• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Pengkajian 4.1.1. Kabupaten Pidie Jaya

Kabupaten Pidie Jaya adalah salah satu kabupaten yang baru terbentuk berada dalam wilayah pemerintah Aceh dengan ibu kota kabupaten Meureudu. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang – Undang No 7 tahun 2007, pada tanggal 2 Januari 2007. Kabupaten ini terdiri dari 8 (delapan) kecamatan, yaitu: Bandar Baru, Pante Raja, Trieng Gadeng, Meureudu, Meurah Dua, Ulim, Jangka Buya, dan Kecamatan Bandar Dua. Secara keseluruhan wilayah kabupaten pidie Jaya memiliki luas 1.162,85 KM2, dengan wilayah yang terluas di Kecamatan Meurah Dua dan Bandar Baru , masing – masing luas 25,13%, dan 24,19%. Batas wilayahnya adalah:

o Sebelah utara berbatasan langsung dengan selat Malaka, o Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bireuen,

o Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pidie (Kecamatan Tangse, Kecamatan Geumpang , dan Kacematan Mane),

o Sebelah barat juga berbatasan dengan Kabupaten Pidie (Kecamatan Geulumpang Tiga, Kercamatan Geulumpang Baro dan kecamatan Kembang Tanjong)

Kabupaten Pidie Jaya termasuk kedalam wilayah beriklim tropis basah, temperatur berkisat dari suhu minimum 190 – 220 sampai suhu maksimum 300- 350. Merupakan daerah dataran tinggi yang memiliki daerah kelas lereng yang lebih besar dari 40 % dan daerah pesisir pantai yang memiliki klasifikasi lereng 0 – 3 %, dengan jenis tanah dominan podsolit merah kuning.

Kabupaten Pidie Jaya menurut kelas ketinggiannya bervariasi antara 0 – 1500m dpl. Kondisi fisik dataran dengan ketinggian yang relatif rendah berada di sebelah utara dengan kemiringan lereng yang cenderung landai antara 0 -25 %, yaitu sebesar 28,33 %. Sedangakan dataran dengan ketinggian relatif tinggi berada di selatan dengan kemiringan lereng antara 25 -> 40 %.

Penggunaan lahan di Kabupaten Pidie Jaya yang terluas diperuntukkan untuk pemukiman dan pertanian/perkebunan (21.74%), dengan rincian sawah 7.997 Ha, Perkebunan 8.644 Ha, Pekarangan 8.640 ha, sisanya adalah hutan lebat/lindung dan lainnya sebagai kawasan non budidaya.

1. Kecamatan Bandar Baru

Kecamatan Bandar Baru terletak pada ketinggian 0 – 250 m dpl, dengan luas wilayah 240 km2 dan jumlah penduduk 31.529 jiwa, terdiri dari 14.855 jiwa laki-laki dan 16.674 wanita. Lahan pertanian yang diusahakan oleh masyarakat mencapai 8.573 ha, yang terdiri dari lahan sawah irigasi semi teknis 705 ha, sawah irigasi pedesaan 763 ha, lahan tegalan 1.349 ha, lahan kebun 3.696 ha, lahan pekarangan 1.113 ha dan tambak mencapai 950 ha.

Lahan sawah dimanfaatkan untuk bercocok tanam padi, palawija dan hortikultura. Lahan tegalan umumnya dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan yang ditumpangsarikan dengan tanaman palawija. Pekarangan banyak dimanfaatkan untuk bertanaman buah-buahan, tanaman sayuran juga beternak unggas.

12   tanaman pangan khususnya padi dan kedelai. Desa yang mayoritas masyarakatnya bertanam kedelai adalah Desa Musa dan Desa Jiem-Jiem. Kedua desa ini merupakan sentral produksi kedelai untuk Kabupaten Pidie Jaya. Oleh karena itu Dinas/Instansi terkait lainnya menjadikan desa tersebut sebagai sasaran inovasi teknologi PTT kedelai.

1. Desa Teungoh Musa

Desa Teungoh Musa

merupakan sebuah desa yang berjarak 2 km dari ibukota kecamatan dan 16 km dari kabupaten. Desa ini didiami oleh 1191 jiwa penduduk yang terbagi atas 314 KK dimana 260 diantaranya adalah KK tani. Desa ini hanya memiliki 35 ha sawah tadah hujan, 63 ha perkebunan, 12 ha pekarangan, 15 ha tegalan dan 18 ha tambak.

2. Desa Jiem-Jiem

Desa Jiem-Jiem merupakan sebuah desa yang berjarak 7 km dari ibukota kecamatan dan 25 km dari kabupaten. Desa ini didiami oleh 520 jiwa penduduk yang terbagi atas 149 KK dimana 125 diantaranya adalah KK tani. Desa ini memiliki 26 ha sawah irigasi setengah teknis, 224 ha perkebunan, 12 ha pekarangan dan 22 ha tegalan.

2. Kecamatan Ulim

Kecamatan Ulim terletak pada ketinggian 12 – 45 m dpl, dengan luas wilayah kecamatan 4.4 km2, meliputi 30 desa dengan 5 kemukiman. Jumlah penduduk 13.276 jiwa, terdiri dari 6.638 jiwa laki-laki dan 6.638 wanita, terbagi atas 3.419 KK, 2.418 KK diantaranya adalah keluarga tani. Lahan pertanian yang diusahakan oleh masyarakat terdiri dari; sawah berpengairan setengah teknis 935 ha, kebun/tegalan 464 ha dan pekarangan 212 ha.

Lahan sawah dimanfaatkan untuk bercocok tanam padi, palawija dan hortikultura. Lahan tegalan umumnya dimanfaatkan untuk tanaman

perkebunan yang ditumpangsarikan dengan tanaman palawija. Pekarangan banyak dimanfaatkan untuk bertanaman buah-buahan, tanaman sayuran juga beternak unggas.

Mata pencaharian penduduk 75% adalah bertani dengan pilihan komoditi tanaman pangan khususnya padi dan kedelai. Desa yang mayoritas masyarakatnya bertanam kedelai adalah Desa Cot Seuti dan Blang Rheu . Kedua desa ini merupakan sentral produksi kedelai untuk kecamatan Ulim. Oleh karena itu Dinas/Instansi terkait lainnya menjadikan desa tersebut sebagai sasaran inovasi teknologi PTT kedelai.

a. Desa Cot Seutui

Cot seutui merupakan sebuah desa yang berjarak 11,5 km dari ibukota kecamatan dan 17,5 km dari kabupaten. Desa ini dihuni oleh 268 jiwa, terdiri dari 127 jiwa laki-laki dan 141 jiwa perempuan, yang bagi atas 62 KK, 60 KK diantaranya adalah KK tani.

Desa ini memiliki 23 ha sawah beririgasi setengah teknis, 70 ha lahan tegalan dan 5 ha lahan pekarangan. Desa ini memiliki 1 kelompok tani dengan jumlah anggota 30 orang.

b. Desa Blang Rheu

Blang Rhe merupakan sebuah desa yang berjarak 12 km dari ibukota kecamatan dan 18 km dari kabupaten. Desa ini dihuni oleh 157 jiwa, terdiri dari 78 jiwa laki-laki dan 79 jiwa perempuan, yang bagi atas 38 KK, 32 KK diantaranya adalah KK tani.

Desa ini memiliki 13 ha sawah beririgasi setengah teknis, 70 ha lahan tegalan dan 5 ha lahan pekarangan. Desa ini memiliki 1 kelompok tani dengan jumlah anggota 46 orang.

14  

4.1.2. Kabupaten Bireuen

Kabupaten Bireuen merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan luas wilayah 190.121 km2. Kabupaten Bireuen terletak pada garis 4º54’ - 5º18’ Lintang Utara dan 96º20 - 97º21 Bujur Timur, dengan batas wilayah :

o Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka

o Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tengah o Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pidie

o Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Utara

Kabupaten Bireuen topografi wilayahnya terdiri dari; dataran rendah (0-15%) dibagian pantai utara dan bagian tengah daerah, sedangkan bagian selatan sampai ke Bukit Barisan merupakan daerah bergelombang dengan ketinggian mencapai 450 m dpl (15%).

Kabupaten Bireuen mempunyai beberapa jenis tanah, antara lain; aluvial, podsolid, latosol, hidromorf, dengan tingkat kemiringan yang berbeda-beda. Daerah yang mempunyai lereng tertinggi adalah 45%, sedangkan daerah yang tingkat kemiringannya 0 – 15% merupakan daerah yang paling luas. Kabupaten Bireuen tergolong daerah beriklim basah. Dengan curah hujan rata-rata berkisar antara 1.105,6 mm – 4.073 mm.

1. Kecamatan Peudada

Kecamatan Peudada adalah salah satu wilayah penghasil kedelai di Kabupaten Bireuen. Luas wilayah Peudada mencapai 38.914 ha, dengan jumlah penduduk 31.105 jiwa, yang terdiri dari 14.976 jiwa laki-laki dan 16.129 jiwa perempuan. Mata pencaharian masyarakat umumnya adalah bertani membudidayakan tanaman pangan utama, yaitu padi dan kedelai. Total luas tanah pertanian yang diusahakan oleh masyarakat di Kecamatan Peudada mencapai 20.176 ha, yang terdiri dari lahan tegalan 15.341 ha, pekarangan 2.391 ha, sawah yang beirigasi setengah teknis 1.019 ha dan tadah hujan 2.158 ha. Ditambah sengan kolam 6 ha dan tambak 290 ha. Kepopuleran Peudada sebagai salah satu pemasok kedelai nasional sejak tahun 80-an tidak diragukan lagi. 2 desa yang

menjadi lumbung kedelai dan juga sasaran teknologi SL-PTT kedelai dalam tiga tahun terakhir adalah Desa Ara Bungong dan Desa Blang Paya.

a. Desa Ara Bungong

Ara Bungong merupakan sebuah desa yang berjarak 2 km dari ibukota kecamatan dan 17 km dari kabupaten. Desa yang luas wilayahnya mencapai 3.150 ha berpenduduk 628 jiwa, terdiri dari 263 jiwa laki-laki dan 365 perempuan yang terbagi atas 3 dusun.

Dari luas wilayah tersebut 230 ha merupakan lahan pertanian yang terdiri dari tegalan 200 ha dan pekarangan 30 ha. Hal tersebut menunjukkan bahwa mayoritas penduduknya bermata pencaharian petani dengan mengandalkan tegalan untuk bercocok tanam tanaman khususnya kedelai. Desa ini memiliki Kelompok Tani yang bernama Batee Kureng dengan usahatani pokok adalah tanaman kedelai. Kelompok Tani ini beranggotakan 30 orang petani.

b. Desa Blang Beururu

Desa Blang Beururu merupakan sebuah desa yang berjarak 0,7 km dari ibukota kecamatan dan 18 km dari kabupaten. Desa yang luas wilayahnya mencapai 3.002 ha berpenduduk 209 jiwa, terdiri dari 102 jiwa laki-laki dan 107 perempuan yang terbagi atas 2 dusun dan 58 KK

Desa ini tidak meiliki sawah, dari luas wilayah tersebut semua merupakan lahan tegalan, hanya 2 ha saja merupakan lahan pekarangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa mayoritas penduduknya bermata pencaharian petani dengan mengandalkan tegalan untuk bercocok tanam tanaman khususnya kedelai. Desa ini memiliki Kelompok Tani yang bernama Hudep Beusare dengan usahatani pokok adalah tanaman kedelai. Kelompok Tani ini beranggotakan 47 orang petani.

2. Kecamatan Peulimbang

Selain Kecamatan Peudada, Kecamatan Peulimbang juga merupakan salah satu wilayah pemasok kedelai di Kabupaten Bireuen. Luas wilayah Kecamatan Peulimbang 9.523 ha dan jumlah penduduk 11.311 jiwa terdiri dari 5.481 jiwa

laki-16   laki dan 5.830 jiwa perempuan. Status pekerjaan 2.141 orang menekuni bidang usaha bercocok tanam tanaman pangan dan hortikultura. Hal ini didukung oleh luas lahan yang dipergunakan untuk lahan pertanian 3.780 ha, yang terbagi atas; lahan tegalan 1.533 ha, pekarangan 993 ha, sawah yang beirigasi teknis 585 ha, setengah teknis 210 ha, tersier 14 ha, sawah tadah hujan 313 ha, kolam 0,5 ha dan tambak 135 ha. 2 desa yang menjadi lumbung kedelai dan juga sasaran teknologi SL-PTT kedelai dalam tiga tahun terakhir adalah Desa Hagu dan Desa Garap Barat dan Balee Daka.

a. Desa Garap Barat

Desa Garap Barat memiliki luas wilayah 699 ha, yang berjarak 7 km dari kecamatan dan 30 km dari kabupaten dengan jumlah dusun 3 buah. Dari luas wilayah tersebut 327 ha merupakan lahan pertanian yang terdiri dari tegalan 229 ha, pekarangan 56 ha dan sawah tadah hujan 42 ha. Hal tersebut menunjukkan bahwa mayoritas penduduknya bermata pencaharian petani dengan mengandalkan tegalan untuk bercocok tanam tanaman khususnya kedelai. Desa ini memiliki 2 Kelompok Tani, yaitu; Alue Ceuraceuk dan Tani Sejahtera, dengan masing-masing jumlah anggota 68 orang dan 40 orang.

Desa ini didiami oleh 60 kk dengan jumlah penduduk 260 orang yang terdiri dari 139 jiwa laki-laki dan 121 perempuan, dengan tingkat pendidikan rata-rata hanya tamat sekolah dasar.

b. Desa Balee Daka

Balee Daka merupakan salah satu desa dalam wilayah Kecamatan Peulimbang yang berjarak 5 km dari kecamatan dan 25 km dari kabupaten dengan jumlah dusun 4 buah memiliki luas wilayah 3.181 ha. Dari luas wilayah tersebut 1.494 ha merupakan lahan pertanian yang terdiri dari 942 ha tegalan, 339 ha pekarangan, 25 ha sawah beririgasi setengah teknis dan 188 ha sawah tadah

hujan.

Desa ini didiami oleh 86 kk dengan jumlah penduduk 520 orang yang terdiri dari 220 jiwa laki-laki dan 300 perempuan, dengan tingkat pendidikan rata-rata hanya tamat sekolah dasar. Penduduknya bermata pencaharian petani. Desa ini hanya memiliki 1 Kelompok Tani, yaitu; Gunung Madu dengan jumlah anggota 103 orang.

4.2. Karakteristik Responden

Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi; umur, pendidikan formal, pengalaman berusahatani padi, jumlah anggota keluarga, dan luas lahan usahatani kedelai yang diusahakan. Penelitian terhadap 160 orang petani, tidak menunjukkan tingkat karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lain. Untuk lebih jelas data distribusi responden berdasarkan karakteristik dapat dilihat pada Tabel 1.

18   Tabel 1. Data distribusi responden berdasarkan karakteristik

Karakteristik Petani Kategori Jumlah Persentase

Umur < 30 thn 18 11.25 31 - 40 thn 47 29.375 41 - 50 thn 58 36.25 > 50 thn 37 23.125 Jumlah 160 100

Pendidikan formal Rendah (6 thn) 113 70.625

Sedang (9 thn) 36 22.5

Tinggi (> 9 thn) 11 6.875

Jumlah 160 100

Jumlah anggota kel Sedikit (< 3 org) 9 5.625

sedang (4 - 6 org) 134 83.75

Banyak (> 6 org ) 17 10.625

Jumlah 160 100

Pangalaman berusahatani Rendah (< 5 thn) 29 18.125

sedang (6 - 10 thn) 117 73.125

Tinggi (>10 thn) 14 8.75

Jumlah 160 100

Luas lahan usahatani kedelai Sempit (< 0,5 ha) 2 1.25

Sedang (0,6 - 1 ha) 133 83.125

Luas (> 1 ha) 25 15.625

Jumlah 160 100

1. Umur

Umur responden dihitung berdasarkan pengakuan saat penelitian dilakukan. Hasil analisis menunjukkan bahwa 29,375% usia responden termasuk dalam kategori dewasa (31-40th) dan 36,25% usia responden juga dikelompokkan masih dalam kategori dewasa (41-50th), sedangkan 23,125% responden termasuk dalam kategori usia tua ( > 55 th) dan 11,25% responden termasuk dalam kategori usia muda (< 30 th). Maka umur responden sebagian besar termasuk dalam kategori

usia produktif, yaitu pada kategori usia dewasa dapat digabungkan sekitar 65,625% responden berada pada kategori usia dewasa. Artinya bahwa pada umur tersebut responden mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Karena Petani yang Berumur dibawah 50 (lima puluh) tahun bisa digolongkan sebagai petani yang masih produktif dan responsive terhadap segala inovasi baru, disamping itu ia juga memiliki produktivitas yang tinggi dalam mengelola kelompok atau usahanya masing-masing. Maka dapat disimpulkan bahwa, tingkat umur atau usia merupakan salah satu faktor yang dapat diperhatikan dalam menentukan tingkat adopsi suatu teknologi pada seseorang petani. Hal ini menunjukkan bahwa adanya indikasi terhadap mudahnya suatu inovasi teknologi yang akan masuk ke daerah tersebut, tentunya hal ini mungkin saja dapat terjadi karena dengan umur produktif yang dimiliki petani akan memudahkan bagi seseorang dalam menerima suatu ilmu atau pengetahuan yang baru didengar atau didapatkannya.Maka dengan hal ini menunjukkan bahwa umur merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap individu atau internal seseorang petani didalam menerima atau mengadopsi suatu teknologi.

2. Pendidikan

Tingkat pendidikan petani akan sangat berpengaruh terhadap tingkat produktivitas dari suatu kelompok dan juga sangat berpengaruh terhadap adopsi suatu inovasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka tingkat adopsinya terhadap suatu inovasi akan semakin baik, dan juga akan semakin respon terhadap hal-hal yang baru. Dihitung dari lama responden menempuh pendidikan dibangku sekolah. Hasil analisis menunjukkan bahwa 70,625% responden menempuh pendidikan formal ≤ 6 tahun, dan 22,5% responden menempuh selama 7-9 tahun sedangkan 6,875% responden menempuh pendidikan formal lebih dari 9 tahun. Rendahnya tingkat pendidikan responden karena latar belakang sosial ekonomi, responden mengutamakan untuk memenuhi kebutuhan lain yang dianggap lebih penting dibandingkan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Responden beranggapan bahwa menguasai baca tulis dan berhitung sudah cukup, tanpa harus melanjutkan jenjang yang lebih tinggi. Tingkat pendidikan seseorang dapat

20   merubah pola pikir, daya penalaran yang lebih baik, sehingga makin lama seseorang mengenyam pendidikan akan semakin rasional. Secara umum petani yang berpendidikan tinggi akan lebih baik cara berfikirnya, sehingga memungkinkan mereka bertindak lebih rasional dalam mengelola usahataninya. Sebagaimana yang dinyatakan Soekartawi (1988) bahwa mereka yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi. Begitu pula sebaliknya, petani yang berpendidikan rendah agak sulit melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat (Suharyanto, dkk,. 2001). Dengan rata-rata tingkat pendidikan petani berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani dalam menerima suatu informasi atau ilmu dan teknologi berada pada tingkat pertengahan. Dimana perlu adanya penyuluhan secara intensif bagi petani kedelai dalam mendifusikan suatu teknologi hingga mencapai titik pengadopsian bagi mereka dalam menerima suatu teknologi baru.

3. Jumlah Anggota Keluarga

Jumlah anggota keluarga diukur dengan banyaknya jiwa dalam rumah tangga yang masih dalam tanggungan kepala keluarga. Sebanyak 5,625 % responden memiliki jumlah anggota keluarga ≤ 3 orang, sedangkan 83,75 % responden memiliki jumlah anggota keluarga 4 – 6 orang dan 10,625 % responden memiliki anggota keluarga ≥ 6 orang. Pengaruh jumlah anggota keluarga terhadap penerapan inovasi PTT kedelai bersifat ambigius. Di satu sisi jumlah anggota keluarga diharapkan sebagai sumber tenaga kerja untuk lahan usahatani kedelai. Pada sisi lain, oleh karena kebutuhan keluarga meningkat mengikuti jumlah tanggungan keluarga, maka curahan waktu untuk usahatani kedelai semakin sedikit karena kepala keluarga cenderung memperoleh sumber penghasilan atau pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dari usaha lain di luar usahatani kedelai. Maka hal ini menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga akan berhubungan dengan tingkat pemenuhan kebutuhan dalam keluarganya. Sehingga jumlah tenaga kerja dalam keluarga juga dapat berpengaruh terhadap adopsi inovasi, hal ini dikarenakan jumlah anggota keluarga memiliki hubungan dengan pendapatan yang diterima dalam satu keluarga tersebut. Soekartawi (1988)

dalam Suharyanto, dkk. (2001) menyatakan bahwa pendapatan usahatani yang tinggi seringkali ada hubungannya dengan tingkat difusi inovasi pertanian. Kemauan untuk melakukan percobaan atau perubahan dalam difusi inovasi pertanian yang cepat sesuai kondisi pertanian yang dimiliki oleh petani, maka umumnya hal ini menyebabkan pendapatan petani yang lebih tinggi. Dengan demikian petani akan kembali investasi kapital untuk adopsi inovasi selanjutnya. Sebaliknya banyak kenyataan yang menunjukkan bahwa para petani yang berpenghasilan rendah adalah lambat dalam melakukan adopsi inovasi. Maka hal ini menunjukkan adanya korelasi antara banyaknya jumlah anggota keluarga dengan tingkat pemenuhan kebutuhan dan juga akan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan yang diperoleh petani sehingga pada titik akhir akan menentukan keputusan mereka dalam mengadopsi inovasi teknologi baru yang akan mereka terima.

4. Pengalaman berusahatani kedelai

Pengalaman usahatani padi adalah lamanya responden mulai berusahatani kedelai dimana petani sebagai pengambil keputusan dalam mengelola usahatani kedelainya. Pengalaman usahatani kedelai diukur jumlah tahun sejak mulai berusahatani kedelainya sendiri sampai dengan saat ini. Hasil analisis menunjukkan 18,125 % responden yang memiliki pengalaman berusahatani kedelai selama ≤ 5 tahun, sedangkan 73,125% responden telah memiliki pengalaman usahatani 6 – 10 th dan 8,75 % responden berpengalaman usahatani kedelai ≥ 10 th. Program PTT kedelai telah diperkenalkan di beberapa daerah di Provinsi NAD sejak tahun 2009 yang lalu sehingga pengetahuan dan keterampilan responden mengenai komponen dalam PTT serta cara penerapannya diharapkan telah diperoleh oleh responden pada masa-masa tersebut. Pada umumnya petani yang memiliki lebih banyak pengalaman memiliki produktivitas yang tinggi dalam bekerja dan akan lebih mudah mengadopsi inovasi yang ada. Karena dengan pengalaman yang cukup (berdasarkan waktu) akan mempengaruhi seseorang petani dalam mengelola usahataninya. Dengan pengalaman berusahatani kedelai yang dimiliki petani tentunya akan memudahkan seseorang dalam menukar ilmu dan pengalaman dengan para petani lainnya dalam berusahatani yang baik dan bahkan tidak menutup kemungkinan

22   bagi petani dalam menukar atau bahkan menerima informasi yang bermanfaat bagi mereka dari para penyuluh guna memajukan usahanya dalam bercocok tanam kedelai. Maka dapat disimpulkan bahwa pengalaman juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh bagi seseorang khususnya petani dalam mengadopsi suatu teknologi seperti teknologi PTT kedelai.

5. Luas lahan usahatani kedelai

Luas lahan adalah lahan yang digunakan responden untuk usahatani kedelai pada saat penelitian dilakukan. Hasil analisis menunjukkan luas lahan responden 15,625 % termasuk dalam kategori luas ( > 1 ha), sedangkan 83,125 % responden luas lahannya termasuk dalam kategori sedang (0,6 – 1 ha) dan 1,25% responden memiliki lahan < 0,5 ha. Luas lahan menentukan kecepatan seseorang untuk mengadopsi suatu inovasi. Luas lahan menunjukkan kemampuan ekonomi seseorang. Seperti pendapat Lionberger (1960) dan Hanafi (1987) bahwa semakin luas lahan biasanya akan semakin cepat dalam mengadopsi inovasi. Maka dapat disimpulkan berdasarkan hasil survey dilapangan bahwa labih dari 80 % responden memiliki lahan hampir mendekati 1 ha, tentunya hal ini menunjukkan bahwa tingginya potensi petani dalam mengadopsi inovasi PTT kedelai yang akan mereka terima disebabkan luasnya lahan yang mereka miliki.

4.3. Pengetahuan Petani Tentang Teknologi PTT Kedelai

Umumnya petani di lokasi penelitian tidak mengenal istilah PTT Kedelai, akan tetapi mereka sudah melaksanakan beberapa komponen teknologi tersebut, baik komponen dasar maupun komponen pilihan. Komponen teknologi dasar yang telah dilaksanakan oleh semua petani di lokasi pengkajian adalah pemakaian benih unggul. Benih unggul yang digunakan oleh petani di lokasi pengkajian umumnya adalah benih kedelai yang berasal dari varietas unggul nasional, seperti; Kipas

Merah Bireuen, Kipas Putih, Anjasmoro dan Wilis. Akan tetapi sampai sejauh ini petani mengakui sangat jarang bahkan ada petani yang belum menggunakan benih berlabel.

Komponen teknologi dasar lainnya seperti pembuatan saluran drainase, pengaturan populasi tanaman dan juga pengendalian hama dan penyakit ada yang sudah dilaksanakan oleh petani, akan tetapi mereka melakukan dengan cara-cara sederhana belum mengaplikasikan dengan teknologi yang sesuai dengan benar. Hal ini disebabkan minimnya informasi yang didapatkan oleh petani karena kurangnya penyuluhan.

Pada komponen teknologi pilihan, petani di lokasi penelitian ada yang melakukan olah tanah dan ada yang tidak melakukan pengolahan tanah pada persiapan lahan. Petani juga jarang melakukan pemupukan pada tanaman kedelai. Meskipun mereka melakukan pemupukan, pupuk yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman, baik dosis yang dipakai maupun waktu pemberiannya. Demikian juga dengan pemberian kapur pada lahan kering masam. Petani mengakui mereka tidak melakukan pengapuran karena tidak mengetahui dengan persis apakah tanah mereka masam atau tidak, sehingga meskipun ada diantara mereka yang mengakui mengetahui tanah masam harus diberikan kapur mereka tetap tidak melakukannya. Pemberian air pada priode kritis tanaman khususnya disaat pebentukan bunga hingga pengisian biji juga jarang dilakukan. Petani juga masih sering menumpuk kedelai setelah di panen, dan ditutupi dengan plastik. Hal ini berdampak terhadap mutu hasil panen sehingga kedelai di beli dengan harga yang murah.

Gambaran yang dihadapi petani diatas menunjukkan bahwa mereka tidak terdedah dengan teknologi informasi budidaya kedelai yang sedang digalakkan pemerintah yaitu; pengengelolaan tanaman terpadu kedelai.

4.4. Keragaan Penerapan Teknologi PTT Kedelai

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) kedelai adalah suatu pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama petani. Prinsip

24   utama penerapan PTT kedelai mencakup lima unsur, yaitu; partisipatif, spesifik lokasi, terpadu, sinergis dan serasi serta dinamis. Komponen teknologi PTT kedelai

Dokumen terkait