• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laju Emisi Gas Karbondioksida (CO2) Dan Kadar Air Di Lahan Padi Sawah Pada Fase Vegetatif Akibat Teknik Budidaya Serta Pemberian Jerami

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Laju Emisi Gas Karbondioksida (CO2) Dan Kadar Air Di Lahan Padi Sawah Pada Fase Vegetatif Akibat Teknik Budidaya Serta Pemberian Jerami"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

LAJU EMISI GAS KARBONDIOKSIDA (CO2) DAN KADAR AIR DI LAHAN PADI SAWAH PADA FASE VEGETATIF AKIBAT

TEKNIK BUDIDAYA SERTA PEMBERIAN JERAMI

SKRIPSI

OLEH

HASUDUNGAN SITUMORANG 060303002

ILMU TANAH

PROGRAM STUDI ILMU TANAH DEPARTEMEN ILMU TANAH

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LAJU EMISI GAS KARBONDIOKSIDA (CO2) DAN KADAR AIR DI LAHAN PADI SAWAH PADA FASE VEGETATIF AKIBAT

TEKNIK BUDIDAYA SERTA PEMBERIAN JERAMI

SKRIPSI OLEH

HASUDUNGAN SITUMORANG 060303002

ILMU TANAH

Usulan Penelitian Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Melaksanakan Penelitian di Fakultas Pertanian

(3)

ABSTRACT

The Rate of Carbon Dioxide (CO2) Emission and Ground Water Content

of Paddy Land at Generatif Phase because of Cultivation Technique and Rice Straw. This research has done at paddy land on Pertambangan St., Medan Baru District, Medan.

This research used Main Separated Design with cultivation technique as main treatment and the sub-treatment is rice straw with 3 treatments and 2 replications. The treatments were J0 (control), J1 (fresh rice straw = 10 ton/ha),

and J2 (rice straw compost = 10 ton/ha).

The results showed that cultivation technique and rice straw had

significant effect to the amount of CO2 emission and ground water content.

Conventional cultivation technique produce CO2 and ground water content bigger

than SRI (System of Rice Intensification) technique. The use of fresh rice straw produce CO2 and ground water content bigger than rice straw compost. Interaction

of both had really significant to the amount of CO2 emission and ground water

content which is the highest value of both produced from interaction of conventional cultivation technique and fresh rice straw and the lowest value of both produced from interaction of SRI technique and rice straw compost.

(4)

ABSTRAK

Laju Emisi Gas Karbondioksida (CO2) dan Persentase Kadar Air Tanah

pada Lahan Padi Sawah saat Fase Generatif akibat Teknik Budidaya dan Pemberian Jerami. Penelitian ini dilakukan pada lahan sawah di Jl. Pertambangan, Kecamatan Medan Baru, Medan.

Penelitian ini menggunakan rancangan petak terpisah dengan petak utama adalah teknik budidaya dan anak petak adalah pemberian jerami dengan 3 taraf

dan 2 ulangan. Setiap perlakuan terdiri dari J0 (kontrol), J1 (jerami segar =

10 ton/ha), dan J2 (kompos jerami = 10 ton/ha).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik budidaya dan jerami berpengaruh nyata terhadap emisi CO2 dan persentase kadar air tanah. Teknik

budidaya konvensioal menghasilkan emisi CO2 dan kadar air tanah yang lebih

tinggi daripada teknik budidaya SRI (System of Rice Intensification). Pemberian jerami segar menghasilkan emisi CO2 dan persentase kadar air tanah yang lebih

tinggi dibandingkan dengan pemberian kompos jerami. Interaksi antara teknik budidaya dan jerami berpengaruh sangat nyata terhadap emisi CO2 dan persentase

kadar air tanah dimana emisi CO2 dan kadar air tanah tertinggi terdapat pada

interaksi antara teknik budidaya konvensional dan jerami segar dan yang terendah pada interaksi teknik budidaya SRI dan kompos jerami.

Kata kunci : emisi CO2, kadar air tanah, lahan padi sawah, teknik budidaya, jerami

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha kuasa,

karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian

ini. Adapun judul dari usulan penelitian ini adalah “Laju Emisi Gas

Karbondioksida (CO2) di Lahan Padi Sawah Pada Fase Vegetatif akibat Teknik Budidaya Serta Pemberian Jeramiyang merupakan salah satu syarat untuk dapat melaksanakn penelitian di Departemen Ilmu Tanah, Fakultas

Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu

Ir. Posma Marbun, MP, dan kapada Ibu Ir. Fauzi, MP, selaku ketua dan anggota

komisi pembimbing, dan seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan usulan penelitian ini.

Penulis menyadari usulan penelitian ini masih jauh dari sempurna oleh

sebab itu saran dan kritik penulis harapkan demi kesempurnaan usulan penelitian

di masa yang akan datang.

Semoga usulan penelitian ini bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata

penulis ucapkan terima kasih.

Medan, November 2010

(6)

DAFTAR ISI

Hipotesis Penelitian ... 5

Kegunaan Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Tanah Sawah ... 6

Teknik Budidaya Tanaman Padi Sawah Teknik Konvensional ... 9

Teknik SRI (System of Rice Intensification) ... 10

Produksi dan Emisi CO2 dari Lahan Sawah ... 12

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emisi CO2 dari Lahan Sawah... 14

Jerami Padi ... 17

Kadar Air Tanah ... 19

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

Bahan dan Alat ... 22

Metode Penelitian ... 23

Metode Analisis Data ... 24

Pelaksanaan Penelitian ... 25

Pengambilan Sampel Gas CO2 di Lapangan ... 31

(7)

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Laju Emisi Karbondioksida (CO2) Akibat Teknik

Budidaya dan Pemberian Jerami pada Fase Generatif

Umur 90 dan 120 HST pada Lahan Padi Sawah ... 33 Pengaruh Teknik Budidaya dan Pemberian Jerami

terhadap Kadar Air Tanah pada Umur 90 dan 120 HST ... 36 Produksi Gabah Kering per Petak (g) Padi Sawah

Akibat Perlakuan Teknik Budidaya dan Pemberian

Jerami ... 39 Pembahasan

Emisi Gas Karbondioksida (CO2) ... 40

Kadar Air Tanah ... 42 Produksi Gabah Kering per Petak ... 44

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 46 Saran ... 47

(8)

DAFTAR TABEL

1. Rataan Laju Emisi CO2 akibat pengaruh teknik budidaya dan pemberian

jerami pada umur 40 dan 60 HST

(9)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Histrogram Hubungan Antara Teknik Budidaya dengan Laju Emisi Metan (CH4) pada umur 40 HST………...

2. Histrogram Hubungan Antara Teknik Budidaya dengan Laju Emisi

Metan (CH4)pada umur 60 HST………..

3. Histrogram Hubungan Antara Teknik Budidaya dengan Laju Emisi Metan(CH4) pada umur 90 HST ... 4. Histrogram Hubungan Antara Teknik Budidaya dengan Laju Emisi

Metan(CH4) pada umur 120 HST ... 5. Perbandingan antara teknik budidaya tanaman padi dengan Laju emisi

metan (CH4) pada umur 40, 60, 90 dan120 HST………

6. Perbandingan antara teknik budidaya tanaman padi dengan Suhu oC

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Deskripsi Padi Sawah Varietas Pandan Wangi 47

2. Bagan Percobaan 48

3. Denah Tanaman 49

4. Perhitungan Dosis Urea per Tanaman 50

5. Data Emisi CO2 dan Sidik Ragam Emisi CO2 Pada Umur 40 HST

6. Data Emisi CO2 dan Sidik Ragam Emisi CO2 Pada Umur 60 HST

7. Data Kadar Air dan Sidik Ragam Kadar Air Pada Umur 40 HST

(11)

ABSTRACT

The Rate of Carbon Dioxide (CO2) Emission and Ground Water Content

of Paddy Land at Generatif Phase because of Cultivation Technique and Rice Straw. This research has done at paddy land on Pertambangan St., Medan Baru District, Medan.

This research used Main Separated Design with cultivation technique as main treatment and the sub-treatment is rice straw with 3 treatments and 2 replications. The treatments were J0 (control), J1 (fresh rice straw = 10 ton/ha),

and J2 (rice straw compost = 10 ton/ha).

The results showed that cultivation technique and rice straw had

significant effect to the amount of CO2 emission and ground water content.

Conventional cultivation technique produce CO2 and ground water content bigger

than SRI (System of Rice Intensification) technique. The use of fresh rice straw produce CO2 and ground water content bigger than rice straw compost. Interaction

of both had really significant to the amount of CO2 emission and ground water

content which is the highest value of both produced from interaction of conventional cultivation technique and fresh rice straw and the lowest value of both produced from interaction of SRI technique and rice straw compost.

(12)

ABSTRAK

Laju Emisi Gas Karbondioksida (CO2) dan Persentase Kadar Air Tanah

pada Lahan Padi Sawah saat Fase Generatif akibat Teknik Budidaya dan Pemberian Jerami. Penelitian ini dilakukan pada lahan sawah di Jl. Pertambangan, Kecamatan Medan Baru, Medan.

Penelitian ini menggunakan rancangan petak terpisah dengan petak utama adalah teknik budidaya dan anak petak adalah pemberian jerami dengan 3 taraf

dan 2 ulangan. Setiap perlakuan terdiri dari J0 (kontrol), J1 (jerami segar =

10 ton/ha), dan J2 (kompos jerami = 10 ton/ha).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik budidaya dan jerami berpengaruh nyata terhadap emisi CO2 dan persentase kadar air tanah. Teknik

budidaya konvensioal menghasilkan emisi CO2 dan kadar air tanah yang lebih

tinggi daripada teknik budidaya SRI (System of Rice Intensification). Pemberian jerami segar menghasilkan emisi CO2 dan persentase kadar air tanah yang lebih

tinggi dibandingkan dengan pemberian kompos jerami. Interaksi antara teknik budidaya dan jerami berpengaruh sangat nyata terhadap emisi CO2 dan persentase

kadar air tanah dimana emisi CO2 dan kadar air tanah tertinggi terdapat pada

interaksi antara teknik budidaya konvensional dan jerami segar dan yang terendah pada interaksi teknik budidaya SRI dan kompos jerami.

Kata kunci : emisi CO2, kadar air tanah, lahan padi sawah, teknik budidaya, jerami

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Fenomena Pemanasan Global (global warming) yang terjadi blakangan ini

menurut beberapa ahli tidak lagi bisa dianggap remeh, karena dampak yang

ditimbulkan oleh fenomena ini sudah semakin serius dalam kehidupan manusia.

Hal ini terjadi akibat peningkatan konsentrasi gas-gas pembentuk efek rumah kaca

dilapisan atmosfer, dimana gas-gas pembentuk efek rumah kaca tersebut antara

lain karbondioksida (CO2), dinitrogen oksida (N2O), metan (CH4), nitrogen oksida

(NO), sulfur hexaflorida(SF6), chlore flour carbon (CFC), dan hydro flour carbon

(HFC) (Setyanto, 2004).

Berkembangnya isu tentang pemanasan global dari sektor pertanian saat

ini mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah karena kerusakan lingkungan

yang sudah mengkhawatirkan, dimana lahan sawah merupakan sumber dari

beberapa gas rumah kaca (GRK), yaitu CO2, CH4, N2O dan NO. Pada umumnya

sebagian besar petani di Indonesia masih menggunakan budidaya padi dengan

metode konvensional yaitu dengan menggenangi lahan secara terus menerus,

sehingga menyebabkan pemborosan air irigasi, namun belakangan ini muncul

System of Rice Intensification (SRI) merupakan metode budidaya tanaman padi

dengan menggunakan bahan organik dan pemakaian air irigasi secara efisien yaitu

dengan cara terputus (intermittent). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan

bahwa budidaya padi dengan metode SRI ini dapat menghemat air hingga 36%

(14)

terbatasnya sumber daya air, dengan metode Budidaya SRI hemat air sangat baik

diterapkan dalam skala yang lebih luas agar dapat mengurangi dampak pemanasan

global dan kelangkaan air (Supriahati, 2007).

Bahan organik jerami merupakan tanaman padi yang telah siap di panen,

yang mana dapat bermanfaat sebagai pupuk organik atau kompos pada lahan

sawah. Namun selain memiliki sisi positif, jerami juga memilik sisi negatif yaitu

dapat memicu peningkatan emisi CO2 akibat proses fermentasi oleh bakteri –

bakteri tanah yang menghasilkan gas CO2 antara lain bakteri saccharomyces

cereviseae. Dengan demikian apabila penggunaan jerami berlebihan maka akan

berpotensi mengakibatkan terjadinya emisi gas CO2 yang kemudian akan

berdampak pada terjadinya pemanasan global. (Andoko, 2002)

Intensifikasi padi sawah dengan sistem tergenang (anaerob) selain

meningkatkan emisi gas rumah kaca, juga menyebabkan tidak berfungsinya

kekuatan biologis tanah (soil biological power) dan menghambat perkembangan

sistem perakaran tanaman padi. Dalam kondisi anaerob, keanekaragaman hayati

(biodiversity) tanah sangat terbatas. Biota tanah yang aerob tidak dapat

berkembang dan diperkirakan hanya sekitar 25% perakaran tanaman padi yang

berkembang dengan baik. (Anonimus, 2007)

Pada umumnya, semua bentuk sistem pertanian sensitif terhadap

perubahan iklim. Perubahan iklim yang diakibatkan oleh pemanasan global pada

pergeseran musim dan perubahan pola curah hujan. Hal tersebut berdampak pada

pola pertanian, misalnya keterlambatan musim tanam atau panen, kegagalan

(15)

Lahan sawah tergenang merupakan sumber beberapa gas rumah kaca

seperti; CO2, CH4, N2dan NO yang merupakan salah satu penyebab pemanasan

global, padahal penggenangan pada lahan secara terus menerus dianggap sebagai

suatu pemborosan pemakaian sumber daya air. Efisiensi Sumber daya air sangat

penting dilakukan karena semakin terbatasnya sumberdaya air untuk irigasi,

mengingat akhir-akhir ini banyak pemborosan pemakaian air diberbagai sektor

termasuk pemakaian air irigasi oleh masyarakat (Hadi, 2001).

Penelitian yang komprehensif tentang emisi gas GRK dari lahan pertanian

telah dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui

instansi unit pelaksana teknisinya yaitu Balai Penelitian Lingkungan Pertanian

(Balingtan). Balingtan mempunyai laboraturium khusus GRK. Pada awalnya

peneliti ini hanya difokuskan untuk melihat emisi gas CO2 yang di lepas dari

lahan sawah tadah hujan. Saat ini kajiannya sudah diperluas untuk melihat emisi

CO2 dan N2O tidak hanya dari lahan sawah tadah hujan, tetapi juga mencakup

irigasi dan lahan gambut. Kajian yang dilaksanakan di Balingtan pada tahun 2007

menunjukkan bahwa emisi CO2 yang dilepas oleh lahan sawah irigasi selama satu

musim tanam berkisar 3,5-4,2 ton per hektar per musim tanam. Walau emisi CO2

sangat tinggi di pertanian padi tetapi gas ini akan kembali digunakan tanaman

padi saat berlangsungnya proses fotosintensis dan akan dikonservasi ke biomas

(16)

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui laju emisi gas

Karbondiksida (CO2) dan perubahan kadar air tanah di lahan padi sawah akibat

teknik budidaya dan pemberian jerami.

Hipotesis Penelitaian

1. Teknik budidaya akan mempengaruhi laju emisi gas CO2 dan kadar air tanah

pada fase vegetatif tanaman padi sawah

2. Pemberian jerami akan mempengaruhi laju emisi gas CO2 dan kadar air tanah

pada fase vegetatif tanaman padi sawah

3. Interaksi antara teknik budidaya dan pemberian jerami akan mempengaruhi

laju emisi gas CO2 dan kadar air tanah pada fase vegetatif tanaman padi sawah

Kegunaan Penelitian

1. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat dalam menambah informasi bagi petani

atau pihak-pihak yang membudidayakan tanaman padi sawah dengan teknologi

SRI dan pemberian jerami.

2. Sebagai bahan penulisan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk

mendapatkan gelar Sarjana pertanian di Fakultas Pertanian Universitas

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Produksi dan Emisi CO2 Lahan Sawah

Lahan pertanian bukan hanya menghasilkan barang dan jasa yang dapat

langsung dinilai harganya berdasarkan harga pasar, tetapi juga memberikan jasa

lingkungan yang belum ada mekanisme pasarnya. Jenis barang dan jasa yang

disebut pertama dikenal dengan istilah nilai guna langsung, sedangkan yang kedua

atau jasa lingkungan dikenal dengan istilah nilai guna tidak langsung. Nilai guna

langsung lahan pertanian, sebagai contoh adalah komoditas yang dihasilkannya

seperti padi dan palawija, buah-buahan, kayu, penyerapan tenaga kerja, dan

lainnya. Nilai guna tidak langsung lahan pertanian adalah terkait dengan fungsi

ekologi seperti sebagai pemasok sumber air tanah, pengendali banjir dan erosi,

mitigasi suhu udara, sumber emisi oksigen (O2), penyerap karbon (CO2), dan

lainnya. Fungsi ekologi lahan pertanian belakangan ini sering disebut dengan

multifungsi pertanian, terutama dikaitkan dengan dampak positif keberadaan

lahan pertanian terhadap lingkungan. Mengingat nilai guna langsung lahan

pertanian merupakan barang ekonomi yang bersifat privat, sedangkan nilai guna

tidak langsung atau manfaat multifungsi lahan pertanian merupakan barang

ekonomi yang bersifat umum (public goods), maka nilai ekonomi lahan pertanian

harus dihitung berdasarkan mekanisme pasar dan non-pasar. Valuasi ekonomi

dengan pendekatan nilai ekonomi total merupakan salah satu cara yang dapat

digunakan untuk maksud tersebut. Tulisan ini menyajikan hasil tinjauan atas

beberapa hasil penelitian terkait dengan multifungsi pertanian, nilai ekonomi total,

(18)

Jerami Segar

Adapun diketahui proses pembentukan CO2 dari jerami adalah pada saat

pembakaran jerami serta pada saat jerami diaplikasikandi lahan sawah pada

kondisi aerob. Namun walaupun seperti demikian para petani masih saja

menggunakan jerami karena jerami di sinyalir memilki kandungan hara C, S, N, P

dan K yang cukup tinggi..

Salah satu alternatif pengelolaan lahan adalah pengolahan tanah,

penurunan intensitas pengolahan tanah diharapkan menurunkan emisi

CO2.Pengolahan tanah mempercepat oksidasi bahan organik melalui peningkatan

aerasi yang memacu respirasi mikroba, meningkatkan kontak antara tanah dengan

residu sehingga memepercepat dekomposisi bahan organik yang semula

terproteksi oleh agregat (Curtin et al., 2000).Besarnya emisi CO2 dari tanah

dipengaruhi oleh tekstur tanah,tingkat kesuburan dan rotasi tanaman.Pada tanah

sawah emisi CO2.dipengaruhi oleh aktifitas respirasi tanaman padi.Selain itu,

terjadi oksidasi bahan organik pada daerah rizosfer karena tanaman padi mampu

mengalirkan oksigen dari atmosfer ke perakaran melalui jaringan

aeranchyma.Semakin tinggi akumulasi biomasa di atas tanah meningkat pula

kemampuan respirasi dan daya oksidasi akar (Murdiyarso dan Husin, 1994).

Adapun yang dinamakan dengan Bahan organik jerami segar yaitu jerami

padi yang telah selesai di panen, selanjutnya langsung ditanami padi. Pemberian

jerami sisa panen yang masih segar ke tanah sawah yang harus segera ditanami

padi akan menyebabkan tanaman padi menguning karena terjadi persaingan unsur

(19)

Bahan organik yang mudah terdekomposisi merupakan bahan baku utama bagi

bakteri metanogenik dalam membentuk CO2 di lahan sawah. Neue (1984),

menghitung total emisi CO2 dari lahan sawah dari total biomassa kalau

dikembalikan ke dalam tanah. Dengan asumsi rata-rata 15% jerami, 50% gulma

tanah dan seluruh akar tanaman ditambah biomassa aquatik (algae dan gulma);

jumlah yang dikembalikan itu setiap tahun (kurang lebih setara 390 juta t-1

biomassa atau setara 156 juta t-1 karbon), dan 30% karbon yang dikembalikan

tersebut diubah menjadi CO2.

Kompos Jerami

Kompos jerami adalah sisa panen tanaman padi sawah yang telah

dikomposkan dengan menggunakan mikrobia perombak. Bahan yang digunakan

adalah jerami padi atau sisa-sisa tanaman, larutan mikroba perombak bahan

organik (dekomposer) M-Dec, dan air untuk menyiram timbunan kompos.

Dari 1 ton jerami padi dapat diperoleh ½ ton sampai 2/3 ton kompos.

Dengan demikian jika kita ingin membuat 1 ton kompos, maka bahan baku jerami

yang disiapkan sekitar 1,5 – 2 ton jerami. Kandungan beberapa unsur hara untuk

1 ton kompos jerami padi adalah : unsur makro Nitrogen (N) 2,11 %, Fosfor

(P2O5) 0,64%, Kalium (K2O) 7,7%, Kalsium (Ca) 4,2%, serta unsur mikro

Magnesium (Mg) 0,5%, Cu 20 ppm, Mn 684 ppm dan Zn 144 ppm.

(20)

Tanah Sawah

Tanah yang baik untuk pertumbuhan padi adalah tanah sawah yang

kandungan fraksi pasir, debu dan lempung dalam perbandingan tertentu dengan

diperlukan air dalam jumlah yang cukup. Padi dapat tumbuh dengan baik pada

tanah yang ketebalan lapisan atasnya 18-22 cm dengan pH 4,0 – 7,0

(http://warintek.bantul.go.id., 2008).

Tidak semua jenis tanah cocok untuk areal persawahan. Hal ini

dikarenakan tidak semua jenis tanah dapat dijadikan lahan tergenang air. Padahal

dalam sistem tanah sawah, lahan harus tetap tergenang air agar kebutuhan air

tanaman padi tercukupi sepanjang musim tanam. Oleh karena itu, jenis tanah yang

sulit menahan air (tanah dengan kandungan pasir tinggi) kurang cocok dijadikan

lahan persawahan. Sebaliknya, tanah yang sulit dilewati air (tanah dengan

kandungan lempung tinggi) cocok dijadikan lahan persawahan. Kondisi yang baik

untuk pertumbuhan tanaman padi sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu

posisi topografi yang berkaitan dengan kondisi hidrologi, porisitas tanah yang

rendah dan tingkat keasaman tanah yang netral, sumber air alam, serta kanopinas

modifikasi sistem alam oleh kegiatan manusia (Setyanto, 2004).

Padi sawah menghendaki tanah lumpur yang subur dengan ketebalan 18 -

22 cm. Keasaman tanah antara pH 4,0-7,0. Pada padi sawah, penggenangan akan

mengubah pH tanam menjadi netral (7,0). Pada prinsipnya tanah berkapur dengan

pH 8,1-8,2 tidak merusak tanaman padi. Karena mengalami penggenangan, tanah

sawah memiliki lapisan reduksi yang tidak mengandung oksigen dan pH tanah

(21)

memenuhi syarat diperlukan pengolahan tanah yang khusus

(http://www.ristek.go.id, 2008).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emisi Karbondioksida (CO2)

1. Potensi reduksi-oksidasi (redoks) tanah

Potensial redoks (Eh) menunjukkan status reaksi oksidasi dan reduksi

oksidan-oksidan tanah sebagai penyedia oksigen dalam tanah. Aktifitas bakteri metanogen

dan metanotrof sangat tergantung dengan ketersediaan oksigen dalam kondisi

tanah jenuh air.

Berkaitan dengan kondisi reduktif, produksi CO2 terjadi pada kisaran nilai

Eh -150 mV (Hou et al., 2000) dan bergerak sampai di bawah -300 mV

(Minamikawa et al., 2006) karena bekteri metanotrof sebagai penghasil CO2

bekerja optimal pada nilai Eh kurang dari -150 mV (Setiyanto, 2004). Produksi

CO2 tertinggi pada kisaran Eh -200 mV (Minamikawa and Sakai, 2005), dan

menurut Husin (1994) laju emisi CO2 tertinggi pada nilai Eh tersebut untuk

berbagai perlakuan pengelolaan air berbeda-beda. Kisaran laju emisi CO2

maksimum dan macak-macakl berturut-turut 45, 20 dan 30 mg m_2 jam_1. Pada

perubahan kadar air tanah dari kondisi jenuh dan tidak jenuh Eh bergerak antara

+600 dan -300 mV (Li et al., 2005).

2. pH tanah

Sifat reaksi tanah yang dinyatakan dengan pH didasarkan pada jumlah ion

H+ atau OH- dalam larutan tanah. Sebagian besar bakteri metanotrof bersifat

netrofilik, yaitu hidup pada kisaran pH antar 6 saampai 8 ( Setyanto, 2004).

(22)

sedangkan waktu yang dibutuhkan pada tiap jenis tanah berbeda. Pada tanah

sawah di daerah tropis dimana suhu tanah berkisar 25-30oC, pembentukan CO2

dan NO terjadi paling cepat pada tanah alkali dan berkapur, yaitu beberapa jam

hingga beberapa hari setelah penggenangan. Pada tenah netral setelah 2-3 minggu

setelah penggenangan, sedangkan tanah masam setelah 5 minggu atau lebih

(Neue, 1993).

3. Suhu Tanah

Suhu tanah berkaitan erat dengan aktifitas mikroba di dalam tanah.

Sebagian besar bakteri metanotrof bersifat mesofolik yang beraktifitas optimal

pada suhu 30-40c (Vogels et al., 1988). Suhu tanah pada lapisan atas yaitu pada

kedalaman antara 1 dan 10 cm berkaitan erat dengan laju emisi karbondioksida

(Holzapfel pschorn and seiler, 1986). Sedangkan pada kedalaman 15cm tidak

memberikan pengaruh yang signifikan.

Perubahan suhu akan mempengaruhi produksi karbon pada tanah sawah.

Pada kondisi tersedia cukup substrat, peningkatan suhu dari 17oC ke 30oC

menyebabkan peningkatan produksi karbon 2,5 sampai 3,5 kali lipat.

4.Varietas Padi

Tanaman padi bertindak sebagai media bagi pelepasan CO2 yang

dihasilkan dari dalam tanah ke atmosfir, melalui pembuluh aerenkimia daun,

batang dan akar padi. Selanjutnya CO2 akan dilepas melalui pori-pori mikro pada

pelepah daun bagian bawah. Varietass padi mempunyai bentuk, kerapatan dan

(23)

Biomass akar dan tanaman juga berpengaruh terhadap emisi

karbondioksida terutama pada stadium awal. Pada fase awal pertumbuhan

tanaman padi banyak eksudat akar yang dilepas ke rizosfir sebagai hasil samping

metabolisme karbon oleh tanaman (Setyanto, 2004).

5. Bahan Organik Tanah

Bahan organik tanah memberikan sumbangan terhadap kesuburan

pertumbuhan tanaman baik secara fisik, kimia dan biologis. Bahan organik

merupakan penyedia unsur-unsur N, P dan S untuk tanaman. Ketersediaan

substrat organik mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam tanah karena

bertindak sebagai sumber energi. Secara fisik berperan dalam memperbaiki

struktur tanah.

Sumber bahan organik yang ditambahkan sangat menentukan

pembentukan karbondioksida di lahan sawah. Penelitian wihardjaka (2001)

dengan menggunakan beberapa jenis bahan organik memberikan hasil bahwa

emisi karbondioksida terbesar didapat dari penambahan pupuk kandang, diikuti

berturut-turut jerami segar, kompos dan tanpa bahan organik. Berkaitan dengan

bahan organik tanah, potensial redoks (Eh) tanah akan rendah jika tersedia karbon

organik tanah dalam jumlah yang cukup dan memungkinkan terbentuknya CO2

(24)

Teknik Budidaya Tanaman Padi Sawah

Teknik Konvensional

Sistem pertanian konvensional merupakan suatu sistem budidaya pertanian

yang mempraktikan kegiatan dan prosedur pertaniannya berdasarkan penggunaan

pupuk dan pestisida kimiawi yang dilakukan secara berkala. Sistem pertanian

konvensional dengan praktik revolusi hijaunya telah diakui banyak membawa

kerugian bagi lingkungan hidup, maupun sosial ekonomi petani sendiri

(Anonimus, 2003).

Ketergantungan petani akan keberadaan benih, pupuk anorganik serta

pestisida kimiawi menyebabkan kehidupan petani sebagai produsen utama bahan

makanan pokok tidak pernah bertambah baik. Sementara itu harga pupuk

anorganik semakin lama semakin mahal, sedangkan harga hasil panen dari petani

tidak pernah bertambah baik (Anonimus, 2003).

Di sisi lain kondisi lahan pertanian menjadi rusak akibat penerapan secara

terus menerus berbagai pupuk anorganik ditambah dengan berbagai pestisida

kimia telah merusak kondisi tanah baik secara fisik, kimia ataupun biologinya,

yang akhirnya kondisi ini menyebabkan biaya produksi semakin tinggi

(Anonimus, 2003).

Teknik Budidaya SRI (The System Of Rice Intensification)

Meotode SRI adalah sistem intensifikasi padi yang membuat sinergis tiga

faktor pertumbuhan padi untuk mencapai produktivitas maksimal. Ketiga faktor

(25)

dan maksimalisasi pertumbuhan dengan pemberian suplai makanan, air, dan

oksigen yang cukup pada tanaman padi (Uphoff, 2003).

Keuntungan penerapan metode SRI : (a) hasil panen yang lebih tinggi

peningkatan 50-200% dengan hasil 4-8 ton/ha bahkan ada sampai 10 ton/ha. (b)

lebih hemat air, penghematan air sampai dengan 50% dengan produktivitas yang

lebih tinggi per volume air. (c) perbaikan mutu tanah dan pemakaian pupuk yang

lebih efisien baik organik maupun an organik. (d) kebutuhan benih yang lebih

sedikit, 5-10 kg/ha benih yang dipakai atau 5-10 kali lipat lebih sedikit dari

jumlah yang biasa dipakai ini membuat pemakaian benih unggul dan benih hibrida

jauh lebih murah dari para petani. (e) kebutuhan atas input yang di beri lebih

sedikit air, pupuk, benih dan pestisida. (f) mutu benih yang lebih bagus

memungkinkan peningkatan hasil jenis padi tradisional yang dibudidayakan tanpa

masukan pupuk kimia dan hasilnya dapat dijual dengan harga yang lebih mahal,

ketersediaan benih unggul dari pembiakan lebih cepat karena jauh lebih banyak

benih dapat dihasilkan oleh satu tanaman saja. (g) keuntungan bagi lingkungan

hidup sebagai dampak berkurangnya kebutuhan atas air dan berkurangnya

pemakaian pupuk kimia atau pestisida atau tidak menggunakannya sama sekali

(Uphoff , 2003).

Banyak smetode budidaya padi telah diterapkan di Indonesia, yang

bertujuan untuk meningkatkan produktivitas padi beririgasi dengan perubahan

pola pengelolaan tanaman, tanah, air, dan nutrisi. Budidaya tanaman padi sawah

selain menggunakan metoda konvensional dapat juga dilakukan dengan metode

SRI (System of Rice intensification). Budidaya padi Sri pertama kali

(26)

mulai dikembangkan di Indonesia pada tahun 1999. ciri umum dari metode SRI

yaitu pemberian air irigasi secara terputus atau intermitten, hanya saja jika metode

konvensional tinggi muka airnya 3-5 cm. Ciri-ciri umum yang lain dari metode

SRI adalah penggunaan bibit muda, yaitu 10 hari setelah semai, dan penanaman 1

bibit perlubang tanam (Hadi, 2001).

Tanah sawah yang tidak tergenang (lembab) menyebabkan sistem

perakaran dapat berkembang secara maksimal karena tanah sawah pada kondisi

tersebut mampu menyediakan oksigen dalam jumlah yang cukup untuk proses

respirasi. Perkembangan akar yang maksimal adalah kunci penyerapan hara,

sedangkan penyerapan hara maksimal adalah kunci pertumbuhan tanaman, baik

vegetatif (anakan) maupun generatif (gabah) yang akhirnya bersinergis

meningkatkan produksi tanaman padi Pada sawah yang tergenang, tanaman padi

membutuhkan sejumlah besar energi untuk pembentukan dan aktivitas sel

aerenchym untuk memasok oksigen, akibatnya energi berkurang untuk

pertumbuhan anakan tanaman, sehingga jumlah anakan menjadi sedikit bila

dibandingkan dengan kondisi air yang tidak tergenang (Sunadi, 2008).

Kadar Air Tanah

Beberapa faktor yang mempengaruhi Kadar air dalam tanah antara lain

anasir iklim, kandungan bahan organik, fraksi lempung tanah, topografi, dan

adanya bahan penutup tanah baik organik maupun anorganik (Walker and Paul,

2002). Tanah dengan kandungan bahan organik tinggi mempunyai kapasitas

penyangga yang rendah apabila basah. Kemampuan tanah untuk menyimpan air

(27)

merupakan salah satu sifat fisika tanah untuk mengetahui kemampuan penyerapan

air dan ketersediaan hara pada setiap jenis tanaman (Anonimus, 2007).

Adapun kadar air tanah sering disebut sebagai kandungan air (moisture)

yang terdapat dalam pori tanah. Satuan untuk menyatakan kadar air tanah dapat

berupa persen berat atau persen volume. Berkaitan dengan istilah air dalam tanah,

secara umum dikenal 3 jenis, yaitu (a) lengas tanah (soil moisture) adalah air

dalam bentuk campuran gas (uap air) dan cairan; (b) air tanah (soil water) yaitu

air dalam bentuk cair dalam tanah, sampai lapisan kedap air, (c) air tanah dalam

(ground water) yaitu lapisan air tanah kontiniu yang berada ditanah bagian dalam.

(Sutanto, 1998).

Ketersedian air tanah atau lengas tanah memungkinkan tanaman

menfiksasi CO2 melalui proses fotosintesis pada berbagai layer semakin

meningkat. Rangkaian proses tersebut akhirnya fungsi sebagai sink CO2 dapat

dicapai sehingga perannya terhadap pengurangan emisi karbondioksida pada

atmosfir menjadi nyata yang selanjutnya akan menurunkan laju pemanasan

atmosfir. (Anonimus, 2007)

Manfaat mengetahui kandungan air tanah dalam bidang pertanian adalah

air berperan sangat penting dalam proses genesa tanah. Kelangsungan hidup

tanaman dan renik tanah. Setiap reaksi kimia dan fisika yang terjadi di dalam

tanah hampir selalu melibatkan air sebagai pelarut garam-garam mineral.

Senyawa asam dan basa, serta ion-ion dan gugus-gugus organik maupun

anorganik. Manfaat lain dari perhitungan kadar air ini dalam bidang pertanian

(28)

untuk persawahan, menduga kebutuhan air selama proses irigasi dan mengetahui

kemampuan suatu jenis tanah mengenai daya simpan lengas atau airnya. Hal ini

juga digunakan dalam perhitungan nilai perbandingan dispersi (NPD). Selain itu

digunakan untuk mengetahui daya tahan tanah terhadap erosi. Faktor-faktor yang

mempengaruhi kadar lengas adalah pengaruh temperatur terhadap sifat-sifat tanah

lebih kecil dibandingkan curah hujan (lengas), karena sebagian energi digunakan

untuk evaporasi dan transpirasi.Iklim merupakan faktor yang mempengaruhi

kadar air tanah. Curah hujan dan temperatur merupakan anasir iklim yang

berpengaruh pada kandungan kadar lengas tanah. Faktor topografi berpengaruh

pada kandungan lengas tanah dalam mempercepat kehilangan air atau sebaliknya,

yaitu mengawetkannya (Anonimus, 2007).

Pengukuran Fluks Emisi CO2 di Lapangan

Pengukuran fluks emisi CO2 di lapangan dilaksanakan dengan metode

sungkup statik yang terbuat dari polycarbonat yang berukukuran 50cm x 50cm x

100cm yang di dilengkapi dengan termometer untuk mengukur suhu di dalam

sungkup, jarum suntik untuk mengambil sampel gas dari dalam sungkup, serta fan

kecil untuk mempertahankan agar udara di dalam sungkup homogen.

Fluks emisi CO2 pada fase vegetatif Sampel gas diambil dua minggu

sekali sebanyak 3 kali pengambilan setiap selang 10 menit. Dilakukan pada pagi

hari antara pukul 07.00 – 09.00 selama masa tanam.Karena pada saat itu akar

tanaman akan menghasilkan gas CO2 dalam jumlah yang besar. Fluks emisi pada

(29)

di letakkan di atas permukaan tanah atau di bawah permukaan air. dalam kondisi

tanpa genangan. Pengambilan sampel gas dari dalam sungkup dilakukan dengan

jarum suntik ukuran 10ml selama 10 menit sebanyak 3 kali dengan selang waktu 5

menit pada tiap perlakuan setelah sungkup dipasangkan. Untuk menghindari

kebocoran, segera setelah pengambilan sampel gas jarum suntik ditutup dengan

sumbat karet. Setelah pengambilan sampel gas selesai dilakukan, sungkup segera

dipindahkan.

Penutupan tanaman dengan sungkup akan meningkatkan suhu di dalam

sungkup. Dengan demikian pada setiap pengambilan sampel gas, suhu di dalam

sungkup dan ketinggian efektif sungkup dicatat. Penetapan konsentrasi gas CO2

dilakukan dengan menggunakan peralatan gas kromatografi, dengan mengirimkan

sampel gas ke laboratorium GRK. Untuk Menghindari kebocoran sampel gas pada

jarum suntik yang dikirimkan, setiap jarum suntik dibungkus dengan kertas

aluminium foil dan disimpan di dalam wadah yang tidak terpengaruh udara luar.

Penelitian ini menggunakan metode sungkup pada lahan sawah,

Pengambilan sampel gas dari dalam sungkup dilakukan 40 hari setelah tanam

yaitu dengan jarum suntik ukuran 10ml selama 10 menit sebanyak 3 kali dengan

selang waktu 5 menit pada tiap perlakuan setelah sungkup dipasangkan dan

diambil 2 minggu sekali. pengambilan sampel gas dari dalam sungkup dilakukan

sampai vase vegetatif. Tiap petak perlakuan dilakukan 3 ulangan sehingga untuk

setiap perlakuan diperoleh 9 sampel gas dalam jarum suntik. Total sampel gas

yang diambil (3 perlakuan )sehingga dalam satu petak utama diperoleh 27 sampel

(30)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di lahan persawahan yang terletak di Jl.

Pertambangan, Medan dengan ketinggian tempat 32 m di atas permukaan laut

(dpl), yang dilaksanakan pada bulan Desember 2010 sampai dengan selesai.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu jerami padi untuk pembuatan kompos, benih

padi varietas Pandan wangi sebagai objek percobaan, larutan EM4, urine kambing

untuk pembuatan pestisida, kotoran ayam sebagai pupuk organik dan Alumanium

foil untuk membungkus jarum suntik dari pengaruh cuaca luar.

Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sungkup

plastik yang berukuran yaitu ( p x l x t ) 50 x 50cm x 100cm yang di dalamnya

terdapat, termometer untuk mengukur suhu di dalam sungkup, fan yang berguna

untuk menghomogenkan suhu dalam sungkup, dan jarum suntik untuk mengambil

sampel gas dari dalam sungkup,dan alat-alat laboratorium lainnya. Alat-alat yang

digunakan di lapangan antara lain cangkul dalam pengolahan lahan dan

pembersihan gulma, label nama untuk penanda perlakuan, meteran untuk

(31)

Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan Rancangan Petak Terbagi (RPT)

dengan petak utama adalah teknik budidaya konvensional dan SRI dan anak petak

adalah pemberian bahan organik yang terdiri dari 3 perlakuan dan 3 ulangan.

1. Petak utama merupakan perlakuan teknik budidaya tanaman padi sawah yaitu

B1 = Teknik Budidaya Konvensional

B2 = Teknik Budidaya SRI Organik

2. Anak petak merupakan perlakuan pemberian bahan organik yaitu :

J0 = Tanpa pemberian jerami

J1 = Pemberian Jerami segar (10 ton/ha atau 4 kg/plot)

J2 = Pemberian Kompos jerami (10 ton/ha atau 4 kg/plot)

Bagan petak contoh sebagai berikut :

Tiap plot memiliki panjang 2m x 2m

(32)

Luas plot : 2 m x 2 m

Jumlah tanaman seluruhnya : 648 tanaman

Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, metode analisis data yang akan digunakan untuk

menarik kesimpulan adalah :

Yijk = + i + j + k + (฀฀)jk + ijk

Yijk : Nilai pengamatan dari faktor perlakuan teknik budidaya pada taraf

ke-i, dengan faktor perlakuan bahan organik taraf ke-j dan ulangan ke-k.

µ : Nilai tengah.

฀i : Efek dari blok taraf ke-i

฀i : Pengaruh perlakuan teknik budidaya pada taraf ke-i.

ƒÀj : Pengaruh perlakuan bahan organik pada taraf ke-j.

(฀β)ij : Pengaruh interaksi antara teknik budidaya pada taraf ke-i dan

pemberian bahan organik pada taraf ke-j.

ƒÃijk : Efek galat pada blok ke-i dari faktor pengaruh teknik budidaya pada

taraf ke-j dan pemberian bahan organik pada taraf ke-k.

Terhadap faktor yang berpengaruh nyata pada analisis sidik ragam

selanjutnya dilakukan uji rataan perlakuan dengan menggunakan uji jarak

(33)

Pelaksanaan Penelitian Persiapan Lahan

Persiapan lahan merupakan pelaksanaan pertama dalam pelaksanaan

penelitian. Satu minggu sebelum mengolah tanah, petakan sawah diberi air sampai

cukup untuk melunakan tanah sawah. Keadaan tanah sawah sebaiknya sedikit

basah. Kemudian petakan sawah dicangkul berkeliling dari bagian luar (tepi)

menuju ke bagian tengah petakan sehingga diperoleh hasil yang baik. Tanah

dibentuk dalam 2 petakan utama dimana dalam tiap petak terdapat 9 anak petak

sehingga total ke 2 nya sebanyak 18 anak petak dengan ukuran 2 meter x 2 meter,

dan jarak antar petak 30 cm.

Pengolahan tanah untuk tanam padi metode SRI tidak berbeda dengan cara

pengolahan tanah untuk tanam padi cara konvesional yaitu dilakukan untuk

mendapatkan struktur tanah yang lebih baik bagi tanaman dan terhindar dari

gulma. Pengolahan dilakukan dua minggu sebelum tanam dengan menggunakan

traktor tangan, sampai terbentuk struktur lumpur. Permukaan tanah diratakan

untuk mempermudah mengontrol dan mengendalikan air.

Pembuatan Kompos Jerami

Jerami segar direndam selama 1 malam. Perendaman ini bertujuan agar

jerami tetap lembab. Bahan aktif (Urea, SP-36, kapur, pupuk kandang, starter

trichoderma) dicampur dan diaduk sampai rata dan dibagi atas 4 bagian.

Pembuatan kompos jerami dilakukan dengan cara :

- Jerami ditumpuk 1 m3 dibagi atas 4 lapisan

- Pada lapisan jerami pertama (1/4 bagian jerami) ditaburkan bahan aktif 1/4

(34)

- Setelah itu, tumpukkan kembali lapisan jerami kedua (1/4 bagian jerami) dan

taburkan kembali bahan aktifnya ¼ bagian. Demikian seterusnya hingga jerami

habis. Tinggi tumpukan jerami sebaiknya kurang dari 1,5 m agar memudahkan

dalam pembalikannya.

- Tutup tumpukan dengan plastik agar terlindung dari hujan dan panas, atau dapat

diletakkan ditempat yang terlindung.

- Lakukan pembalikkan tumpukan jerami setiap minggu.

- Kelembaban tumpukan jerami dijaga agar kadar airnya 60 - 80 % dengan cara

menyiram/memercikkan air (kalau diremas jeraminya maka air tidak menetes).

- Kompos siap digunakan setelah 3 - 4 minggu.

Kompos Jerami

Kompos jerami yaitu : sisa panen tanaman padi sawah yang telah

dikomposkan dengan menggunakan mikrobia perombak. Bahan yang digunakan

adalah jerami padi atau sisa-sisa tanaman, larutan mikroba perombak bahan

organik (dekomposer) M-Dec, dan air untuk menyiram timbunan kompos. Untuk

membuat larutan dekomposer, 0,5 kg M-Dec dilarutkan dengan 10 l air lalu

diaduk rata. Setiap ton jerami memerlukan 1 kg M-Dec. Peralatan yang diperlukan

adalah bak kompos berukuran panjang 1 m, lebar 1 m, dan tinggi 1-1,25 m;

plastik warna gelap atau yang tidak tembus cahaya berukuran 1 m x 5 m dan 2 m

x 2 m masing-masing satu lembar; tali rafia untuk mengikat timbunan kompos;

serta ember, gayung, dan air untuk menyiram timbunan kompos dan

(35)

Bak kompos dibuat dari pagar anyaman bambu atau kayu. Pagar anyaman

bambu yang diperlukan sebanyak lima buah, yaitu empat buah berukuran 1 m x

1,25 m dan satu buah berukuran 1 m x 1 m.. Untuk membuat anyaman bambu,

bambu dibelah-belah menjadi bilah berukuran panjang 1 m dan 1,25 m, lebar 2-3

cm, dan tebal 1 cm. Bilah bambu diraut pada bagian pinggirnya agar tidak tajam,

kemudian dianyam membentuk pagar berukuran 1 m x 1,25 m. Bila pagar dibuat

dari kayu, kayu dipaku atau diikat dengan tali ijuk atau rafia. Selain pagar,

diperlukan patok dari kayu dengan panjang 1,25 m, tebal/lebar 3-4 cm. Bila patok

dibuat dari bambu, bambu dibelah dua atau digunakan bambu kecil berdiameter

2-3 cm. Tiga lembar pagar anyaman disusun membentuk kotak dengan satu sisi

terbuka dan pada setiap sudutnya diberi patok agar kokoh. Bagian yang terbuka

akan ditutup setelah jerami dimasukkan (Nuraini, 2009).

Pembuatan kompos dimulai dengan memasukkan jerami ke dalam bak

dengan tinggi tumpukan 20-25 cm, lalu disiram dengan air agar lembap.

Selanjutnya tumpukan jerami disiram dengan larutan perombak bahan organik

secara merata. Di atas lapisan pertama lalu ditumpuk jerami lagi setebal 20 – 25

cm. Tumpukan kembali disiram air dan larutan perombak bahan organik.

Demikian seterusnya sampai tinggi tumpukan jerami kira-kira tiga perempat bak

kompos atau 80-90 cm. Sisi bak yang terbuka lalu ditutup dengan pagar anyaman

dan diikat. Selanjutnya jerami dimasukkan lagi ke dalam bak hingga penuh (tinggi

tumpukan 1,25 m). Setelah penuh, bagian atas bak ditutup dengan pagar anyaman

dan diikat sehingga membentuk kotak (Nuraini, 2009).

Bak berisi jerami yang siap dikomposkan lalu ditutup dengan plastik

(36)

bak lalu diikat. Bagian atas bak ditutup dengan plastik berukuran 1 m x 1 m.

Untuk menghindari penggenangan air di atas bak, tutup bak bagian atas dibuat

agak miring. Pengikatan dilakukan dengan rapi agar plastik tidak terbuka karena

tiupan angin dan jerami terhindar dari air hujan. Setelah satu minggu, kompos

dibalik agar panasnya merata dan pengomposan berlangsung sempurna.

Pembalikan dilakukan dengan cara membuka plastik serta dinding dan tutup bak

lalu pagar anyaman disusun lagi membentuk kotak atau bak baru di samping bak

lama. Kompos dipindahkan ke bak yang baru per lapisan, mulai dari lapisan atas

sampai lapisan bawah. Setiap lapisan disiram dengan air agar lembap. Dengan

demikian lapisan kompos yang tadinya berada di atas akan berada di bawah dan

sebaliknya. Setelah pembalikan selesai, bak ditutup dan diikat kembali

(Nuraini, 2009).

Tanah memegang peranan penting dalam pengaturan konsentrasi CO2

diatmosfer. Kemampuan tanah menyimpan CO2 berupa bahan organik hasil

fotosintesismerupakan penyangga utama keseimbangan CO2 di atmosfer.

Apabilapelepasan CO2 tanah melebihi laju pemasukannya berpotensi

menyumbang peningkatan konsentrasinya di atmosfer. Produksi CO2 dari tanah

berasal dari hasil dekomposisibahan organik secara aerobik, respirasi akar

tanaman maupun mikroba. Praktekpengelolaan lahan yang

berpengaruhterhadappenyimpanan dan pelepasan CO2 berkontribusi terhadap

(37)

A. Budidaya SRI

1. Persiapan Benih

Benih sebelum disemai diuji terlebih dahulu di dalam larutan air garam.

Larutan air garam tersebut adalah larutan yang apabila dimasukan telur maka telur

tersebut akan terapung. Masukan benih ke dalam larutan garam tersebut dan benih

yang baik adalah benih yang tenggelam dalam larutan tersebut dan benih yang

terapung sebaiknya dibuang saja. Benih yang telah diuji dalam larutan air garam

tadi diambil dan dan di rendam dalam air. Setelah selesai, benih kemudian

ditiriskan dan diperam selama 2 hari. Air rendaman benih tersebut jangan dibuang

karena dapat disemprotkan pada tanah lahan semai sebelum benih disemai.

Penyemaian padi dapat dilakukan di lahan sawah yang telah disediakan atau dapat

juga pada media tanah dan pupuk Organik di dalam wadah segi empat ukuran 20

x 20 cm selama 7 hari. Setelah umur 7 – 10 hari benih sudah siap ditanam.

2. Persiapan Tanah dan Aplikasi Jerami Segar dan Kompos Jerami

Pengolahan tanah untuk Tanaman padi metode SRI tidak berbeda dengan

cara pengolahan tanah untuk tanam padi cara konvensional atau cara lama pada

umumnya yaitu dilakukan untuk tujuan mendapatkan struktur tanah yang lebih

baik bagi tanaman. Pemberian jerami segar dilakukan satu bulan sebelum tanam,

dan kompos jerami dilakukan 2 minggu sebelum tanam dengan cara mancampur

rata ke seluruh permukaan pada tiap plot perobaan dalam keadaan tanah

macak-macak agar terdekomposisi dengan tanah tersedia dalam tanah dalam keadaan

(38)

3. Penyemaian Benih

Benih padi kiri–kira 100 gram direndam selama 1 hari. Benih yang

tenggelam adalah benih yang akan digunakan untuk persemaian, sedangkan benih

yang mengapung akan dibuang karena benih itu kosong. Perendaman benih

dilakukan dengan metode Larutan Garam. Prosesnya adalah sebagai berikut:

Masukkan air ke dalam toples.Selanjutnya masukkan telur ayam ke dalam toples

yang berisi air tadi.Masukkan garam dapur perlahan – lahan ke dalam air sambil

diaduk hingga garam larut. Kemudian masukkan benih yang akan digunakan ke

dalam larutan garam. Benih yang terapung dibuang sedangkan benih yang

tenggelam diambil dan dicuci bersih untuk menghilangkan larutan garam yang

menempel pada benih.

4. Media Pembibitan

Benih yang sudah diseleksi kemudian ditaburkan pada persemaian. Media

persemaian terdiri dari tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1, media

persemaian disiram agar tidak kering dan dijaga agar selalu dalam keadaan

lembab. Persemaian diperlukan untuk membantu tanaman beradaptasi pada masa

perkecambahan dan pertumbuhan awal. Untuk sistem tanam SRI pemindahan

bibir dilakukan pada umur maksimum10 hari.

5. Penanaman

Penanaman bibit dilakukan pada saat umur benih telah 10 hari. Pencabutan

dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak akar. Bibit yang dicabut dari

(39)

6. Pemupukan

Pemberian pupuk pada metode SRI yang diberikan hanya pupuk organik

yaitu pupuk kandang ayam dengan dosis 5294,11 kg/Ha, dilakukan dua kali yaitu

pemupukan pertama pada saat tanaman berumur 12 hari dengan dosis pupuk dua

per tiga dari kebutuhan pupuk keseluruhan yaitu sebanyak 1,4 kg/plot, atau 38

gr/tanaman, sedangkan 1/3 sisa pupuk diberikan pada tahap kedua yaitu pada 40

HST (hari setelah tanam) dengan dosis 0,7 kg/plot atau 19 gr/ tanaman. Aplikasi

pupuk organik jerami sesuai dengan taraf perlakuan yang diberikan empat minggu

sebelum tanam.

7. Penyulaman

Penyulaman dilakukan apabila tanaman yang mati atau terserang OPT

dengan menggunakan varietas dan umur yang sama (tanaman cadangan).

8. Pengairan

Pemberian air dilakukan adalah secara intermittent atau terputus dengan

pemberian air setinggi 2 cm dari permukaan tanah, penambahan air dilakukan

hanya pada saat tanah sudah mulai kering

9. Pemeliharaan

Pemeliharaan dilakukan dengan car mencabut gulma yang tumbuh di

sekitar plot percobaan. Pengendalian hama juga dilakukan untuk menjaga

tanaman dari serangan pestisida alami yang terbuat dari urin kambing yang

(40)

B. Budidaya Konvensional

Ada beberapa tahapan yang dilakukan para petani dalam malakukan budi

daya padi sawah diantaranya yaitu: persemaian, pengolahan lahan, penanaman,

pemupukan, penyiangan, pengendalian dan pemberantasan hama dan penyakit. .

1. Persemaian

Persemaian dilakukan 25 hari sebelum masa tanam, persemaian dilakukan

pada lahan yang sama atau berdekatan dengan petakan sawah yang akan ditanami

Benih yang hendak disemai sebelumnya harus direndam terlebih dahulu secara

sempurna sekitar 2 x 24 jam, dalam ember atau wadah lainnya. Bedengan

persemaian dibuat seluas 100 m²/20 kg.Benih yang sudah direndam selama 2 x 24

jam dan sudah berkecambah ditebar dipersemaian secara hati-hati dan merata.

Pemupukan lahan persemaian dilakukan kira-kira pada umur satu minggu benih

setelah ditanam (tabur). Kebutuhan pupuk yang digunakan yaitu, 2,5 Kg Urea, 2,5

Kg SP36 dan 1 Kg KCl (Anonimus, 2003).

2. Pengolahan Tanah

Pengolahan bertujuan untuk mengubah sifat fisik tanah agar lapisan yang

semula keras menjadi datar dan melumpur. Dengan begitu gulma akan mati dan

membusuk menjadi humus, aerasi tanah menjadi lebih baik, lapisan bawah tanah

menjadi jenuh air sehingga dapat menghemat air. Pada pengolahan tanah sawah

ini, dilakukan juga perbaikan dan pengaturan pematang sawah serta selokan.

Pematang (galengan) sawah diupayakan agar tetap baik untuk mempermudah

pengaturan irigasi sehingga tidak boros air dan mempermudah perawatan

(41)

3. Pelaksanaan Tanam

Setelah persiapan lahan selesai maka bibit pun siap ditanam. Bibit

biasanya dipindah saat umur 20–25 hari. Ciri bibit yang siap dipindah ialah

berdaun 5-6 helai, tinggi 22-25 cm, batang bawah besar dan keras, bebas dari

hama dan penyakit sehingga pertumbuhannya seragam.

Bibit ditanam dengan cara dipindah dari bedengan persemaian ke petakan

sawah, dengan cara bibit dicabut dari bedengan persemaian dengan menjaga agar

bagian akarnya terbawa semua dan tidak rusak. Setelah itu bibit dikumpulkan

dalam ikatan-ikatan lalu ditaruh disawah dengan sebagian akar terbenam ke air.

Bibit ditanam dengan posisi tegak dan dalam satu lubang ditanam 2-3 bibit,

dengan kedalaman tanam cukup 2 cm, karena jika kurang dari 2 cm bibit akan

gampang hanyut. Jarak tanam padi biasanya 20 x 20 cm (Anonimus, 2008).

4. Pemupukan

Tanah yang dibudidayakan cenderung kekurangan unsur hara bagi

tanaman, oleh karena itu diperlukan penambahan unsur hara yang berasal dari

pupuk organik maupun pupuk anorganik. Dosis pupuk tanaman padi sawah sangat

dipengaruhi oleh jenis dan tingkat kesuburan tanah, sejarah pemupukan yang

diberikan dan jenis padi yang ditanam (Anonimus, 2008).

Pada teknik konvensional ini pemberian pupuk organik jerami diberikan

sesuai taraf perlakuan empat minggu sebelum tanam. Penggunaan dosis pupuk

untuk padi sawah untuk lahan satu hektar adalah Urea 200 kg, SP-36 200 kg, dan

KCl 100 kg. Pemupukan SP-36 dan KCl diberikan satu kali yaitu satu hari

(42)

pada saat tanaman berumur 12 hari dengan dosis pupuk dua 2/3 dari kebutuhan

pupuk keseluruhan, sedangkan sisa pupuk diberikan pada tahap kedua yaitu

kira-kira pada 40 HST (hari setelah tanam).

5. Penyulaman

Penyulaman dilakukan apabila tanaman yang mati atau terserang OPT

dengan menggunakan varietas dan umur yang sama ( tanaman cadangan).

6. Pengairan

Pemberian air dilakukan dengan penggenangan secara terus-menerus

setinggi 5 cm dari permukaan tanah sampai pada masa berbulir padi.

7. Pemeliharaan

Tanaman dipelihara dari gangguan hama dan gulma. Pestisida yang

digunakan yaitu urine kambing yang dicampur dengan air dengan perbandingan

1 : 4. Penyemprotan dilakukan dua kali seminggu pada sore hari. Volume

(43)

Cara Pengambilan sampel gas CO2 di lapangan

Pengambilan sampel gas dilakukan pada waktu umur tanaman 40 HST

dengan menggunakan sungkup, sungkup diletakkan pada plot percobaan dimana

posisi sungkup berada diatas permukaan tanah dengan kondisi bawah sungkup

rapat dengan permukaan tanah yang bertujuan agar udara dari luar tidak masuk ke

dalam sungkup, dan apabila kondisi lahan tergenang air maka posisi bawah

sungkup diletakkan di bawah permukaan air atau tepat diletakkan di permukaan

tanah.

Setelah posisi sungkup sudah tepat, hidupkan fan atau kipas yang terdapat

di dalam sungkup yang bertujuan untuk menghomogenkan udara atau suhu di

dalam sungkup dan biarkan selama 10 menit. Setelah itu sampel gas di ambil

dengan menggunakan jarum suntik yang berukuran 10ml yang telah dipersiapkan

sebanyak yang di perlukan dan di beri label nama dalam tiap waktu atau

perlakuan, hal ini bertujuan agar tidak terjadinya kesalahan dalam penentuan

sampel gas.

Cara pengambilan sampel dengan jarum suntik dilakukan di bagian atas

sungkup, bagian atas sungkup terbuat dari gabus yang memiliki ketebalan 2cm.

Gabus berfungsi agar pada saat jarum disuntikkan dan di cabut menembus atas

sungkup atau bagian gabus, udara yang berada di luar tidak masuk kedalam

sungkup. Untuk menghindari kebocoran, segera setelah pengambilan sampel gas

jarum suntik ditutup dengan sumbat karet kemudian dibungkus dengan kertas

alumanium foil yang berfungsi untuk mengurangi panas radiasi matahari selama

(44)

tidak terpengaruh oleh udara luar. Kemudian sampel gas dianalisis di laboratorium

dengan menggunakan alat gas kromatografi yang dilengkapi dengan electron

capture detector ( ECD).

Parameter yang Diamati

1. Fluks emisi CO2 ( mg/m3/jam) pada umur 40 HST dengan metode GC-MS

(gas chromatography – mass spectra).

2.Fluks emisi CO2 ( mg/m3/jam) pada umur 60 HST dengan metode GC-MS

(gas chromatography – mass spectra).

3. Pengukuran kadar air tanah pada umur 40 HST dengan metode pengovenan.

(45)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Laju Emisi Karbondioksida (CO2) akibat Teknik Budidaya dan Pemberian Jerami pada Fase Vegetatif Umur 40 dan 60 HST Tanamam Padi Sawah

Data laju emisi karbondioksida (CO2) pada umur 40 dan 60 HST akibat

pengaruh teknik budidaya dan pemberian jerami disajikan pada Tabel Lampiran

5,1 dan 6,1 sedangkan sidik ragam emisi CO2 umur 40 dan 60 HST dicantumkan

pada Tabel Lampiran 5,2 dan 6,2. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa

perlakuan teknik budidaya dan pemberian jerami sangat berpengaruh nyata

meningkatkan laju emisi gas Karbondioksida (CO2) pada setiap pengambilan

sampel yaitu pada umur 40 dan 60 HST.

Tabel 1. Rataan laju emisi CO2 (mg/m3/jam) akibat pengaruh teknik budidaya

dan pemberian jerami pada umur 40 dan 60 HST

Perlakuan

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom dan kelompok perlakuan yang sama berarti tidak berbeda pada taraf uji 5% dan 1%.

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada umur 40 HST laju emisi karbondioksida

(46)

mg/m3/jam yang berbeda sangat nyata dengan teknik budidaya SRI. Pada umur

60 HST laju emisi Karbondioksida (CO2) tertinggi terdapat pada teknik budidaya

konvensional yaitu sebesar 885,78 mg/m3/jam yang sangat berbeda nyata dengan

teknik budidaya SRI, dari Tabel 1 terlihat laju emisi Karbondioksida (CO2) antara

teknik budidaya SRI dan kovensional sangat berbeda nyata.

Dari Gambar berikut dapat di lihat Interaksi antara teknik budidaya dan

pemberian jerami terhadap laju emisi Karbondioksida (CO2) pada umur 40 HST.

Gambar 1. Histogram interaksi antara teknik budidaya dan pemberian jerami terhadap laju emisi CO2 pada umur 40 HST

Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa pada umur 40 HST laju

karbondioksida tertinggi terdapat pada teknik budidaya Konvensional dengan

hasil emisi tertingi terdapat pada perlakuan J1 yaitu 751,56 mg/m3/jam dan yang

kedua pada perlakuan J2 yaitu 616,89 mg/m3/jam dan yang terendah terdapat pada

(47)

budidaya SRI yang jauh lebih rendah yaitu tertinggi terdapat pada perlakuan J1

sebesar 384,89 mg/m3/jam dan kedua pada perlakuan J2 sebesar 358,22

mg/m3/jam dan terendah pada perlakuan J0 sebesar 187,11 mg/m3/jam.

Dari gambar juga dapat dilihat bahwa pemberian jerami sangat

berpengaruh nyata meningkatkan laju emisi Karbondioksida (CO2). Laju

Karbondioksida (CO2) tanpa diberikan jerami (J0) sangat berbeda nyata dengan

yang diberi jerami segar (J1) dan kompos jerami (J2).

Dari gambar berikut dapat di lihat interaksi antara teknik budidaya dan

pemberian jerami terhadap laju emisi Karbondioksida (CO2) pada umur 60 HST.

Gambar 2. Histogram interaksi antara teknik budidaya dan pemberian jerami terhadap laju lmisi CO2 pada umur 60 HST

Dari gambar 2 dapat dilihat bahwa pada umur 60 HST laju karbondioksida

tertinggi terdapat pada teknik budidaya Konvensional dengan hasil emisi tertinggi

terdapat pada perlakuan J1 yaitu 885,78 mg/m3/jam dan yang tertinggi kedua pada

(48)

J0 yaitu 283,11 mg/m3/jam. Hal ini berbeda nyata dengan teknik budidaya SRI

yang jauh lebih rendah yaitu tertinggi terdapat pada perlakuan J1 sebesar 601,78

mg/m3/jam dan kedua pada perlakuan J2 sebesar 524,44 mg/m3/jam dan terendah

pada perlakuan J0 sebesar 230,22 mg/m3/jam.

(49)

Pengaruh Teknik Budidaya dan Pemberian Jerami terhadap Kadar Air Tanah pada Umur 40 dan 60 HST.

Data pengaruh teknik budidaya dan pemberian jerami terhadap kadar air

tanah pada umur 40 dan 60 HST disajikan pada Tabel lampiran 7,1 dan 8,1 dan

hasil sidik ragam disajikan pada Tabel lampiran 7.2 dan 8.2 yang mana diperoleh

bahwa teknik budidaya sangat berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah

dan pemberian jerami berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah,

sedangkan pada interaksi antara teknik budidaya dan pemberian jerami tidak

berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah.

Tabel 2.Pengaruh teknik budidaya terhadap kadar air tanah pada umur 40 dan 60 HST.

Perlakuan KA (%)

40 HTS 60 HTS

Teknik Budidaya

B1 (Konvensional) 29,58aA 32,41aA

B2 (SRI) 23,77bB 22,56bB

Perlakuan Jerami

J0 (kontrol) 27,28 a 27,67 a

J1 (jerami segar 4 ton/ha) 26,01 a 27,08 a

J2 (kompos jerami 4 ton/ha) 26,73 b 27,70 a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT.

Dari Tabel 2 dapat dilihat kadar air tanah tertingi terdapat pada teknik

budidaya konvensional pada 60 HST yaitu sebesar 32,41 %, dan tertinggi kedua

pada 40 HST yaitu sebesar 29,58 %, hal ini berbeda nyata dengan teknik budidaya

SRI yang mana tertinggi pada umur 40 HST yaitu sebesar 23,77% dan yang

(50)

jerami kompos (J2) berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah pada umur

40 HST.

Data pengaruh teknik budidaya terhadap kadar air tanah dan dari hasil

sidik ragam pada Lampiran diperoleh bahwa teknik budidaya sangat berpengaruh

nyata meningkatkan kadar air tanah pada umur 40 dan 60 HST dan pemberian

jerami berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah pada umur 40 HST,

Sedangkan pada interaksi antara teknik budidaya dan pemberian jerami tidak

berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah.

Dari tabel 2 dapat dilihat kadar air tanah tertingi terdapat pada teknik

budidaya konvensional yaitu 32.41% dan yang terendah pada teknik budidaya SRI

yaitu 22.56 %, sedangkan pada interaksi teknik budidaya dan pemberian jerami

tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air tanah.

(51)

Dari Gambar diatas dapat dilihat bahwa teknik budidaya sangat

berpengaruh nyata meningkatkan kadar air tanah dimana nilai tertinggi terdapat

pada teknik budidaya konvensional di umur 60 HST yaitu sebesar 32,408

mg/m3/jam sedangkan yang terendah pada teknik budidaya SRI di umur 60 HST

yaitu sebesar 22,563 mg/m3/jam. Hal ini disebabkan karena kadar air dipengaruhi

oleh tinggi penggenangan, dimana penggenangan pada teknik budidaya

konvensional lebih tinggi dari penggenangan di teknik budidaya SRI.

Gambar 5. Histogram pengaruh pemberian jerami terhadap kadar air tanah pada

umur 40 HST

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa pemberian jerami pada umur 40

HST berpengaruh nyata terhadap kadar air tanah, yang mana jerami kompos

memiliki nilai kadar air sebesar 26,73 % lebih tinggi dari kadar air di jerami segar

(52)

kompos jerami yang telah terdekomposisi lebih luas dari bidang permukaan

jerami segar yang belum terdekomposisi, sehingga kompos jerami akan lebih kuat

dalam mengikat air dibanding dengan jerami segar.

Pembahasan

Pengaruh Teknik Budidaya terhadap Laju Emisi Karbondioksida (CO2) pada Tanaman Padi Sawah

Dari hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik budidaya

sangat berpengaruh nyata terhadap emisi gas CO2 pada setiap pengambilan

sampel, yaitu pada umur 40 HST dan 60 HST dimana emisi dari antara ke 2

teknik budidaya sangat berbeda nyata. Adapun teknik budidaya Konvensional

merupakan teknik budidaya dengan penggenangan setinggi 5 cm dan jumlah

anakan sebanyak 5-7, sedangkan teknik budidaya SRI tinggi penggenangan hanya

2 cm dengan 1-2 anakan.

Dari hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik budidaya

konvensional memiliki nilai tertinggi dalam penyumbang emisi CO2 di udara bila

dibandingkan dengan teknik budidaya SRI. Hal ini disebabkan karena system

pengelolaan konvensional memiliki pola pemberian air yang berbeda dengan

teknik budidaya SRI, yaitu dengan system penggenangan secara terus menerus

setinggi 5 cm sedangkan budidaya Sri hanya 2 cm. Hal ini sesuai dengan literatur

Hadi (2001) yang menyatakan bahwa proses penggenangan merupakan salah satu

(53)

Dari hasil sidik ragam juga menunjukkan bahwa emisi gas CO2 tertinggi

terdapat pada teknik budidaya Konvensional umur 60 HST yaitu sebesar 885,78

mg/m3/jam, sedangkan yang terkecil terdapat pada teknik budidaya SRI umur 40

HST yaitu 187,11 mg/m3/jam. Hal ini sesuai dengan literatur Setyanto (2004)

yang menyatakan bahwa jumlah anakan yang semakin bertambah serta

penggenangaan yang terus menerus akan semakin meningkatkan emisi CO2 ,

sejalan dengan dekomposisi bahan organik yang telah berlanjut.

Pengaruh Pemberian Jerami terhadap Laju Emisi Karbondioksida (CO2) pada Tanaman Padi Sawah

Dari hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian jerami sangat

berpengaruh nyata terhadap emisi gas CO2, dimana pada proses perombakan

jerami terdapat bakteri yang dapat menghasilkan gas CO2, sehingga semakin

banyak terdapat bakteri tersebut maka semakin besar pula potensi gas CO2 yang

akan dihasilkan.

Dari hasil sidik ragam dapat dilihat bahwa pemberian jerami segar akan

lebih besar menghasilkan gas CO2 dibandingkan dengan kompos jerami. Hal ini

sesuai dengan literatur Nuraini (2009), yang menyatakan bahwa peningkatan

emisi juga dipengaruhi oleh proses perombakan atau dekomposi bahan organik

ditempat itu sendiri. Dalam hal ini perombakan yang terjadi pada jerami segar

lebih besar dari pada kompos jerami.

Dari hasil sidik ragam juga dapat dilihat bahwa emisi CO2 terbesar

terdapat pada jerami segar umur 60 HST yaitu sebesar 885,78 mg/m3/jam pada

dan terkecil pada umur 40 HST yaitu sebesar 751,56 mg/m3/jam pada

(54)

yaitu sebesar 824,44 mg/m3/jam dan terkecil pada umur 40 HST yaitu 616,89

mg/m3/jam yang juga sama-sama terdapat pada budidaya konvensional. Hal ini

disebabkan karena proses dekomposisi jerami pada umur 60 HST sudah lebih

berlanjut daripada umur 40 HST, sejalan dengan kebutuhan air yang lebih banyak

pada umur 60 HST daripada umur 40 HST.

Pengaruh Interaksi Antara Teknik Budidaya dan Pemberian Jerami Terhadap Laju Emisi Karbondioksida (CO2) pada Tanaman Padi Sawah

Dari data sidik ragam dapat diperoleh bahwa interaksi antara teknik

budidaya dengan pemberian jerami sangat berpengaruh nyata terhadap Laju emisi

gas CO2. Hal ini sesuai dengan literatur Hadi (2001) yang menyatakan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi laju emisi dilahan sawah antara lain

penggenangan, proses dekomposisi bahan organik dan banyaknya bakteri yang

dapat menghasilkan gas CO2 antara lain bakteri saccharomyces cereviseae.

Dari hasil sidik ragam interaksi antara teknik budidaya dengan pemberian

jerami dapat diperoleh bahwa emisi CO2 terbesar terdapat pada interaksi antara

konvensional dengan jerami segar, ini terjadi karena hal tersebut merupakan

perpaduan antara penggenangan dengan perombakan jerami yang masih sangat

aktif, sedangkan emisi CO2 yang terkecil terdapat pada interaksi antara teknik

budidaya SRI dengan pemberian kompos jerami.

Dari hasil sidik ragam juga dapat diperoleh bahwa emisi CO2 terbesar

akibat interaksi teknik budidaya konvensional dengan pemberian jerami segar

adalah terdapat pada umur 60 HST yaitu 885,78 mg/m3/jam hal ini disebabkan

karena selain dari penggenangan dan dekomposisi yang aktif juga pada umur

(55)

akibat interaksi antara teknik budidaya SRI dengan kompos jerami adalah pada

umur 40 HST yaitu sebesar 358,22 mg/m3/jam, hal ini disebabkan karena pada

budidaya sri penggenangan yang terputus-putus dan dekomposisi kompos jerami

sudah hampir sempurna.

Pengaruh Teknik Budidaya terhadap Kadar Air Tanah pada Tanaman Padi Sawah

Dari data sidik ragam dapat dilihat bahwa pengaruh teknik budidaya

sangat nyata terhadap kadar air tanah, hal ini sesuai dengan literatur Sutanto

(1998) yang menyatakan bahwa penggenangan berbanding lurus dengan kadar air,

dimana semakin tinggi penggenangan maka akan semakin besar pula kadar air

tanah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kadar air tanah di konvensional

lebih tinggi daripada SRI, karena penggenangan di konvensional lebih tinggi

yakni 5 cm sedangkan di SRI hanya 2 cm.

Dari data sidik ragam juga dapat dilihat bahwa kadar air tertinggi terdapat

pada terknik budidaya konvensional umur 60 HST yaitu sebesar 32,41 dan nilai

kadar air yang terkecil terdapat pada teknik budidaya SRI umur 60 HST . Hal ini

terjadi karena pada umur 60 HST di konvensional membutuhkan air yang cukup

banyak dalam masa pertumbuhan bulir, sedangkan pada SRI tinggi penggenangan

relatif sedikit yakni 2 cm.

Pengaruh Pemberian Jerami Segar dan Kompos Jermi terhadap Kadar Air Tanah

Pemberian kompos jerami berpengaruh nyata terhadap kadar air tanah. Hal

(56)

juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kadar air tanah selain anasir

iklim, fraksi lempung tanah dan topografi.

Dari hasil sidik ragam juga dapat diperoleh bahwa kadar air tertinggi

terdapat pada pemberian kompos jerami yaitu sebesar 24,05 % sedangkan jerami

segar sebesar 21,94 % . Hal itu terjadi karena bidang permukaan kompos jerami

yang hampir terdekomposisi sempurna lebih luas dibandingkan dengan bidang

permukaan jerami segar.

Pengaruh interaksi antara Teknik Budidaya dan Pemberian Jerami terhadap Kadar Air Tanah

Dalam hal ini interaksi antara teknik budidaya dengan pemberian jerami

tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air tanah. Hal ini terjadi karena

penggenangan merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi kadar air

tanah berbeda dengan jerami yang hanya merupakan faktor minoritas dari kadar

air tanah sehingga interaksi nya sama sekali tidak berpengaruh nyata terhadap

Gambar

Tabel 1. Rataan laju emisi  CO2 (mg/m3/jam)  akibat pengaruh teknik budidaya dan pemberian jerami pada umur  40 dan 60 HST
Gambar 1. Histogram interaksi antara teknik budidaya dan pemberian jerami terhadap laju emisi CO2 pada umur 40 HST
Gambar 2. Histogram interaksi antara teknik budidaya dan pemberian jerami terhadap laju lmisi CO2 pada umur 60 HST
Gambar 3. Grafik laju emisi CO2 pada umur 40 dan 60 HST
+4

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-faktor apa yang mempengaruhi dalam pelaksanaan program rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni (RS- RTLH)di kabupaten karimun (study kasus kecamatan

Skripsi ini disusun selain sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana (S-1), juga dengan maksud untuk memberikan referensi dan penjelasan kepada para

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di tiga Kecamatan yaitu Kecamatan Beutoeng, Kecamatan Seunagan Timur, dan Kecamatan Seunagan dalam wilayah masyarakat adat

Bentuk pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa pada tuturan remaja desa Karangtalun RT 04 RW 03 Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga yang sering kali peneliti temui

Dianggap semua orang sudah mempunyai 2 buah kunci (kode untuk enkripsi dan dekripsi seterusnya akan disebutkan sebagai sebuah "kunci") , kedua kunci ini yang satu

Teknik untuk menganalisis dari akar permasalahan yang akan di pecahkan bersama masyarakat dan sekaligus program apa yang akan dilalui, pohon harapan adalah

karena hanya berkat rahmat, hidayah dan karunia-Nya penulis berhasil menyelesaikan penelitian dengan judul “ Pengukuran Kinerja Lembaga Pengelola Zakat Dengan Metode

Untuk mengetahui berapa jumlah yang disitir dari berbagai sumber perlu dilakukan perhitungan seperti pengarang, judul, dan majalah yang lengkap dengan data bibliografinya