mengatakan bahwa mahasiswa asal Papua

kurang rajin atau kurang usaha dalam mengikuti perkuliahan. Beberapa dari

mereka ada yang meminta pindah jurusan karena tidak mampu mengikuti

(6)

yang sama bahkan ada mahasiswa yang kembali ke Papua tanpa melapor ke

Universitas (Syahputra, 2014: 6-7). Hal ini menunjukkan ada ketidakyakinan

terhadap kemampuan yang mereka miliki, rasa rendah diri, dan konflik dalam diri

mereka akibat dari kondisi sekitar mereka yang jauh dari harapan. Padahal untuk

bisa menerima beasiswa ini mereka telah melewati proses seleksi di daerahnya

yang secara nasional dirancang dalam beberapa tahapan, dimulai dari tahapan

pendataan dan pendaftaran, seleksi/ujian, pembekalan, mobilisasi, registrasi,

pembiayaan, pembinaan dan pembimbingan belajar agar mahasiswa dapat

menyelesaikan pendidikan tingginya dengan tuntas dan hasil yang baik.

Mahasiswa asal Papua harus merantau dan meninggalkan keluarga serta

tanah kelahirannya untuk sebuah tujuan untuk perbaikan kualitas pendidikan. Di

lingkungan yang baru mereka harus berinteraksi dengan lingkungan yang berbeda

jauh dengan latar belakang budaya mereka. Dengan latar belakang budaya yang

sudah melekat pada diri mereka, termasuk tata cara komunikasi yang telah

terekam secara baik di saraf individu dan tak terpisahkan dari pribadi individu

tersebut, kemudian diharuskan memasuki suatu lingkungan baru dengan variasi

latar belakang budaya yang tentunya jauh berbeda membuat mereka menjadi

orang asing di lingkungan itu (Maulida, 2014:3).

Pada awal berinteraksi dengan lingkungan baru mahasiswa asal Papua

cenderung tidak percaya diri dan menarik diri untuk berkomunikasi dengan

lingkungan barunya. Hal ini dikarenakan adanya kecemasan, perasaan takut

ditolak, tekanan dari dalam diri dalam menghadapi budaya yang belum pernah

mereka kunjungi sebelumnya. Keterbatasan pengetahuan tentang budaya tempat

tinggal mereka sekarang dan ditambah dengan adanya perbedaan budaya yang

sangat jauh dengan budaya mereka membuat mereka stress secara psikologis

dalam pertemuan-pertemuan antarbudaya serta merasa tidak nyaman dalam

berkomunikasi dengan lingkungannya (pra penelitian dengan Agustinus, 2015).

Medan merupakan kota Metropolitan dengan berbagai kemajemukan dan

keragaman budaya yang ada. Budaya yang pluralis dan heterogen di Kota Medan

membuat setiap penduduknya diperhadapkan pada interaksi antarbudaya termasuk

mahasiswa Papua yang tinggal di kota Medan. Masa kuliah mahasiswa Papua

(7)

antarbudaya dalam berinteraksi dengan lingkungan tempat mereka menuntut ilmu

dan ini menjadi suatu hal yang menarik untuk diteliti.

Kecemasan bagaimana harus berkomunikasi ketika memasuki lingkungan

budaya yang baru adalah hal yang wajar. Namun, jika hal tersebut berkelanjutan

dan terus terjadi maka individu yang memasuki budaya baru tersebut akan

mengalami tekanan mental yang mengarah pada kondisi ketidaknyamanan dan

merasa tertolak di lingkungan baru tersebut. Kesulitan beradaptasi dengan

lingkungan tempat mahasiswa Papua yang menuntut ilmu baik dengan mahasiswa

lainnya maupun dengan dosen yang mengajar mereka akan mempengaruhi

keefektifan perkuliahan mereka. Adanya mahasiswa Papua yang kembali pulang

ke daerah asalnya menunjukkan bahwa tidak semua mahasiswa Papua mampu

menghadapi kondisi lingkungan baru mereka dengan baik.

Suatu kecakapan dan kemampuan komunikasi dibutuhkan untuk dapat

berbaur baik dengan lingkungan sekitar khususnya dengan lingkungan yang

berbeda budaya seperti yang dialami oleh para mahasiswa asal Papua yang

menuntut ilmu di Universitas Sumatera Utara. Adanya mahasiswa asal Papua

yang kembali ke tanah kelahirannya menunjukkan adanya ketidaknyamanan

ketika berkomunikasi antarbudaya. Ketidaknyamanan ini dikarenakan kurangnya

kompetensi komunikasi antarbudaya yang dimiliki mahasiswa asal Papua.

Liliweri (2009) mendefenisikan kompetensi antarbudaya sebagai

kompetensi antarbudaya sebagai kompetensi yang dimiliki oleh seseorang (baik

secara pribadi, kelompok, organisasi atau dalam etnik dan ras) untuk

meningkatkan kapasitas , keterampilan, pengetahuan, yang berkaitan dengan

kebutuhan utama dari orang-orang lain yang berbeda kebudayaannya. Menurut

Spitzberg (dalam Kurniawan, 2011:49) kompetensi komunikasi antarbudaya

mencakup beberapa komponen yaitu : pengetahuan, motivasi dan keterampilan

masing-masing individu dalam melakukan komunikasi antarbudaya.

Bagi para peserta komunikasi antarbudaya dibutuhkan suatu kecakapan

untuk mengelolah pesan maupun hambatan yang ada di dalam komunikasi

(8)

memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya agar komunikasi yang terjalin

diantara peserta komunikasi mencapai suatu tujuan komunikasi yaitu kesamaan

makna serta adanya kenyamanan diantara pihak yang berkomunikasi.

Mahasiswa Papua di dalam proses interaksinya dengan lingkungan

sosialnya terkhususnya mahasiswa dan dosen seharusnya memiliki kompetensi

komunikasi antarbudaya. Hal ini dikarenakan budaya tidak hanya meliputi cara

berpakaian maupun bahasa yang digunakan, namun budaya juga meliputi etika,

nilai, konsep keadilan, perilaku, hubungan pria wanita, konsep kebersihan, gaya

belajar, gaya hidup, motivasi bekerja, ketertiban lalulintas, kebiasaan dan

sebagainya (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 97). Perbedaan latar belakang budaya

yang sangat jauh tentunya akan menimbulkan suatu hambatan dalam

berkomunikasi.

Penelitian mengenai mahasiswa asal Papua di USU sudah pernah

dilakukan sebelumnya oleh Indah Maulida dan Nurhayati yang menitikberatkan

pada culture shock (gegar budaya) yang dialami oleh Mahasiswa asal Papua.

Dalam penelitian Indah Maulida menunjukkan bahwa mahasiswa Papua memiliki

kecenderungan culture shock yang tergolong sedang. Hal ini berarti mereka sudah

bisa menyesuaikan diri dan merasa nyaman tinggal di Medan. Penelitian yang

dilakukan oleh Nurhayati menunjukkan bahwa kecenderungan informan Papua

mengalami beberapa gegar budaya seperti kurikulum pelajaran, konsep harga,

makanan, kebiasaan dan beberapa sistem komunikasi seperti: penggunaan bahasa,

intonasi, aksen ketika berkomunikasi dengan teman non Papua. Penelitian lain

terkait mahasiswa Papua juga pernah dilakukan oleh Ronny Syahputra mengenai

gambaran self-efficiacy (keyakinan mengenai kemampuan dirinya). Hasil

penelitian menunjukkan self-efficacy mahasiswa Universitas Sumatera Utara yang

berasal dari Papua berada pada kategori sedang.

Berdasarkan uraian-uraian di atas peneliti tertarik untuk melihat interaksi

yang terjadi antara mahasiswa Papua dengan mahasiswa dan dosen di USU.

Hal-hal apa saja yang telah mereka persiapkan sebelumnya ketika memasuki

lingkungan baru dan kompetensi komunikasi antarbudaya mereka. Peneliti

(9)

2015 yang merupakan mahasiswa aktif dalam kegiatan perkuliahan di USU.

Rentang waktu tinggal yang lama di Kota Medan dan interaksi budaya yang setiap

saat mereka alami seharusnya membuat mereka mempersiapkan kemampuan

mereka dalam berkomunikasi dengan lingkungan budaya Medan yang sangat jauh

dari budaya asal mereka.

1.2 Fokus Masalah

Fokus masalah yang dapat diajukan untuk penelitian ini berdasarkan

konteks masalah di atas adalah:

“Bagaimanakah kompetensi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asal Papua dalam berinteraksi dengan mahasiswa dan dosen di Universitas Sumatera Utara?”

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses komunikasi

antarbudaya mahasiswa Papua dalam berinteraksi dengan mahasiswa dan

dosen di Universitas Sumatera Utara.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hambatan-hambatan yang

dihadapi oleh mahasiswa asal Papua dalam interaksi komunikasi

antarbudaya dengan mahasiswa dan dosen.

3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen

kompetensi komunikasi antarbudaya mahasiswa asal Papua di

Universitas Sumatera Utara yang dapat muncul dalam interaksi

komunikasi antarbudaya.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi positif

bagi penelitian dibidang ilmu komunikasi antarbudaya terkhusus dalam

(10)

2. Secara akademisi, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan

memperkaya pengetahuan mengenai kompetensi komunikasi antarbudaya

dan penelitian kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi khususnya

ditempat peneliti menuntut ilmu yaitu di Departemen Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi

bersama baik kepada instansi pemerintah dan Universitas Sumatera Utara

dalam memahami konteks komunikasi antarbudaya pada mahasiswa

Papua serta kendala dan tantangan dalam proses belajar yang dialami

oleh mereka sehingga diharapkan dapat mengambil langkah demi

keefektifan proses belajar dan menjadi masukan dan pembelajaran bagi

peserta komunikasi antarbudaya agar mampu mengelola dengan baik

seluruh faktor penghambat komunikasi antarbudaya dengan kecakapan

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Jalaluddin (2001, hlm. 7), pendidikan Islam yaitu usaha untuk membimbing dan mengembangkan potensi manusia secara optimal agar dapat menjadi pengabdi Allah yang

Speaking to hybrid area 3, main buildings of BND headquarters have been accomplished after the break period given that clear building like patterns composed of dense EBC points

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah pengaruh suplementasi tablet besi dan vitamin C terhadap status hemoglobin pada siswa kelas VI SDN Klego 01 Kota

c) Jika diketahui larutan amonia 10%massa dengan densitas ~1 berapa konsentrasi amonia(Mol/Liter) yang terkandung dalam 10 mL larutan tersebuta.

MODEL PENGGUNAAN SISTEM INFORMASI AKUNTANSI UNTUK MENINGKATKAN KINERJA PADA INDUSTRI KREATIF-UKM DI KOTA MALANG.

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN BUDI PEKERTI TAHUN PEMBELAJARAN ………... Satuan Pendidikan

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah tingkat I, disingkat Bapedalda Tingkat I adalah perangkat daerah yang bertugas membantu Gubernur Kepala Daerah dalam melakukan pembinaan

Sehubungan dengan hal tersebut kami mohon kehadiran Ketua LP/LPPM/LPM/UPPM Perguruan Tinggi Negeri dan Koordinator Kopertis Wilayah I-XIV pada acara penandatanganan