• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Pemupukan

Pemupukan merupakan proses penambahan unsur hara dan perbaikan struktur tanah serta penggantian unsur-unsur hara yang hilang diserap/diangkut oleh tanaman, tercuci atau tererosi. Tujuan pemupukan adalah agar tanaman dapat tumbuh subur dan seragam serta memberikan hasil yang optimum dan meningkatkan daya dukung dan kesuburan tanah. Biaya pemupukan sangat tinggi, sehingga efisiensi dan keefektifan pemupukan sangat penting. Untuk mewujudkannya perlu diterapkan pedoman pemupukan 4 tepat, yakni tepat jenis, tepat dosis, tepat waktu, tepat cara dan tempat (Risza 2014).

Tepat Jenis

Beberapa dasar pertimbangan yang digunakan dalam penentuan jenis pupuk antara lain adalah umur tanaman, gejala defisiensi unsur hara, kondisi lahan dan harga pupuk (Poeloengan 2007). Penentuan tepat jenis diperoleh dari hasil analisis defisiensi unsur hara secara visual yang penulis amati di lapangan dan disesuaikan dengan data defisiensi unsur hara hasil analisis daun 2013, untuk menentukan unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Informasi status hara dari kebun diasumsikan sama dengan kondisi kebun saat kegiatan magang berlangsung yaitu pada tahun 2014 karena rekapitulasi status unsur hara dilaksanakan 1 tahun sekali oleh Departemen Riset BGA. Selain itu, penulis menentukan ketepatan jenis pupuk dengan mengamati jenis pupuk yang direkomendasikan Departemen Riset BGA dengan jenis pupuk yang diaplikasikan di lahan.

Rekomendasi pemupukan dibuat setiap tahun dengan berdasarkan pada hasil analisis daun dan tanah, hasil pengamatan lapangan, pelaksanaan pemupukan sebelumnya, potensi produksi dan hasil percobaan pemupukan (Risza 2010). Aplikasi jenis pupuk yang digunakan SCME berdasarkan pada rekomendasi pemupukan 2014 yang dikeluarkan oleh Departemen Riset BGA. Jenis pupuk yang digunakan SCME selama penulis magang adalah pupuk tunggal dan pupuk majemuk. Pupuk tunggal yang digunakan adalah Urea, Rock of Phospate (RP), Muriate of Potash (MOP), Kieserite, dan HGFB (High Grade Fertilizer Borate). Pupuk Majemuk yang digunakan adalah NPK 15-15-15.

Berdasarkan data defisiensi hara tahun 2013 dapat diketahui bahwa kebun SCME mengalami beberapa defisiensi unsur hara, antara lain adalah defisiensi unsur N, P, K, Mg, dan B. Berdasarkan pengamatan visual penulis di kebun, SCME mengalami beberapa defisiensi unsur hara, antara lain adalah defisiensi unsur P, K, Mg, B dan Fe. Kandungan unsur hara pada jenis pupuk yang diaplikasikan di lahan hampir seluruhnya telah memenuhi kebutuhan tanaman sesuai konsep tepat jenis. Namun untuk defisiensi Fe, tidak ada jenis pupuk yang diberikan dan diaplikasikan ke lahan. Hal ini dapat terjadi karena defisiensi Fe tidak tercatat pada buku urutan pemupukan hasil dari pengamatan defisiensi unsur hara 2013 oleh Departemen Riset BGA. Selain itu, defisiensi Fe tidak termasuk dalam kategori berat (mencapai pelepah ke 17). Dengan demikian pihak manajemen BGA pun tidak mencantumkan kebutuhan pupuk Fe dalam program pemupukan. Pupuk NPK 15-15-15 khusus diaplikasikan pada TBM di SCME, sedangkan pupuk tunggal Urea, RP dan MOP diaplikasikan pada TM. Secara umum SCME telah memenuhi kaidah tepat jenis.

Tepat Dosis

Menurut Setyamidjaja (2006), untuk memenuhi kebutuhan unsur hara bagi tanaman kelapa sawit, maka pemupukan harus menggunakan dosis yang direkomendasikan oleh pusat penelitian berdasarkan hasil analisis daun dan tanah. Dengan analisis daun dan tanah, ketersediaan unsur-unsur hara di dalam tanah dan tanaman dapat diketahui dan dapat digunakan sebagai acuan untuk menetapkan dosis pemupukan. Dosis pemupukan dapat berbeda-beda antara bagian kebun, namun yang paling penting adalah kebutuhan tanaman terhadap unsur hara makro dan mikro harus terpenuhi agar pertumbuhan dan produksi kelapa sawit sesuai

dengan yang diharapkan. Menurut Adiwiganda (2007) Penentuan dosis pupuk didasarkan pada berbagai faktor yang meliputi jumlah unsur hara yang terbawa TBS sewaktu panen, yang terimmobilisasi dalam batang dan pelepah, dan yang difiksasi oleh tanah dan estimasi kehilangan unsur hara akibat aliran permukaan setelah pupuk diaplikasikan. Dosis pupuk tersebut dianggap sebagai dosis minimum (standar). Berdasarkan dosis standar tersebut, rekomendasi pupuk yang khusus dapat ditentukan dengan memperhitungkan faktor seperti kandungan hara tanah dan daun, target produksi TBS, dan gejala defisisensi unsur hara.

Ketepatan dosis yang diamati penulis meliputi ketepatan dosis untilan dan dosis aplikasi penaburan pupuk di lahan. Pengamatan dosis untilan penulis lakukan pada pupuk Urea dan MOP. Hasil pengamatan dosis untilan Urea dan MOP yang disajikan pada Tabel 8 menunjukkan nilai ketepatan bobot untilan Urea adalah 96.80%, sedangkan MOP menunjukkan nilai 99.93%. Kedua nilai ini sudah cukup baik dan telah mencapai nilai standar ketepatan kebun yakni 95%. Sehingga bobot untilan pupuk dapat dikatakan telah tepat dosis dan para karyawan until telah mampu menguntil pupuk Urea dan MOP dengan tepat dan baik. Prestasi tenaga kerja penguntil sangat baik, rata-rata setiap harinya penguntil dapat menyelesaikan untilan lebih dari standar kerja 2000 kg/HK. Apabila lebih dari basis maka penguntil mendapatkan premi sesuai dengan tonase yang didapatkan. Selama kegiatan magang, ketersediaan pupuk di gudang BMS selalu tersedia, sehingga kegiatan pemupukan berjalan dengan lancar dan kegiatan penguntilan dapat dilakukan.

Pengamatan ketepatan dosis penaburan pupuk, penulis lakukan pada pupuk Urea. Penulis mengamati ketepatan dosis pupuk Urea pada blok J016 tahun tanam 2009, J171 tahun tanam 2010, dan J019 tahun tanam 2007. Pada masing-masing blok penulis melakukan pengamatan terhadap 3 orang penabur untuk melihat ketepatan dari masing-masing penabur. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 10.

Penulis mengamati jumlah pokok yang teraplikasi dari setiap karung until. Setiap penabur dilakukan sebanyak 3 kali ulangan (untilan). Nilai standar ketepatan dosis aplikasi adalah 85%. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa penabur pada Blok J016 memiliki ketepatan dosis aplikasi rata-rata 85.46% dan 85.93%, artinya dari dosis rekomendasi 1.25 kg pupuk pokok-1 penabur rata-rata telah menabur pupuk dengan dosis 1.07 kg dan 1.18 kg pokok-1. Penabur pada Blok J171 memiliki ketepatan dosis aplikasi rata-rata 73.13%, 70.71%, dan 69.40%, artinya dari dosis rekomendasi 1.25 kg pupuk pokok-1 penabur rata-rata telah menabur pupuk dengan dosis 0.91 kg, 0.88 kg dan 0.87 kg pokok-1. Penabur pada Blok J019 memiliki ketepatan dosis aplikasi rata-rata 85.71%, 85.93%, dan 88.89%, artinya dari dosis rekomendasi 1.25 kg pupuk pokok-1 penabur rata-rata telah menabur pupuk dengan dosis 1.07 kg dan 1.11 kg pokok-1. Nilai ini ketepatan dosis aplikasi pada blok J016 dan J019 telah memenuhi standar kebun, yakni 85%. Namun, untuk blok J171 belum memenuhi standar kebun. Perbedaan yang mencolok antara ketepatan dosis aplikasi pada blok J016 dan J019 dengan blok J171, antara lain dikarenakan kondisi tinggi pokok kelapa sawit di blok J171 yang masih tergolong rendah (tahun tanam 2010) dan pelepahnya menutupi jalan, sehingga menyulitkan penabur dalam berkonsentrasi dan bergerak. Akibatnya penabur terkadang tidak mengisi cepuk dengan penuh dan hanya memperkirakan taburan setiap pokok.

Hal-hal yang dapat menyebabkan ketidaktepatan dosis aplikasi pupuk antara lain adalah penabur yang tidak mengisi takaran pupuk (cepuk) dengan penuh, dan terkadang hanya mengira-ngira takaran saja. Taburan yang benar adalah taburan yang sesuai dengan takaran dan setiap pokok ditabur dengan 2 kali takaran. Takaran pupuk digunakan sesuai dengan jenis pupuk dengan dosis berbeda, untuk pupuk MOP dengan dosis 1.5 kg menggunakan takaran 0.75 kg sebanyak 2 kali. Takaran untuk pupuk RP dengan dosis 2 kg menggunakan takaran 1 kg sebanyak 2 kali, takaran untuk pupuk Urea dan Kieserite dengan dosis 1.25 kg menggunakan takaran 0.625 kg sebanyak 2 kali. Hal ini penting untuk diketahui penabur agar ketepatan dosis dapat tercapai. Ketepatan dosis masih dipengaruhi faktor subjektivitas, sehingga sangat penting untuk terus memberikan arahan dan kontrol bagi para penabur.

Tepat Waktu

Pemupukan harus dilakukan saat kondisi tanah tidak terlalu basah dan tidak terlalu kering atau berada dalam kisaran air tanah pada kapasitas lapangan. Kondisi ini biasanya berada pada awal dan akhir musim hujan (Adiwiganda 2007). Aplikasi pemupukan di kebun SCME terbagi atas dua semester yaitu semester I (Januari-Juni) dan Semester II (Juli−Desember). Pembagian semester bertujuan agar manajemen rotasi pupuk dapat terlaksana dengan efektif dan efisien. Tujuan pembagian semester juga untuk menghindari beberapa jenis pupuk yang sifatnya antagonis apabila diaplikasikan pada waktu yang bersamaan atau berdekatan. Waktu yang dibutuhkan tanaman untuk menyerap pupuk secara optimal adalah 2 bulan setelah aplikasi sehingga manajemen waktu sangat diperlukan untuk memastikan pupuk terserap efektif. Aplikasi pupuk pada blok-blok defisiensi lebih didahulukan dibandingkan dengan blok-blok-blok-blok yang tidak mengalami defisiensi. Data defisiensi unsur hara dapat dilihat pada Lampiran 8.

Pada saat magang, penulis melakukan pengamatan aplikasi pupuk pada bulan Maret hingga Juni 2014. Tabel 11 menunjukkan bahwa pelaksanaan aplikasi pupuk tidak selalu sama dengan waktu yang direncanakan. Secara persentase, ketepatan waktu aplikasi pupuk jika dibandingkan buku rekomendasi pemupukan adalah 55% aplikasi pupuk sesuai dengan rencana dan 20% aplikasi pupuk tidak sesuai dengan rencana. Ketidaktepatan waktu aplikasi ini dipengaruhi oleh ketersediaan jenis pupuk yang ada di gudang sentral. Menurut Adiwiganda (2007), keterlambatan waktu pemupukan merupakan kendala yang sering ditemukan di perusahaan-perusahaan sawit. Hal ini terutama diakibatkan oleh masalah transportasi pupuk ke kebun.

Pelaksanaan pemupukan harus memperhatikan curah hujan, untuk menghindari kehilangan unsur hara pupuk. Curah hujan yang ideal untuk pemupukan adalah 60−200 mm per bulan (PPKS 2007). Pada kondisi seperti ini tanah cukup basah (tetapi belum jenuh), sehingga memudahkan terserapnya unsur hara. Pagi sampai siang hari adalah waktu yang tepat untuk aplikasi pemupukan kelapa sawit (Pahan 2007). Pelaksanaan kegiatan pemupukan di SCME dilaksanakan mulai dari pukul 06.00 pagi hingga pukul 13.00 siang dan apabila hari hujan maka kegiatan pupuk dialihkan ke kegiatan perawatan tebas manual. Curah hujan di SCME relatif fluktuatif. Hal ini dapat dilihat dari historis curah hujan pada tahun 2009−2013, yang ditampilkan pada Lampiran 6. Namun, secara

rata-rata, kondisi curah hujan tinggi hanya terjadi pada bulan Oktober, yaitu sebesar 350.72 mm.

Pada saat magang, kondisi curah hujan tinggi hanya terjadi pada bulan Maret dengan curah hujan 355 mm. Kondisi seperti ini seharusnya tidak dilakukan kegiatan pemupukan karena akan mengakibatkan unsur hara hilang terbawa aliran air, pupuk yang terbawa air akan terbuang sia-sia dan dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan khususnya ekosistem air. Walaupun pada bulan Maret tetap dilakukan pemupukan, secara umum pemupukan dilakukan pada kondisi optimum, sehingga konsep tepat waktu dapat dikatakan telah terlaksana dengan baik.

Tepat Cara dan Tempat

Kualitas pemupukan ditentukan oleh 2 hal, yaitu kualitas pupuk dan kualitas aplikasi. Kualitas pupuk ditentukan oleh besarnya kadar air dan kandungan unsur hara utama dalam pupuk tersebut, sedangkan kualitas aplikasi penaburan pupuk di lapangan ditentukan oleh pengelolaan, organisasi kerja, cara pengaplikasian di lapangan serta administrasinya.

Ketepatan cara dan tempat pemupukan sangat penting untuk diperhatikan. Cara pemupukan yang dapat dilakukan antara lain adalah penyebaran secara merata pada lingkar luar dan lingkar dalam batang kelapa sawit, penempatan pupuk pada piringan, pada larikan mengelilingi pokok dan pupuk dibenamkan dalam larikan, pemupukan dengan disemprotkan pada daun, dan melalui infus akar. Tempat pemupukan melalui tanah yang paling sesuai untuk penyebaran pupuk adalah pada jarak 2−2.5 m dari pangkal batang, karena pada jarak ini, terdapat banyak akar tersier dan kuarter yang efektif dalam menyerap air, udara, dan unsur hara dari dalam tanah. Kerapatan akar yang tinggi terjadi di daerah gawangan, yaitu tempat daun-daun hasil tunasan ditumpuk dan terdekomposisi. Namun, pengaplikasian pupuk di piringan dapat dibenarkan untuk memudahkan pelaksanaan pemupukan dan pengontrolan dosis (Fauzi et al. 2012).

Pemupukan di SCME dilakukan secara manual yaitu dengan sistem tebar (broadcast) merata di piringan, berbentuk U untuk pupuk makro dan berbentuk cincin pada pupuk mikro. Berdasarkan pengamatan penulis, cara aplikasi pupuk yang dilakukan telah sesuai dengan rekomendasi dari Departemen Riset BGA yakni dilakukan dengan cara ditabur (broadcast). Aplikasi pupuk yang diamati penulis adalah aplikasi Urea, MOP, RP, Kieserite, NPK 15-15-15 dan HGFB.

Pengamatan ketepatan tempat penulis amati dengan mengukur jarak tebaran pupuk Urea dan MOP terdekat dengan pokok dan mengamati tempat penaburan pupuk RP, kemudian dibandingkan dengan SOP agronomi BGA. Penulis melakukan pengamatan pada pupuk Urea dan MOP. Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa untuk aplikasi pupuk Urea, rata-rata jarak tebaran pupuk adalah 71.70 cm. Jika dibandingkan dengan SOP agronomi BGA (150 cm), tingkat ketepatan tempat yang didapatkan ini masih kurang baik. Untuk pupuk MOP, berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa rata-rata jarak taburan pupuk dari batang pokok adalah 65.46 cm. Jika dibandingkan dengan SOP agronomi BGA (150 cm), tingkat ketepatan tempat yang didapatkan ini juga masih kurang baik dan harus ditingkatkan.

Penulis melakukan pengamatan ketepatan tempat pada pupuk RP. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 13. Berdasarkan hasil pengamatan, ketepatan penabur dalam mengaplikasikan pemupukan RP masih kurang baik, yakni dari 216 pokok contoh yang diamati hanya 55 pokok yang diaplikasi sesuai SOP. Aplikasi tempat pupuk RP yang tepat sesuai dengan SOP agronomi BGA adalah di antara piringan dan rumpukan pelepah. Aplikasi pupuk RP ini bertujuan merangsang pertumbuhan akar tersier dan kuarter yang banyak terdapat pada daerah tersebut. Menurut Fauzi et al. (2012), kerapatan akar yang tinggi terjadi di daerah gawangan mati, yaitu tempat daun-daun hasil tunasan ditumpuk dan terdekomposisi. Pertumbuhan dan percabangan akar terangsang bila konsentrasi hara cukup besar terutama unsur nitrogen dan fosfor.

Defisiensi Unsur Hara Tanaman

Tanaman yang mengalami kekurangan hara biasanya memperlihatkan gejalanya di lapangan sehingga akan lebih mudah mengetahui kekurangannya (Lubis 2008). Pengamatan defisiensi unsur hara tanaman kelapa sawit penulis amati secara visual dengan memperhatikan gejala-gelaja defisiensi tanaman yang dapat dilihat melalui kondisi batang dan daun. Faktor yang mempengaruhi defisiensi adalah pelaksanaan pemupukan yang tidak tepat. Menurut Lubis (2008) fiksasi pupuk dan kehilangan (losses) perlu menjadi perhatian, karena berkaitan dengan penyerapan unsur hara oleh tanaman. Beberapa unsur hara akan terikat atau terfiksasi jika terjadi kontak dengan koloid tanah. Kehilangan juga penting diperhatikan terutama berkaitan dengan persaingan gulma, penguapan, dan pencucian.

Pemupukan yang dilakukan kurang memperhatikan konsep tepat waktu, menjadi salah salah satu faktor yang menyebabkan defisiensi. Pemupukan yang dilaksanakan saat curah hujan tinggi dapat menyebabkan pupuk banyak hilang terbawa aliran air, akibatnya pupuk tidak terserap optimal sehingga tanaman masih banyak yang mengalami defisiensi unsur hara.

Pengamatan pada Tabel 15 menunjukkan bahwa dari 216 pokok yang diamati, jumlah pokok yang mengalami defisiensi adalah 192 pokok dengan 1 pokok mengalami defisiensi unsur P, 149 pokok mengalami defisiensi unsur K, 23 pokok menunjukkan gejala defisiensi unsur hara Mg, 14 pokok mengalami defisiensi unsur hara Fe, dan 5 pokok mengalami defisiensi unsur B. Pengamatan defisiensi unsur hara secara visual merupakan pendukung dan alternatif untuk melihat status unsur hara secara langsung, namun hasilnya tidak bersifat mutlak karena bersifat subjektif. Penentuan dosis unsur hara dan status hara yang paling tepat adalah dengan analisis daun dan tanah dari laboratorium yang telah sesuai standar operational.

Dokumen terkait