• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola produksi total gas dan metan terhadap waktu fermentasi

Total gas yang diproduksi per hari selama enam hari pengamatan digambarkan sebagai pola fermentasi produksi total gas berdasarkan waktu, disajikan pada Gambar 4. Baik pola produksi total gas kelompok pakan mengandung Indigofera sp. maupun kelompok pakan mengandung limbah tauge berfluktuasi dan terlihat kelompok pakan mengandung Indigofera sp. lebih fluktuatif dibandingkan limbah tauge.

Produksi total gas terendah pada pakan mengandung Indigofera sp. adalah di hari kesebelas sebanyak 1426.78 mL/hari dan tertinggi pada hari kesembilan (2732.03 mL/hari). Produksi total gas pakan mengandung limbah tauge terendah terjadi pada hari kedelapan sebesar 1487.92 mL/hari dan tertinggi pada hari ketigabelas sebesar 2058.97 mL/hari.

Gambar 4 Pola produksi total gas pada pakan yang mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge selama enam hari inkubasi. ---o--- produksi total gas pakan mengandung Indigofera sp., ---+--- produksi total gas pakan mengandung limbah tauge

1200 1700 2200 2700 5 6 7 8 9 10 11 12 vol um e t o ta l gas (m L)

19 Gas hasil fermentasi mikroorganisme rumen merupakan akumulasi dari beberapa komponen gas. Pada Tabel 1 dapat dilihat beberapa komponen gas yang dapat diproduksi oleh rumen dan komposisinya. Komponen gas tertinggi hasil fermentasi mikroorganisme rumen umumnya adalah gas karbon dioksida (CO2) dan metan. Gas CO2 merupakan hasil samping pembentukan asetat dan butirat dari piruvat karena metabolisme mikroorganisme rumen, sedangkan pembentukan propionat tidak menghasilkan CO2, selain itu CO2 dapat dibebaskan pula oleh asam format. Kenyataan tersebut menyiratkan bahwa laju pembentukan VFA (terutama asetat dan butirat) berbanding lurus dengan terbentukanya total gas hasil fermentasi mikroorganisme rumen. Namun pembentukan VFA oleh mikroorganisme rumen baik in vivo maupun in vitro (RUSITEC) tidak mudah untuk dijelaskan, hal tersebut terkait dengan interelasi antara kandungan pakan, aliran saliva beserta seluruh komponen RUSITEC yang bertujuan menjaga stabilitas mikroorganisme serta peran bermacam mikroorganisme itu sendiri dengan berbagai macam pola hubungan yang beragam. Namun begitu pengamatan terhadap nilai-nilai dari metabolit yang dihasilkan, sedikit banyak dapat dimanfaatkan untuk menguak proses-proses yang terjadi selama fermentasi.

Pakan mengandung Indigofera sp. maupun mengandung limbah tauge pada awal fermentasi sudah menunjukkan aktivitas fermentasi, hal tersebut ditunjukkan dengan tetap terbentuknya metabolit hasil fermentasi berupa gas. Terbentuknya gas total hasil fermentasi sebelum pengamatan pada kedua kelompok pakan hampir sama dan cenderung konstan, hal tersebut mengindikasikan bahwa lingkungan fermentasi pada rumen domba hidup tidak jauh berbeda dengan vessel RUSITEC (fermentor). Apalagi pakan yang diinkubasikan pada saat domba masih hidup sama persis dengna pakan yang diinkubasikan. Kondisi tersebut dapat terjadi akibat mikroorganisme rumen masih dalam taraf adaptasi dengan lingkungan baru. Satu hal yang menjadikan fermentasi in vivo berbeda dengan in vitro adalah pada fermentasi in vitro tidak ada mekanisme penyerapan hasil metabolit fermentasi seperti VFA dan NH3 seperti halnya pada dinding rumen serta kontrol terhadap kuantitas dan kualitas saliva yang dialirkan ke dalam rumen. Kondisi tersebut mirip dengan eksperimen Busquet et al. (2005) yang melakukan analisis untuk membandingkan beberapa ekstrak tanaman dan beberapa zat aktif tanaman menggunakan continuous culture system, pada enam hari pertama analisis tidak terdapat perbedaan nilai total VFA dan amonia.

Baik pada pakan mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge, total gas yang dihasilkan berangsur-angsur menunjukkan kecenderungan naik antara hari keenam sampai dengan hari kesembilan. Kondisi yang naik tersebut menunjukkan mikroorganisme sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan fermentor RUSITEC dan mencapai pertumbuhan serta jumlah yang optimal untuk dapat melakukan proses fermentasi pakan sehingga terbentuk banyak metabolit seperti CO2 dan metan sebagai penyumbang jumlah gas yang signifikan. Mekanisme mikroorganisme rumen pada substrat maupun lingkungan yang baru belum banyak dipahami, hanya dapat dibaca dari metabolit hasil fermentasi yang dihasilkan. Rumen adalah ekosistem yang kompleks terdiri dari bakteri, archaea, protozoa, dan jamur yang secara khusus mampu menyesuaikan diri sehingga memungkinkan ruminansia dapat mencerna berbagai bahan pakan yang bervariasi (Bretschger et al. 2010). Dinyatakan oleh McSweeney et al. (1999) bahwa dasar adaptasi mikroorganisme rumen adalah keragaman sub-populasi mikroorganisme

20

dan susunan yang luas dari rangkaian sistem enzim yang dimiliki oleh mikroorganisme-mikroorganisme tersebut. Diungkapkan pula bahwa pengetahuan tentang mekanisme molekuler yang mendasari perubahan mikroorganisme dan biokimia mikroorganisme rumen bahkan lebih sedikit.

Pola grafik produksi total gas pada Gambar 4, terutama setelah mikroorganisme menyesuaikan diri dengan lingkungan fermentor terlihat pola yang sama pada kedua kelompok pakan, terjadi trend naik dan mencapai puncak pada hari kesembilan dilanjutkan dengan fase penurunan produksi total gas menyentuh titik terendah pada hari kesebelas sebelum berangsur naik kembali. Dikaitkan dengan nilai pH (Gambar 7), fermentasi produksi total gas cenderung berbanding terbalik dengan pH. Sekilas hal tersebut bertentangan dengan pendapat Sung et al. (2007) yang menyatakan bahwa semakin pH rumen mendekati netral maka akan diproduksi lebih banyak gas, sebaliknya gas akan semakin sedikit diproduksi apabila pH rumen semakin asam. Namun mungkin karakter pakan yang berbeda akan menimbulkan pola fermentasi yang berbeda pula, khususnya pada fermentasi in vitro, semakin tinggi pakan mengandung konsentrat secara linear akan dihasilkan pH yang semakin menurun (Lana et al. 1998). Turunnya pH banyak disebabkan oleh tingginya VFA yang terbentuk, sementara tidak ada penyerapan VFA dalam fermentor (Lascano and Heinrichs 2009).

Sudah jelas bahwa dasar terbentuknya komponen-komponen gas di dalam rumen utamanya merupakan hasil samping metabolisme karbohidrat menjadi asam lemak volatil, utamanya asetat dan butirat (Boadi et al. 2004; Mitsumori and Sun 2008). Namun bentuk kimia dari bahan baku pembentukan asetat dan butirat yang berbeda mempengaruhi cara pembentukannya, mulai dari enzim, langkah dan mikroorganisme yang berbeda sedemikian rupa sehingga dapat mempengaruhi komposisi populasi mikrobia yang bervariasi mengikuti pakannya. Pembentukan VFA dari karbohidrat tinggi selulosa dan hemiselulosa akan berbeda dengan pembentukan VFA dari mono dan disakarida, sehingga jumlah dan komposisi VFA parsial pada waktu yang sama pada pakan kaya serat akan cenderung berbeda dengan pakan kaya konsentrat. Calsamiglia et al (2008) mengemukakan bahwa fermentasi mikroorganisme rumen didahului oleh substrat yang mudah larut terlebih dahulu, nutrisi karbohidrat mudah larut cepat memproduksi VFA.

Pendapat Sung et al. (2007) didasarkan pada pakan tinggi serat menggunakan hay rumput thimoty (Phleum pretense), imbangan hijauan:konsentrat yang digunakan adalah 60:40, dengan frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari. Kandungan serat kasar hay rumput timothy adalah antara 27.8-33.2% (Lloyd et al. 1961), kandungan NDF dan ADF berturut-turut 62.6 dan 35.0% (Ordakowski-Burk et al. 2006). Tidak ada informasi rinci mengenai bahan penyusun konsentrat maupun komposisi nutrisi pakan yang diberikan, namun dengan memperhatikan imbangan hijauan dan konsentrat serta frekuensi pemberian pakan yang jarang dapat diperkirakan mikroorganisme yang lebih berkembang adalah golongan fibrolitik yang menghasilkan asetat dan butirat dari karbohidrat struktural.

Pakan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kandungan BETN masing-masing sebesar 44.57% (pakan mengandung Indigofera sp.) dan 51.13% (pakan mengandung limbah tauge). Nilai BETN tersebut cukup tinggi

21 dibandingkan dengan hasil perhitungan standar nasional untuk konsentrat sapi potong (BSN 2009), yang mensyaratkan BETN minimal sebesar 38.37% dalam 100% bahan kering. Tarmidi (2004) menyusun pakan domba dengan kandungan BETN antara 42.27% dan 48.21% menggunakan beberapa level ampas tebu yang telah dilakukan biokonversi mendapatkan pertambahan bobot badan harian sebesar 49.64-71.47 g/ekor/hari. Sementara Suharyono et al. (2010) memberikan beberapa suplemen pakan berbeda pada pemeliharaan domba dengan kandungan BETN 46.74-47.29% menghasilkan PBBH 49.41-111.94 g/ekor/hari. Pada pemeliharaan domba sistem feed lot, Purbowati et al. (2007) menggunakan BETN 49.81-60.02% menghasilkan PBBH 145.22-164.98 g/ekor/hari.

Bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) adalah hasil pengurangan bahan kering oleh protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan abu (Hartadi et al. 1980), sehingga BETN merupakan gambaran jumlah fraksi karbohidrat mudah larut yang merupakan karbohidrat non struktural seperti gula-gula sederhana, pati dan pektin (Russel et al. 1992). Dijelaskan lebih lanjut oleh Chalupa and Sniffen (2000) bahwa tingkat laju fermentasi karbohidrat berbeda-beda. Gula sederhana difermentasi lebih cepat dibandingkan pati, sedangkan pati dan pektin difermentasi lebih cepat dibandingkan dengan serat. Sementara pati dalam biji- bijian difermentasi dengan laju yang berbeda pula (gandum > barley > jagung > sorgum). Fermentasi serat dan pati akan meningkat apabila dilakukan pengurangan ukuran partikel. Pengurangan ukuran partikel akan meningkatkan area permukaan per unit berat sehingga partikel pakan lebih mudah diakses oleh enzim mikroorganisme.

Propionat (dan laktat) diproduksi dari fermentasi pati dan gula sederhana (Chalupa and Sniffen 2000). Lebih lanjut diungkapkan bahwa kandungan konsentrat yang tinggi biasanya menyebabkan imbangan asetat:propionat menurun, penurunan tersebut disebabkan oleh produksi propionat yang meningkat meskipun produksi asetat cenderung tetap. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab tingginya produksi VFA pada pakan tinggi karbohidrat mudah larut, sehingga dapat dipahami bahwa gas total yang diproduksi oleh pakan yang diikubasikan dapat mencapai jumlah yang cukup tinggi dengan cepat setelah sebelumnya sangat sedikit gas yang dapat diproduksi.

Wolin (1960) mengenalkan persamaan yang menggambarkan hubungan antara VFA, produksi gas dan fermentasi glukosa. Persamaan ini sering digunakan untuk memprediksi perubahan produksi gas yang disebabkan oleh dinamika fermentasi. Sehingga jelas bahwa pakan inkubasi yang mengandung BETN tinggi dapat cepat membentuk gas dan semakin lama fermentasi gas yang dapat terbentuk cenderung banyak. Doane et al. (1997) menambahkan bahwa umumnya hasil dari fermentasi jangka panjang menghasilkan hubungan yang konstan antara substrat terdegradasi dan pembentukan produk akhir fermentasi.

Namun produksi gas yang tinggi tidak dapat bertahan dalam interval waktu yang lebih lama. Setelah tiga hari awal pengamatan produksi gas menunjukkan kecenderungan yang meningkat, pada hari kesembilan produksi gas total mencapai titik tertinggi dilanjutkan pada hari kesepuluh gas total yang diproduksi mulai menurun. Pada hari kesembilan pula fermentor mencapai titik jenuh pH terendah pada pertengahan fermentasi (Gambar 7). Pencapaian pH paling rendah pada pertengahan fermentasi tidak terjadi tiba-tiba, secara gradual penurunan pH sudah dimulai pada hari pertama pengamatan, yaitu pada saat produksi gas total

22

berada pada titik yang rendah. Penurunan pH fermentor seiring dengan fermentasi yang semakin optimal yang dimulai pada hari keenam sampai hari kesembilan. Kondisi demikian dimungkinkan karena tingginya VFA yang terbentuk kurang seimbang dengan saliva yang dialirkan ke dalam fermentor sehingga effluent menjadi semakin asam akibat akumulasi VFA hasil fermentasi mikroorganisme. Kondisi fermentor yang asam disebabkan pula oleh terbentuknya laktat.

Dijkstra et al. (2012) mengemukakan bahwa pada kondisi pH rendah, bakteri amilolitik lebih berkembang dan semakin aktif, sebaliknya bakteri pencerna serat utama tidak toleran terhadap rendahnya pH sehingga pencernaan serat turun drastis. Komposisi populasi mikroorganisme rumen dapat berubah bergantung substrat yang ada, namun komposisi jenisnya cenderung tidak berubah, Kamra (2005) menyatakan bahwa mikroorganisme rumen memang rumit dan tidak mudah dipahami, mikroorganisme tersebut dapat bertahan dari kepunahan terhadap gangguan lingkungan rumen maupun yang berhubungan dengan pakan, bahkan faktor-faktor anti-nutrisi yang dapat membatasi populasi beberapa mikroorganisme rumen.

Tidak hanya bakteri amilolitik saja yang berkembang, pada saat konsentrasi gula sederhana tinggi, protozoa lebih banyak berkembang dengan mengambil gula sederhana terlarut dan pati (Veira 1986) dijelaskan pula bahwa protozoa lebih mampu beradaptasi dibandingkan bakteri, sehingga sangat dimungkinkan pada awal fermentasi dan sesaat setelah konsentrasi karbohidrat non struktural meninggi protozoa lebih berkembang. Sementara untuk metabolisme dirinya protozoa mengambil N dari bakteri (Cottle 1978). Indikasi berkembangnya protozoa dapat dilihat dari nilai pH (Gambar 7) yang tidak turun terlalu jauh (masih mendekati netral), Mendoza et al. (1993) menyatakan bahwa protozoa menurunkan laju degradasi pati, Williams (1986) menambahkan bahwa protozoa membantu mencegah timbulnya asidosis oleh asam laktat dengan cara cepat mengasimilasi gula yang larut menjadi amilopektin. Proses selanjutnya adalah pati yang tertelan dan polisakarida yang tersimpan oleh protozoa perlahan difermentasi membentuk VFA sehingga efektif menstabilkan pH. Namun mekanisme tersebut tidak berlaku untuk semua karbohidrat non structural, Coleman (1979) mengestimasikan hanya sepertiga gula yang dikonsumsi ternak yang akan dikonversi oleh protozoa menjadi pati, selebihnya digunakan oleh bakteri rumen.

Dengan bertambahnya kehadiran protozoa di dalam fermentor, terjadi penggunaan karbohidrat yang semakin tinggi, suplai karbohidrat mudah larut berkurang, protozoa akan lisis (Cottle et al. 1978). Komposisi populasi mikroorganisme fermentor akan didominasi oleh bakteri pencerna karbohidrat struktural kembali, besar kemungkinan pada saat itu bakteri selulolitik berkembang semakin baik sehingga pada hari ketigabelas dapat dicapai produksi gas tertinggi. Bakteri seperti Butyrivibrio fibrisolvens adalah jenis bakteri yang mampu mencerna dua macam substrat karbohidrat yaitu pati ataupun selulosa (Fernando et al. 2010), bakteri jenis tersebut dapat menginisiasi perubahan tersebut. Namun tampaknya kecepatan pembentukan karbohidrat struktrual menjadi VFA dengan gas sebagai metabolit sekunder oleh fibrolitik belum secepat karbohidrat mudah larut (populasi miroorganisme pengguna karbohidrat non struktural belum optimal), sehingga gas yang terbentuk menurun dan semakin menurun (hari kesebelas).

23 Gas metan merupakan bagian dari kumpulan bermacam gas hasil fermentasi mikroorganisme rumen (Tabel 1). Penentuan kuantitas gas metan yang diproduksi dilakukan dengan mendeteksi persentase metan dari gas yang ditampung pada gas collection bag. Persentase gas metan selama enam hari pengamatan disajikan pada Gambar 5.

Sebaran nilai persentase kandungan metan terhadap keseluruhan gas yang terbentuk pada kedua kelompok pakan cukup fluktuatif. Persentase kandungan metan selama pengamatan terendah dicapai pada hari keenam pada kedua kelompok pakan, dengan nilai terendah pada pakan mengandung Indigofera sp. (7.06%) disusul oleh pakan mengandung limbah tauge (5.45%). Adapun persentase kandungan metan tertinggi terjadi pada pakan mengandung limbah tauge pada hari kesebelas sebesar 9.57%. Persentase metan tertinggi pada pakan mengandung Indigofera sp. adalah sebesar 9.01% dicapai pada hari kesepuluh.

Gambar 5 Persentase metan terhadap total gas pada pakan yang mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge selama enam hari inkubasi. ---o--- persentase metan pakan mengandung Indigofera sp., ---+--- persentase metan pakan mengandung limbah tauge

Pada dua hari pertama fermentasi persentase metan terhadap produksi total gas sudah relatif tinggi dibandingkan dengan waktu fermentasi selanjutnya. Pada hari pertama RUSITEC dijalankan, digunakan cairan dan padatan isi rumen yang banyak mengandung mikroorganisme rumen aktif untuk mendampingi pakan yang diinkubasikan. Martínez et al. (2010) menyatakan bahwa umumnya domba yang diberikan rumput memiliki jumlah bakteri yang lebih banyak berasosiasi dengan padatan rumen dibandingkan yang berasosiasi dengan cairan rumen. Michalet-Doreau et al. (2001) melaporkan bahwa mikroorganisme rumen tidak tersebar merata pada padatan dan cairan rumen, populasi bakteri selulolitik tinggi di dalam padatan rumen. Sementara populasi protozoa tidak konsisten pada bagian tertentu isi rumen. Protozoa seringkali berada pada bagian bawah cairan rumen (Coleman 1979), terutama golongan holotrica protozoa biasanya berasosiasi

5 7 9 5 6 7 8 9 10 11 12 produk si t erhadap t o ta l gas (%)

24

dengan cairan retikulorumen (Martin et al. 1999) pada lain pihak, Orpin (1985) melaporkan bahwa ciliata banyak menempel pada substrat hijauan, terutama beberapa menit setelah pakan masuk ke dalam rumen.

Baik cairan maupun padatan rumen merupakan starter untuk menjamin kelangsungan analisis selama fermentasi dilakukan. Pada awal dijalankannya RUSITEC, lingkungan fermentor relatif bebas dari metabolit yang berlebih yang dapat menghambat kinerja mikroorganisme, seperti VFA dan NH3 sudah diserap oleh domba ketika masih hidup. Sementara itu perkursor metan seperti CO2 dan H2 yang tidak terserap dinding rumen tersedia cukup sehingga dapat digunakan oleh metanogen (mikroorganisme pembentuk metan) untuk membentuk metan. Dijelaskan pula oleh Krumholz (1983) bahwa banyak metanogen menggantungkan kehidupannya dari protozoa sehubungan protozoa mampu mendukung aktivitas metanogenesis. Lebih lanjut dijelaskan oleh Ohene-Adjei et al. (2007) bahwa protozoa pada habitat anaerobik seperti rumen kaya akan hidrogen sehingga seringkali berasosiasi dengan bakteri metanogen.

Persentase kandungan gas metan dalam total gas yang tertampung dibandingkan hasil beberapa analisis lain relatif rendah. Carro et al. (1999) menganalisis penambahan DL-malat yang berpotensi meningkatkan pembentukan propionat dalam rumen dan penembahan propionat pada pakan mengandung hijauan dan konsentrat masing-masing 50% menggunakan RUSITEC dengan inokulum rumen domba, setelah hari kesebelas mendapatkan persentase metan terhadap gas CO2 dan metan sebesar 16.85 dan 17.80% masing-masing untuk penambahan DL-malat dan propionat. Apabila diperhitungkan dengan gas lain yang terbentuk seperti H2, O2 serta N2 (Ishler et al. 1996), maka nilai tersebut berturut-turut setara dengan 15.55 dan 16.43%. Nilai tersebut masih lebih tinggi dibandingkan hasil analisis terhadap pakan mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge, pada hari kesebelas rata-rata persentase metan terhadap total gas fermentasi adalah 8.80% (pakan mengandung Indigofera sp.) dan 9.57% (pakan mengandung limbah tauge).

Dong et al. (1997) menambahkan minyak canola, minyak hati ikan cod dan minyak kelapa ke dalam dalam hay Dactylis glomerata dengan tujuan untuk menurunkan metan. Analisis dilakukan menggunakan RUSITEC dengan inokulum isi rumen sapi Holstein jantan. Sampling dilakukan pada hari kesembilan sampai sebelas, persentase metan yang diperoleh antara 13.49 dan 15.02%. Pada analisis pakan mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge, rata- rata persentase gas metan di hari kesembilan sampai sebelas masing-masing sebesar 8.51 dan 9.09%. Sementara Soliva et al. (2008) melakukan analisis beberapa bagian tanaman dan spesies legume tropis menggunakan metode gas tes, rata-rata persentase kandungan metan terhadap total adalah sebesar 10.40%. sedangkan Stärfl (2012) dengan metode yang sama melakukan analisis terhadap empat macam pakan mengandung Lupine seed dan Lucerne meal dengan kandungan masing-masing sebesar 15 dan 30%, menghasilkan metan antara 14.41 dan 15.12%.

Metan yang timbul selama enam hari pengamatan ditampilkan sebagai pola fermentasi produksi metan terhadap waktu, diperlihatkan pada Gambar 6. Hampir sama dengan pola fermentasi pada total gas, metan yang diproduksi oleh kedua kelompok pakan menunjukkan fluktuasi yang tajam setiap harinya. Pada empat hari pertama pengamatan, fluktuasi pada kedua kelompok pakan menunjukkan

25 irama yang mirip dengan nilai yang lebih tinggi pada kelompok pakan mengandung Indigofera sp. selanjutnya pada hari kesepuluh produksi metan kedua kelompok pakan hampir berhimpit dan diakhiri dengan produksi metan limbah tauge lebih tinggi.

Gambar 6 Pola produksi metan pada pakan yang mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge selama enam hari inkubasi. ---o--- produksi metan pakan mengandung Indigofera sp., ---+--- produksi metan pakan mengandung limbah tauge

Selama pengamatan, produksi metan tertinggi dari kedua kelompok pakan, terjadi pada hari yang sama. Pakan mengandung Indigofera sp. produksi metan tertinggi terjadi pada hari kesembilan dengan nilai 210.80 mL/hari dan limbah tauge 176.62 mL/hari. Adapun produksi metan terendah pada pakan mengandung Indigofera sp. adalah sebesar 124.12 mL/hari (hari kesebelas) sedangkan produksi metan terendah pada pakan mengandung limbah tauge sebesar 83.34 mL/hari terjadi pada hari keenam.

Terkait dengan komposisi kimia pakan yang diinkubasikan selama fermentasi. Pelchen and Peters (1998) mengemukakan bahwa beberapa faktor pakan dapat mempengaruhi produksi metan seekor domba, diantaranya adalah kecernaan bahan kering, kandungan serat kasar, rasio serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen, energi pakan, level konsumsi dan berat badan. Lebih lanjut diungkapkan oleh Van Kessel and Russell (1996) bahwa produksi metan agak sulit diukur, tetapi dapat diestimasi dari stoikiometri produk fermentasi, disamping itu perlu juga mempertimbangkan sel bakteri sebagai produk fermentasi yang dapat berdampak nyata pada pembentukan metan. Pada pakan yang didominasi oleh hijauan diperoleh persamaan kimia sebagai berikut:

100 glukosa → 94,1 asetat + 22,4 propionat + 11,8 butirat + sel [C180H284O85] + 94,1 H2O + 82,4CO2 + 35,3CH4 50 100 150 200 250 5 6 7 8 9 10 11 12 vol um e m et an (m L)

26

Sementara pada pakan kaya konsentrat berlaku persamaan kimia sebagai berikut:

100 glukosa → 7,0 laktat + 65,2 asetat + 36,5 propionat + 15,7 butirat + sel [C180H284O84] + 86,0 H2O + 87,0 CO2 + 9,6 CH4 + 29,1 H2

Dilihat secara makro dari hari ke hari selama pengamatan, produksi metan seharusnya cenderung tetap atau bahkan menurun, karena substrat yang diinkubasikan baik jumlah maupun nutrisinya tetap. Namun dapat dilihat pada Gambar 6 bahwa produksi metan sangat fluktuatif dari hari ke hari. Apabila diperbandingkan antara Gambar 6 dengan produksi total gas selama pengamatan (Gambar 4) meskipun tidak sangat konsisten, namun produksi metan yang tinggi hampir pasti dibarengi oleh produksi total gas yang tinggi, begitu pula sebaliknya. Hal tersebut dapat terlihat pada Gambar 5 yang menunjukkan persentase pembentukan metan terhadap gas total selama pengamatan cenderung tetap, pola demikian dapat diartikan bahwa metanogen tidak dapat mengkonversi seluruh perkursor metan pada saat total gas yang dihasilkan sangat rendah sekalipun. Terdapat dua kemungkinan yang dapat terjadi, apabila diasumsikan persentase pembentukan CO2 adalah tetap (CO2 adalah komponen gas terbesar dan jarang digunakan sebagai perkursor reaksi selain pembentukan metan), maka faktor pembatas pembentuk metan baik pada saat produksi gas total tinggi dan rendah adalah gas H2 atau aktivitas metanogen. Bauchop and Mountfort (1981) menyatakan bahwa studi tentang transfer H2 pada metanogen mengindikasikan adanya interaksi mikroorganisme dalam ekosistem rumen yang kompleks dan memiliki pengaruh yang kuat dalam pembentukan metan. Terdapat simbiosis antara metanogen pengguna H2 dengan mikroorganisme pencerna karbohidrat dalam hal penggunaan elektron pada proses glikolisis. Biasanya proses tersebut disertai dengan peningatan produksi asam asetat. Menurut Janssen and Kirs (2008), sebagian besar metanogen tumbuh menggunakan H2 sebagai sumber energi dan menggunakan elektron H2 untuk mereduksi CO2 menjadi metan, sebagian kecil lain menggunakan format dan grup metil, ada juga yang

Dokumen terkait