• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Keamanan PJAS dalam Kurun Waktu 2011-2013

Keamanan PJAS adalah aspek terpenting yang wajib diperhatikan karena memiliki pengaruh besar bagi keselamatan siswa sekolah. BPOM RI melalui balai-balai POM tiap provinsi melakukan monitoring PJAS di berbagai sekolah untuk mengetahui kondisi keamanan PJAS. Hasil monitoring tersebut diharapkan dapat memberi gambaran mengenai kondisi keamanan pangan jajanan yang selama ini dijajakan di sekolah-sekolah dasar. Kondisi keamanan PJAS di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Tingkat kejadian Tidak Memenuhi Syarat (TMS) seluruh sampel PJAS tahun 2011-2013

Tingkat TMS PJAS tahun 2013 lebih rendah dibandingkan tahun 2011 sebagai tahun awal program AN-PJAS. Tahun 2011 merupakan tahun dengan persentase TMS tertinggi yaitu mencapai di atas 45 %. Sebanyak 3625 dari 7383 sampel dinyatakan TMS. Persentase TMS menurun tajam hingga mencapai tingkat TMS terendah sebesar 16.41 % pada tahap II tahun 2012. Sebanyak 2327 dari 11193 sampel yang diuji dinyatakan TMS. Pada tahun 2013, dari 2801 sampel yang diuji terdapat 9252 sampel yang dinyatakan TMS. Jumlah sampel TMS meningkat dibandingkan tahun 2012 dengan rata-rata sebesar 30 %. Tren yang fluktuatif terlihat dari Gambar 3. Tingkat TMS menurun pada tahap II monitoring, kecuali pada tahun 2011. Selain karena kenyataan di lapangan yang menunjukkan tingginya angka sampel TMS, tren fluktuatif juga dipengaruhi faktor jumlah data sampel yang diperoleh. Tingkat kesesuaian sampling dengan petunjuk teknis sampling memang rendah. Jumlah sampel, jumlah sekolah, dan nama sekolah yang dijadikan target sampling berbeda setiap tahunnya. Penyebab tingginya angka TMS tidak dapat teridentifikasi jika hanya melihat grafik

46.39 56.76 23.45 16.41 31.07 29.07 -5 5 15 25 35 45 55 65

2011 Tahap I 2011 Tahap II 2012 Tahap I 2012 Tahap II 2013 Tahap I 2013 Tahap II

Tin g k a t TM S (% )

12

kecenderungan saja. Dibutuhkan analisis data lebih lanjut untuk menemukan hal utama yang menjadi penyebab TMS pada PJAS.

Hasil analisis ragam dua faktor dengan taraf nyata hingga 1 % menunjukkan masing-masing provinsi memiliki rata-rata persentase TMS yang berbeda sangat signifikan. Perbedaan yang signifikan dapat menandakan adanya keragaman kondisi keamanan PJAS pada tiap provinsi. Masing-masing PJAS memiliki rata-rata persentase TMS yang sangat berbeda signifikan. Artinya, terdapat keragaman antarjenis PJAS dalam hal tingkat TMS. Interaksi antara provinsi dan jenis PJAS juga menunjukkan keragaman terhadap rata-rata persentase TMS. Tabel analisis ragam antara provinsi dengan jenis PJAS ditunjukkan pada Lampiran 1.1. Hasil analisis ragam dua faktor juga menunjukkan keragaman tingkat TMS pada kelompok parameter uji karena memiliki perbedaan rata-rata yang sangat signifikan. Sedangkan interaksi antara parameter uji dengan jenis PJAS tidak memberikan perbedaan nyata pada rata-rata TMS. Tabel analisis ragam antara parameter uji dengan jenis PJAS ditunjukkan pada Lampiran 1.2. PJAS dikelompokkan menjadi tujuh kelompok, yaitu bakso, es, jeli, kudapan, makanan ringan, mi, dan minuman berwarna. Tabel 2 menunjukkan rata-rata persentase TMS serta hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) terhadap tujuh jenis PJAS.

Tabel 2 Kondisi keamanan beserta signifikansi antar tujuh jenis PJAS tahun 2011-2013

Jenis PJAS Rata-rata TMS (%)

Es 59.83e Minuman berwarna 52.76d Jeli 38.72c Bakso 35.12c Kudapan 27.39b Makanan ringan 16.05a Mi 15.87a

Perhitungan uji BNT pada jenis PJAS ditunjukkan pada Lampiran 2.1. Mi merupakan jenis PJAS yang memiliki persentase TMS yang terendah. Berdasarkan hasil uji Beda Nyata Terkecil, sampel makanan ringan tidak memiliki perbedaan rata-rata yang nyata dengan sampel mi sehingga dapat diartikan bahwa mi dan makanan ringan sama-sama memiliki tingkat kejadian TMS yang terendah. Bakso dan jeli juga tidak memiliki perbedaan rata-rata TMS yang nyata. Es merupakan PJAS dengan rata-rata TMS tertinggi, diikuti minuman berwarna sebagai tertinggi kedua. Kedua jajanan ini ternyata memiliki perbedaan rata-rata yang signifikan berdasarkan hasil uji lanjut.

Tabel 2 menunjukkan berdasarkan hasil uji lanjut, sampel es, jeli, dan minuman menempati urutan teratas PJAS yang memiliki persentase TMS tertinggi. Es, jeli, dan minuman berwarna merupakan PJAS yang menggunakan air sebagai bahan dasar. Pada es, air digunakan sebagai pelarut yang kemudian dibekukan untuk menjadi es mambo atau es loli. Pada jeli, air digunakan untuk melarutkan jeli bubuk agar didapatkan tekstur kenyal khas jeli. Sedangkan pada minuman berwarna, air digunakan sebagai pelarut dan bahan pembuatan es batu.

13

Karena kesamaan bahan dasar tersebut, peneliti kemudian berfokus pada ketiga jenis jajanan ini.

Sampel-sampel PJAS yang TMS memiliki penyebab yang bervariasi. ALT memberikan kontribusi terbesar sebagai penyebab ketidaklayakan konsumsi pada PJAS. Setelah ALT, AKK dan APM koliform melebihi batas maksimum merupakan penyebab TMS terbesar kedua dan ketiga dengan kontribusi lebih dari 20 % jumlah sampel. Penggunaan siklamat melebihi batas yang diizinkan juga menjadi penyebab TMS yang cukup besar bagi PJAS. Hasil uji BNT memperlihatkan rata-rata TMS yang disebabkan ALT berbeda nyata dengan seluruh penyebab TMS yang lainnya. Sedangkan AKK dengan koliform tidak saling berbeda signifikan. Siklamat melebihi batas maksimum memiliki rata-rata TMS yang berbeda nyata dengan penyebab TMS lainnya. Rata-rata persentase TMS yang dikelompokkan berdasarkan parameter uji dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3 Rata-rata TMS beserta signifkansi antar parameter uji

Parameter Uji Rata-rata TMS (%)

ALT melebihi batas maksimum 29.83f AKK melebihi batas maksimum 24.48e APM koliform melebihi batas maksimum 21.31e Siklamat melebihi batas maksimum 15.80d Asesulfam K melebihi batas maksimum 5.87c APM E. coli melebihi batas maksimum 4.04c

Boraks positif 3.88b,c

Nitrit melebihi batas maksimum 2.50a,b,c Formalin positif 2.24a,b,c Sakarin melebihi batas maksimum 1.98a,b,c Logam berat melebihi batas maksimum 1.63a,b,c Rhodamin B positif 1.56a,b,c Benzoat melebihi batas maksimum 1.11a,b,c

S. aureus melebihi batas maksimum 1.10a,b,c

C. perfringens melebihi batas maksimum 0.89a,b,c

Salmonella positif 0.56a,b

Sorbat melebihi batas maksimum 0.23a Methanil yellow positif 0.09a

Secara umum, 80 % masalah ketidaklayakan konsumsi pada PJAS disebabkan adanya cemaran mikroba (ALT, AKK, APM koliform) dan penggunaan siklamat yang melebihi batas maksimum. Cemaran mikroba menyebabkan ketidaklayakan konsumsi pada hampir seluruh jenis PJAS. Sedangkan penggunaan pemanis buatan yang tidak sesuai aturan sering ditemukan pada makanan dan minuman yang manis, terutama pada produk minuman. Perhitungan uji BNT berdasarkan parameter uji ditunjukkan pada Lampiran 2.2.

14

Kondisi Keamanan PJAS Es, Jeli, dan Minuman Berwarna Tahun 2011-2013

Persentase TMS sampel es merupakan persentase tertinggi dari seluruh jenis PJAS. Kondisi paling memprihatinkan terjadi pada tahun 2011. Hanya 307 dari 1691 sampel es yang diuji dinyatakan layak dikonsumsi. Kemajuan tampak pada tahun 2012 dimana rata-rata TMS menurun tajam. Sebanyak 668 sampel dinyatakan TMS dari 1535 sampel es pada tahun 2012. Namun pada tahun 2013, rata-rata TMS sampel es kembali meningkat dengan rincian sebanyak 602 sampel TMS dari 1082 sampel es. Persentase kejadian TMS pada sampel jenis es, jeli, dan minuman berwarna dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Tingkat kejadian tidak Memenuhi Syarat (TMS) sampel jeli, es, dan minuman berwarna tahun 2011-2013

Persentase TMS sampel minuman berwarna adalah persentase tertinggi kedua setelah sampel es. Gambar 4 menunjukkan bahwa angka kejadian TMS minuman sangatlah tinggi. Pada tahun 2011, sebanyak 642 dari 992 sampel minuman yang diuji dinyatakan TMS. Kemudian pada tahun 2012, angka TMS mengalami penurunan hingga tingkat terendah dengan rincian 419 sampel TMS dari 970 sampel. Namun lebih dari 40 % atau sebanyak 598 dari 1259 sampel dinyatakan TMS pada tahun 2013. Persentase yang masih tinggi menandakan bahwa banyak sampel PJAS yang mutunya sudah tidak layak dan potensi risiko terhadap kesehatan masih cukup besar.

Persentase TMS tahun 2011 pada sampel jeli adalah yang tertinggi dengan rincian 205 dari 377 sampel dinyatakan TMS. Kemudian persentase TMS mengalami penurunan yang besar pada tahun 2012. Hanya 149 sampel yang dinyatakan TMS dari 612 sampel. Namun pada tahun 2013, persentase TMS sampel jeli kembali mengalami kenaikan walaupun tipis, terdapat 155 sampel yang TMS dari 475 sampel jeli. Perubahan persentase tersebut mencerminkan

47.68 81.33 26.87 20.00 35.20 28.07 80.36 85.14 47.83 36.66 58.24 53.10 60.53 75.64 47.03 35.76 48.03 46.35 10 20 30 40 50 60 70 80 90

2011 Tahap I 2011 Tahap II 2012 Tahap I 2012 Tahap II 2013 Tahap I 2013 Tahap II

T ing k a t T M S ( %)

Tahun dan tahap pelaksanaan

Jeli Es

15

bahwa tingkat TMS jeli dapat ditekan dua kali lipat sehingga risiko kesehatan yang timbul akibat mengonsumsi jeli menurun.

Kondisi keamanan pangan jajanan jenis es, jeli, dan minuman berwarna dalam kurun waktu 2011-2013 memiliki kecenderungan perubahan yang mirip dengan kondisi PJAS secara keseluruhan, yaitu tren yang fluktuatif. Tingkat kejadian TMS tertinggi terjadi pada tahun 2011. Perbaikan terbesar terjadi pada tahun 2012 karena tingkat kejadian TMS mengalami penurunan yang tajam. Kemudian tingkat kejadian TMS kembali meningkat pada tahun 2013. Berdasarkan grafik pada Gambar 3 dan 4 tingkat TMS pada tahun ini tetap berbeda jauh dibandingkan pada tahun 2011. Hal demikian terjadi bukan hanya karena faktor kondisi lapangan yang memang demikian. Program kegiatan nasional yang belum lama dilaksanakan mengakibatkan belum terinternalisasinya nilai-nilai keamanan pangan pada setiap pemangku kepentingan. Oleh karena itu, dibutuhkan tindakan secara berkelanjutan agar tujuan menciptakan kondisi PJAS yang aman, bermutu, dan bergizi dapat tercapai.

Akar Masalah Penyebab TMS pada Sampel Es, Jeli, dan Minuman Berwarna

Hasil analisis ragam menunjukkan baik pada es, jeli, maupun minuman berwarna terdapat keragaman TMS pada masing-masing parameter uji karena memiliki perbedaan rata-rata persentase TMS yang signifikan. Hasil analisis ragam tiap jenis jajanan dilampirkan pada Lampiran 1.3. Secara umum, penyebab utama TMS pada es, jeli, dan minuman berwarna adalah cemaran mikroba dan penggunaan pemanis buatan. Minuman berwarna merupakan salah satu jenis PJAS yang dijual dengan jenis yang beragam. Bahan utama yang digunakan adalah air dan es batu untuk memberi efek dingin dan segar pada minuman. Penyebab TMS pada PJAS jenis minuman berwarna dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Rata-rata TMS (dalam persen) berdasarkan parameter uji pada minuman

berwarna tahun 2011-2013

Parameter Uji Tahun

2011 2012 2013 ALT 20.00 28.58 37.59 AKK 11.85 29.41 35.89 APM koliform 11.99 22.64 31.19 Siklamat 13.77 26.35 15.77 Asesulfam K 0.70 14.10 2.81 APM E. coli 0.78 3.65 2.76 Sakarin 0.49 1.77 1.14 S. aureus 0.25 0.00 0.94 Benzoat 0.21 3.60 0.74 Rhodamin B 0.60 1.04 0.39 Salmonella 0.25 0.00 0.94 Sorbat 0.00 0.56 0.00 Methanil yellow 0.00 0.00 0.00

16

Penyebab TMS yang memiliki persentase yang besar diantaranya cemaran ALT, AKK, APM koliform, dan penggunaan siklamat. Salah satu alat analisis yang umum dipakai dalam pengendalian mutu pangan adalah analisis Pareto. Analisis ini digambarkan pada sebuah diagram yang menunjukkan penyebab-penyebab timbulnya masalah. Pada studi kasus ini, diagram Pareto akan menunjukkan hal-hal yang menjadi penyebab utama PJAS yang tidak layak konsumsi. Diagram tersebut menjelaskan 20 % parameter uji dapat menimbulkan 80 % frekuensi kejadian TMS. Diagram pada Gambar 5 menunjukkan penyebab utama TMS pada minuman berwarna.

Gambar 5 Penyebab utama TMS pada minuman berwarna berdasarkan data sekunder tahun 2011-2013

Gambar 5 atas menunjukkan bahwa cemaran ALT, koliform, dan AKK merupakan penyebab TMS pada minuman berwarna yang harus menjadi prioritas dalam penanganannya. ALT memberikan indikasi umum mengenai mutu mikrobiologi pada pangan. ALT tidak akan membedakan antara mikroflora alami, mikroba pembusuk, mikroba yang ditambahkan untuk fermentasi, dan mikroba patogen. Sehingga ALT tidak dapat digunakan untuk memprediksi keamanan pada pangan dan dipengaruhi oleh kondisi penyimpanan (NSW Food Authority 2009). Tingginya ALT pada minuman mengindikasikan bahwa minuman tersebut disiapkan kurang higienis atau disimpan pada kondisi dan cara yang tidak tepat (NSW Food Authority 2009). AKK menunjukkan mutu mikrobiologis yang dimiliki oleh pangan. Khamir dan kapang dikenal sebagai mikroba penyebab kerusakan pada pangan. Khamir umumnya dapat memfermentasi gula, namun khamir juga mampu menggunakan komponen lain seperti alkohol, asam organik, hidrokarbon, dan senyawa aromatik (Betts 2013). Kapang juga mampu tumbuh pada kondisi asam dan kandungan gula yang tinggi (Betts 2013). Khamir biasanya bukan penyebab penyakit asal pangan, lain halnya pada beberapa kapang yang mampu memproduksi mikotoksin yang berbahaya bagi manusia (Betts 2013).

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 0 100 200 300 400 500 600 700 800 P er sen tase k u m u latif Fre k u en si Penyebab TMS

17

Bahaya mikrobiologis utamanya disebabkan kontaminasi silang, suhu penyimpanan, suhu pemasakan/proses, dan pembersihan/disinfeksi (Tache dan Carventier 2014). Berdasarkan informasi tahapan produksi minuman yang diperoleh, ada berbagai skenario terjadinya kontaminasi silang. Pada minuman, kontaminasi silang yang mungkin terjadi yaitu antara peralatan produksi atau wadah konsumsi dengan produk minuman (Mattick et al. 2003). Kontaminasi silang juga mungkin terjadi antara tangan pedagang dengan es batu yang dipakai. Pencucian gelas-gelas minuman dengan menggunakan air tergenang dapat meningkatkan total mikroba pada gelas karena air sudah digunakan berkali-kali.

Koliform adalah jenis bakteri Gram negatif yang memfermentasi laktosa dan memproduksi gas. Analisis koliform digunakan untuk mengetahui adanya kontaminasi fekal pada air, pangan, dan sampel lainnya serta mengetahui seberapa memadai praktik sanitasi yang dilakukan produsen (Lues dan Tonder 2007). Deteksi koliform juga secara tidak langsung dapat digunakan untuk mengetahui kehadiran mikroba yang bersifat patogen. Walaupun tidak semua koliform bersifat patogen, tingginya angka koliform dapat meningkatkan kemungkinan jumlah patogen yang tinggal pada pangan tersebut. Salah satu jenis koliform yaitu E. coli. Selain sebagai indikator sanitasi, ada beberapa tipe E. coli yang dapat bertindak dapat bertindak sebagai patogen pada manusia (Sorqvist 2003).

Tingginya APM koliform pada minuman diduga karena penggunaan es batu dan air yang tidak memenuhi standar mutu mikrobiologis dan praktek sanitasi yang kurang memadai oleh pedagang. Es batu yang tercemar disebabkan faktor penggunaan air sebagai bahan baku, tangan pekerja, kondisi permukaan alat angkut dan kemasan untuk distribusi (Septiani 2014). Pada tahapan produksi es batu, potensi bahaya mikroba yang bersifat patogen menjadi signifikan saat proses perebusan atau filtrasi, karena setelah proses tersebut tidak ada lagi tahapan proses yang dapat mereduksi jumlah mikroba (Septiani 2014). Oleh karena itu, sangat diharuskan bagi produsen es batu untuk menggunakan air yang berstandar mutu AMDK sebagai bahan baku. Tahapan distribusi dan penanganan es batu di tingkat pedagang juga turut berpotensi meningkatkan jumlah mikroba pada es batu. Mutu mikrobiologis es batu diketahui semakin menurun di tingkat distributor dan pedagang minuman pada studi penelitian di Bogor (Firlieyanti 2006).

Di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, pencemaran badan air maupun suplai air minum oleh mikroba merupakan kasus yang sering terjadi. Pedagang yang mengolah minuman di sekolah memakai air yang dibawanya sendiri (PDAM atau sumur) atau dari keran sekolah (Suratmono 2009). Ada pula pedagang yang membeli di depot air minum tanpa mengetahui asal-usul airnya. Air yang berasal dari PDAM dianggap lebih aman daripada air yang berasal dari sumur. Angka kejadian diare pada anak yang menggunakan sumur terbuka untuk air minum 34 % lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang menggunakan air ledeng/air PDAM (Unicef 2012). Dibandingkan tahun 2007, akses air bersih pada tahun 2010 mengalami penurunan sebesar 7 % terutama di daerah perkotaan. Hal ini disebabkan rumah-rumah di beberapa titik kumuh perkotaan tidak memiliki fasilitas sanitasi yang memadai disertai praktek kebersihan masyarakatnya yang buruk. Bahkan pada tahun 2010 fasilitas sanitasi yang baik tidak mencapai angka 80 % untuk seluruh provinsi di Indonesia (Unicef 2012). Potensi kontaminasi feses terhadap tanah dan air semakin besar dan merupakan hal yang umum terjadi di daerah perkotaan. Pemasakan air hingga

18

mendidih seharusnya dapat membunuh sebagian besar jenis bakteri. Pertumbuhan pada bakteri seperti Salmonella, E. coli, dan Campylobacter dapat terhambat pada suhu 46o– 47 oC (Mattick et al. 2003). Sedangkan spora bakteri seperti B. cereus

dan C. perfringens dapat diinaktivasi pada suhu 95oC selama 30 menit pada produk minuman dan jus buah (Brooks 2013).

Pada jeli, siklamat melebihi batas maksimum menjadi penyebab TMS terbesar. Siklamat memiliki tingkat kemanisan > 30 kali lebih tinggi daripada sukrosa. Sejak siklamat dikenalkan pada awal 1950-an, beredar informasi bahwa pemanis ini memiliki potensi karsinogenik (Collings 1989). Namun pada penelitian Takayama (2000), tidak ditemukan bukti kuat mengenai karsinogenisitas siklamat karena tumor yang terbentuk berada di jaringan berbeda. Hingga kini, penggunaan siklamat masih diperbolehkan di Indonesia dalam batas tertentu. Cemaran koliform juga berkontribusi pada penyebab TMS yang cukup tinggi pada jeli. Tabel 5 menunjukkan penyebab TMS pada jeli. Tabel 5 Rata-rata TMS (dalam persen) berdasarkan parameter uji pada jeli tahun

2011-2013

Parameter Uji Tahun

2011 2012 2013 Siklamat 39.43 27.06 14.34 APM koliform 10.12 15.44 13.95 Sakarin 11.14 3.97 2.74 Benzoat 1.66 2.68 1.31 S. aureus 0.17 0.27 0.99 Sorbat 0.00 0.00 0.63 Rhodamin B 0.17 1.25 0.31 Methanil yellow 0.33 0.00 0.00

Diagram Pareto pada Gambar 6 menunjukkan penyebab utama TMS pada jeli.

Gambar 6 Penyebab utama TMS pada jeli berdasarkan data sekunder tahun 2011-2013 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 0 50 100 150 200 250 300 P er sen tase k u m u latif Fre k u en si Penyebab TMS

19

Gambar 6 memberi petunjuk bahwa penyebab TMS pada jeli yang menjadi prioritas untuk ditangani adalah penggunaan siklamat dan cemaran koliform. Ada dua faktor yang melatarbelakangi pedagang untuk menggunakan pemanis buatan pada jajanan. Faktor pertama adalah rendahnya pengetahuan para pedagang terhadap bahaya penggunaan BTP yang tidak sesuai aturan. Faktor kedua adalah faktor ekonomi, dimana pedagang berusaha menekan biaya produksi untuk memperbesar margin keuntungan tanpa mempertimbangkan aspek keamanan pangan (Nurlaila 2002). Tingginya produk jeli yang menggunakan siklamat dapat menyebabkan tingginya paparan siklamat pada anak usia sekolah, karena seperti yang diketahui, anak usia sekolah gemar mengonsumsi jajanan lebih dari satu kali setiap harinya. Pada kelompok anak usia 6-12 tahun, rata-rata konsumsi siklamat level nasional yaitu 11.29-12.74 mg/kg BB per hari (Sarifudin 2004). Paparan tersebut melebihi ADI (Acceptable Daily Intake) karena ADI untuk siklamat adalah 11 mg/kg BB per hari (BPOM 2014).

APM koliform sebagai penyebab utama TMS kedua pada jeli menunjukkan bahwa praktek sanitasi yang dilakukan sebagian pedagang masih kurang memadai. Selain praktik sanitasi, air yang digunakan sebagai bahan baku maupun proses diduga meningkatkan cemaran koliform. Seperti yang sudah dipaparkan, air sangat berpotensi tercemar koliform dari lingkungan terutama dari tanah. Pemasakan campuran jeli yang kurang dan penuangan jeli ke dalam wadah yang dicuci dengan air yang tercemar diduga meningkatkan cemaran koliform pada jeli. Berdasarkan diagram Pareto di atas, tampak bahwa ALT tidak menjadi penyebab utama TMS pada jeli. Hal ini disebabkan uji ALT tidak dilakukan untuk menguji mutu mikrobiologis jeli. Instruksi tertulis dalam panduan sampling yang saat itu berlaku. Pengujian ALT penting dilakukan untuk mengetahui mutu mikrobiologis jajanan secara umum. Pada sampel jeli, persentase jumlah sampel yang tercemar koliform cukup besar, sehingga dapat dipastikan sebagian sampel jeli juga memiliki ALT yang tinggi.

Es merupakan produk pangan yang dibuat dengan proses pembekuan. Produk es yang umum dijual di sekolah antara lain es mambo, es stik, es lilin, dan sebagainya. Tabel 6 menunjukkan penyebab TMS pada PJAS jenis es.

Tabel 6 Rata-rata TMS (dalam persen) berdasarkan parameter uji pada es tahun 2011-2013

Parameter Uji Tahun

2011 2012 2013 APM koliform 21.45 43.28 40.60 ALT 19.49 44.68 35.91 Siklamat 23.18 31.66 28.15 AKK 10.44 34.64 24.67 APM E. coli 5.22 9.00 5.20 Rhodamin B 0.49 1.36 1.38 Sakarin 1.02 1.18 1.12 Salmonella 0.21 1.14 0.14 Benzoat 0.44 1.02 0.09 S. aureus 7.73 2.30 0.00 Sorbat 0.09 0.44 0.00 Methanil yellow 0.00 0.15 0.00

20

Penyebab TMS pada es dengan persentase di atas 10 % yaitu APM koliform, ALT, AKK, dan pemanis buatan siklamat melebihi batas maksimum. Diagram Pareto pada Gambar 7 menunjukkan penyebab utama TMS pada es.

Gambar 7 Penyebab utama TMS pada es berdasarkan data sekunder tahun 2011-2013

Gambar 7 menunjukkan bahwa untuk menyelesaikan 80 % masalah TMS pada es, penyebab yang diprioritaskan penanganannya secara berturut-turut adalah penggunaan siklamat, cemaran koliform, dan cemaran ALT. Meskipun Indonesia telah mengatur batas penggunaan siklamat dalam Perka Badan POM RI No. 4 Tahun 2014, nampaknya masih terjadi pelanggaran yang dilakukan masyarakat. Rendahnya pengetahuan para pedagang terhadap bahaya penggunaan BTP yang tidak sesuai aturan dan faktor ekonomi tentunya menjadi penyebab utama pedagang menggunakan siklamat dalam jajanan. Selain itu, motivasi para pedagang juga kurang didongkrak karena banyaknya pedagang yang belum mendapat pembinaan tentang cara produksi jajanan yang baik dari instansi yang berwenang. Daya beli siswa yang berbeda-beda tiap sekolah juga mempengaruhi tindakan pedagang dalam menambahkan siklamat pada jajanan. Pada pembuatan minuman, perbedaan harga jual es teh yang menggunakan campuran siklamat dan gula pasir bisa mencapai dua kali lipat lebih murah daripada dengan gula pasir seluruhnya (Suratmono 2009).

Cemaran koliform dan ALT menjadi penyebab utama TMS pada es. Aspek sanitasi yang kurang menjadi perhatian pedagang antara lain pada peralatan produksi, lingkungan produksi, dan higiene pedagang itu sendiri. Tahap pemasakan bahan dan pengemasan juga menjadi faktor penentu mutu mikrobiologi pada es. Air merupakan bahan baku yang kritis pada pembuatan es dan minuman karena bisa menjadi sumber cemaran mikroba, terutama koliform. Alat-alat produksi, wadah penyimpanan, dan plastik pembungkus es bisa menjadi sumber mikroba apabila tidak ditangani secara higienis. Produk es dapat tercemar mikroba yang berasal dari udara apabila wadah penyimpanan tidak tertutup.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 0 200 400 600 800 1000 1200 P er sen tase k u m u latif Fre k u en si Penyebab TMS

21

Berdasarkan hasil analisis akar masalah penyebab TMS pada ketiga produk PJAS, siklamat tampaknya menjadi alternatif pemanis yang sangat populer digunakan namun sebagian pedagang tidak melakukan penakaran siklamat yang benar sesuai aturan. Dari segi mikrobiologi, bakteri patogen tidak menjadi penyebab utama TMS pada ketiga PJAS tersebut. Penyebab TMS berdasarkan mikrobiologi yaitu ALT dan AKK yang mengindikasikan mutu PJAS yang sudah tidak baik. Penyebab selanjutnya yaitu koliform yang mengindikasikan kurang memadainya praktek sanitasi oleh sebagian pedagang. Tingginya koliform juga menandai bahwa peluang kehadiran patogen pada PJAS semakin tinggi.

Dokumen terkait