• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Pemisahan Serat

Berdasarkan dari penelitian yang dilakukan, diperoleh serat batang kelapa sawit yang diperlihatkan pada Gambar 4.

(a) (b)

Gambar 4 . (a) Kumpulan serat basah, (b) Serat yang dihasilkan.

Hasil penelitian menunjukkan serat batang kelapa sawit memiliki bentuk yang baik dalam keseragaman ukurannya dan memiliki bentuk dengan ciri-ciri yaitu ukuran yang kecil, berbentuk rambut-rambut halus dan bergumpal. Menurut Casey (1960), komposit dengan penguat serat (fibrous composite) sangat efektif, bahan dalam bentuk serat jauh lebih kuat dan kaku dibanding bahan yang sama dalam bentuk padat (bulk). Kekuatan serat terletak pada ukurannya yang sangat kecil, kadang-kadang dalam ukuran micron.

Pada proses pembuatan serat ini dilakukan dengan metode yang sederhana sehingga masih memiliki kendala-kendala dalam proses pembuatannya. Pembuatan serat dilakukan menggunakan sebagai pemisah serat. Alat ini memiliki beberapa kelemahan yang dapat menghambat proses pemisahan serat seperti rentan terhadap kerusakan karena tidak memiliki kestabilan, pisau yang mudah tumpul dan tidak tahan lama. Alat merupakan faktor yang paling penting dalam proses pembuatan serat karena keberhasilan metode yang digunakan ini terletak

pada alat yang dipakai. Blender ini digunakan sebagai pemecah serat yang cara kerjanya yaitu dengan pengadukan dibantu dengan pisau sehingga serat dapat terpisah secara merata. Cara kerja metode yang digunakan pada penelitian ini mengadopsi dari proses CTMP (Chemical-Thermo-Mechanical Pulping).

Proses pemisahan serat dilakukan dengan dua tahap yaitu pemblenderan I yaitu dari hasil partikel yang telah direndam dengan NaOH 1,56 % dan pemblenderan II yaitu partikel kering setelah pemblenderan pertama. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan serat individu dan sudah terpisah secara sempurna. Dari kedua tahapan ini harus sangat diperhatikan untuk mendapatkan serat yang akan dihasilkan, salah satu yang paling mempengaruhi adalah waktu dalam pemblenderan. Dalam pemblenderan I diperlukan waktu 4-7 menit untuk memisahkan partikel sawit menjadi serat. Pemblenderan I merupakan pemisahan partikel menjadi serat sehingga apabila ini tidak diperhatikan maka hasil yang akan diperoleh akan berupa serat yang masih berupa partikel dan serat tersebut memiliki ukuran yang belum beragam. Oleh karena itu waktu pada pemblenderan ini memiliki selang waktu sehingga diharapkan mendapatkan serat yang telah terpisah sempurna.

Pemblenderan II dilakukan hanya untuk menyempurnakan serat yang telah dipisahkan. Hal ini dilakukan karena pada pemblenderan I masih berupa kumpulan serat basah sehingga perlu dilakukan pengeringan terlebih dahulu dan kemudian dilakukan pemblenderan II. Untuk tahapan ini yang harus diperhatikan adalah kemampuan alat (blender) yang digunakan karena pada proses inilah kelemahan alat terjadi.

Dari penelitian yang telah dilakukan , persentase produktivitas pembuatan serat dapat dilihat pada tabel.

Tabel 7. Persentase Produktivitas Pembuatan Serat

Ulangan Sawit (g) NaOH (g) Air (ml) Hasil (g) Serat yang dihasilkan (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 600 700 800 800 900 1000 1000 1300 1300 75 87,5 100 100 112,5 125 125 162,5 162,5 4800 5600 6400 6400 7200 8000 8000 9600 9600 208,7 252,4 273,7 220,3 274 312,15 330,15 405,8 430,1 34,78 36,06 34,21 27,53 30,4 31,21 33,01 31,21 33,08 Total 8400 1050 65600 2707,3 Rerata Hasil 32,22

Pada tabel 8 terlihat bahwa rata-rata serat yang dihasilkan berkisar antara 27,53 - 36,06% dengan nilai rata-rata sebesar 32,22%. Data ini menunjukkan bahwa keberhasilan untuk mendapatkan serat sangat kecil, hal ini dikarenakan adanya faktor yang mempengaruhi besarnya persen serat yang dihasilkan antara lain adalah kondisi batang kelapa sawit yang akan dijadikan serat. Hal ini tidak sesuai dengan standar Mc Govern (1980) dalam Siagian et al (2000) yang menyatakan rendemen pulping dengan metode panas mekanis (TMP/Thermo

Mechanical Pulping) berkisar 80-90%. Demikian juga penelitian Onggo & Astuti

(2005) terhadap pulp dari serat daun nenas dengan proses alkali, rendemen yang diperoleh masih cukup tinggi 60-90%.

Pengukuran Dimensi Serat

Dimensi serat dan turunannya merupakan salah satu sifat penting yang dapat digunakan untuk menduga sifat-sifat pulp yang dihasilkan. Peranan dimensi serat seperti panjang, diameter , dan tebal dinding serat mempunyai hubungan satu sama lain yang kompleks dan mempunyai pengaruh terhadap tujuan penggunaannya. Hasil pengukuran dimensi serat seperti panjang serat, diameter serat dan tebal dinding serat disajikan pada tabel.

Tabel 8. Rata-rata dimensi serat batang kelapa sawit

Dimensi serat Rerata (µm) Standart deviasi

Panjang serat Diameter serat Diameter lumen Tebal dinding serat

1288,1 38,1 29,8 4,1 319,1 8,9 7,6 1,8

Keterangan : data di atas merupakan rata-rata dari 100 kali pengukuran

Panjang serat batang kelapa sawit

Dari hasil pengukuran yang telah dilakukan diperoleh panjang serat batang kelapa sawit adalah 1288,1 µm. Berdasarkan penilaian serat kayu Indonesia pada tabel klasifikasi panjang serat, maka nilai rata-rata panjang serat batang kelapa sawit termasuk dalam kelas sedang yaitu 901-1600 µm.

Menurut Yahya (1997), serat yang panjang memberikan keteguhan sobek yang tinggi dan dalam batasan tertentu memberikan kekuatan jebol, daya lipat dan kekuatan tarik yang cukup tinggi pula. Hal ini dikarenakan serat yang panjang akan memiliki bidang kontak dan fibrilasi yang lebih banyak, sehingga jalinan dan ikatan antar serat menjadi kuat. Akan tetapi, serat yang panjang akan

Dalam hal ini serat batang kelapa sawit merupakan termasuk kelas sedang sehingga diduga memiliki kelebihan dalam menghasilkan permukaan kertas yang halus dan memiliki keteguhan sobek, kekuatan jebol, daya lipat dan ketahanan tarik yang sedang.

Panjang serat batang kelapa sawit jika dibandingkan dengan serat Acacia

mangium penelitian Tambunan (2010) lebih tinggi dengan hasil berkisar 834,53

µm, hal ini menunjukkan bahwa serat batang kelapa sawit tergolong lebih panjang dari serat akasia. Sedangkan bila dibandingkan dengan kayu karet maka serat batang kelapa sawit relatif tidak berbeda yang memiliki rerata panjang berkisar 1234,42 µm (Safitri, 2003). Menurut Hidayat (1995), bahwa besarnya rentang kepercayaan pada panjang serat diduga karena ketidakseragaman pola pertumbuhan sel. Hal ini terjadi karena beberapa sel melanjutkan pembelahan dan konsekwensinya pertumbuhan memanjang sel menjadi terhambat, sedangkan sel-sel lainnya berhenti membelah dan mengalami pemanjangan sel-sel.

Diameter serat batang kelapa sawit

Diameter serat mempunyai pengaruh besar terhadap sifat kekakuan pulp, dalam pencucian, penyaringan, refining, berpengaruh terhadap pembentukan lembaran, ikatan antar serat, kekuatan serat dan mobilitas serat dalam lembaran. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa serat dengan diameter besar dan berdinding sel tipis mampu memberikan ikatan antar serat yang kuat dengan kekuatan yang tinggi (Bowyer et.al 2003).

Gambar 5. Pengukuran diameter serat

Serat batang kelapa sawit jika dibandingkan dengan serat kayu yang biasa digunakan sebagai bahan baku papan serat yaitu Acacia mangium penelitian Tambunan (2010) lebih rendah dengan hasil yang diperoleh dari Tabel 9. Pada

Acacia mangium diameter serat yang diperoleh berkisar 17,71 µm sedangkan pada

batang kelapa sawit dengan rerata 38,1 µm yang termasuk dalam kategori lebar. Sedangkan bila dibandingkan dengan kayu karet dari penelitian Safitri (2003) yang rerata diameter seratnya berkisar 23,06 µm, hal ini menunjukkan bahwa serat kayu karet lebih sempit dibanding serat batang kelapa sawit.

Kasmudjo (1989) dalam Desmantoro (2006) menyatakan bahwa dalam pembuatan kertas dibutuhkan serat yang berdiameter sempit dan berdinding tipis karena kondisi ini akan memudahkan proses pemipihan dan pembentukan dalam pembuatan kertasnya. Dilihat dari diameternya diduga serat batang kelapa sawit akan sulit dipipihkan pada saat penggilingan serat, sehingga diduga dapat menghasilkan lembaran kertas yang tebal dengan permukaan yang tidak begitu licin.

Diameter lumen

Diameter lumen berpengaruh sebagai perbandingan dengan diameter serat yang disebut sebagai fleksibility ratio (tingkat fleksibilitas ratio) yang menunjukkan hubungan parabolis dengan kekuatan tarik dan panjang putus. Hasil rata-rata diameter lumen batang kelapa sawit adalah 29,8 µm, termasuk ke dalam serat yang lebar. Sahwalita et.al (2005) mengatakan bahwa, peningkatan dan penurunan pada diameter serat dan diameter lumen disebabkan oleh resistensi karena bentuk serat dan komposisi kimia dari dinding serat. Sedangkan untuk penurunan diameter lumen disebabkan oleh air yang digunakan dalam proses pemukulan serat dan menyebabkan pembengkakan diameter lumen menjadi tipis.

Tebal dinding serat

Tebal dinding serat merupakan salah satu ukuran dimensi serat yang ikut menentukan sifat-sifat kertas. Data diameter serat dan diameter lumen dapat dijadikan dasar dalam menghitung tebal dinding serat dengan cara pengurangan diameter serat dengan diameter lumen dibagi dua. Tebal dinding serat rata-rata serat batang kelapa sawit berkisar 4,1 µm. Menurut Bowyer et.al (2003), serat berdinding tebal akan menghasilkan kertas dengan kekuatan jebol dan tarik yang lebih rendah tetapi dengan kekuatan sobek yang tinggi. Kertas yang dibuat terutama dari sel-sel yang berdinding tebal juga cenderung memiliki ketahanan lipat yang rendah. Dinding serat yang tebal menyebabkan terbentuknya lembaran yang kasar dan tebal, kemudian untuk serat yang berdinding tipis mudah mengalami lembek sedangkan serat berdinding tebal sukar menjadi lembek atau lembut dan bentuknya tetap membulat pada waktu pembentukan lembaran.

Nilai Turunan Serat Batang Kelapa Sawit

Dimensi serat dan turunannya merupakan salah satu sifat penting kayu yang dapat digunakan untuk menduga sifat-sifat pulp yang dihasilkan. Turunan dimensi serat yaitu Runkel Ratio (bilangan runkel), Felting Power (daya tenun),

Flexibility Ratio (bilangan fleksibilitas), Muhsteph Ratio (bilangan muhsltep) dan Coofficient of Rigidity (koefisien kekuan). Hasil perhitungan turunan dimensi

serat disajikan pada Tabel 10.

Tabel 9. Nilai turunan dimensi serat batang kelapa sawit

No Uraian

Kelas Mutu

I II III Hasil

penelitian Nilai Syarat Nilai Syarat Nilai syarat nilai

1 2 3 4 5 6 Panjang serat Runkel ratio Felting power Muhlstep ratio Flexibility ratio Coefficient of ridigity >2000 <0,25 >90 <30 >0,80 <0,10 100 100 100 100 100 100 1000-2000 0,25-0,50 50-90 30-60 0,50-0,80 0,10-0,15 50 50 50 50 50 50 <1000 0,5-1,0 <50 60-80 <0,50 >0,15 25 25 25 25 25 25 1288,1 0,29 34,27 38,32 0,78 0,10 50 50 25 50 50 50 Selang nilai 450-500 225-449 <225 275 Sumber : LPHH (1976)

Pada Tabel 10 terlihat bahwa hasil penelitian yang diperoleh pada nilai rata-rata Runkle Ratio serat batang kelapa sawit adalah 0,29. Nilai ini menunjukkan bahwa nilai Runkle ratio serat batang kelapa sawit termasuk ke dalam kelas II dengan dinding serat tipis. Syafii dan Siregar (2006) mengatakan, apabila serat dengan bilangan Runkle kecil berarti serat ini mempunyai dinding sel tipis, diameter lumen lebar, mudah memipih dan pembentukan lembaran pulp mempunyai kekuatan tarik dan kekuatan jebol yang tinggi. Sebaliknya serat dengan bilangan Runkle tinggi berarti serat tersebut berdinding sel tebal dan

tarik yang rendah. Berdasarkan sifat ini, serat batang kelapa sawit termasuk serat dengan bilangan Runkle kecil sehingga akan memiliki kemampuan dalam pembentukan lembaran yang baik dan memiliki kekuatan yang tinggi. Hal ini menunjukkan juga bahwa serat batang kelapa sawit sangat baik dan layak digunakan sebagai bahan baku pembuatan kertas maupun sebagai bahan baku produk komposit khususnya papan serat.

Serat batang kelapa sawit memiliki felting power (daya tenun) sebesar 34,27 yang termasuk kelas III berdasarkan klasifikasi serat menurut daya tenun. Daya tenun serat berpengaruh terhadap kekuatan serat, artinya semakin tinggi daya tenun maka semakin tinggi pula kekuatan serat. Bila dibandingkan dengan serat akasia pada penelitian Tambunan (2010) yang memiliki rerata daya tenun sebesar 47,99, maka nilai ini tidak jauh berbeda dengan serat batang kelapa sawit karena kedua serat masih sama-sama dalam kategori daya tenun kelas III. Sedangkan bila dibandingkan dengan serat kayu karet yang memiliki daya tenun berkisar antara 96,68-116,02, maka nilai ini menunjukkan bahwa karet termasuk dalam kelas I (tertinggi). Serat batang kelapa sawit tergolong memiliki daya tenun yang kecil sehingga untuk penggunaanya sebagai bahan baku pulp maupun bahan baku papan serat masih memiliki kelemahan karena apabila serat dengan daya tenun kecil akan menyebabkan kelenturan yang rendah sehingga sulit untuk dilengkungkan dan kekuatan sobek yang rendah juga. Dengan adanya felting

power, papan serat maupun pulp yang dihasilkan akan memiliki lembaran yang

Muhlstep ratio merupakan perbandingan antara luas penampang tebal dinding serat dengan luas penampang lintang serat. Hasil penilitian diperoleh untuk Muhlstep ratio ini adalah 38,32 yang termasuk dalam kelas II yang artinya bahwa serat batang kelapa sawit ini memiliki Muhlstep ratio yang relatif kecil. Untuk penggunaan sebagai bahan baku papan serat, serat batang kelapa sawit memiliki kelebihan karena dengan Muhlstep ratio yang kecil akan menghasilkan kerapatan lembaran yang baik dengan sifat kekuatan yang baik juga. Sebaliknya apabila Muhlstep ratio yang tinggi akan menghasilkan lembaran dengan kerapatan rendah dan kekuatan yang rendah juga.

Menurut Kasmudjo (1989) dalam Desmantoro (2006), serat yang memiliki

Muhlstep ratio kecil akan menghasilkan kertas yang plastis (tidak mudah robek

saat diremas atau dilipat) dengan permukaan yang lebih halus dan rata. Kecilnya

Muhlstep ratio menggambarkan kemungkinan bahwa papan maupun kertas yang

dihasilkan dari serat batang kelapa sawit ini bersifat plastis dan rata/halus permukaannya serta memiliki keteguhan dan daya lipat yang cukup tinggi.

Nilai fleksibility ratio adalah perbandingan antara diameter lumen dengan diameter serat. Dari hasil penelitian, serat batang kelapa sawit memiliki nilai

fleksibility ratio adalah sebesar 0,78. Berdasarkan penilaian serat kayu Indonesia

untuk bahan baku pulp dan kertas maka serat batang kelapa sawit termasuk kelas mutu II (0,50-0,80) dengan nilai 50. Menurut Tambunan (2010) serat dengan

fleksibility ratio tinggi berarti serat tersebut mempunyai tebal dinding yang tipis

dan mudah berubah bentuk. Kemampuan berubah bentuk ini menyebabkan persinggungan antara permukaan serat lebih leluasa sehingga terjadi ikatan serat

maka serat yang dihasilkan dari penelitian merupakan serat yang baik karena mempunyai fleksibility ratio yang tinggi. Bila dibandingkan dengan serat kayu

Acacia mangium penelitian Tambunan (2010) yang nilai fleksibility ratio berkisar

0,70, dapat disimpulkan bahwa kedua serat memiliki nilai yang tidak jauh berbeda. Sedangkan pada kayu karet pada penelitian Safitri (2003), nilai

fleksibility ratio berkisar rerata 0,52 yang termasuk kedalam kelas II juga

sehingga tidak berpengaruh besar.

Coefficient of rigidity (kefisien kekakuan) merupakan perbandingan antara

tebal dinding serat dengan diameter serat. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di dapat nilai Coefficient of rigidity adalah 0,10. Hal ini menunjukkan bahwa serat batang kelapa sawit termasuk kedalam kelas mutu II, artinya bahwa serat batang kelapa sawit diduga layak dijadikan sebagai bahan baku papan serat maupun sebagai bahan baku kertas. Salah satu penyebabnya dikarenakan serat batang kelapa sawit memiliki nilai Coefficient of rigidity yang rendah sehingga memiliki kekuatan yang tinggi. Menurut Syafii dan Siregar (2006), nilai

Coefficient of rigidity berbanding terbalik dengan sifat kekuatan tarik kertas,

artinya semakin tinggi Coefficient of rigidity maka semakin rendah kekuatan kertas yang bersangkutan dan sebaliknya.

Perbandingan dimensi serat limbah batang sawit dengan dimensi serat kayu. Perbandingan dimensi serat limbah batang sawit dengan dimensi serat kayu sangat perlu dilakukan, hal ini dikarenakan tanaman kelapa sawit merupakan tanaman monokotil yang artinya tidak berkayu dan sangat berbeda dengan tanaman dikotil yang susunan batangnya merupakan kayu. Perbandingan dimensi serat ini menggunakan data dari jenis kayu dalam Atlas Kayu Indonesia yang diperlihatkan pada Tabel 11 berikut ini.

Tabel 10. Dimensi serat Kayu

No Jenis Kayu P D DL TDS

1 Agathis spp (dammar) 5.737 49,4 32,4 8,5

2 Bruguiera spp (bakau) 1.612 30 10,4 9,8

3 Shorea spp (balau) 1.327 16,1 9,4 3,3

4 Shorea laevis Ridl (bangkirai) 1.203 19,9 16,1 1,9

5 Pterospermum spp (bayur) 1.509 32 15,4 3,3

6 Shorea balangeran (Korth.)(belangeran) 1.343 13,9 na na

7 Octomeles sumatrana Miq (benuang) 1.536 42,5 36,3 3,1

8 callophyllum spp (bintangur) 1.563 22,5 15,7 3,4

9 Lagerstroemia speciosa Pers (bungur) 1.238 29 na na

10 Dysoxylum densiflorum (Bl.) Miq (cempaga) 1.895 23 na na

11 Dracontomelon spp (dahu) 1.390 17 11 3

12 Durio spp (durian) 1.730 35 23,4 5,8

13 Diospyros celebica Bakh (eboni) 1.101 15,5 8,8 3,3

14 Bischofia javanica Bl (gadog) 1.280 40 na na

15 Cratoxylon arborescens BI (gerunggang) 855 19 14,2 2,4

16 Homalium foetidum (Roxb.) Benth (gia) 1.369 22,1 12,1 5

17 Cotylelobium spp (giam) 1.364 16 na na

18 Anthocephalus chinensis (jabon) 1.979 54 47,6 3,2

19 Tectona grandis (jati) 1.316 24,8 18,2 3,3

20 Dyera spp (jelutung) 1.470 35 28 3,2

21 Dryobalanops spp (kapur) 1.736 20,5 11,3 4,6

22 Aleurites moluccana (kemiri) 1.443 25,9 20,9 2,5

23 Koompassia malaccensis Maing (kempas) 1.313 14,3 na na

24 Dipterocarpus spp (keruing) 1.452 20,3 14,4 3

25 Maranthes corymbosa (kolaka) 1.508 21,5 na na

No Jenis Kayu P D DL TDS

28 Swietenia macrophylla King (mahoni) 1.362 27 10,2 3,4

29 Cinnamomum parthenoxylon (medang) 1.553 26,3 19,7 3,3

30 Podocarpus spp (melur) 5.156 54,8 na na

31 Dactylocladus stenostachys (mentibu) 1.494 27,7 21,1 3,3

32 Shorea johorensis Foxw (meranti merah) 1.451 26 16,8 4,6

33 Shorea bracteolata (meranti putih) 1.252 22,8 14,4 4,2

34 Hopea dryobalanoides Miq (merawan) 978 20,7 14,3 3,2

35 lntsia palembanica Miq (merbau) 1.181 21,6 na na

36 Anisoptera costata Korth (mersawa) 1.466 22,4 9,6 6,4

37 Melia azedarach (mindi) 1.323 27 21 2,8

38 Ganua motleyana Pierre (nyatoh) 1.600 26,2 19,2 3,5

39 Heritiera javanica (palapi) 1.507 20,6 15,8 2,4

40 Lithocarpus spp (pasang) 1.578 22 15,8 3,1

41 Lophopetalum spp (perupuk) 1.125 19,5 14,8 2,4

42 Alstonia pneumatophora Back (pulai) 1.171 38,2 29,4 4,4

43 Schima wallichii Korth (puspa) 1.062 20 8 11

44 Gonystylus velutinus (ramin) 1.112 20,8 17,6 1,6

45 Vatica venulosa (resak) 1.600 18 8 6

46 Dillenia grandifolia (simpur) 2.852 30,8 na na

47 Dalbergia latifolia Roxb (sonokeling) 858 28,4 23,4 2,5

48 Pterocarpus indicus (sonokembang) 1.327 24 16,8 3,6

49 Peronema canescens Jack (sungkai) 1.093 19 12 3,5

50 Toona sureni Merr(surian) 981 27 na na

51 Mimusops elegi (tanjung) 1.254 18,6 na na

52 Fagraea fragrans Roxb (tembesu) 1.438 24 na na

53 Pinus merkusii Jungh (tusam) 5.457 49 na 4

54 Eusideroxylon zwageri (ulin) 1.525 20 9 5,4

Sumber : Atlas Kayu Indonesia (2004)

Keterangan : P = Panjang serat, D = Diameter serat, DL = Diameter lumen, TDL = Tebal dinding serat, na = Tidak ada data (not available)

Dimensi serat limbah batang sawit dari segi panjang serat jika dibandingkan dengan beberapa jenis kayu dalam Atlas Kayu Indonesia pada Tabel 11 yang memiliki panjang serat tertinggi yaitu pada kayu damar sebesar 5.737 μm, menunjukkan bahwa panjang serat limbah batang sawit masih jauh dibawah kayu tersebut. Sedangkan bila dibandingkan dengan panjang serat terendah yaitu pada kayu gerunggang yang berkisar 855 μm, panjang serat limbah batang sawit masih memiliki nilai yang lebih tinggi yaitu 1288,1 μm. Tetapi apabila

dibandingkan dengan persentase terbanyak nilai panjang serat dalam Atlas Kayu Indonesia adalah antara 1000-2000 μm sebesar 85%, maka panjang serat limbah batang sawit masih termasuk dalam nilai persentase terbanyak. Hal ini membuktikan bahwa panjang serat limbah batang sawit dapat disamakan dengan nilai panjang serat kayu yang ada pada Atlas Kayu Indonesia.

Jika dilihat dari diameter serat, serat sawit merupakan berdiameter serat sebesar 38,10 μm yang artinya memiliki diameter lebar (26,00 – 40,00 μm). Bila dibandingkan dengan persentase nilai diameter serat terbanyak dalam Atlas Kayu Indonesia yaitu untuk diameter lebar (26,00 - 40,00 μm) sebesar 26,4%, diameter sedang (11,00 -25,00) sebesar 58,5 % dan diameter serat >40 sebesar 9,4%. Dengan diameter serat limbah batang sawit sebesar 38,1 μm, maka diameter serat batang sawit tergolong kedalam diameter lebar yang artinya memiliki kesamaan 26,4% dengan beberapa diameter serat kayu dari berbagai jenis kayu yang ada pada Atlas Kayu Indonesia.

Pada Tabel 11 dari segi diameter lumen, serat yang tertinggi adalah berasal dari jenis kayu Anthocephalus chinensis atau kayu jabon yang nilainya sebesar 47,6 μm. Dari data ini menunjukkan bahwa diameter serat limbah batang sawit masih dibawah kayu tersebut. Sedangkan untuk kayu yang berdiameter paling rendah dalam Atlas Kayu Indonesia adalah berasal dari jenis kayuVatica venulosa

(resak) yang memiliki nilai sebesar 8 μm, masih jauh lebih rendah dari diameter lumen dari serat batang sawit yang berkisar 29,8 μm. Hal ini menunjukkan serat yang berasal dari limbah batang sawit memiliki nilai relatif masih tinggi dan tidak jauh berbeda dengan nilai dimensi serat dari berbagai jenis kayu pada Atlas Kayu

Sedangkan bila dibandingkan dengan beberapa jenis kayu berdasarkan kelas kuatnya seperti kayu mindi (kelas III), pulai (kelas IV), merbau (kelas II) dan bakau (kelas I) maka nilai dimensi serat limbah batang sawit sangat tidak jauh berbeda. Jika dilihat dari segi panjang serat, kayu mindi dan kayu pulai memiliki nilai masing-masing yaitu 1.171 μm dan 1.323 μm sedangkan pada kayu merbau sebesar 1.181 μm dan untuk kayu bakau sebesar 1.627 μm. Hal ini menunjukkan bahwa panjang serat limbah batang sawit sangat tidak berbeda dengan beberapa jenis kayu yang memiliki nilai panjang serat sebesar 1288,1 μm yang artinya masih sama-sama dalam kategori kelas mutu II (1000-2000 μm).

Untuk diameter serat, kayu mindi, kayu pulai dan kayu bakau tergolong dalam diameter lebar (26,00 - 40,00 μm) yang masih sama dengan serat limbah batang sawit. Dengan nilai diameter serat kayu mindi yaitu 27 μm, kayu pulai sebesar 38,2 μm dan kayu bakau sebesar 30 μm sedangkan diameter serat kayu merbau sebesar 21,6 μm yang termasuk dalam diameter sedang (11,00-25,00 μm). Dan jika dibandingkan dari segi nilai diameter lumen dari beberapa jenis kayu tersebut maka nilai diameter lumen serat limbah batang sawit juga tidak jauh berbeda. Dengan nilai diameter lumen kayu pulai dan kayu mindi masing-masing sebesar 29,4 μm dan 21 μm sedangkan serat limbah batang sawit sebesar 29,8 μm. Tetapi pada kayu bakau terlihat perbedaan yang memiliki nilai diameter lumen sebesar 10,4 μm dan sedangkan untuk kayu merbau tidak memiliki data (not

availailable). Dari perbandingan tersebut menunjukkan bahwa dimensi serat asal

limbah batang sawit tidak memiliki perbedaan yang signifikan dari nilai dimensi serat kayu mindi, kayu pulai, kayu merbau dan kayu bakau yang ada dalam Atlas Kayu Indonesia.

Dokumen terkait