• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Penelitian

Laju Emisi Karbondioksida (CO2) akibat Teknik Budidaya dan Pemberian Jerami pada Fase Vegetatif Umur 40 dan 60 HST Tanamam Padi Sawah

Data laju emisi karbondioksida (CO2) pada umur 40 dan 60 HST akibat

pengaruh teknik budidaya dan pemberian jerami disajikan pada Tabel Lampiran 5,1 dan 6,1 sedangkan sidik ragam emisi CO2 umur 40 dan 60 HST dicantumkan

pada Tabel Lampiran 5,2 dan 6,2. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik budidaya dan pemberian jerami sangat berpengaruh nyata

meningkatkan laju emisi gas Karbondioksida (CO2) pada setiap pengambilan

sampel yaitu pada umur 40 dan 60 HST.

Tabel 1. Rataan laju emisi CO2 (mg/m3/jam) akibat pengaruh teknik budidaya

dan pemberian jerami pada umur 40 dan 60 HST Perlakuan

Laju Emisi pada Umur

40 HST

60 HST

Pemberian Jerami (J) Konvensional (B1) J0 272,00 dD 283,11eE J1 751,56aA 885,78aA J2 616,89bB 824,44bB Perlakuan Jerami (J) SRI (B2) J0 187,11eE 230,22fF J1 384,89cC 601,78cC J2 358,22cC 524,44dD

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom dan kelompok perlakuan yang sama berarti tidak berbeda pada taraf uji 5% dan 1%.

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada umur 40 HST laju emisi karbondioksida tertinggi terdapat pada teknik budidaya konvensional yaitu sebesar 751,56

mg/m3/jam yang berbeda sangat nyata dengan teknik budidaya SRI. Pada umur 60 HST laju emisi Karbondioksida (CO2) tertinggi terdapat pada teknik budidaya

konvensional yaitu sebesar 885,78 mg/m3/jam yang sangat berbeda nyata dengan

teknik budidaya SRI, dari Tabel 1 terlihat laju emisi Karbondioksida (CO2) antara

teknik budidaya SRI dan kovensional sangat berbeda nyata.

Dari Gambar berikut dapat di lihat Interaksi antara teknik budidaya dan pemberian jerami terhadap laju emisi Karbondioksida (CO2) pada umur 40 HST.

Gambar 1. Histogram interaksi antara teknik budidaya dan pemberian jerami terhadap laju emisi CO2 pada umur 40 HST

Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa pada umur 40 HST laju karbondioksida tertinggi terdapat pada teknik budidaya Konvensional dengan hasil emisi tertingi terdapat pada perlakuan J1 yaitu 751,56 mg/m3/jam dan yang kedua pada perlakuan J2 yaitu 616,89 mg/m3/jam dan yang terendah terdapat pada

budidaya SRI yang jauh lebih rendah yaitu tertinggi terdapat pada perlakuan J1

sebesar 384,89 mg/m3/jam dan kedua pada perlakuan J2 sebesar 358,22

mg/m3/jam dan terendah pada perlakuan J0 sebesar 187,11 mg/m3/jam.

Dari gambar juga dapat dilihat bahwa pemberian jerami sangat

berpengaruh nyata meningkatkan laju emisi Karbondioksida (CO2). Laju

Karbondioksida (CO2) tanpa diberikan jerami (J0) sangat berbeda nyata dengan

yang diberi jerami segar (J1) dan kompos jerami (J2).

Dari gambar berikut dapat di lihat interaksi antara teknik budidaya dan pemberian jerami terhadap laju emisi Karbondioksida (CO2) pada umur 60 HST.

Gambar 2. Histogram interaksi antara teknik budidaya dan pemberian jerami terhadap laju lmisi CO2 pada umur 60 HST

Dari gambar 2 dapat dilihat bahwa pada umur 60 HST laju karbondioksida tertinggi terdapat pada teknik budidaya Konvensional dengan hasil emisi tertinggi terdapat pada perlakuan J1 yaitu 885,78 mg/m3/jam dan yang tertinggi kedua pada perlakuan J2 yaitu 824,44 mg/m3/jam dan yang terendah terdapat pada perlakuan

J0 yaitu 283,11 mg/m3/jam. Hal ini berbeda nyata dengan teknik budidaya SRI yang jauh lebih rendah yaitu tertinggi terdapat pada perlakuan J1 sebesar 601,78 mg/m3/jam dan kedua pada perlakuan J2 sebesar 524,44 mg/m3/jam dan terendah

pada perlakuan J0 sebesar 230,22 mg/m3/jam.

Pengaruh Teknik Budidaya dan Pemberian Jerami terhadap Kadar Air Tanah pada Umur 40 dan 60 HST.

Data pengaruh teknik budidaya dan pemberian jerami terhadap kadar air tanah pada umur 40 dan 60 HST disajikan pada Tabel lampiran 7,1 dan 8,1 dan hasil sidik ragam disajikan pada Tabel lampiran 7.2 dan 8.2 yang mana diperoleh bahwa teknik budidaya sangat berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah dan pemberian jerami berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah,

sedangkan pada interaksi antara teknik budidaya dan pemberian jerami tidak berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah.

Tabel 2.Pengaruh teknik budidaya terhadap kadar air tanah pada umur 40 dan 60 HST.

Perlakuan KA (%)

40 HTS 60 HTS

Teknik Budidaya

B1 (Konvensional) 29,58aA 32,41aA

B2 (SRI) 23,77bB 22,56bB

Perlakuan Jerami

J0 (kontrol) 27,28 a 27,67 a

J1 (jerami segar 4 ton/ha) 26,01 a 27,08 a

J2 (kompos jerami 4 ton/ha) 26,73 b 27,70 a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT.

Dari Tabel 2 dapat dilihat kadar air tanah tertingi terdapat pada teknik budidaya konvensional pada 60 HST yaitu sebesar 32,41 %, dan tertinggi kedua pada 40 HST yaitu sebesar 29,58 %, hal ini berbeda nyata dengan teknik budidaya SRI yang mana tertinggi pada umur 40 HST yaitu sebesar 23,77% dan yang tertinggi kedua pada umur 60 HST yaitu 22,56 %, Sedangkan pada pemberian

jerami kompos (J2) berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah pada umur 40 HST.

Data pengaruh teknik budidaya terhadap kadar air tanah dan dari hasil sidik ragam pada Lampiran diperoleh bahwa teknik budidaya sangat berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah pada umur 40 dan 60 HST dan pemberian jerami berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah pada umur 40 HST, Sedangkan pada interaksi antara teknik budidaya dan pemberian jerami tidak berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah.

Dari tabel 2 dapat dilihat kadar air tanah tertingi terdapat pada teknik budidaya konvensional yaitu 32.41% dan yang terendah pada teknik budidaya SRI yaitu 22.56 %, sedangkan pada interaksi teknik budidaya dan pemberian jerami tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air tanah.

Gambar 4. Histogram teknik budidaya terhadap kadar air tanah pada umur 40 dan 60 HST

Dari Gambar diatas dapat dilihat bahwa teknik budidaya sangat berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah dimana nilai tertinggi terdapat pada teknik budidaya konvensional di umur 60 HST yaitu sebesar 32,408

mg/m3/jam sedangkan yang terendah pada teknik budidaya SRI di umur 60 HST

yaitu sebesar 22,563 mg/m3/jam. Hal ini disebabkan karena kadar air dipengaruhi oleh tinggi penggenangan, dimana penggenangan pada teknik budidaya konvensional lebih tinggi dari penggenangan di teknik budidaya SRI.

Gambar 5. Histogram pengaruh pemberian jerami terhadap kadar air tanah pada umur 40 HST

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa pemberian jerami pada umur 40 HST berpengaruh nyata terhadap kadar air tanah, yang mana jerami kompos memiliki nilai kadar air sebesar 26,73 % lebih tinggi dari kadar air di jerami segar yaitu sebesar 26,01 %. Hal ini disebabkan karena bidang permukaan pada

kompos jerami yang telah terdekomposisi lebih luas dari bidang permukaan jerami segar yang belum terdekomposisi, sehingga kompos jerami akan lebih kuat dalam mengikat air dibanding dengan jerami segar.

Pembahasan

Pengaruh Teknik Budidaya terhadap Laju Emisi Karbondioksida (CO2) pada Tanaman Padi Sawah

Dari hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik budidaya sangat berpengaruh nyata terhadap emisi gas CO2 pada setiap pengambilan

sampel, yaitu pada umur 40 HST dan 60 HST dimana emisi dari antara ke 2 teknik budidaya sangat berbeda nyata. Adapun teknik budidaya Konvensional merupakan teknik budidaya dengan penggenangan setinggi 5 cm dan jumlah anakan sebanyak 5-7, sedangkan teknik budidaya SRI tinggi penggenangan hanya 2 cm dengan 1-2 anakan.

Dari hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik budidaya konvensional memiliki nilai tertinggi dalam penyumbang emisi CO2 di udara bila

dibandingkan dengan teknik budidaya SRI. Hal ini disebabkan karena system pengelolaan konvensional memiliki pola pemberian air yang berbeda dengan teknik budidaya SRI, yaitu dengan system penggenangan secara terus menerus setinggi 5 cm sedangkan budidaya Sri hanya 2 cm. Hal ini sesuai dengan literatur Hadi (2001) yang menyatakan bahwa proses penggenangan merupakan salah satu faktor dalam menghasilkan gas CO2.

Dari hasil sidik ragam juga menunjukkan bahwa emisi gas CO2 tertinggi

terdapat pada teknik budidaya Konvensional umur 60 HST yaitu sebesar 885,78 mg/m3/jam, sedangkan yang terkecil terdapat pada teknik budidaya SRI umur 40

HST yaitu 187,11 mg/m3/jam. Hal ini sesuai dengan literatur Setyanto (2004) yang menyatakan bahwa jumlah anakan yang semakin bertambah serta penggenangaan yang terus menerus akan semakin meningkatkan emisi CO2 ,

sejalan dengan dekomposisi bahan organik yang telah berlanjut.

Pengaruh Pemberian Jerami terhadap Laju Emisi Karbondioksida (CO2) pada Tanaman Padi Sawah

Dari hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian jerami sangat

berpengaruh nyata terhadap emisi gas CO2, dimana pada proses perombakan

jerami terdapat bakteri yang dapat menghasilkan gas CO2, sehingga semakin

banyak terdapat bakteri tersebut maka semakin besar pula potensi gas CO2 yang

akan dihasilkan.

Dari hasil sidik ragam dapat dilihat bahwa pemberian jerami segar akan lebih besar menghasilkan gas CO2 dibandingkan dengan kompos jerami. Hal ini

sesuai dengan literatur Nuraini (2009), yang menyatakan bahwa peningkatan emisi juga dipengaruhi oleh proses perombakan atau dekomposi bahan organik ditempat itu sendiri. Dalam hal ini perombakan yang terjadi pada jerami segar lebih besar dari pada kompos jerami.

Dari hasil sidik ragam juga dapat dilihat bahwa emisi CO2 terbesar

terdapat pada jerami segar umur 60 HST yaitu sebesar 885,78 mg/m3/jam pada

dan terkecil pada umur 40 HST yaitu sebesar 751,56 mg/m3/jam pada

yaitu sebesar 824,44 mg/m3/jam dan terkecil pada umur 40 HST yaitu 616,89

mg/m3/jam yang juga sama-sama terdapat pada budidaya konvensional. Hal ini

disebabkan karena proses dekomposisi jerami pada umur 60 HST sudah lebih berlanjut daripada umur 40 HST, sejalan dengan kebutuhan air yang lebih banyak pada umur 60 HST daripada umur 40 HST.

Pengaruh Interaksi Antara Teknik Budidaya dan Pemberian Jerami Terhadap Laju Emisi Karbondioksida (CO2) pada Tanaman Padi Sawah

Dari data sidik ragam dapat diperoleh bahwa interaksi antara teknik budidaya dengan pemberian jerami sangat berpengaruh nyata terhadap Laju emisi

gas CO2. Hal ini sesuai dengan literatur Hadi (2001) yang menyatakan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi laju emisi dilahan sawah antara lain penggenangan, proses dekomposisi bahan organik dan banyaknya bakteri yang dapat menghasilkan gas CO2 antara lain bakteri saccharomyces cereviseae.

Dari hasil sidik ragam interaksi antara teknik budidaya dengan pemberian jerami dapat diperoleh bahwa emisi CO2 terbesar terdapat pada interaksi antara

konvensional dengan jerami segar, ini terjadi karena hal tersebut merupakan perpaduan antara penggenangan dengan perombakan jerami yang masih sangat aktif, sedangkan emisi CO2 yang terkecil terdapat pada interaksi antara teknik

budidaya SRI dengan pemberian kompos jerami.

Dari hasil sidik ragam juga dapat diperoleh bahwa emisi CO2 terbesar

akibat interaksi teknik budidaya konvensional dengan pemberian jerami segar

adalah terdapat pada umur 60 HST yaitu 885,78 mg/m3/jam hal ini disebabkan

karena selain dari penggenangan dan dekomposisi yang aktif juga pada umur tersebut dekomposisi sudah sedang berlanjut. Sedangkan emisi gas CO2 terkecil

akibat interaksi antara teknik budidaya SRI dengan kompos jerami adalah pada umur 40 HST yaitu sebesar 358,22 mg/m3/jam, hal ini disebabkan karena pada budidaya sri penggenangan yang terputus-putus dan dekomposisi kompos jerami sudah hampir sempurna.

Pengaruh Teknik Budidaya terhadap Kadar Air Tanah pada Tanaman Padi Sawah

Dari data sidik ragam dapat dilihat bahwa pengaruh teknik budidaya sangat nyata terhadap kadar air tanah, hal ini sesuai dengan literatur Sutanto (1998) yang menyatakan bahwa penggenangan berbanding lurus dengan kadar air, dimana semakin tinggi penggenangan maka akan semakin besar pula kadar air tanah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kadar air tanah di konvensional lebih tinggi daripada SRI, karena penggenangan di konvensional lebih tinggi yakni 5 cm sedangkan di SRI hanya 2 cm.

Dari data sidik ragam juga dapat dilihat bahwa kadar air tertinggi terdapat pada terknik budidaya konvensional umur 60 HST yaitu sebesar 32,41 dan nilai kadar air yang terkecil terdapat pada teknik budidaya SRI umur 60 HST . Hal ini terjadi karena pada umur 60 HST di konvensional membutuhkan air yang cukup banyak dalam masa pertumbuhan bulir, sedangkan pada SRI tinggi penggenangan relatif sedikit yakni 2 cm.

Pengaruh Pemberian Jerami Segar dan Kompos Jermi terhadap Kadar Air Tanah

Pemberian kompos jerami berpengaruh nyata terhadap kadar air tanah. Hal ini sesuai dengan literatur Sutanto (1998), yang menyatakan bahwa bahan organik

juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kadar air tanah selain anasir iklim, fraksi lempung tanah dan topografi.

Dari hasil sidik ragam juga dapat diperoleh bahwa kadar air tertinggi terdapat pada pemberian kompos jerami yaitu sebesar 24,05 % sedangkan jerami segar sebesar 21,94 % . Hal itu terjadi karena bidang permukaan kompos jerami yang hampir terdekomposisi sempurna lebih luas dibandingkan dengan bidang permukaan jerami segar.

Pengaruh interaksi antara Teknik Budidaya dan Pemberian Jerami terhadap Kadar Air Tanah

Dalam hal ini interaksi antara teknik budidaya dengan pemberian jerami tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air tanah. Hal ini terjadi karena penggenangan merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi kadar air tanah berbeda dengan jerami yang hanya merupakan faktor minoritas dari kadar air tanah sehingga interaksi nya sama sekali tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air tanah.

KESIMPULAN

Kesimpulan

1. Perlakuan teknik budidaya berpengaruh sangat nyata meningkatkan laju emisi CO2 pada umur 40 dan 60 HST serta berpengaruh sangat nyata meningkatkan

kadar air tanah pada umur 40 dan 60 HST.

2. Perlakuan jerami berpengaruh sangat nyata meningkatkan laju emisi CO2

pada umur 40 dan 60 HST serta berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah pada umur 40 HST

3. Interaksi antara perlakuan teknik budidaya dan pemberian jerami berpengaruh sangat nyata meningkatkan laju emisi CO2 pada umur 40 dan 60 HST tetapi

tidak berpengaruh nyata dalam meningkatkan kadar air tanah.

4. Laju emisi CO2 yang tertinggi adalah pada interaksi antara teknik budidaya

konvensional dan pemberian jerami segar pada umur 60 HST yaitu sebesar 885,78 mg/m3/jam, sedangkan laju emisi CO2 yang terendah adalah pada

interaksi antara teknik budidaya SRI dan tanpa pemberian jerami pada 40 HST yaitu 187,11 mg/m3/jam.

5. Nilai kadar air tertinggi terdapat pada Teknik Budidaya Konvensional pada

umur 60 HST yaitu sebesar 32,41 mg/m3/jam, sedangkan yang terendah pada

Saran

Untuk menekan laju emisi karbondioksida (CO2) disarankan untuk para

petani menerapkan teknik budidaya SRI selain untuk menekan laju emisi karbondioksida teknik ini juga dapat menghemat penggunaan air.

Dokumen terkait