Importasi Buah di Pelabuhan Tanjung Perak
Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Surabaya melaporkan bahwa tahun 2013 terdapat 15 jenis buah impor dari berbagai negara masuk melalui pelabuhan Tanjung Perak. Buah impor masuk melalui pelabuhan Tanjung Perak adalah anggur, apel, jeruk, pear, lengkeng, durian, buah naga, kiwi, plum, mangga, pisang, delima, strawberry, sawo, dan melon. Salah satu faktor yang menyebabkan banyaknya komoditas buah impor yang masuk melalui pelabuhan Tanjung Perak adalah kebijakan pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Pertanian nomor 42 tahun 2012 yang membatasi tempat pemasukan buah impor hanya melalui 4 tempat pemasukan yaitu bandar udara Soekarno-Hatta, pelabuhan Belawan, pelabuhan Makasar dan pelabuhan Tanjung Perak.
Buah jeruk merupakan salah satu komoditas buah impor yang masuk melalui pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Menurut data BBKP Surabaya, buah jeruk impor yang masuk melalui pelabuhan Tanjung Perak tahun 2013 sebanyak 82 177 479.50 kg dengan frekuensi pemasukan sebanyak 1 646 kali. Buah jeruk tersebut berasal dari negara Cina, Australia, Pakistan, Mesir, Turki, Spanyol, Argentina, Afrika Selatan, Uruguay dan Malaysia. Importasi buah jeruk yang cukup tinggi dapat menimbulkan potensi terbawanya OPTK dari negara lain. Buah jeruk adalah media pembawa OPTK. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) nomor 14 tahun 2002 menyatakan bahwa yang termasuk ke dalam media pembawa OPTK adalah tumbuhan dan bagian-bagiannya.
Tindakan penanganan buah jeruk impor di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya mengacu kepada Peraturan Menteri Pertanian nomor 42 tahun 2012 tentang tindakan karantina tumbuhan untuk pemasukan buah segar dan sayuran buah segar ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Tetapi, tujuan peraturan ini lebih ditekankan kepada pencegahan masuknya OPTK hanya jenis lalat buah saja dan untuk memenuhi keamanan pangan segar asal tumbuhan. Oleh karena itu, sudah sangat diperlukan perhatian lebih intensif terhadap pemeriksaan patogen-patogen yang terbawa buah jeruk impor. Patogen pascapanen terutama cendawan dilaporkan banyak menyerang buah jeruk setelah dipanen. Cendawan dapat menginfeksi buah jeruk secara laten tanpa menimbulkan gejala, sehingga pemeriksaan karantina terhadap cendawan patogen pada buah jeruk impor harus juga menjadi skala prioritas. Buah jeruk impor sangat berpeluang membawa OPTK dan tergolong kedalam produk pascapanen beresiko tinggi karena dapat menjadi sumber inokulum dan dapat menimbulkan epidemik penyakit bila telah masuk ke Indonesia.
Upaya pendeteksian patogen terutama cendawan terinfeksi laten telah dilakukan sebagai langkah awal dalam pencegahan masuknya OPTK terbawa jeruk impor. Upaya tersebut dilakukan untuk mendapatkan metode yang lebih akurat, cepat dan dapat diaplikasikan dalam mendeteksi cendawan terinfeksi laten. Deteksi cendawan terinfeksi laten berdasarkan studi kasus buah impor yang masuk melalui pintu pemasukan pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.
Deteksi Cendawan Penyebab Infeksi Laten Deteksi konvensional
Deteksi cendawan penyebab infeksi laten pada buah jeruk impor asal Argentina berhasil diperoleh beberapa cendawan yang mempunyai karakter morfologi yang berbeda pada masing-masing metode uji. Berdasarkan morfologi warna koloni dan tipe miselium, diperoleh 3 morfotipe berbeda dengan metode DAPT yaitu koloni cendawan berwarna hijau (KHU), coklat (KCT) dan merah muda (KMM) dengan persentase kejadian berturut-turut sebesar 37.5%, 32.5% dan 30%. Ketiga morfotipe tersebut memiliki tipe miselium aerial (Tabel 1). Cendawan mulai terdeteksi pada hari ketiga setelah inkubasi (Gambar 11).
Tabel 1 Morfotipe isolat cendawan temuan dengan metode direct agar plating technique (DAPT)
Morfotipea Jumlah isolat pada bagian b
Jumlah Total
Frekuensi (%) Kalik Kulit Biji Karpel
KHU 11 (73.33) 4 (26.67) 0 0 15 37.5
KMM 1 (6.67) 9 (60) 2 (22.22) 0 12 30 KCT 3 (20) 2 (13.33) 7 (77.78) 1 (100) 13 32.5
Jumlah Total 15 15 9 1 40 100
a
isolat cendawan temuan dibedakan atas 3 morfotipe: KHU, koloni hijau; KMM, koloni merah muda; KCT, koloni coklat. bAngka dalam kurung menunjukkan persentase jumlah isolat.
Gambar 11 Kemunculan cendawan laten dengan metode direct agar plating technique (DAPT). 1 HSI (A), 2 HSI (B), 3 HSI (C), 4 HSI (D)
Berdasarkan karakter morfologi warna koloni dan tipe miselium, metode kombinasi SST dan DAPT diperoleh 3 morfotipe berbeda yaitu koloni cendawan berwarna coklat (KCT), merah muda (KMM) dan hijau (KHU) dengan persentase kejadian berturut-turut sebesar 51.28%, 25.64% dan 23.08%. Ketiga morfotipe
A B
tersebut memiliki tipe miselium aerial (Tabel 2). Cendawan mulai terdeteksi pada hari kedua setelah inkubasi (Gambar 12).
Tabel 2 Morfotipe isolat cendawan temuan dengan metode kombinasi senescence stimulating technique (SST) dan DAPT
Morfotipea Jumlah isolat pada bagian b
Jumlah Total
Frekuensi (%) Kalik Kulit Biji Karpel
KHU 6 (40) 0 1 (10) 2 (100) 9 23.08
KMM 2 (13.33) 8 (66.67) 0 0 10 25.64
KCT 7 (46.67) 4 (33.33) 9 (90) 0 20 51.28
Jumlah Total 15 12 10 2 39 100
a
isolat cendawan temuan dibedakan atas 3 morfotipe: KHU, koloni hijau; KMM, koloni merah muda; KCT, koloni coklat. bAngka dalam kurung menunjukkan persentase jumlah isolat
Buah jeruk sehat dibekukan dalam freezer semalaman melalui metode ONFIT. Melalui metode ini diperoleh 5 karakter morfologi cendawan berbeda yang tumbuh pada permukaan buah jeruk, yaitu koloni berwarna hijau (KHU), merah muda (KMM), coklat (KCT), putih (KPH) dan hitam (KHM) dengan persentase kejadian berturut-turut adalah 17.86%; 25%; 19.64%; 17.86% dan 19.64%. Persentase kejadian tertinggi terdapat pada morfotipe KMM. (Tabel 3). Cendawan mulai terdeteksi pada hari ketiga setelah inkubasi (Gambar 13).
Gambar 12 Kemunculan cendawan laten dengan metode kombinasi senescence stimulating technique (SST)
dan DAPT. 1 HSI (A), 2 HSI (B), 3 HSI (C), 4 HSI (D)
A B
Tabel 3 Morfotipe isolat cendawan temuan dengan metode overnight freezing incubation technique (ONFIT)
Morfotipe Jumlah isolat Frekuensi (%)
Koloni berwarna hijau (KHU) 10 17.86 Koloni berwarna merah muda (KMM) 14 25 Koloni berwarna coklat (KCT) 11 19.64 Koloni berwarna putih (KPH) 10 17.86 Koloni berwarna hitam (KHM) 11 19.64
Total 56 100
Gambar 13 Kemunculan cendawan laten dengan metode overnight freezing incubation technique (ONFIT); wadah kiri adalah perlakuan, wadah kanan adalah kontrol. 1 HSI (A), 2 HSI (B), 3 HSI (C), 4 HSI (D), 5 HSI (E), 6 HSI (F)
Deteksi molekuler
Deteksi molekuler pada buah jeruk menunjukan bahwa cendawan terdeteksi pada bagian kalik, kulit dan biji menggunakan primer universal ITS1F dan ITS4 yang ditandai dengan terbentuknya pita DNA pada gel agarosa 1.2%. Cendawan dalam buah jeruk terdeteksi dalam waktu 6 jam menggunakan primer ini sesuai
A B
C D
dengan ukuran target sekitar 600 pb. Pada bagian karpel tidak terdeteksi cendawan (Gambar 14). Area ITS rDNA telah banyak dilaporkan dapat mengidentifikasi cendawan patogen tanaman (Lacomi et al. 2002; Zhang et al. 2004; Zhao et al. 2007).
Hasil sikuen dari ekstraksi DNA buah jeruk secara langsung, pada bagian kalik adalah Alternaria sp., pada bagian kulit dan biji adalah Fusarium sp. Penentuan spesies Fusarium sp. merupakan hasil blast berdasarkan nomor aksesi GenBank HQ630965.1 dengan homologi 85% dan spesies Alternaria sp. didasarkan pada nomor aksesi GenBank GU584948.1 dengan homologi 90%. Menurut Sikdar et al. (2014) tangkai dan kalik merupakan bagian buah apel yang banyak terinfeksi laten oleh Phacidiopycnis washingtonensis dan Sphaeropsis pyriputrescens. Metode molekuler lebih sedikit mendeteksi cendawan terinfeksi laten dibandingkan dengan metode konvensional (Tabel 4). Hal ini terjadi karena konsentrasi DNA cendawan dalam buah jumlahnya sedikit, sehingga tidak mampu teramplifikasi oleh primer. Sikdar et al. (2014) menjelaskan bahwa DNA cendawan pada buah yang menunjukan gejala penyakit dapat dideteksi pada konsentrasi minimal 5 ng. Hal ini yang menyebabkan PCR tidak dapat mendeteksi keberadaan cendawan dalam buah yang tidak bergejala. Sebaiknya digunakan real time PCR karena mampu mendeteksi DNA dibawah konsentrasi kurang dari 5 ng.
Gambar 14 Hasil amplifikasi DNA cendawan pada buah jeruk dengan primer universal. Marker 1 kb (M), sampel pada kulit (1), sampel pada biji (2), sampel pada kalik (3), sampel pada karpel (4), kontrol negatif (5)
Sebanyak lima morfotipe cendawan berbeda berhasil dideteksi menggunakan berbagai metode uji baik konvensional maupun molekuler (Tabel 4). Kelima morfotipe cendawan tersebut juga berhasil diidentifikasi secara teknik konvensional dan molekuler (Tabel 5). Deteksi secara konvensional dilakukan dengan mengamati karakter morfologi dari masing-masing cendawan, seperti pengukuran konidia, panjang konidiofor, bentuk konidia dan tipe miselia yang tumbuh pada media. Selanjutnya diidentifikasi menggunakan berbagai literatur kunci identifikasi cendawan. Hasil identifikasi konvensional menunjukkan bahwa kelima morfotipe cendawan temuan tersebut adalah lima spesies yang berbeda berdasarkan perbedaan karakter morfologi. Deteksi secara molekuler dilakukan dengan mengamplifikasi DNA kelima morfotipe cendawan menggunakan primer universal, selanjutnya dilakukan perunutan basa nukleotida DNA. Hasil
identifikasi molekuler juga menunjukkan bahwa kelima morfotipe cendawan temuan tersebut adalah lima spesies yang berbeda sesuai dengan hasil identifikasi secara konvensional.
Tabel 4 Spesies cendawan laten temuan dengan metode deteksi konvensional dan molekuler
No. Metode Spesies Cendawan Temuan Jumlah Deteksi Waktu Kemunculana 1. Direct agar plating
techique (DAPT)
Alternaria citri, Fusarium incarnatum, Colletotrichum gloeosporioides
3 3 HSI
2. Overnight freezing incubation technique
(ONFIT)
Alternara citri, Fusarium incarnatum, Colletotrichum gloeosporioides, Colletotrichum boninense, Guignardia mangiferae
5 3 HSI
3. Kombinasi senescence stimulating technique
(SST) & DAPT
Alternaria citri, Fusarium incarnatum, Colletotrichum gloeosporioides
3 2 HSI
4. Molekuler Alternaria sp. dan Fusarium sp.c 2 6 jamb a
HSI, Hari Setelah Inkubasi, bdeteksi dengan primer ITS1F dan ITS4, csetelah disikuen
Tabel 5 Identifikasi isolat cendawan laten temuan secara konvensional dan molekuler
Isolat
Identifikasi Isolat
Konvensional Molekuler Spesies Referensi Spesies Homologi
(%) Asal
No. Aksesi Genbank KHU Alternaria citri Ellies 1971 Alternaria citri 100 Jepang AB267479.1 KCT Colletotrichum gloeosporioides Weir et al. 2012 Colletotrichum gloeosporioides 100 USA JX010153.1 KMM Fusarium incarnatum Leslie et al. 2006 Fusarium incarnatum 99 Italia KJ562367.1 KPH Colletotrichum boninense Damm et al. 2012 Colletotrichum boninense 100 Brazil JX258784.1 KHM Guignardia mangiferae EPPO 2009 Guignardia mangiferae 98 Jepang AB731125.1
Hasil identifikasi 3 morfotipe cendawan pada metode DAPT yaitu morfotipe KHU, KCT dan KMM berturut-turut adalah A. citri, C. gloeosporioides dan F. incarnatum. Cendawan tersebut menempati lokasi yang berbeda-beda pada bagian buah jeruk. Cendawan yang paling dominan ditemukan pada bagian kalik, kulit, biji dan karpel berturut turut adalah A. citri, F. incarnatum, C. gloeosporioides dan C. gloeosporioides (Tabel 1). Michailides et al. (2010) juga menyebutkan bahwa metode DAPT ini dapat mengisolasi patogen yang menginfeksi laten pada bagian kalik dan kulit berbagai jenis buah. Menurut Brown (1986a), perbedaan lokasi cendawan pada bagian buah disebabkan ketersediaan nutrisi dan virulensi patogen di dalam buah.
Temuan ketiga spesies cendawan penyebab infeksi laten sangat berpotensi menimbulkan kerusakan buah di tempat penyimpanan. Menurut Michailides dan Elmer (2000) patogen sudah memulai infeksi pada tahap pembungaan tanaman atau pada saat buah masih muda di lapangan. Di California, petani buah kiwi telah menggunakan metode DAPT ini untuk menentukan pemakaian fungisida pada buah-buahan di lapangan sebelum masa panen. Selain itu, metode DAPT ini dapat dimanfaatkan oleh bagian pengepakan dan pengapalan untuk menyortir buah yang terinfeksi laten. Informasi keberadaan patogen laten dalam buah-buahan dapat mengurangi penyebaran penyakit di tempat penyimpanan sekaligus dapat merencanakan waktu pemasaran (Michailides et al. 2010).
Hasil identifikasi 5 morfotipe cendawan pada metode ONFIT yaitu morfotipe KHU, KMM, KCT, KPH dan KHM berturut-turut adalah A. citri, F. incarnatum, C. gloeosporioides, C. boninense dan G. mangiferae. Metode ONFIT dapat mendeteksi cendawan lebih banyak dibandingkan dengan metode lainnya (Tabel 4). Menurut Michailides et al. (2010) hal ini dapat terjadi karena metode ONFIT bekerja langsung merusak jaringan buah, sehingga memudahkan patogen penyebab infeksi laten untuk mendapatkan nutrisi dari buah tersebut. Sebelumnya, Cerkauskas dan Sinclair (1980) melaporkan bahwa jaringan tanaman dapat dirusak menggunakan herbisida berbahan aktif paraquat, sehingga dapat mengaktifkan patogen laten pada tanaman kedelai. Herbisida tersebut adalah bersifat toksik, oleh karena itu perlu dicari alternatif lain yang lebih aman. ONFIT merupakan metode yang aman karena tidak menggunakan pestisida berbahaya. Luo dan Michailides (2003) menjelaskan penggunaan metode ONFIT pada tahap awal pembentukan buah dapat digunakan untuk menentukan tingkat keparahan penyakit busuk coklat Monilinia sp. pada buah plum di lapangan pada saat panen. Jumlah inokulum cendawan yang tinggi di lapangan adalah faktor yang mempercepat pertumbuhan cendawan pada metode ONFIT.
Hasil identifikasi 3 morfotipe cendawan pada metode kombinasi SST dan DAPT yaitu morfotipe KCT, KMM dan KHU berturut-turut adalah C. gloeosporioides, F. incarnatum dan A. citri. Cendawan tersebut menempati lokasi yang berbeda-beda pada bagian buah jeruk. Cendawan yang paling dominan ditemukan pada bagian kalik, kulit, biji dan karpel berturut turut adalah C. gloeosporioides, F. incarnatum, C. gloeosporioides dan A. citri (Tabel 2). Cendawan C. gloeosporioides paling banyak terdeteksi melalui metode ini. Menurut Brown (1986a), C. gloeosporioides dan A. citri sering ditemukan bersifat laten pada buah jeruk. C. gloeosporioides mulai mengoloni buah ketika buah sudah mengalami fase senescence (pengusangan). Penyebab pengusangan buah adalah karena pengaruh etilen. Etilen dapat mempercepat masa pengusangan buah, sehingga menyebabkan penurunan ketegaran jaringan dalam buah. Kondisi ini mempermudah cendawan mengolonisasi lebih lanjut. Cristescu et al. (2008) melaporkan aplikasi etilen mampu mempercepat masa pengusangan, sehingga dapat mengaktifkan perkecambahan konidia B. cinerea, Penicillium expansum, Rhyzopus stolonifer, Gloeosporium perennans, Diplodia natalonis, dan P. citri.
Pada metode kombinasi SST dan Inkubasi tidak ditemukan cendawan pada permukaan buah. Hal ini karena buah belum mencapai pengusangan. Knoester et al. (1998) menyebutkan etilen berperan terhadap pengusangan buah. Pemberian etilen dapat menyebabkan ikatan antar sel tanaman menjadi lemah, sehingga memudahkan patogen untuk menginfeksi (Cohn et al. 2001). El-Kazzaz et al.
(1983) melaporkan pemberian etilen dengan konsentrasi 1 ml etilen/l air belum dapat membuat buah mencapai pengusangan sehingga tidak dapat mengaktifkan cendawan Alternaria alternata, C. gloeosporioides, P. expansum, R. stolonifer, B. theobromae dan B. cinerea, tetapi konsentrasi tersebut mampu mengaktifkan cendawan P. digitatum, P. italicum dan Thielaviopsis paradoxa. Hal ini menurut Brown (1986a) disebabkan perbedaan kemampuan patogen dalam menginfeksi buah.
Metode konvensional yang paling akurat dan cepat dalam mendeteksi cendawan terinfeksi laten pada buah jeruk impor asal Argentina adalah metode ONFIT (Tabel 4). Melalui metode ini berhasil diperoleh 5 spesies cendawan penyebab infeksi laten yang tumbuh pada permukaan buah jeruk mulai hari ketiga setelah inkubasi. Metode ONFIT yang dilakukan sebelumnya dapat memunculkan cendawan M. fructicola pada buah plum mulai dari hari kelima setelah inkubasi pada suhu pembekuan -16 °C (Michailides et al. 2010). Setelah dilakukan pengembangan metode ONFIT pada buah jeruk dengan melakukan pembekuan pada suhu -20 °C terbukti mampu mendeteksi kemunculan cendawan mulai hari ketiga setelah inkubasi. Hasil pengembangan metode ini, tekstur buah jeruk masih terlihat utuh, sehingga masih memudahkan dalam hal pengamatan cendawan. Luo dan Michailides (2003) menyebutkan semakin rendah suhu pembekuan dapat menyebabkan buah mudah rusak sehingga menyulitkan proses identifikasi cendawan. Kecepatan deteksi kemunculan cendawan sangat diperlukan dalam melakukan tindakan pemeriksaan media pembawa oleh Badan karantina pertanian, agar cepat dilakukan pengambilan keputusan terhadap pemasukan buah jeruk, sehingga buah jeruk tidak tertahan lama di pelabuhan.
Spesies A. citri diidentifikasi lebih lanjut menggunakan primer spesifik untuk membuktikan kebenarannya mengingat spesies tersebut dalam Permentan 93 tahun 2011 tergolong dalam kategori A1 (belum terdapat di Indonesia). Pasangan primer spesifik yang digunakan adalah PG20 dan Pro2 dengan ukuran target 813 pb (Isshiki et al. 2003) dan UCREAF1 dan UCREAR3 dengan ukuran target 1395 pb (Katoh et al. 2007). Primer yang digunakan mengidentifikasi pertama kali adalah primer universal dengan ukuran target sekitar 600 pb.
Gambar 15 Visualisasi hasil amplifikasi DNA target dengan primer spesifik A. citri pada 1,2 % gel agarosa. Amplifikasi DNA A. citri dengan primer PG20 dan Pro2 (A). Marker 1 kb (M), kontrol negatif (1), A. citri (2), A. alternata (3). Amplifikasi DNA A. citri dengan primer UCREAF1 dan UCREAR3 (B). Marker 1 kb (M), kontrol negatif (1), A. citri (2), A. alternata (3)
Hasil elektroforesis DNA menunjukkan bahwa kedua primer yang digunakan mampu mengamplifikasi DNA target A. citri. Hal ini dibuktikan dengan munculnya pita DNA pada gel agarosa 1.2% sesuai dengan ukuran target 813 pb pada primer PG20 dan Pro2 dan 1395 pb pada primer UCREAF1 dan UCREAR3, namun pada primer PG20 dan Pro2 terdapat 2 pita DNA (Gambar 15A). Hal ini diduga primer tersebut masih kurang spesifik, sementara itu, pada sampel A. alternata (pembanding) tidak terlihat pita DNA. Identifikasi A. citri menggunakan primer spesifik UCREAF1 dan UCREAR3 menunjukkan bahwa primer dapat mengamplifikasi DNA target pada sampel A. citri dengan visualisasi 1 pita DNA, sehingga dapat dibuktikan bahwa sampel tersebut adalah positif A. citri (Gambar 15B). Primer spesifik UCREAF1 dan UCREAR3 lebih baik dalam mendeteksi spesies A. citri dibandingkan primer PG20 dan Pro2. Smith et al. (1996) dan Sharma et al. (2013) menyebutkan PCR merupakan pengujian deteksi organisme yang spesifik, sensitif dan cepat sampai ke level spesies.
Identifikasi Cendawan Penyebab Infeksi Laten
Cendawan temuan penyebab infeksi laten pada buah jeruk impor dibiakan dalam media PDA. Selanjutnya cendawan diidentifikasi secara konvensional terlebih dahulu dan dilakukan uji konfirmasi secara molekuler. Identifikasi konvensional dilakukan secara morfometri dengan mengukur 30 konidia masing-masing cendawan temuan dan mengamati seluruh bagian cendawan secara makroskopis dan mikroskopis (Tabel 6). Identifikasi spesies cendawan menggunakan berbagai literatur kunci identifikasi cendawan.
Tabel 6 Morfometri konidia cendawan laten temuan
Cendawan Temuan Konidia Terpendek (µm) Konidia Terpanjang (µm) Rata-rata Konidia (µm)
a
Panjang Lebar Panjang Lebar Panjang Lebar
A. citri 14.98 8.89 56.58 17.87 42.14 16.07 C. gloeosporioides 11.83 3.43 16.93 7.54 14.65 5.26 C. boninense 13.56 6.35 17.14 5.79 15.13 6.17 G. mangiferae 10.26 6.32 12.59 7.11 11.37 6.92 F. incarnatum 8.11 3.09 24.86 2.98 15.74 3.07 a
Pengukuran dilakukan pada 30 konidia
Isolat KHU diidentifikasi sebagai A. citri
Hasil pengamatan cendawan secara morfometri dari 30 konidia diperoleh rata-rata panjang konidia isolat KHU adalah 42.14 µm dan lebar 16.07 µm (Tabel 6). Koloni umur 7 hari pada media PDA terlihat mengumpul, miselia aerial, berwarna abu abu di bagian atas koloni dan coklat di bagian bawah koloni (Gambar 17, A dan B). Konidia berbentuk seperti gada, bersekat dan tunggal (Gambar 17C). Berdasarkan kunci identifikasi Ellies (1971), karakteristik morfologi isolat KHU diidentifikasi sebagai A. citri.
Karakteristik morfologi A. citri dicirikan dengan koloni mengumpul, berwarna abu abu, kuning langsat, coklat sampai hitam. Konidiofor sederhana atau bercabang, lurus atau bengkok, bersepta, pucat, lebar hingga 3-5 µm. Konidia tunggal, rantai sederhana atau bercabang, lurus atau sedikit melengkung,
berbentuk oval, panjang 8-60 (rata-rata 42 µm), lebar 6-24 (rata-rata 17 µm) (Ellies 1971).
Berdasarkan pohon filogeni (Gambar 16), cendawan A. citri berada dalam 1 grup dengan isolat dari negara USA, Brazil dan Cina. Hal ini menunjukkan bahwa cendawan A. citri temuan memiliki kekerabatan yang sangat dekat secara genetik dengan isolat dari negara-negara tersebut. Keragaman genetik A. citri dalam grup tersebut sangat rendah, meskipun isolat tersebut berasal dari negara yang berbeda-beda. Penjelasan tersebut diperkuat oleh tingkat homologi sikuen nukleotida diantara keempat isolat tersebut (Tabel 7). Keempat isolat tersebut menunjukkan persentase homologi yang tinggi antara 93-100%. Sementara itu, A. alternata berada di luar grup, berarti jelas berbeda dengan A. citri. Persentase tingkat homologinya pun paling rendah yaitu sebesar 92.1%.
Gambar 16 Pohon filogeni isolat A. citri temuan dan isolat dari negara lain
Gambar 17 Morfologi A. citri. Koloni permukaan atas berumur 7 hari pada media PDA (A), Koloni permukaan bawah (B). konidia (perbesaran 400 x) (C)
Dalam Permentan no 93 tahun 2011, A. citri termasuk dalam OPTK kategori A1 yang belum ada di Indonesia. Temuan OPTK A1 ini dapat digunakan sebagai
A 50 µm 2 cm 2 cm Alternaria_citri_KHU Alternaria_citri_EF104220.1_USA Alternaria_citri_EU520049.1_China Alternaria_citri_DQ489290.1_Brazil Alternaria_alternata_KM374667.1_China 0.002
A. citri (cendawan temuan) A. citri (USA/EF104220.1) A. citri (Brazil/DQ489290.1) A. citri (Cina/EU520049.1) A. Alternata (Cina/KM374667.1) B C
alasan ilmiah untuk melakukan pemusnahan terhadap pemasukan buah jeruk asal Argentina dengan no registrasi 2014.2.04.01.S01.I.020852. Permentan no 42 tahun 2012 menyebutkan bahwa apabila hasil pemeriksaan kesehatan terhadap buah segar dan sayuran buah segar terbukti tidak bebas OPTK golongan I maka dapat dilakukan tindakan pemusnahan.
Tabel 7 Tingkat homologi 535 pb sikuen nukleotida area ITS DNA isolat A. citri temuan dengan isolat dari negara lain
No. Asal Isolat Homologi (%)
a 1 2 3 4 5 1 AC-KHUb IDg 2 AC-BZc 93.2 ID 3 AC-USd 100 93.2 ID 4 AC-CNe 98.6 92.8 98.6 ID 5 AA-CNf 92.1 93.9 92.1 92.3 ID a
Tingkat kemiripan urutan basa nukleotida A. citri dihitung menggunakan program Bioedit versi 6.05. bA. citri isolat KHU (cendawan temuan). cA. citri
isolat Brazil (DQ489290.1). dA. citri isolat USA (EF104220.1). eA. citri isolat Cina (EU520049.1). fA. alternata isolat Cina (KM374667.1). gID (identity) yaitu menunjukan spesies yang sama.
Isolat KCT diidentifikasi sebagai C. gloeosporioides
Hasil pengamatan isolat KCT secara morfometri dari 30 konidia diperoleh rata-rata panjang konidia adalah 14.65 µm dan lebar 5.26 µm (Tabel 6). Koloni umur 7 hari pada media PDA memperlihatkan mengumpul, miselia aerial, berwarna putih kekuning-kuningan (Gambar 19, A dan B). Konidia berbentuk batang, tidak bersekat, hialin dan melimpah (Gambar 19D). Terdapat aservuli berwarna hitam dan memiliki seta (Gambar 19C). Berdasarkan kunci identifikasi Weir et al. (2012), karakteristik morfologi isolat KCT diidentifikasi sebagai C. gloeosporioides.
Karakteristik morfologi C. gloeosporioides dicirikan dengan aservuli memiliki seta, panjang bervariasi antara 50-130 µm. Konidia tunggal, silinder, panjang 10-15 µm dan lebar 5-7 µm, ujung tumpul, tidak bersekat, hialin, dan halus. Apresoria berbentuk oval, bulat, berwarna coklat sampai coklat tua, berukuran 8-12 x 6-9 mm. Koloni pada PDA berkembang dengan baik, miselia aerial, setelah 10 hari berdiameter 8-9 cm, seperti kapas, putih keabu-abuan, dengan titik-titik hitam (Weir et al. 2012).
C. gloeosporioides adalah cendawan kosmopolit yang dilaporkan sudah banyak terdapat di Indonesia. Walaupun demikian, masuknya cendawan tersebut ke dalam wilayah Indonesia tetap harus dicegah, karena dikhawatirkan cendawan tersebut merupakan ras yang berbeda dengan cendawan C. gloeosporioides yang sudah ada di Indonesia.
Berdasarkan pohon filogeni (Gambar 18), cendawan C. gloeosporioides temuan berada dalam 1 subgrup dengan isolat dari negara Argentina, Brazil dan USA. Hal ini menunjukkan bahwa cendawan C. gloeosporioides temuan memiliki kekerabatan yang lebih dekat secara genetik dengan isolat dari ketiga negara tersebut dibandingkan dengan isolat dari negara Indonesia dan Malaysia.
Penjelasan ini sekaligus membuktikkan bahwa cendawan C. gloeosporioides yang ditemukan dari hasil deteksi adalah cendawan yang benar-benar terbawa dalam buah jeruk asal Argentina. Keragaman genetik isolat C. gloeosporioides dari negara Argentina, Brazil dan USA terlihat berbeda dengan isolat dari negara Indonesia dan Malaysia. Perbedaan ini diduga karena perbedaan ras dari C. gloeosporioides. Perbedaan genetik antar C. gloeosporioides diperkuat oleh perbedaan persentase tingkat homologi antar isolat yang besar (Tabel 8).
Gambar 18 Pohon filogeni isolat C. gloeosporioides temuan dan isolat dari negara lain
Gambar 19 Morfologi C. gloeosporioides. Koloni permukaan atas berumur 7 hari pada PDA (A), koloni permukaan bawah (B), aservuli (perbesaran 400 X) (C), konidia (perbesaran 400 X) (D) A 50 µm 2 cm 50 µm 2 cm Colletotrichum_gloeosporioides_FN566870.1_Argentina Colletotrichum_gloeosporioides_HQ874975.1_Brazil Colletotrichum_gloeosporioides_JN121209.1_USA Colletotrichum_gloeosporioides_KCT Colletotrichum_gloeosporioides_JX009429.1_Indonesia Colletotrichum_gloeosporioides_GU066679.1_Malaysia Colletotrichum_capsici_HQ259127.1_Indonesia 88 76 70 0.01
C. gloeosporioides (cendawan temuan)
C. gloeosporioides (Argentina/FN566870.1) C. gloeosporioides (Brazil/HQ874975.1) C. gloeosporioides (USA/JN121209.1) C. gloeosporioides (Indonesia/JX009429.1) C. gloeosporioides (Malaysia/GU066679.1) C. capsici (Indonesia/HQ259127.1) B C D
Tabel 8 Tingkat homologi 539 pb sikuen nukleotida area ITS DNA isolat C. gloeosporioides temuan dengan isolat dari negara lain
No. Asal Isolat Homologi (%)
a 1 2 3 4 5 6 7 1 CG-KCTb IDi