• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Lahan

DAS Krueng Peutoe yang luasnya 30.258 ha terdiri atas lima jenis penggunaan lahan, yaitu pemukiman, kebun campuran, perkebunan, semak belukar dan hutan primer. Dari ke lima penggunaan lahan tersebut, ha nya empat penggunaan lahan saja yang dilakukan pengamatan (tidak termasuk penggunaan lahan untuk pemukiman), dan dari ke empat penggunaan lahan tersebut penggunaan lahan yang dominan adalah hutan primer.

Berdasarkan survai dan pengamatan pada lokasi pene litian dapat dilihat bahwa penggunaan lahan umumnya hampir seragam, yaitu tanaman tahunan yang ditumpangsari dengan tanaman pangan dan tanaman hortikultura, terkecuali penggunaan lahan untuk perkebunan (kelapa sawit) yang ditanam secara monokultur oleh perkebunan kelapa sawit PTP-Nusantara I.

Dilihat dari pola tanam yang ada saat ini beberapa petani setempat belum maksimal memanfaatkan lahan pertanian yang ada. Hal ini dikaitkan dengan curah hujan dan meningkatnya hama di lokasi penelitian. Dari data curah hujan yang ada, dari bulan September sampai dengan Desember petani setempat melakukan penanaman padi tadah hujan, selanjutnya pada bulan Januari sampai dengan Agustus yang seharusnya petani melakukan penanaman tanaman pangan dan hortikultura akan tetapi karena meningkatnya hama, maka lahan dibiarkan terlantar begitu saja.

Di Kabupaten Aceh Utara pembangunan pertanian tanaman pangan selain diarahkan pada peningkatan produksi, juga ditekankan pada upaya meningkatkan pendapatan dan hasil petani, menciptakan kesempatan kerja produktif/padat karya dan kesempatan berusaha di pedesaan serta usaha untuk meningkatkan ekspor.

Penggunaan lahan untuk kebun campuran di DAS Krueng Peutoe umumnya ditanami tanaman pinang, kelapa, kakao yang ditumpang sari dengan tana man kacang kedelai, jagung, kacang panjang, cabe dan kacang tanah.

Tanaman kedelai yang merupakan tanaman sub tropis dan telah beradaptasi dengan daerah tropis untuk saat ini merupakan tanaman andalan di Aceh Utara (termasuk di lokasi penelitian) karena tanaman ini dapat ditanam pada lahan kering dan terbuka.

Untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal sebaiknya kedelai ditanam pada bulan-bulan yang agak kering, tetapi air masih cukup tersedia. Air diperlukan pada awal pertumbuhan sampai masa pengisian polong. Kekeringan pada waktu pertumbuhan vegetatif dapat menyebabkan tanaman akan tumbuh kerdil, sedangkan kekeringan pada saat berbunga dan saat pengisian polong dapat menurunkan hasil (Sumarno 1984).

Penggunaan lahan untuk perkebunan pada DAS Krueng Peutoe umumnya ditanami dengan jenis tanaman : pinang, kakao, sebagian kopi dan karet dan kelapa sawit yang sebagian besar dikelola oleh perkebunan PTPN- I kebun Cot Girek.

Potensi perkebunan di Aceh Utara cukup menggembirakan terutama yang berada di wilayah pedalaman dan wilayah pengembangan. Permasalahan yang dihadapi saat ini justru sumber daya manusia petani, serta terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki sebagai penunjang pembinaan operasional lapangan.

Dalam rangka mendorong ekspor dan memenuhi kebutuhan industri dalam negeri, pengembangan komoditas perkebunan ke depan khususnya di kabupaten Aceh Utara terus ditingkatkan dengan mengarahkan kepada pemanfaatan lahan marginal, seperti lahan kering yang memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan perkebunan rakyat dan perkebunan swasta. Kendala yang dihadapi pada lahan marginal, yaitu lahan yang memiliki faktor pembatas fisik yang berkaitan dengan bentuk wilayah dan karakteristik tanah dan faktor kimia yang cukup berat bagi pertumbuhan kelapa sawit. Pelaksanaannya dapat ditempuh melalui upaya peningkatan produksi dengan (1) membuka areal baru dan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia, (2) peremajaan, yaitu pergantian tanaman tua, rusak dan tidak produktif dengan tanaman baru yang memiliki potensi produksi lebih tinggi, (3) rehabilitasi tanaman, yaitu yang mengarah kepada upaya pemulihan kemampuan produksi agar tanaman mampu menghasilkan sesuai dengan standar produksi pada umur tertentu, (4) perbaikan mutu hasil dan (5) penganekaragaman serta pemanfaatan lahan transmigrasi pola perkebunan. Ini semua harus diikuti dengan tindakan konservasi tanah agar mendapatkan produksi yang optimal dan berkelanjutan.

Perkebunan Kelapa Sawit Cot Girek, yang berlokasi di Kecamatan Cot Girek, merupakan unit usaha dari kebun PTP Nusantara – I memiliki HGU 7.500 ha. Dari luasan tersebut areal yang efektif berproduksi hanya seluas 5.663 ha, yaitu pada areal kebun plasma (PIR lokal). Pada awal dibukanya perkebunan PTPN- I Cot Girek kebun ini ditanami dengan tanaman tebu, dan pada saat ini tanamannya sudah dialihkan ke tanaman kelapa sawit. Peralihan tanaman tebu ke tanaman kelapa sawit dimulai pada tahun 1986 dengan penanaman awal seluas 500 ha dan penanam terakhir pada tahun 1991 seluas 1.000 ha, dan direncanakan untuk tahun 2006 akan dilakukan penanaman kelapa sawit seluas 1.000 ha.

Tanaman pinang hampir dijumpai di seluruh kecamatan. Hampir semua kepala keluarga menanam tanaman pinang. Saat ini di Aceh Utara luas areal yang ditanami pinang adalah 12.639 ha, dimana tanaman yang telah menghasilkan 9.152 ha, dan tanaman yang belum menghasilkan adalah 3.457 ha. Produksi tanaman pinang tahun 2003 adalah 7.158 ton (Dinas Infokom Kabupaten Aceh Utara 2005).

Tanaman kakao saat ini mulai banyak ditana mi, termasuk di Kecamatan Cot Girek, Matang Kuli dan Lhoksukon. Hal ini terkait dengan salah satu program terpadu pemerintah kabupaten Aceh Utara tahun 2005 yaitu program Massal Coklatisasi. Program ini diterapkan oleh beberapa alasan, yaitu (1) produksi migas di Aceh Utara yang semakin hari semakin berkurang, (2) mata pencaharian masyarakat Aceh Utara yang bersumber pada sektor pertanian (dalam arti luas), (3) tersedianya sumber daya alam dalam bentuk lahan- lahan yang subur yang belum dimanfaatkan secara optimal (4) memanfaatkan sumberdaya manusia yang potensial melalui penciptaan lapangan kerja terutama para pemuda di pedesaan yang nantinya dapat menekan angka pengangguran di pedesaan serta (5) komoditi kakao merupakan komoditi ekspor yang cepat mengha silkan (2-3 tahun) dan dapat dikembangkan pada semua jenis lahan.

Penggunaan lahan untuk semak belukar didominasi oleh alang-alang dan tegakan pohon. Lahan ini berkembang pada lahan yang ditelantarkan akibat penebangan hutan, perladangan berpindah dan sebab-sebab lainnya. Areal ini cukup berpotensi untuk dikembangkan sebagai areal pertanian. Kendala yang dihadapi adalah tingkat kesuburan tanah yang rendah. Sedangkan penggunaan

lahan untuk hutan masih berupa hutan alami yang tertutup oleh berbagai jenis semak dan serasah. Untuk lebih jelasnya penggunaan lahan dan jenis tutupan lahan secara keseluruhan di DAS Krueng Petutoe dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Jenis Penutupan Lahan dan Jenis Tanaman pada Lokasi Pengamatan Di

DAS Krueng Peuto

No. Penggunaan Jenis Jenis Tanaman Lahan Tutupan Lahan

1. Kebun Campuran Tanaman semusim Jagung, kc.kedelai, cabe, kc. tanah, dan tahunan kc.panjang, kakao, pinang.

2. Perkebunan Tanaman tahunan Kelapa sawit, kakao, dan Pinang 3. Semak belukar Semak belukar Alang-alang dan tegakan Pohon

campuran

4. Hutan Hutan alami Hutan alami

Hasil tumpang tindih (overlay) peta penggunaan tanah (Lampiran 2), peta topografi (Lampiran 3) dan peta jenis tanah (Lampiran 4) diperoleh 17 satuan lahan homogen (SLH) (Lampiran 5). Sebanyak 14 SLH dijadikan sebagai lokasi pengamatan intensif, yaitu kebun campuran SLH 14, 15, 16, 17 seluas 11.620 Ha (56,5%), perkebunan SLH 8, 9, 10, 12 seluas 4.294 Ha (20, 9%), semak belukar SLH 6, 7 seluas 1.987 Ha (9,7%) dan hutan SLH 1, 3, 4, 5 seluas 2.653 Ha (12,9%). Luasan satuan lahan homogen untuk masing- masing penggunaan lahan tersebut disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Luas Satuan Lahan Homogen pada Masing- masing Penggunaan Lahan

yang Menjadi Lokasi Pengamatan Intensif Di DAS Krueng Peutoe

L u a s

No. Penggunaan Lahan Satuan Lahan Homogen

(SLH) Ha % 1. Kebun Campuran 14, 15, 16, 17 11.620 56,5 2. Perkebunan 08, 09, 10, 12 4.294 20,9 3. Semak Belukar 06, 07 1.987 9,7 4. Hutan 01, 03, 04, 05 2.653 12,9 J u m l a h 20.554 100,0 Sumber : Hasil Analisis Peta

Berdasarkan pengamatan di lapang, pengelolaan lahan yang dilakukan oleh petani di lokasi penelitian umumnya belum menerapkan teknik konservasi tanah.

Hal ini dapat dilihat dari penanaman yang terus menerus tanpa dibera, penanaman yang tidak diikuti dengan/tanpa dilakukan pemupukan dan juga dijumpai lahan yang tidak diusahakan (diterlantarkan). Areal ini tadinya diusahakan untuk tanaman padi dengan mengandalkan airnya dari curah hujan dan lahan ini sudah dibiarkan begitu saja sejak bulan april 2005. Lahan yang dibiarkan terbuka tanpa ditanami dengan tanaman penutup tanah bisa mengakibatkan terjadinya erosi, karena tumbukan dari butir-butir hujan akan menghanyutkan partikel-partikel tanah.

Erosi tanah merupakan proses yang berlangsung terus-menerus dan sulit untuk dicegah secara keseluruhan yang mengakibatkan semakin tipisnya lapisan tanah bagian atas yang nantinya dapat menurunkan kesuburan tanah. Perubahan yang terjadi dengan terjadinya erosi tanah adalah : menurunnya sifat kimia tanah seperti kehilangan unsur hara dan bahan organik, menurunnya kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air dan akhirnya terjadinya penurunan produksi.

Klasifikasi Kemampuan dan Evaluasi Penggunaan Lahan

Evaluasi kemampuan lahan dimaksudkan untuk mengetahui kesesuaian antara penggunaan lahan dengan kemampuan tanah, karena bila suatu penggunaan lahan tidak sesuai dengan kemampuannya maka akan terjadi degradasi lahan. Demikian pula bila penggunaan lahan untuk pertanian tidak disertai dengan tindakan pengelolaan lahan yang baik, maka akan menimbulkan permasalahan erosi pada lahan pertanian tersebut.

Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang digunakan adalah yang dikeluarkan oleh USDA yang membagi lahan ke dalam sejumlah kategori-kategori menurut faktor penghambat terhadap pertumbuhan tanaman, terutama faktor- faktor pembatas permanen : kedalaman efektif, lereng, drainase dan erosi (Lampiran 13) yang selanjutnya akan dikelompokkan kedalam kelas-kelas tertentu.

Penentuan kelas lahan dengan menggunakan sistem klasifikasi kemampuan lahan, ditentukan dari penilaian kelas lahan terburuk dan penghambat terberat. Sebagai contoh bila seluruh parameter menunjukkan kelas II tetapi salah satu parameter menunjukkan kelas V, maka areal tersebut termasuk dalam kelas V.

Penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuannya merupakan salah satu tindakan konservasi yang akan menjamin kelestarian sumberdaya lahan, sebaliknya jika penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya maka akan mempercepat terjadinya degradasi lahan yang pada akhirnya lahan akan semakin kritis.

Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian penggunaan lahan di DAS Krueng Peutoe untuk berbagai penggunaan lahan dengan berpedoman pada kelas

kemampuan lahan menurut Klingebiel dan Montgomery (1973 dalam Arsyad

2000), maka di lokasi penelitian didapat kelas kemampuan lahan II, III, VI dan VII dengan faktor pembatas utama berupa lereng (l), dan erosi (e). Kelas kemampuan lahan untuk penggunanan lahan kebun campuran dijumpai pada kelas II, III, VI dan VII, untuk penggunaan lahan perkebunan dijumpai pada kelas II, III dan VI, untuk penggunaan lahan semak belukar dijumpai pada kelas VI dan untuk penggunaan lahan hutan dijumpai pada kelas III dan VI. Untuk lebih jelasnya hasil evaluasi kemampuan lahan dapat dilihat pada Tabel 14 dan Lampiran 14.

Dilihat dari kriteria kemampuan lahan, bahwa lahan yang termasuk kedalam kelas II (SLH 10, 15) sesuai untuk lahan garapan pertanian terbatas sampai dengan intensif. Faktor penghambat yang dijumpai pada kelas ini adalah lereng. Dilihat dari faktor penghambat yang masih ringan, maka agar lahan ini dapat digunakan secara lestari, diperlukan tindakan konservasi sedang, seperti pengolahan tanah menurut kontur, pergiliran tanaman dengan penutup tanah, pembuatan guludan dan pemupukan.

Lahan yang masuk ke dalam kelas III (SLH 1, 5, 9, 12 dan 16) sesuai untuk lahan garapan pertanian terbatas sampai dengan sedang, dengan faktor pembatas lereng dan erosi. Penggunaan lahan pada kelas III masih dapat dipertahankan untuk pertanian sedang. Tindakan konservasi yang perlu dilakukan adalah dengan pembuatan teras, penanaman dalam strip dan pergiliran tanaman dengan tanaman penutup tanah agar nantinya dapat menjaga kelestarian penggunaan lahan untuk menunjang kehidupan dan kesejahteraan masa depan petani dan keluarganya.

Tabel 14. Hasil Evaluasi Kemampuan Lahan pada Kebun Campuran, Perkebunan, Semak Belukar dan Hutan.

KKL FPPL Sub SLH Penggunaan Lahan EPL L U A S Arahan Penggunaan Lahan Kelas Ha % Menurut Kelas Kemampuan

II L1 II L1 15 Kebun campuran sesuai 3.951 19,2 Lahan garapan pertanian intensif untuk

kebun campuran

10 Perkebunan sesuai 1.709 8,3 Lahan garapan pertanian intensif untuk perkebunan

III L2, e2 III L2,e2 16 Kebun campuran sesuai 4.350 21,1 Lahan garapan pertanian sedang untuk

kebun campuran

III L2 9, 12 Perkebunan sesuai 2.521 12,3 Lahan garapan pertanian sedang untuk

perkebunan

1, 5 Hutan sesuai 414 2,0 Lahan garapan pertanian sedang untuk

hutan

VI L4 VI L4 14 Kebun campuran tdk sesuai 2.634 12,8 Lahan penggembalaan sedang untuk agroforestry

8 Perkebunan tdk sesuai 64 0,3 Lahan penggembalaan sedang untuk

agroforestry

3, 4 Hutan sesuai 2.239 10,9 Lahan penggembalaan sedang untuk

hutan

6, 7 Semak Belukar tdk sesuai 1.987 9,7 Lahan penggembalaan sedang untuk

padang pengembalaan

VII L5 VII L5 17 Kebun campuran tdk sesuai 685 3,3 Lahan penggembalaan terbatas untuk

agroforestry

Lahan yang masuk ke dalam kelas VI (SLH 3, 4, 6. 7, 8, 14 ) memiliki faktor pembatas lereng yang agak curam. Tanah kelas ini menurut kriteria kemampuan lahan lebih sesuai untuk penggembalaan terbatas sampai dengan sedang. Akan tetapi bila digunakan untuk lahan pertanian (SLH 8 dan 14) diperlukan tindakan konservasi dengan metode pencegahan erosi yang berat seperti pembuatan teras bangku dan kombinasi metode vegetatif.

Lahan yang masuk ke dalam kelas VII (SLH 17) dengan kelerengan yang curam memiliki keterbatasan dalam penggunaannya. Lahan kelas ini lebih sesuai digunakan untuk penggembalaan terbatas, agroforestry, hutan produksi untuk pencegahan erosi atau untuk hutan lindung.

Hasil penilaian penggunaan lahan di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan lahan di lokasi penelitian yang sesuai digunakan untuk lahan garapan pertanian adalah pada SLH 10, 15 yang memiliki topografi datar (lereng 0 – 8%) dan pada SLH 1, 5, 9, 12, 16 dengan topografi bergelombang (lereng 8 – 15%).

Untuk SLH 3, 4, 6, 7, 8, 14 dengan topografi berbukit (lereng 25 – 45%) berdasarkan kriteria klasifikasi kemampuan lahan sebaiknya digunakan untuk penggembalaan dan bila digunakan untuk lahan garapan pertanian (SLH 8 dan 14), maka harus dilakukan tindakan konservasi tanah dengan metode pencegahan erosi yang berat seperti pembuatan teras bangku dan kombinasi metode vegetatif.

Pada SLH 17 yang mempunyai topografi curam (lereng > 45%) disarankan untuk digunakan sebagai padang penggembalaan terbatas, termasuk agroforestry sesuai dengan kelas kemampuan lahannya.

Evaluasi Pola Tanam dan Agroteknologi

Penerapan evaluasi pola tanam dan agroteknologi pada satuan lahan homogen pewakil yang dijadikan sebagai lokasi pengamatan intensif perlu dilakukan untuk mengetahui kesesuaiannya dalam penggunaan lahan, pengelolaan tanaman dan teknik konservasi yang akan diterapkan. Persyaratan penggunaan lahan dan persyaratan tumbuh bagi tanaman menjadi penting karena penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan harus sesuai dengan daya dukungnya agar dapat tercipta suatu pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Usahatani dikatakan berkelanjutan bila penggunaan lahannya telah sesuai dengan kemampuan lahan, nilai prediksi erosi lebih kecil atau sama dengan erosi yang

dapat ditoleransikan (ETol) dan usahatani yang diterapkan memberikan hasil yang menguntungkan bagi petani.

Hasil pengamatan di lapangan, pola tanam yang diterapkan oleh petani selama ini adalah pola tanam yang berubah-ubah, karena petani setempat selalu mengikuti pola curah hujan.

Pola tanam yang diterapkan oleh petani untuk kebun campuran dan perkebunan (diluar perkebunan PTPN-I Cot Girek) yang diterapkan pada DAS Krueng Peutoe adalah pola tanam yang tetap, dan hanya sebagian dari petani yang telah melakukan perubahan pola tanam dengan memperhatikan kondisi pasar.

Penanaman tanaman semusim yang biasa dilakukan oleh petani yaitu kacang kedelai, jagung, cabai, kacang tanah dan kacang panjang. Sedangkan tanaman tahunan yang umumnya dibudidayakan oleh petani adalah tanaman pinang, kelapa, kelapa sawit dan kakao (baru tahap awal penanaman, diluar dari areal perkebunan).

Penanaman tanaman musiman yang seharusnya ditanam dua kali dalam setahun, ternyata petani setempat hanya melakukan penanamannya satu kali dalam setahun. Lahan yang ada sering diterlantarkan begitu saja, karena petani setempat selalu mengikuti pola curah hujan dalam penentuan pola tanamnya dan banyaknya hama yang tidak dapat dijangkau oleh petani setempat.

Program pembangunan irigasi merupakan program yang sangat mendukung pembangunan pertanian secara menyeluruh, karena dengan berfungsinya sarana irigasi, petani setempat dapat melakukan penanaman padi dua kali dalam satu tahun sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Dilihat dari luasan areal persawahan, saat ini di Aceh Utara terdapat lebih kurang 40.000 ha sawah yang diterlantarkan akibat tidak berfungsinya sarana irigasi, sedangkan di lokasi penelitian terdapat lebih kurang 850 ha lahan persawahan yang tidak diusahakan.

Penerapan pola tanam pada kebun campuran umumnya juga tidak teratur, dimana penanaman tanaman sampingan disisipkan diantara tanaman utama. Pola tanam aktual untuk kebun campuran dan perkebunan yang diterapkan di DAS Krueng Peutoe dapat dilihat pada Tabel 15. Pola tanam ini merupakan pola tanam yang diterapkan langsung oleh petani setempat dan hanya sebagian dari petani yang melakukan perubahan pola tanam dengan melihat kondisi pasar dan

kebutuhan petani itu sendiri, walaupun perubahan pola tanam ini tidak mungkin dilakukan (hama yang begitu besar).

Tabel 15. Pola Tanam Aktual pada Kebun Campuran dan Perkebunan pada Lokasi Pengamatan Intensif Di DAS Krueng Peutoe.

No. SLH Pola Tanam KPT

Kebun Campuran

1. 14, 15 dan 17 Tanaman tahunan dan tanaman pangan A

2. 16 Padi dan tanaman pangan B

Perkebunan

3. 8, 9, 10, 12 Tanaman tahunan C

Semak Belukar

4. 6, 7 Anakan dan tegakan pohon D

Hutan

5. 1, 3, 4, 5 Hutan Alami E

Keterangan : KPT = Kode Pola Tanam; SLH = Satuan Lahan Homogen

Melihat dari keberadaan perkebunan kelapa sawit PTPN-I yang berada disekitar lokasi, maka pada umumnya petani setempat lebih memilih untuk bekerja sebagai tenaga harian di perkebunan PTPN-I dengan upah harian rata-rata Rp 12.000 per hari nya.

Pemilihan agroteknologi untuk setiap satuan lahan homogen diperoleh melalui simulasi dengan menggunakan model USLE (Wischmeier dan Smith 1978). Nilai A (prediksi erosi) didapat berdasarkan nilai faktor R, K, L dan S yang diukur di lapang pada setiap satuan lahan homogen sedangkan agroteknologi dapat ditentukan dengan mensimulasi nilai faktor C (pengelolaan tanaman) dan nilai faktor P (tindakan konservasi) saja.

Pemilihan agroteknologi didahului dengan inventarisasi agroteknologi yang sudah ada dan agroteknologi lain yang sesuai dengan kapasitas dan keinginan masyarakat di lokasi DAS Krueng Peutoe. Adapun kriteria yang digunakan untuk menetapkan nilai CP maksimum yang akan dijadikan alternatif agroteknologi adalah nilai CP yang me ngakibatkan erosi lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransikan (ETol).

Prediksi Erosi

Pendugaan erosi di DAS Krueng Peutoe dianalisis pada setiap titik contoh yang terdapat pada masing- masing satuan lahan homogen (SLH) yang menggunakan beberapa nilai parameter dengan menggunakan persamaan USLE.

Parameter-parameter yang ditentukan dalam perhitungan erosi adalah erosivitas hujan (R), erodibilitas tanah (K), lereng (LS), pengelolaan tanaman (C) dan pengelolaan tanah (P). Hasil perhitungan dan pengamatan menunjukkan bahwa nilai parameter setiap titik contoh pada masing- masing satuan lahan homogen menunjukkan bahwa nilai erosi yang sangat bervariasi.

Produksi pertanian yang cukup tinggi secara terus menerus dapat dipertahankan apabila erosi pada masing- masing satuan lahan homogen (SLH) tersebut lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan (ETol), dan bila erosi lebih besar dari ETol maka produktivitas lahan akan segera menurun, sehingga produksi yang tinggi hanya dapat dipertahankan beberapa tahun saja yang akhirnya lahan pertanian tersebut menjadi tidak produktif atau bahkan menjadi lahan kritis.

Faktor iklim terpenting yang menyebabkan terdispersinya agregat tanah, aliran permukaan dan erosi adalah hujan. Air hujan yang jatuh menimpa tanah-tanah yang terbuka akan menyebabkan tanah-tanah terdispersi dan sebagian dari air hujan yang jatuh tersebut akan mengalir di atas permukaan tanah. Nilai erosivitas hujan (R) dihitung berdasarkan data curah hujan sepuluh tahunan di DAS Krueng Peutoe (Lampiran 15), dikarenakan tidak adanya data hujan harian dari penangkar otomatik maka untuk menghitung nilai erosivitas hujan ditentukan berdasarkan persamaan Lenvain (1975 dalam Asdak 1995) :

EI30 = 2,21 (CHm)1,36 dimana :

EI30 = Intensitas hujan maksimum 30 menit (CHm) = Curah hujan bulanan

Besarnya faktor erosivitas hujan (R) merupakan penjumlahan nilai- nilai indeks erosi hujan bulanandan dihitung dengan persamaan berikut :

12

R = S EI30 i R = faktor erosivitas hujan i=1

dari hasil perhitungan didapat nilai erosivitas hujan sebesar 756,56 cm.

Erodibilitas tanah (K) merupakan ukuran kepekaan tanah tererosi oleh air. Nilai erodibilitas tanah sangat dipengaruhi oleh tekstur, kandungan bahan organik, permeabilitas dan kemantapan struktur tanah (Lampiran 16). Hasil perhitungan untuk masing- masing unit lahan yang dijadikan sebagai lokasi pengamatan disajikan pada Lampiran 17.

Faktor panjang lereng (L) dan faktor kemiringan lereng (S) dapat dihitung secara terpisah atau dihitung sekaligus sebagai faktor LS. Kedua unsur topografi tersebut (nilai LS) sangat mempengaruhi erosi dan aliran permukaan. Panjang lereng (L) merupakan jarak dari titik awal aliran sampai titik dimana mulai ada pengedapan atau aliran permukaan masuk ke saluran. Makin panjang lereng permukaan tanah, makin tinggi potensial erosi karena akumulasi air aliran permukaan semakin tinggi. Kemiringan lereng (S) sangat berpengaruh terhadap aliran permukaan, dimana makin curam lereng maka kecepatan aliran permukaan semakin besar, dan jumlah butir-butir tanah yang terpercik ke atas oleh tumbukan butiran hujan juga semakin banyak. Hasil perhitungan nilai LS untuk masing-masing unit lahan pada lokasi pengamatan intensif disajikan pada Lampiran 18.

Nilai C dan P ditentukan berdasarkan hasil pengamatan terhadap pola tanam dan tindakan konservasi dalam mengelola lahannya yang diterapkan oleh petani di lapangan dengan berpedoman pada hasil penelitian nilai C dan CP yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu (Lampiran 8 dan 9). Faktor C dan P merupakan bagian dari penyebab erosi yang sangat dekat dengan aktifitas manusia dan faktor inilah yang mungkin dapat dirubah ataupun diperbaiki.

Nilai C merupakan besaran yang menunjukkan perbandingan antara tanah yang hilang akibat erosi per satuan luas dari lahan yang ditanamai dengan sistem pengelolaan tertentu dengan tanah yang hilang. Efektifitas tanaman penutup tanah dalam mengurangi laju erosi tergantung pada ketinggian, kerapatan tanaman

Dokumen terkait