• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari hasil penelitian mengenai maskulinisasi ikan nila dengan pemberian tepung testis sapi (TTS) diperoleh data persentase ikan nila jantan, kelangsungan hidup ikan selama pemberian pakan uji dan selama penelitian, pertumbuhan ikan selama penelitian, kadar hormon testosterone dan nutrisi yang terkandung dalam TTS, serta data kualitas air sebagai data penunjang.

Persentase Ikan Jantan

Persentase ikan jantan dan pertumbuhan merupakan elemen penting dari performa budidaya yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan dari pembenihan ikan nila. Persentase ikan jantan berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan populasi ikan yang dibudidayakan. Hal ini disebabkan laju pertumbuhan ikan nila jantan lebih cepat dibandingkan dengan betina (Popma dan Masser,1999; Phelps dan Popma, 2000; Manosroi et al., 2004; Dunham, 2004; Shalaby et al., 2007).

Berdasarkan hasil pengamatan persentase ikan jantan, perlakuan dengan pemberian TTS menghasilkan persentase jantan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tanpa diberi TTS. Data pengamatan persentase ikan jantan pada akhir penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Berikut tabel dan gambar rangkuman data persentase ikan jantan pada akhir penelitian :

Tabel 2. Persentase (%) ikan jantan akhir penelitian tiap perlakuan Dosis TTS

(Faktor1)

Lama Pemberian TTS (Faktor 2)

T1 (7 hari) T2 (14 hari) T3 (21 hari) D1 (0%)/control 56.7 ± 2.9 Bd 55.0 ± 5.0 Bd 55.0 ± 5.0 Bd D2 (3%) 75.0 ± 5.0 Ac 75.0 ± 0.0 Ac 80.0 ± 0.0 Ac D3 (6%) 76.6 ± 7.6 Ac 81.7 ± 2.9 Ac 83.3 ± 5.8 Ac D4 (9%) 80.0 ± 10.0 Ac 83.3 ± 2.9 Ac 83.3 ± 2.9 Ac Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama (A-B)

dan lajur yang sama (c-d) menunjukan tidak berbeda nyata (P≥0.05); rata-rata ± STDEV

Gambar 1. Grafik kecenderungan peningkatan persentase ikan jantan hasil akhir penelitian maskulinisasi dengan pemberian TTS

Dari data diatas ada kecenderungan semakin tinggi dosis TTS dan semakin lama waktu pemberian TTS, maka persentase ikan jantan semakin meningkat. Pemberian TTS dengan dosis 9% selama 14 hari dan 21 hari serta dosis 6% selama 21 hari menghasilkan persentase ikan jantan yang tertinggi yaitu sebesar 83.3%. Lama pemberian TTS tiap dosis tidak berpengaruh nyata (P>0.05). Namun dari data tersebut ada perbedaaan sangat nyata antara perlakuan pemberian TTS dengan perlakuan kontrol (tidak diberi TTS).

Persentase ikan jantan dari hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan penelitian lain menggunakan testis sapi segar : Phelps et al,. (1996) dalam Phelps dan Popma (2000), sebesar 65% jantan; Iskandaria (1996) sebesar 62.2-70.6% jantan; Yulfianti et al,.(1995) sebesar 65.67% jantan. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan testis sapi lebih efektif dibuat tepung (TTS) daripada testis sapi segar. Penggunaan testis sapi juga lebih efektif daripada menggunakan bahan alami lainnya seperti testis beri-beri (ram) sebesar 57% (Haylor dan Pascual, 1991) dalam Phelps dan Popma (2000); testis babi (hog) sebesar 83% jantan (Meyer et al, 2008).

Dalam penelitian ini ditemukan ikan intersek yaitu adanya sel bakal gonad jantan dan betina dalam satu individu. Pada perlakuan D2T2 ditemukan 1 ekor (1.67%), D2T1 sebanyak 5 ekor (8.33%) dan D3T1 sebanyak 1ekor (1.67%). Pada perlakuan D4 dan tanpa pemberian TTS (D1) tidak ditemukan ikan intersek (Gambar 2).

Gambar 2. Persentase ikan jantan, intersek dan betina hasil penelitian Menurut Nakamura et al (1998), pemberian hormon steroid dengan dosis yang rendah tidak akan mampu untuk membentuk populasi jantan secara maksimal, dan menyebabkan terbentuknya individu interseks. Sebaliknya dosis terlalu yang tinggi akan menyebabkan efek kebalikan dari populasi yang diharapkan, dan terbentuknya individu steril. Terjadinya ikan intersex umumnya akibat pemberian hormon steroid dosis rendah (suboptimum) (Yamazaki, 1983).

Gambar 3. Jaringan gonad ikan jantan (1), intersex (2) dan betina (3).Pewarnaan acetokarmin. Mikroskop pembesaran 40X. (a) sel bakal sperma, (b) sel bakal telur

Terbentuknya kelamin (sex determination) pada ikan nila dipengaruhi tiga faktor yaitu major genetic factor, minor genetic factor dan environmental factor (Baroiller et al,2009). Menurut Devlin dan Nagahama (2002), sex determination dikendalikan oleh aksi berbagai proses biokimia dalam tubuh termasuk berbagai protein berbeda seperti faktor transkripsi, enzim steroidogenesis, reseptor dan messenger system.

b a

1 2

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan sex reversal adalah ukuran dan umur, lama perlakuan, lingkungan (Phelps dan Popma, 2000), spesies ikan, genetic, tipe hormon, dosis hormon, waktu perlakuan (Dunham, 2004). Masa diferensiasi gonad pada ikan nila terjadi hingga 30 hari setelah penetasan, namun periode paling sensitif untuk pengarahan jenis kelamin pada ikan nila adalah pada 7-14 hari setelah menetas (Kwon et al.,2000). Menurut Yuniarti, et al., (2007), diferensiasi kelamin pada ikan nila terjadi pada saat larva berumur 6-7 hari setelah menetas sampai sekitar 27-28 hari setelah menetas. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pengarahan jenis kelamin adalah suhu (Smith et al.,1994; Nakamura et al, 1998; Phelps dan Popma, 2000).

Sex differentiation (diferensiasi kelamin) pada ikan teleost umumnya terjadi pada awal setelah penetasan. Proses difensiasi kelamin pada teleost berangsur-angsur dan labil (Pandian, 1999). Aplikasi teknik pengarahan kelamin umumnya dilakukan pada ikan yang masih dalam proses diferensiasi (periode labil) (Dunham, 2004). Pada periode labil ini kelamin ikan dapat diarahkan melalui induksi hormon (Pandian, 1999). Untuk mengarahkan ikan berkelamin jantan, hormon yang digunakan adalah hormon androgen (Nakamura et al., 1998; Dunham, 2004; Pandian, 1999). Menurut Phelps dan Popma (2000), hormon androgen mempunyai dua aktifitas fisiologi yaitu androgenic activity dan anabolic activity. Berkembangnya karakteristik kelamin jantan terkait dengan androgenic activity.

Hormon androgen yang umum digunakan dalam pengarahan kelamin (sex reversal) adalah hormon sintetik 17α-methyltestosteron (Macintosh dan Little, 1995; Phelps dan Popma, 2000). Peredaran hormon tersebut terbatas, sehingga harga mahal dan juga sulit didapat. Menurut Phelps et al,. (2001), diduga residu hormon ini menjadi bahan pencemar lingkungan. DKP (2008), menyatakan larangan penggunaan 21 jenis obat-obatan dalam kegiatan budidaya perikanan, salah satunya steroid sintetik (metyl testosteron). Oleh karena itu, testis sapi dapat dijadikan bahan pengganti dalam aplikasi sex reversal pada ikan. Berdasarkan hasil penelitian ini testis sapi yang sudah dibuat dalam bentuk tepung (TTS), layak untuk diaplikasikan dalam kegiatan produksi monosek jantan ikan nila. Keunggulan dari TTS merupakan bahan alami yang mengandung bahan organik

(nutrisi) yang berguna bagi tubuh ikan, tidak menimbulkan tekanan fisiologis pada ikan sehingga tidak menyebabkan kematian pada ikan, ramah lingkungan dan aman terhadap konsumen. Selain itu testis sapi termasuk sumberdaya lokal lebih mudah diperoleh dengan harga relatif murah.

Kelangsungan Hidup Ikan Uji

Kelangsungan hidup merupakan parameter penting dalam pemeliharaan ikan uji sehingga dapat diketahui hasil akhir dari pemberian perlakuan terhadap ikan uji. Dalam penelitian ini data kelangsungan hidup terdiri dari dua jenis yaitu kelangsungan hidup ikan selama diberi perlakuan (SRt) dan kelangsungan hidup ikan akhir penelitian (SR). Data SRt dan SR serta analisa statistiknya dapat dilihat pada tabel 2 dan tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Kelangsungan hidup ikan (%), selama diberi TTS (SRt) tiap perlakuan Dosis TTS

(Faktor1)

Lama Pemberian TTS (Faktor 2)

T1 (7 hari) T2 (14 hari) T3 (21 hari) D1 (0%)/control 100 ± 0.0Ab 100 ± 0.0Ab 99.2 ± 1.4 Ab D2 (3%) 100 ± 0.0Ab 100 ± 0.0Ab 97.5 ± 2.5 Ab D3 (6%) 100 ± 0.0Ab 97.5 ± 1.4Ab 100 ± 0.0 Ab D4 (9%) 99.2 ± 1.4Ab 100 ± 0.0Ab 98.3 ± 1.4 Ab Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama (A) dan

lajur yang sama (b) menunjukan tidak berbeda nyata (P≥0.05); rata-rata ± STDEV

Pada minggu pertama perlakuan, kelangsungan hidup (SR) ikan yang diberi TTS dosis 9% (D4) sebesar 99.2%, D3 (100%), dan D2 (100%). Hasil ini menunjukan bahwa SR ikan pada awal perlakuan tinggi hanya ada 1 ekor ikan yang mati pada perlakuan D4. Hal ini mungkin terkait dengan ikan yang digunakan dalam kondisi baik tidak stress karena ikan yang digunakan berasal dari telur yang baru menetas 1 hari, sehingga ikan sudah beradaptasi selama 5 hari dalam akuarium sebelum diberi perlakuan.

Pada perlakuan 14 hari pemberian TTS, SR ikan pada D3 dan D2 sebesar 100% sedangkan pada D3 sebesar 97.5%. SR ikan pada perlakuan 21 hari pemberian TTS sebesar 98.3% (D4), 100% (D3) dan 97.5% (D2). Pada perlakuan control (D1) selama 21 hari pemeliharaan awal (3 minggu pertama) hanya ada 1 ekor ikan yang mati sehingga SR ikan 99.7%. Hal ini menunjukan bahwa SR ikan

uji baik yang diberi perlakuan berbagai dosis TTS (D2,D3,D4) maupun yang tidak diberi TTS (D1), berdasarkan uji statitik hasilnya tidak berbeda nyata (P>0.05) (Lampiran 6). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa perlakuan pemberian TTS tidak berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan uji.

Pada perlakuan dosis 9% diberi selama 7 hari (D4T1), setelah 7 hari pemberian TTS selanjutnya ikan diberi pakan pellet biasa tanpa TTS, begitu juga pada perlakuan lain. Kelangsungan hidup ikan akhir penelitian (SR) dihitung dari pengurangan jumlah ikan akhir perlakuan dan awal pemeliharaan. Data dan uji statistik kelangsungan hidup ikan pada akhir penelitian dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4. Kelangsungan hidup ikan nila (%), akhir penelitian (SR) tiap perlakuan Dosis TTS

(Faktor1)

Lama Pemberian TTS (Faktor 2)

T1 (7 hari) T2 (14 hari) T3 (21 hari) D1 (0%)/control 99.5 ± 1.4 Cd 98.0 ± 4.3Cd 98.3 ± 1.4 Cd D2 (3%) 98.0 ± 2.9 Cd 98.0 ± 2.9Cd 95.0 ± 5.0 Cd D3 (6%) 97.3 ± 4.6 Cd 98.3 ± 2.9Cd 99.2 ± 1.4 Cd D4 (9%) 95.0 ± 2.5 Cd 99.0 ± 1.4Cd 97.5 ± 2.5 Cd Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama (C) dan

lajur yang sama (d) menunjukan tidak berbeda nyata (P≥0.05); rata-rata ± STDEV

Pada akhir penelitian SR ikan uji masih tinggi berkisar 95% - 99.5%. SR ikan yang diberi TTS (D4, D3 dan D2) secara statistik tidak berbeda nyata terhadap SR ikan yang tidak diberi TTS (P≥0.05). Pada perlakuan pemberian TTS rata-rata SR secara keseluruhan sebesar 97.2% - 98.3%, sedangkan rata-rata SR ikan yang tidak diberi TTS sebesar 98.3% (Lampiran 6).

Hasil kelangsungan hidup akhir ikan nila dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Yulfianti et al., (1995), sebesar 65.67%; Iskandaria (1996), sebesar 45-68% dan Meyer, et al., (2008) sebesar 40.2%, menggunakan testis sapi segar, Murni (2005) sebesar 80%, menggunakan testis sapi yang dikeringkan dengan cara dioven, Bombata dan Somatun (2008) sebesar 65%, menggunakan testis kambing.

Pada penelitian Meyer, et al., (2008), rendahnya SR ikan uji (40.2%) disebabkan testis sapi segar (tanpa dibuat tepung), kurang disukai larva ikan nila karena bentuknya yang lembek dan mudah larut dalam air sehingga mempengaruhi kualitas air menyebabkan nafsu makan ikan menurun. Bahkan dengan terlarutnya testis dalam air dapat meningkatkan bahan organik terlarut, dapat membentuk bahan beracun (amoniak) yang dapat menyebabkan kematian ikan uji.

Dalam penelitian ini SR ikan uji baik pada saat diberi perlakuan (SRt) maupun SR akhir penelitian lebih tinggi. Hal ini karena TTS tidak mudah larut, disukai oleh larva, mengandung nutrisi yang tinggi, sesuai dengan bukaan mulut larva ikan, tidak menyebabkan kekeruhan air sehingga tidak mempengaruhi kelangsungan hidup ikan uji.

Beberapa penelitian maskulinisasi ikan nila menggunakan hormon dan bahan kimia sintetik, menghasilkan SR lebih rendah dibandingkan dengan penelitian ini: Shalaby et al,.(2007), menggunakan 17α-MT secara oral SR sebesar 60-70%; Arsenia et al., (2007), menggunakan 17α-MT secara immersion/perendaman, SR sebesar 88.26-90.98%; Fitzpatrick et al., (2008), menggunakan 17α-MT dan MDHT secara immersion, SR sebesar 42-88%.

Secara umum, perlakuan menggunakan steroid sintetik menghasilkan mortalitas lebih tinggi (Pandian, 1999). Penggunaan hormon atau bahan kimia sintetik dalam sex reversal ikan mempengaruhi SR diduga adanya tekanan fisiologi terhadap ikan yang diberi perlakuan. Ikan uji masih dalam fase larva sehingga kondisi fisiologinya masih lemah. TTS adalah bahan alami yang tidak menyebabkan tekanan fisiologi ikan uji sehingga SR ikan uji tinggi.

Dari data dan pembahasan di atas dapat dinyatakan bahwa pemberian TTS tidak mempengaruhi SR ikan nila yang diberi perlakuan. Dengan demikian perlakuan pemberian TTS aman terhadap kelangsungan hidup ikan. Hal ini merupakan keunggulan penggunaan TTS dalam sex reversal pada ikan nila dibandingkan dengan menggunakan testis sapi segar, hormon sintetik atau bahan kimia sintetik lainya.

Pertumbuhan Ikan Uji

Pertumbuhan adalah pertambahan bobot ikan uji selama pemeliharaan. Parameter pertumbuhan penting diamati untuk mengetahui kondisi fisiologis ikan uji yang dipelihara. Data hasil pengamatan pertumbuhan ikan uji selama penelitian dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5. Pertumbuhan mutlak ikan uji yang diberi TTS selama penelitian Dosis TTS

(Faktor1)

Lama Pemberian TTS (Faktor 2)

T1 (7 hari) T2 (14 hari) T3 (21 hari) D1 (0%) 6.02 ± 0.4 Cd 6.20 ± 0.1 Cd 6.60 ± 0.2 Cd D2 (3%) 7.11 ± 0.1 Ab 7.20 ± 0.4 Ab 7.47 ± 0.1 Ab D3 (6%) 7.39 ± 0.1 Ab 7.50 ± 0.1 Ab 7.68 ± 0.2 Ab D4 (9%) 8.10 ± 0.3 Ab 8.30 ± 0.0 Ab 8.50 ± 0.1 Ab Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama (A-C)

dan lajur yang sama (b-d) menunjukan tidak berbeda nyata (P≥0.05); rata-rata ± STDEV

Dari tabel di atas, bahwa pertumbuhan ikan uji yang diberi TTS dengan dosis berbeda (D2, D3 dan D4) secara statistik berbeda nyata dengan ikan yang tidak diberi TTS (D1) (P≥0.05) (Lampiran 6). Namun pertumbuhan ikan yang diberi TTS dengan berbagai dosis secara statistik tidak berbeda nyata antar perlakuan. Dari data di atas pertumbuhan ikan uji cenderung meningkat dengan semakin tingginya dosis TTS yang diberikan. Pada perlakuan dosis 9% (D4) pertambahan bobot ikan uji rata-rata sebesar 8.3 gram, dosis 6% (D3) sebesar 7.523 gram dan dosis 3% (D2) sebesar 7.260 gram (Lampiran 6).

Laju pertumbuhan harian ikan uji pada perlakuan D4 sebesar 12%, Dosis 6% (D3) sebesar 11.83%, Dosis 3% (D2) sebesar 11.76%, dan Dosis 0% (D1) sebesar 11.44% (Lampiran 6). Dari data tersebut menunjukan kecenderungan semakin tinggi dosis TTS yang diberikan maka semakin cepat laju pertumbuhan harian ikan uji, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata laju pertumbuhan ikan uji yang diberi perlakuan dosis 9%,6% dan 3%.

Laju pertumbuhan harian ikan uji dalam penelitian ini (11.76% -12%) lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Kaban (2010), yang menyatakan laju pertumbuhan spesifik (SGR) ikan nila yang diberi pakan yang mengandung Aromatase Inhibitor (AI) sebesar 10.2-10.5%. Hal ini disebabkan TTS merupakan bahan organic alami yang mengandung nutrisi yang dapat digunakan untuk

pertumbuhan sedangkan Aromatase Inhibitor dan bahan kimia sintetik lainya bukan bahan organic dan tidak mengandung nutrisi.

Pertumbuhan ikan dipengaruhi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal antara lain kualitas air khususnya suhu air (Phelps dan Popma, 2000; Devlin dan Nagahama, 2002), nutrisi khususnya protein (Shalaby et al., 2007), dan faktor internal antara lain genetik (Dunham, 2004).

Faktor internal selain genetic pertumbuhan ikan juga dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin. Pada ikan nila, jantan lebih cepat pertumbuhannya (Popma dan Masser,1999; Phelps dan Popma, 2000; Manosroi et al., 2004; Dunham, 2004; Shalaby et al., 2006). Pertumbuhan ikan nila betina lebih lambat karena kematangan gonad ikan nila betina lebih cepat sehingga energi untuk pertumbuhan berkurang karena digunakan untuk perkembangan telur (Dunhum, 2004). Ikan nila dapat matang kelamin dan siap memijah pada umur 4-6 bulan dengan berat 100-200 gram. Ikan ini dapat memijah 6-7 kali/tahun (Cholik et al.,2005).

Kualitas air khususnya suhu, beraksi mempengaruhi struktur dan fungsi protein serta makro molekul lain dalam tubuh ikan sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan ikan (Devlin dan Nagahama, 2002). Menurut Shalaby et al, (2007), tingkat kandungan protein dalam pakan ikan nila berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan yang dipelihara.

Pemberian pakan yang mengandung hormon metyltestosteron, dapat meningkatkan daya cerna dan laju penyerapan nutrient sehingga pertumbuhan meningkat (Yamazaki, 1983). Menurut Phelps dan Popma (2000), hormon androgen mempunyai dua aktifitas fisiologi yaitu androgenic activity dan anabolic activity. Pertumbuhan ikan terkait dengan anabolic activity yaitu merangsang biosintesis protein.

Kadar Hormon Testosteron dan Proksimat TTS

Testis sapi yang digunakan dalam penelitian ini dengan bobot 200 – 450 gr, berasal dari sapi lokal (jenis bull) yang sudah berumur 5-7 tahun, dengan bobot 4-7 kuintal, sapi jantan normal (bukan sapi kastrasi). Sapi dengan ukuran ini sudah termasuk sapi dewasa (matang kelamin), sehingga testisnya sudah berfungsi menghasilkan hormon jantan (androgen).

Hormon merupakan suatu zat kimia organik yang dihasilkan oleh bagian tertentu berupa kelenjar dan langsung berdifusi ke dalam aliran darah yang menuju organ tertentu (Turner dan Baghara, 1976; Bearden, et al., 2004). Hormon testosteron dari testis sapi diproduksi oleh sel-sel interstitial dari Leydig (Toelihere, 1981; Taylor dan Thomas, 2004).

Kadar hormon testosterone yang terkandung dalam tepung testis sapi (TTS) yang digunakan sebesar 10.01 mcg/gr TTS. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian lainnya : 142.8-1.204 ng/gram (Murni dan Jenny, 2001); 2.300-27.700 pg/gr (Iskandariah, 1996); 18.8 ppm (Meyer et al.,2008). Tingginya kandungan hormon dalam TTS ini karena proses pembuatan TTS menggunakan metode fresh drying (kering segar). Dengan menggunakan metode ini tidak merusak bahan kimia termasuk hormon yang terkandung dalam bahan (TTS).

Kandungan hormon testosterone dalam TTS ini juga lebih tinggi daripada cacing laut, jeroan teripang, dan teripang segar. Hormon testosteron yang berasal dari cacing laut sebesar 0,574 mg/gr ekstrak (Alwir, 2001); teripang segar sebesar 6.124 ppm/kg (Kustriariyah, 2001); jeroan teripang sebesar 527 ppm/gr ekstrak steroid (Emelda, 2008).

Hormon testosteron yang terkandung dalam TTS ini termasuk hormon alami. Menurut Pandian dan Sheela (1995), ada 13 hormon steroid yang digunakan untuk sex reversal yang terdiri dari 16 androgen dan 15 estrogen. Dari hormon androgen, terbagi atas 5 hormon alami dan 11 hormon sintetik. Kelima hormon alami tersebut adalah testosteron, 11-ketotestosteron, 11β -hidrosiandrostenedion, androstenedion, dehidroepiandrostenedion.

Hasil analisa proksimat kandungan nutrisi testis sapi segar (TSS) dan tepung testis sapi (TTS) yang digunakan dalam penelitian ini, dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini.

Tabel 6. Hasil proksimat testis sapi segar (TSS) dan tepung testis sapi (TTS) (%) Bobot Sampel Protein Lemak Kadar

Air Kadar Abu Karbohidrat Serat Kasar BETN Basah TSS 10.19 1.79 86.78 0.88 0 0.36 TTS 71.76 12.61 5.90 6.97 0.02 2.74 Kering TSS 77.08 13.54 0 6.66 0 2.72 TTS 76.26 13.40 0 7.41 0.02 2.91

Berdasarkan data di atas, bahwa kandungan protein testis sapi segar (TSS) sebesar 77.08% dan tepung (TTS) sebesar 76.26% (dalam bobot kering). Kandungan protein dalam testis sapi lebih tinggi daripada testis kambing sebesar 47.33% (Bombata dan Somatun, 2008) dan teripang 64,25% (Triajie, 2008). Protein hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Iskandariah (1996) sebesar 63.49%. Hal ini disebabkan sampel testis sapi yang digunakan dalam penelitian ini benar-benar dalam kondisi segar diperoleh langsung dari RPH Kota Bogor, langsung disimpan dalam freezer dan dibuat tepung dalam kondisi segar dengan menggunakan mesin freeze dryer.

Kandungan protein TTS ini juga lebih tinggi dari tepung daging 50.95%, tepung rebon 57.71%, tepung pollard 9.56% , tepung kedelai 44.50% (Prabowo, 2005). tepung maggot 38.32%% (Sugianto, 2007); Meat and Bone Meal (MBM) 49.79%, tepung ikan 64.30%, tepung bungkil kedelai 54.67% (Tyas, 2009).

Tingginya kandungan protein dalam TTS ini berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan uji (Lampiran 6). Pertumbuahan ikan cenderung meningkat dengan meningkatnya dosis TTS. Hal ini merupakan keunggulan penggunaan TTS dalam maskulinisasi ikan nila. Selain berfungsi sebagai sumber hormon untuk penjantanan (fungsi gonatik), juga berfungsi secara somatik (pertumbuhan), sedangkan maskulinisasi menggunakan hormon atau bahan kimia sintetik hanya berfungsi gonatik.

Kualitas Air

Kualitas air sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan, juga berpengaruh terhadap pembentukan kelamin jantan saat ikan nila masih dalam masa labil saat diferensiasi sex berlangsung oleh karena itu penting untuk diamati. Data kualitas air selama penelitian baik pada saat perlakuan pemberian TTS (minggu 1-3) dan masa pemeliharaan sampai akhir penelitian, dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 7. Kualitas air media pemeliharaan ikan uji selama penelitian

Parameter Satuan

Hasil Pengukuran Kisaran yang layak menurut referensi Sumber/ Referensi Saat Perlakuan Setelah Perlakuan Oksigen terlarut mg/l 5.6-6.0 5.4-6.2 >5 Popma dan Lovshin (1999) pH Unit 6.0-6.8 6.1-6.8 6.5-8.5 Suhu air oC 27-30 25-30 25-30 Amoniak mg/l 0.01-0.04 0.08-0.1 <0.2

Selama pemeliharaan ikan nila, kualitas air media pemeliharaan ikan baik selama perlakuan maupun selama pembesaran masih dalam kisaran yang tidak mengganggu pertumbuhan maupun tingkat kelangsungan hidup ikan nila. Data kualitas air pada tabel 6 diatas menunjukan bahwa parameter suhu, oksigen terlarut, dan amoniak baik pada masa perlakuan maupun pemeliharaan masih dalam kisaran layak (Popma dan Lovshin, 1999). Parameter pH selama pemeliharaan berfluktuasi pernah tidak dalam kisaran standar, pH 6.0 saat perlakuan pemberian TTS dan pH 6.1 saat perlakuan TTS namun ikan yang dipeliharan masih tetap hidup dan tumbuh. Menurut Popma dan Masser (1999) lingkungan optimal untuk pemeliharaan ikan nila adalah DO ≥ 3 ppm; pH 6.5-8.5; suhu 25-28oC. Suhu optimum pemeliharaan ikan nila 26-28oC (Phelps dan Popma, 2000).

Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap pengarahan kelamin adalah suhu (Smith et al., 1994; Phelps dan Popma, 2000; Dunham, 2004; Strussmann et al., 2005). Beberapa spesies ikan, phenotypic sex dapat dipengaruhi suhu air selama periode awal hidup. Fenomena ini dikenal sebagai thermolabile sex determination / TSD (Strussmann et al., 2005).

Menurut Smith et al. (1994), pada ikan alligator (Alligator mississipiensis), inkubasi larva pada suhu 30oC menghasilkan 100% jantan.

Nakamura et al (1998), suhu media pemeliharaan selama proses embrionik dan tahapan perkembangan larva mempengaruhi diferensiasi kelamin pada ikan.

Suhu merupakan faktor yang mengendalikan aktifitas molekuler dalam metabolisme. Peningkatan suhu akan diikuti dengan perubahan laju penyerapan kuning telur, laju perkembangan dan laju metabolisme. Suhu air dapat mempengaruhi struktur dan fungsi protein serta makro molekul lain dalam tubuh ikan (Devlin dan Nagahama, 2002). Ikan nila mampu hidup pada air dengan kadar oksigen terlarut rendah (Popma, 1999), namun oksigen terlarut lebih dari 4 mg/l dapat meningkatkan respon makan ikan yang dipelihara (Phelps dan Popma, 2000).

Dokumen terkait