• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungsi Dan Makna Pertunjukan Barongsai Bagi Masyarakat Suku Tionghoa Di Kota Sibolga 印尼北苏门答腊实武牙(SIBOLGA)的舞狮文化意义、作用分析

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Fungsi Dan Makna Pertunjukan Barongsai Bagi Masyarakat Suku Tionghoa Di Kota Sibolga 印尼北苏门答腊实武牙(SIBOLGA)的舞狮文化意义、作用分析"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

FUNGSI DAN MAKNA PERTUNJUKAN BARONGSAI BAGI MASYARAKAT SUKU TIONGHOA DI KOTA SIBOLGA

印尼北苏门答腊实武牙(SIBOLGA)的舞狮文化意义、作用分析

SKRIPSI SARJANA DISUSUN OLEH :

JUAN IVAR FLOBERT CHRISTIAN SITUMORANG

090710025

PROGRAM STUDI SASTRA CINA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa melimpahkan berkat karunia yang tak terhingga sehingga

skripsi yang berjudul “Fungsi dan Makna Pertunjukan Barongsai di Kota Sibolga” ini dapat diselesaikan.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana pada Jurusan Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Selama penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat bimbingan, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak secara moril maupun materil,

oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengungkapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sumatera Utara ( FIB USU ).

2. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. selaku Ketua Program Studi Sastra

Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan saran dan arahan kepada penulis dalam membuat skripsi ini.

3. Ibu Dra.Nur Cahaya Bangun, M.Si. selaku Sekretaris Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

(3)

4. Bapak Drs. Muhammad Takari,M.Hum., Ph.D. selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu untuk

memberikan saran, bimbingan, dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

5. Cao Xia, MA laoshi selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak

meluangkan waktu untuk memberikan saran, bimbingan, dan arahan kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini.

6. Ibu Dra. Junita Ginting, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang memperhatikan penulis selama mengikuti pendidikan di Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh Dosen dan Staf Sastra Cina FIB USU yang telah banyak membantu dan memberikan bekal ilmu selama penulis mengikuti

pendidikan.

8. Komunitas Barongsai di Kota Sibolga yang bersedia membantu penulis dalam melakukan penelitian.

9. Bapak Mestika Nauli,S.E., selaku narasumber penulis dan membantu penulis dalam melakukan penelitian.

10.Teristimewa untuk kedua orang tercinta, Bapak Sahat Situmorang,S.E. dan Ibu Ros Sitinjak, serta saudara-saudariku dimanapun berada. Terima kasih untuk dukungan doa,kasih sayang,

serta dukungan moral dan materil yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi ini.

(4)

yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu. Terima kasih untuk dukungan serta doa-doa kalian.

12.Teman-teman satu stambuk 2009 Sastra Cina FIB USU, Ikatan Mahasiswa Sastra Cina (HUASHAN), serta para senior dan adik-adik di Sastra Cina USU.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kekurangan, baik

dari segi isi maupun bahasanya. Untuk itu penulis mengaharpkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat

bagi kita semua.

Medan, September 2013

(5)

ABSTRACT

The title of this thesis is "Function and Meaning Performing chinese lion dance in tribal communities in Sibolga." Sibolga Chinese community do not understand the function and meaning of lion dance performances. This thesis is focused on functions such as the lion dance entertainment, symbolic representation, emotional disclosure, expression tionghoa cosmology. This thesis also focused on the meaning of meaning lion dance like color, meaning costumes, musical meaning, meaning lion emotions and ethical meaning.

(6)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……… i

Abstract ………...iv

BAB I PENDAHULUAN……….………..…...1

1.1. Latar Belakang ………...………..………...1

1.2. Batasan Masalah ……….……….…….…………7

1.3. Rumusan Masalah……….….…...7

1.4. Tujuan Penelitian……….………...7

1.5. Manfaat Penelitian………….………...8

1.5.1 Manfaat teoritis ………8

1.5.2 Manfaat Praktis ………8

1.6. Konsep, Landasan Teori dan Tinjauan Pustaka………..…...9

1.6.1. Konsep………...………...……....……..…...9

1.6.1.1 Kebudayaan ………..9

1.6.1.2 Barongsai…….……….…... …...11

1.6.1.3 Pertunjukan ……….14

1.6.1.4 Masyarakat Tionghoa ……… 15

1.6.1.5 Kota Sibolga ……….. 17

1.6.2. Landasan Teori………..………. 18

1.6.2.1 Fungsionalisme Kebudayaan………..19

1.6.2.2 Teori Fungsionalisme………..19

1.6.2.3Teori Semiotik ………....21

1.6.3 Tinjauan Pustaka ………22

BAB II METODE PENELITIAN.………...22

2.1 Data dan Sumber Data ……….………...…...26

2.2 Teknik Pengumpulan Data ……….……26

2.2.1 Studi Kepustakaan (Library Research)…...26

2.2.2 Studi Lapangan (Field Research)………..……….….27

2.3 Teknik Analisis Data ……….27

BAB III GAMBARAN UMUM PERTUNJUKAN BARONGSAI..29

3.1 Sejarah Kedatangan Masyarakat Tionghoa ke Kota Sibolga……….29

3.2 Asal Usul Barongsai ……… 30

(7)

BAB IV FUNGSI DAN MAKNA PERTUNJUKAN BARONGSAI.. 38

4.1 Fungsi Barongsai ………. 39

4.1.1 Representasi Simbolis ……….. 41

4.1.2 Sebagai Hiburan ………... 41

4.1.3 Pengungkapan Emosional ……… 42

4.1.4 Ekspresi Kosmologi Tionghoa ………. 43

4.2 Makna Barongsai ……….. 45

4.2.1 Makna Warna ……….. 45

4.2.2 Makna Kostum Barongsai ……….. 51

4.2.3 Makna Pertunjukan Musik ………. 56

4.2.4 Makna Emosi Utama Barongsai ……….58

4.2.5 Makna Etika dalam pertunjukan Barongsai ………61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 63

5.1 Kesimpulan ………..63

5.2 Saran ………64

(8)

ABSTRACT

The title of this thesis is "Function and Meaning Performing chinese lion dance in tribal communities in Sibolga." Sibolga Chinese community do not understand the function and meaning of lion dance performances. This thesis is focused on functions such as the lion dance entertainment, symbolic representation, emotional disclosure, expression tionghoa cosmology. This thesis also focused on the meaning of meaning lion dance like color, meaning costumes, musical meaning, meaning lion emotions and ethical meaning.

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Budaya secara harfiah berasal dari bahasa latin yaitu colere yang memiliki arti bercocok-tanam (cultivation) atau disebut juga mengerjakan tanah, mengelolah, memelihara lading (Poerwanto, 2005:51). Selain itu budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari budhhi (budi atau akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia ( Koentjaraningrat, 1982:9).

Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem, di mana

sistem itu terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, dimana

pergerakan yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat (1987:98),

“Budaya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri

manusia dengan cara belajar”. Selanjutnya dikatakan Koentjaraningrat (1996:81), “…..bahwa setiap unsur kebudayaan universal tersebut tentu juga terdapat dalam ketiga wujud kebudayaan, yakni gagasan, sistem sosial, dan

unsur-unsur kebudayaan fisik”.

(10)

generasi. Menurut Taylor (1897), Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan,

kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Jacobs dan Stern (1897), Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk

teknologi sosial, ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan sosial. Koentjaraningrat juga berpendapat

bahwa Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan

dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan

oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan

hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain. Semuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Setiap negara memiliki kebudayaan, misalnya Indonesia yang

(11)

Indonesia. Selain itu kebudayaan timur dominan saling bergotong royong, kebersamaan menjadi hal yang paling utama.

Di Indonesia terdapat beranekaragam kebudayaan, setiap kebudayaan menjadi bagian dari suku bangsa atau subsuku bangsa tertentu. Kemajemukan kebudayaan itu sendiri tentu melahirkan orientasi yang

majemuk. Oleh kerena itu, salah satu fungsi kebudayaan bagi masyarakat adalah sumber nilai yang menjadi objek orientasi (Bangun, 1981:12).

Masyarakat Tionghoa juga kaya akan kebudayaan, mereka selalu melestarikan kebudayaan yang diturunkan dari leluhur mereka yang terdahulu, misalnya kebudayaan tentang tarian barongsai.

Barongsai adalah kesenian masyarakat etnis Tionghoa. Menurut Hanggoro (2006) dalam jurnalnya Barongsai itu sendiri masuk ke Indonesia pada abad ke-17 Masehi ketika orang-orang dari Cina Selatan, bermigrasi ke

Indonesia. Di Indonesia dalam perkembangan tarian barongsai pasang surut karena tekanan politik yang kuat sejak pemerintahan orde lama sampai orde

baru. Semenjak tanggal 6 Desember 1967 Segala ritual budaya dan keagamaan bagi kalangan orang Tionghoa dilarang untuk diselenggarakan di tempat umum. Masyarakat Tionghoa tidak lagi secara bebas merayakan

Imlek dengan pertunjukkan barongsai. Koran-koran beraksara mandarin dilarang tampil dan sekolah-sekolah Tionghoa yang mengajarkan bahasa

(12)

Pelarangan semacam itu tidak sungguh-sungguh mampu menghilangkan dan mematikan berbagai kegiatan kultural itu. Secara tidak

terbuka, masyarakat Tionghoa masih melakukan kegiatan ritual, memainkan kesenian dan nama-nama Indonesia yang digunakan juga masih bunyi asli Cina. Pada setiap perayaan baru Imlek, kesenian barongsai masih selalu

dipergelarkan di gedung-gedung yang tertutup atau tempat lain yang bersifat eksklusif.

Perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia setelah tahun 1998 membangkitkan kembali kesenian barongsai dan kebudayaan Tionghoa lainnya. Banyak perkumpulan barongsai kembali bermunculan.

Berbeda dengan zaman dahulu, sekarang tidak hanya kaum muda etnis Tionghoa yang memainkan barongsai, tetapi kaum muda pribumi juga ikut

serta dalam memainkan pertunjukan barongsai. Pada zaman pemerintahan Soeharto, barongsai sempat tidak diijinkan untuk dipertunjukan. Satu-satunya tempat di Indonesia yang bisa menampilkan barongsai secara

besar-besaran adalah di Kota Semarang, tepatnya di panggung besar kelenteng Sam Poo Kong atau dikenal juga dengan Kelenteng Gedung Batu. Setiap

tahun, pada tanggal 29 sampai 30 bulan Juni menurut penanggalan Tiong Hoa (Imlek), barongsai dari keenam perguruan di Semarang dipentaskan.

Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (akrab

dipanggil Gus Dur) merupakan pintu gerbang kebebasan masyarakat tionghoa di Indonesia. Almarhum Gus Dur adalah mantan Presiden Republik Indonesia (RI) yang memimpin bangsa ini antara tahun 1999

(13)

sosok Gus Dur bukanlah nama baru bagi sejarah kehidupan masyarakat tionghoa di Indonesia.

Pada saat pemerintahan Gus Dur dikeluarkan aturan yang menetapkan Konghucu sebagai salah satu agama yang diakui oleh negara Indonesia. Pemeluk agama Konghucu sejajar dengan umat Islam, Kristen,

Katholik, Hindu, dan Buddha dalam mendapatkan pelayanan publik di wilayah Negara Republik Indonesia (NKRI). Sejak saat itu pula WNI

keturunan etnis Tionghoa dibebaskan menampilkan atraksi barongsai di depan umum.

Menurut Harian Bukan Sekedar Berita (2010), Awal mula

terbentuknya tarian barongsai sendiri dimulai saat pemerintahan Dinasti Nan Bei pada tahun 420-589 Masehi. Zhong Que, seorang panglima perang saat itu, berinisiatif membuat tiruan boneka singa. Boneka singa itu ditarikan

guna mengusir pasukan gajah yang dipimpin oleh Raja Fan Yan. Raja ini ingin menyerang Raja Son Wen . Melihat rajanya yang kewalahan menghadapi serangan, Zhong Que pun berinisiatif membuat boneka singa dan menampilkan nya di depan pasukan gajah untuk menakut-nakuti gajah-gajah itu. Rencananya pun berhasil, mereka menang dalam

peperangan. Sejak saat itulah, tarian barongsai mulai dikenal dan menjadi sebuah legenda yang diwariskan secara turun temurun. Lambat laun,

barongsai pun menjadi sebuah kebudayaan yang harus dilestarikan.

Barongsai di Kota Sibolga juga merupakan pertunjukan yang sangat

(14)

Sibolga, Pertunjukan barongsai sudah bisa disaksikan oleh seluruh lapisan masyarakat. Tidak hanya pada acara ritual keagamaan, barongsai juga

tampil di acara-acara pernikahan, peresmian rumah baru, dan sebagainya. Namun, masyarakat Tionghoa di Kota Sibolga belum memahami fungsi dan makna barongsai yang sesungguhnya. Mereka menganggap pertunjukan

barongsai hanyalah pertunjukan hiburan biasa. Pertunjukan barongsai memilki berbagai fungsi yaitu mampu membawa keberuntungan, menolak

bala dan sebagainya.

Penulis mengambil lokasi di Kota Sibolga dikarenakan Kota Sibolga merupakan daerah asal penulis dan juga dikarenakan penulis tertarik atas

pertunjukan Barongsai setiap ditampilkan di acara-acara besar seperti Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (Dirgahayu R.I) ataupun hari besar

lainnya di Kota Sibolga. Masyarakat Tionghoa di Kota Sibolga bukan tidak memahami makna dan fungsi pertunjukan barongsai itu sendiri, tetapi mereka sudah lupa makna dan fungsi sebenarnya dari pertunjukan barongsai.

Hal itulah yang membuat penulis melakukan penelitian di Kota Sibolga, supaya untuk generasi berikutnya pertunjukan barongsai tidak dipandang

sebagai pertunjukan hiburan semata.

Untuk mengetahui lebih dalam, penulis berniat untuk melakukan suatu penelitian ilmiah yang memfokuskan tulisan ini pada fungsi dan

(15)

Dalam latar belakang diatas, maka penulis tertarik membuat penelitian ini ke dalam sebuah tulisan ilmiah dengan judul “ Fungsi dan

Makna Pertunjukan Barongsai Bagi Masyarakat Suku Tionghoa di Kota Sibolga ”.

1.2 Batasan Masalah

Luasnya ruang lingkup tentang barongsai, maka penulis membatasi

masalah pada fungsi dan makna pertunjukan barongsai bagi masyarakat Suku Tionghoa di Kota Sibolga.

1.3 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut :

1. Apakah fungsi pertunjukan barongsai bagi masyarakat Tionghoa di Kota Sibolga ?

2. Apakah makna pertunjukan barongsai bagi masyarakat Tionghoa di Kota

Sibolga ?

1.4 Tujuan Penelitian

(16)

1. Untuk mengetahui fungsi pertunjukan barongsai bagi masyarakat Tionghoa di Kota Sibolga.

2. Untuk mengetahui makna pertunjukan barongsai bagi masyarakat Tionghoa di Kota Sibolga.

1.5Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis disebut sebagai manfaat akademis, yakni manfaat yang dapat membantu untuk lebih memahami suatu konsep atau teori dalam suatu displin ilmu. Manfaat teoritis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat

menambah pengetahuan para pembaca tentang fungsi dan makna pertunjukan barongsai.

1.5.2 Manfaat Praktis

Manfaat Praktis merupakan manfaat yang bersifat terapan dan dapat

digunakan untuk keperluan praktis, misalnya memecahkan suatu masalah, membuat keputusan, memperbaiki suatu program yang sedang berjalan.

Dalam manfaat praktis, peneliti juga bersifat praktis, langsung pada persoalan dan spesifik. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dan referensi bagi peneliti-peneliti selanjutnya, pada fungsi dan makna

(17)

1.6 Konsep, Landasan Teori, dan Tinjauan Pustaka

Penjelasan dalam hal ini yang terdiri dari konsep, landasan teori dan

tinjauan pustaka tentang Fungsi dan Makna tarian barongsai pada perayaan atau upacara budaya masyarakat Tionghoa.

1.6.1 Konsep

Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk

menggambarkan secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian (Singarimbun, 1989: 33).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:456) konsep diartikan sebagai rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian kongkret, gambaran mental dari objek apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.

Dalam hal ini defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan penyamaan persepsi tentang apa yang

akan diteliti serta menghindari kesalahan yang dapat mengaburkan tujuan penelitian.

1.6.1.1 Kebudayaan

Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke

(18)

berpuluh-puluh defenisi yang dibuat ahli-ahli antropologi dan membaginya atas 6 golongan, yaitu:

(1) Deskriptif, yang menekan unsur-unsur kebudayaan.

(2) Historis, yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan .

(3) Normatif , yang menekankan hakekat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku.

(4) Psikologis, yang menekankan kegunaan kebudayaan dalam penyesuaian dirikepada lingkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup.

(5) Struktural, yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu system

yang berpola dan teratur,

(6) Genetika, yang menekankan terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya

manusia (Nababan, 1984:49) .

Sementara itu Tylor (1871) mengatakan, “Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,

kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat”.

Manusia pada hakikatnya selain sebagai makhluk individu juga

merupakan makhluk sosial. Manusia tidak dilahirkan dalam keadaan yang sama, baik dari segi fisik, psikologis, hingga lingkungan geografis,

(19)

yang mendorong manusia untuk berhubungan dengan sesamanya sehingga membuat manusia itu ingin selalu hidup berdampingan dengan orang lain.

Hal inilah yang menimbulkan tata cara, perilaku dan pola hidup yang dalam waktu lama akan menjadi kebiasaan bersama (common habbit). Kemudian dari kebiasaan tersebut terciptalah suatu kebudayaan.

1.6.1.2 Barongsai

Barongsai adalah kesenian tradisional etnis tionghoa yang telah

menjadi kesenian nasional dan bahkan internasional. Indonesia termasuk negara yang diperhitungkan pada setiap perlombaan barongsai tingkat internasional, karena atraksi barongsainya selalu mengundang decak kagum

para penonton.

Barongsai juga merupakan tarian tradisional Cina dengan

menggunakan sarung yang menyerupai singa. Barongsai memiliki sejarah ribuan tahun. Catatan pertama tentang tarian ini bisa ditelusuri pada masa Dinasti Chin sekitar abad ke tiga sebelum masehi.

Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad ke-17, ketika terjadi migrasi besar dari Cina Selatan.Barongsai

di Indonesia mengalami masa maraknya ketika zaman masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan ini di berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan memiliki perkumpulan barongsai.

(20)

tidak boleh dimainkan lagi. Perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia setelah tahun 1998 membangkitkan kembali kesenian barongsai

dan kebudayaan Tionghoa lainnya. Banyak perkumpulan barongsai kembali bermunculan. Berbeda dengan zaman dahulu, sekarang tak hanya kaum muda Tionghoa yang memainkan barongsai, tetapi banyak pula kaum

muda pribumi Indonesia yang ikut serta. Pesatnya perkembangan barongsai di Indonesia tidak hanya menjadikan kesenian asal negara tirai bambu ini

sebagai hiburan, tapi telah didirikan induk organisasi resmi tingkat nasional, yakni Persatuan Seni dan Olahraga Barongsai Indonesia (PERSOBARIN), pada 2006.

Seorang bijak pada masa Tiongkok kuno mengatakan bahwa bila ingin hiburan, maka bersenang-senanglah tetapi usahakanlah agar jangan

sendirian, tetapi bersama-sama orang lain. Bermain barongsai jelas merupakan suatu hiburan, tetapi tak mungkin dilakukan sendirian. Permainannya juga dilakukan bersama-sama dan butuh kerja sama yang

baik. Bila ada seorang pemain yang kurang bisa mengimbangi akan mempengaruhi gerakan orang lain. Jadi barongsai memadukan kebersamaan

antar pemain dan juga hiburan bagi semua orang tionghoa dan kaum keturunannya di seluruh dunia. Barongsai sendiri berasal dari kata Barong dan Sai. Keunggulan sebuah barongsai jika bisa memainkan atraksi dengan

(21)

Secara umum mungkin memang terdapat hubungan antara kata Barong yang ada di pulau Bali. Keduanya mempunyai perwujudan dan

kemiripan. Kesimpulannya bahwa Barong berasal dari bahasa Indonesia dan kata Sai dalam bahasa Tionghoa dialek Fujian(Hokkian) berarti Singa.

Dalam bahasa Tionghoa Nasional atau Guoyu atau Mandarin,

Barongsai disebut Wu Shi (tari Singa). Legenda Barongsai juga terdiri dari beberapa versi. Pertunjukan aliran apapun dari Barongsai senantiasa

menampilkan adegan barongsai mengejar bola warna merah.

Penampilan pertunjukan Barongsai biasanya dilakukan pada akhir penutupan tahun baru Imlek, yaitu tanggal 15 dan 1 menurut penanggalan

Tionghoa tradisional penanggalan candra sangkala. Di klenteng-klenteng, kuil, maupun vihara dikunjungi umatnya berpuja bakti dan merayakan festival Cap Go Meh. Pada festival ini ditampilkan berbagai pertunjukan

kesenian dan salah satunya kesenian barongsai. Semarak bunyi petasan juga menambah meriah suasana. Atraksi barongsai di tengah suasana Cap Go

Meh sangat meriah dibandingkan saat suasana lain. Atraksi barongsai keliling desa biasanya diiringi dengan keahlian para pemain. Di hampir setiap pintu rumah, barongsai datang memberi hormat dan tuan rumah

menyambutnya. Biasanya tuan rumah sering memberi ang pau (amplop merah berisi uang) sebagai tanda terima kasih atas kunjungannya.

Barongsai juga merupakan makhluk Adi Kodrati yang dapat memberi kemakmuran dan kebahagiaan. Namun seiring perkembangan

(22)

dua jenis barongsai dari wilayah selatan, yakni barongsai "Pusan" yang mulutnya menyerupai mulut bebek serta barongsai "Teksan" yang mulutnya menyerupai mulut kucing. Sedangkan, barongsai dari wilayah utara, hanya satu jenis yakni "Tekingsan", yang di seluruh tubuhnya dipenuhi bulu.

Gambar 1.1 Gambar 1.2

Gambar Pertunjukan Barongsai

1.6.1.3 Pertunjukan

R.Schechner dalam Sal Murgianto (1995: 161) mengungkapkan bahwa pertunjukan adalah sebuah proses yang memerlukan waktu dan ruang.

Sebuah pertunjukan memilki bagian awal, tengah, dan akhir. Struktur dasar pertunjukan meliputi: (1) persiapan bagi pemain maupun penonton, (2)

pementasan, (3) aftermath, yakni apa-apa saja yang terjadi setelah pertunjukan selesai. Singer dalam Sal Murgianto (1995:165) menjelaskan bahwa setiap pertunjukan memilki: (1) waktu pertunjukan yang terbatas, (2)

(23)

(5) sekelompok penonton, (6) tempat pertunjukan, (7) kesempatan untuk mempertunjukkannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa barongsai

memenuhi setiap syarat seperti yang telah diuraikan sebagai suatu pertunjukan bagi masyarakat Tionghoa.

Pertunjukan barongsai dimainkan oleh dua orang pemain pada saat

perayaan hari-hari besar masyarakat Tionghoa seperti Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh. Ketika ditampilkan, pertunjukan barongsai diyakini dapat

membawa keberuntungan dan menolak semua bala dan hawa kejahatan.

1.6.1.4 Masyarakat Tionghoa

Masyarakat adalah suatu kesatuan manusia yang berinteraksi dan bertingkah laku sesuai dengan adat istiadat tertentu yang bersifat kontiniu,

di mana setiap anggota masyarakat terikat suatu rasa identitas bersama (Kontjaraningrat, 1985:60).

Masyarakat juga merupakan sistem hubungan sosial (sosial relation system) yang utama. Hubungan ini ditentukan oleh kebudayaan manusia. Untuk mencapai persatuan dan integrasi melalui kebudayaan anggota masyarakat perlu belajar dan memproleh warisan kebudayaan, termasuk apa

yang diharapkan oleh mereka dalam suatu keadaan tertentu.

Tionghoa adalah adat istiadat yang dibuat sendiri oleh orang di

(24)

Indonesia terbiasa menyebut diri mereka sebagai Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongyin (Hakka). Sedangkan dalam dialek Mandarin disebut Tangren (bahasa Indonesia : Orang Tang). Ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa di Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang tang,

sedangkan Tiongkok Utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi, hanyu piyin : hanren, bahasa Indonesia: Orang Han).

Suku bangsa Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa

kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian

menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.

Kehidupan masyarakat Tionghoa mulai mewarnai lembaran ritual di

Indonesia. Masyarakat Tionghoa memiliki berbagai adat istiadat. Mereka mengenal bermacam-macam perayaan atau festival tradisional. Adat istiadat ini merupakan suatu bentuk penggambaran kebiasaan sehari-hari, tradisi,

dan mitos yang berkembang di masyarakat. Sartini (2006) mengatakan bahwa “...dunia simbolis manusia dapat terungkap melalui bahasa, mitos,

(25)

1.6.1.5 Kota Sibolga

Kota Sibolga adalah salah satu Kota di Provinsi Sumatra Utara.

Wilayahnya seluas 3.356,60 ha yang terdiri dari 1.126,9 ha daratan Sumatera, 238,32 ha daratan kepulauan, dan 2.171,6 ha lautan. Pulau-pulau yang termasuk dalam kawasan Kota Sibolga adalah Pulau Poncan Gadang,

Pulau Poncan Ketek, Pulau Sarudik dan Pulau Panjang. Secara geografis kawasan ini terletak di antara 1 42′ – 1 46′ LU dan 98 44′ – 98 48 BT dengan batas-batas wilayah: Timur, Selatan, Utara pada Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Barat dengan Teluk Tapian Nauli. Letak kota membujur sepanjang pantai dari Utara ke Selatan menghadap Teluk Tapian Nauli.

Sementara sungai-sungai yang dimiliki, yakni Aek Doras, Sihopo-hopo, Aek Muara Baiyon dan Aek Horsik.

Sementara wilayah administrasi pemerintahan terdiri dari tiga kecamatan dan 16 kelurahan. Ketiga kecamatan itu yakni Kecamatan

Sibolga Utara dengan empat kelurahan, Kecamatan Sibolga Kota dengan empat kelurahan, dan Kecamatan Sibolga Selatan dengan delapan kelurahan. Umumnya di kota Sibolga sendiri terdiri dari berbagai etnik selain dari etnik

Batak. Masih ada beberapa etnik lain yang sejak lama mendiami Kota Sibolga diantara nya etnik Nias, Minang, Aceh, Bugis, Melayu, serta etnis

(26)

Sumber : http//sumut.bps.go.id/sibolga

Gambar 2.Peta Kota Sibolga

1.6.2 Landasan Teori

Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam memecahkan masalah

penelitian didalam ilmu pengetahuan. Teori merupakan yang alat terpenting dari suatu pengalaman. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan

(Koentjaraningrat, 1973:10). Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan teori yang berhubungan dengan pokok-pokok

(27)

1.6.2.1 Fungsionalisme Kebudayaan

Untuk melihat makna dan fungsi “Tarian Barongsai” pada perayaan

upacara budaya masyarakat Tionghoa penulis menggunakan teori Fungsionalisme Kebudayaan. Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan pada saling

ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana

susunan sosial didukung oleh fungsi institusi- institusi seperti: negara, agama, keluarga, dan aliran.

1.6.2.2 Teori Fungsionalisme

Teori Fungsionalisme dalam ilmu Antropologi Budaya mulai

dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia sebagai putra bangsawan Polandia. Ia mengembangkan suatu

kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsionalisme kebudayaan atau a funcitionaly theory of culture.

Malinowski dalam Ihroni (2006), mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa

(28)

setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam

kebudayaan yang bersangkutan. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode geografi berintegrasi secara fungsional dan dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam

masa penulisannya ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobiand selanjutnya, menyebabkan bahawa konsepnya mengenai fungsi sosial dari

adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial menjadi mantap juga.

Dalam hal itu Malinowski dalam Koentjaraningrat (1987:167) membedakan antara fungsi sosial dalam tiga tongkat abstraksi, yaitu:

1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh

atau efeknya, terhadap adat. Tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat.

2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial ataupun unsur

kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga

masyarakat yang bersangkutan.

3. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial ataupun unsur

kebudayaan pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara

(29)

kebudayaan yang memenuhi kebutuhan akan makanan menimbulkan kebutuhan sekunder yaitu kebutuhan untuk kerja

sama dalam pengumpulan makanan atau untuk produksi. Jadi menurut pandangan Malinowski tentang kebudayaan, semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai hal yang

memenuhi kebutuhan dasar para warga masyarakat.

Melalui Teori Fungsionalisme ini, penulis akan menjelaskan secara

detail fungsi dari pertunjukan barongsai. Dengan Teori Fungsionalisme maka akan diketahui fungsi pertunjukan barongsai yaitu sebagai representasi simbolis, sebagai hiburan, pengungkapan emosional dan ekspresi kosmologi

Tionghoa.

1.6.2.3 Teori Semiotik

Dalam membahas makna pertunjukkan barongsai bagi masyarakat Tionghoa, secara lebih mendetail, penulis menggunakan teori Semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Semiotik berasal dari kata Yunani, yaitu Semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu objek secara representative. Istilah semiotik sering digunakan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin

(30)

Barthes dalam Kusumarini (2006) menjelaskan ” Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada

realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan

tidak pasti”. Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat

menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

Melalui Teori Semiotik ini, penulis akan menjelaskan secara detail makna pertunjukan barongsai. Dengan Teori Semiotik ini penulis akan

mengetahui makna warna, makna kostum barongsai, makna pertunjukan musik, makna emosi utama barongsai dan makna etika dalam pertunjukan barongsai. Semuanya itu akan dijelaskan melalui Teori ini.

1.6.3 Tinjauan Pustaka

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:1198) menyatakan tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah menyelidiki atau mempelajari. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(2003:912) pustaka adalah kitab-kitab; buku.

(31)

bahwa barongsai adalah sebuah kesenian yang berasal dari Cina yang masuk ke Indonesia khususnya di semarang yang dibawa oleh para saudagar Cina.

Bentuk pertunjukkan barongsai terbagi kedalam tiga tahap, yaitu permainan bendera, permainan barongsai, dan penutup. Fungsi pertunjukan barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang adalah fungsi ritual, fungsi hiburan,

dan fungsi politik. Makna pertunjukan barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang adalah makna simbolik dan makna strategis. Jurnal ini menjadi

bahan acuan penulis untuk memahami fungsi dan makna pertunjukan barongsai.

Harahap, dalam artikel Kompas (2008) : Barongsai, Kesenian

Tradisi yang Mendunia. Artikel ini menjelaskan tentang jenis-jenis barongsai, yaitu dari wilayah Selatan yakni barongsai “Pusan” serta

barongsai “Teksan”. Sedangkan dari wilayah Barat hanya satu jenis yakni “Tekingsan”. Serta merta artikel ini juga menjelaskan tentang jumlah pemain dalam memainkan kesenian Barongsai. Dengan mempelajari artikel

ini, penulis merasa terbantu untuk mendapatkan gambaran umum tentang barongsai. Namun demikian, artikel tersebut lebih berfokus pada jenis-jenis

barongsai.

Indriani, dalam artikel Berita Satu (2012) : Barongsai, Usir Aura Buruk dan Pembawa Keberuntungan. Artikel ini menjelaskan tentang

filosofi dari kesenian barongsai. Artikel ini juga menjelaskan bahwa kehadiran barongsai dapat membawa keberuntungan dan mengusir aura-aura buruk. Artikel ini juga sangat membantu untuk peneliatian penulis

(32)

BAB II

METODE PENELITIAN

Menurut Djajasudarma (1993:3), metode penelitian merupakan alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melaksankan penelitian (dalam menggunakan data). Metode memiliki peran yang sangat penting, metode

merupakan syarat atau langkah-langkah yang dilakukan dalam sebuah penelitian.

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian Fungsi dan Makna Pertunjukan Barongsai Bagi Masyarakat Tionghoa di Kota Sibolga adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian

deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku. Didalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan

menginterpretasikan kondisi-kondisi yang sekarang ini terjadi. Dengan kata lain penelitian deskriptif bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan saat ini dan melihat kaitan antara variable-variabel yang

ada. Penelitian ini tidak menguji hipotesa atau tidak menggunakan hipotesa, melainkan variabel-variabel yang diteliti.

Sedangkan menurut Hadari dan Martini (1994:176), penelitian yang bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi

(33)

Metode deskriptif kualitatif adalah data-data yang dikumpulkan bukanlah angka-angka, tetapi berupa kata-kata atau gambaran sesuatu. Hal

tersebut sebagai akibat dari metode kualitatif. Semua yang dikumpulkan mungkin dapat menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Ciri ini merupakan ciri yang sejalan dengan penamaan kualitatif. Deskriptif

merupakan gambaran ciri-ciri data secara akurat sesuai dengan sifat alamiah itu sendiri (Fatimah, 1993:16).

Data yang dikumpulkan berasal dari naskah, wawancara, catatan, lapangan, foto, videotape, dokumen pribadi, dsb. Data digambarkan sesuai dengan hakikatnya (ciri kriteria ilmiah tertentu), berdasarkan pemerolehan

(pengalaman gramatika) kaidah kebahasaan tertentu sebagai hasil studi pustaka pada awal penelitian (tahap studi pustaka sebelum penelitian

dimulai). Hal tersebut hendaknya disusun dengan teliti bagian demi bagian dengan pertimbangan ilmiah (Fatimah, 1993 :17)

Secara deskriptif peneliti dapat memberikan ciri-ciri, sifat-sifat, serta

gambaran data melalui pemilihan data yang dilakukan pada tahap pemilihan data setelah data terkumpul. Dengan demikian, penelitian akan selalu mempertimbangkan data dari segi watak itu sendiri, dan hubungannya

engan data lainnya secara keseluruhan. Peneliti tidak berpandangan bahwa sesuatu itu memang demikian adanya, akan tetapi harus diberikan

(34)

Penelitian kualitatif adalah adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisa suatu keadaan atau status fenomena

secara sistematis dan akurat mengenai fakta dari fungsi dan makna pertunjukan barongsai bagi masyarakat Tionghoa.

2.1 Data dan Sumber Data

Data diperoleh melalui buku-buku, majalah, jurnal, artikel-artikel di

surat kabar. Yang kemudian akan dipilah-pilah untuk dibagi kan. Selain itu, sumber data yang akan penulis peroleh dalam penelitian ini yaitu dari narasumber melalui wawancara.

2.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara peneliti memperoleh dan mengumpulkan data. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik

pengumpulan data kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research).

2.2.1 Kepustakaan (Library Research)

(35)

2.2.2 Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan dapat dilakukan dengan metode :

(i) wawancara : Wawancara (interview) merupakan tanya jawab terhadap informan-informan yang dianggap mampu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan

ini.

(ii) Observasi : Observasi yaitu pengamatan terhadap

penelitian yang dibutuhkan dalam penulisan ini.

2.3 Teknik Analisis Data

Data artinya informasi yang didapat melalui pengukuran-pengukuran

tertentu, untuk digunakan sebagal landasan dalam menyusun argumentasi logis menjadi fakta. Sedangkan fakta itu adalah kenyataan yang telah diuji kebenarannya secara empirik, antara lain melalui analisis data

(Abdurrahman, 2005:104)

Teknik analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

Teknik Analisa Data Kualitatif. Proses analisa data dimulai dengan mencari teori-teori, konsep-konsep generalisasi-generalisasi yang dapat dijadikan

landasan teoritis bagi penelitian yang akan dilakukan itu. Landasan ini perlu ditegakkan agar penelitian itu mempunyai dasar yang kokoh dan bukan sekedar penelitian coba-coba. Untuk mendapatkan informasi mengenai

berbagai hal yang disebutkan diatas, orang harus melakukan penelaahan kepustakaan. Pada umumnya lebih dari lima puluh persen kegiatan dalam

(36)

merupakan bagian penunjang penelitian yang esensial (Abdurrahman, 2005:17).

Data yang terkumpul lalu diolah, kemudian dengan diskusi. Penulis berusaha melakukan perincian atau pengkhususan dengan induksi peneliti melakukan pemanduan dan pembuatan generalisasi dan akhirnya semua

bahan itu dimasukkan kedalam suatu sistem berupa kesimpulan teoritis yang akan menjadi landasan bagi penyususn hipotesis penelitian. Didalam

kesimpulan teoritis, peneliti harus mengidentifikasikan hal-hal atau faktor-faktor utama yang akan diteliti dalam penelitiannya. Permulaan ini penting karena di situlah letak mutu sistem pemikiran teoritis peneliti. Setelah itu

data diinterpretasikan secara logis dan analitis (Abdurrahman, 2005:19).

Berbagai sumber yang dipakai yaitu dari buku-buku, majalah, jurnal, artikel-artikel di surat kabar,dan hasil wawancara. Selanjutnya, membuat

(37)

BAB III

GAMBARAN UMUM PERTUNJUKAN BARONGSAI

3.1 Sejarah Kedatangan Masyarakat Tionghoa ke Kota Sibolga

Kedatangan masyarakat Tionghoa ke Kota Sibolga sangat sulit ditentukan. Akan tetapi menurut sejarah, dalam konteks Sumatera Utara

(masa itu Sumatera Timur) terdapat orang Cina yang pertama diangkat oleh Belanda sebagai mayor di Tanah Deli, dia adalah Tjong Yong Hian. Selang

beberapa tahun kemudian yang kedua muncul Tjong A Fie yang diangkat sebagai mayor menggantikan Tjong Yong Hian. Kemudian Tjong A Fie inilah yang menjadi taipan pertama di Sumatera.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, setiap keturunan Tionghoa kemudian diintegrasikan serta dibaurkan ke dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara Indonesia berdasarkan Pancasila. Sejak saat itu, masyarakat Tionghoa menyebar ke seluruh daerah di Indonesia, termasuk ke daerah Sumatera hingga akhirnya ke Kota Sibolga.

Hingga saat ini jumlah etnik Tionghoa di Kota Sibolga kian bertambah. Berdasarkan sensus yang diadakan oleh biro pusat statistik Kota Sibolga untuk laporan tahun 2009, penduduk etnik Tionghoa berjumlah

3000 jiwa dari total penduduk Kota Sibolga sebesar 96.341 jiwa.

Dengan demikian keberadaan etnik Tionghoa di Kota Sibolga tidak

(38)

dimulai dari masa-masa Tjong Yong Hian dan kemudian Tjong A Fie. Ini terjadi ketika dibukanya tembakau Deli di penghujung abad ke-19 di

Sumatera Timur. Mereka datang ke Sumatera Timur awalnya sebagai buruh-buruh di perkebunan.

3.2 Asal Usul Barongsai

Banyak cerita yang berkembang di masyarakat berhubungan dengan

asal mula Barongsai di masyarakat Tionghoa. Tidak hanya satu versi yang menceritakannya. Penulis akan menguraikan beberapa versi asal-usul Barongsai yang penulis peroleh dari media massa dan dari masyarakat etnik

Tionghoa itu sendiri.

Versi pertama yang berkembang di kalangan etnik Tionghoa adalah

cerita tentang seorang utusan asing dari barat atau lebih tepatnya dari Kerajaan Partia diutus untuk menjalin hubungan perdagangan yang bersahabat dengan Cina pada masa Dinasti Han. Ia disambut dengan jamuan

besar-besaran dan hiburan. Bagian dari hiburan yang ditampilkan adalah tarian yang menampilkan para penari yang memakai berbagai macam

kostum hewan. Utusan tersebut kemudian tidak melihat adanya sosok singa di antara kostum-kostum yang dipakai oleh penari. Melalui hasil penelusurannya, ia mendapati fakta bahwa bangsa Cina sama sekali belum

(39)

dikirim oleh Raja Partia sebagai bagian dari penghormatan kepada kaisar (hadiah yang dianggap langka dan eksotis dianggap sebagai penghargaan

tertinggi oleh dewan kekaisaran) dan dengan demikian berhasil menjalin hubungan kerjasama yang baik. Sejak saat itu sosok singa diyakini sebagai simbol keberuntungan karena membawa pembaharuan perdamaian,

kebahagiaan, dan kemakmuran bagi masyarakat Tionghoa.

Diyakini bahwa singa yang telah diperkenalkan kepada bangsa Cina

sebagai penghargaan kepada kekaisaran kadang-kadang akan dibawa keluar untuk menjadi tontonan publik. Karena kelangkaan dan kesulitan dalam penanganannya, dimunculkanlah suatu bentuk tarian atau sandiwara yang

menirukan penampilan singa dan gerakannya. Seiring berjalannya waktu, cerita-cerita tentang mitos dan ajaran agama Buddha ditambahkan ke dalam

cerita pertunjukan tersebut.

Versi kedua adalah diyakini bahwa seekor singa ditugaskan oleh Kaisar Langit untuk menjaga bunga keabadian. Namun sang singa tergoda

dan akhirnya memakan bunga tersebut. Ketika Kaisar Langit mengetahui perihal ini, ia marah besar, karena ini bukanlah kecerobohan pertama yang pernah dilakukan oleh sang singa. Kemudian kaisar memerintahkan untuk

memotong tanduknya (sumber hidupnya) dan mengusirnya dari langit. Dewi Welas Asih, Guan Yin, melihat apa yang terjadi dan merasa kasihan kepada

singa (sang singa, meskipun tanduknya telah dipotong, tidak mati karena telah memakan bunga keabadian). Dewi Guan Yin mengikat kembali tanduknya ke kepala singa dengan pita merah dan dedaunan emas. Sang

(40)

kemudian berjanji untuk melakukan perbuatan baik. Oleh karena itu, jika kita melihat singa Barongsai dari dekat, dapat dilihat adanya pita merah

yang melilit pada tanduknya.

Versi ketiga adalah suatu saat di masa lalu, ada seorang kaisar yang memelihara berbagai macam hewan eksotis. Di antara koleksi hewan-hewan

itu, favoritnya adalah singa. Hingga pada suatu hari, singa itu jatuh sakit dan mati tidak lama setelahnya. Dengan kematian singa peliharaan favoritnya,

kaisar memutuskan turun dari singgasananya dan jatuh dalam kesedihan yang mendalam hingga kemudian ia sendiri jatuh sakit. Cemas, para pejabat kekaisaran bingung harus melakukan apa karena tidak ada cara yang

berhasil untuk mengembalikan keceriaan sang kaisar. Akhirnya, seorang anggota kekaisaran mengambil mayat singa dan membuat kostum dari

kulitnya. Dua pemuda yang memiliki badan lentur dan atletis kemudian dilatih untuk menirukan gerakan singa. Berselang beberapa hari kemudian singa itu diserahkan kepada kaisar. Melihat singa kesayangannya, kaisar

segera memperoleh kesenangannya kembali. Pada waktu kejadian itu tersebar ke publik, mereka pun membuat tiruan kostum singa dan menirukan

gerakannya serta menambah unsur musik dan tarian ke dalam pertunjukannya.

Dari wawancara penulis dengan Mestika Nauli selaku sekretaris

komunitas Barongsai di Kota Sibolga, diketahui bahwa masuknya kesenian Barongsai di Kota Sibolga tepatnya di tahun 2008. Awalnya sulit diterima oleh masyarakat pribumi di Kota Sibolga. Kini, pertunjukan Barongsai di

(41)

penampilannya oleh masyarakat Tionghoa dan masyarakat pribumi. Pertunjukan Barongsai mampu menyatukan berbagai etnik di Kota Sibolga.

3.3 Jenis Barongsai

Pada Umumnya Barongsai memiliki dua jenis yang terkenal, yaitu

Tarian Singa Selatan dan Tarian Singa Utara. Masing-masing memiliki ciri khas tersendiri. Untuk barongsai dari selatan lebih mengutamakan

penampilan kuda-kuda saja, tidak menitikberatkan pada unsur akrobatik. Sementara barongsai dari utara lebih banyak menonjolkan unsur akrobatik. Berikut ini adalah penjelasan mengenai tarian singa selatan dan tarian singa

utara serta perbedaan dari keduanya.

1. Singa Selatan.

Jenis singa selatan merupakan jenis yang paling populer. Dua singa

yang terkenal dari jenis Singa Selatan ini adalah Singa Fat San/Fo Shan (佛

山) dan Singa Hok San/He Shan (鹤山), dinamakan demikian berdasarkan daerah keduanya diciptakan. Sebenarnya terdapat ada lagi jenis singa yang

lain, namun dikarenakan kebanyakan orang Tionghoa bermigrasi dari Provinsi Guangdong maka hanya kedua jenis inilah yang dikenal di luar

Cina. Kedua jenis singa ini biasa ditampilkan oleh tim kung-fu dan para praktisi kung-fu pada suatu ketika menyebut pertunjukan Singa Selatan sebagai “tarian yang istimewa” karena berdasarkan fakta bahwa singa

(42)

Pada awal kemunculannya di negara Cina, tarian Barongsai ditampilkan oleh para aktor dan penari lokal ataupun rombongan opera

keliling. Tarian Singa Selatan ditampilkan untuk tujuan memberikan berkah sejalan juga untuk kepentingan hiburan, suatu ketika di zaman dinasti Ching ditampilkan oleh para pemberontak untuk mengumpulkan dana serta

menjadi untuk menelurkan informasi rahasia di antara mereka.

Bagian kepala Singa Selatan cenderung berat, satu kostum barongsai

lengkap beratnya bervariasi antara 14-16 kilogram tergantung pada jumlah ornamen-ornamen serta dekorasi-dekorasi yang dikenakan. Kostum Singa Selatan tidak sepenuhnya menutupi badan pemainnya (tidak seperti Singa

Utara) dan bagian badan/ekor berukuran panjang dan terbuat dari kain yang warnanya bervariasi. Singa Selatan ini ditampilkan tidak hanya ditujukan

untuk kepentingan agama, namun juga untuk keperluan pelatihan ilmu bela diri. Berat kostum singa ini akan membantu memperkuat bagian tubuh dan atas mereka. Dapat dikatakan melalui gerakan-gerakan singa ini bagaikan

pelatihan aerobik menggunakan beban.

Biasanya bingkai kepala Singa Selatan terbuat dari rotan dan anyaman bambu kemudian akan dilapisi berkali-kali hingga tebal dengan

kain kasa. Langkah ini akan diulang berkali-kali, kemudian kepala Barongsai akan diberi cat dasar sebelum kemudian ditambah lagi varian

warna serta simbol-simbol yang memiliki makna-makna tertentu di atas cat dasar tersebut. Setelah itu, ditambahkan berbagai ornamen di atas kepalanya seperti cermin. Bagian-bagian yang dapat digerakkan seperti kelopak mata,

(43)

sosok singa. Kedua matanya terbuat dari kayu dengan sebuah lubang di tengahnya yang dilapisi kaca atau plastik. Pada praktik modern, bola lampu

mini yang digerakkan oleh baterai dipasang pada kedua mata untuk memberikan tampilan nyata.

Di masa sekarang, bagian kepala singa sudah menjadi sangat ringan.

Desain singa yang baru juga telah menggunakan bentuk ekor yang pendek. Perubahan-perubahan besar yang terjadi pada desain dan bahan Barongsai

ini dinilai sangat penting seiring semakin populernya kompetisi dan perlombaan pertunjukan Barongsai. Salah satu gerakan yang sering dinilai dapat menambah poin besar adalah jika para pemain Barongsai dapat

melakukan atraksi berdiri dan menari di atas tiang-tiang yang tinggi (dikenal dengan jong), tentu akan sangat memudahkan pergerakan dan atraksi mereka jika massa tubuh Barongsai yang dimainkan tidak berat seperti massa tubuh Barongsai yang lama. Hampir semua para pemain Barongsai modern memakai celana yang satu tipe dan satu jenis dengan badan atau

ekor singa.

Gambar 3.1

(44)

2. Singa Utara

Bentuk Singa Utara sering diidentikkan dengan bentuk anjing pug Peking. Hal ini disebabkan karena pada zaman dahulu kala, sosok singa yang sebenarnya sangatlah jarang dapat dilihat oleh bangsa Cina pada saat

itu kecuali orang-orang yang tinggal dalam lingkungan kerajaan. Para seniman zaman dulu menggunakan sosok pug Peking mungkin dikarenakan

anjing jenis ini sering disebut sebagai anjing singa. Nama ini diberikan kepada jenis anjing ini kemungkinan karena ditemukannya kemiripan sosok antara patung-patung singa yang menjaga gerbang istana dengan anjing pug.

Jenis anjing pug ini diyakini telah lama eksistensinya di negeri Cina, seperti ditemukannya gambar anjing dalam kuburan-kuburan dari Dinasti Tang

hingga Dinasti Han. Fakta lain terdapat pada sebuah buku berisikan sejarah anjing pug Cina, menyatakan bahwa pihak kerajaan sering mengadakan kontes tahunan anjing, kontes ini dimenangkan oleh pemilik yang dapat

mengembangbiakkan anjingnya menyerupai figur singa.

Pada umumnya Singa Utara dipertunjukkan untuk tujuan hiburan

saja dan tidak untuk memberikan berkah. Jenis singa ini memiliki versi jantan dan betina, yang dibedakan melalui warna pita yang dikenakan di puncak kepalanya, warna merah untuk jantan dan warna biru atau hijau

untuk betina. Dalam gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Singa Utara, banyak juga ditemukan gerakan-gerakan anjing pug. Yang menjadikan

(45)

Bahan untuk kostum badan Singa Utara adalah rami, nilon, dan benang. Material-material lain dijahit dan dilapiskan pada kain untuk

memberikan kesan bulu dan rambut singa, kemudian diwarnai dengan warna kuning. Warna kuning ini tidak hanya menggambarkan warna bulu singa saja, namun juga merupakan simbol warna Kekaisaran, karena pada awal

mula kemunculannya pertunjukan Singa Utara hanya ditampilkan di kalangan kerajaan. Bagian kepala Singa Utara awalnya terbuat dari kayu,

[image:45.595.169.422.333.528.2]

namun kemudian digantikan oleh bahan yang lebih ringan, yaitu bambu atau rotan kemudian dilapisi dengan kertas.

(46)

BAB IV

FUNGSI DAN MAKNA PERTUNJUKAN BARONGSAI

Memahami seni pertunjukan barongsai berarti juga memahami kebudayaan Tionghoa. Kemungkinan besar tidak ada kebudayaan Tionghoa lainnya yang mengandung berbagai macam aspek budaya dalam beberapa

bentuk seperti pertunjukan barongsai. Banyak yang bertanya-tanya darimana asal barongsai (tarian singa), diyakini bukanlah berasal dari Cina.

Kenyataannya adalah bahwa pada awalnya singa tersebut hanyalah hadiah langka yang diberikan kepada kaisar untuk mengamankan hak-hak serikat. Seiring berjalannya waktu, keanehan dan kelangkaan yang didapati pada

singa tersebut, ditambah dengan pengenalan akan ajaran agama Buddha, dan status sang singa sebagai penjaga dan pelindung agama, menjadikan posisi sang singa perlahan terangkat menjadi mahluk yang membawa

keberuntungan. Sampai sekarang, sosok singa berkembang menjadi ikon tradisi masyarakat Tionghoa. Dengan demikian, seni Barongsai dapat

memberikan identias kebudayaan yang kuat kepada kebudayaan Cina secara umum.

Tarian barongsai sering disalahartikan sebagai tarian naga (liong). Padahal pembedanya cukup jelas, tarian naga biasanya dimainkan oleh sepuluh orang (satu orang memegang mutiara yang terpisah dari badan

(47)

4.3Fungsi Barongsai

Pertunjukan Barongsai adalah pertunjukan yang menampilkan

gerakan tari, meskipun sebagian juga mengelompokkannya ke dalam seni bela diri ataupun akrobatik. Pada pembahasan ini terlebih dahulu akan dibahas fungsi Barongsai dalam perspektif tari.

Substansi tari adalah gerak. Gerak adalah pengalaman fisik yang paling elementer dalam kehidupan manusia. Gerak ini tidak hanya terdapat

dalam denyutan-denyutan di seluruh tubuh manusia untuk tetap dapat bertahan hidup, namun gerak juga terdapat pada ekspresi dari segala pengalaman emosional manusia. Gerakan ekspresif itu disebut dengan Tari

(Martin, 1933).

Menurut pola garapannya, awalnya pertunjukan Barongsai

merupakan jenis tarian tradisonal. Disebut sebagai tari tradisional karena barongsai telah mengalami perjalanan sejarah yang lama dan selalu bertumpu pada pola-pola yang sudah ada.

Jika dilihat berdasarkan fungsinya, maka pada mulanya barongsai dikelompokkan ke dalam jenis tarian upacara yang bersifat sakral dan

magis, meskipun seiring perkembangannya hingga sekarang, barongsai dapat dikategorikan pula sebagai tarian untuk kepentingan pertunjukan sebagai hiburan.

Beberapa alasan yang mendukung pengelompokkan tarian barongsai sebagai tarian upacara adalah:

(48)

2. Penghayatan tari terbatas pada lingkungan adat dan tradisi masyarakat Tionghoa.

3. Barongsai memiliki fungsi sebagai sosok pengusir roh-roh jahat dan kesialan, dan barongsai diyakini juga sebagai utusan para dewa untuk melindungi umat manusia.

4. Iringan musik maupun instrumennya sangat sederhana, terdengar monoton.

Sifat sakral atau religius pertunjukan barongsai dapat dilacak pada fungsi aslinya sebagai upacara ritual pembersihan roh jahat dan penolak bala. Sifat ini dapat dilihat juga melalui penciptaan awal kostum

barongsai yang memiliki filosofi dan nilai seni tinggi menurut tradisi masyarakat Tionghoa.

Pergeseran makna terjadi di masa kini ketika Barongsai ini mulai dipertunjukan dalm hal hiburan dan tontonan umum. Bahkan pertunjukan Barongsai kini juga sudah mulai dipentaskan untuk kepentingan lomba.

Penonton yang menyaksikan pertunjukan Barongsai tidak hanya dari kalangan masyarakat Tionghoa saja, namun dapat disaksikan oleh siapa

saja. Pertunjukan Barongsai juga dapat mengisi acara hiburan, perayaan hari kemerdekaan, peresmian gedung. Meskipun untuk tujuan hiburan, pertunjukan Barongsai masih tetap berakar pada filosofi dan keyakinan

(49)

4.3.1 Representasi Simbolis

Topeng dan kostum Barongsai mengandung simbol-simbol

berdasarkan filosofi dan sejarah masyarakat Tionghoa. Dalam setiap pertunjukan, setiap topeng dan kostum Barongsai harus memiliki tiap symbol yang ada, karena simbol-simbol ini memiliki peran krusial dan harus

dipatuhi bila Barongsai ditampilkan dalam konteks pertunjukan tradisional.

4.3.2 Sebagai Hiburan

Barongsai sebagai salah satu ungkapan ekspresi budaya, yang pembuatannya berasal dari ide-ide dan gagasan masyarakat Cina sejak

zaman dahulu, dan keseluruhan hasil dari ide-ide dan gagasan tersebut, telah tertuang ke dalam bentuk seni, yaitu seni pertunjukan Barongsai. Pernyataan

diatas didukung oleh Kluckhohn dalam Suparlan (1984:77) bahwa kebudayaan itu diciptakan, ditransmisikan oleh manusia dari generasi ke generasi.

Barongsai berkembang sifatnya menjadi tontonan hiburan. Setiap masyarakat, baik masyarakat Tionghoa maupun di luar masyarakat

Tionghoa diharapkan mampu mendapatkan kesenangan ketika menonton Barongsai serta musik pengiringnya ditampilkan. Bahkan sekarang pun kesenian Barongsai sudah banyak yang dilombakan, untuk menambah kesan

menghibur pada sifatnya.

Dengan bangkitnya seni pertunjukan Barongsai, membawa kebahagiaan baru pada masyarakat Tionghoa di Indonesia khususnya di

(50)

mengekspresikan kembali, setelah selama 32 tahun dilarang oleh pemerintahan Orde Baru. Sebagai seni warisan budaya leluhur, biasanya

masyarakat Tionghoa melaksanakannya pada acara hari raya Imlek. Karena pada saat itu, memiliki arti yang sangat penting dan mendalam untuk mempengaruhi struktur kehidupan mereka.

4.3.3 Pengungkapan Emosional

Dalam pertunjukan Barongsai, terdapat delapan emosi utama (Baht Ying). Penonton yang menyaksikan pertunjukan diharapkan mampu menangkap maksud dari setiap pergerakan yang dilakukan Barongsai. Oleh

karena itu, setiap gerakan yang dimainkan oleh pemain Barongsai tidaklah sama dari awal hingga akhir, namun berbeda-beda tiap fasenya. Pengungkapan emosi Barongsai di sini dapat dikatakan meniru ekspresi

manusia, dimana ada emosi takut, senang, marah, mabuk, dan lain sebagainya.

(51)
[image:51.595.203.415.78.293.2]

Gambar 4.2 : Ekspresi barongsai tidur

4.3.4 Ekspresi Kosmologi Tionghoa

Kosmologi adalah pengetahuan yang meneliti asal usul, struktur,

hubungan ruang-waktu dalam alam semesta. Dalam metafisika menyelidiki alam semesta sebagai sistem yang beraturan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:736).

Kosmos dalam bahasa Yunani berarti dunia jagat raya, Logos berarti ilmu tentang. Pandangan bahwa semesta alam sebagai keseluruhan yang

teratur. Dalam teologi Katolik Timur dihubungkan dengan keindahan penciptaan, bertentangan dengan buruknya chaos (O‘Collins, Gerald SJ. et al. 1996:166).

Dalam kosmologi masyarakat tradisional, terdapat keyakinan semua benda langit memiliki pengaruh bagi kehidupan manusia sesuai tanggal dan

(52)

kehidupan pada hakekat keharmonisan antara kehidupan langit (alam gaib) dan kehidupan bumi (alam nyata). Alam semesta merupakan akibat

reinkarnasi dari kekuatan alam. Menurut dasar berpikir orang Cina, fenomena alam itu dapat dibagi dalam dua klasifikasi yaitu Yin dan Yang, sehingga manusia harus dapat menyesuaikan diri dengan alam semesta (

Hidajat, 1977 : 23-24 ).

Barongsai dapat dijadikan medium yang menghubungkan manusia

diantara alam nyata dengan alam gaib. Barongsai terdiri dari serangkaian gerakan tubuh yang memiliki ruangan secara ekspresif. Barongsai merupakan tarian ritual yang bersifat sakral dan sering kali dilakukan pada

waktu yang sangat khusus seperti Imlek dan upacara khusus mengusir setan. Pertunjukan Barongsai dapat dibagi dalam dua klasifikasi yaitu Yin dan Yang. Salah satu contohnya, pemain inti dari pertunjukan seni barongsai harus berjumlah dua orang dan tidak boleh lebih dari dua orang. Bila salah satu dari pemain inti tidak ada, maka barongsai itu tidak dapat melakukan

pertunjukan. Pemain inti barongsai merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Mereka adalah 2 aspek yang

mempunyai kekuatan yang sama. Itulah sebabnya barongsai dapat di klasifikasikan dalam unsur Yin dan Yang. Pendapat diatas didukung oleh pernyataan Cooper (1981:4), bahwa Yin dan Yang merupakan sesuatu

(53)

4.4 Makna Barongsai

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia makna merupakan arti, atau

maksud (Deli, 2000:329). Oleh karena itu, bagi masyarakat Tionghoa barongsai itu memiliki makna atau arti yang sangat penting.

4.4.1 Makna Warna

Pada awal penciptaannya, seniman yang menciptakan Barongsai

Selatan terinspirasi dari novel “Romansa Tiga Kerajaan”. “Romansa Tiga Kerajaan” mengambil setting waktu ketika runtuhnya kejayaan Dinasti Han. Tiga lelaki kemudian mengucapkan sumpah persaudaraan di taman persik

untuk sama-sama mengembalikan kejayaan Dinasti Han. Adalah yang tertua bernama Lau Pei (Liu Bei), merupakan keturunan bangsa Han, dia juga

sosok yang menemukan Kerajaan Shu dan menjadi penguasa pertamanya. Saudara yang kedua bernama Kwan Yu (Guan Yu). Yang terakhir bernama Jeung Fei (Zhang Fei). Kemungkinan besar mengapa warna kostum

Barongsai didasari pada ketiga karakter ini dikarenakan sebagian besar etnik Tionghoa percaya bahwa mereka adalah keturunan bangsa Han, sehingga

ketika menciptakan suatu bentuk kesenian pun haruslah berdasarkan latar belakang sejarah mereka. Warna-warna dari Barongsai Selatan ini didasari pertama kali berdasarkan ketiga karakter mereka.

Karakter pertama yang menginspirai warna Barongsai adalah Lau

Pei (Liu Bei – 劉備), digambarkan dengan warna dasar kuning/emas di

(54)

yang ketiga adalah karena warna kuning (atau warna dari Kekaisaran seperti yang sudah diketahui di Cina) hanya diperuntukkan bagi Kaisar. Pada

bagian wajah terdapat janggut putih panjang yang menggambarkan kebijaksanaan dan kedudukan yang lebih tinggi. Kadang-kadang ditampilkan juga sebuah ao yu atau jambul elang di tempat tanduk bambu berada. Ekornya berwarna-warni yang melambangkan lima elemen dalam tradisi Tionghoa. Pada ikatan lehernya terdapat tiga koin, masing-masing

mewakili kebijaksanaan, kebajikan, dan keberanian (智, 仁, 勇 – zhi, ren, dan yong). Bagi masyarakat Tionghoa jenis singa ini disebut sebagai Singa Pembawa Keberuntungan (Rui Shih).

[image:54.595.219.384.363.566.2]

Gambar 5.1 : Singa Kuning/Emas

Kedua adalah Kwan Yu (Guan Yu – 關羽), dikenal memiliki wajah

kemerahan (diceritakan wajah merah Guan Yu didapat ketika dia berusaha

(55)

pejabat korupsi, berusaha membalas dendam padanya dengan cara menjebaknya dalam sebuah kuil kemudian membakarnya hidup-hidup).

Warna dasar merah juga dicampur dengan warna hitam melambangkan kebajikan, kesetiaan, dan keberanian Jenderal Guan. Singa jenis kedua ini menggunakan apa yang disebut dengan mata burung phoenix. Pada ikatan

lehernya terdapat dua koin, mewakili kebijaksanaan an keberanian. Janggutnya panjang dan hitam, seperti Jenderal Guan yang dikenal sebagai

Bangsawan dengan Janggut Indah. Ekornya berwarna merah dengan hiasan berwarna hitam. Singa jenis ini dikenal sebagai Singa Bangun (Xing Shi).

Yang ketiga adalah Jeung Fei (Zhang Fei – 張 飛), singa ini

memiliki wajah hitam karena dikatakan bahwa Jenderal Jeung memiliki warna kulit muka yang gelap. Warna hitam juga melambangkan jiwa muda,

lugas, dan bersifat memberontak yang merupaka ciri-ciri Zhang Fei. Singa jenis ini juga memiliki ciri janggut hitam yang pendek dan tebal, kedua mata

berwarna merah, tekinganya menyerupai bentuk kembang kol, dan taring. Semua ciri-ciri ini ditambahkan untuk memberi kesan mengancam pada singa. Ekornya diwarnai dengan warna hitam dan putih dengan lonceng

menghiasi tubuhnya, fungsi lonceng ini untuk memberi peringatan, kira-kira sama dengan fungsi derik pada ular derik. Selain itu, lonceng juga dipercaya

memiliki kekuatan pada dunia spiritual. Pada ikatan lehernya terdapat satu koin yang melambangkan keberanian. Tanduk yang dipakai pada singa ini adalah tanduk besi, hal ini didasari pada fakta bahwa singa ini merupakan

(56)
[image:56.595.161.431.91.297.2]

Gambar : Singa Hitam

Gambar 5.2 : Singa Hitam

Kemudian tiga jenis Singa ditambahkan pada jenis singa-singa

Barongsai. Yang pertama adalah Jiu Wan (Zhao Yun – 趙雲) atau Jiu Ji

Lung (Zhau Zi Long – 子龍). Singa ini memiliki buntut berwarna hijau

dengan janggut dan bulu berwarna hitam serta sebuah tanduk besi. Zhao sering disebut sebagai saudara keempat. Cerita yang berkembang menyebutkan ketika pasukan Lau Pei dikalahkan dan kotanya dirampas oleh

musuh, mereka dipaksa untuk keluar dari kotanya. Di tengah kekacauan, Lau Pei terpisah dari keluarganya. Ketika mendengar kabar ini, Jiu Wan

pergi ke daerah kekuasaan musuh dan berhasil menemukan dan menyelamatkan bayi laki-laki Lau Pei dengan cara menerobos jutaan orang pasukan tentara musuh. Singa hijau ini dikenal sebagai Singa

(57)
[image:57.595.169.429.97.365.2]

Gambar 5.3 : Singa Merah dan Singa Hijau

Yang terakhir adalah singa dengan warna dasar putih yang dikenal

sebagai Ma Chiu (Ma Chao – 馬超); Ma Chiu dilambangkan dengan warna

ini dikarenakan dia selalu menggunakan kain putih yang digulungkan di lengannya ketika bertarung melawan Kaisar Negeri Wei, Chao Chao (Cao

Cao), kain putih ini berfungsi sebagai pengingat dukanya atas ayah dan adiknya yang dibunuh oleh Chao Chao. Hal ini dikarenakan karena Chou Chou yang baru diangkat sebagai Perdana Menteri yang baru mengetahui

rencana mereka untuk mengembalikan kejayaan Dinasti Han dengan cara merebut kekuasaan darinya. Kemudian dalam peperangan Ma Chiu

(58)
[image:58.595.175.424.146.390.2]

inilah singa putih sering disebut sebagai “Singa Pemakaman”, sementara yang lain menyebutnya sebagai “Singa Berbakti”.

Gambar 5.4 : Singa Putih

Satu-satunya warna lain yang juga digunakan pada singa ini adalah

hitam. Pita putih dililitkan di daerah sekitar tanduk untuk melambangkan kain putih yang digunakan oleh Ma Chiu. Singa jenis ini hampir tidak pernah dipertontonkan untuk kepentingan umum kecuali untuk pemakaman

seorang Sifu (guru), petinggi-petinggi penting kelompok pertunjukan Barongsai (presiden), dan bahkan dalam beberapa kasus Barongsai ini juga

(59)

Oleh karena itu kelima jenis singa ini sering dikenal sebagai “Lima Jenderal Macan Shu”, dan kelimanya juga disebut sebagai perwakilan dari

lima warna oleh kelima elemen.

4.4.2 Makna Kostum Barongsai

1. Tanduk Pada Kepala Singa

Tonjolan pada kepala Singa disebut dengan Jaio Chi (角髻); Jiao

berarti tanduk dan Chi berarti kepala. Ada peribahasa Tionghoa yang bunyinya “Tou Jiao Cheng Yung”, berarti “Tanduk Pada Kepalamu

Memberikan Penampilan yang Istimewa”. Ungkapan ‘tanduk’ disini tidak dimaksudkan sebagai arti harafiah, namun dimaksudkan sebagai gaya rambut atau penutup kepala yang digunakan di atas kepala orang-orang

Tionghoa di masa sebelum datangnya Bangsa Manchu untuk menaklukkan Cina. Sementara ketika masa pemerintahan Manchu, orang-orang disana

dipaksa untuk mennguncir rambut mereka, dan bagi yang menolak untuk memakainya kepala mereka akan dipenggal. Beberapa orang bertanya-tanya mengapa singa Barongsai memiliki sebuah tanduk di atas kepalanya. Hal ini

diduga bermula di awal pemerintahan Dinasti Tang, patung-patung singa pada saat itu digambarkan memiliki semacam tonjolan di kepalanya, dan

(60)

Di awal kedatangannya singa merupakan sebuah hadiah yang langka dari negara lain untuk diberikan kepada pemerintah Cina. Setelah itu

gagasan sosok singa sebagai hewan suci mulai diterapkan seiring dengan pengenalan agama Buddha dimana sosok singa dianggap sebagai penjaga dari agama Buddha. Dari gambarannya kita dapat menentukan jenisnya, jika

memiliki taring yang panjang, maka disebut sebagai seekor hewan karnivora, jika memiliki tanduk yang lancip, merupakan seekor hewan yang

memakan tumbuhan (herbivora). Hal yang aneh adalah banyak hewan-hewan yang dianggap membawa kebaikan bagi bangsa Tionghoa memiliki taring panjang dan tanduk lancip, dipercaya bahwa orang-orang di zaman

dahulu dalam hal menunjukkan keistimewaan status hewan-hewan mulia itu, memberikan gambaran kepada hewan-hewan mulia memiliki tanduk

lancip dan taring panjang, alasannya adalah untuk menggambarkan bahwa hewan-hewan mulia ini memiliki kekuatan dari hewan karnivora dan sifat mulia dari karakter hewan herbivora yang tidak haus darah. Hal ini sejalan

dengan tradisi agama Buddha yang pendiri serta para biksunya merupakan vegetarian.

Dua jenis tanduk yang paling dikenal terdapat pada Singa Selatan adalah batang bambu di puncak kepala dengan ujung yang runcing (dinamakan begitu karena penampilan fisiknya dan biasanya dijumpai pada

kepala Singa Fat San). Kemudian ada tanduk yang bentuk ujungnya menyerupai kepalan tangan (biasanya dijumpai namun tidak terbatas pada

(61)

kesopanan. Batang bambu disini merupakan representasi dari jiwa muda serta langkah-langkah yang sigap dari para prajurit muda, sedangkan tanduk

yang menyerupai kepalan tangan menggambarkan tanduk singa tua yang telah menjadi tumpul karena telah melewati banyak waktunya dalam medan pertempuran.

Seiring berjalan waktu tanduk ini kemudian dicat dengan warna hitam. Warna hitam dikenal sebagai warna langit dalam Yi Jing (Kitab Perubahan). Ungkapan yang menyebutkan “langit dan bumi adalah hal yang misterius dan hitam (gelap)” berakar dari perasaan orang-orang zaman dahulu ketika melihat langit utara menunjukkan warna hitam misterius

[image:61.595.219.394.528.686.2]

untuk periode waktu yang lama. Mereka mengira bahwa Bintang Utara adalah tempat Tian Di (Kaisar Langit) bertakhta. Oleh karena itu, w

Gambar

Gambar 1.1
Gambar 2.Peta Kota Sibolga
Gambar 3.2 : Singa Utara
Gambar 4.2 : Ekspresi barongsai tidur
+7

Referensi

Dokumen terkait

PEJABAT PENGADAAN BARANG/ JASA BIDANG BINA M ARGA.. DINAS PEKERJAAN UM UM KABUPATEN KLATEN

Bersama ini kami sampaikan dengan hormat bahwa sehubungan dengan pelelangan ulang pekerjaan Interpretasi Citra Satelit dan Digitasi Hutan Rakyat dan Lahan Kritis pada APBD

Apabila peser ta lelang kegiatan ter sebut diatas keber atan atas hasil pelelangan ini, diber ikan kesempatan untuk mengajukan sanggahan secar a ter tulis ditujukan kepada

Dinas Peker jaan Umum Kabupaten Klaten Tahun 2013, untuk Peker jaan :. Perbaikan

Penelitian Selanjutnya dilakukan oleh Novitasari (2014) dengan judul “ Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak, Sosialisasi Perpajakan, dan Kualitas Pelayanan pada Kepatuhan

Metode dan desain permainan kuis yang dirancang dengan menggunakan software Adobe Flash CS3 sebagai bahasa pemrograman script program Editor dan juga digunakan untuk

Penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rezkyanti, (2011) yang menunjukkan bahwa sumber daya manusia, komitmen organisasi dan

Hasil pengujian diatas menunjukkan nilai F-hitung sebesar 5,881 dengan tingkat signifikan F sebesar 0,011< α , dimana α = 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa