• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akar Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah: Studi Kasus Pada Es, Jeli, Dan Minuman Berwarna

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Akar Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah: Studi Kasus Pada Es, Jeli, Dan Minuman Berwarna"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

AKAR MASALAH KEAMANAN PANGAN JAJANAN ANAK

SEKOLAH: STUDI KASUS PADA ES, JELI, DAN

MINUMAN BERWARNA

AMELIA SEPTIANY

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya mengatakan bahwa skripsi berjudul Akar Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah: Studi Kasus pada Es, Jeli, dan Minuman Berwarna adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2014

Amelia Septiany

(4)

ABSTRAK

AMELIA SEPTIANY. Akar Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah: Studi Kasus pada Es, Jeli, dan Minuman Berwarna. Dibimbing oleh DAHRUL SYAH

Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) adalah pangan siap santap dan dijajakan di sekolah. Perilaku dan kesadaran pedagang yang belum memadai dapat menimbulkan ketidakamanan PJAS bagi konsumen. BPOM RI melakukan Gerakan Aksi Nasional PJAS untuk mewujudkan PJAS yang aman, bermutu, dan bergizi. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah monitoring dan inspeksi untuk mengetahui kondisi keamanan PJAS di sekolah-sekolah target oleh Balai POM di 31 provinsi. Hasil uji ditunjukkan dengan data jumlah sampel jajanan memenuhi syarat (MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS). Akan tetapi, data hasil uji tersebut belum dimanfaatkan secara optimal dalam merumuskan langkah perbaikan mutu PJAS. Penelitian ini menggunakan analisis ragam dan Pareto. Analisis ragam digunakan untuk mengetahui keragaman TMS tiap provinsi dan jenis PJAS. Sedangkan analisis Pareto digunakan untuk mengidentifikasi penyebab utama TMS pada tiap jenis PJAS. Selanjutnya hasil analisis digunakan sebagai dasar perumusan perbaikan mutu PJAS pada tiap pemangku kepentingan, antara lain pemerintah, konsumen (guru, orang tua, dan siswa), dan pedagang PJAS berdasarkan hasil analisis data dalam kurun waktu 2011 hingga 2013. Jenis PJAS dengan angka TMS tertinggi yaitu es diikuti minuman berwarna, jeli, bakso, kudapan, makanan ringan, dan mi. Tingkat TMS tertinggi terjadi pada tahun 2011, lalu menurun pada tahun 2012, kemudian meningkat kembali pada tahun 2013. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya keragaman tingkat TMS pada provinsi dan jenis PJAS. Analisis Pareto menunjukkan penyebab TMS pada jeli yang menjadi proritas untuk ditangani adalah kandungan siklamat dan cemaran koliform. Penyebab utama TMS pada es yaitu kandungan siklamat, cemaran koliform, dan angka lempeng total (ALT), sedangkan pada minuman berwarna yaitu cemaran ALT, koliform, dan angka kapang khamir (AKK). Secara umum, masalah utama keamanan PJAS yaitu cemaran mikroba yang melebihi batas maksimum.

(5)

ABSTRACT

AMELIA SEPTIANY. The Problem Source of School Based Street Foods’ Safety: Case Study on Ice, Jelly, and Colored Drink. Supervised by DAHRUL SYAH

School based street foods are ready to eat foods and served in school area. The inadequate behavior and awareness of food vendors regarding food safety can create the unsafe foods for consumers. BPOM RI implemented the national movement to improve safe, good quality, and nutritious street foods. The agenda which have been held were monitoring and inspection to know the food safety condition in targeted schools by BPOM in 31 provinces. The result will be termed in data of complied foods (memenuhi syarat / MS) and not complied foods (tidak memenuhi syarat / TMS). But the data has not been used optimally to formulate the improvement of street foods quality. This case study used the analysis of variance and Pareto. Analysis of variance was used to know the diversity of TMS rate in each province and each street food type. Pareto analysis was used to identify the main causes of safety problem in each street food. The result of analysis can be used as reference to improve the quality of street foods by every element of society, they are government, consumers (teachers, parents, and students), and vendors based on data analysis from 2011 to 2013. The result showed that ice had the highest TMS rate, followed by colored drink, jelly, meatball, wet snacks, dry snacks, and noodles. The highest TMS rate of street foods was in 2011, then decreased in 2012, and increased in 2013. Analysis of variance showed that there were variations of TMS rate among provinces and food types. Pareto analysis showed that the main causes of unsafe jelly which must be handled were cyclamate content and coliform contamination. The main causes of unsafe ice were cyclamate content, coliform, and total microbes contamination, while for colored drink were total microbes, coliform, and mold-yeast contamination. Generally, the main problem of school based street foods’ safety is the contamination of microorganisms above maximum limit.

(6)
(7)

AKAR MASALAH KEAMANAN PANGAN JAJANAN ANAK

SEKOLAH: STUDI KASUS PADA ES, JELI, DAN

MINUMAN BERWARNA

AMELIA SEPTIANY

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

Pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Akar Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah: Studi Kasus pada Es, Jeli, dan Minuman Berwarna. Skripsi ini disusun oleh penulis sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan masukkan kepada penulis selama penyelesaian tugas akhir. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Winiati P. Rahayu dan Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi sebagai dosen penguji yang telah memberikan banyak saran dan masukkan berguna bagi skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga tercinta, Bapak Sumardi Adam, (Alm) Ibu Nunung Yuliani, dan Dwi Indah Apriany yang selama ini selalu memberikan dukungan serta motivasi kepada penulis hingga dapat menimba ilmu di IPB. Tidak lupa penulis memberikan penghargaan kepada Maya dan Icha sebagai teman satu bimbingan yang selalu bersama, dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang memberikan banyak ilmu bermanfaat, staf Departemen ITP yang memberi banyak bantuan bagi penulis, serta teman-teman Dewan Reservoir 2012-2013, Dewan Hitcher 2011-2012, Dewan Revolusioner 2010-2011, dan keluarga ITP 47 yang telah menciptakan kebersamaan berharga bagi penulis selama berkuliah di IPB.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Terima kasih.

Bogor, Desember 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Konsep Keamanan Pangan 2

Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) 4

METODE 5

Waktu dan Tempat Penelitian 5

Kerangka Pikir Penelitian 5

Pengumpulan Data 6

Pengolahan dan Analisis Data 8 Pengumpulan Informasi Pendukung Mengenai Proses Produksi Es, Jeli, dan Minuman Berwarna 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Kondisi Keamanan PJAS dalam Kurun Waktu 2011-2013 11 Kondisi Keamanan PJAS Es, Jeli, dan Minuman Berwarna Tahun

2011-2013 14

Akar Masalah Penyebab TMS pada Sampel Es, Jeli, dan Minuman

Berwarna 15

Langkah-Langkah Perbaikan Mutu Es, Jeli, dan Minuman Berwarna

pada Pemangku Kepentingan 21

SIMPULAN DAN SARAN 26

Simpulan 26

Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 27

LAMPIRAN 30

(12)

DAFTAR TABEL

1 Parameter uji beserta standar keamanan es, jeli, dan minuman berwarna 7 2 Kondisi keamanan beserta signifikansi antar tujuh jenis PJAS tahun

2011-2013 12

3 Rata-rata TMS beserta signifikansi antar parameter uji 13 4 Rata-rata TMS (dalam persen) berdasarkan parameter uji pada minuman

berwarna tahun 2011-2013 15

5 Rata-rata TMS (dalam persen) berdasarkan parameter uji pada jeli tahun

2011-2013 18

6 Rata-rata TMS (dalam persen) berdasarkan parameter uji pada es tahun

2011-2013 19

7 Langkah-langkah perbaikan mutu PJAS melalui peran pemerintah 22 8 Langkah-langkah perbaikan mutu PJAS melalui peran konsumen 23 9 Kompetensi dasar berkaitan dengan pangan dalam Kurikulum 2013 SD/MI 24 10 Langkah-langkah perbaikan mutu PJAS melalui peran produsen bahan pangan

dan pedagang 25

DAFTAR GAMBAR

1 Kunci pilar dalam keamanan pangan 3 2 Kerangka pikir penelitian 6 3 Tingkat kejadian Tidak Memenuhi Syarat (TMS) seluruh sampel PJAS

tahun 2011-2013 11

4 Tingkat kejadian Tidak Memenuhi Syarat (TMS) sampel jeli, es, dan minuman berwarna tahun 2011-2013 14 5 Penyebab utama TMS pada minuman berwarna berdasarkan data sekunder

tahun 2011-2013 16

6 Penyebab utama TMS pada jeli berdasarkan data sekunder tahun 2011-2013 18 7 Penyebab utama TMS pada es berdasarkan data sekunder tahun 2011-2013 20

DAFTAR LAMPIRAN

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) merupakan pangan olahan dari industri pangan atau pangan siap saji yaitu makanan dan atau minuman dari hasil proses dengan cara atau metode tertentu, untuk langsung disajikan dan dijual untuk langsung dikonsumsi tanpa proses pengolahan lebih lanjut (Rahayu et al.

2005). Anak sekolah tidak lepas dari konsumsi PJAS. Makanan jajanan setidaknya menyumbang 31.1 % energi dan 27.4 % protein dari konsumsi pangan harian siswa sekolah (BPOM RI 2009). Artinya kontribusi PJAS terhadap kebutuhan energi dan protein siswa sekolah cukup besar. Konsumsi PJAS menjadi alternatif pemenuhan energi agar siswa dapat beraktivitas dengan baik selama di sekolah. Mengingat besarnya peran PJAS, keamanan pangan adalah aspek terpenting yang harus diperhatikan dan diutamakan.

Keamanan dan kesehatan pangan kini menjadi salah satu masalah yang sedang dihadapi karena manusia mengonsumsi pangan sebagai kebutuhan dasar untuk bertahan hidup. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa keamanan dan mutu pangan merupakan hak dasar setiap manusia (BPOM RI 2010). Pada PJAS, pengolahan dan penyajian yang kurang baik akan menimbulkan pencemaran pangan oleh mikroba, bahan kimia, dan benda-benda asing. Data Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan Badan POM RI menunjukkan bahwa Sekolah Dasar merupakan lokasi dengan tingkat KLB terbesar kedua (16.67 %) setelah rumah tinggal dengan tingkat kejadian 45.83 % (BPOM RI 2013).

(14)

2

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan akar masalah dan langkah perbaikan mutu PJAS jenis es, jeli, dan minuman berwarna berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan oleh Balai POM di 31 provinsi dalam kurun waktu tahun 2011 hingga 2013. Tujuan penelitian ini dapat dicapai melalui beberapa tujuan khusus berikut ini:

1. Menjelaskan kondisi keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) berdasarkan hasil pengujian PJAS dari tahun 2011 hingga 2013, terutama untuk jenis es, jeli, dan minuman berwarna.

2. Menentukan keragaman pada provinsi dan jenis PJAS dalam hal tingkat TMS dari tahun 2011 hingga 2013.

3. Menentukan parameter uji yang menjadi penyebab utama Tidak Memenuhi Syarat (TMS) pada sampel PJAS jenis es, jeli, dan minuman berwarna.

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Keamanan Pangan

Keamanan pangan adalah keadaan yang dapat diterima dan ditoleransi terhadap risiko penyakit yang ditimbulkan dari konsumsi pangan. Berdasarkan pengertian dari Codex Alimentarius Comission (CAC), keamanan pangan adalah suatu jaminan bahwa pangan tidak menimbulkan bahaya bagi konsumen saat disiapkan dan/atau dimakan menurut tujuan penggunaannya (Motarjemi 2014). Keamanan pangan juga dapat diartikan sebagai kondisi biologi, kimiawi, dan fisik pada pangan yang masih diizinkan dalam konsumsi tanpa menyebabkan risiko berlebihan seperti cedera, morbiditas, dan kematian. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan pada Bab I Pasal 1 Ayat (5), keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa pangan dikatakan aman apabila memenuhi persyaratan yang disusun untuk mencegah kemungkinan bahaya. Pangan yang aman menyediakan mutu dan gizi maksimum serta memiliki risiko minimum bagi masyarakat. Hampir mustahil menemukan pangan yang bebas dari risiko, sehingga harus ada upaya untuk menekan risiko seminimal mungkin (Shank dan Carson 1992).

(15)

3

(BPOM RI 2013). Kenyataan di lapangan bisa saja terjadi lebih banyak, artinya tidak semua kasus atau kejadian dapat terlaporkan.

Bahaya konsumsi pangan yang tercemar berasal dari cemaran biologis, kimia, maupun benda lain. Cemaran mikroba dan kimia dalam pangan telah diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Nomor HK.00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan. Jenis dan batas maksimum cemaran mikroba dalam makanan diatur berdasarkan kategori pangan. Sedangkan jenis dan batas maksimum zat kimia meliputi cemaran logam berat dan mikotoksin.

Analisis risiko adalah proses yang sistematis dan transparan dalam pengumpulan, analisis, dan evaluasi informasi ilmiah maupun non-ilmiah yang relevan tentang kemungkinan bahaya dalam pangan (BPOM RI 2005). Sejak Konferensi Standar Pangan, Bahan Kimia dalam Pangan, dan Perdagangan Pangan yang diselenggarakan FAO/WHO tahun 1991, analisis risiko sudah diterima sebagai dasar pembuatan keputusan oleh CAC (Randell 2000). Analisis risiko merupakan proses pengambilan keputusan terstruktur yang memiliki tiga komponen yaitu kajian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko. Kajian risiko adalah proses penentuan tingkat risiko berdasarkan data ilmiah meliputi identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya, kajian paparan, dan karakterisasi risiko. Manajemen risiko adalah proses pembuatan dan penerapan kebijakan berdasarkan masukan dari pihak terkait kajian risiko atau lainnya. Proses ini merumuskan pencegahan dan pengendalian untuk menurunkan risiko. Komunikasi risiko adalah pertukaran informasi dan opini secara interaktif dalam pelaksanaan analisis risiko antara pengkaji, manajer, dan pihak terkait seperti pemerintah, konsumen, industri, dan akademisi (BPOM RI 2005). Keamanan pangan merupakan aspek yang memerlukan sistem pengawasan yang komprehensif, dimulai dari pengawasan awal proses produk hingga proses tersebut beredar. Sehingga diperkenalkan tiga kunci pilar dalam keamanan pangan sesuai pada Gambar 1.

(16)

4

Kunci pilar keamanan pangan menjelaskan tiga pihak yang turut bertanggung jawab bersama-sama dalam mewujudkan pangan yang aman untuk semua pihak, antara lain pemerintah, konsumen, dan industri/produsen. Indonesia melalui BPOM juga sudah membentuk sistem keamanan pangan terpadu berdasarkan analisis risiko yang meliputi Jejaring Intelijen Pangan (JIP), Jejaring Pengawasan Pangan (JPP), dan Jejaring Promosi Keamanan Pangan (JPKP). Pada kasus yang berkaitan dengan keamanan PJAS, analisis risiko dan penggunaan perspektif tiga kunci pilar keamanan pangan sangat bermanfaat dalam mengendalikan tingkat bahaya yang timbul pada jajanan. Salah satu tindakan pemerintah dalam menanggulangi risiko keamanan PJAS yaitu pelaksanaan Aksi Nasional Gerakan menuju PJAS yang aman, bermutu, dan bergizi yang terintegrasi dan komprehensif yang diluncurkan pada tahun 2011 oleh BPOM.

Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)

Pangan jajanan menurut Food and Agriculture Organization (FAO) adalah makanan dan minuman yang dipersiapkan dan dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan dan di tempat-tempat keramaian umum lain yang langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut (FAO 2011). Sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 942/MENKES/SK/VII/2003, pangan jajanan adalah makanan dan minuman yang diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan/atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah makan atau restoran, dan hotel. Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) merupakan pangan olahan dari industri pangan atau pangan siap saji yaitu makanan dan atau minuman dari hasil proses dengan cara atau metode tertentu, untuk langsung disajikan dan dijual untuk langsung dikonsumsi tanpa proses pengolahan lebih lanjut (Rahayu et al. 2005).

PJAS kurang umum dijumpai di negara-negara lain, karena hampir seluruh sekolah memiliki fasilitas kantin di dalam sekolah. Di Indonesia, beragam jenis PJAS dijual dengan bebas di lingkungan sekolah. Jajanan yang sering dijumpai oleh anak-anak sekolah antara lain bakso, es (es loli, es lilin, es serut), jeli/agar, makanan ringan (kerupuk, keripik), mie, aneka kudapan (pempek, bakwan, kue-kue basah), serta minuman berwarna. Makanan ringan adalah kelompok makanan yang paling banyak ditemukan yaitu sebesar 54 %, diikuti minuman sebesar 26 %, dan makanan utama sebesar 20 %. Pangan jajanan tersebut didapatkan oleh siswa di kantin dalam sekolah dan penjaja di sekitar sekolah. Menurut laporan Badan POM RI (2009), sebesar 69 % responden siswa jajan di kantin dalam sekolah, 28 % responden siswa mengonsumsi jajanan dari penjaja sekitar sekolah, sedangkan 3 % memperoleh jajanan dari lokasi lain. Makanan jajanan setidaknya menyumbang 31.1 % energi dan 27.4 % protein dari konsumsi pangan harian siswa sekolah (BPOM RI 2009). Angka tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar anak sekolah tidak lepas dari mengonsumsi jajanan.

(17)

5

Sekolah Dasar merupakan lokasi dengan tingkat KLB terbesar kedua (16.67 %) setelah rumah tinggal dengan tingkat kejadian 45.83 % (BPOM RI 2013). Maka dari itu, keamanan PJAS merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan elemen-elemen dari sekolah termasuk guru, komite sekolah, pengelola kantin, penjaja PJAS, dan orang tua siswa.

Pemerintah melalui Badan POM bertanggung jawab melindungi masyarakat dari risiko penyakit asal pangan dengan pendidikan mengenai keamanan pangan dan pengawasan terhadap produk pangan (BPOM RI 2010). Salah satu program Badan POM terkait keamanan PJAS yaitu Aksi Nasional Gerakan menuju PJAS yang aman, bermutu, dan bergizi yang terintegrasi dan komprehensif yang diluncurkan pada tahun 2011. Program ini bertujuan memberikan panduan kepada pemangku kepentingan yang terlibat dalam rangka peningkatan keamanan, mutu, dan gizi PJAS di Indonesia.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Pengambilan dan pengujian sampel PJAS dilakukan di 31 ibu kota provinsi di sejumlah sekolah dasar (SD) oleh Balai Besar/Balai POM. Monitoring dilaksanakan sebanyak dua tahap setiap tahun, mulai 2011 hingga 2013. Kajian dilaksanakan di lingkungan kampus IPB Darmaga, Bogor. Waktu kajian dilakukan pada bulan Agustus - Desember 2014.

Kerangka Pikir Penelitian

Agar penelitian ini dapat berjalan sesuai dengan tujuan penelitian, maka dibuat kerangka pikir penelitian yang merupakan petunjuk untuk menganalisis dan memberikan rekomendasi perbaikan dari masalah penelitian. Penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan data sekunder berupa hasil monitoring PJAS yang didapat dari Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan Badan POM RI. Data sekunder berupa hasil sampling PJAS yang dilakukan oleh Balai Besar/Balai POM di 31 provinsi se-Indonesia. Data sebanyak enam set, yaitu data tiap tahap (tahap I dan II) dari tahun 2011 hingga 2013. Kemudian, data diseleksi dan dikelompokkan untuk kemudahan pengolahan dan analisis data. Data sekunder yang sudah rapi selanjutnya diolah dengan bantuan program Microsoft Excel.

(18)

6

mengetahui proses produksi jajanan. Perumusan langkah-langkah perbaikan mutu PJAS dilakukan berdasarkan hasil analisis data (analisis ragam dan Pareto), studi pustaka, informasi pendukung yang didapat dari wawancara dengan pedagang mengenai proses produksi PJAS, peraturan nasional yang berlaku, dan kurikulum SD/MI dengan menggunakan pendekatan tiga kunci pilar dalam keamanan pangan. Kerangka pikir dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kerangka pikir penelitian

Pengumpulan Data

Sampel yang diambil diuji berdasarkan parameter-parameter uji yang sesuai. Sampel dinyatakan TMS apabila ditemukan satu atau lebih paramater yang tidak memenuhi standar yang berlaku. Tabel 1 merupakan parameter uji beserta standar keamanannya pada sampel es, jeli, dan minuman berwarna.

Seleksi dan pengelompokkan data sekunder

Pengolahan data sekunder untuk:  Menghitung tingkat TMS PJAS keseluruhan

serta khusus untuk es, jeli, dan minuman  Menentukan keragaman tingkat TMS

antarprovinsi, PJAS, dan parameter uji dengan analisis ragam

 Menentukan penyebab utama TMS pada es, jeli, dan minuman berwarna dengan analisis Pareto

Observasi untuk memperoleh informasi proses produksi dari pedagang es, jeli, dan minuman

Perumusan langkah perbaikan mutu es, jeli, dan minuman

Data sekunder

(19)

7

Tabel 1. Parameter uji beserta standar keamanan es, jeli, dan minuman berwarna

No. Jenis PJAS Parameter Standar keamanan

1 Es Rhodamin B Negatif

Methanil yellow Negatif

Kadar benzoat Maks. 1000 mg/kg Kadar sorbat Maks. 1000 mg/kg Kadar sakarin Maks. 300 mg/kg Kadar siklamat Maks. 300 mg/kg Angka lempeng total (ALT) 5 x 102 koloni/mL Angka paling mungkin (APM)

koliform

10 APM/mL

Escherichia coli < 3 APM/mL

Salmonella Negatif/25 mL

Staphylococcus aureus Negatif/mL Angka kapang dan khamir (AKK) 1 x 102 koloni/mL

2 Jeli Rhodamin B Negatif

Methanil yellow Negatif

Kadar benzoat Maks. 1000 mg/kg Kadar sorbat Maks. 1000 mg/kg Kadar siklamat Maks. 250 mg/kg Kadar sakarin Maks. 300 mg/kg APM koliform < 3 APM/mL Staphylococcus aureus 1 x 102 koloni/gr 3 Minuman

berwarna

Rhodamin B Negatif

Methanil yellow Negatif

Kadar benzoat Maks. 1000 mg/kg Kadar sorbat Maks. 1000 mg/kg Kadar sakarin Maks. 300 mg/kg Kadar siklamat Maks. 300 mg/kg Kadar asesulfam K Maks. 250 mg/kg

ALT 5 x 102 koloni/mL

APM koliform 20 APM/mL

Escherichia coli < 3 APM/mL

Salmonella Negatif/25 mL

Staphylococcus aureus Negatif/mL Kapang dan khamir 1 x 102 koloni/mL

(20)

8

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data dibantu dengan program Microsoft Excel. Analisis tingkat kejadian TMS bertujuan untuk mengetahui tren kondisi PJAS baik secara keseluruhan maupun hanya untuk es, jeli, dan minuman berwarna. Tingkat TMS dihitung dalam bentuk persentase. Rumus menghitung persentase TMS yaitu:

Sedangkan rumus untuk menghitung persentase TMS berdasarkan parameter uji yaitu:

Penelitian ini juga bertujuan melihat keragaman provinsi dengan jenis PJAS terhadap tingkat TMS. Keragaman tersebut dianalisis menggunakan metode analisis ragam dua faktor dengan model berikut ini.

(Sudjana 1985) Keterangan:

: variabel respon (% TMS) karena pengaruh bersama taraf ke i faktor

provinsi (A) dan taraf ke j faktor jenis PJAS (B) yang terdapat pada observasi ke k

µ : efek rata-rata yang sebenarnya (berharga konstan) : efek sebenarnya dari taraf ke i faktor provinsi : efek sebenarnya dari taraf ke j faktor jenis PJAS

: efek sebenarnya dari interaksi antara taraf ke i faktor provinsi (A) dan taraf

ke j faktor jenis PJAS (B)

: efek sebenarnya dari unit eksperimen ke k dalam kombinasi perlakuan (ij)

Adapun pada penelitian ini untuk mengetahui keragaman TMS berdasarkan jenis parameter pada setiap PJAS digunakan analisis ragam satu faktor dengan persamaan berikut ini.

(Sudjana 1985)

Keterangan:

Yij : variabel yang akan dianalisis, dimisalkan berdistribusi normal

 : efek umum atau efek rata-rata yang sebenarnya i : efek yang sebenarnya pada perlakuan ke-i

(21)

9

Periode pelaksanaan monitoring dijadikan sebagai ulangan pada analisis ini. Analisis ragam dimulai dengan menghitung variabilitas seluruh data tingkat TMS yang dibagi menjadi Jumlah Kuadrat Total (JKT), Jumlah Kuadrat Kolom (JKK), dan Jumlah Kuadrat Galat (JKG). Kemudian derajat bebas total, kelompok, dan galat dihitung. Selanjutnya dihitung Kuadrat Tengah Kelompok (KTK) dan Kuadrat Tengah Galat (KTG). F hitung didapat dari pembagian KTK dengan KTG. Kemudian nilai F hitung akan dibandingkan dengan F tabel (menggunakan taraf nyata sebesar 1 dan 5 %). Apabila nilai F hitung lebih besar dari F tabel, rata-rata tingkat TMS seluruh kelompok dianggap berbeda nyata. Analisis ragam juga dilakukan untuk melihat keragaman antar parameter uji dengan jenis PJAS terhadap tingkat TMS.

Analisis data dilanjutkan dengan menggunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk mengetahui perbedaan rata-rata tingkat TMS tiap jenis PJAS, dan parameter keamanan. Uji dilakukan dengan membandingkan selisih rata-rata tingkat TMS dua kelompok dengan nilai BNT yang dihitung melalui rumus berikut ini.

Keterangan :

: nilai yang diperoleh dari tabel t-student pada taraf nyata α dengan

derajat bebas dbg

KTG : Kuadrat Tengah Galat yang didapat dari tabel analisis ragam : jumlah ulangan kelompok ke-i

: jumlah ulangan kelompok ke-j

Apabila selisih rata tingkat TMS lebih tinggi daripada nilai BNT, rata-rata tingkat TMS dua kelompok tersebut dianggap berbeda nyata. Taraf nyata yang dipakai dalam uji BNT adalah 5 %.

Penentuan penyebab utama ketidaklayakan konsumsi pada PJAS dilakukan dengan menggunakan diagram Pareto. Analisis dengan diagram Pareto merupakan salah satu alat bantu program pengendalian dan peningkatan mutu (Muhandri et al. 2012). Dengan menggunakan diagram Pareto, dapat memperlihatkan masalah yang dominan maupun tidak dominan. Teori Pareto menyatakan bahwa 20 % kondisi dapat menjadi penyebab bagi 80 % akibat. Pada penelitian ini, analisis Pareto bertujuan untuk mengetahui 20 % dari jumlah parameter uji yang menyebabkan 80 % frekuensi kejadian TMS pada es, jeli, dan minuman berwarna.

Pengumpulan Informasi Pendukung Mengenai Proses Produksi Es, Jeli, dan Minuman Berwarna

(22)

10

berpotensi menimbulkan risiko cemaran. Informasi proses produksi dihimpun dengan cara melakukan wawancara serta observasi ke rumah produksi pedagang es, jeli, dan minuman berwarna.

Peneliti memperoleh informasi mengenai proses produksi es, jeli, dan minuaman berwarna dari tiga pedagang di tiga SD daerah Bogor. Pedagang minuman teh manis berdagang di salah satu SD di Darmaga, Bogor. Berikut proses produksi pembuatan minuman teh manis. Bahan yang digunakan antara lain air, daun teh kering, gula pasir, dan es batu. Air gula yang dibuat menggunakan gula pasir dan air matang lalu dipanaskan hingga larut. Daun teh kering diseduh kemudian dicampur dengan air dan gula. Es batu ditambahkan pada minuman teh. Teh dibuat dalam jumlah besar dan disimpan dalam wadah besar. Es teh manis disajikan di plastik khusus minuman. Air untuk membuat es teh didapatkan di depot air minum. Sedangkan es batu didapat pedagang tidak jauh dari sekolah, yaitu di depot es batu balok dengan harga Rp 5000 per kilogram. Karena es balok yang didapatkan sangat kotor, maka pedagang mencuci es batu dengan air keran hingga seluruh kotoran luruh dari permukaan es. Peneliti menuju depot es batu yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Balok-balok es disimpan dalam ruangan yang siang hari selalu terbuka dan menghadap jalanan yang padat kendaraan. Ruang penyimpanan bukan merupakan cold storage

sehingga es akan mudah mencair. Balok es hanya ditutup terpal dan diletakkan sejajar dengan permukaan tanah yang dialasi terpal. Pengangkutan es batu ke pedagang minuman atau kantin menggunakan sepeda motor dengan tas besar.

Peneliti memperoleh informasi pembuatan es mambo susu yang dijual di salah satu sekolah daerah Darmaga. Pembuatan es mambo dilakukan di dapur rumah pedagang. Susu dipanaskan pada panci besar. Pedagang menggunakan standar suhu pasteurisasi (72 oC). Gula pasir dan garam ditambahkan ke dalam susu. Kemudian perisa artifisal yang digunakan adalah perisa dengan merk dagang yang sudah terkenal dan dijual luas di pasaran. Susu dikemas dalam plastik khusus es mambo. Kemudian es mambo susu dibekukan di dalam freezer

khusus es mambo, tidak dicampur dengan bahan-bahan lain. Es mambo susu baru disimpan di coolbox tertutup apabila akan berangkat ke sekolah. Coolbox

diangkut ke sekolah dengan sepeda motor.

(23)

11

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Keamanan PJAS dalam Kurun Waktu 2011-2013

Keamanan PJAS adalah aspek terpenting yang wajib diperhatikan karena memiliki pengaruh besar bagi keselamatan siswa sekolah. BPOM RI melalui balai-balai POM tiap provinsi melakukan monitoring PJAS di berbagai sekolah untuk mengetahui kondisi keamanan PJAS. Hasil monitoring tersebut diharapkan dapat memberi gambaran mengenai kondisi keamanan pangan jajanan yang selama ini dijajakan di sekolah-sekolah dasar. Kondisi keamanan PJAS di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Tingkat kejadian Tidak Memenuhi Syarat (TMS) seluruh sampel PJAS tahun 2011-2013

Tingkat TMS PJAS tahun 2013 lebih rendah dibandingkan tahun 2011 sebagai tahun awal program AN-PJAS. Tahun 2011 merupakan tahun dengan persentase TMS tertinggi yaitu mencapai di atas 45 %. Sebanyak 3625 dari 7383 sampel dinyatakan TMS. Persentase TMS menurun tajam hingga mencapai tingkat TMS terendah sebesar 16.41 % pada tahap II tahun 2012. Sebanyak 2327 dari 11193 sampel yang diuji dinyatakan TMS. Pada tahun 2013, dari 2801 sampel yang diuji terdapat 9252 sampel yang dinyatakan TMS. Jumlah sampel TMS meningkat dibandingkan tahun 2012 dengan rata-rata sebesar 30 %. Tren yang fluktuatif terlihat dari Gambar 3. Tingkat TMS menurun pada tahap II monitoring, kecuali pada tahun 2011. Selain karena kenyataan di lapangan yang menunjukkan tingginya angka sampel TMS, tren fluktuatif juga dipengaruhi faktor jumlah data sampel yang diperoleh. Tingkat kesesuaian sampling dengan petunjuk teknis sampling memang rendah. Jumlah sampel, jumlah sekolah, dan nama sekolah yang dijadikan target sampling berbeda setiap tahunnya. Penyebab tingginya angka TMS tidak dapat teridentifikasi jika hanya melihat grafik

46.39

2011 Tahap I 2011 Tahap II 2012 Tahap I 2012 Tahap II 2013 Tahap I 2013 Tahap II

(24)

12

kecenderungan saja. Dibutuhkan analisis data lebih lanjut untuk menemukan hal utama yang menjadi penyebab TMS pada PJAS.

Hasil analisis ragam dua faktor dengan taraf nyata hingga 1 % menunjukkan masing-masing provinsi memiliki rata-rata persentase TMS yang berbeda sangat signifikan. Perbedaan yang signifikan dapat menandakan adanya keragaman kondisi keamanan PJAS pada tiap provinsi. Masing-masing PJAS memiliki rata-rata persentase TMS yang sangat berbeda signifikan. Artinya, terdapat keragaman antarjenis PJAS dalam hal tingkat TMS. Interaksi antara provinsi dan jenis PJAS juga menunjukkan keragaman terhadap rata-rata persentase TMS. Tabel analisis ragam antara provinsi dengan jenis PJAS ditunjukkan pada Lampiran 1.1. Hasil analisis ragam dua faktor juga menunjukkan keragaman tingkat TMS pada kelompok parameter uji karena memiliki perbedaan rata-rata yang sangat signifikan. Sedangkan interaksi antara parameter uji dengan jenis PJAS tidak memberikan perbedaan nyata pada rata-rata TMS. Tabel analisis ragam antara parameter uji dengan jenis PJAS ditunjukkan pada Lampiran 1.2. PJAS dikelompokkan menjadi tujuh kelompok, yaitu bakso, es, jeli, kudapan, makanan ringan, mi, dan minuman berwarna. Tabel 2 menunjukkan rata-rata persentase TMS serta hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) terhadap tujuh jenis PJAS.

Tabel 2 Kondisi keamanan beserta signifikansi antar tujuh jenis PJAS tahun 2011-2013

Perhitungan uji BNT pada jenis PJAS ditunjukkan pada Lampiran 2.1. Mi merupakan jenis PJAS yang memiliki persentase TMS yang terendah. Berdasarkan hasil uji Beda Nyata Terkecil, sampel makanan ringan tidak memiliki perbedaan rata-rata yang nyata dengan sampel mi sehingga dapat diartikan bahwa mi dan makanan ringan sama-sama memiliki tingkat kejadian TMS yang terendah. Bakso dan jeli juga tidak memiliki perbedaan rata-rata TMS yang nyata. Es merupakan PJAS dengan rata-rata TMS tertinggi, diikuti minuman berwarna sebagai tertinggi kedua. Kedua jajanan ini ternyata memiliki perbedaan rata-rata yang signifikan berdasarkan hasil uji lanjut.

(25)

13

Karena kesamaan bahan dasar tersebut, peneliti kemudian berfokus pada ketiga jenis jajanan ini.

Sampel-sampel PJAS yang TMS memiliki penyebab yang bervariasi. ALT memberikan kontribusi terbesar sebagai penyebab ketidaklayakan konsumsi pada PJAS. Setelah ALT, AKK dan APM koliform melebihi batas maksimum merupakan penyebab TMS terbesar kedua dan ketiga dengan kontribusi lebih dari 20 % jumlah sampel. Penggunaan siklamat melebihi batas yang diizinkan juga menjadi penyebab TMS yang cukup besar bagi PJAS. Hasil uji BNT memperlihatkan rata-rata TMS yang disebabkan ALT berbeda nyata dengan seluruh penyebab TMS yang lainnya. Sedangkan AKK dengan koliform tidak saling berbeda signifikan. Siklamat melebihi batas maksimum memiliki rata-rata TMS yang berbeda nyata dengan penyebab TMS lainnya. Rata-rata persentase TMS yang dikelompokkan berdasarkan parameter uji dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3 Rata-rata TMS beserta signifkansi antar parameter uji

Parameter Uji Rata-rata TMS (%)

ALT melebihi batas maksimum 29.83f AKK melebihi batas maksimum 24.48e APM koliform melebihi batas maksimum 21.31e Siklamat melebihi batas maksimum 15.80d Asesulfam K melebihi batas maksimum 5.87c APM E. coli melebihi batas maksimum 4.04c

Boraks positif 3.88b,c

Nitrit melebihi batas maksimum 2.50a,b,c Formalin positif 2.24a,b,c Sakarin melebihi batas maksimum 1.98a,b,c Logam berat melebihi batas maksimum 1.63a,b,c Rhodamin B positif 1.56a,b,c Benzoat melebihi batas maksimum 1.11a,b,c

S. aureus melebihi batas maksimum 1.10a,b,c

C. perfringens melebihi batas maksimum 0.89a,b,c

Salmonella positif 0.56a,b

Sorbat melebihi batas maksimum 0.23a Methanil yellow positif 0.09a

(26)

14

Kondisi Keamanan PJAS Es, Jeli, dan Minuman Berwarna Tahun 2011-2013

Persentase TMS sampel es merupakan persentase tertinggi dari seluruh jenis PJAS. Kondisi paling memprihatinkan terjadi pada tahun 2011. Hanya 307 dari 1691 sampel es yang diuji dinyatakan layak dikonsumsi. Kemajuan tampak pada tahun 2012 dimana rata-rata TMS menurun tajam. Sebanyak 668 sampel dinyatakan TMS dari 1535 sampel es pada tahun 2012. Namun pada tahun 2013, rata-rata TMS sampel es kembali meningkat dengan rincian sebanyak 602 sampel TMS dari 1082 sampel es. Persentase kejadian TMS pada sampel jenis es, jeli, dan minuman berwarna dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Tingkat kejadian tidak Memenuhi Syarat (TMS) sampel jeli, es, dan minuman berwarna tahun 2011-2013

Persentase TMS sampel minuman berwarna adalah persentase tertinggi kedua setelah sampel es. Gambar 4 menunjukkan bahwa angka kejadian TMS minuman sangatlah tinggi. Pada tahun 2011, sebanyak 642 dari 992 sampel minuman yang diuji dinyatakan TMS. Kemudian pada tahun 2012, angka TMS mengalami penurunan hingga tingkat terendah dengan rincian 419 sampel TMS dari 970 sampel. Namun lebih dari 40 % atau sebanyak 598 dari 1259 sampel dinyatakan TMS pada tahun 2013. Persentase yang masih tinggi menandakan bahwa banyak sampel PJAS yang mutunya sudah tidak layak dan potensi risiko terhadap kesehatan masih cukup besar.

Persentase TMS tahun 2011 pada sampel jeli adalah yang tertinggi dengan rincian 205 dari 377 sampel dinyatakan TMS. Kemudian persentase TMS mengalami penurunan yang besar pada tahun 2012. Hanya 149 sampel yang dinyatakan TMS dari 612 sampel. Namun pada tahun 2013, persentase TMS sampel jeli kembali mengalami kenaikan walaupun tipis, terdapat 155 sampel yang TMS dari 475 sampel jeli. Perubahan persentase tersebut mencerminkan

47.68

2011 Tahap I 2011 Tahap II 2012 Tahap I 2012 Tahap II 2013 Tahap I 2013 Tahap II

(27)

15

bahwa tingkat TMS jeli dapat ditekan dua kali lipat sehingga risiko kesehatan yang timbul akibat mengonsumsi jeli menurun.

Kondisi keamanan pangan jajanan jenis es, jeli, dan minuman berwarna dalam kurun waktu 2011-2013 memiliki kecenderungan perubahan yang mirip dengan kondisi PJAS secara keseluruhan, yaitu tren yang fluktuatif. Tingkat kejadian TMS tertinggi terjadi pada tahun 2011. Perbaikan terbesar terjadi pada tahun 2012 karena tingkat kejadian TMS mengalami penurunan yang tajam. Kemudian tingkat kejadian TMS kembali meningkat pada tahun 2013. Berdasarkan grafik pada Gambar 3 dan 4 tingkat TMS pada tahun ini tetap berbeda jauh dibandingkan pada tahun 2011. Hal demikian terjadi bukan hanya karena faktor kondisi lapangan yang memang demikian. Program kegiatan nasional yang belum lama dilaksanakan mengakibatkan belum terinternalisasinya nilai-nilai keamanan pangan pada setiap pemangku kepentingan. Oleh karena itu, dibutuhkan tindakan secara berkelanjutan agar tujuan menciptakan kondisi PJAS yang aman, bermutu, dan bergizi dapat tercapai.

Akar Masalah Penyebab TMS pada Sampel Es, Jeli, dan Minuman Berwarna

Hasil analisis ragam menunjukkan baik pada es, jeli, maupun minuman berwarna terdapat keragaman TMS pada masing-masing parameter uji karena memiliki perbedaan rata-rata persentase TMS yang signifikan. Hasil analisis ragam tiap jenis jajanan dilampirkan pada Lampiran 1.3. Secara umum, penyebab utama TMS pada es, jeli, dan minuman berwarna adalah cemaran mikroba dan penggunaan pemanis buatan. Minuman berwarna merupakan salah satu jenis PJAS yang dijual dengan jenis yang beragam. Bahan utama yang digunakan adalah air dan es batu untuk memberi efek dingin dan segar pada minuman. Penyebab TMS pada PJAS jenis minuman berwarna dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Rata-rata TMS (dalam persen) berdasarkan parameter uji pada minuman berwarna tahun 2011-2013

Parameter Uji Tahun

2011 2012 2013

ALT 20.00 28.58 37.59

AKK 11.85 29.41 35.89

APM koliform 11.99 22.64 31.19 Siklamat 13.77 26.35 15.77 Asesulfam K 0.70 14.10 2.81

APM E. coli 0.78 3.65 2.76

Sakarin 0.49 1.77 1.14

S. aureus 0.25 0.00 0.94

Benzoat 0.21 3.60 0.74

Rhodamin B 0.60 1.04 0.39

Salmonella 0.25 0.00 0.94

Sorbat 0.00 0.56 0.00

(28)

16

Penyebab TMS yang memiliki persentase yang besar diantaranya cemaran ALT, AKK, APM koliform, dan penggunaan siklamat. Salah satu alat analisis yang umum dipakai dalam pengendalian mutu pangan adalah analisis Pareto. Analisis ini digambarkan pada sebuah diagram yang menunjukkan penyebab-penyebab timbulnya masalah. Pada studi kasus ini, diagram Pareto akan menunjukkan hal-hal yang menjadi penyebab utama PJAS yang tidak layak konsumsi. Diagram tersebut menjelaskan 20 % parameter uji dapat menimbulkan 80 % frekuensi kejadian TMS. Diagram pada Gambar 5 menunjukkan penyebab utama TMS pada minuman berwarna.

Gambar 5 Penyebab utama TMS pada minuman berwarna berdasarkan data sekunder tahun 2011-2013

Gambar 5 atas menunjukkan bahwa cemaran ALT, koliform, dan AKK merupakan penyebab TMS pada minuman berwarna yang harus menjadi prioritas dalam penanganannya. ALT memberikan indikasi umum mengenai mutu mikrobiologi pada pangan. ALT tidak akan membedakan antara mikroflora alami, mikroba pembusuk, mikroba yang ditambahkan untuk fermentasi, dan mikroba patogen. Sehingga ALT tidak dapat digunakan untuk memprediksi keamanan pada pangan dan dipengaruhi oleh kondisi penyimpanan (NSW Food Authority 2009). Tingginya ALT pada minuman mengindikasikan bahwa minuman tersebut disiapkan kurang higienis atau disimpan pada kondisi dan cara yang tidak tepat (NSW Food Authority 2009). AKK menunjukkan mutu mikrobiologis yang dimiliki oleh pangan. Khamir dan kapang dikenal sebagai mikroba penyebab kerusakan pada pangan. Khamir umumnya dapat memfermentasi gula, namun khamir juga mampu menggunakan komponen lain seperti alkohol, asam organik, hidrokarbon, dan senyawa aromatik (Betts 2013). Kapang juga mampu tumbuh pada kondisi asam dan kandungan gula yang tinggi (Betts 2013). Khamir biasanya bukan penyebab penyakit asal pangan, lain halnya pada beberapa kapang yang mampu memproduksi mikotoksin yang berbahaya bagi manusia (Betts 2013).

(29)

17

Bahaya mikrobiologis utamanya disebabkan kontaminasi silang, suhu penyimpanan, suhu pemasakan/proses, dan pembersihan/disinfeksi (Tache dan Carventier 2014). Berdasarkan informasi tahapan produksi minuman yang diperoleh, ada berbagai skenario terjadinya kontaminasi silang. Pada minuman, kontaminasi silang yang mungkin terjadi yaitu antara peralatan produksi atau wadah konsumsi dengan produk minuman (Mattick et al. 2003). Kontaminasi silang juga mungkin terjadi antara tangan pedagang dengan es batu yang dipakai. Pencucian gelas-gelas minuman dengan menggunakan air tergenang dapat meningkatkan total mikroba pada gelas karena air sudah digunakan berkali-kali.

Koliform adalah jenis bakteri Gram negatif yang memfermentasi laktosa dan memproduksi gas. Analisis koliform digunakan untuk mengetahui adanya kontaminasi fekal pada air, pangan, dan sampel lainnya serta mengetahui seberapa memadai praktik sanitasi yang dilakukan produsen (Lues dan Tonder 2007). Deteksi koliform juga secara tidak langsung dapat digunakan untuk mengetahui kehadiran mikroba yang bersifat patogen. Walaupun tidak semua koliform bersifat patogen, tingginya angka koliform dapat meningkatkan kemungkinan jumlah patogen yang tinggal pada pangan tersebut. Salah satu jenis koliform yaitu E. coli. Selain sebagai indikator sanitasi, ada beberapa tipe E. coli yang dapat bertindak dapat bertindak sebagai patogen pada manusia (Sorqvist 2003).

Tingginya APM koliform pada minuman diduga karena penggunaan es batu dan air yang tidak memenuhi standar mutu mikrobiologis dan praktek sanitasi yang kurang memadai oleh pedagang. Es batu yang tercemar disebabkan faktor penggunaan air sebagai bahan baku, tangan pekerja, kondisi permukaan alat angkut dan kemasan untuk distribusi (Septiani 2014). Pada tahapan produksi es batu, potensi bahaya mikroba yang bersifat patogen menjadi signifikan saat proses perebusan atau filtrasi, karena setelah proses tersebut tidak ada lagi tahapan proses yang dapat mereduksi jumlah mikroba (Septiani 2014). Oleh karena itu, sangat diharuskan bagi produsen es batu untuk menggunakan air yang berstandar mutu AMDK sebagai bahan baku. Tahapan distribusi dan penanganan es batu di tingkat pedagang juga turut berpotensi meningkatkan jumlah mikroba pada es batu. Mutu mikrobiologis es batu diketahui semakin menurun di tingkat distributor dan pedagang minuman pada studi penelitian di Bogor (Firlieyanti 2006).

(30)

18

mendidih seharusnya dapat membunuh sebagian besar jenis bakteri. Pertumbuhan pada bakteri seperti Salmonella, E. coli, dan Campylobacter dapat terhambat pada suhu 46o– 47 oC (Mattick et al. 2003). Sedangkan spora bakteri seperti B. cereus

dan C. perfringens dapat diinaktivasi pada suhu 95oC selama 30 menit pada produk minuman dan jus buah (Brooks 2013).

Pada jeli, siklamat melebihi batas maksimum menjadi penyebab TMS terbesar. Siklamat memiliki tingkat kemanisan > 30 kali lebih tinggi daripada sukrosa. Sejak siklamat dikenalkan pada awal 1950-an, beredar informasi bahwa pemanis ini memiliki potensi karsinogenik (Collings 1989). Namun pada penelitian Takayama (2000), tidak ditemukan bukti kuat mengenai karsinogenisitas siklamat karena tumor yang terbentuk berada di jaringan berbeda. Hingga kini, penggunaan siklamat masih diperbolehkan di Indonesia dalam batas tertentu. Cemaran koliform juga berkontribusi pada penyebab TMS yang cukup tinggi pada jeli. Tabel 5 menunjukkan penyebab TMS pada jeli.

Tabel 5 Rata-rata TMS (dalam persen) berdasarkan parameter uji pada jeli tahun 2011-2013

(31)

19

Gambar 6 memberi petunjuk bahwa penyebab TMS pada jeli yang menjadi prioritas untuk ditangani adalah penggunaan siklamat dan cemaran koliform. Ada dua faktor yang melatarbelakangi pedagang untuk menggunakan pemanis buatan pada jajanan. Faktor pertama adalah rendahnya pengetahuan para pedagang terhadap bahaya penggunaan BTP yang tidak sesuai aturan. Faktor kedua adalah faktor ekonomi, dimana pedagang berusaha menekan biaya produksi untuk memperbesar margin keuntungan tanpa mempertimbangkan aspek keamanan pangan (Nurlaila 2002). Tingginya produk jeli yang menggunakan siklamat dapat menyebabkan tingginya paparan siklamat pada anak usia sekolah, karena seperti yang diketahui, anak usia sekolah gemar mengonsumsi jajanan lebih dari satu kali setiap harinya. Pada kelompok anak usia 6-12 tahun, rata-rata konsumsi siklamat level nasional yaitu 11.29-12.74 mg/kg BB per hari (Sarifudin 2004). Paparan tersebut melebihi ADI (Acceptable Daily Intake) karena ADI untuk siklamat adalah 11 mg/kg BB per hari (BPOM 2014).

APM koliform sebagai penyebab utama TMS kedua pada jeli menunjukkan bahwa praktek sanitasi yang dilakukan sebagian pedagang masih kurang memadai. Selain praktik sanitasi, air yang digunakan sebagai bahan baku maupun proses diduga meningkatkan cemaran koliform. Seperti yang sudah dipaparkan, air sangat berpotensi tercemar koliform dari lingkungan terutama dari tanah. Pemasakan campuran jeli yang kurang dan penuangan jeli ke dalam wadah yang dicuci dengan air yang tercemar diduga meningkatkan cemaran koliform pada jeli. Berdasarkan diagram Pareto di atas, tampak bahwa ALT tidak menjadi penyebab utama TMS pada jeli. Hal ini disebabkan uji ALT tidak dilakukan untuk menguji mutu mikrobiologis jeli. Instruksi tertulis dalam panduan sampling yang saat itu berlaku. Pengujian ALT penting dilakukan untuk mengetahui mutu mikrobiologis jajanan secara umum. Pada sampel jeli, persentase jumlah sampel yang tercemar koliform cukup besar, sehingga dapat dipastikan sebagian sampel jeli juga memiliki ALT yang tinggi.

Es merupakan produk pangan yang dibuat dengan proses pembekuan. Produk es yang umum dijual di sekolah antara lain es mambo, es stik, es lilin, dan sebagainya. Tabel 6 menunjukkan penyebab TMS pada PJAS jenis es.

(32)

20

Penyebab TMS pada es dengan persentase di atas 10 % yaitu APM koliform, ALT, AKK, dan pemanis buatan siklamat melebihi batas maksimum. Diagram Pareto pada Gambar 7 menunjukkan penyebab utama TMS pada es.

Gambar 7 Penyebab utama TMS pada es berdasarkan data sekunder tahun 2011-2013

Gambar 7 menunjukkan bahwa untuk menyelesaikan 80 % masalah TMS pada es, penyebab yang diprioritaskan penanganannya secara berturut-turut adalah penggunaan siklamat, cemaran koliform, dan cemaran ALT. Meskipun Indonesia telah mengatur batas penggunaan siklamat dalam Perka Badan POM RI No. 4 Tahun 2014, nampaknya masih terjadi pelanggaran yang dilakukan masyarakat. Rendahnya pengetahuan para pedagang terhadap bahaya penggunaan BTP yang tidak sesuai aturan dan faktor ekonomi tentunya menjadi penyebab utama pedagang menggunakan siklamat dalam jajanan. Selain itu, motivasi para pedagang juga kurang didongkrak karena banyaknya pedagang yang belum mendapat pembinaan tentang cara produksi jajanan yang baik dari instansi yang berwenang. Daya beli siswa yang berbeda-beda tiap sekolah juga mempengaruhi tindakan pedagang dalam menambahkan siklamat pada jajanan. Pada pembuatan minuman, perbedaan harga jual es teh yang menggunakan campuran siklamat dan gula pasir bisa mencapai dua kali lipat lebih murah daripada dengan gula pasir seluruhnya (Suratmono 2009).

Cemaran koliform dan ALT menjadi penyebab utama TMS pada es. Aspek sanitasi yang kurang menjadi perhatian pedagang antara lain pada peralatan produksi, lingkungan produksi, dan higiene pedagang itu sendiri. Tahap pemasakan bahan dan pengemasan juga menjadi faktor penentu mutu mikrobiologi pada es. Air merupakan bahan baku yang kritis pada pembuatan es dan minuman karena bisa menjadi sumber cemaran mikroba, terutama koliform. Alat-alat produksi, wadah penyimpanan, dan plastik pembungkus es bisa menjadi sumber mikroba apabila tidak ditangani secara higienis. Produk es dapat tercemar mikroba yang berasal dari udara apabila wadah penyimpanan tidak tertutup.

(33)

21

Berdasarkan hasil analisis akar masalah penyebab TMS pada ketiga produk PJAS, siklamat tampaknya menjadi alternatif pemanis yang sangat populer digunakan namun sebagian pedagang tidak melakukan penakaran siklamat yang benar sesuai aturan. Dari segi mikrobiologi, bakteri patogen tidak menjadi penyebab utama TMS pada ketiga PJAS tersebut. Penyebab TMS berdasarkan mikrobiologi yaitu ALT dan AKK yang mengindikasikan mutu PJAS yang sudah tidak baik. Penyebab selanjutnya yaitu koliform yang mengindikasikan kurang memadainya praktek sanitasi oleh sebagian pedagang. Tingginya koliform juga menandai bahwa peluang kehadiran patogen pada PJAS semakin tinggi.

Langkah-Langkah Perbaikan Mutu PJAS Es, Jeli, dan Minuman Berwarna pada Pemangku Kepentingan

Langkah Perbaikan Mutu PJAS Melalui Peran Pemerintah

Penyakit asal pangan tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat terlepas dari peningkatan standar kebersihan, praktik pengolahan pangan yang lebih baik, pendidikan, dan kesadaran konsumen/penangan pangan (Dominguez et al. 2002). Berdasarkan analisis Pareto pada Gambar 5, 6, dan 7, penyebab utama TMS es, jeli, dan minuman berwarna antara lain cemaran mikroba (ALT, AKK, koliform) dan siklamat melebihi batas. Oleh karena itu, langkah menurunkan risiko bahaya yaitu menurunkan cemaran mikroba dan siklamat hingga di bawah batas maksimum. Manajemen risiko dilakukan dengan pengawasan terhadap jajanan, perilaku produsen, pedagang, dan konsumen. Metode yang dilakukan berupa

preventive control (bersifat mencegah) dan law enforcement (penegakan hukum). Pemerintah tentunya sudah melakukan banyak gerakan untuk menurunkan risiko kesehatan pada masyarakat yang berkaitan dengan penyakit asal pangan. Pemerintah telah membentuk tiga jejaring berdasarkan pendekatan analisis risiko yaitu Jejaring Intelijen Pangan, Jejaring Pengawasan Pangan, dan Jejaring Promosi Keamanan Pangan. Gerakan peningkatan keamanan PJAS dapat semakin efektif dengan memanfaatkan ketiga jejaring tersebut. Pemerintah perlu meningkatkan frekuensi pengawasan mutu es batu dan air minum serta penggunaan pemanis pada PJAS. Pengawasan pangan adalah tanggung jawab pemerintah sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2012 Bab XI Pasal 108-112 tentang pengawasan pangan. Selain itu, pihak pemerintah menindak secara tegas pelaku dengan sanksi sesuai dan membuat efek jera, sesuai dengan kewajiban pemerintah berdasarkan UU No. 18 Tahun 2012 Pasal 72 ayat (3) dan Pasal 76 ayat (3). Pemerintah juga diharapkan terus meningkatkan pembinaan, frekuensi dan kualitas sosialisasi keamanan PJAS kepada pedagang, guru, orang tua, dan siswa pada program nasional PJAS berikutnya.

(34)

22

Tabel 7 Langkah-langkah perbaikan mutu PJAS melalui peran pemerintah

Peran Pemerintah Langkah/Tindakan Perbaikan

Pembuatan dan penegakkan peraturan pangan

 Menyusun Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) untuk es batu

 Memperketat dan mengawasi jalur distribusi es batu, jangan sampai es batu yang tidak

diperuntukkan untuk konsumsi langsung dapat mudah diperoleh penjaja PJAS

Saran perbaikan bagi produsen/industri/pedagang

 Penyuluhan terkait CPPB dan CDPB untuk produsen es batu sesuai dengan kewajiban pemerintah dalam membina berdasarkan PP No. 28 Tahun 2004 Pasal 52

 Memberikan aturan tegas kepada pengusaha es batu untuk menggunakan air matang sebagai bahan baku es

 Mewajibkan pedagang es, jeli, dan minuman menggunakan alat takar yang akurat untuk pemanis dan BTP lainnya

Edukasi terhadap konsumen  Melakukan sosialisasi terkait manajemen keamanan PJAS kepada tim khusus di sekolah yang bergerak di penjaminan pangan di kantin dan pedagang PJAS di sekitar sekolah

Pengumpulan informasi dan penelitian

 Melakukan studi asupan pangan terbaru pada siswa SD

 Melakukan kajian paparan pemanis terbaru agar mendapat angka rata-rata konsumsi terkini sebagai dasar pertimbangan untuk penentuan kebijakan terkait pemanis selanjutnya, khususnya untuk PJAS

Langkah Perbaikan Mutu PJAS Melalui Peran Konsumen

Semua elemen masyarakat perlu ikut serta mengkampanyekan pangan jajanan sehat dan aman, terutama dari pihak guru, orang tua, serta lembaga anak dan perlindungan konsumen. Guru dan orang tua berperan penting dalam mengedukasi anak-anak. Orang tua dan siswa berhak dan dipermudah aksesnya untuk mendapatkan informasi mengenai keamanan pangan. Semakin meningkat pengetahuan siswa tentang keamanan PJAS, semakin meningkat pula kewaspadaan siswa dalam memilih jajanan. Karena kehatian-hatian tersebut, permintaan PJAS yang relatif aman dan sehat akan semakin tinggi. Keadaan tersebut akan mendorong pedagang PJAS untuk mempraktekkan cara produksi jajanan yang baik dan meninggalkan kebiasaan buruk yang menimbulkan bahaya bagi siswa. Masyarakat dapat memberikan laporan terkait kasus PJAS yang terjadi di lapangan kepada pihak pemerintah sesuai dengan PP No. 28 Tahun 2004 Bab VI Pasal 52 tentang peran serta masyarakat. Pada PJAS, terdapat program

(35)

23

perbaikan mutu PJAS melalui peran konsumen yang meliputi guru, orang tua, dan siswa berdasarkan pendekatan tiga kunci pilar keamanan pangan.

Tabel 8 Langkah-langkah perbaikan mutu PJAS melalui peran konsumen

Peran Konsumen Langkah/Tindakan Perbaikan

Menjadi konsumen yang selektif

 Mengimplementasikan lima kunci keamanan pangan bagi anak sekolah dalam kehidupan sehari-hari, antara lain:

1) Kenali pangan yang aman, 2) Beli pangan yang aman, 3) Baca label dengan seksama, 4) Jaga kebersihan, dan

5) Catat apa yang ditemui (BPOM RI 2012) Partisipasi komunitas  Membentuk tim khusus di sekolah yang

berfokus pada penjaminan keamanan pangan di kantin dan di sekitar sekolah (pedagang

keliling)

Grup konsumen yang aktif  Siswa aktif mencari wawasan tentang

keamanan pangan melalui pencapaian beberapa kompetensi dasar yang relevan berdasarkan kurikulum 2013

(36)

24

Tabel 9 Kompetensi dasar berkaitan dengan pangan dalam Kurikulum 2013 SD/MI (Kemendiknas 2013)

Mata Pelajaran Kelas Kompetensi Dasar Tindakan Bahasa Indonesia V Memiliki kepedulian dan

tanggung jawab terhadap

IV Memahami gizi dan menu seimbang dalam menjaga kesehatan tubuh

Langkah Perbaikan Mutu PJAS Melalui Peran Produsen

(37)

25

Tabel 10 Langkah-langkah perbaikan mutu PJAS melalui peran produsen bahan pangan dan pedagang

Peran Produsen Langkah/Tindakan Perbaikan

Praktek yang baikoleh produsen dan distributor primer

 Menerapkan CPPB dan CDPB pada proses produksi dan distribusi oleh produsen es batu

 Menerapkan prinsip sanitasi dan higiene bagi pedagang, sesuai dengan kewajiban produsen berdasarkan PP No. 28 Tahun 2004 Bab II Pasal 3

 PDAM meningkatkan kualitas air yang layak untuk aktivitas yang berhubungan dengan produksi pangan dan untuk konsumsi Penjaminan dan

pengendalian kualitas pada makanan yang diolah

 Memperhatikan mutu bahan baku dan menjaga mutu pangan yang sudah diolah

Proses dan teknologi yang tepat dan layak

 Pemasakan atau pengolahan pangan dengan suhu yang tepat dan waktu yang cukup

 Produksi es batu menggunakan air matang / memenuhi syarat mutu SNI dengan cara

perebusan atau teknologi filtrasi yang memadai Produsen dan manajer yang

terlatih

 Pedagang dan produsen (terutama es batu) aktif mengikuti kegiatan sosialisasi / penyuluhan / pelatihan keamanan pangan yang

diselenggarakan pihak pemerintah

Kecil kemungkinan bakteri yang masih bertahan di piring dan gelas yang dicuci akan mencemari makanan. Namun benda dapur seperti handuk/lap dan spons cuci memiliki pengaruh terhadap peningkatan jumlah mikroba atau rekontaminasi pada peralatan (Mattick et al. 2003). Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk mencuci lap dan mengganti spons secara rutin. Praktik mencuci tangan sangat penting dilakukan baik pada produsen maupun konsumen. Mencuci tangan secara konvensional dengan sabun biasa dan air efektif mereduksi jumlah mikroba pada tangan penangan pangan (Shojaei et al. 2006). Pemakaian sabun antimikrobial yang diikuti dengan sanitiser akan mereduksi jumlah mikroba. Menyentuh keran air dan mengeringkan dengan udara panas (hot air drying) akan mengurangi manfaat dari mencuci tangan dalam mengurangi jumlah mikroba (Montville et al. 2002).

(38)

26

penyimpanan, pengangkutan, peralatan yang dipakai, pembersihan, pembungkus es, dan kebersihan lingkungan (Firlieyanti 2006).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Angka kejadian Tidak Memenuhi Syarat (TMS) seluruh sampel PJAS tertinggi terjadi pada tahun 2011 dengan rata-rata persentase TMS di atas 50 %. Persentase TMS menurun secara tajam pada tahun 2012 dengan rata-rata di bawah 20 %. Akan tetapi persentase TMS kembali meningkat dengan rata-rata 30 % pada tahun 2013. Hingga tahun 2013, kondisi keseluruhan sampel PJAS cenderung lebih baik dibandingkan tahun 2011. Pola perubahan persentase TMS pada es, jeli, dan minuman berwarna sama dengan pola total sampel. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya keragaman tingkat TMS antarpropinsi dan antarjenis PJAS. Rata-rata tingkat TMS sampel berdasarkan parameter uji juga saling berbeda nyata.

Jenis PJAS dengan angka TMS tertinggi adalah es, kemudian diikuti minuman berwarna. Mie merupakan jenis PJAS yang paling rendah tingkat TMS-nya. Pada tahun 2013, rata-rata TMS pada sampel es masih di atas 50 %, pada minuman berwarna di atas 40 %, dan pada jeli di atas 30 %. Analisis Pareto menunjukkan penyebab TMS pada jeli yang menjadi proritas untuk ditangani adalah kandungan siklamat dan cemaran koliform. Kandungan siklamat, cemaran koliform, dan ALT menjadi penyebab utama TMS pada es. Sedangkan pada minuman berwarna, penyebab TMS yang utama untuk ditangani yaitu cemaran ALT, koliform, dan AKK.

Upaya penurunan resiko keamanan pada PJAS dilakukan melalui peran pemerintah, konsumen (guru, orang tua, siswa), dan produsen (bahan baku, pedagang). Pelaksanaan tanggung jawab bersama sesuai dengan pemangku kepentingan dapat mewujudkan kondisi keamanan PJAS yang lebih kondusif. Pemerintah menguatkan kembali pengawasan, penegakan peraturan, dan penyusunan kebijakan yang relevan terhadap PJAS yang beredar. Produsen es batu harus menerapkan CPPB dan CDPB. Pedagang PJAS harus memperbaiki praktek sanitasi dan higiene saat produksi. Sedangkan konsumen harus berperan aktif dalam menambah wawasan tentang keamanan pangan lalu mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Saran

(39)

27

Diharapkan akan lebih banyak pedagang dan elemen sekolah termotivasi dan berpartisipasi untuk memproduksi jajanan yang lebih aman.

Data hasil sampling PJAS yang dilakukan oleh Badan POM bermanfaat dalam menentukan akar masalah keamanan PJAS dan mengetahui informasi lainnya seputar kondisi PJAS di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan beberapa analisis data lebih lanjut agar dapat menemukan berbagai informasi penting sebagai salah satu dasar penentuan rekomendasi untuk perbaikan mutu PJAS berikutnya. Contoh informasi yang bisa didapat yaitu kelompok provinsi yang memiliki karakteristik keamanan PJAS yang sama. Data hasil sampling tersebut juga bermanfaat bila dibandingkan dengan persepsi konsumen dan pedagang terkait program Aksi Nasional PJAS karena dapat dilihat hubungan antara kondisi PJAS yang diperoleh berdasarkan data dengan hasil tanya jawab konsumen dan pedagang PJAS. Kesesuaian sampling terhadap petunjuk teknis perlu ditingkatkan untuk inspeksi selanjutnya, agar data yang diperoleh semakin representatif dan mendekati kondisi sebenarnya di masing-masing daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Betts R. 2013. Microbial update yeast & moulds. International Food Hygiene. 24(4): 10-11.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2005. Analisis Risiko dalam Sistem Keamanan Pangan. Bulletin Keamanan Pangan POM. Vol. 8 Tahun IV: 1-2.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2008. Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) serta Upaya Penanggulangannya. Bulletin Info POM. Vol. 9 No. 6: 4-7.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2009. Sistem Keamanan Pangan Terpadu Pangan Jajanan Anak Sekolah. Bulletin Food Watch BPOM. Vol. 1: 1-4.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2010. Data Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan. Bulletin Keamanan Pangan. Vol. 17 Tahun IX: 13-15.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012. Lima Kunci Keamanan Pangan untuk Anak Sekolah [Internet]. [diunduh Januari 12 2015]. Tersedia pada: http://www.klubpompi.com/id/index.php/edukasi /buku-online/item/191-5-kunci-keamanan-pangan-untuk-anak-sekolah [BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2013.

Laptah (Laporan Tahunan) 2013 Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. [BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2014.

Peraturan Kepala BPOM RI No. 4 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis. Jakarta.

Brooks AA. 2013. Weat-heat inactivation of bacterial endospores in packaged fruit juices. International Journal of Current Microbiology and Applied Science. 2(10): 506-515.

(40)

28

Dominguez C, Gomez I, and Zumalacarregui J. 2002. Prevalence of Salmonella

and Campylobacter in retail chicken meat in Spain. International Journal of Food Microbiology. 72: 165-168.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2011. Selling Street and Snack Foods. Rural Infrastructure and Agro-Industries Division Food and Agriculture Organization of the United Nations Rome.

Firlieyanti AS. 2006. Evaluasi Bakteri Indikator Sanitasi di Sepanjang Rantai Distribusi Es Batu di Bogor. J.ll. Pert, Indon. 11(2): 28-36.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Keputusan Menkes RI No. 942/MENKES/SK/VII/2003 tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan. Jakarta.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Kurikulum 2013 untuk Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah.

Lues JFR and Tonder IV. 2007. The occurance of indicator bacteria on hands and aprons of food handlers in the delicatessen sections of a retail group. Food Control. 18: 326-332.

Mattick K, Durham K, Domingue G, Jorgensen F, Sen M, Schaffner DW, and Humphrey T. 2003. The survival of foodborne pathogens during domestic washing-up and subsequent transfer onto washing-up sponges, kitchen surfaces, and food. International Journal of Food Microbiology. 85: 213-[Internet]. [diunduh Januari 11 2015]. Tersedia pada: http://www.food authority.nsw.gov.au/_Documents/science/microbiological_quality_guide_f or_RTE_food.pdf

Nurlaila. 2002. Studi Keamanan Kimiawi Minuman Jajanan pada Tiga Sekolah di Wilayah Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rahayu WP, Nababan H, Syah D, Nuraida L, Syamsir E, Susigandhawati E, dan Puspitasari R. 2005. Penyuluhan Keamanan Pangan di Sekolah. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya. Jakarta: Badan POM RI.

Randell AW. 2000. International food standards: the work of Codex. Rees N, Watson D, editor. International Standars for Food Safety. Part 1. The Importance if International Food Safety. Maryland (USA): Aspen Publishers, Inc. hlm 3-9.

Montville R, Chen Y, and Schaffner DW. 2002. Risk assessment of hand washing efficacy using literature and experimental data. International Journal of Food Microbiology. 73: 305-313.

(41)

29

Sarifudin A. 2004. Kajian Paparan Bahan Tambahan Pangan Berdasarkan Data Konsumsi Pangan Individu di Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Septiani I. 2014. Penentuan Titik Kritis Risiko Keamanan Mikrobiologi dalam Rantai Penyediaan Es Batu dan Minuman Es (Studi Kasus Sekolah Dasar di Jakarta [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Shank FR and Carson KL. 1992. What is safe food? Finley JW, Robinson SF, handlers. Food Research International. 39: 525-529.

Sorqvist S. 2003. Heat resistance in liquids of Enterococcus spp., Listeria spp.,

Escherichia coli, Yersinia enterocolitica, Salmonella spp. and

Campylobacter spp. Acta vet scand. 44: 1-19.

Standar Nasional Indonesia. 1995. SNI 01-3839-1995 tentang Es Batu. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

Standar Nasional Indonesia. 2006. SNI-01-3553-2006 tentang Air Minum dalam Kemasan (AMDK). Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

Sudjana. 1985. Desain dan Analisa Eksperimen. Ed. 1. Bandung (ID): Tarsito. Suratmono. 2009. Penggunaan Data Hasil Pengujian untuk Meningkatkan

Pengaturan Keamanan Pangan: Studi Kasus Siklamat pada Pangan Jajanan Anak Sekolah [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Tache J and Carpentier B. 2014. Hygiene in the home kitchen: changes in behaviour and impact key microbiological hazard control measures. Food Control. 35: 392-400.

Takayama S, Renwick AG, Johansson SL, Thorgeirsson UP, Tsutsumi M, Dalgard DW, and Sieber SM. 2000. Long-Term Toxicity and Carcinogenicity Study of Cyclamate in Nonhuman Primates. Toxicological Sciences. 53: 33-39.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan pada Bab I Pasal 1 Ayat (5)

[Unicef] United Nations Children’s Fund Indonesia. 2012. Ringkasan Kajian Air

Bersih, Sanitasi, dan Kebersihan [Internet]. [diunduh 2014 Oktober 28]. Tersedia pada: www.unicef.org/indonesia/id/A8_-_B_Ringkasan_Kajian _Air_Bersih.pdf.

[WHO] World Health Organization. 1999. Technical Paper Food Safety by Regional Commitee for the Eastern Mediterranean [Internet]. [diunduh 2014 Desember 1]. Tersedia pada:http://apps.who.int/iris/bitstream

/10665/121784/1/em_RC46_6_en.pdf?ua=1

Gambar

Gambar 1. Kunci pilar dalam keamanan pangan (WHO 1999)
Gambar 2. Kerangka pikir penelitian
Tabel 1. Parameter uji beserta standar keamanan es, jeli, dan minuman berwarna
Gambar 3 Tingkat kejadian Tidak Memenuhi Syarat (TMS) seluruh
+7

Referensi

Dokumen terkait

Setelah jamaah haji datang di rumah masing-masing, tidak sedikit masyarakat Islam yang datang dan meminta berkah kepada orang yang telah melaksanakan ibadah haji. Karena itu,

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, maka untuk dapat melakukan smash yang keras, menukik ke bawah mengarah kesisi bagian yang tidak terjangkau oleh lawan diperlukan

Penelitian ini juga didukung oleh Rizal M (2011) yang membahas mengenai analisis pengelolaan persampahan perkotaan yang menyangkut mengenai sarana dan prasarana

Analisis Permasalahan dan Potensi Prasarana dan Sarana Analisis Permasalahan dan Potensi Kelembagaan Penyusunan Rencana Tindakan Peningkatan Pendapatan Daerah

Konfigurasiawal dimulai dengan menggunakan aplikasi XCTU pada modul setiap XBee-ZB-PRO agar parameter ATCH, ATID, ATMM, ATBD, dan ATAP sesuai dengan nilai yang

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan dengan baik laporan penelitian yang berjudul Pengaruh Penambahan

Ibu Treesia Sujana, MN selaku Wali studi selama ± 1 tahun, Kemudian Ibu Natalia Ratna Yulianti, S.Kep, Ns, MAN selaku Wali studi selama ±2 tahun yang sudah

Arra azonban kevesen gondoltak akkor, hogy a kontinentális püspökkari konferenciák közül egy már létre is jött, és igen gyorsan hatalmas erővel karolja fel