• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASALAH GIZ

HASIL DAN PEMBAHASAN

Prevalensi Balita Stunting dan Obesitas Menurut Provinsi

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang saat ini mengalami masalah gizi ganda, yaitu masalah kekurangan dan kelebihan gizi. Masalah kekurangan gizi pada balita ini menyebabkan gangguan pertumbuhan sehingga meningkatnya balita pendek (stunting) dengan prevalensi sebesar 38.4% tahun 2013, sedangkan untuk kelebihan gizi pada balita sehingga balita menjadi obesitas tahun 2013 adalah 7.7% yang ditunjukan pada tabel 4 di bawah ini. Berdasarkan prevalensi ada 5 provinsi yang memiliki prevalensi masalah stunting yang tinggi dan di atas prevalensi nasional yaitu provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan. Sedangkan 5 provinsi yang memiliki prevalensi masalah obesitas yang tinggi dan di atas prevalensi nasional, yaitu provinsi Lampung, Banten, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Papua. Beberapa provinsi yang memiliki masalah gizi ganda, yaitu dengan prevalensi masalah stunting dan obesitas tinggi di wilayahnya yaitu provinsi Lampung, Papua, Bengkulu, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat.

Pada penelitian ini, berdasarkan sampel yang diambil pada data sekunder yang berasal dari Riskesdas 2013 ada balita yang menderita stunting dan obesitas secara bersamaan (individu yang sama). Rata-rata prevalensi balita yang stunting dan obesitas pada waktu yang sama secara nasional yaitu 4.9%. Namun jika kelebihan berat badan (overweight) juga dihitung maka rata-rata prevalensi balita dengan masalah gizi ganda di Indonesia mencapai 8.1% di Indonesia. Penelitian ini dapat menghitung dan menunjukan jumlah dan prevalensi balita yang hanya menderita stunting, obesitas, dan keduanya (pada individu yang sama), namun belum ada jurnal atau sumber penelitian yang dapat mendukung untuk menghitung kerugian ekonomi karena masalah gizi ganda pada orang yang sama, terutama untuk faktor koreksinya sehingga tidak dapat dilakukan.

Menurut Anwar et al. (2014) di Indonesia, balita pendek dapat disebabkan oleh rendahnya konsumsi pangan hewani seperti daging, ikan, telur, dan susu sebagai sumber protein dan kalsium. Penelitian lainnya dari Susanty dan Margawati (2012) menunjukan bahwa asupan protein dan energi berhubungan signifikan dengan perkembangan motorik halus dan kasar balita, yang pada balita stunting perkembangan motoriknya terganggu akibat kekurangan asupan protein dan energi. Dapat dikatakan bahwa balita yang mengalami masalah kekurangan

energi dan protein cenderung mengalami masalah stunting dan gangguan perkembangan motoriknya.

Tabel 5 Prevalensi balita stunting dan obesitas di Indonesia tahun 2013 No. Provinsi Prevalensi Stunting (%)* Jumlah Balita Stunting Prevalensi Obesitas (%)* Jumlah Balita Obesitas 1. Aceh 40.1 224 841 6.2 70 241 2. Sumatera Utara 44.9 706 771 9.3 41 112 3. Sumatera Barat 38.7 211 766 6.2 15 561 4. Riau 36.9 257 562 8.9 148 486 5. Jambi 39.1 126 058 10.1 23 090 6. Sumatera Selatan 37.4 300 285 11.9 29 606 7. Bengkulu 39.9 72 139 11.6 116 907 8. Lampung 41.2 329 930 16.2 12 988

9. Kep. Bangka Belitung 26.9 34 271 7.1 41 545 10. Kepulauan Riau 28.9 62 222 6.1 530 875 11. DKI Jakarta 29.9 277 741 9.3 348 276 12. Jawa Barat 36.1 1 568 220 7.0 367 152 13. Jawa Tengah 36.1 1 005 277 7.8 61 232 14. D.I. Yogyakarta 25.6 68 915 5.2 53 510 15. Jawa Timur 35.7 1 067 537 7.2 28 011 16. Banten 34.1 411 314 14.5 49 122 17. Bali 33.1 109 760 8.1 27 290

18. Nusa Tenggara Barat 45.3 230 396 5.0 101 583 19. Nusa Tenggara Timur 51.6 318 527 4.9 24 831 20. Kalimantan Barat 38.6 189 951 8.2 16 696 21. Kalimantan Tengah 40.7 99 512 7.8 57 645 22. Kalimantan Selatan 43.2 175 997 5.9 73 268 23. Kalimantan Timur 30.3 123 442 7.4 42 147 24. Sulawesi Utara 37.8 78 851 6.6 11 417 25. Sulawesi Tengah 41.4 121 633 4.3 85 102 26. Sulawesi Selatan 41.5 345 986 4.4 16 582 27. Sulawesi Tenggara 40.9 120 451 7.3 103 794 28. Gorontalo 39.8 43 183 4.2 36 882 29. Sulawesi Barat 46.8 65 941 7.2 37 300 30. Maluku 40.4 78 901 7.7 25 073 31. Maluku Utara 41.1 55 773 4.9 101 913 32. Papua Barat 42.7 39 626 4.2 65 411 33. Papua 40.5 133 043 10.3 197 678 Indonesia 38.4 9 213 773 7.7 2 976 176

*Data sekunder (olah) Riskesdas 2013

Sumber: BPS 2013, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2013

Penelitian Hanum dan Khomsan (2012) menunjukan bahwa balita stunting memiliki hubungan yang signifikan dengan perkembangan bahasa. Penelitian kohort di Brazil menunjukan kelompok bayi yang lahir premature memiliki risiko stunting ketika berusia 12 bulan adalah sebesar 2.35 kali dan saat berusia 24 bulan sebesar 2.30 kali (Santos et al. 2009). Menurut Kusharisupeni (2002) bayi premature dengan berat badan lahir rendah, berat dan panjang badan juga dipengaruhi oleh status gizi ibu, juga dipengaruhi oleh usia kehamilan. Penelitian

di wilayah pesisir, Kota Makassar di Indonesia menunjukan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara variabel-variabel mengenai pola asuh dengan kejadian stunting pada anak 6-23 bulan di wilayah pesisir, sehingga peran orang tua terutama ibu yang berkontribusi lebih besar dalam proses pertumbuhan anak (Renyoet 2013).

Penelitian lainnya dari Sari et al. (2010) kualitas dan kuantitas dari MP- ASI yang baik merupakan komponen yang penting dalam makanan balita karena mengandung sumber zat gizi makro dan mikro yang berperan dalam pertumbuhan linier anak. Sama halnya dengan masalah stunting, prevalensi masalah obesitas di Indonesia cukup tinggi. Jika melihat dari prevalensi masalah obesitas ini ada beberapa provinsi yang memiliki prevalensi di atas rata-rata angka nasional, seperti Provinsi Lampung dengan prevalensi 16.2% dan Provinsi Banten 14.5%. Prevalensi balita obesitas di atas ini perlu untuk segera ditangani, hal ini dikarenakan masalah obesitas ini dianggap sebagai salah satu faktor yang dapat meningkatkan prevalensi intoleransi glukosa, hipertensi, dan penyakit jantung koroner aterosklerotik pada pasien-pasien yang obesitas (AHA 2011). Pada anak yang mengalami masalah obesitas serta kurangnya aktifitas fisik, ruang gerak yang terbatas maka anak obesitas juga dapat mengalami gangguan pernapasan dan komplikasi ortopedik (tulang).

Mengkonsumsi makanan manis dan tinggi lemak (pola makan), serta pola hidup yang kurang sehat dapat meningkatkan risiko kegemukan. Kegemukan dapat menimbulkan banyak penyakit pada balita, seperti gangguan penyakit hati, penyumbatan atau gangguan saluran pernapasan ketika tidur, dengan gejala mengompol sampai mengorok, usia yang lebih pendek dari pada generasi orang tuanya. Kemungkinan tinggi mengakibatkan risiko penyakit yang lebih mudah menyerang anak-anak yang kegemukan yaitu penyakit jantung dan pembuluh darah, seperti pembesaran jantung atau peningkatan tekanan darah, terganggunya metabolisme glukosa, seperti intoleransi glukosa yang merupakan keadaan kadar glukosa lebih tinggi dari batas atau keadaan normal tetapi tidak mencapai kriteria diagnosis diabetes mellitus, gangguan kedudukan tulang berupa kaki pengkor atau tergelincirnya bagian sambungan tulang paha (terutama anak laki-laki), serta gangguan kulit yang khusus di daerah lipatan akibat sering bergesekan (Kementerian Kesehatan RI 2015).

Estimasi Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Masalah Stunting pada Balita

di Indonesia

Estimasi kehilangan potensi ekonomi akibat masalah kekurangan gizi ini menggunakan rumus Konig tahun 1995 dan faktor koreksi dari Horton tahun 1999. Untuk itu maka faktor koreksi ini digunakan sebagai pengeroksi dari hasil perhitungan dengan rumus Konig. Besar rata-rata potensi ekonomi yang hilang akibat masalah stunting pada balita di 32 provinsi di Indonesia, ketika dewasa dan mengalami kehilangan produktivitas sebesar 2% adalah Rp 96 miliar, sedangkan jika penurunan produktivitas sebesar 9% adalah Rp 430 miliar.

Jadi dapat dikatakan rata-rata potensi ekonomi yang hilang di 32 provinsi yang ada di Indonesia sekitar Rp 96 miliar – Rp 430 miliar, jika nilai ini dilihat dalam persentase terhadap PDRB maka besar potensi ekonomi yang hilang akibat penurunan produktivitas 2% dan 9% sekitar 0.15% - 0.67% dari rata-rata PDRB provinsi-provinsi di Indonesia.

Tabel 6 Estimasi potensi kerugian ekonomi karena stunting (asumsi penurunan produktivitas 2% - 9% serta persentase terhadap PDRB

No. Provinsi

Potensi Kerugian Ekonomi %PDRB 2% (miliar rupiah) 9% (miliar rupiah) 2% 9% 1. Aceh 45 202 0.05 0.23 2. Sumatera Utara 54 242 0.01 0.06 3. Sumatera Barat 50 224 0.04 0.18 4. Riau 65 292 0.02 0.09 5. Jambi 79 356 0.11 0.48 6. Sumatera Selatan 231 1 040 0.13 0.58 7. Bengkulu 26 115 0.09 0.42 8 Lampung 77 346 0.05 0.21

9 Kep. Bangka Belitung 5 24 0.01 0.06

10 Kepulauan Riau 3 11 0.003 0.01 11 DKI Jakarta 22 97 0.002 0.01 12 Jawa Barat 365 1 644 0.04 0.16 13 Jawa Tengah 435 1 957 0.08 0.35 14 D.I. Yogyakarta 23 102 0.04 0.16 15 Jawa Timur 339 1 526 0.03 0.13 16 Banten 25 114 0.01 0.05 17 Bali 73 330 0.08 0.35

18 Nusa Tenggara Barat 74 334 0.13 0.59

19 Nusa Tenggara Timur 60 272 0.15 0.67

20 Kalimantan Barat 87 391 0.10 0.46 21 Kalimantan Tengah 23 105 0.04 0.17 22 Kalimantan Selatan 21 97 0.03 0.12 23 Kalimantan Timur 148 664 0.05 0.23 24 Sulawesi Utara 42 187 0.08 0.35 25 Sulawesi Tengah 5 23 0.01 0.04 26 Sulawesi Selatan 257 1 158 0.14 0.63 27 Sulawesi Tenggara 68 305 0.17 0.75 28 Gorontalo 22 98 0.18 0.83 29 Sulawesi Barat 155 699 0.96 4.32 30 Maluku 17 77 0.13 0.58 31 Maluku Utara 151 681 1.96 8.81 32 Papua Barat - - - - 33 Papua 10 46 0.01 0.05 Indonesia 3 057 13 758 0.04 0.16

Keterangan: PDRB atas dasar harga berlaku tanpa migas Sumber: Data sekunder (olah) 2013

Rentang tertinggi kehilangan potensi ekonomi karena stunting sebesar Rp 435 miliar – Rp 1 957 miliar di Provinsi Jawa Tengah atau persentase penurunan produktivitas terhadap PDRB provinsinya sekitar 0.08% pada penurunan produktivitas 2% dan 0.35% penurunan produktivitas 9%, dan terendah sekitar Rp 3 miliar – Rp 11 miliar di Provinsi Kepulauan Riau pada penurunan produktivitas 2% dan 9% atau 0.003% dan 0.01% terhadap PDRB provinsinya. Besar potensi ekonomi yang hilang akibat masalah stunting pada balita secara nasional, ketika dewasa dan mengalami kehilangan produktivitas sebesar 2% adalah Rp 3 057 miliar, sedangkan jika penurunan produktivitas sebesar 9% adalah Rp 13 758

miliar. Jika nilai-nilai ini dilihat dalam persentase terhadap PDB Indonesia maka besarnya potensi ekonomi yang hilang akibat penurunan produktivitas 2% secara nasional adalah 0.04% dan pada penurunan produktivitas sebesar 9% mencapai 0.16% dari total PDB Indonesia. Secara nasional, dapat dikatakan bahwa besar potensi ekonomi yang hilang akibat produktivitas yang rendah akibat stunting pada balita sekitar Rp 3 057 miliar – Rp 13 758 miliar atau 0.04% - 0.16% dari total PDB Indonesia. Hasil potensi kerugian ekonomi akibat stunting pada balita ini masih belum dapat dikatakan hasil potensi kerugian secara keseluruhan, hal ini dikarenakan belum adanya perhitungan biaya perawatan yang diakibatkan oleh penyakit infeksi yang terjadi pada balita stunting karena memiliki imunitas tubuh yang rendah serta biaya akibat kematian dini yang merupakan dampak dari PTM maupun penyakit lainnya yang disebabkan oleh stunting.

Perhitungan di Albania tentang kerugian ekonomi akibat beberapa permasalahan gizi dan stunting memiliki kerugian ekonomi 50% lebih besar dari masalah gizi lainnya (Bagriansky 2010). Penelitian serupa juga dilakukan di Kamboja, hasilnya stunting memiliki kerugian ekonomi hingga 31% ($128 juta atau sekitar Rp 1 568 miliar/tahun 2013) lebih besar dari masalah gizi lain di negara ini (Bagriansky et al. 2014). Salah satu faktor penyebab dari tinggi dan rendahnya kehilangan potensi ekonomi adalah jumlah kelahiran yang tinggi, setiap bayi yang lahir merupakan potensi dari sumber daya manusia yang baru dan banyaknya jumlah kelahiran juga akan mempengaruhi kehilangan potensi ekonomi yang tinggi jika persentase prevalensi masalah stunting juga tinggi. Walaupun tidak semua provinsi yang memiliki prevalensi masalah stunting yang tinggi, kehilangan potensi ekonominya juga tinggi. Pentingnya 1000 Hari Pertama Kehidupan bagi ibu dan anak, karena merupakan waktu kritis dan penuh tantangan untuk terhindar dari permasalah gizi dan kesehatan. Terutama bagi pertumbuhan anak agar lebih optimal, sehingga terhindar dari masalah gizi seperti tubuh anak yang pendek. Dukungan dan peran aktif dari pemerintah, semua sektor dan masyarakat sangatlah penting.

Estimasi Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Ketidakhadiran Kerja karena Masalah Obesitas pada Balita di Indonesia

Besar rata-rata potensi ekonomi yang hilang karena produktivitas kerja rendah pada balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa di 33 provinsi di Indonesia, jika saat dewasa tetap mengalami masalah obesitas adalah Rp 10 miliar pada laki-laki sedangkan pada perempuan sebesar Rp 11 miliar. Jadi dapat dikatakan rata-rata potensi ekonomi yang hilang di 33 provinsi yaitu Rp 10 miliar - Rp 11 miliar di Indonesia. Besar potensi ekonomi yang hilang balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa secara nasional, pada laki-laki yaitu Rp 260 miliar dan perempuan sebesar Rp 371 miliar. Secara nasional, dapat dikatakan bahwa besar potensi ekonomi yang hilang akibat rendahnya produktivitas akibat ketidakhadiran kerja karena balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa adalah Rp 260 miliar - Rp 371 miliar atau 0.003% - 0.004% dari total PDB Indonesia. Pekerja obesitas mempunyai keterbatasan kerja yang tinggi (6.9%) dibandingkan pekerja dengan berat badan normal (3%). Selain itu, karyawan obesitas dua kali lebih tinggi tingkat ketidakhadirannya dibandingkan dengan karyawan yang normal (Paula 2006).

Tabel 7 Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat ketidakhadiran kerja karena obesitas di Indonesia

No. Provinsi Laki-laki (miliar rupiah) Perempuan (miliar rupiah) 1. Aceh 8 14 2. Sumatera Utara 22 31 3. Sumatera Barat 15 15 4. Riau 7 7 5. Jambi 2 3 6. Sumatera Selatan 11 8 7. Bengkulu 2 2 8 Lampung 6 7

9 Kep. Bangka Belitung 0.93 1

10 Kepulauan Riau 4 3 11 DKI Jakarta 25 25 12 Jawa Barat 71 79 13 Jawa Tengah 32 34 14 D.I. Yogyakarta 2 2 15 Jawa Timur 59 49 16 Banten 17 12 17 Bali 4 3

18 Nusa Tenggara Barat 3 5

19 Nusa Tenggara Timur 5 6

20 Kalimantan Barat 4 3 21 Kalimantan Tengah 2 3 22 Kalimantan Selatan 6 8 23 Kalimantan Timur 8 8 24 Sulawesi Utara 2 6 25 Sulawesi Tengah 4 4 26 Sulawesi Selatan 8 18 27 Sulawesi Tenggara 2 2 28 Gorontalo 0.52 1 29 Sulawesi Barat 1 0.45 30 Maluku 2 2 31 Maluku Utara 1 3 32 Papua Barat 0.72 1 33 Papua 4 6 Indonesia 260 371

Keterangan: Laki-laki (L); Perempuan (P) Sumber: Data sekunder (olah) 2013

Hasil penelitian negara lain seperti di Amerika para pekerja full-time yang kelebihan berat badan atau obesitas dan juga memiliki masalah kesehatan kronis lainnya, sehingga biaya kehilangan produktivitas yang diperkirakan lebih dari $153 miliar (Rp 1 874 triliun/tahun 2013) setiap tahun. Biaya produktivitas ini akan meningkat jika termasuk presenteeism yaitu ketika karyawan datang untuk bekerja namun kurang produktif dalam melakukan pekerjaannya yang dikarenakan kondisi kesehatan yang buruk (Witters dan Agrawal 2011). Di negara Inggris dengan kehilangan biaya akibat ketidakhadiran kerja karena obesitas yaitu $5 juta (Rp 61 miliar/tahun 2013) yang hilang akibat penurunan produktivitas kerja (Dobbs et al. 2014). Penelitian di negara berkembang lainnya oleh

Pitayatienanan et al.(2014) di Thailand menunjukan kerugian ekonomi akibat ketidakhadiran kerja sekitar 694 juta baht (Rp 234 miliar/tahun 2013).

Ada beberapa hal yang mempengaruhi lebih tinggi kerugian ekonomi di Indonesia dengan negara lain yaitu perbedaan jumlah penduduk balita yang ada di Indonesia dengan negara lain, dan hasil kerugian ini merupakan nilai kerugian ekonomi pada balita obesitas yang ketika dewasa tetap mengalami masalah obesitas. Rentang tertinggi kehilangan potensi ekonomi sebesar Rp 71 miliar pada laki-laki dan Rp 79 miliar pada perempuan di Provinsi Jawa Barat dan terendah di Provinsi Gorontalo dengan kehilangan potensi ekonomi akibat ketidakhadiran kerja pada laki-laki sekitar Rp 0.52 miliar dan Provinsi Sulawesi Barat kehilangan potensi ekonomi akibat ketidakhadiran kerja pada perempuan sebesar Rp 0.45 miliar. Beberapa faktor yang mempengaruhi adanya rentang tertinggi dan terendah pada hasil kerugian ekonomi akibat ketidakhadiran kerja seperti prevalensi masalah obesitas, jumlah penduduk balita, rata-rata hari tidak bekerja akibat masalah obesitas, serta gaji/upah setiap provinsi oleh karena itu hal ini berlaku untuk provinsi lainnya yang memiliki jumlah gaji/upah yang bervariasi atau berbeda sesuai dengan keadaan ekonomi dan kebijakan dari masing-masing wilayah, seperti semakin tinggi upah/gaji maka nilai kehilangan potensi ekonomi akibat ketidakhadiran kerja menjadi tinggi. Pada provinsi Gorontalo yang lebih rendah kerugian ekonominya yaitu pada laki-laki karena perbedaan prevalensi masalah obesitas dan jumlah penduduk balita laki-laki dan perempuannya, sedangkan pada provinsi Sulawesi Barat yang kerugian ekonominya lebih rendah pada perempuan karena prevalensi masalah obesitas, jumlah penduduk balita, dan upah/gaji laki-laki dan perempuannya.

Estimasi Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Biaya Perawatan Rumah Sakit karena Masalah Obesitas pada Balita di Indonesia

Masalah obesitas meningkatkan risiko PTM seperti kanker, diabetes mellitus, gangguan jantung, stroke serta penyakit lainnya. Penyakit-penyakit ini secara umum dikatakan sebagai comorbidities dari obesitas atau dikatakan sebagai penyakit penyerta dari obesitas. Estimasi atau perkiraan besarnya kerugian atau kehilangan potensi ekonomi karena biaya perawatan kesehatan, menggunakan rumus yang sama dengan estimasi kerugian akibat ketidakhadiran kerja karena obesitas, hanya jika biaya perawatan ini menggunakan data jumlah penduduk balita usia 3, 4, dan 5 tahun yang obesitas setelah, rata-rata biaya perawatan (rawat inap dan rawat jalan) yang dikeluarkan untuk kejadian comorbidities, dan proporsi kejadian comorbidities pada populasi obesitas.

Tabel 8 menunjukan besar rata-rata potensi ekonomi yang hilang karena biaya perawatan rumah sakit (rawat jalan) akibat masalah obesitas dan PTM pada balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa di 33 provinsi adalah Rp 2 miliar pada laki-laki sedangkan pada perempuan adalah Rp 4 miliar. Jadi dapat dikatakan rata-rata potensi ekonomi yang hilang di 33 provinsi sekitar Rp 2 miliar - Rp 4 miliar di Indonesia. Besar potensi ekonomi yang hilang akibat balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa karena biaya rawat jalan secara nasional, pada laki-laki adalah Rp 53 miliar dan perempuan adalah Rp 129 miliar. Secara nasional, dapat dikatakan bahwa besar potensi ekonomi yang hilang akibat biaya perawatan kesehatan karena balita obesitas yang diprediksi obesitas saat

dewasa sekitar Rp 53 miliar - Rp 129 miliar atau 0.001% - 0.002% dari total PDB Indonesia.

Tabel 8 Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat biaya rawat jalan karena obesitas di Indonesia

No. Provinsi Laki-laki (miliar rupiah) Perempuan (miliar rupiah) 1. Aceh 2 2 2. Sumatera Utara 2 4 3. Sumatera Barat 1 4 4. Riau 2 2 5. Jambi 0.6 1 6. Sumatera Selatan 1 5 7. Bengkulu 0.5 0.4 8 Lampung 2 3

9 Kep. Bangka Belitung 0.3 0.5

10 Kepulauan Riau 0.8 1 11 DKI Jakarta 1 8 12 Jawa Barat 13 30 13 Jawa Tengah 8 23 14 D.I. Yogyakarta 0.9 0.7 15 Jawa Timur 3 7 16 Banten 3 2 17 Bali 0.5 1

18 Nusa Tenggara Barat 0.7 3

19 Nusa Tenggara Timur 0.7 2

20 Kalimantan Barat 1 3 21 Kalimantan Tengah 0.4 0.8 22 Kalimantan Selatan 1 2 23 Kalimantan Timur 1 2 24 Sulawesi Utara 0.4 0.7 25 Sulawesi Tengah 0.5 3 26 Sulawesi Selatan 2 8 27 Sulawesi Tenggara 0.3 2 28 Gorontalo 0.3 0.9 29 Sulawesi Barat 0.097 0.2 30 Maluku 0.5 1 31 Maluku Utara 0.2 0.7 32 Papua Barat 0.2 0.8 33 Papua 2 3 Indonesia 53 129

Keterangan: Laki-laki (L); Perempuan (P) Sumber: Data sekunder (olah) 2013

Pada tabel 9 diperoleh estimasi kerugian ekonomi akibat biaya rawat inap karena obesitas. Besar rata-rata potensi ekonomi yang hilang karena biaya rawat inap akibat masalah obesitas dan PTM pada balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa di 33 provinsi di Indonesia adalah Rp 107 miliar pada laki- laki sedangkan pada perempuan sebesar Rp 256 miliar. Jadi dapat dikatakan rata- rata potensi ekonomi yang hilang di 33 provinsi sekitar Rp 107 miliar - Rp 256 miliar di Indonesia. Besar potensi ekonomi yang hilang akibat balita obesitas yang

diprediksi obesitas saat dewasa karena biaya rawat inap secara nasional, pada laki- laki adalah Rp 3 439 miliar dan perempuan adalah Rp 8 588 miliar.

Tabel 9 Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat biaya rawat inap karena obesitas di Indonesia

No. Provinsi Laki-laki (miliar rupiah) Perempuan (miliar rupiah) 1. Aceh 90 276 2. Sumatera Utara 473 678 3. Sumatera Barat 52 130 4. Riau 104 160 5. Jambi 62 160 6. Sumatera Selatan 104 166 7. Bengkulu 29 29 8 Lampung 82 208

9 Kep. Bangka Belitung 26 64

10 Kepulauan Riau 38 86 11 DKI Jakarta 203 446 12 Jawa Barat 670 1.911 13 Jawa Tengah 402 1.589 14 D.I. Yogyakarta 71 53 15 Jawa Timur 268 529 16 Banten 137 206 17 Bali 104 157

18 Nusa Tenggara Barat 37 161

19 Nusa Tenggara Timur 35 98

20 Kalimantan Barat 32 47 21 Kalimantan Tengah 21 51 22 Kalimantan Selatan 50 69 23 Kalimantan Timur 34 63 24 Sulawesi Utara 40 91 25 Sulawesi Tengah 37 71 26 Sulawesi Selatan 123 508 27 Sulawesi Tenggara 67 202 28 Gorontalo 13 59 29 Sulawesi Barat 5 3 30 Maluku 12 29 31 Maluku Utara 32 42 32 Papua Barat 8 15 33 Papua 70 98 Indonesia 3 439 8 588

Keterangan: Laki-laki (L); Perempuan (P) Sumber: Data sekunder (olah) 2013

Rentang tertinggi kerugian ekonomi akibat biaya perawatan untuk rawat jalan dan rawat inap adalah di Provinsi Jawa Barat. Untuk kerugian akibat rawat jalan adalah Rp 13 miliar pada laki-laki dan Rp 30 miliar pada perempuan, sedangkan untuk rawat inap sebesar Rp 670 miliar pada laki-laki dan Rp 1 911 miliar pada perempuan. Rentang terendah kehilangan potensi ekonomi akibat biaya rawat jalan dan rawat inap terendah di Provinsi Sulawesi Barat. Kerugian ekonomi akibat biaya rawat jalan sekitar Rp 0.09 miliar pada laki-laki dan Rp 0.2

miliar pada perempuan, sedangkan akibat rawat inap sekitar Rp 3 miliar pada perempuan dan Rp 5 miliar pada laki-laki

Secara nasional, dapat dikatakan bahwa besar potensi ekonomi yang hilang akibat biaya perawatan kesehatan (rawat inap dan rawat jalan) karena masalah obesitas pada laki-laki dan perempuan adalah Rp 3 492 miliar - Rp 8 717 miliar atau 0.04% - 0.10% dari total PDB Indonesia. Biaya perawatan obesitas menggunakan anggaran perawatan kesehatan nasional sebesar $269 juta (Rp 3 295 miliar/tahun 2013) atau sekitar 2.3% dari total biaya perawatan rumah sakit di Swedia (Borg et al. 2005). Penelitian Pitayatienanan et al.(2014) di Thailand mengenai kerugian ekonomi akibat biaya perawatan mencapai 5.584 juta baht (Rp 2 082 miliar/tahun 2013).

Tinggi rendahnya kehilangan potensi ekonomi akibat biaya perawatan kesehatan (rawat inap dan rawat jalan) pada provinsi-provinsi yang ada di Indonesia, tidak selamanya dapat dikatakan karena tingginya prevalensi masalah obesitas yang terjadi di wilayah tersebut akan tetapi bisa dikarenakan perubahan pola penyakit. Jika dahulu banyak ditemukan berbagai penyakit yang bersifat akut, maka pada saat ini telah ditemukan berbagai penyakit yang bersifat kronis dan juga bila dibandingkan perawatan penyakit kronis lebih lama. Akibatnya biaya yang dikeluarkan untuk perawatan dan penyembuhan akan lebih banyak sehingga biaya kesehatan akan meningkat. Hal lain yang dapat mempengaruhi yaitu jumlah penduduk dan biaya perawatan untuk rawat inap dan rawat jalan dari beberapa penyakit comorbidities dari obesitas yang lebih tinggi dari beberapa provinsi lain.

Pada tabel 10 menunjukan total estimasi potensi kerugian ekonomi akibat obesitas pada balita yang diprediksi obesitas saat dewasa. Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat ketidakhadiran kerja dan biaya perawatan (rawat jalan dan rawat inap) karena obesitas. Total rata-rata potensi ekonomi yang hilang karena produktivitas kerja rendah pada balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa di 33 provinsi di Indonesia, jika saat dewasa tetap mengalami masalah obesitas adalah Rp 118 miliar pada laki-laki sedangkan pada perempuan sebesar Rp 271 miliar. Jadi dapat dikatakan rata-rata potensi ekonomi yang hilang di 33 provinsi di Indonesia yaitu Rp 3 752 miliar - Rp 9 088 miliar, jika nilai ini dilihat dalam persentase terhadap PDRB maka besar potensi ekonomi yang hilang akibat ketidakhadiran kerja karena masalah obesitas yaitu sekitar 0.17% - 0.42% dari rata-rata PDRB provinsi-provinsi di Indonesia.

Total potensi ekonomi yang hilang balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa secara nasional, pada laki-laki yaitu Rp 3 752 miliar dan perempuan sebesar Rp 9 088 miliar. Jika nilai-nilai ini dilihat dalam persentase terhadap PDB Indonesia maka besar potensi ekonomi yang hilang akibat penurunan produktivitas karena obesitas secara nasional adalah 0.04% pada laki-laki dan perempuan mencapai 0.11% dari total PDB Indonesia. Secara nasional, dapat dikatakan bahwa besar potensi ekonomi yang hilang akibat rendahnya produktivitas akibat ketidakhadiran kerja karena balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa adalah Rp 3 752 miliar - Rp 9 088 miliar atau 0.04% - 0.11% dari total PDB Indonesia. Rentang tertinggi total kehilangan potensi ekonomi sebesar Rp 754 miliar pada laki-laki dan Rp 2 019 miliar pada perempuan di Provinsi Jawa Barat atau persentase kehilangan potensi ekonomi akibat penurunan produktivitas terhadap PDRB provinsinya sekitar 0.83% dan 3.30%, dan terendah

di Provinsi Sulawesi Barat dengan total kehilangan potensi ekonomi sebesar pada perempuan sebesar Rp 3 miliar atau 0.002% dan laki-laki sekitar Rp 6 miliar atau 0.8% terhadap PDRB provinsi masing-masing.

Tabel 10 Estimasi total potensi kerugian ekonomi akibat ketidakhadiran kerja dan biaya perawatan karena obesitas di Indonesia tahun 2013

Dokumen terkait