• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Pendahuluan

Penelitian dilakukan dalam dua tahapan yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan dilakukan pada sepuluh sekolah dasar, yaitu empat SDN, empat SDS, dan dua MI di Kota Bogor. Dari kesepuluh sekolah dasar ini, tiga sekolah dasar tidak memilki penjaja dalam lingkungan sekolah (kantin). Tujuan penelitian pendahuluan adalah untuk melihat kondisi dan keragaan PJAS yang berisiko terhadap ketidakamanan pangan dan untuk menetapkan intervensi yang akan dilakukan pada penelitian lanjutan. Gambaran umum mengenai sarana dan prasarana yang dimiliki pada sepuluh sekolah dasar dapat dilihat pada Lampiran 1.

Karakteristik Penjaja PJAS Jenis Kelamin

Penjaja PJAS berjenis kelamin laki-laki sebesar 70.4% sedangkan perempuan 29.6%. Penjaja PJAS laki-laki paling banyak di SDS B (10.0%) dan MI B (10.0%), sedangkan penjaja PJAS perempuan paling banyak di SDS C (5.0%). Sebaran penjaja PJAS menurut jenis kelamin secara rinci tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan jenis kelamin

Sekolah

Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % SDN A 7 7.8 2 2.2 9 11.1 SDN B 6 6.7 3 3.3 9 11.1 SDN C 6 6.0 4 4.0 10 12.3 SDN D 6 6.7 3 3.3 9 11.1 SDS A 0 0.0 4 10.0 4 4.9 SDS B 8 10.0 0 0.0 8 9.9 SDS C 4 5.0 4 5.0 8 9.9 SDS D 4 6.7 2 3.3 6 7.4 MI A 8 8.0 2 2.0 10 12.3 MI B 8 10.0 0 0.0 8 9.9 Total 57 70.4 24 29.6 81 100 Umur

Papalia & Olds (1986) membagi usia dewasa menjadi tiga kategori yaitu dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya/ tengah (41-65 tahun), dan dewasa akhir (>65 tahun). Bagian terbesar (64.2%) penjaja PJAS adalah usia dewasa awal 18-40 tahun (Tabel 4). Kelompok usia ini merupakan kelompok usia dewasa

awal yang memiliki produktivitas tinggi. Usia penjaja PJAS yang lebih tinggi kemungkinan mempunyai pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang lebih baik daripada penjaja PJAS dengan usia muda karena pengalaman dalam memperoleh akses informasi tentang gizi dan keamanan pangan lebih banyak, baik dari televisi, radio, majalah/koran, petugas kesehatan maupun media lainnya, namun juga memiliki kemungkinan kekurangan informasi tentang pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang terbaru sehingga mempengaruhi cara berpikir, bertindak dan emosional. Tabel 4 menunjukkan bahwa hampir semua sekolah memiliki usia penjaja PJAS pada usia dewasa awal, kecuali SDN C yang memiliki usia penjaja PJAS pada usia dewasa menengah lebih banyak (6.0%).

Tabel 4 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan usia

Sekolah

Umur

18-40 tahun 41-65 tahun >65 tahun Total

n % n % n % n SDN A 8 8.9 1 1.1 0 0 9 11.1 SDN B 5 5.6 4 4.4 0 0 9 11.1 SDN C 4 4.0 6 6.0 0 0 10 12.3 SDN D 5 5.6 4 4.4 0 0 9 11.1 SDS A 3 7.5 1 2.5 0 0 4 4.9 SDS B 6 7.5 2 2.5 0 0 8 9.9 SDS C 5 6.3 3 3.8 0 0 8 9.9 SDS D 3 5.0 3 5.0 0 0 6 7.4 MI A 8 8.0 2 2.0 0 0 10 12.3 MI B 5 6.3 3 3.8 0 0 8 9.9 Total 52 64.2 29 35.8 0 0 81 100.0 Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pengetahuan seseorang. Pendidikan penjaja PJAS merupakan faktor penting dan pendidikan merupakan usaha untuk mengadakan perubahan perilaku sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih baik dalam menerima, memproses, menginterpretasikan, dan menggunakan informasi (Contento 2007). Informasi tersebut dapat mempengaruhi pengetahuan yang diperoleh seseorang (WHO 2000).

Tingkat pendidikan penjaja PJAS dalam penelitian ini antara tidak sekolah hingga strata 1 (S-1). Sebanyak 46.9% penjaja PJAS memiliki tingkat pendidikan SD dan hanya 2.5% penjaja PJAS memiliki tingkat pendidikan Diploma dan Strata (S-1). Pendidikan S-1 terdapat di SDS C, hal ini dilakukan untuk mengisi

waktu luang membantu orang tua dalam mengisi waktu liburan. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan pendidikan pada tiap sekolah secara rinci tersaji pada Lampiran 2.

Pekerjaan

Kegiatan berjualan yang dilakukan penjaja PJAS merupakan pekerjaan utama dengan persentase sebanyak 92.6%. Hanya 7.4% yang merupakan pekerjaan sampingan yang ditunjukkan pada SDS C. Hal ini dilakukan untuk mengisi waktu luang selama menunggu anak sekolah di SDS C dan membantu penghasilan keluarga. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan pekerjaan pada tiap sekolah secara rinci tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan pekerjaan

Sekolah

Pekerjaan

Utama Sampingan Total

n % n % n % SDN A 9 10 0 0 9 11.1 SDN B 9 10 0 0 9 11.1 SDN C 9 9 1 1 10 12.3 SDN D 9 10 0 0 9 11.1 SDS A 4 10 0 0 4 4.9 SDS B 8 10 0 0 8 9.9 SDS C 4 5 4 5 8 9.9 SDS D 6 10 0 0 6 7.4 MI A 9 9 1 1 10 12.3 MI B 8 10 0 0 8 9.9 Total 75 92.6 6 7.4 81 100.0 Tempat Berjualan

Tempat berjualan dari semua sekolah memiliki penjaja PJAS lingkungan luar sekolah sebesar 74.1%. Hanya 25.9% sekolah yang memiliki penjaja di dalam sekolah, terkecuali SDN D, MI A dan MI B yang tidak memiliki penjaja di dalam sekolah (kantin). Pangan jajanan di SDS A dan B merupakan pangan jajanan titipan dan dikelola yayasan yang dijaga oleh tiga orang dalam satu toko. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan tempat berjualan secara rinci tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran penjaja PJAS bedasaran tempat berjualan

Sekolah

Tempat Berjualan

Total

Di dalam sekolah Di luar sekolah

n % n % n % SDN A 2 2.2 7 7.8 9 11.1 SDN B 8 8.9 1 1.1 9 11.1 SDN C 1 1.0 9 9.0 10 12.3 SDN D 0 0.0 9 9.0 9 11.1 SDS A 2 5.0 2 5.0 4 4.9 SDS B 1 1.3 7 8.8 8 9.9 SDS C 5 6.3 3 3.8 8 9.9 SDS D 2 3.3 4 6.7 6 7.4 MI A 0 0.0 10 10.0 10 12.3 MI B 0 0.0 8 8.0 8 9.9 Total 21 25.9 60 74.1 81 100

Pelatihan/Training terkait Gizi

Penjaja PJAS hampir dari semua tidak pernah mengikuti pelatihan/training terkait gizi. Hanya 7.4% yang pernah mengikuti pelatihan. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan pelatihan/training terkait gizi tiap sekolah secara rinci tersaji pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan pelatihan/training terkait gizi

Sekolah

Pelatihan

Pernah Tidak pernah Total

n % n % n % SDN A 0 0.0 9 10 9 11.1 SDN B 1 1.1 8 8.9 9 11.1 SDN C 1 1.0 9 9.0 10 12.3 SDN D 1 1.1 8 8.9 9 11.1 SDS A 0 0.0 4 10.0 4 4.9 SDS B 1 1.3 7 8.8 8 9.9 SDS C 1 1.3 7 8.8 8 9.9 SDS D 1 1.7 5 8.3 6 7.4 MI A 0 0.0 10 10.0 10 12.3 MI B 0 0.0 8 10.0 8 9.9 Total 6 7.4 75 92.6 81 100

Jenis pelatihan yang pernah diikuti penjaja PJAS yaitu Mengenal menu dan diit pasien (SDN B), Pemberian makanan tambahan (SDN C), Prinsip higiene dan sanitasi pedagang (SDN D), Bahan pewarna makanan (SDS B), Keamanan Pangan (SDS C), dan Kebersihan makanan (SDS D).

Lama Berusaha Penjaja PJAS

Semakin lamanya berusaha sebagai penjaja PJAS, diharapkan pengetahuan, pengalaman, dan informasi tentang jajanan sehat yang diperoleh lebih baik, dan dengan pengetahuan, pengalaman, dan informasi yang baik akan membentuk perilaku yang baik. Pengetahuan, pengalaman, dan sumber informasi merupakan dasar untuk terjadinya perubahan perilaku (Notoatmodjo 2003). Lama berusaha penjaja PJAS dilakukan dalam dua kategori, lama waktu berusaha dalam satu hari (jam) dan lama berusaha (tahun). Sebaran penjaja PJAS berdasarkan lama berusaha (jam dan tahun) secara rinci tersaji pada Tabel 8 dan Tabel 9.

Tabel 8 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan lama berusaha (jam/hari)

Sekolah

Lama Berjualan (jam/hari)

Total

<5 jam 5-10 jam >10 jam

n % n % n % n % SDN A 0 0.0 7 7.8 2 2.2 9 11.1 SDN B 2 2.2 7 7.8 0 0.0 9 11.1 SDN C 1 1.0 9 9.0 0 0.0 10 12.3 SDN D 2 2.2 5 5.6 2 2.2 9 11.1 SDS A 0 0.0 4 10.0 0 0.0 4 4.9 SDS B 2 2.5 5 6.3 1 1.3 8 9.9 SDS C 0 0.0 8 10.0 0 0.0 8 9.9 SDS D 3 5.0 3 5.0 0 0.0 6 7.4 MI A 0 0.0 7 7.0 3 3.0 10 12.3 MI B 0 0.0 8 0.0 0 0.0 8 9.9 Total 10 12.3 63 77.8 8 9.9 81 100.0

Penjaja PJAS berjualan sehari rata-rata 5-10 jam yaitu 77.8%. Hanya 9.9% yang dilakukan >10 jam dalam satu hari. Semua penjaja PJAS SDS A dan MI B berjualan dalam selang waktu 5-10 jam dalam satu hari. Sedangkan berdasarkan tahun, hampir dari sebagian penjaja PJAS lama berusaha sebagai penjaja PJAS tersebar pada kurun waktu 1-5 tahun yaitu 46.9%. tidak sedikit juga penjaja PJAS yang telah melakukan usaha sebagai penjaja PJAS dalam waktu >10 tahun yaitu sebanyak 23.5%. Hal ini dilakukan dengan alasan karena bekerja sebagai penjaja PJAS pendapatan yang diperoleh cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hanya 12.3% penjaja PJAS sebagai penjaja PJAS yang <1 tahun dan paling banyak terdapat pada penjaja PJAS di SDN C dibandingkan sekolah lainnya.

Tabel 9 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan lama berjualan (tahun)

Sekolah

Lama Berjualan (Tahun)

Total

<1 tahun 1-5 Tahun 5-10 Tahun >10 Tahun

n % n % n % n % n % SDN A 1 1.1 4 4.4 2 2.2 2 2.2 9 11.1 SDN B 4 4.4 3 3.3 1 1.1 1 1.1 9 11.1 SDN C 2 2.0 4 4.0 1 1.0 3 3.0 10 12.3 SDN D 0 0.0 6 6.7 1 1.1 2 2.2 9 11.1 SDS A 1 2.5 3 7.5 0 0.0 0 0.0 4 4.9 SDS B 1 1.3 5 6.3 1 1.3 1 1.3 8 9.9 SDS C 0 0.0 5 6.3 1 1.3 2 2.5 8 9.9 SDS D 1 1.7 1 1.7 3 5.0 1 1.7 6 7.4 MI A 0 0.0 3 3.0 3 3.0 4 4.0 10 12.3 MI B 0 0.0 4 5.0 1 1.3 3 3.8 8 9.9 Total 10 12.3 38 46.9 14 17.3 19 23.5 81 100 Sarana Penjualan

Proyek Makanan Jajanan IPB (1993), usaha makanan jajanan dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan cara berjualannya, yaitu pedagang berpangkal (Stationary units), pedagang berpangkal di perkampungan (Residential units), dan berdagang keliling (Ambulatory units). Penjaja makanan dalam kantin sekolah termasuk sebagai pedagang berpangkal, namun untuk penjaja luar merupakan gabungan dari pedagang berpangkal dan keliling karena pada saat jam sekolah penjaja luar berpangkal di sekitar sekolah dan setelah jam sekolah usai mereka berdagang keliling.

Sarana penjualan yang digunakan penjaja PJAS sebagian besar adalah toko/warung dan gerobak berkisar 25.9% hingga 50.6%. Sarana toko/warung yang digunakan paling banyak di SDN B dan SDS C karena berjualan di dalam sekolah (kantin), sedangkan sarana gerobak lebih banyak digunakan di SDN A dan MI A oleh penjaja luar (tidak ada kantin). Persentase penjaja PJAS yang menggunakan gerobak tinggi dikarenakan banyaknya penjaja luar lingkungan sekolah yang berjualan menetap saat kegiatan belajar mengajar berlangsung dan berkeliling setelah kegiatan belajar mengajar usai. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan sarana penjualan secara rinci tersaji pada Tabel 10.

Tabel 10 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan sarana penjualan

Sekolah

Sarana Penjualan

Toko/Warung Gerobak Bakul/Pikulan Meja Total

n % n % n % n % SDN A 2 2.2 7 7.8 0 0.0 0 0 9 11.1 SDN B 5 5.6 3 3.3 1 1.1 0 0 9 11.1 SDN C 3 3.0 5 5.0 0 0.0 2 2 10 12.3 SDN D 1 1.1 6 6.7 2 2.2 0 0 9 11.1 SDS A 2 5.0 2 5.0 0 0.0 0 0 4 4.9 SDS B 1 1.3 3 3.8 4 5.0 0 0 8 9.9 SDS C 5 6.3 2 2.5 1 1.3 0 0 8 9.9 SDS D 1 1.7 2 3.3 3 5.0 0 0 6 7.4 MI A 0 0.0 4 4.0 4 4.0 2 2 10 12.3 MI B 1 1.3 7 8.8 0 0.0 0 0 8 9.9 Total 21 25.9 41 50.6 15 18.5 4 5 81 100 Profil PJAS

Profil PJAS merupakan gambaran pangan jajanan anak sekolah yang meliputi jenis pangan dan jenis register. Pangan jajanan di sekolah umumnya dapat dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu:

1. Makanan sepinggan, misalnya nasi goreng, nasi soto, mie baso, mie ayam, gado-gado, siomay, batagor, dan sejenisnya.

2. Makanan camilan, seperti tahu goreng, cilok, martabak mini, martabak telur, keripik, dan sejenisnya

3. Minuman, seperti es campur, es teh, es sirup, es mambo, dan sejenisnya 4. Buah-buahan, seperti papaya potong, melon potong, semangka, nenas dan

sejenisnya. Kantin Sekolah

Hasil pengumpulan data PJAS yang dijual di kantin dikelompokkan sebagai makanan sepinggan, makanan camilan, minuman dan buah. Secara keseluruhan jenis pangan yang dijual paling banyak adalah jenis camilan yaitu sebesar 69.1% dan hanya 0.6% yang menjual jenis buah. Hal ini mencerminkan bahwa banyaknya penjaja PJAS menjual makanan camilan disebabkan karena anak sekolah dasar umumnya lebih menyukai makanan camilan sebagai makanan jajanan dibanding jenis pangan lainnya di sekolah. Jenis buah yang dijual yaitu berupa rujak yang dijual di SDN B. Sebaran profil PJAS di kantin menurut jenis pangan disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Sebaran profil PJAS di kantin menurut jenis pangan

Sekolah

Kantin

Total

Mak.Sepinggan Camilan Minuman

Buah-buahan n % n % n % n % n % SDN A 3 1.5 16 8 1 0.5 0 0 20 11.2 SDN B 5 1.4 23 6.2 8 2.2 1 0.3 37 20.8 SDN C 3 2.3 10 7.7 0 0.0 0 0 13 7.3 SDN D 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0 0 0 SDS A 3 2.3 10 7.7 0 0.0 0 0 13 7.3 SDS B 3 0.7 33 7.2 10 2.2 0 0 46 25.8 SDS C 9 6.4 5 3.6 0 0.0 0 0 14 7.9 SDS D 3 0.9 26 7.4 6 1.7 0 0 35 19.7 MI A 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0 0 0 MI B 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0 0 0 Total 29 16.3 123 69.1 25 14.0 1 0.6 178 100.0

Pangan jajanan yang dijual di kantin paling banyak terdapat di SDS B dengan jumlah camilan paling banyak dibandingkan sekolah lainnya. Hal ini karena kantin menyediakan berbagai macam jenis chiki dan wafer yang memang paling banyak dibeli oleh anak-anak ketika istirahat, dan banyaknya jenis camilan yang disediakan di kantin ini baik dalam bentuk kemasan maupun dalam bentuk makanan siap saji. Hasil pengumpulan data terhadap PJAS, tidak ada satu sekolah pun yang menjual pangan jajanan olahan sayur, padahal sayur-sayuran sangat penting untuk dikonsumsi dan membiasakan anak-anak untuk mengonsumsi sayur sejak dini.

Dengan diberlakukannya UU No.8 Tahun 1999 yang memberikan suatu jaminan kepastian hukum bagi konsumen untuk menuntut hak-hak kepada pelaku usaha yang tidak benar atau informasi yang menyesatkan melalui label. Register pangan merupakan bagian dari label pangan, oleh karena itu label pangan yang merupakan informasi produk harus jelas dan benar mengenai produk yang bersangkutan. Informasi pada label yang tidak benar dapat menyebabkan kejadian yang dapat berakibat fatal bagi konsumen.

Menurut hasil penelitian BPOM, jenis register pangan dikelompokkan menjadi MD (produk dalam negeri), ML (produk luar negeri), SS (siap saji), TTD (tidak terdaftar), dan PIRT (industri rumah tangga). Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa dari keseluruhan kelompok PJAS yang dijual di kantin, sebanyak 53% termasuk dalam kelompok MD, selanjutnya 37% SS, 7% PIRT dan 3% TTD.

Tidak ditemui PJAS dengan kelompok ML. Jenis PJAS kelompok MD paling banyak ditemui karena kantin lebih banyak menyediakan PJAS dalam bentuk chiki dan wafer.

Gambar 2 Profil register PJAS di kantin Lingkungan Luar Sekolah

Hasil pengumpulan data PJAS yang dijual di lingkungan luar sekolah dikelompokkan sebagai makanan sepingan, makanan camilan, minuman dan buah. Dari sejumlah 138 jenis pangan jajanan yang dijual dari keseluruhan sekolah, jumlah makanan camilan paling banyak dibanding tiga kelompok lainnya, yaitu sebesar 54.4%, selanjutnya kelompok minuman yaitu 25.4%. Jenis jajanan dalam bentuk buah memiliki nilai yang paling rendah (1.4%) dan hanya SDN C saja yang menjual jenis jajanan buah dalam bentuk rujak dan buah potong. Sebaran profil PJAS di luar lingkungan sekolah menurut jenis pangan disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Sebaran profil PJAS di luar sekolah menurut jenis pangan

Sekolah

Luar Sekolah

Total

Mak.Sepinggan Camilan Minuman

Buah-buahan n % n % n % n % n % SDN A 2 1.1 7 3.7 10 5.3 0 0 19 13.8 SDN B 0 0 1 0.5 0 0.0 0 0 1 0.7 SDN C 8 4.2 13 6.8 1 0.5 2 1.1 24 17.4 SDN D 2 1.1 20 10.5 6 3.2 0 0 28 20.3 SDS A 5 2.6 3 1.6 0 0.0 0 0 8 5.8 SDS B 1 0.5 4 2.1 3 1.6 0 0 8 5.8 SDS C 1 0.5 4 2.1 5 2.6 0 0 10 7.2 SDS D 1 0.5 3 1.6 1 0.5 0 0 5 3.6 MI A 5 2.6 14 7.4 7 3.7 0 0 26 18.8 MI B 1 0.5 6 3.2 2 1.1 0 0 9 6.5 Total 26 18.8 75 54.4 35 25.4 2 1.4 138 100 53% 0% 37% 3% 7% MD (Makanan Dalam Negeri)

ML (Makanan Luar Negeri) SS (Siap Saji)

TTD (Tidak Terdaftar) PIRT (Produk Industri Rumah Tangga)

Jenis pangan jajanan camilan yang banyak dijual di luar sekolah adalah jenis sosis goreng, telur gulung, bakso tusuk dan sejenisnya yang penyajiannya menggunakan saos sambal. Dari kelompok minuman, jenis minuman ringan kemasan banyak dijual. Beberapa contoh minuman adalah sari buah, teh serta susu.

Register PJAS meliputi MD, ML, SS, TTD dan PIRT. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa dari keseluruhan PJAS yang dijual di semua sekolah sebanyak 75% termasuk dalam kelompok SS. Namun masih terdapat PJAS tanpa register apapun, yaitu sebanyak 2% dari seluruh kelompok PJAS yang dijual penjaja PJAS luar. Melihat besarnya jumlah PJAS yang termasuk SS, sehinga perlu mendapat perhatian mulai dari proses pengolahan sampai penyajian.

Gambar 3Sebaran PJAS berdasarkan register di penjaja luar sekolah Praktek penggunaan BTP pada PJAS

Bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan secara alami bukan merupakan bagian dari bahan makanan, tetapi terdapat dalam bahan makanan tersebut (BPOM 2003). Praktek pengunaan BTP disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4Sebaran penjaja PJAS berdasarkan praktek penggunaan BTP 23% 0% 75% 0% 2% MD (Makanan Dalam Negeri) ML (Makanan Luar Negeri) SS (Siap Saji) TTD (Tidak Terdaftar)

PIRT (Produk Industri

Rumah Tangga) 7.4 18.5 39.5 34.6 0 10 20 30 40 50 ya tidak ya tidak Kan ti n Lu ar sek o lah Persentase (%) P e n g g u n a a n BT P

Penjaja PJAS yang menggunakan BTP di kantin sebanyak 7.4% dan 39.5% untuk yang di luar sekolah. Sebagian besar penjaja PJAS mengaku dengan menggunakan BTP makanan/minuman lebih enak rasanya, serta penampilan lebih menarik dengan harga BTP yang relatif murah dan mudah diperoleh. Dengan penampilan menarik dan rasa yang enak, maka jajanan lebih disukai anak-anak sekolah, dan penjaja PJAS mendapatkan untung yang lebih banyak.

SDS C menetapkan peraturan bagi pedagang yang berjualan di kantin, yaitu tidak mengizinkan untuk menggunakan BTP baik jenis pemanis, pewarna maupun penyedap rasa. Selain itu jenis makanan yang dijual selalu diperiksa setiap minggunya oleh pengurus yayasan SDS C.

Berbagai jenis BTP yang dikenal, penyedap rasa merupakan BTP yang paling sering digunakan. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan jenis BTP yang digunakan disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5Sebaran penjaja PJAS berdasarkan jenis BTP yang digunakan Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 46.9% penjaja PJAS (kantin dan luar sekolah) yang menggunakan BTP, dan sebanyak 90% penjaja PJAS yang menggunakan jenis BTP penyedap rasa dan penguat rasa. Banyaknya penjaja PJAS menggunakan jenis BTP ini kemungkinan karena penyedap rasa dikenal luas di Indonesia. Penyedap rasa menandung senyawa yang disebut monosodium glutamate (MSG). Dalam peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/88, penggunaan MSG dibatasi secukupnya, yang berarti tidak boleh berlebihan penggunaannya (BPOM 2003).

Kebiasaan mengonsumsi makanan jajanan sangat popular di kalangan anak-anak sekolah. Kebiasaan jajan tersebut sangat sulit untuk dihilangkan. Banyak faktor yang menyebabkan kesukaan jajan menjadi kebiasaan yang universal. Kegemaran anak-anak akan hal yang manis, gurih dan asam sering dimanfaatkan oleh para penjual untuk menarik anak-anak. Kadangkala produk

5% 5%

90%

yang ditawarkan bukan menyehatkan malah berbahaya bagi tubuh, karena kurang mengandung zat gizi.

Penjaja PJAS sebanyak 5% menambahkan pemanis dan pewarna makanan pada makanan/minuman yang mereka jual. Pemanis buatan sering ditambahkan ke dalam makanan dan minuman sebagai pengganti gula karena mempunyai kelebihan rasa yang lebih manis daripada gula alami, dan mengandung kalori jauh lebih rendah, serta harganya lebih murah. Penggunaan pewarna makanan dilakukan agar makanan yang dijual menarik. Sejumlah faktor maupun alasan menjadi penyebab penggunaan BTP, seperti ketidaktahuan akan bahaya jenis BTP yang dipakai, ketidakpedulian, motif ekonomi untuk meraih untung karena pangan menjadi lebih menarik dan awet, serta kurangnya akses informasi gizi dan keamanan pangan.

Sarana Lingkungan Pedagang

Sarana lingkungan yang diamati yaitu tersedia tempat sampah tempat cuci tangan dan air bersih. Higiene dan sanitasi makanan dipengaruhi pula oleh ketersediaan sarana lingkungan yang memadai. Dengan tersedianya sarana lingkungan akan menunjang terlaksananya praktik higiene dan sanitasi makanan yang baik. Secara keseluruhan hanya SDS A dan C yang memiliki sarana yang lengkap. Sedangkan SDN D, MI A dan B tidak memiliki sarana lingkungan yang mendukung sama sekali. Sebaran berdasarkan sarana lingkungan pedagang pada tiap sekolah disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan sarana lingkungan pedagang

No Sekolah Tempat sampah Tempat cuci tangan Air bersih 1 SDN A √ - √ 2 SDN B SDN B* √ - √ - 3 SDN C SDN C* √ - √ - 4 SDN D - - - 5 SDS A √ √ √ 6 SDS B √ - √ 7 SDS C √ √ √ 8 SDS D √ - √ 9 MI A - - - 10 MI B - - -

Analisis Risiko Ketidakamanan Pangan

Risiko ketidakamanan pangan dianalisis berdasarkan tiga risiko ketidakamanan yang mempengaruhi yaitu risiko ketidakamanan penjaja mengenai praktek higiene penjaja PJAS, risiko ketidakamanan pangan dan risiko ketidakamanan lingkungan mengenai lokasi penjualan. Sebaran risiko ketidakamanan pangan PJAS pada masing-masing sekolah disajikan pada Lampiran 3.

Penjaja merupakan pihak yang paling menentukan tingkat keamanan makanan yang dijual. Praktek higiene dari penjaja PJAS masih rendah dibuktikan dengan masih banyaknya penjaja menjual makanan secara terbuka, merokok dekat makanan jajanan, dan tidak adanya air bersih. Makanan yang dijual terbuka memungkinkan terkena debu dari lingkungan sekitar. Asap rokok banyak mengandung Penjaja PJAS yang berisiko terhadap ketidakamanan pangan terdapat di SDN B, C & D; SDS A, B & D; dan MI A & B.

Risiko ketidakamanan pada pangan yang diamati dalam penelitian ini yaitu mengenai pewarna pada saus makanan, penguat rasa/flavour, es balok yang digunakan penjaja, dan penggunaan minyak goreng. Risiko ketidakamanan pada pangan tidak dilakukan terhadap kandungan boraks dan formalin berdasarkan hasil BPOM (2010) dengan ditemukannya dari 2.984 sampel yang diuji, 45% diantaranya tidak memenuhi syarat karena mengandung BTP yang dilarang seperti boraks, formalin, rhodamin B, methanol yellow atau BTP yang diperbolehkan seperti benzoat, sakarin, dan siklamat namun penggunaannya melebihi batas. Hal ini didasarkan pada jenis jajanan yang paling banyak dijual dan disukai anak-anak dari semua sekolah dasar adalah makanan camilan siap saji seperti telur gulung dan sosis goreng yang menggunakan saos sebagai pelengkap makanannya.

Penelitian BPOM tahun 2005 menyatakan bahwa saus atau sambal (61.5%) pada makanan jajanan tidak memenuhi syarat. Hampir dari semua sekolah menggunakan produk saus pada tiap PJAS dengan harga Rp 1500/bungkus yang penggunaannya diencerkan dengan air. Hanya SDS A dan C dan saja yang tidak menggunakan karena melarang penggunaan saos kecuali saos yang bermerk. Sekalipun menggunakan saos, saos tersebut harus dibuat sendiri. Saos dijadikan sebagai risiko ketidakamanan pada pangan karena warna saos yang merah dan dengan harga yang murah, dikhawatirkan dalam proses pembuatannya pewarna yang digunakan adalah pewarna yang tidak

diperuntukkan untuk makanan. Penggunaan pewarna yang aman pada pangan telah diatur melalui peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/85, sedangkan peraturan Menteri kesehatan RI No.239/Menkes/Per/V/85 mengatur tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya, termasuk methanil yellow yang berwarna kuning dan rhodamin B yang berwarna merah. Karena kedua pewarna ini dibuktikan menyebabkan kanker yang gejalanya terlihat secara tidak langsung setelah mengonsumsinya sehingga penggunaan pewarna ini dilarang walaupun dalam jumlah sedikit. Kenyataan di lapang masih banyak produsen pangan, terutama pengusaha kecil yang menggunakan bahan-bahan pewarna yang dilarang dan berbahaya bagi kesehatan (BPOM 2003).

Penggunaan penguat rasa/flavour dan es balok juga dijadikan sebagai risiko ketidakamanan pada pangan. Hal ini karena penggunaan penguat rasa yang berlebihan tidak baik bagi kesehatan dan es balok dibuat dari air mentah. Penggunaan minyak goreng di SDN D dan MI A sangat mengindikasikan pangan yang dijual kurang aman karena penggunaan minyak goreng sampai berwarna hitam bahkan aroma yang ditimbulkan dari makanan yang digoreng sangat tidak enak. Minyak goreng yang digunakan berkali-kali (>4 kali) akan mengalami oksidasi dan menyebabkan iritasi saluran pencernaan, selain itu minyak goreng akan mengalami ketengikan yang akan merusak tekstur dan cita rasa dari makanan yang digoreng.

Risiko ketidakamanan pada lingkungan masih banyaknya pedagang yang menjual PJAS dekat dengan jalan raya tanpa menutup jajanan tersebut (SDN C* dan D; SDS B*, C* dan D*; MI A dan B). Bahkan di SDS B* keadaan tanah berdebu dan banyak ayam berkeliaran. Asap kendaraan mengandung timbal jika mengenai jajanan yang tidak ditutup maka memungkinkan timbal yang berasal dari asap kendaraan tersebut akan menempel pada makanan jajanan.

Perumusan Model Upaya Mengatasi Masalah Keamanan Pangan Berdasarkan risiko ketidakamanan pangan dari semua sekolah, upaya alternatif yang dapat dilakukan adalah perbaikan sarana dan prasarana (adanya kerjasama antara pihak sekolah, penjaja dan Dinas Kesehatan terkait), peningkatan PSP (Pengetahuan, Sikap dan Praktek) penjaja akan gizi dan keamanan pangan termasuk penggunaan BTP, dan penyuluhan terhadap produsen pangan mengenai pembuatan saos yang banyak digunakan oleh penjaja PJAS. Dan dilihat dari sekolah yang mempunyai risiko ketidakamanan PJAS pada tiap kategori yaitu SDN D, sehingga diajdikan sebagai tempat dalam

penelitian lanjutan. Akan tetapi jika dihubungkan dengan upaya alternatif yang dapat dilakukan, efektivitas sikap dalam upaya untuk mengatasi masalah keamanan pangan yang dapat dilakukan di SDN D adalah penyuluhan gizi dan pendampingan untuk meningkatkan PSP (Pengetahuan, Sikap dan Praktek) akan gizi dan keamanan pangan termasuk penggunaan BTP.

Penelitian Lanjutan

Penelitian dilakukan pada SDN D berdasarkan hasil pada penelitian pendahuluan. Secara keseluruhan penjaja PJAS di SDN D berada di luar sekolah karena di SDN D tidak memiliki kantin. Intervensi yang dilakukan yaitu melalui penyuluhan gizi dan pendampingan. Khomsan (2002) menyatakan bahwa untuk mengatasi masalah gizi, masyarakat perlu memperoleh bekal mengenai pengetahuan gizi.

Dokumen terkait