LAPORAN PENGKAJIAN KOMPETITIF
PENGKAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI
TEKNOLOGI PADA PENDEKATAN PTT KEDELAI PADA 2
KABUPATEN PROPINSI NAD
Tim Pengkaji :
Nazariah Basri A. Bakar
M. Ferizal M. Nasir Cut Hilda Rahmi
Rini Andriani Mahdi Fitriah
Kementerian Pertanian
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN ACEH
Jalan Panglima Nyak Makam No. 27 Kotak Pos 41 Kode Pos 23125 Telp. (0651) 7551811 Fax. (0651) 7552077
E-mail: [email protected] dan [email protected]
2010
ABSTRAK
Salah satu upaya dalam pencapaian swasembada kedelai di tahun 2014, adalah penggunaan inovasi teknologi Badan Litbang Pertanian berupa benih/bibit unggul, pengelolaan tanaman terpadu, alsintan dan teknologi pascapanen. Di tahun 2010, BPTP Aceh mendapat tugas untuk melakukan pendampingan teknologi pada 60% lokasi atau 1560 unit SL-PTT kedelai dan mendistribusikan materi diseminasi ke BPP. Ditargetkan 90 % inovasi Badan Litbang Pertanian digunakan pada kegiatan SL-PTT Kedelai. Dalam upaya percepatan penggunaan inovasi (adopsi) dalam pencapaian swasembada di Aceh, suatu Pengkajian Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi Pada Pendekatan PTT Kedelai akan dilakukan di Kabupaten Pidie Jaya dan Bireuen, Provinsi Aceh antara bulan Pebruari – Nopember 2011. Tujuan akhir dari pengkajian adalah untuk mendapatkan rancangan model percepatan adopsi teknologi kedelai di Aceh. Ruang lingkup pengkajian meliputi : (1) Karakterisasi pengguna inovasi teknologi (2) Karakterisasi inovasi teknologi kedelai; (3) Metoda dan Media efektif yang digunakan pada SL-PTT kedelai di Aceh dan (4) keragaan pemberdayaan agen penyuluhan di 2 kabupaten. Data primer dikumpulkan melalui fokus grup diskusi (FGD) dan wawancara mendalam menggunakan kuesioner pada 40 responden petani disetiap kabupaten, sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui deskstudy. Data dianalisis dengan persentase penerapan teknologi kedelai berdasarkan jumlah adopter yang menyatakan pilihannya. Untuk mempertajam pembahasan, penyajian data/informasi didukung tampilan grafik dan bagan alir Dari hasil pengkajian ini diharapkan di tahun 2014, swasembada kedelai telah tercapai di Provinsi NAD.
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
ABSTRAK ... ii
DAFTAR ISI ... iii
I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 3 1.3. Tujuan Pengkajian ... 4 1.4. Output (Keluaran) ... 4 1.5. Perkiraan Outcome ... 4
1.6. Perkiraan Benefit (Manfaat) ... 5
1.7. Perkiraan Impact (Dampak) ... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6
III. METODOLOGI ... 8
3.1. Kerangka pemikiran ... 8
3.2. Lokasi, Responden dan waktu pengkajian ... 8
3.3. Rancangan Pengkajian ... 8
3.4. Pengamatan/pengolahan dan Analisis Data ... 9
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 11
4.1. Tenaga Pelaksana ... 11 4.2. Jadwal Pelaksanaan ... 12 V. KESIMPULAN ... 13 DAFTAR PUSTAKA Lampiran-lampiran ... 17
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Swasembada kedelai ditahun 2014 merupakan salah satu sasaran utama Kementerian Pertanian (Kementerian Pertanian, 2010). Komoditi kedelai berperan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pangan olahan. Sasaran produksi kedelai di Indonesia tahun 2010, mencapai 1,3 juta ton biji kering (BK) atau meningkat 18, 20 % dibandingkan dengan sasaran tahun sebelumnya. Sementara untuk provinsi Aceh sasaran produksi di tahun 2010 sebesar 118.340 ton BK , dengan sasaran tanam di tahun 2010 seluas 26.000 ha atau 2600 unit SL-PTT kedelai (Ditjen Tanaman Pangan, 2010).
Akan tetapi sampai saat ini pada beberapa daerah di Provinsi Aceh produktivitas kedelai masih rendah sebesar < 13 kw/ha ; hal tersebut disebabkan masih ada kesenjangan produktivitas ditingkat petani yang cukup besar, dibandingkan potensi yang dapat di capai petani. Keberhasilan swasembada beras dipengaruhi berbagai faktor yakni penggunaan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk, pengembangan manajemen usahatani untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing serta jaminan harga dasar.
Menurut Alimoeso (2008) tanpa fasilitasi pemerintah sulit bagi usahatani untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitasnya. Sementara Jamal (2009) menyatakan keberhasilan upaya peningkatan produktivitas, produksi dan pendapatan petani sangat bergantung pada kemampuan penyediaan dan penerapan teknologi produksi yang meliputi varietas unggul, benih/bibit berkualitas dan teknologi budidaya lainnya.
Komunikasi berperan sebagai salah satu program pendukung yang penting dari berbagai gerakan pembaharuan usahatani (Suryana, 2008). Untuk berkomunikasi secara tepat sesuai dengan media yang ada, dapat digunakan komunikasi tatap muka dan komunikasi dengan media cetak dan elektronik. Menurut Rangkuti (2009a) peran komunikasi pembangunan dalam transformasi teknologi dan manajemen agribisnis belum efektif dan efisien, masih terjadi kesenjangan antara
2 kemajuan iptek di tingkat penelitian dan aplikasi di lapangan.
BPTP NAD telah menghasilkan sejumlah inovasi teknologi spesifik lokasi kedelai yang perlu didiseminasikan, melalui jaringan BPTP, BAPELUH, BPP dan Kelompok tani. Tujuan utama pengembangan jaringan antara lain : (1) mempercepat proses transfer teknologi dan informasi pertanian: (2) menghimpun umpan balik (feedback) hasil pengkajian dan preferensi kebutuhan pengguna teknologi.
Ada dua percepatan adopsi yang terjadi di lapangan yaitu: (1) percepatan waktu mengadopsi teknologi dan (2) terjadinya perluasan sebaran adopsi dalam waktu yang relatif sama (Hendayana, dkk 2009).
Tingkat adopsi inovasi teknologi antar daerah di Propinsi NAD masih bervariasi dan beragam. Rogers (2003) menyatakan faktor yang menentukan percepatan adopsi inovasi teknologi antara lain: (1) karakterisasi inovasi teknologi, (2) keefektifan metode/media diseminasi , (3) komunikator (penyampai pesan), (4) ketersediaan dan harga benih/bibit, (5) harga jual dan pasar dan, (6) sosial ekonomi dan budaya pengguna inovasi.
Beberapa pengkajian tentang diseminasi yang telah dilakukan oleh BBP2TP (Jamal dkk, 2008a dan Bustaman dkk, 2009a ;2009b) menunjukan bahwa: (a) Sumber inovasi teknologi yang digunakan petani dari BPTP baru sekitar 60%; (b) Aspek yang dipertimbangkan petani dalam mengadopsi inovasi teknologi adalah ketersediaan benih/bibit, harga benih/bibit, produktivitas, harga jual, akses pasar, keuntungan, kompatibilitas, tingkat kerumitan, kemudahan untuk dicoba dan perubahan fisik; dan (c) Belum dilakukan dengan baik identifikasi kelompok sasaran dan kebutuhan teknologi (umpan balik) dari pengguna.
Dalam upaya pencapaian swasembada melalui peningkatan produktivitas kedelai ≥ 2ton/ha di Provinsi Aceh, pengkajian terhadap faktor percepatan adopsi teknologi kedelai perlu dilakukan.
1.2. Perumusan Masalah
Pelaksanaan SL-PTT kedelai bertujuan antara lain untuk mempercepat penerapan komponen teknologi PTT kedelai dengan sasaran teradopsinya berbagai alternative komponen teknologi kedelai oleh petani sehingga dapat menambah pengetahuan dan ketrampilan dalam mengelola usahataninya , guna meningkatnya produktivitas kedelai sekitar 0,5 ton/ha.
Beberapa penyebab masih adanya kesenjangan produktivitas yang cukup besar di tingkat petani antara lain : (1) pengguna benih unggul potensi tinggi dan bersertitikat masih rendah serta 53 %; (2) penggunaan pupuk yang belum berimbang dan efesien; (3) penggunaan pupuk organic yang belum dilakukan; (4) pendampingan teknologi oleh peneliti/penyuluh belum otimal dan (5) lemahnya akses terhdap modal kerja/pembiayaan dan pasar.
Upaya pencapaian swasembada kedelai tak luput dari dukungan inovasi teknologi Badan Litbang Pertanian berupa varietas unggul, pengelolaan tanaman terpadu (PTT), teknologi pasca panen dan alsintan, model kelembagaan dan saran kebijakan. Inovasi teknologi yang telah dihasilkan Badan Litbang Pertanian untuk komoditas kedelai antara lain : 7 Varietas unggul di berbagai agroekosistem dan system pengembangan teknologi melalui pendekatan PTT (Badan Litbang Pertanian, 2010)
Dalam rencana strategis Badan Litbang Pertanian 2010-2014, sasaran yang harus dicapai antara lain: (1) Meningkatnya tingkat adopsi (>50%) hasil inovasi teknologi dan rekomendasi kebijakan pertanian yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian, (2) Tersedianya benih, bibit, pupuk dan alsin untuk komoditas unggulan tanaman dan ternak dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas ( Badan Litbang Pertanian, 2010).
Badan Litbang Pertanian sesuai dengan amanat Undang-Undang tentang Kementerian Nomor 39 tahun 2008 wajib membantu Ditjen Teknis. Untuk itu BPTP di tahun 2010 diberi tugas untuk melakukan pendampingan teknologi pada 60% dari jumlah lokasi program strategis yang berada di wilayah kerjanya (Badan Litbang, 2009a). Dari 60 % jumlah unit SL-PTT yang perlu dilakukan pendampingan oleh
4 BPTP sebanyak 15.000 unit SL-PTT kedelai (Unit = 10 ha) di seluruh Provinsi (Ditjen Tanaman Pangan , 2010; BBP2TP, 2009a)
Wujud pendampingan BPTP pada 60% unit SL-PTT 2010 meliputi: (1) uji adaptasi VUB pada laboratorium lapang (LL), (2) melatih 60% jumlah PL3 di setiap kabupaten/kota dan (3) menghadirkan peneliti (Puslit/Balai Besar, BPTP, Balit komoditas sebagai narasumber pada pertemuan dengan petani.
Beberapa unsur penting yang menentukan keberhasilan kegiatan diseminasi sebagai berikut : (a) inovasi yang dibawa, (b) media diseminasinya, (c) waktu atau proses diseminasi dan (d) pihak yang terlibat dalam proses diseminasi. Penetapan target yang jelas pada setiap kelompok sasaran serta keseriusan pembawa inovasi merupakan faktor penentu akan keberhasilan kegiatan diseminasi.
Hendayana dkk (2006) mengidentifikasi faktor kesenjangan antara teknologi yang diintroduksi dengan teknologi yang dibutuhkan petani dan tidak efektifnya metode/media diseminasi, serta kurangnya penyuluh lapang dilibatkan merupakan faktor yang memberi pengaruh terhadap percepatan adopsi.
1.3. Tujuan Pengkajian :
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi PTT kedelai (faktor internal/petani dan faktor eksternal/diluar petani)
1.4. Output (Keluaran) :
Data indentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi PTT kedelai (faktor internal/petani dan faktor eksternal/diluar petani)
1.5. Perkiraan Outcome :
Pengkajian ini diharapkan dapat memberikan apresiasi kepada petani untuk mengaplikasikan teknologi PTT kedelai sehingga bisa mencapai produktivitas ≥ 2 ton / ha, dengan adanya :
o Informasi tingkat adopsi inovasi teknologi kedelai di Kab. Pidie Jaya dan Bireuen
o Informasi jenis dan macam inovasi teknologi yang dibutuhkan petani kedelai
o Perbaikan dan percepatan inovasi teknologi kedelai (dari hasil umpan balik) yang akan dihasilkan waktu mendatang
1.6. Perkiraan Benefit (Manfaat) :
Hasil pengkajian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi petani dalam upaya meningkatkan hasil produksi dan pendapatannya, bermanfaat bagi pengambil kebijakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempercepat tingkat adopsi. Senjang hasil dipersempit.
1.7. Perkiraan Impact (dampak) :
o Meningkatnya tingkat adopsi teknologi PTT kedelai di Provinsi Aceh o Meminimalkan faktor-faktor penghambat/kendala tingkat adopsi teknologi
PTT kedelai di tingkat petani
o Memaksimalkan faktor-faktor peningkatan tingkat adopsi teknologi PTT kedelai di tingkat petani
o Memaksimalkan peran penyuluh sebagai agen pembaharu
o Produksi kedelai di Aceh meningkat, ketersediaan bahan baku kedelai mencukupi di tingkat NAD.
6
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Propinsi Aceh merupakan salah satu provinsi potensial penghasil kedelai, setelah Jawa Tengah, Jawa Timur dan NTB. Di tahun 2009 realisasi luas panen kedelai Aceh 2.841. ha (target 4750 ha ,tingkat capaian 59,8 %); produksi 4054 ton (target 7600 ton, tingkat capaian 53,34%) dan produktifitas 1,427 ton/ ha (target 1,6 ton / ha, tingkat capaian 89,14%).
Produksi kedelai di Propinsi NAD dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi, produktivitas rata-rata hanya berkisar antara 1,25 - 1,47 ton/ha atau rata-rata 1,31 ton/ha, sedangkan menurut hasil penelitian, produktivitas kedelai dengan menggunakan varietas unggul mencapai 2,5 ton/ha. Menurut Supadi (2008), rendahnya produksi kedelai ditingkat petani disebabkan oleh rendahnya minat petani dalam membudidayakan kedelai dikarenakan masalah finansial serta sifat sensitif dari tanaman kedelai itu sendiri.
Senjang produksi yang besar antara hasil penelitian/pengkajian dengan yang didapatkan oleh petani, sangat berpeluang dalam upaya peningkatan produksi kedelai di Provinsi Aceh. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan menerapkan inovasi teknologi budidaya terutama pada daerah sentra produksi di samping perluasan areal tanam.
Havelock (1971), mengemukakan bahwa faktor penerapan teknologi oleh pengguna relatif sulit. Hal ini disebabkan karena peneliti dan pengguna masing-masing mempunyai tata nilai, bahasa, serta pola komunikasi yang berbeda. Komunikasi pertanian merupakan suatu kegiatan penting dalam proses adopsi inovasi. Kurang jelasnya informasi menyebabkan pengguna ragu-ragu atau bahkan menolak inovasi teknologi yang diterima. Kejelasan proses komunikasi akan sangat tergantung dari empat unsur komunikasi yaitu: (a) penyuluh pertanian sebagai sumber dalam proses komunikasi; (b) inovasi sebagai pesan dalam komunikasi; (c) saluran komunikasi, dan (d) sasaran komunikasi. Basuno (2003) menyatakan bahwa dalam proses adopsi inovasi teknologi, motivasi petani adalah salah satu variable yang sangat menentukan.
Hasilnya/produktivitasnya menjadi meningkat dari sebelumnya, (2) Lebih menguntungkan dari usahatani sebelumnya, (3) Teknologinya mudah diterapkan, (4) Ada kesepakatan kelompok untuk mengadopsi, (5) Dapat menyediakan lapangan kerja/kesempatan kerja, (6) Memperbanyak sumber pendapatan.
Sedangkan kendala dalam mengadopsi tenologi oleh petani yaitu; (1) Modal untuk melaksanakan teknologi tersebut terbatas, (2) Tenaga kerja orang untuk melaksanakan teknologi tersebut terbatas, (3) Ketersediaan sarana produksi terbatas, (4) Pemasaran hasil produksi teknologi tersebut belum mendukung, (5) Kelompok tani belum kompak, (6) Tenaga kerja alsintan untuk melaksanakan teknologi tersebut terbatas.
Disamping itu faktor penyebab tidak/ belum diadopsinya teknologi oleh petani adalah (1) Biaya yang dibutuhkan tidak terjangkau, (2) Petani belum yakin akan keunggulan teknologi tersebut, (3) Sarana produksi yang dibutuhkan belum ada dilokasi, (4) Keuntungan yang didapat tidak seimbang dengan biaya yang dibutuhkan, (5) Kelompok tani belum kompak.
Roger dan Shoemaker (1981) menjelaskan masuk dan menyebarnya inovasi ke dalam suatu sistem sosial bisa melalui anggota sistem, baik secara individu, kolektif (kelompok) atau melalui otoritas penguasa sistem hingga mereka sampai pada proses keputusan. Annonimous (1999) menunjukkan bahwa sampai saat ini sektor pertanian masih menghadapi berbagai kendala dalam mengoptimalkan sumberdaya pertanian yang ada seperti lemahnya SDM, kelembagaan dan penguasaan IPTEK (Kasryno dan Syafa’at . 2000).
Menurut Musyafak dan Ibraham (2005), inovasi tepat guna adalah inovasi teknologi yang memiliki karakter sebagai berikut: (a) harus dirasakan sebagai kebutuhan oleh kebanyak petani; (b) harus memberikan keuntungan secara konkrit bagi petani, minimal meningkat >50% dari keuntungan menggunakan teknologi yang lain; (c) harus mempunyai kompetibilitas/keselarasan; (d) harus dapat mengatasi faktor-faktor pembatas; (c) harus mendayagunakan sumberdaya ysudah ada, (f) harus terjangkau oleh kemampuan financial petani dan (g) harus sederhana, mudah dicoba dan diamati.
8
III. METODOLOGI
3.1 Ruang Lingkup
Pengkajian faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pada pendekatan PTT kedelai pada 2 kabupaten Propinsi NAD, didasarkan pada karakteristik sumber daya manusia (petani, penyuluh, peneliti ) dan sumber daya alam, oleh sebab itu lingkup dan rencana kegiatan harus bersifat spesifik lokasi.
Rencana kegiatan pengkajian serta pengembangan dan evaluasi secara umum merupakan serangkaian kegiatan survei diagnostik yang meliputi: penentuan petani kooperator, karakteristik lokasi pengkajian dan survey khalayak/Analisis keadaan awal (situasi) inovasi teknologi kedelai di tingkat petani, praktik usahatani sebelumnya, kebutuhan teknologi, inovasi yang tersedia di tingkat petani dan norma dari sistem sosial yang ada, serta survei faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi PTT kedelai.
3.2. Lokasi, Responden dan Waktu Pengkajian
Lokasi pengkajian ditentukan secara purposive yaitu: Kabupaten Pidie Jaya dan Bireuen. Berdasarkan pertimbangan bahwa daerah ini adalah sentra produksi kedelai di propinsi NAD dan juga daerah yang sudah melaksanakan program SL-PTT kedelai.
Di tiap kabupaten terpilih ditentukan responden yang memenuhi kriteria adopter dengan besar ukuran responden 40 orang responden. Masing-masing kabupaten akan dipilih kecamatan dan desa sentra produksi kedelai. Setiap kecamatan akan dipilih 2 desa. Setiap desa akan dipilih 20 orang responden dengan kriteria petani yang sudah mengusahakan tanaman kedelai minimal 3 tahun berturut-turut. Pemilihan responden dipilih dari adopter yang ada secara acak sederhana. Waktu pengkajian dimulai bulan Pebruari sampai dengan bulan Nopember 2011.
3.3. Rancangan Pengkajian
Pengkajian ini dirancang dengan metode survei
3.4. Pengamatan/pengolahan dan Analisis Data 3.4.1. Data dan Sumber Data
Data yang dijadikan sumber bahasan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dari responden yang terdiri dari PPL, Pejabat dari Dinas-dinas Lingkup Pertanian di tingkat Kabupaten dan Kecamatan serta petani di lapangan.
Pengumpulan data primer akan dilakukan melalui beberapa pendekatan yakni: Wawancara mendalam (indepth interview) kepada penyuluh lapang/PPL dan petani serta Pejabat lain yang terkait dan relevan di tingkat Kabupaten dan Kecamatan, serta diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion - FGD).
Data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran dokumen dan publikasi yang relevan dengan topik pengkajian di BBP2TP, Puslit/Balit yang terkait, BPTP Aceh, dan surfing website.
Jenis data primer yang dikumpulkan, antara lain adalah sebagai berikut: (a) Karakteristik Responden, meliputi umur, pendidikan, pengalaman berusahatani
dan lain-lain yang relevan
(b) Keragaan Penerapan Teknologi, yang didalamnya memuat uraian komponen teknologi dan aspek pertimbangannya (Karakteristik Inovasi Teknologi)
(c) Alur adopsi teknologi, termasuk di dalamnya mengungkap sumber informasi teknologi, simpul-simpul komunikasi, dan data pendukung lain yang relevan (Pemilihan metode/media efektif)
(d) Keragaan pemberdayaan agen penyuluhan pertanian yang terdiri dari PPL (PNS), THL dan PMT di 2 Kabupaten.
Data sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi terkait yang relevan dengan topik yang dibahas. Jenis data sekunder yang dikumpulkan meliputi perkembangan produksi, produktivitas dan perkembangan areal panen kedelai.
10
3.4.2. Analisis Data
Kajian percepatan adopsi teknologi kedelai secara umum dianalisis secara deskriptif sesuai dengan karakteristik informasi yang terkumpul.
Keragaan adopsi pada masing-masing komoditas tersebut ditampilkan dengan alat bantu tabulasi silang dengan menggunakan parameter nilai maksimum, minimum, rataan dan persentase. Analisis persentase penerapan teknologi kedelai berdasarkan jumlah adopter yang menyatakan pilihannya. Untuk mempertajam pembahasan, penyajian data/informasi didukung tampilan grafik dan bagan alir.
Pengaruh variabel karakteristik individu, karakteristik inovasi teknologi dan dan ciri-ciri adopsi dan pemberdayaan agen penyuluhan terhadap tingkat kecepatan bila χ²- hitung > χ² - tabel berarti benar ada kecenderungan adopter lebih menyukai media diseminasi, komponen teknologi PTT tertentu.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Pengkajian 4.1.1. Kabupaten Pidie Jaya
Kabupaten Pidie Jaya adalah salah satu kabupaten yang baru terbentuk berada dalam wilayah pemerintah Aceh dengan ibu kota kabupaten Meureudu. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang – Undang No 7 tahun 2007, pada tanggal 2 Januari 2007. Kabupaten ini terdiri dari 8 (delapan) kecamatan, yaitu: Bandar Baru, Pante Raja, Trieng Gadeng, Meureudu, Meurah Dua, Ulim, Jangka Buya, dan Kecamatan Bandar Dua. Secara keseluruhan wilayah kabupaten pidie Jaya memiliki luas 1.162,85 KM2, dengan wilayah yang terluas di Kecamatan Meurah Dua dan Bandar Baru , masing – masing luas 25,13%, dan 24,19%. Batas wilayahnya adalah:
o Sebelah utara berbatasan langsung dengan selat Malaka, o Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bireuen,
o Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pidie (Kecamatan Tangse, Kecamatan Geumpang , dan Kacematan Mane),
o Sebelah barat juga berbatasan dengan Kabupaten Pidie (Kecamatan Geulumpang Tiga, Kercamatan Geulumpang Baro dan kecamatan Kembang Tanjong)
Kabupaten Pidie Jaya termasuk kedalam wilayah beriklim tropis basah, temperatur berkisat dari suhu minimum 190 – 220 sampai suhu maksimum 300- 350. Merupakan daerah dataran tinggi yang memiliki daerah kelas lereng yang lebih besar dari 40 % dan daerah pesisir pantai yang memiliki klasifikasi lereng 0 – 3 %, dengan jenis tanah dominan podsolit merah kuning.
Kabupaten Pidie Jaya menurut kelas ketinggiannya bervariasi antara 0 – 1500m dpl. Kondisi fisik dataran dengan ketinggian yang relatif rendah berada di sebelah utara dengan kemiringan lereng yang cenderung landai antara 0 -25 %, yaitu sebesar 28,33 %. Sedangakan dataran dengan ketinggian relatif tinggi berada di selatan dengan kemiringan lereng antara 25 -> 40 %.
Penggunaan lahan di Kabupaten Pidie Jaya yang terluas diperuntukkan untuk pemukiman dan pertanian/perkebunan (21.74%), dengan rincian sawah 7.997 Ha, Perkebunan 8.644 Ha, Pekarangan 8.640 ha, sisanya adalah hutan lebat/lindung dan lainnya sebagai kawasan non budidaya.
1. Kecamatan Bandar Baru
Kecamatan Bandar Baru terletak pada ketinggian 0 – 250 m dpl, dengan luas wilayah 240 km2 dan jumlah penduduk 31.529 jiwa, terdiri dari 14.855 jiwa laki-laki dan 16.674 wanita. Lahan pertanian yang diusahakan oleh masyarakat mencapai 8.573 ha, yang terdiri dari lahan sawah irigasi semi teknis 705 ha, sawah irigasi pedesaan 763 ha, lahan tegalan 1.349 ha, lahan kebun 3.696 ha, lahan pekarangan 1.113 ha dan tambak mencapai 950 ha.
Lahan sawah dimanfaatkan untuk bercocok tanam padi, palawija dan hortikultura. Lahan tegalan umumnya dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan yang ditumpangsarikan dengan tanaman palawija. Pekarangan banyak dimanfaatkan untuk bertanaman buah-buahan, tanaman sayuran juga beternak unggas.
12 tanaman pangan khususnya padi dan kedelai. Desa yang mayoritas masyarakatnya bertanam kedelai adalah Desa Musa dan Desa Jiem-Jiem. Kedua desa ini merupakan sentral produksi kedelai untuk Kabupaten Pidie Jaya. Oleh karena itu Dinas/Instansi terkait lainnya menjadikan desa tersebut sebagai sasaran inovasi teknologi PTT kedelai.
1. Desa Teungoh Musa
Desa Teungoh Musa
merupakan sebuah desa yang berjarak 2 km dari ibukota kecamatan dan 16 km dari kabupaten. Desa ini didiami oleh 1191 jiwa penduduk yang terbagi atas 314 KK dimana 260 diantaranya adalah KK tani. Desa ini hanya memiliki 35 ha sawah tadah hujan, 63 ha perkebunan, 12 ha pekarangan, 15 ha tegalan dan 18 ha tambak.2. Desa Jiem-Jiem
Desa Jiem-Jiem merupakan sebuah desa yang berjarak 7 km dari ibukota kecamatan dan 25 km dari kabupaten. Desa ini didiami oleh 520 jiwa penduduk yang terbagi atas 149 KK dimana 125 diantaranya adalah KK tani. Desa ini memiliki 26 ha sawah irigasi setengah teknis, 224 ha perkebunan, 12 ha pekarangan dan 22 ha tegalan.
2. Kecamatan Ulim
Kecamatan Ulim terletak pada ketinggian 12 – 45 m dpl, dengan luas wilayah kecamatan 4.4 km2, meliputi 30 desa dengan 5 kemukiman. Jumlah penduduk 13.276 jiwa, terdiri dari 6.638 jiwa laki-laki dan 6.638 wanita, terbagi atas 3.419 KK, 2.418 KK diantaranya adalah keluarga tani. Lahan pertanian yang diusahakan oleh masyarakat terdiri dari; sawah berpengairan setengah teknis 935 ha, kebun/tegalan 464 ha dan pekarangan 212 ha.
Lahan sawah dimanfaatkan untuk bercocok tanam padi, palawija dan hortikultura. Lahan tegalan umumnya dimanfaatkan untuk tanaman
perkebunan yang ditumpangsarikan dengan tanaman palawija. Pekarangan banyak dimanfaatkan untuk bertanaman buah-buahan, tanaman sayuran juga beternak unggas.
Mata pencaharian penduduk 75% adalah bertani dengan pilihan komoditi tanaman pangan khususnya padi dan kedelai. Desa yang mayoritas masyarakatnya bertanam kedelai adalah Desa Cot Seuti dan Blang Rheu . Kedua desa ini merupakan sentral produksi kedelai untuk kecamatan Ulim. Oleh karena itu Dinas/Instansi terkait lainnya menjadikan desa tersebut sebagai sasaran inovasi teknologi PTT kedelai.
a. Desa Cot Seutui
Cot seutui merupakan sebuah desa yang berjarak 11,5 km dari ibukota kecamatan dan 17,5 km dari kabupaten. Desa ini dihuni oleh 268 jiwa, terdiri dari 127 jiwa laki-laki dan 141 jiwa perempuan, yang bagi atas 62 KK, 60 KK diantaranya adalah KK tani.
Desa ini memiliki 23 ha sawah beririgasi setengah teknis, 70 ha lahan tegalan dan 5 ha lahan pekarangan. Desa ini memiliki 1 kelompok tani dengan jumlah anggota 30 orang.
b. Desa Blang Rheu
Blang Rhe merupakan sebuah desa yang berjarak 12 km dari ibukota kecamatan dan 18 km dari kabupaten. Desa ini dihuni oleh 157 jiwa, terdiri dari 78 jiwa laki-laki dan 79 jiwa perempuan, yang bagi atas 38 KK, 32 KK diantaranya adalah KK tani.
Desa ini memiliki 13 ha sawah beririgasi setengah teknis, 70 ha lahan tegalan dan 5 ha lahan pekarangan. Desa ini memiliki 1 kelompok tani dengan jumlah anggota 46 orang.
14
4.1.2. Kabupaten Bireuen
Kabupaten Bireuen merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan luas wilayah 190.121 km2. Kabupaten Bireuen terletak pada garis 4º54’ - 5º18’ Lintang Utara dan 96º20 - 97º21 Bujur Timur, dengan batas wilayah :
o Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka
o Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tengah o Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pidie
o Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Utara
Kabupaten Bireuen topografi wilayahnya terdiri dari; dataran rendah (0-15%) dibagian pantai utara dan bagian tengah daerah, sedangkan bagian selatan sampai ke Bukit Barisan merupakan daerah bergelombang dengan ketinggian mencapai 450 m dpl (15%).
Kabupaten Bireuen mempunyai beberapa jenis tanah, antara lain; aluvial, podsolid, latosol, hidromorf, dengan tingkat kemiringan yang berbeda-beda. Daerah yang mempunyai lereng tertinggi adalah 45%, sedangkan daerah yang tingkat kemiringannya 0 – 15% merupakan daerah yang paling luas. Kabupaten Bireuen tergolong daerah beriklim basah. Dengan curah hujan rata-rata berkisar antara 1.105,6 mm – 4.073 mm.
1. Kecamatan Peudada
Kecamatan Peudada adalah salah satu wilayah penghasil kedelai di Kabupaten Bireuen. Luas wilayah Peudada mencapai 38.914 ha, dengan jumlah penduduk 31.105 jiwa, yang terdiri dari 14.976 jiwa laki-laki dan 16.129 jiwa perempuan. Mata pencaharian masyarakat umumnya adalah bertani membudidayakan tanaman pangan utama, yaitu padi dan kedelai. Total luas tanah pertanian yang diusahakan oleh masyarakat di Kecamatan Peudada mencapai 20.176 ha, yang terdiri dari lahan tegalan 15.341 ha, pekarangan 2.391 ha, sawah yang beirigasi setengah teknis 1.019 ha dan tadah hujan 2.158 ha. Ditambah sengan kolam 6 ha dan tambak 290 ha. Kepopuleran Peudada sebagai salah satu pemasok kedelai nasional sejak tahun 80-an tidak diragukan lagi. 2 desa yang
menjadi lumbung kedelai dan juga sasaran teknologi SL-PTT kedelai dalam tiga tahun terakhir adalah Desa Ara Bungong dan Desa Blang Paya.
a. Desa Ara Bungong
Ara Bungong merupakan sebuah desa yang berjarak 2 km dari ibukota kecamatan dan 17 km dari kabupaten. Desa yang luas wilayahnya mencapai 3.150 ha berpenduduk 628 jiwa, terdiri dari 263 jiwa laki-laki dan 365 perempuan yang terbagi atas 3 dusun.
Dari luas wilayah tersebut 230 ha merupakan lahan pertanian yang terdiri dari tegalan 200 ha dan pekarangan 30 ha. Hal tersebut menunjukkan bahwa mayoritas penduduknya bermata pencaharian petani dengan mengandalkan tegalan untuk bercocok tanam tanaman khususnya kedelai. Desa ini memiliki Kelompok Tani yang bernama Batee Kureng dengan usahatani pokok adalah tanaman kedelai. Kelompok Tani ini beranggotakan 30 orang petani.
b. Desa Blang Beururu
Desa Blang Beururu merupakan sebuah desa yang berjarak 0,7 km dari ibukota kecamatan dan 18 km dari kabupaten. Desa yang luas wilayahnya mencapai 3.002 ha berpenduduk 209 jiwa, terdiri dari 102 jiwa laki-laki dan 107 perempuan yang terbagi atas 2 dusun dan 58 KK
Desa ini tidak meiliki sawah, dari luas wilayah tersebut semua merupakan lahan tegalan, hanya 2 ha saja merupakan lahan pekarangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa mayoritas penduduknya bermata pencaharian petani dengan mengandalkan tegalan untuk bercocok tanam tanaman khususnya kedelai. Desa ini memiliki Kelompok Tani yang bernama Hudep Beusare dengan usahatani pokok adalah tanaman kedelai. Kelompok Tani ini beranggotakan 47 orang petani.
2. Kecamatan Peulimbang
Selain Kecamatan Peudada, Kecamatan Peulimbang juga merupakan salah satu wilayah pemasok kedelai di Kabupaten Bireuen. Luas wilayah Kecamatan Peulimbang 9.523 ha dan jumlah penduduk 11.311 jiwa terdiri dari 5.481 jiwa
laki-16 laki dan 5.830 jiwa perempuan. Status pekerjaan 2.141 orang menekuni bidang usaha bercocok tanam tanaman pangan dan hortikultura. Hal ini didukung oleh luas lahan yang dipergunakan untuk lahan pertanian 3.780 ha, yang terbagi atas; lahan tegalan 1.533 ha, pekarangan 993 ha, sawah yang beirigasi teknis 585 ha, setengah teknis 210 ha, tersier 14 ha, sawah tadah hujan 313 ha, kolam 0,5 ha dan tambak 135 ha. 2 desa yang menjadi lumbung kedelai dan juga sasaran teknologi SL-PTT kedelai dalam tiga tahun terakhir adalah Desa Hagu dan Desa Garap Barat dan Balee Daka.
a. Desa Garap Barat
Desa Garap Barat memiliki luas wilayah 699 ha, yang berjarak 7 km dari kecamatan dan 30 km dari kabupaten dengan jumlah dusun 3 buah. Dari luas wilayah tersebut 327 ha merupakan lahan pertanian yang terdiri dari tegalan 229 ha, pekarangan 56 ha dan sawah tadah hujan 42 ha. Hal tersebut menunjukkan bahwa mayoritas penduduknya bermata pencaharian petani dengan mengandalkan tegalan untuk bercocok tanam tanaman khususnya kedelai. Desa ini memiliki 2 Kelompok Tani, yaitu; Alue Ceuraceuk dan Tani Sejahtera, dengan masing-masing jumlah anggota 68 orang dan 40 orang.
Desa ini didiami oleh 60 kk dengan jumlah penduduk 260 orang yang terdiri dari 139 jiwa laki-laki dan 121 perempuan, dengan tingkat pendidikan rata-rata hanya tamat sekolah dasar.
b. Desa Balee Daka
Balee Daka merupakan salah satu desa dalam wilayah Kecamatan Peulimbang yang berjarak 5 km dari kecamatan dan 25 km dari kabupaten dengan jumlah dusun 4 buah memiliki luas wilayah 3.181 ha. Dari luas wilayah tersebut 1.494 ha merupakan lahan pertanian yang terdiri dari 942 ha tegalan, 339 ha pekarangan, 25 ha sawah beririgasi setengah teknis dan 188 ha sawah tadah
hujan.
Desa ini didiami oleh 86 kk dengan jumlah penduduk 520 orang yang terdiri dari 220 jiwa laki-laki dan 300 perempuan, dengan tingkat pendidikan rata-rata hanya tamat sekolah dasar. Penduduknya bermata pencaharian petani. Desa ini hanya memiliki 1 Kelompok Tani, yaitu; Gunung Madu dengan jumlah anggota 103 orang.
4.2. Karakteristik Responden
Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi; umur, pendidikan formal, pengalaman berusahatani padi, jumlah anggota keluarga, dan luas lahan usahatani kedelai yang diusahakan. Penelitian terhadap 160 orang petani, tidak menunjukkan tingkat karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lain. Untuk lebih jelas data distribusi responden berdasarkan karakteristik dapat dilihat pada Tabel 1.
18 Tabel 1. Data distribusi responden berdasarkan karakteristik
Karakteristik Petani Kategori Jumlah Persentase
Umur < 30 thn 18 11.25 31 - 40 thn 47 29.375 41 - 50 thn 58 36.25 > 50 thn 37 23.125 Jumlah 160 100
Pendidikan formal Rendah (6 thn) 113 70.625
Sedang (9 thn) 36 22.5
Tinggi (> 9 thn) 11 6.875
Jumlah 160 100
Jumlah anggota kel Sedikit (< 3 org) 9 5.625
sedang (4 - 6 org) 134 83.75
Banyak (> 6 org ) 17 10.625
Jumlah 160 100
Pangalaman berusahatani Rendah (< 5 thn) 29 18.125
sedang (6 - 10 thn) 117 73.125
Tinggi (>10 thn) 14 8.75
Jumlah 160 100
Luas lahan usahatani kedelai Sempit (< 0,5 ha) 2 1.25
Sedang (0,6 - 1 ha) 133 83.125
Luas (> 1 ha) 25 15.625
Jumlah 160 100
1. Umur
Umur responden dihitung berdasarkan pengakuan saat penelitian dilakukan. Hasil analisis menunjukkan bahwa 29,375% usia responden termasuk dalam kategori dewasa (31-40th) dan 36,25% usia responden juga dikelompokkan masih dalam kategori dewasa (41-50th), sedangkan 23,125% responden termasuk dalam kategori usia tua ( > 55 th) dan 11,25% responden termasuk dalam kategori usia muda (< 30 th). Maka umur responden sebagian besar termasuk dalam kategori
usia produktif, yaitu pada kategori usia dewasa dapat digabungkan sekitar 65,625% responden berada pada kategori usia dewasa. Artinya bahwa pada umur tersebut responden mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Karena Petani yang Berumur dibawah 50 (lima puluh) tahun bisa digolongkan sebagai petani yang masih produktif dan responsive terhadap segala inovasi baru, disamping itu ia juga memiliki produktivitas yang tinggi dalam mengelola kelompok atau usahanya masing-masing. Maka dapat disimpulkan bahwa, tingkat umur atau usia merupakan salah satu faktor yang dapat diperhatikan dalam menentukan tingkat adopsi suatu teknologi pada seseorang petani. Hal ini menunjukkan bahwa adanya indikasi terhadap mudahnya suatu inovasi teknologi yang akan masuk ke daerah tersebut, tentunya hal ini mungkin saja dapat terjadi karena dengan umur produktif yang dimiliki petani akan memudahkan bagi seseorang dalam menerima suatu ilmu atau pengetahuan yang baru didengar atau didapatkannya.Maka dengan hal ini menunjukkan bahwa umur merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap individu atau internal seseorang petani didalam menerima atau mengadopsi suatu teknologi.
2. Pendidikan
Tingkat pendidikan petani akan sangat berpengaruh terhadap tingkat produktivitas dari suatu kelompok dan juga sangat berpengaruh terhadap adopsi suatu inovasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka tingkat adopsinya terhadap suatu inovasi akan semakin baik, dan juga akan semakin respon terhadap hal-hal yang baru. Dihitung dari lama responden menempuh pendidikan dibangku sekolah. Hasil analisis menunjukkan bahwa 70,625% responden menempuh pendidikan formal ≤ 6 tahun, dan 22,5% responden menempuh selama 7-9 tahun sedangkan 6,875% responden menempuh pendidikan formal lebih dari 9 tahun. Rendahnya tingkat pendidikan responden karena latar belakang sosial ekonomi, responden mengutamakan untuk memenuhi kebutuhan lain yang dianggap lebih penting dibandingkan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Responden beranggapan bahwa menguasai baca tulis dan berhitung sudah cukup, tanpa harus melanjutkan jenjang yang lebih tinggi. Tingkat pendidikan seseorang dapat
20 merubah pola pikir, daya penalaran yang lebih baik, sehingga makin lama seseorang mengenyam pendidikan akan semakin rasional. Secara umum petani yang berpendidikan tinggi akan lebih baik cara berfikirnya, sehingga memungkinkan mereka bertindak lebih rasional dalam mengelola usahataninya. Sebagaimana yang dinyatakan Soekartawi (1988) bahwa mereka yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi. Begitu pula sebaliknya, petani yang berpendidikan rendah agak sulit melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat (Suharyanto, dkk,. 2001). Dengan rata-rata tingkat pendidikan petani berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani dalam menerima suatu informasi atau ilmu dan teknologi berada pada tingkat pertengahan. Dimana perlu adanya penyuluhan secara intensif bagi petani kedelai dalam mendifusikan suatu teknologi hingga mencapai titik pengadopsian bagi mereka dalam menerima suatu teknologi baru.
3. Jumlah Anggota Keluarga
Jumlah anggota keluarga diukur dengan banyaknya jiwa dalam rumah tangga yang masih dalam tanggungan kepala keluarga. Sebanyak 5,625 % responden memiliki jumlah anggota keluarga ≤ 3 orang, sedangkan 83,75 % responden memiliki jumlah anggota keluarga 4 – 6 orang dan 10,625 % responden memiliki anggota keluarga ≥ 6 orang. Pengaruh jumlah anggota keluarga terhadap penerapan inovasi PTT kedelai bersifat ambigius. Di satu sisi jumlah anggota keluarga diharapkan sebagai sumber tenaga kerja untuk lahan usahatani kedelai. Pada sisi lain, oleh karena kebutuhan keluarga meningkat mengikuti jumlah tanggungan keluarga, maka curahan waktu untuk usahatani kedelai semakin sedikit karena kepala keluarga cenderung memperoleh sumber penghasilan atau pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dari usaha lain di luar usahatani kedelai. Maka hal ini menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga akan berhubungan dengan tingkat pemenuhan kebutuhan dalam keluarganya. Sehingga jumlah tenaga kerja dalam keluarga juga dapat berpengaruh terhadap adopsi inovasi, hal ini dikarenakan jumlah anggota keluarga memiliki hubungan dengan pendapatan yang diterima dalam satu keluarga tersebut. Soekartawi (1988)
dalam Suharyanto, dkk. (2001) menyatakan bahwa pendapatan usahatani yang tinggi seringkali ada hubungannya dengan tingkat difusi inovasi pertanian. Kemauan untuk melakukan percobaan atau perubahan dalam difusi inovasi pertanian yang cepat sesuai kondisi pertanian yang dimiliki oleh petani, maka umumnya hal ini menyebabkan pendapatan petani yang lebih tinggi. Dengan demikian petani akan kembali investasi kapital untuk adopsi inovasi selanjutnya. Sebaliknya banyak kenyataan yang menunjukkan bahwa para petani yang berpenghasilan rendah adalah lambat dalam melakukan adopsi inovasi. Maka hal ini menunjukkan adanya korelasi antara banyaknya jumlah anggota keluarga dengan tingkat pemenuhan kebutuhan dan juga akan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan yang diperoleh petani sehingga pada titik akhir akan menentukan keputusan mereka dalam mengadopsi inovasi teknologi baru yang akan mereka terima.
4. Pengalaman berusahatani kedelai
Pengalaman usahatani padi adalah lamanya responden mulai berusahatani kedelai dimana petani sebagai pengambil keputusan dalam mengelola usahatani kedelainya. Pengalaman usahatani kedelai diukur jumlah tahun sejak mulai berusahatani kedelainya sendiri sampai dengan saat ini. Hasil analisis menunjukkan 18,125 % responden yang memiliki pengalaman berusahatani kedelai selama ≤ 5 tahun, sedangkan 73,125% responden telah memiliki pengalaman usahatani 6 – 10 th dan 8,75 % responden berpengalaman usahatani kedelai ≥ 10 th. Program PTT kedelai telah diperkenalkan di beberapa daerah di Provinsi NAD sejak tahun 2009 yang lalu sehingga pengetahuan dan keterampilan responden mengenai komponen dalam PTT serta cara penerapannya diharapkan telah diperoleh oleh responden pada masa-masa tersebut. Pada umumnya petani yang memiliki lebih banyak pengalaman memiliki produktivitas yang tinggi dalam bekerja dan akan lebih mudah mengadopsi inovasi yang ada. Karena dengan pengalaman yang cukup (berdasarkan waktu) akan mempengaruhi seseorang petani dalam mengelola usahataninya. Dengan pengalaman berusahatani kedelai yang dimiliki petani tentunya akan memudahkan seseorang dalam menukar ilmu dan pengalaman dengan para petani lainnya dalam berusahatani yang baik dan bahkan tidak menutup kemungkinan
22 bagi petani dalam menukar atau bahkan menerima informasi yang bermanfaat bagi mereka dari para penyuluh guna memajukan usahanya dalam bercocok tanam kedelai. Maka dapat disimpulkan bahwa pengalaman juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh bagi seseorang khususnya petani dalam mengadopsi suatu teknologi seperti teknologi PTT kedelai.
5. Luas lahan usahatani kedelai
Luas lahan adalah lahan yang digunakan responden untuk usahatani kedelai pada saat penelitian dilakukan. Hasil analisis menunjukkan luas lahan responden 15,625 % termasuk dalam kategori luas ( > 1 ha), sedangkan 83,125 % responden luas lahannya termasuk dalam kategori sedang (0,6 – 1 ha) dan 1,25% responden memiliki lahan < 0,5 ha. Luas lahan menentukan kecepatan seseorang untuk mengadopsi suatu inovasi. Luas lahan menunjukkan kemampuan ekonomi seseorang. Seperti pendapat Lionberger (1960) dan Hanafi (1987) bahwa semakin luas lahan biasanya akan semakin cepat dalam mengadopsi inovasi. Maka dapat disimpulkan berdasarkan hasil survey dilapangan bahwa labih dari 80 % responden memiliki lahan hampir mendekati 1 ha, tentunya hal ini menunjukkan bahwa tingginya potensi petani dalam mengadopsi inovasi PTT kedelai yang akan mereka terima disebabkan luasnya lahan yang mereka miliki.
4.3. Pengetahuan Petani Tentang Teknologi PTT Kedelai
Umumnya petani di lokasi penelitian tidak mengenal istilah PTT Kedelai, akan tetapi mereka sudah melaksanakan beberapa komponen teknologi tersebut, baik komponen dasar maupun komponen pilihan. Komponen teknologi dasar yang telah dilaksanakan oleh semua petani di lokasi pengkajian adalah pemakaian benih unggul. Benih unggul yang digunakan oleh petani di lokasi pengkajian umumnya adalah benih kedelai yang berasal dari varietas unggul nasional, seperti; Kipas
Merah Bireuen, Kipas Putih, Anjasmoro dan Wilis. Akan tetapi sampai sejauh ini petani mengakui sangat jarang bahkan ada petani yang belum menggunakan benih berlabel.
Komponen teknologi dasar lainnya seperti pembuatan saluran drainase, pengaturan populasi tanaman dan juga pengendalian hama dan penyakit ada yang sudah dilaksanakan oleh petani, akan tetapi mereka melakukan dengan cara-cara sederhana belum mengaplikasikan dengan teknologi yang sesuai dengan benar. Hal ini disebabkan minimnya informasi yang didapatkan oleh petani karena kurangnya penyuluhan.
Pada komponen teknologi pilihan, petani di lokasi penelitian ada yang melakukan olah tanah dan ada yang tidak melakukan pengolahan tanah pada persiapan lahan. Petani juga jarang melakukan pemupukan pada tanaman kedelai. Meskipun mereka melakukan pemupukan, pupuk yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman, baik dosis yang dipakai maupun waktu pemberiannya. Demikian juga dengan pemberian kapur pada lahan kering masam. Petani mengakui mereka tidak melakukan pengapuran karena tidak mengetahui dengan persis apakah tanah mereka masam atau tidak, sehingga meskipun ada diantara mereka yang mengakui mengetahui tanah masam harus diberikan kapur mereka tetap tidak melakukannya. Pemberian air pada priode kritis tanaman khususnya disaat pebentukan bunga hingga pengisian biji juga jarang dilakukan. Petani juga masih sering menumpuk kedelai setelah di panen, dan ditutupi dengan plastik. Hal ini berdampak terhadap mutu hasil panen sehingga kedelai di beli dengan harga yang murah.
Gambaran yang dihadapi petani diatas menunjukkan bahwa mereka tidak terdedah dengan teknologi informasi budidaya kedelai yang sedang digalakkan pemerintah yaitu; pengengelolaan tanaman terpadu kedelai.
4.4. Keragaan Penerapan Teknologi PTT Kedelai
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) kedelai adalah suatu pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama petani. Prinsip
24 utama penerapan PTT kedelai mencakup lima unsur, yaitu; partisipatif, spesifik lokasi, terpadu, sinergis dan serasi serta dinamis. Komponen teknologi PTT kedelai dibagi menjadi dua, yaitu komponen teknologi dasar terdiri dari (1) varietas unggul baru, (2) benih bermutu dan berlabel, (3) pembuatan saluran drainase, (4) pengaturan populasi tanaman, dan (5) pengendalian OPT (organisme pengganggu tanaman) secara terpadu. Sedangkan komponen teknologi pilihan terdiri dari; (1) penyiapan lahan, (2) pemupukan sesuai kebutuhan tanaman, (3) pemberian pupuk organik, (4) amelioran pada lahan kering masam, (5) pengairan pada priode kritis, dan (6) penangan panen dan pascepanen (Departemen Pertanian, 2009).
Berdasarkan komponen-komponen teknologi yang terkandung dalam pendekatan PTT kedelai tersebut, maka tingkat adopsi komponen PTT kedelai yang telah dilaksanakan oleh petani responden seperti terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan Tingkat Adopsi Komponen Teknologi PTT Kedelai di Provinsi Aceh, 2011.
Komponen Teknologi PTT Kedelai
Kategori
Jumlah Tidak
mengadopsi Mengadopsi sebagian Mengadopsi
Komponen dasar:
1. Varietas unggul baru 0 0 160 160
(0) (0) (100) 100
2. Benih bermutu dan berlabel 0 143 17 160 (0) (89) (11) 100 3. Pembuatan saluran drainase 0 47 113 160 0 29 71 100 4. Pengaturan populasi tanaman 12 33 115 160 8 21 72 100 5. Pengendalian OPT 117 40 3 160 73 25 2 100 Komponen pilihan: 1. Penyiapan lahan 0 0 160 160 0 0 100 100 2. Pemupukan sesuai kebutuhan tanaman 122 33 5 160 76 21 3 100 3. Pemberian pupuk organik 146 14 0 160 91 9 0 100 4. Amelioran pada
lahan kering masam
160 0 0 160 100 0 0 100 5. Pengairan pada priode kritis 112 48 0 160 70 30 0 100
6. Panen dan pasca
panen 0 105 55 160
0 66 34 100
A. Komponen Teknologi Dasar
1. Varietas unggul baru
Varietas unggul baru (VUB) umumnya berdaya saing tinggi, tahan terhadap hama penyakit utama atau tahan deraan lingkungan setempat dan dapat juga memiliki sifat khusus tertentu (Departemen Pertanian, 2009). Tabel 2 menunjukkan
26 umumnya petani sudah menggunakan varietas unggul baru yang direkomendasikan oleh Dinas Pertanian setempat. Semua petani yang terlibat dalam penelitian ini menjawab telah menggunakan varietas unggul nasional seperti Anjasmoro dan Kipas Merah Bireuen.
2. Benih bermutu dan berlabel
Benih bermutu adalah benih dengan tingkat kemurnian dan daya tumbuh yang tinggi (≥ 85%). Umumnya benih bermutu dapat diperoleh dari benih berlabel yang sudah lulus proses sertifikasi. Benih bermutu akan menghasilkan bibit yang sehat dengan akar yang banyak (Departemen Pertanian, 2009).
Hasil penelitian menunjukkan 89% responden menggunakan benih yang menurut mereka mempunyai ciri-ciri bermutu, akan tetapi umumnya benih tersebut tidak berlabel. Hanya 11% responden mengakui menggunakan benih bermutu dan berlabel yang didapatkan dari Dinas/Instansi terkait.
3. Pembuatan saluran drainase
Sebagian besar petani (71%) sudah melakukan pembuatan drainase pada lahan usahatani kedelai yang diusahakan. Mereka mengetahui dengan persis manfaat pembuatan saluran drainase tersebut. Petani mengungkapkan perlunya drainase pada lahan kedelai adalah untuk mengalirkan air ke areal pertanaman dan juga membuang kelebihan air pada saat hujan. Sedangkan 29% lainnya menyatakan juga sudah membuat saluran tersebut akan tetapi tidak sempurna. 4. Pengaturan populasi tanaman
Umumnya petani sudah mengatur populasi tanaman dengan melakukan penanaman secara tugal, jarak tanam antar baris 40 cm, dalam barisan 10 – 15 cm dan menanaman 2 – 3 biji per lubang. Sebanyak 115 petani (72%) telah menerapkan pengaturan tanaman dengan baik, 33 orang (21%) masih belum melakukan dengan sempurna dan 12 petani lainnya (8%) masih menabur benih
sembarangan (sistem tebar).
5. Pengendalian OPT secara terpadu
Rekomendasi pengendalian organisme pengganggu tanaman dan penyakit secara terpadu merupakan metode pengendalian hama penyakit dengan cara identifikasi jenis dan penghitungan kepadatan populasi hama, mengidentifikasi faktor penyebab penyakit, menentukan tingkat kerusakan baru melakukan pengendalian, dengan beberapa cara; mengusahakan tanaman selalu sehat, pengendalian secara hayati, penggunaan varietas tahan, pengendalian secara fisik dan mekanis, penggunaan pestisida kimia.
Sebagian besar petani (73%) masih menggunakan pestisida kimia tanpa mempertimbangkan jenis hama penyakit, intensitas serangan, dan cara perlakuan. Hal ini disebabkan karena faktor kebiasaan dan pemahaman yang kurang pada pelestarian lingkungan. 25% petani lainnya telah melakukan secara benar tapi masih menggunakan pestisida kimia sebagai bahan utama. Hanya 2 % petani yang secara benar memahami dan melaksanakan tindakan pengendalian sesuai anjuran.
B. Komponen Teknologi Pilihan
1. Penyiapan lahan
Pengolahan tanah tidak perlu dilakukan jika kedelai di tanam pada lahan sawah bekas tanam padi, dimana jerami dapat dipergunakan sebagai mulsa. Sedangkan pada lahan kering perlu dilakukan secara optimal. Semua petani sudah mengadopsi cara persiapan lahan yang baik untuk bercocok tanam kedelai (100%) ak dua kali dan satu kali pada musim kemarau. Semua petani (100 %) sudah melakukan pengolahan tanah secara sempurna. Pada lahan sawah mereka hanya membuat saluran drainase dan pengolahan tanah minimal sedangkan pada lahan tegalan melakukan pengolahan sempurna.
2. Pemupukan sesuai kebutuhan
28 pertumbuhan tanaman kedelai. Mereka memberikan pupuk tanpa memperhatikan takaran yang sesuai. Petani tidak memberikan Rhizobium pada tanaman kedelai. Kedelai yang ditanam pada lahan sawah tidak memerlukan banyak pupuk. Sampai waktu penelitian dilaksanakan belum pernah ada penetapan dosis pupuk dengan penggunaan Perangkat Uji Tanah Kering (PUTK). Petani menggunakan pupuk hanya sekedarnya saja (76%) dengan cara disebar. Akan tetapi ada juga petani yang sudah mulai menggunakan pupuk sesuai dengan waktu dan dosis yang dianjurkan terutama pada saat tanah masih lembab dengan cara disebar (21%). Hanya 3% petani yang mengadopsi cara pemupukan sesuai kebutuhan tanaman kedelai.
3. Pemberian bahan organik
Bahan organik merupakan sisa tanaman, kotoran hewan, pupuk hijau dan kompos. Pemberian pupuk organik dan pupuk kimia dalam bentuk dan jumlah yang tepat diketahui berperan sangat penting untuk keberlanjutan sistem produksi kedelai. Sebagian besar petani (91 %) belum menggunakan bahan organik baik berupa pupuk kandang maupun kompos atas dasar inisiatif sendiri. Beberapa alasan dikemukakan antara lain: belum mengetahui manfaat pupuk organik, bahan tidak tersedia di lokasi setempat, dan tidak ada biaya atau tenaga kerja. Hanya sebagai kecil petani (9 %) yang telah menggunakan bahan organik meskipun masih dalam jumlah sedikit.
4. Amelioran pada lahan kering masam
Pada umumnya petani tidak menggunakan kapur untuk menetralisir tanah kering masam tempat mereka bercocok tanam kedelai. Alasan utama yang dikemukakan adalah kurangnya modal dan tidak mengetahui secara persis apakah tanah mereka masam atau tidak.
5. Pengairan pada priode kritis
Priode kritis tanaman kedelai terhadap kekeringan mulai pada saat pebentukan bunga hingga pengisian biji (fase reproduktif). Pada saat ini tanaman
kedelai membutuhkan air untuk dapat membentuk polong yang sempurna sehingga produksi maksimal.
Petani mengetahui pentingnya air pada priode ini, akan tetapi sebagian besar dari mereka (70%) tidak melakukan tindakan apa-apa. Mereka hanya menunggu hujan turun untuk pemenuhan kebutuhan air. Hanya 30% petani saja yang mengusahakan mengairi lahan kedelai meskipun tidak maksimal.
6. Panen dan pascapanen
Panen yang tepat akan sangat menentukan mutu biji dan benih kedelai. Panen dilakukan jika tanaman sudah masak yang dicirikan 95% polong telah berwarna coklat dan daun berwarna kuning. Setelah pemanenam brangkasan kedelai harus segera dihamparkan di dijemur dan segera dirontokkan apabila brangkasan telah kering baik secara manual maupun menggunakan treser.
Tabel 2 menunjukkan sebagian besar petani sudah mengadopsi cara pemanenan yang benar meskipun tidak semua sesuai dengan rekomendasi. Hanya sebagian kecil responden (34%) menyatakan sudah melakukan panen dan pasca panen yang benar.
4.5. Faktor Internal Dan Eksternal Yang Mempengaruhi Tingkat Adopsi
Berdasarkan hasil survei tersebut diatas, diketahui beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi tingkat adopsi teknologi PTT kedelai di lokasi penelitian.
A. Faktor Internal
1. Umur
Tingkat umur atau usia merupakan salah satu faktor yang dapat diperhatikan dalam menentukan tingkat adopsi suatu teknologi. Umur merupakan salah satu faktor internal yang dapat menentukan seseorang untuk menerima atau tidaknya suatu informasi baru. Berdasarkan hasil survei, rata-rata umur petani kedelai merupakan rata-rata umur produktif dalam melakukan atau menghasilkan terhadap
30 suatu pekerjaan yang dilakukannya. Umumnya pekerjaan bercocok tanam kedelai dilakukan oleh petani yang memiliki usia dibawah 50 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa adanya indikasi terhadap mudahnya suatu inovasi teknologi yang akan masuk ke daerah tersebut, tentunya hal ini mungkin saja dapat terjadi karena dengan umur produktif yang dimiliki petani akan memudahkan bagi seseorang dalam menerima suatu ilmu atau pengetahuan yang baru didengar atau didapatkannya. Maka hal ini menunjukkan bahwa umur merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap individu atau internal seseorang petani didalam menerima atau mengadopsi suatu teknologi.
2. Pengalaman
Dalam menjalankan usahatani yang baik dan produktif diperlukan juga pengalaman yang mendalam dari seorang petani terhadap ilmu dari usahatani itu sendiri. Karena dengan pengalaman yang cukup (berdasarkan waktu) akan mempengaruhi seseorang petani dalam mengelola usahataninya. Hasil survey menunjukkan pengalaman yang dimiliki petani dalam berusahatani kedelai pada umumnya berada antara 5 - 30 tahun. Dengan pengalaman tersebut menunjukkan banyaknya ilmu yang diperoleh petani selama ia berusahatani kedelai. Tentunya hal ini memudahkan seseorang dalam menukar ilmu dan pengalaman dengan para petani lainnya dalam berusahatani yang baik dan bahkan tidak menutup kemungkinan bagi petani dalam menukar atau bahkan menerima informasi yang bermanfaat bagi mereka dari para penyuluh guna memajukan usahanya dalam bercocok tanam kedelai. Oleh karena itu pengalaman merupakan salah satu faktor yang berpengaruh bagi seseorang khususnya petani dalam mengadopsi suatu teknologi seperti teknologi PTT kedelai.
3. Tingkat pendidikan
Hasil survey menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang dijalani oleh para petani kedelai pada umumnya hanya tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau jika didefenisikan pada umumnya petani mengenyam pendidikan selama 9
tahun. Dengan rata-rata tingkat pendidikan petani tersebut menunjukkan petani dalam menerima suatu informasi atau ilmu dan teknologi berada pada tingkat pertengahan. Dimana perlu adanya penyuluhan secara intensif bagi petani kedelai dalam mendifusikan suatu teknologi hingga mencapai titik pengadopsian bagi mereka dalam menerima suatu teknologi baru.
4. Tingkat Pendapatan
Seorang petani didalam menerima atau mengadopsi suatu informasi atau teknologi baru juga memerlukan adanya pengaruh atau dukungan terhadap penghasilan atau tingkat pendapatan yang didapatkannya dalam suatu periode tertentu. Karena dengan tingkat pendapatan yang ia dapatkan akan berpengaruh baginya dalam memutuskan atau melakukan sesuatu. Misalkan, apabila seorang petani memperoleh pendapatan per periode tertentu, dengan tingkat pendapatan yang tinggi diatas rata-rata petani pada umumnya, maka akan memudahkan bagi seseorang dalam menerima atau mengadopsi suatu teknologi. Berdasarka hasil survey umumnya petani kedelai memiliki karakteristik pekerjaan utama sebagai petani, dan mereka tidak memiliki pekerjaan tambahan atau sampingan. Sehingga pada umumnya penghasilan yang didapatkan mereka adalah berada dibawah rata-rata. Hal ini akan sangat menyulitkan bagi petani dalam menerima atau mengadopsi suatu teknologi. Oleh karena itu perlu adanya peran pemerintah untuk memotivasi petani dalam mengadopsi suatu teknologi, agar perangkat-perangkat yang diperlukan petani dalam suatu teknologi dapat terpenuhi seperti penyediaan benih, pupuk dan hal lainnya yang diperlukan, seiring dengan terjawabnya permasalahan petani terhadap tingkat pendapatan yang rendah.
5. Sikap
Dalam proses penerimaan suatu informasi atau teknologi baru bagi petani diperlukan sikap dalam melakukan segala hal. Dimulai dari cara petani dalam menerima atau mendengarnya kemudian melihatnya dan pada akhirnya berada pada tahap pengambilan keputusan dalam mengadopsi atau tidaknya suatu informasi atau teknologi. Pada dasarnya hal tersebut dimulai dari sikap atau cara petani dalam
32 memutuskan sesuatu. Pada dasarnya sikap juga dapat dikorelasikan dengan umur dan tingkat pendidikan. Dengan umur yang produktif beserta tingkat pendidikan yang memadai akan mempengaruhi seseorang dalam menentukan sikapnya untuk mengadopsi atau tidak terhadap suatu teknologi baru yang diterimanya. Maka dalam hal ini menunjukkan bahwa sikap merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam pengadopsian seorang petani terhadap inovasi teknologi.
6. Sifat komersialisasi
Sifat komersialisasi merupakan suatu sifat yang berada dalam diri atau internal seorang petani. Karena dengan adanya sifat ini didalam diri seorang petani maka akan menunjukkan hasil yang maksimal terhadap produksi usahataninya dan juga berpengaruh besar terhadap tingkat penghasilan yang didapatkannya. Karena pada tahap ini seorang petani sudah dihadapkan pada pertanian bersistem modern dan meninggalkan pertanian dengan subsistem. Artinya petani kita sudah bergerak dengan skala untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dan meninggalkan sistem usahatani yang produksinya hanya untuk dikonsumsi sendiri atau mendapatkan produksi dalam skala kecil. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan sebagian besar atau bahkan hampir seluruhnya petani kedelai yang ada, menjual hasil usahataninya sebanyak 90% dari hasil produksi yang didapatkanya dalam satu kali panen. Maka hal ini menunjukkan bahwa adanya sifat komersil didalam diri petani dalam mengelola hasil usahataninya. Tentunya hal ini juga akan berpengaruh terhadap internal diri petani didalam mengadopsi suatu inovasi teknologi. Karena dengan tekad mereka dalam meningkatkan hasil usahataninya untuk dipasarkan dengan memperoleh keuntungan yang tinggi maka muncul dorongan yang kuat dalam diri petani untuk menerima suatu inovasi teknologi guna memajukan sistem usahataninya menjadi lebih baik.
7. Pengetahuan (wawasan) dan motivasi
Bagi seorang petani pengetahuan atau wawasan dalam berusahatani sangat diperlukan. Karena dengan pengetahuan atau wawasan tersebut seorang petani dapat menentukan ataupun memutuskan suatu kesimpulan yang berhubungan
dengan usahataninya. Pengetahuan ini juga dapat dipadukan dengan motivasi petani dalam mengambil keputusan untuk menentukan suatu tindakan. Berdasarkan hasil survey pada umumnya setiap petani kedelai memiliki pengetahuan yang cukup dalam mengelola usahataninya. Contoh salah satu tindakan yang mereka lakukan berdasarkan pengetahuan dan motivasi adalah seperti pada saat mereka melakukan pengendalian hama dan penyakit. Pada tahap ini pengendalian yang mereka lakukan dimulai dengan mengetahui atau memonitoring secara langsung dilahan mereka masing-masing terhadap jenis hama atau penyakit yang menyerang tanaman kedelai mereka. Maka setelah mereka mengetahui jenis hama dan penyakit yang menyerang tanaman kedelai mereka dan mengetahui seberapa banyak tingkat populasi dan seberapa besar kerusakan yang dilakukan olehhama dan penyakit yang menyerang tanaman mereka tersebut, maka dengan sendirinya para petani tersebut termotivasi dengan segala pengetahuan yang mereka miliki untuk melakukan pengendaliannya dengan cara pencegahan dan pembasmian. Akan tetapi dalam hal ini masih ditemukannya ditingkat petani terhadap keterbatasan mereka dalam mempergunakan pupuk an organik yang mereka percayai bahwa dengan pemberian pupuk an organik permasalahan hama dan penyakit tersebut akan cepat tertanggulangi. Hal ini membuktikan bahwa masih tingginya tingkatan ketergantungan petani kedelai kita terhadap pupuk an organik didalam mengatasi masalah usahataninnya. Maka dalam hal ini diperlukan adanya penanganan secara serius oleh para penyuluh untuk memberikan pencerahan yang berguna bagi para petani dalam mengelola uasahataninnya secara efektif dan efisien. Maka dapat terbukti bahwa pengetahuan dan wawasan merupakan salah satu faktor internal yang ada dalam diri setiap petani didalam menerima atau mengadopsi suatu inovasi teknologi.
34
B. Faktor Eksternal
1. Benih
Bila dilihat dari segi harga benih serta kemudahan petani dalam mengakses atau mendapatkannya, maka benih juga salah satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap kesediaan petani dalam mengadopsi teknologi PTT kedelai. Karena, apabila ditinjau dari segi harga benih yang ada ditingkat pasaran, banyak petani yang mengeluhkan atas harganya yang sulit dijangkau serta ditambah lagi adanya permainan harga yang tidak berpihak kepada petani. Walaupun benih tersebut bisa mereka dapatkan dari penjual yang ada ditingkat kecamatan akan tetapi petani mengaku mereka lebih dominan mengambil inisiatif dengan memperolehnya dari hasil produksi mereka sendiri. Akan tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini dimulai dari tahun 2009, mereka mendapatkan bantuan benih dari pemerintah. Bantuan benih yang merupakan bagian dari program Kementerian Pertanian yaitu program SL-PTT kedelai, yang salah satu paket teknologinya adalah dengan menggunakan benih unggul. Oleh karena itu benih unggul inilah yang digunakan oleh petani kedelai saat ini. Maka pada dasarnya secara tidak langsung petani telah mengadopsi salah satu paket teknologi SL-PTT kedelai ini.
2. Pengairan
Kendala lain yang dihadapi petani dalam berusahatani kedelai adalah pengairan yang dirasakan sangat sulit oleh sebagian petani. Kendala tersebut sangat mereka rasakan karena letak lahan mereka yang berjauhan dari pusat air waduk yang terdapat di desa mereka. Sehingga mereka harus menunggu air hujan untuk mencukupi air yang ada di lahan mereka, bahkan tak jarang pada suatu kondisi ketika tanaman mereka sangat membutuhkan air mereka harus mencukupinya dengan memompa air dari sumur ataupun genangan air yang ada disekitar lahan mereka. Maka kendala ini juga akan mempengaruhi petani dalam mengadopsi suatu teknologi baru yang akan diterimanya.
Kendala lain yang petani alami adalah mereka harus berhadapan dengan hama dan penyakit yang menyerang tanaman mereka. Para petani mengeluhkan hama yang sering mengganggu tanaman adalah ulat yang datang mengganggu pada saat tanaman masih kecil atau berumur sekitar kurang dari 1 bulan, kemudian ketika tanaman kedelai mereka sudah mulai berbunga mereka harus berhadapan lagi dengan hama walang sangit, dan ketika tanaman sudah mulai berbuah muncul kembali hama ulat dan tikus yang merupakan hama yang paling berat menurut penuturan sejumlah petani. Antisipasi yang petani lakukan ketika mereka harus berhadapan dengan hama tikus tersebut mereka menggunakan pengendaliannya dengan menggunakan racun tikus yang mereka berikan pada beberapa titik tertentu untuk memancing pembasmian hama tersebut.
4. Pupuk
Permasalahan dosis pemakaian pemupukan dalam berusahatani terkadang menjadi kendala tersendiri dalam dunia pertanian. Pasalnya dengan pemberian pupuk yang tidak sesuai dosis akan mempengaruhi hasil produksi yang diperoleh. Permasalahan lain yang sering muncul saat ini adalah harga jual yang masih sulit dijangkau oleh petani serta adanya tingkat kesulitan petani dalam mendapatkan pupuk baik ditingkat pasar ataupun bagaimana mereka memproduksinya sendiri seperti pupuk kandang yang terkadang sulit tercukupi karena terbatasnya pupuk organik yang tersedia.
5. Intensitas dan cara penyuluhan
Intensitas penyuluh memberikan informasi/penyuluhan dan cara penyampaian sebuah informasi teknologi baru yang masuk didaerah akan sangat menentukan suatu teknologi diadopsi oleh petani. Peran penyuluh dalam menata setiap informasi yang ada untuk disampaikan kepada petani sangat menentukan tingkat adopsi apabila informasi tersebut dapat diserap dengan mudah oleh petani 6. Peran kelompok atau organisasi
36 Dalam hal ini, adanya peran kelompok tani dalam menyampaikan/ mendapatkan informasi apapun mengenai pertanian. Juga disertai dengan peran organisasi sosial yang ada ditingkat desa ataupun kecamatan yang juga berperan didalam menyalurkan informasi sehingga di adopsi oleh para petani.
7. Issu terkait
Yaitu adanya kemudahan petani dalam memasarkan hasil produksi pertaniannya (pemasaran) dan peran petani dalam mengakses modal misalkan seperti perkreditan yang akan memudahkan petani dalam permodalan usahataninya. Dalam hal ini pemasaran ditingkat petani untuk menjual hasil panennya mereka merasa tidak masalah, karena begitu pada saat panen hasilnya langsung ditampung. 8. Sarana Produksi
Ketersedian sarana produksi budidaya kedelai, ketersediaan modal untuk budidaya kedelai, dorongan sosial dan kelompok terhadap petani dalam menerapkan teknologi budidaya kedelai, dan keikutsertaan petani dalam program pemerintah yang bertujuan untuk mendorong penerapan teknologi anjuran, dalam hal ini adalah kegiatan uji coba penerapan teknologi PTT kedelai.
9. Kondisi Alam
Kondisi alam yang ada disekitarnya juga dapat berpengaruh terhadap bersedia atau tidaknya seseorang petani untuk mengadopsi sebuah inovasi teknologi
V. KESIMPULAN
1. Faktor internal yang mempengaruhi petani dalam mengadopsi teknologi PTT kedelai adalah : • Umur • Pengalaman • Tingkat Pendidikan • Tingkat Pendapatan • Sikap • Sifat komersialisasi
• Pengetahuan (wawasan)dan motivasi
2. Faktor eksternal yang mempengaruhi petani dalam mengadopsi teknologi PTT kedelai adalah :
• Benih • Pengairan • Hama penyakit • Pupuk
• Intensitas dan cara penyuluhan • Peran kelompok dan organisasi • Issu terkait
• Sarana produksi • Kondisi alam