• Tidak ada hasil yang ditemukan

Barongsai Pada Kebudayaan Masyarakat Tionghoa Benteng Di Klenteng Boen Hay Bio Kota Tangerang: Kajian Terhadap Pertunjukan Dan Makna Gerak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Barongsai Pada Kebudayaan Masyarakat Tionghoa Benteng Di Klenteng Boen Hay Bio Kota Tangerang: Kajian Terhadap Pertunjukan Dan Makna Gerak"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

BARONGSAI PADA KEBUDAYAAN MASYARAKAT TIONGHOA

BENTENG DI KLENTENG BOEN HAY BIO KOTA TANGERANG:

KAJIAN TERHADAP PERTUNJUKAN DAN MAKNA GERAK

(

格朗市 舞狮 表演 意

的研究)

Yìnní dān gé lǎng shì wǔ shī biǎoyǎn yìyì de yánjiū

DISUSUN

O

L

E

H

NAMA : ANNISA SYLVIANA

NIM : 100710022

PROGRAM STUDI SASTRA CINA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Abstract

The title of this thesis is “Barongsai pada Kebudayaan Masyarakat Tionghoa Benteng di

Klenteng Boen Hay Bio di Kota Tangerang: Kajian terhadap Pertunjukan dan Makna Gerak”.

The aim of this thesis is to describe the performance of Barongsai in Chinese society in Tangerang and to describe the meaning of the lion dance of Barongsai. The method of this thesis is describtive qualitative. The theory used in this thesis to show the performance of Barongsai is performance theory. To describe to meaning of the Barongsai movement is semiotic theory. The result of this thesis shows that the Barongsai performance using costumes to look like a lion, full of history and symbol, performed in Chinese new year, and a lot of acrobatic movements. The meaning of Barongsai movements symbolizing luck, bravery, and purity.

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Segala puji dan syukur penulis ucapkan ke khadirat Allah SWT dengan rahmat, Hidayah,

Nikmat serta PertolonganNYA, penulis dapat, menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul “BARONGSAI PADA KEBUDAYAAN MASYARAKAT

TIONGHOA BENTENG DI KLENTENG BOEN HAY BIO KOTA TANGERANG:

KAJIAN TERHADAP PERTUNJUKAN DAN MAKNA GERAK “.

Penyusunan skripsi ini tentu jauh dari kesempurnaan, hal ini disebabkan

keterbatasan ilmu yang penulis miliki dan kurangnya pengalaman penulis. Maka

dengan segala kerendahan hati penulis menerima saran dan kritikan serta sumbangan

pemikiran yang bermanfaat untuk kesempurnaan skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu penulis, untuk

itulah penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada:

1. Dr. H. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatera Utara Medan, beserta Pembantu Dekan I Dr. M. Husnan Lubis, M.A,

Pembantu Dekan II Drs. Samsul Tarigan, dan Pembantu Dekan III Drs. Yuddi Adrian

Muliadi, M.A, berkat bantuan dan fasilitas yang penulis peroleh di Fakultas Ilmu

Budaya Universita Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A., selaku ketua Program Studi Sastra Cina Fakultas

(4)

3. Ibu Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si., selaku Sekretaris Program Studi Sastra Cina

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs.Fadlin,M.A, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberi arahan

kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Ibu Yang Yang, M.A atau 杨杨 老师, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberi arahan serta dengan tabah dan ikhlas membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

yang menggunakan bahasa mandarin.

6. Bapak Peng Pai, M.A atau 澎 湃 老 师, selaku Dosen pengajar yang telah memberikan ilmunya dan telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

yang menggunakan bahasa mandarin.

7. Ibu Sheyla Silvia Siregar, S.S., M.Si, selaku dosen Pengganti Pembimbing II yang

telah membantu penulis dalam hal menyelesaikan skripsi yang berbahasa

mandarin.

8. Bapak dan Ibu Staf pengajar Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan

pengajaran selama penulis mengikuti perkuliahan.

9. Seluruh narasumber yang telah membantu penulis dalam proses penelitian sehingga

skripsi ini dapat diselesaikan.

10.Ayahanda dan Ibunda tercinta, Jufrial Agusti S.E dan Sri Mahdarina, yang banyak

memberikan pertolongan kepada penulis baik moril maupun materil sehingga

skripsi ini selesai.

(5)

Rafdi, Yazid Hafidz dan Farhan Shihab, yang telah memberi motivasi dan semangat

kepada penulis dalam memikirkan dan menyelesaikan skripsi ini.

12.Teman terbaik dari kecil hingga dewasa Maria Maya Sari Manurung yang telah

memberi semangat dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

13.Teman-teman Sastra China angkatan 2010, terkhusus untuk Joy, Acen, Angel,

Monik, Pucan, Amel, James, Anas serta Alumni dan Mahasiswa Sastra China

Univeritas Sumatera Utara yang telah membantu, memberi semangat, serta saling

bertukar pikiran kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi sarjana ini.

14.Teman-teman Teater „O‟ USU, Abangda Muhammad Ihsannuddin Nst, Abangda

Rendy Novrizal , Abangda Joko Syahputra , Abangda Syahriski Fahri Abda Sinaga,

Kakanda Tri Utari Ismayuni serta anggota Teater „O‟ dari angkatan 18 hingga 22

yang lainnya. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya atas bantuan, masukan

serta semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

15.Teman-teman dan Adik-adik yang penulis sayangi, Panji Villiberto Sirait, Adeg

Syahputra, Muhammad Savrizal, Amy Mauliddya, Agung Qosym Yus, Cherly Fikka,

Indira Ginanti, Novita Handayani, Agustina Fernandez SimangunsongRicky Yudistira, Lisa Andriani, Lestari Rahmadani Ghuci, Suryana, dan Wahyu Maulana

yang telah membantu, memberi semangat serta mendoakan penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan semua tulisan-tulisan penulis hingga terselesaikanlah

skripsi ini.

16.Teman-teman KOTAK Medan (Komunitas Teater Kampus) yang sudah mendukung

(6)

Teater Jakarta) yang sudah membantu penulis pada saat penelitian berlangsung,

sehingga penulis dapat menemukan lokasi penelitian.

Semoga Allah SWT selalu memberikan anugerah dan keridhaanNya kepada kita

semua, Amin Ya Rabbal Alamin.

Medan, Januari 2015

Penulis

(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Kilin...2

Gambar 1.2 Anjing...35

Gambar 1.3 Barongsai...37

Gambar 1.4 Barongsai...45

Gambar 1.5 Gerakan Singa Utara...45

Gambar 1.6 Gerakan Singa Selatan...47

Gambar 1.7 Gerakan Melompat di Tiang Pancang...49

Gambar 1.8 Gerakan Penghormatan...50

Gambar 1.9 Lompat Singa...52

Gambar 1.10 Gerakan Gembira...52

Gambar 1.11 Gerakan Wushu Pada Pertunjukan Barongsai...54

Gambar 1.12 Jurus Wushu...54

Gambar 1.13 Barongsai...55

(8)

Daftar Isi

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...vi

Bab I Pendahuluan 1.1Latar Belakang Masalah...1

1.2Rumusan Masalah...6

1.3Tujuan Masalah...6

1.4Manfaat Penelitian...6

1.4.1 ManfaatTeoritis...6

1.4.2 Manfaat Praktis...7

1.5Batasan Masalah...7

Bab II Tinjauan Pustaka, Konsep, dan Landasa Teori 2.1 Kajian Pustaka...8

2.2 Konsep...9

2.2.1 Kebudayaan...9

2.2.2 Kota Tangerang dan Pecinaan Benteng...10

2.2.3 Sejarah Klenteng Boen Hay Bio...13

2.2.4 Pertunjukan Barongsai...14

2.2.5 Tarian dan Gerakan...14

2.3 Landasan Teori...16

2.3.1 Teori Semiotik...16

2.3.2 Teori Pertunjukan...17

Bab III Metode Penelitian 3.1 Metode Penelitan...18

3.1.1 Studi Kepustakaan...19

3.1.2 Penelitian Lapangan...20

3.1.3 Metode Penelusuran Data Online...21

3.1.4 Kerja Laboraturium ...22

3.1.5 Lokasi Penelitian...22

Bab IV Gambaran Umum 4.1 Asal-uaul Tangerang disebut Kota Benteng...24

4.2 Sejarah Singkat Masyarakat Tionghoa Benteng di Kota Tangerang ...25

4.3 Kebudayaan Masyarakat Tionghoa di Kota Tangerang...28

Bab V Pertunjukan Barongsai Pada Masyarakat Tionghoa Bengteng di Kota Tangerang 5.1 Sejarah Barongsai...32

(9)

5.1.2Mitos Barongsai...38

5.2 Makna Gerakan Singa Pada Pertunjukan Barongsai...40

5.2.1 Sejarah Munculnya Gerakan Singa...41

5.2.2 Gerakan Singa...44

5.2.3 Penampilan Gerakan Singa...48

Bab VI Kesimpulan dan Saran 6.1 Kesimpulan...56

6.2 Saran...57

Daftar Pustaka...68

(10)

Abstract

The title of this thesis is “Barongsai pada Kebudayaan Masyarakat Tionghoa Benteng di

Klenteng Boen Hay Bio di Kota Tangerang: Kajian terhadap Pertunjukan dan Makna Gerak”.

The aim of this thesis is to describe the performance of Barongsai in Chinese society in Tangerang and to describe the meaning of the lion dance of Barongsai. The method of this thesis is describtive qualitative. The theory used in this thesis to show the performance of Barongsai is performance theory. To describe to meaning of the Barongsai movement is semiotic theory. The result of this thesis shows that the Barongsai performance using costumes to look like a lion, full of history and symbol, performed in Chinese new year, and a lot of acrobatic movements. The meaning of Barongsai movements symbolizing luck, bravery, and purity.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tiongkok adalah salah satu Negara di dunia yang terkenal dengan beragam

kebudayaannya, salah satunya adalah seni pertunjukan barongsai. Barongsai adalah salah

satu jenis seni pertunjukan yang terpusat pada olah gerak tubuh (tari dan bela diri atau

akrobatik), menggunakan kostum singa, dan gerakannya mengikuti hentakan ritme yang

dihasilkan oleh pemain musik. Pertunjukan barongsai sering ditampilkan dalam

upacara-upacara hari besar maupun peristiwa-peristiwa penting pada kebudayaan suku

Tionghoa.

Tiongkok dikenal memiliki akar kebudayaan yang tinggi. Demikian juga dengan

barongsai yang telah dikenal sejak ribuan tahun lalu. Tarian pertama mengenai tarian

barongsai bisa ditelusuri pada masa Dinasti Chin sekitar abad ketiga sebelum masehi.

Kesenian barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun

420-589 Masehi. Kala itu pasukan dari raja Song Wen Di kewalahan menghadapi

serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Seorang panglima perang

bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan itu.

Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian barongsai melegenda.

Istilah barongsai di Indonesia berasal dari dua kata, yakni barong dan sai/say. Kata

barong berasal dari bahasa Jawa yang artinya topeng, mirip dengan kesenian barong asal

(12)

ketika digabungkan, maknanya memiliki arti Topeng Singa. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia (1995), barongsai adalah “Tarian masyarakat Cina yang memakai

kedok dan kelengkapan sebagai binatang buas (singa), dimainkan oleh dua orang (satu

bagian kepala dan satu bagian ekor) dan dipertunjukan pada perayaan-perayaan hari besar

masyarakat Tionghoa”. Adapun menurut bahasa Mandarin, istilah barongsai disebut

dengan 舞狮Wǔ Shī , yang memiliki 2 arti 舞Wǔ tari sedangkan 狮 Shī (singa),

jadi apabila digabungkan, maknanya memiliki arti Tarian Singa. Tarian ini terdiri dari dua

jenis utama yakni Singa Utara yang memiliki surai ikal dan berkaki empat. Penampilan

Singa Utara lebih natural dan mirip singa. Sementara jenis satu lagi adalah Singa Selatan

yang memiliki sisik serta sejumlah kaki yang bervariasi antara dua dan empat. kepala

singa selatan juga dilengkapi tandi sehingga kadangkala mirip binatang bernama Kilin.

Gambar 1.1 Kilin

Sumber: www.google.com

Kilin adalah binatang dalam legenda, yang merupakan ciptaan dari imajinasi manusia

belaka. Kilin bertubuh rusa, tubuhnya diselubungi oleh sisik, kepalanya tumbuh tanduk

panjang, di atas tanduknya ada gumpalan daging. Kakinya seperti kaki kuda, ekornya

(13)

Raja-raja selalu menganggapnya sebagai lambang kedamaian dan kemakmuran. Selain

itu, di Tiongkok masih ada legenda “Kilin mengirim anak”. Rakyat menganggap Kilin

sebagai simbol yang dapat memberikan anak dan di lain pihak juga mengekspresikan

harapan dan doa agar mendapatkan seorang anak laki-laki, dan keluarga akan berjaya dan

sejahtera selamanya.

Gerakan dua jenis singa ini juga berbeda,Singa Selatan lebih menonjolkan gerakan

kepalanya yang keras dan melonjak-lonjak mengikuti tabuhan gong dan tambur.

Sementara Singa Utara cenderung lincah dan penuh dinamika karena memiliki empat

kaki. Satu gerakan utama dari tarian barongsai adalah gerakan singa memakai amplop

berisi uang yang disebut Lay See. Di atas amplop biasanya ditempeli sayuran selada air

yang melambangkan hadiah bagi singa. Proses Lay See ini berlangsung sekitar separuh

bagian dari seluruh tarian Singa.

Barongsai di Indonesia mengalami masa maraknya ketika zaman masih adanya

perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan di

berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan memiliki sebuah perkumpulan barongsai.

Perkembangan barongsai kemudian berhenti pada tahun 1965 setelah meletusnya

Gerakan 30 S/PKI. Karena situasi politik pada waktu itu, segala macam bentuk

kebudayaan Tionghoa di Indonesia dibungkam. Barongsai dimusnahkan dan tidak boleh

dimainkan lagi.

Perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia setelah tahun 1998 membangkitkan

kembali kesenian barongsai dan kebudayaan Tionghoa lainnya. Salah satunya di kota

(14)

mempunyai komunitas barongsai. Kelenteng Boen Hay Bio yang berada di Jalan Raya

Serpong, Desa Cilenggang, Kabupaten Tangerang merupakan satu dari tiga Kelenteng tertua

di Tangerang yang menjadi tonggak eksistensi warga China Benteng, khususnya di wilayah

Tangerang. Dua Klenteng lainnya yaitu Boen San Bio di kawasan Pasar Baru, dan Boen Tek

Bio yang terletak di kawasan Pasar Lama, Kota Tangerang, juga memiliki komunitas

perkumpulan barongsai.

Seperti halnya wilayah Tangerang yang lain, Kota Tangerang Selatan juga memiliki

tempat yang menyimpan sejarah serta budaya masyarakat Tionghoa. Tempat yang

dimaksud adalah Klenteng Boen Hay Bio yang terletak di Jalan Pasar Lama Serpong, Desa

Cilenggang, Tangerang.

Klenteng Boen Hay Bio adalah sebagai Wihara1 tertua yang ada di daerah Serpong.

Usia klenteng tersebut diperkirakan sudah mencapai tiga ratus tahun. Berdasarkan

penuturan pengurus, Wihara Boen Hay Bio dibuat tahun 1694 sebagai tempat ibadah

umat Budha. Tanggal 24 bulan keenam penanggalan Cina diperingati sebagai „Hari Jadi‟

klenteng. Pada saat itu, biasanya klenteng dipadati pengunjung yang datang untuk berdoa.

Ulang tahun klenteng juga kerap dimeriahkan dengan berbagai atraksi seperti

pertunjukan barongsai, gambang kromong, hingga pertunjukan lenong.

Barongsai yang dimainkan adalah barongsai dari Perkumpulan Barongsai Boen Hay

Bio, pemain barongsai adalah masyarakat asli keturunan cina, mereka merupakam

1

(15)

penduduk asli Pecinan Benteng Tangerang yang dominan masih beragama Budha. Yang

unik dari masyarakat Cina Benteng adalah bahwa mereka sudah berakulturasi dan

beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal. Dalam percakapan sehari-hari

misalnya, mereka sudah tidak dapat lagi berbahasa Cina. Logat mereka bahkan sudah

dialek Sunda bercampur Betawi. Ini sangat berbeda dengan masyarakat Cina di kota

Medan, yang masih memakai bahasa Hokkian dalam percakapan sehari-hari.

Dalam memainkan permainan barongsai, dibutuhkan kejelian dan ketangkasan yang

tentunya di dapat dari hasil latihan yang rutin serta tanggap dalam mengenal medan atau

arena tempat bermain, dikarenakan permainan barongsai harus dapat dilakukan di segala

medan, ataupun arena, atau bahkan dilapangan dan juga di tempat yang luasnya amat

minimalis. Dalam perkembangan sekarang ini barongsai sudah banyak jenis permainannya

yang dipadupadakan dengan kesenian bela diri Wushu, dan menjadikan gerakan-gerakan

yang dilakukan menjadi indah dan serasi dengan musik terdengar dari alat musik barongsai.

Itupun sebenarnya keserasian permainan juga di dapat dari hasil latihan yang serius dan

disiplin yang tinggi serta pengenalan tentang budaya Tionghoa pada umunya.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih dalam dan berniat

untuk melakukan suatu penelitian yang memfokuskan pada kajian terhadap pertunjukan

dan makna gerak barongsai di pecinan benteng kota Tangerang. Dengan demikian penulis

membuat judul penelitian ini yaitu : Barongsai Pada Kebudayaan Masyarakat Pecinaan

Benteng Di Klenteng Boen Hay Bio Kota Tangerang: Kajian Terhadap Pertunjukan

(16)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka permasalahan

dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana makna pertunjukkan Barongsai di etnis Pecinan Benteng di Kota

Tangerang?

2. Bagaimana makna gerakan singa pada seni pertunjukkan Barongsai?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan memahami pertunjukan Barongsai dalam kehidupan

Masyarakat Tionghoa di kota Tangerang

2. Untuk mengetahui apa nilai-nilai makna gerakan pada seni pertunjukkan

Barongsai.

1.4 Manfaat Penelitian

Sesuai dengan latar belakang perumusan masalah dan tujuan masalah yang telah

dipaparkan sebelumnya, maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pemahaman yang

(17)

Barongsai, menjadi sumber dan pengetahuan bagi penulis pada bidang kebudayaan,dan

bidang pertunjukan. Juga bertujuan untuk meluaskan wawasan seseorang mengenai hasil

budaya berbagai bangsa dan menambah pemahaman tentang nilai-nilai budaya yang

terkandung dalam karya-karya tersebut. Serta dapat menggunakan pemahaman tersebut

sebagai salah satu rujukan bagi peneliti lain yang sejenis fokusnya pada objek yang sama.

1.4.2 Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat Tionghoa secara umum, masyarakat

Tionghoa Benteng kota Tangerang secara khusus dapat memahami pertujukkan barngsai

dan apa nilai-nilai dari gerakan-gerakan seni pertunjukkan barongsai tersebut

Dan hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai sumber informasi, khasanah

wacana kepustakaan serta dapat dipergunakan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya.

1.5 Batasan masalah.

Dalam penelitian ini, penulis membatasi ruang lingkup penelitian, dengan hanya

memfokuskan pada pertunjukkan, dan makna gerakan singa pada seni pertujukan

Barongsai di Pecinaan Benteng kota Tangerang.

Data yang diperoleh adalah dari tinjauan kepustakaan dan wawancara dengan sumber

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

Pada bab ini, penulis memaparkan tentang penelitian peneliti sebelumnya, yang

berkaitan dengan permasalahan yang dibahas pada skripsi ini, konsep yang digunakan

dalam penelitian ini, serta landasan teori yang digunakan sebagai dasar penulis untuk

melakukan penelitian.

2.1 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah, menyelidiki atau

mempelajari (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003: 1198). Pustaka adalah kitab-kitab;

buku; buku primbon (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003: 912). Penulis menemukan

beberapa jurnal, skripsi yang isinya berkaitan dengan judul penelitian ini. Adapun buku

dan jurnal dan skripsi yaitu:

1. Yudisthira Siahaan, 2008. Dalam skripsi “Kajian musikal dan fungsi pertunjukan

barongsai pada perayaan Cap Go Meh masyarakat Tionghoa di Maha Vihara

Maiterya, komplek perumahan Cemara Asri, Medan. Menguraikan tentang fungsi

dan makna pertunjukan barongsai dalam bidang musikal.

2. Nandita Erisca, 2008 Universitas Indonesia. Dalam skripsi “Sejarah perkembangan

masyarakat cina di pulau jawa”. Menguraikan tentang asal muasal masuknya

(19)

mengetahui bagaimana masuknya masyarakat cina dipulau jawa khususnya di kota

Tangerang.

3. Bintang Hanggoro Putra, 2009 Universitas Negeri Semarang. Dalam jurnal

“Fungsi dan Makna Kesenian Barongsai Bagi Masyarakat Etnis Cina”.

Menguraikan tentang fungsi dan makna pertunjukan barongsai. dengan membaca

ini penulis dapat memahami lebih luas apa itu makna pertujukan barongsai.

2..2 Konsep

Konsep menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:588) adalah gambaran mental

dari suatu obyek, proses, ataupun yang ada diluar bahasa, yang digunakan oleh akal budi

untuk memahami hal-hal yang lain. Peneliti akan menggambarkan objek yang diteliti yaitu

gambaran berupsa pengertian-pengertian yang berkaitan dengan penelitian.

.2.2.1 Kebudayaan

Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan manusia dari

kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkanya

dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Dari beberapa

pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan

sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya

(20)

Setiap kelompok masyarakat mempunyai bentuk - bentuk kebudayaan yang berciri

khas tertentu atau disebut juga Cultural Universal. Unsur kebudayaan ada tujuh

(Koentjaraningrat,1982:2), yaitu:

1. Bahasa. 2. Sistem Pengetahuan 3. Organisasi Sosial 4. Sistem Peralatan.dan

Teknologi 5. Sistem Mata Pencaharian. 6. Sistem Religi. 7. Kesenian.

Setiap manusia dilahirkan ke dalam suatu kebudayaan yang bersifat kompleks.

Kebudayaan itu kuat sekali pengaruhnya terhadap cara hidup serta cara berlaku yang

akan diikuti selama manusia itu hidup.

2.2.2 Kota Tangerang dan Pecinan Benteng

Kota Tangerang adalah sebuah kota yang terletak di Provinsi Banten, Indonesia tepat

di sebelah barat kota Jakarta, serta dikelilingi oleh Kabupaten Tangerang di sebelah utara

dan barat. Tangerang merupakan kota terbesar di Provinsi Banten serta ketiga terbesar di

kawasan perkotaan Jabotabek setelah Jakarta. Kota Tangerang terdiri atas 13 kecamatan,

yang dibagi lagi atas sejumlah 104 kelurahan. Dahulu Tangerang merupakan bagian dari

wilayah Kabupaten Tangerang, kemudian ditingkatkan statusnya menjadi kota

administratif, dan akhirnya ditetapkan sebagai kotamadya pada tanggal 28 Februari 1993.

Sebutan “Kotamadya” diganti dengan “Kota” pada tahun 2001.

Tangerang adalah pusat manufaktur dan industri di pulau Jawa dan memiliki lebih

(21)

kota ini. Tangerang memiliki cuaca yang cenderung panas dan lembap, dengan sedikit

hutan atau bagian geografis lainnya. Kawasan-kawasan tertentu terdiri atas rawa-rawa,

termasuk kawasan di sekitar Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dalam beberapa

tahun terakhir, perluasan urban Jakarta meliputi Tangerang, dan akibatnya banyak

penduduk yang berpindah ke Jakarta untuk kerja, atau sebaliknya. Banyak kota-kota satelit

kelas menengah dan kelas atas sedang dan telah dikembangkan di Tangerang, lengkap

dengan pusat perbelanjaan, sekolah swasta dan mini market. (Tangerang.go.id)

Pemerintah bekerja dalam mengembangkan sistem jalan tol untuk mengakomodasikan

arus lalu lintas yang semakin banyak ke dan dari Tangerang. Tangerang dahulu adalah

bagian dari Provinsi Jawa Barat yang sejak tahun 2000 memisahkan diri dan menjadi

bagian dari provinsiBanten. (Tangerang.go.id)

Tangerang juga memiliki jumlah komunitas Tionghoa yang cukup signifikan, banyak

dari mereka adalah campuran Cina Benteng. Mereka didatangkan sebagai buruh oleh

kolonial Belanda pada abad ke 18 dan 19, dan kebanyakan dari mereka tetap berprofesi

sebagai buruh dan petani. Budaya mereka berbeda dengan komunitas Tionghoa lainnya di

Tangerang, ketika hampir tidak satupun dari mereka yang berbicara dengan aksen

Mandarin, mereka adalah pemeluk Taoisme yang kuat dan tetap menjaga tempat-tempat

ibadah dan pusat-pusat komunitas mereka. Secara etnis, mereka tercampur, namun

(22)

Tangerang, kebanyakan sekarang telah dikembangkan menjadi kawasan sub-urban2

seperti Lippo Village. (Tangerang.go.id)

Nama "Cina Benteng" berasal dari kata "Benteng", nama lama kota Tangerang. Saat

itu terdapat sebuah benteng Belanda di kota Tangerang di pinggir sungai Cisadane,

difungsikan sebagai tempat pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan Banten,

benteng ini merupakan Benteng terdepan pertahanan Belanda di pulau Jawa. Masyarakat

Cina Benteng telah beberapa generasi tinggal di Tangerang yang kini telah berkembang

menjadi tiga kota/kabupaten yaitu, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota

Tangerang Selatan. Warga Cina Benteng sempat bersitegang dengan penduduk pribumi

setelah Proklamasi Kemerdekaan.

Pada 23 Juni 1946, rumah-rumah etnis Tionghoa di Tangerang diobrak-abrik.

Penduduk yang didukung oleh kaum Republik menjarah rumah-rumah warga China

Benteng. Bahkan meja abu, yang merupakan bagian dari ritual penghormatan leluhur

tionghoa, ikut dicuri. Kemarahan penduduk pribumi dipicu seorang tentara NICA dari

etnis Tionghoa menurunkan bendera Merah Putih dan menggantinya dengan bendera

Belanda. Pada tanggal 13 Juni 1946 saat itu hubungan warga China Benteng dan pribumi

mengalami kemunduran paling ekstrem. Terlebih setelah Poh An Tuy, kelo pok pemuda

China Benteng pro-NICA, mengirim pasukan bersenjata dan mengungsikan masyarakat

China Benteng yang selamat ke Batavia. Namun akhirnya kerusuhan pro-kemerdekaan

2

(23)

itu berhasil diredam oleh koalisi antara tentara Poh An Thuy dan tentara Kolonial

Belanda.

Saat itu, semua etnis China Benteng nyaris terusir, dan ketika kembali, mereka tidak

lagi mendapatkan tanah mereka dalam keadaan utuh. Tanah-tanah para tuan tanah

diserobot pribumi. Atau, mereka mendapati rumah-rumah, yang mereka tinggalkan telah

rata dengan tanah. Kini mereka kembali terancam kehilangan rumah mereka karena

ambisi pemerintah kota. Kampung itu terletak di DAS Ciliwung, dan memang melanggar

peraturan daerah. Namun, mereka telah ada di situ sebelum peraturan daerah itu dibuat.

2.2.3 Sejarah Klenteng Boen Hay Bio

Klenteng Boen Hay Bio berdiri sekitar tahun 1694 yang terletak di kawasan Pasar

Lama, Serpong Kota Tangerang. Di dalam klenteng tersebut terdapat benda kuno dan

bersejarah, seperti patung Singa / Ciok Say. Klenteng Boen Hay Bio disebut sebagai

wihara tertua yang ada di daerah Serpong. Usia klenteng tersebut diperkirakan sudah

mencapai tiga ratus tahun. Berdasarkan penuturan pengurus, Wihara Boen Hay Bio dibuat

sebagai tempat ibadah umat Budha. Tanggal 24 bulan keenam penanggalan Cina

diperingati sebagai „hari jadi‟ klenteng.

Klenteng Boen Hay Bio tidak hanya dikenal sebagai tempat religious. Disana juga

bisa berkunjung untuk belajar Bahasa Mandarin. Kegiatan tersebut merupakan salah satu

agenda rutin bakti sosial yang diadakan oleh pengurus wihara. Arsitektur Klenteng Boen

(24)

kepiting raksasa. Dalam budaya Cina kepiting dipercaya dapat melindungi dan mengusir

roh jahat.

Ada juga hiasan naga yang melilit dua tiang utama.Di bagian kiri dan kanan klenteng

terdapat menara lima tingkat untuk membakar kertas mantra. Pengunjung juga bisa

menjumpai tambur raksasa yang biasanya ditabuh saat acara tertentu.

2.2.4 Pertunjukan Barongsai

Pertunjukan barongsai adalah pertunjukan yang menampilkan gerakan tari, meskipun

sebagian juga mengelompokkannya ke dalam seni bela diri ataupun akrobatik. Pada

pembahasan ini terlebih dahulu akan dibahas fungsi barongsai dalam perspektif tari.

Substansi tari adalah gerak. Gerak adalah pengalaman fisik yang paling elementer dalam

kehidupan manusia. Gerak ini tidak hanya terdapat dalam denyutan-denyutan di seluruh

tubuh manusia untuk tetap dapat bertahan hidup, namun gerak juga terdapat pada ekspresi

dari segala pengalaman emosional manusia. Gerakan ekspresif itu disebut dengan tari.

Menurut pola garapannya, awalnya pertunjukan barongsai merupakan jenis tarian

tradisional. Disebut sebagai tari tradisional karena barongsai telah mengalami perjalanan

sejarah yang lama dan selalu menjadi hiburan untuk rakyat. Maka dari itu, Barongsai

dapat diklasifikasi sebagai tarian rakyat.

(25)

Sejarah singa dianggap sebagai pelindung dalam kebanyakan adat orang Asia terutama

bagi mereka yang keturunan Cina. Tarian singa menjadi adat di negara Cina, Taiwan,

Jepang, Korea dan Thailand. Setiap negara tersebut mempunyai gerakan dan bentuk tarian

yang berbeda. Namun tarian ini lebih terkenal sebagai warisan masyarakat Cina, karena

tercatat sejarahnya kurang lebih 1,000 tahun lalu. Dua tarian singa yang amat populer ialah

"Tarian Singa Utara" dan "Tarian Singa Selatan".

Tarian singa Utara adalah berasal dari bagian utara Cina yang menggunakan tarian ini

sebagai hiburan di kalangan kerajaan. Kostum singa tersebut menggunakan warna merah,

jingga, hijau dan kuning untuk kostum singa betina. Tarian Singa Utara ini lebih kepada

gerakan akrobatik dan bertujuan sebagai hiburan.

Tarian Singa Selatan menjadi lambang yang mempunyai ciri-ciri yang berkaitan

dengan alam sekitar. Tarian ini selalu dipertunjukkan dalam upacara adat ataupun upacara

untuk membuang roh-roh jahat. Tarian Singa Selatan menggunakan berbagai warna.

Pada bagian kepala, mempunyai mata yang lebih besar daripada Singa Utara, dan

mempunyai cermin serta sebatang tanduk tepat di atas kepalanya. Sedangkan mata Singa

Selatan memiliki warna yang berpadu antara warna hitam dan putih. Hal ini bertujuan

untuk menunjukkan sifat singa yang garang.

Gerakan antara Singa Utara dan Singa Selatan juga berbeda. Bila Singa Selatan

terkenal dengan gerakan kepalanya yang keras dan melonjak-lonjak seiring dengan

(26)

dinamika. Satu gerakan utama dari tarian barongsai adalah gerakan singa memakan

amplop berisi uang yang disebut dengan istilah “Lay See”. Di atas amplop tersebut

biasanya ditempeli dengan sayuran selada air yang melambangkan hadiah bagi sang singa.

Proses memakan “Lay See” ini berlangsung sekitar separuh bagian dari seluruh tarian

singa

2.3 Landasan Teori

Secara etimologi, teori berasal dari bahasa yunani Theoria yang berarti kebetulan

alam atau realita. Teori diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah teruji

keterandalannya, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan dalam penelitian.

Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk mengkaji maupun menganalisis berbagai

fenomena dan juga sebagai rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian di

dalam ilmu pengetahuan

.

2.3.1 Teori Semiotik

Secara etomologis istilah semiotika berasal dari kata yunani yaitu semeion yang

berarti tanda. Tanda itu sendiri didefenisikan sebagai suatu yang berdasarkan konvensi

sosial yang terbangun sebelumnya yang dapat mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada

(27)

Secara terminologis semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari

sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Seto.

2011.8 )

2.3.2 Teori Pertunjukkan

Saat pertunjukan barongsai dimainkan, masyarakat Tionghoa sebagai pemilik

kebudayaan sudah pasti akan berkumpul untuk menyaksikannya, mereka berkumpul untuk

mengambil makna pertunjukan tersebut, yakni mengusir roh jahat dan kesialan, serta

mengundang keberuntungan dan nasib baik. Masyarakat non-Tionghoa pun banyak yang

hadir untuk menyaksikan pertunjukan Barongsai, ini dikarenakan mereka ingin melihat

pertunjukan yang sifatnya menghibur mereka.

Richard Schechner (dalam Sal Murgianto, 1995: 161) mengungkapkan bahwa

pertunjukan adalah sebuah proses yang memerlukan waktu dan ruang. Sebuah pertunjukan

memiliki bagian awal, tengah, dan akhir. Struktur dasar pertunjukan meliputi: (1) Persiapan

bagi pemain maupun penonton, (2) Pementasan, (3) Aftermath, yakni apa-apa saja yang

terjadi setelah pertunjukan selesai. Singer (dalam Sal Murgianto, 1995:165) menjelaskan

bahwa setiap pertunjukan memiliki: (1) Waktu pertunjukan yang terbatas. (2) Awal dan

akhir, (3) Acara kegiatan yang terorganisir, (4) Sekelompok pemain, (5) Sekelompok

(28)

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seni pertunjukkan barongsai memenuhi setiap

syarat seperti yang telah diuraikan sebagai suatu pertunjukan bagi masyarakat Tionghoa.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Dalam penelitian yang dilakukan, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif,

yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi,

atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek

penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter,

sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu.

Penelitian kualitatif merupakan penelitian eksplorasi dan memainkan peranan yang

amat penting dalam menciptakan hipotesis atau pemahaman orang tentang berbagai

variabel sosial, jadi tidak bertujuan menguji hipotesis atau membuat suatu generalisasi,

tetapi membangun teori (Bungin, 2008: 68-69).

Sejalan dengan itu Miles dan Huberman (2007: 15) mengungkapkan bahwa

kejernihan sangat dituntut dalam prosedur analisis kualitatif, suatu tanggung jawab yang

(29)

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seni pertunjukkan barongsai memenuhi setiap

syarat seperti yang telah diuraikan sebagai suatu pertunjukan bagi masyarakat Tionghoa.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Dalam penelitian yang dilakukan, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif,

yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi,

atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek

penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter,

sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu.

Penelitian kualitatif merupakan penelitian eksplorasi dan memainkan peranan yang

amat penting dalam menciptakan hipotesis atau pemahaman orang tentang berbagai

variabel sosial, jadi tidak bertujuan menguji hipotesis atau membuat suatu generalisasi,

tetapi membangun teori (Bungin, 2008: 68-69).

Sejalan dengan itu Miles dan Huberman (2007: 15) mengungkapkan bahwa

kejernihan sangat dituntut dalam prosedur analisis kualitatif, suatu tanggung jawab yang

(30)

rangkaian angka, yang dapat dikumpulkan dalam aneka cara (observasi, wawancara,

intisari dokumen, dan rekaman).

Metode-metode yang dilakukan oleh penulis dalam pengerjaan skripsi ini adalah:

studi kepustakaan, penelitian lapangan, metode transkripsi, metode penelusuran data

online, dan kerja laboratorium. Untuk lebih jelas lagi, kelima metode ini akan dijelaskan selanjutnya.

3.1.1 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan sebagai landasan dalam hal penelitian, yakni dengan

mengumpulkan sumber bacaan untuk mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek

yang diteliti. Sumber-sumber bacaan ini dapat berupa buku, ensiklopedia, jurnal, buletin,

artikel, maupun laporan penelitian sebelumnya. Dengan melakukan studi kepustakaan ini

penulis akan dapat melakukan cara yang efektif dalam melakukan penelitian lapangan

dan penyusunan skripsi ini. Dan juga, melalui studi kepustakaan ini, penulis juga akan

mendapat masukan tentang apa yang sudah dan belum diteliti.

Penulis kemudian mengadakan penelusuran kepustakaan untuk memperoleh

pengetahuan awal mengenai apa yang akan diteliti. Dalam hal ini, penulis mempelajari

skripsi yang sudah pernah ditulis oleh sarjana Etnomusikologi, yaitu Yudisthira Siahaan,

2008, dalam skripsi “Kajian Musikal dan Fungsi Pertunjukan Barongsai pada Perayaan

Cap Go Meh Masyarakat Tionghoa di Maha Vihara Maiterya, Komplek Perumahan

Cemara Asri, Medan”. Menguraikan tentang fungsi dan makna pertunjukan barongsai

(31)

pertunjukan barongsai.

Serta penulis juga mempelajari skripsi yang sudah pernah ditulis oleh sarjana Sastra

Cina, yaitu Nandita Erisca, 2008 Universitas Indonesia. Dalam jurnal “Sejarah

Perkembangan Masyarakat Cina di Pulau Jawa”. Menguraikan tentang asal muasal

masuknya masyarakat cina di pulau jawa. Dengan membaca ini penulis dapat lebih

mudah mengetahui bagaimana masuknya masyarakat cina dipulau jawa khususnya di

kota Tangerang.

Dan juga penulis membaca sebuah jurnal yang di tulis oleh Bintang Hanggoro Putra,

2009 Universitas Negeri Semarang. Dalam jurnal “Fungsi dan Makna Kesenian Barongsai Bagi Masyarakat Etnis Cina”. Menguraikan tentang fungsi dan makna pertunjukan

barongsai. dengan membaca ini penulis dapat memahami lebih luas apa itu makna dari

pertujukan barongsai.

Di samping itu penulis juga mendapatkan informasi dari dari beberapa buku seperti

William Y.K. Lee (2004) dan Sylvia Lim, Ellen Conny (2010). Informasi yang

diperoleh dari buku-buku tersebut adalah berupa pengetahuan tentang pertunjukan

barongsai, asal-usulnya, serta makna pertunjukan.

Untuk melengkapi wawasan pengetahuan penulis dalam menulis skripsi ini, penulis

juga melakukan studi kepustakaan terhadap topik-topik lain yang berhubungan dengan

penelitian ini, seperti pengetahuan tentang sejarah. Selanjutnya hasil yang didapat dari

penelusuran kepustakaan tersebut akan digunakan sebagai pembahasan informasi dalam

(32)

3.1.2 Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan dilakukan agar penulis dapat mengetahui secara keseluruhan

mengenai objek yang diteliti. Dengan melakukan penelitian lapangan, penulis dapat

terlibat langsung dengan objek yang sedang diteliti dan mendapat lebih banyak informasi

melalui interaksi tersebut. Dalam kerja lapangan penulis melakukan pengamatan dan

mendapatkan data melalui perekaman terhadap jalannya latihan pertunjukan barongsai

secara keseluruhan.

Selain melakukan perekaman, penulis juga melaksanakan wawancara dengan

informan kunci. Saat wawancara berlangsung, penulis menggunakan kamera ponsel

BlackBerry 8520 untuk mendokumentasikan detail-detal kecil yang dianggap penting.

Penulis merekam jalannya wawancara dengan menggunakan perangkat kamera Samsung

P6200.

3.1.3 Metode Penelusuran Data Online

Perkembangan internet yang sudah semakin maju pesat serta telah menjawab

berbagai kebutuhan masyarakat saat ini memungkinkan para akademisi, mau ataupun

tidak, menjadikan media online seperti internet sebagai salah satu medium atau ranah

yang sangat bermanfaat bagi penelusuran berbagai informasi, mulai dari informasi

teoritis maupun data-data primer ataupun sekunder yang diinginkan oleh peneliti untuk

kebutuhan penelitian. Sehubungan dengan itu, mau ataupun tidak, kita harus

menciptakan metode untuk memanfaatkan data online yang begitu banyak tersebar di

(33)

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat banyak tambahan pengetahuan dan

informasi seputar barongsai. Penulis merasa sangat terbantu karena bahan referensi

secara tekstual tentang pertunjukan barongsai sendiri sangatlah terbatas, melalui

penelusuran online, penulis mendapatkan banyak sekali bahan acuan dan gambaran

umum seputar pertunjukan barongsai.

3.1.4 Kerja Laboratorium

Dalam kerja laboratorium, dimulailah proses pengkajian terhadap semua data-data

yang telah didapat. Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan dan bahan dari studi

kepustakaan terkumpul, langkah selanjutnya dilakukan pengolahan data dan penyusunan

tulisan. Pada hasil rekaman, dilakukan 3pentranskripsian dan selanjutnya dikaji. Pada

akhirnya, dara-data hasil olahan dan kajian disusun secara sistematis dengan mengikuti

kerangka penulisan.

3.1.5 Lokasi Penelitian

Tempat yang dipilih penulis sebagai lokasi penelitian adalah Klenteng Boen Hay Bio

yang berada di Jalan Raya Serpong, Desa Cilenggang.Seperti halnya wilayah Tangerang

yang lain, Kota Tangerang Selatan juga memiliki tempat yang menyimpan sejarah serta

budaya masyarakat Tionghoa. Tempat yang dimaksud adalah Klenteng Boen Hay Bio yang

terletak di Jalan Pasar Lama Serpong, Desa Cilenggang, Tangerang. Kawasan tersebut juga

3

(34)

sebagai kawasan tertua yang menjadi tempat wisata bagi masyarakat luar Tangerang,

dikarenakan kawasan Pasar Lama Serpong terdapat banyak bangunan-bangunan tua

peningggalan sejarah. Di daerah kawasan Kota Tangerang Selatan juga terdapat sebuah

pemukiman yang mana terdapat masyarakat asli keturunan Tionghoa yaitu daerah

pemukiman Pecinan Benteng, kebudayaan masyarakatnya sudah tercampur dengan

budaya-budaya betawi dari daerah Kota Tangerang dari sinilah penulis tertarik meniliti

didaerah tersebut. Selain daripada itu Tangerang juga termasuk kota tempat tinggal

(35)

BAB VI

GAMBARAN UMUM

4.1 Asal –usul Tangerang disebut Kota “Benteng”

Pada awalnya dimulai pada tanggal 1 Juni 1660 sesuai dengan arsip VOC oleh

F. De Haan, bahwa Sultan Banten telah membangun kerajaan besar di sebelah Barat

sungai Untung Jawa. Untuk mengisi wilayah itu Sultan Banten memindahkan enam ribu

penduduk dan mengangkat Raden Sena Pati dan Kyai Demang sebagai penguasa di

daerah itu yang tertulis pada Dag Register tertanggal 20 Desember 1668. Lalu karena

dicurigai akan merebut kekuasaan maka mereka dipecat dan digantikan, karena rasa sakit

hatinya Kyai Demang mencoba mengadu domba Banten dengan VOC. Namun usahanya

gagal dan ia terbunuh di Kademangan.

Dalam Dag Register tanggal 4 Maret 1680 dijelaskan bahwa penguasa Tangerang

pada masa itu adalah Keaij Dipattij Soera Dielaga. Kyai Soeradilaga dan putranya

(36)

perbatasan pagar kompeni. Pada pertempuran melawan Banten ia berhasil memukul

mundur pasukan Banten, dan atas jasanya itu ia di beri gelar kehormatan lalu semenjak

itu pula Tangerang menjadi kekuasaan kompeni, sesuai dengan perjanjian yang ditanda

tangani pada tanggal 17 April 1684. Banten kehilangan hak dalam wilayah Tangerang

dan wilayah Untung Jawa atau Tangerang menjadi milik kompeni. Lalu kompeni

mendirikan benteng dan juga pos-pos keamanan guna mencegah perlawanan dari Banten,

benteng ini terbuat dari batu bata yang didapat dari Bupati Tangerang Aria Soetadilaga I.

Ketebalan benteng ini adalah 20 kaki atau lebih. Setelah benteng selesai dibangun

personilnya menjadi 60 orang Eropa dan 30 orang hitam. Yang dikatakan orang hitam

adalah orang-orang Makasar yang direkrut sebagai serdadu VOC. Benteng ini kemudian

menjadi basis VOC dalam menghadapi pemberontakan dari Banten. Kemudian pada

tahun 1801, diputuskan untuk memperbaiki dan memperkuat pos atau benteng itu,

dengan letak bangunan baru 60 roeden dan menghadap ke tenggara, tepatnya terletak

disebelah timur Jalan Besar pal 17. Orang-orang pribumi pada waktu itu lebih mengenal

bangunan ini dengan sebutan "Benteng". Sejak saat itu, Tangerang terkenal dengan

sebutan Benteng. Benteng ini sejak tahun 1812 sudah tidak terawat lagi, bahkan menurut

"Superintendant of Publik Building and Work" tanggal 6 Maret 1816

menyatakan: ...Benteng dan barak di Tangerang sekarang tidak terurus, tak seorangpun

(37)

4.2 Sejarah Singkat Masyarakat Tionghoa Benteng di Kota Tangerang

Nama "China Benteng" berasal dari kata "Benteng", nama lama kota Tangerang. Saat

itu terdapat sebuah benteng Belanda di kota Tangerang di pinggir sungai Cisadane,

difungsikan sebagai post pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan Banten, benteng

ini merupakan Benteng terdepan pertahanan Belanda di pulau Jawa. Masyarakat Cina

Benteng telah beberapa generasi tinggal di Tangerang yang kini telah berkembang menjadi

tiga kota/kabupaten yaitu, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang

Selatan.

Warga Cina Benteng sempat bersitegang dengan penduduk pribumi setelah Proklamasi

Kemerdekaan. Pada 23 Juni 1946, rumah-rumah etnis Tionghoa di Tangerang

diobrak-abrik.

Penduduk yang didukung oleh kaum Republik menjarah rumah-rumah warga Cina

Benteng. Bahkan meja abu, yang merupakan bagian dari ritual penghormatan leluhur

tionghoa, ikut dicuri. Kemarahan penduduk pribumi dipicu seorang tentara NICA dari etnis

Tionghoa menurunkan bendera Merah Putih dan menggantinya dengan bendera Belanda.

Rosihan Anwar dalam Harian Merdeka 13 Juni 1946 menulis pada saat itu hubungan

warga Cina Benteng dan pribumi mengalami kemunduran paling ekstrim. Terlebih setelah

Poh An Tuy, kelompok pemuda Cina Benteng pro-NICA, mengirim pasukan bersenjata

dan mengungsikan masyarakat Cina Benteng yang selamat ke Batavia. Namun akhirnya

kerusuhan pro-kemerdekaan itu berhasil diredam oleh koalisi antara tentara Poh An Thuy

(38)

Saat itu, semua etnis Cina Benteng nyaris terusir, dan ketika kembali, mereka tidak

lagi mendapatkan tanah mereka dalam keadaan utuh. Tanah-tanah para tuan tanah

diserobot pribumi. Atau, mereka mendapati rumah-rumah, yang mereka tinggalkan telah

rata dengan tanah. Kini mereka kembali terancam kehilangan rumah mereka karena ambisi

pemerintah kota. Kampung itu terletak di DAS Ciliwung, dan memang melanggar

peraturan daerah. Namun, mereka telah ada di situ sebelum peraturan daerah itu dibuat.

Secara ekonomi, masyarakat tradisional Cina Benteng hidup pas-pasan sebagai petani,

peternak, nelayan, buruh kecil, dan pedagang kecil.

4

Ny Jo Siang Ing (39) yang tinggal di Jalan Raya Serpong,Desa Cilenggang, RT 02 RW

03 Kabupaten Tangerang misalnya, setiap hari harus bangun pagi-pagi untuk membawa

dagangan kue ke pasar.

Fenomena Cina Benteng, kata 5Suma Mihardja, merupakan bukti nyata betapa

harmonisnya kebudayaan Cina dengan kebudayaan lokal. Lebih dari itu, keberadaan Cina

Benteng seakan menegaskan bahwa tidak semua orang Cina memiliki posisi kuat dalam

bidang ekonomi. Dengan keluguannya, mereka bahkan tak punya akses politik yang

mendukung posisinya di bidang ekonomi. Beliau lebih melihat fenomena Cina Benteng

sebagai contoh dan bukti nyata proses pembauran yang terjadi secara alamiah. Masyarakat

Cina Benteng hampir tidak pernah mengalami friksi dengan etnis lainnya. Kenyataan ini

membuat Suma yakin, persoalan sentimen etnis lebih bernuansa politis yang dikembangkan

oleh orang-orang yang punya kepentingan politik.

4

Wawancara dengan Ny Jo Siang Ing pada 01 Desember 2013 5

(39)

Realitas Cina Benteng yang tinggal di pusat kekuasaan politik dan ekonomi

menunjukkan, masyarakat etnis Cina sesungguhnya sama dengan etnis lainnya. Ada yang

punya banyak uang, tetapi ada pula yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bagi mereka,

wajar kalau perayaan Tahun Baru Imlek menjadi pengharapan agar rezeki di tahun baru ini

lebih baik dari tahun sebelumnya. Wajar pula bahwa meski sudah berakulturasi begitu

dalam, mereka tetap membeli bunga sedap malam dan bersembahyang di

kelenteng-kelenteng.

4.3 Kebudayaan Masyarakat Tionghoa Benteng di Kota Tanngerang

Sukubangsa Tionghoa di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya

mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang ( Hokkien ), Tengnang ( Tiochiu ), atau

Tongnyin ( Hakka ). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut ( 唐人 Táng rén "orang

Tang" ). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas

berasal dari Tiongkok selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara

orang Tiongkok utara menyebut diri mereka sebagai orang Han ( 漢人 Hàn rén,"orang

Han").

Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan

tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam

sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk.

Catatan-catatan dari Tiongkok sendiri menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di

(40)

Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun

manusia dari daratan Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.

Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan

Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai

Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Tionghoa atau Zhonghua dalam bahasa mandarin, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh

orang keturunan Tionghoa di Indonesia.

Istilah Zhonghua setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan

dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasti kerajaan dan

membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Istilah ini sampai terdengar oleh

orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan “Orang Cina”.

Sekelompok orang asal Tiongkok yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda, merasa

perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun 1900, mereka mendirikan

sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa

Hwei Kwan", yang bila lafalnya diindonesiakan menjadi中 会馆( Tiong Hoa Hwe Kwan ) THHK .

THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan

kebudayaan Tionghoa, tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di

(41)

Belanda. Di daerah kawasan Pasar Lama tepat di Kabupaten Tangerang, Banten, telah

lama dikenal sebagai tempat komunitas Tionghoa ( Ci Ben ) berkumpul. Konon mereka

telah mendiami kawasan ini secara turun temurun sejak tahun 1700-an.

Kesenian yang berkembang di Kota Tangerang, terdiri dari beberapa jenis antara lain

Kilin, Peking Say, Lang Say, Samujie, dan Barongsai, tetapi yang lebih sering dimainkan

adalah barongsai, ini dikarenakan barongsai lebih banyak yang meminati. Kesenian yang

menampilkan Singa Batu model dari Cieh Say ini ada bermacam macam, dimana yang

utama mengikuti dua aliran, yaitu Aliran Utara dan Selatan yang dimaksud adalah

sebelah Utara Sungai Yang Zi, bentuknya garang, badannya tetap, mulutnya persegi

seperti yang kita lihat di kelompok Istana Kekaisaran di Beijing, sedangkan aliran selatan

adalah terdapat di sebelah Selatan Sungai Yang Zi, bentuknya lebih bervariasi, lebih

luwes, tapi kurang gagah. Aliran Selatan, pada umumnya berada di kelenteng-kelenteng

Indonesia, khususnya di Kota Tangerang, termasuk bentuk singa ini, sama sekali tidak

mirip dengan wujud singa sebenarnya, tetapi diambil dari Anjing Say yang pada waktu

itu dipelihara Kaisar dan hanya di Istana saja, karena dianggap suci.

Klenteng Boen Hay Bio, tempat ibadah klenteng sudah ada di Indonesia sejak 400

tahun sang lalu. Tempat ibadah ini merupakan tempat ibadah tiga agama etnis Tionghoa,

yaitu Buddha, Khonghucu, dan Tao. Akan tetapi, dalam praktiknya tidak pernah ada

fanatisme terhadap salah satu dari tiga agama tersebut. Dengan kata lain, dalam

(42)

Gambang Kromong Kesenian tempo dulu unsur pribumi dengan unsur Tionghoa

dalam dunia musik Betawi, dapat kita lihat dalam orkes gambang kromong, yang tampak

pada alat-alat musiknya. Sebagian alat seperti gambang kromong, kemor, kecrek,

gendang, kempul, slukat, gong enam dan gong kecil adalah unsur pribumi, sedangkan

sebagian lagi berupa alat musik gesek ala Tionghoa yakni kongahyan, tehyan, dan skong.

Dalam lagu-lagu yang biasa dibawakan orkes tersebut, rupanya bukan saja terjadi

pengadaptasian, bahkan pula pengadopsian lagu-lagu Tionghoa yang disebut pobin,

seperti Pobin Mano Kongjilok, Bankinhiva, Posilitan, Caicusiu dan sebagainya. Biasanya

disajikan secara instrumental. Terbentuknya orkes gambang kromong tidak dapat

(43)

BAB V

PERTUNJUKAN BARONGSAI PADA MASYARAKAT TIONGHOA BENTENG DI

KOTA TANGERANG

5.1 Sejarah Barongsai

Barongsai adalah tarian tradisional Cina dengan menggunakan kostum yang

menyerupai singa. Barongsai memiliki sejarah ribuan tahun. Catatan pertama tentang

tarian ini bisa ditelusuri pada masa Dinasti Chin sekitar abad ke tiga sebelum masehi.

”Barongsai” yang dikenal dengan 舞狮WǔShī dalam bahasa mandarin merupakan tari tradisional rakyat Cina yang sudah ada sejak abad 3 SM. Hal ini berhubungan dengan

kisah mitologi yang berkembang pada masa Dinasti Tang (618 – 906). Suatu ketika salah

seorang raja bermimpi bertemu dengan mahluk yang menyelamatkanya. Keesokan hari

sang raja bertanya kepada salah seorang menterinya dan menceritakan bentuk mahluk

yang hadir dalam mimpinya. Menteri mangatakan bahwa mahluk itu adalah singa yang

(44)

mahluk yang menyelamatkan hidupnya. Sejak saat itu singa menjadi simbol

keberuntungan, kebahagiaan dan kesejahteraan. Walaupun singa bukan binatang asli

negara Cina, kreasi bentuknya digunakan sebagai hadiah bagi kaisar dari generasi ke

generasi. Ragam hias bentuk singa pun tidak terlau banyak muncul dalam ragam hias Cina

tradisional karena ragam ini diperkenalkan oleh pengaruh Buddhisme yang masuk ke Cina

sebagai simbol pembela kebenaran dan penjaga bangunan suci.

Biasanya barongsai dipentaskan pada kesempatan pesta atau perayaan tradisional

Cina, misalnya Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh. Tarian ini biasanya ditampilkan

sebagai sebuah tarian yang diiringi oleh tabuhan kendang dan genderang, juga simbal,

alat-alat musik khas Cina. Barongsai berbentuk seekor singa, yang berkepala besar sekali,

dengan mulut menganga, gigi lancip dan taring besar serta mata yang melotot keluar,

kelihatan menyeramkan. Tapi wajah dan kepala singa dihias indah, sehingga malah

berkesan lucu. Tubuh singa bersisik-sisik, dan pada bagian belakang terdapat ekor yang

kecil. Satu Barongsai dimainkan oleh dua orang, bagian kepala dan bagian badan. Dua

orang ini memang harus sangat kompak sehingga barongsai benar-benar kelihatan menari,

dengan indah dan lincah. Tidak jarang barongsai dipentaskan dalam gerak akrobatik yang

memukau sekaligus mendebarkan. Inilah yang menambah daya tarik barongsai. Selain

diiringi genderang dan simbal, barongsai juga sering dipentaskan dengan iringan letupan

petasan, yang memekakkan telinga. Petasan dipercayai dapat menakut-nakuti serta

menghalau roh jahat, dan sekaligus membawa keberuntungan dan kemakmuran.

Kesenian barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun

(45)

serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Seorang panglima perang

bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan itu.

Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian barongsai melegenda.

Tarian Singa terdiri dari dua jenis utama yakni Singa Utara yang memiliki surai ikal

dan berkaki empat. Penampilan Singa Utara kelihatan lebih natural dan mirip singa

ketimbang Singa Selatan yang memiliki sisik serta jumlah kaki yang bervariasi antara

dua atau empat „Kilin‟.

5.1.1 Jenis-jenis Barongsai

Dalam penampilan tarian singa (barongsai), ada dua jenis singa yang terkenal, yakni

Tarian Singa Utara dan Tarian Singa Selatan. Berikut ini adalah deskripsi serta perbedaan

dari keduanya.

1. Singa Utara.

Bentuk Singa Utara sering diidentikkan dengan bentuk anjing pug Peking. Mengapa

demikian, hal ini disebabkan karena pada zaman dahulu kala, sosok singa yang

sebenarnya sangatlah jarang dapat dilihat oleh bangsa Cina pada saat itu kecuali

orang-orang yang tinggal dalam lingkungan kerajaan. Para seniman zaman dulu

menggunakan sosok pug Peking mungkin dikarenakan anjing jenis ini sering disebut

sebagai Shizi Gou (獅子狗) atau Anjing Singa. Nama ini diberikan kepada jenis anjing

ini kemungkinan karena ditemukannya kemiripan sosok antara patung-patung singa yang

menjaga gerbang istana dengan anjing pug. Jenis anjing pug ini diyakini telah lama

(46)

tembikar-tembikar dalam kuburan-kuburan dari Dinasti Tang hingga Dinasti Han. Fakta

lain terdapat pada sebuah buku berisikan sejarah anjing pug Cina, menyatakan bahwa

pihak kerajaan sering mengadakan kontes tahunan anjing, kontes ini dimenangkan oleh

pemilik yang dapat mengembangbiakkan anjingnya menyerupai figur singa. Seringkali

pejabat-pejabat istana dan pembantunya mengawinsilangkan anjing pug dengan anjing

jenis lainnya untuk mendapatkan penampilan menyerupai singa demi memperoleh

penghargaan dan gelar bergengsi (Lee, 2000).

[image:46.595.100.508.342.525.2]

Gambar 1.2 Singa Utara

Sumber: www.google.com

Yang menjadikan Singa Utara ini menarik adalah gerakan-gerakan yang ditampilkan,

yakni gerakan akrobatik menggunakan meja, kursi, bola raksasa, papan jungkat-jungkit,

dan kawat. Pada umumnya Singa Utara dipertunjukkan untuk tujuan hiburan saja dan

tidak untuk memberikan berkah. Jenis singa ini memiliki versi jantan dan betina, yang

dibedakan melalui warna pita yang dikenakan di puncak kepalanya, warna merah untuk

jantan dan warna biru atau hijau untuk betina. Terkadang ditampilkan pula sosok bayi

(47)

Bahan untuk kostum badan Singa Utara adalah rami, nilon, dan benang.

Material-material lain dijahit dan dilapiskan pada kain untuk memberikan kesan bulu dan

rambut singa, kemudian diwarnai dengan warna kuning. Warna kuning ini tidak hanya

menggambarkan warna bulu singa saja, namun juga merupakan simbol warna Kekaisaran,

karena pada awal mula kemunculannya pertunjukan Singa Utara hanya ditampilkan di

kalangan kerajaan. Bagian kepala Singa Utara awalnya terbuat dari kayu, namun

kemudian digantikan oleh bahan yang lebih ringan, yaitu bambu atau rotan kemudian

dilapisi dengan kertas. Nantinya pertunjukan Singa Utara ini dapat dikenal oleh seluruh

dunia akibat jasa para pemain Tim Opera atau Tim Kesenian Akrobat Cina yang selalu

mengikutsertakan pertunjukan Singa Utara dalam setiap pertunjukan mereka ketika

melakukan perjalanan keliling dunia.

2. Singa Selatan

Jenis yang kedua adalah jenis yang paling populer, yakni Singa Selatan. Dua singa

yang terkenal dari jenis Singa Selatan ini adalah Singa Fat San/Fo Shan (佛山) dan

Singa Hok San/He Shan (鹤山), dinamakan demikian berdasarkan daerah keduanya

diciptakan. Sebenarnya terdapat ada lagi jenis singa yang lain, namun dikarenakan

kebanyakan orang Tionghoa beremigrasi dari Provinsi Guangdong (Kwangtung – 廣東

省) maka hanya kedua jenis ini lah yang dikenal di luar Cina. Kedua jenis singa ini biasa

ditampilkan oleh tim kung-fu dan para praktisi kung-fu pada suatu ketika menyebut

pertunjukan Singa Selatan sebagai “tarian yang istimewa” karena berdasarkan fakta

bahwa singa adalah simbol keagungan. Tiap wihara ataupun asosiasi yang memiliki

(48)

bibit-bibit muda dapat menampilkannya pada perayaan-perayaan hari besar ataupun

kegiatan lainnya, sembari mengajar tentang gerakannya, tugas dari sang master ini adalah

mengajarkan tentang kebudayaan Tionghoa.

Adapun bentuk singa selatan tidak menyerupai anjing pug, melainkan menyerupai

singa pada umumnya. Hanya saja dengan imajinasi masyarakat Tionghoa yang memberi

berbagai warna cerah contohnya (merah) pada bentuk rupa singa selatan, ini dikarenakan

dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa warna merah6 adalah warna keberuntungan

[image:48.595.110.511.356.537.2]

bagi mereka.

Gambar 1.3 Singa Utara

Sumber: www.google.com

Gerakan-gerakan yang terdapat pada Singa Utara adalah gerakan-gerakan binatang.

Ketika menirukan gerakan binatang, sebagian besar praktisi akan meniru gerakan kucing.

Bahkan ada beberapa pelatih yang mewajibkan murid-murid mereka untuk mempelajari

6

Warga Tionghoa identik dengan warna merah, terbukti setiap peringatan imlek selalu didominasi dengan warna merah. Mulai dari dekorasi rumah, lampion hingga kertas angpao semuanya serba merah. Warna merah atau yang dalam bahasa Cina disebut dengan hong memang sudah menjadi pilihan utama masyarakat Cina sejak dahulu kala. Filosofi warna merah adalah menggambarkan keadaan yang terang dan ceria dalam kehidupan masyarakat Cina itu sendiri. Warna merah juga melambangkan kemakmuran, semangat hidup dan keberuntungan. Dalam budaya Cina, merah berhubungan dengan lima elemen utama, arah dan empat musim. Merah dikaitkan dengan musim panas, api dan arah Selatan.

(49)

gerakan kucing terlebih dahulu sebelum mereka diajari gerakan tarian singa. Cara ini

biasa dilakukan oleh mereka yang beraliran Singa Hok San. Pemilihan jenis singa apa

yang akan dipakai oleh sebuah sekolah atau asosiasi tergantung pada aliran Kung Fu apa

yang mereka anut. Sebagai contoh, penganut aliran Kung Fu Hung Gar biasanya

meggunakan Singa Fat San, sementara penganut aliran Choy Li Fut dan Bangau Putih

akan menggunakan Singa Hok San. Perlu dicatat bahwa ini adalah keputusan yang

general dan bukan sebuah keputusan baku yang harus selalu diikuti. Di negara-negara

seperti Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Taiwan, jenis Singa Hok San lebih sering

ditampilkan, sementara di negara-negara seperti Hong Kong, Amerika Serikat, dan

Kanada, jenis Singa Fat San lah yang sering ditampilkan.

5.1.2 Mitos Barongsai

Pertunjukan Barongsai sudah tidak lagi sesulit untuk ditemukan. Hampir di setiap

tempat kita pernah melihat ada pertunjukan seni khas Tionghoa ini, terlebih lagi pada

waktu menjelang Imlek. Pemain barongsai kurang lebih 15 orang dan mengunakan alat

musik Simbal (cai-cai), Gong (Nong), dan Tambur. Menurut kepercayaan masyarakat

Tionghoa, kehadiran barongsai dapat mengusir aura-aura yang buruk dan membawa

keberuntungan. Tak heran pertunjukan ini sering dibawakan dengan beragam tema yang

diperuntukkan sesuai dengan momennya seperti event pernikahan atau buka tempat

usaha baru.

Barongsai telah ada sejak 1500 tahun yang lalu. Pertunjukan seni ini bermakna untuk

(50)

berbagai macam versi, namun yang paling terkenal adalah versi Nian atau monster.

Menurut cerita rakyat, pada masa Dinasti Qing, ada monster yang sering menggangu

penduduk di satu wilayah China. Perbuatan sang monster membuat para penduduk

merasa resah dan ketakutan. Hingga pada suatu waktu muncul seekor singa (barongsai)

yang mampu menghalau monster tersebut. Ia mampu mengalahkan monster dan

membuatnya pergi ketakutan.

Setelah beberapa waktu kemudian, monster tadi hendak melakukan balas dendam dan

berniat mengganggu para penduduk lagi. Namun singa yang mampu mengalahkan sang

monster sudah tidak ada dan tidak dapat ditemui. Akhirnya masyarakat setempat sepakat

membuat kostum barongsai seperti yang sering kita lihat sekarang untuk menakut-nakuti

sang monster. Dan mereka berhasil menyingkirkan sang monster dengan kemampuan

mereka sendiri.

Dalam mitologi Tionghoa, nian (Hanzi tradisional: 獸; bahasa Tionghoa: 兽;

Pinyin: nián shòu) adalah sejenis mahluk buas yang hidup di dasar laut atau di gunung.

Sekali pada saat musim semi, atau sekitar tahun baru Imlek, ia keluar dari

persembunyiannya untuk mengganggu manusia, terutama anak-anak. Nian tidak

menyukai bunyi-bunyian ribut dan warna merah.

Dalam tradisi Imlek, warga Tionghoa mengenakan pakaian dan mendekorasi peralatan

dengan warna merah, membakar petasan dan mementaskan tarian singa (barongsai)

untuk menakut-nakuti nian. Ada juga warga yang menempelkan Duilian di kertas merah

untuk mencegah Nian agar tidak kembali.

(51)

nian. Istilah untuk menyebut hari raya Imlek, Guò Nián ( Hanzi tradisional: 過 ;

bahasa Tionghoa: 过 ; Pinyin: Guò Nián) juga berarti mengusir atau melewati nian. Versi lain dari cerita ini adalah :

Dahulu kala sebelum Masehi, ada sebuah Desa kecil di tengah pengunungan di daerah

Cina. Di desa tersebut penduduknya sehari-hari bekerja sebagai petani pir setiap musim

dingin didesa tersebut penduduknya selalu diganggu oleh seekor binatang . Binatang

tersebut dikenal dengan sebutan Niang.

Niang merusak tanaman dan juga memakan manusia. Di awal musim dingin setiap

keluarga berkumpul untuk makan malam bersama yang disebut dengan Hui Lou, yaitu

makan masakan yang berkuah dengan api di tengah.Tujuan dari makan malam ini adalah

untuk berkumpul bersama saling melindungi dan menakutkan-nakutkan Niang.Tahun

berganti tahun, akhirnya para penduduk desa menemukan ide untuk membuat binatang

tandingan yang palsu untuk menakutkan Niang.

Akhirnya mereka menemukan bentuk binatang Liong dan Sir Ce (Singa). Setiap

menjelang musim dingin, penduduk desa selalu memainkan kedua binatang tersebut

dengan bola api yang menjadi sasaran dikejar tujuannya agar Niang melihatnya dan takut.

Konon hal tersebut dilakukan hingga Niang tidak lagi datang ke desa-desa. Dan peristiwa

tersebut menjadi turun temurun hingga hari ini. Kesenian barongsai diperkirakan masuk di

Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi besar dari Cina Selatan.

5.2 Makna Gerakan Singa Pada Pertunjukan Barongsai

(52)

Singa sebenarnya bukan hewan asli dari Cina. Keberadaannya di Cina diawali ketika singa

dijadikan sebagai hadia

Gambar

Gambar 1.1 Kilin
Gambar 1.2 Singa Utara
Gambar 1.3 Singa Utara
Gambar 1.4 Barongsai
+6

Referensi

Dokumen terkait